Pemeriksaan Bukti Permulaan Jadi Kunci Tegaknya Penegakan Hukum Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam diskusi panel yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025), mantan Direktur Penegakan Hukum DJP 2017–2021, Yuli Kristiyono, memaparkan pentingnya pemeriksaan bukti permulaan (bukper) sebagai pintu masuk utama dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia.

Mengangkat tema “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, Yuli menegaskan bahwa proses pemeriksaan bukper bukan sekadar tahapan administratif, melainkan merupakan fondasi penting sebelum masuk ke tahap penyidikan tindak pidana pajak.

“Pasal 43A ayat (1) UU KUP memberikan mandat kuat bagi DJP untuk melakukan pemeriksaan bukper berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP). Proses ini menyetarakan kedudukannya dengan penyelidikan dalam hukum pidana umum,” kata Yuli.

Yuli menjabarkan landasan hukum yang menjadi acuan pemeriksaan bukti permulaan, antara lain:

• Pasal 43A UU KUP yang menegaskan wewenang DJP,

• PP No. 50 Tahun 2022, serta

• PMK dan Surat Edaran terkait.

Menurutnya, prosedur bukper dijalankan secara terstruktur melalui rangkaian tahapan mulai dari penelaahan intelijen, penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP), hingga pengumpulan bukti oleh Pejabat Penyidik PNS DJP.

Kewenangan Lengkap Penyidik

Pemeriksa memiliki kewenangan luas dalam proses bukper, mulai dari meminjam dan memeriksa dokumen, mengakses sistem elektronik, melakukan penyegelan, hingga meminta keterangan dari pihak ketiga dan ahli.

“Kewenangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memastikan keadilan fiskal ditegakkan secara profesional dan sah secara hukum,” ujar Yuli.

Adapun durasi pemeriksaan bukper, menurut Yuli, bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup, dengan waktu maksimal 12 bulan, dan bisa diperpanjang dengan mempertimbangkan daluwarsa dan progres kasus. Tindak lanjutnya dapat berupa penyidikan jika ditemukan bukti kuat, atau penghentian bila tak ditemukan unsur pidana.

Dalam hal berlanjut ke penyidikan, proses akan melibatkan tindakan paksa seperti pemanggilan, penggeledahan, penyitaan, pemblokiran harta kekayaan, hingga pelacakan aliran dana, termasuk potensi pidana pencucian uang (TPPU).

“Kita tidak hanya bicara soal pajak yang tidak dibayar, tapi juga bagaimana aset hasil kejahatan pajak bisa dilacak dan dikembalikan untuk negara,” tegasnya.

Yuli menekankan bahwa pemeriksaan bukper bukan sekadar instrumen hukum, melainkan mekanisme pembuktian yang menjunjung tinggi keadilan, baik bagi negara maupun wajib pajak.

“Jika dilakukan secara adil dan profesional, bukper akan menjadi pilar penting dalam menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan, kredibel, dan berkontribusi nyata terhadap penerimaan negara,” ungkapnya. (bl)

Diskon Tarif Tol 20% Kembali Berlaku di 28 Ruas Tol Jawa dan Sumatera

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali memberikan potongan tarif tol sebesar 20% untuk mendorong pergerakan masyarakat dan pemulihan ekonomi. Mengutip jadwal yang diunggah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di akun Instagram @pupr_bpjt, per Jumat (11/7/2025) diskon ini berlaku di 28 ruas jalan tol yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera, mulai Jumat (11/7/2025) hingga Sabtu (13/7/2025) pukul 24.00 WIB. Dua ruas tol bahkan mendapat masa diskon lebih panjang hingga 14 Juli 2025.

Program ini merupakan bagian dari stimulus ekonomi kuartal II dan menjadi kali ketiga insentif tarif tol diberlakukan sepanjang tahun ini.

Namun perlu dicatat, potongan tarif hanya berlaku untuk perjalanan jarak jauh dari ujung ke ujung setiap ruas tol, tanpa keluar di gerbang tol antara.

Diskon Diberlakukan di Ruas Tol Berikut:

Pulau Jawa

Tol Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Jembatan Tiga/Pluit

Tol Bekasi–Cawang–Kampung Melayu

Tol Cimanggis–Cibitung (khusus 13 Juli pukul 06.00 hingga 14 Juli pukul 06.00 WIB)

Tol Depok–Antasari

Tol Dalam Kota segmen Kelapa Gading–Pulogebang

Tol Jakarta–Cikampek & Tol Layang MBZ

Tol Cikampek–Palimanan

Tol Palimanan–Kanci

Tol Pemalang–Batang

Tol Batang–Semarang

Tol Semarang ABC

Tol Pasuruan–Probolinggo

Tol Soreang–Pasirkoja

Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan

Tol Krian–Legundi–Bunder

Tol Simpang Susun–Bandara Juanda

Tol Surabaya–Gempol

Tol Gempol–Pandaan

Tol Pandaan–Malang

Pulau Sumatera

Tol Terbanggi Besar–Pematang Panggang–Kayu Agung (hingga 14 Juli pukul 07.00 WIB)

Tol Kayuagung–Palembang

Tol Indralaya–Prabumulih

Tol Pekanbaru–Dumai

Tol Belawan–Medan–Tanjung Morawa

Tol Medan–Kualanamu–Tebing Tinggi

Tol Indrapura–Kisaran

Tol Kuala Tanjung–Tebing Tinggi–Parapat

Tol Sigli–Banda Aceh

Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menegaskan, pengguna jalan tol hanya akan mendapatkan diskon apabila melakukan perjalanan nonstop dari gerbang awal ke gerbang akhir pada masing-masing ruas tersebut.

Program diskon ini diharapkan dapat meningkatkan mobilitas masyarakat menjelang akhir pekan serta memberi stimulus ekonomi, khususnya di sektor transportasi dan pariwisata. (alf)

 

 

Downtime: DJP Umumkan Layanan Pajak Baru Bisa Digunakan 13 Juli 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa seluruh layanan pajak berbasis sistem Coretax akan kembali dapat digunakan mulai Minggu, 13 Juli 2025 pukul 09.00 WIB. Pengumuman ini menyusul pelaksanaan pemeliharaan sistem yang menyebabkan layanan pajak sempat tidak dapat diakses selama 24 jam.

Pemeliharaan dimulai pada Sabtu, 12 Juli pukul 09.00 WIB. Selama proses tersebut, akses ke sistem Coretax yang menjadi tulang punggung administrasi perpajakan nasional sepenuhnya dinonaktifkan, termasuk situs coretaxdjp.pajak.go.id dan seluruh layanannya.

“Waktu henti (downtime) akan berdampak pada tidak dapat diaksesnya Coretax DJP dan semua layanan dinonaktifkan sementara,” tulis DJP dalam pengumuman resminya yang disampaikan pada Jumat (11/7/2025).

DJP menyatakan, proses pemeliharaan ini penting dalam rangka peningkatan kapasitas sistem agar mampu memberikan layanan yang lebih stabil dan optimal kepada wajib pajak. “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan. Ini bagian dari komitmen kami untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan,” lanjut keterangan tersebut.

Coretax sendiri mulai resmi diterapkan sejak 1 Januari 2025 sebagai sistem informasi perpajakan yang terintegrasi secara nasional. Sistem ini dirancang untuk menggantikan berbagai aplikasi terpisah, memudahkan pelaporan, pembayaran, dan pengawasan pajak dalam satu platform digital yang terpadu.

Meski di awal penerapannya sempat dikeluhkan oleh sebagian pegawai pajak dan wajib pajak karena kendala teknis, DJP terus melakukan penyesuaian dan pembaruan sistem. Pemeliharaan seperti saat ini disebut sebagai langkah rutin yang akan dilakukan secara berkala.

DJP mengimbau wajib pajak untuk memanfaatkan layanan kembali setelah waktu downtime berakhir, serta tetap mengikuti informasi terbaru hanya melalui kanal resmi DJP, situs pajak.go.id dan akun media sosial Direktorat Jenderal Pajak. (alf)

 

 

Pemutihan Pajak Daerah Picu Penurunan Pendapatan 8,06% pada Semester I-2025

IKPI, Jakarta: Program pemutihan pajak yang marak dijalankan sejumlah pemerintah daerah selama paruh pertama 2025 dinilai memberi tekanan serius pada pendapatan pajak daerah secara nasional. Data Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak daerah hanya mencapai Rp107,7 triliun, turun 8,06% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp117,16 triliun.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kemenkeu, Lydia Kurniawati Chrityana, menjelaskan bahwa meskipun istilah “pemutihan” tidak secara eksplisit disebut dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), praktik pemberian keringanan, penghapusan bunga, dan denda pajak tetap diakomodasi dalam ketentuan perundang-undangan.

“Pemutihan walaupun tidak disebut secara eksplisit di undang-undang, namun pemberian insentif seperti keringanan, penghapusan bunga, dan denda itu adalah bentuk legal dari diskresi daerah. Namun, kebijakan ini juga memberi dampak nyata terhadap turunnya penerimaan pajak,” ujarnya dalam diskusi publik daring yang digelar UPN Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Setelah revisi UU HKPD mulai diberlakukan pada awal 2024, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan lebih besar, termasuk memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), serta menerapkan pajak baru seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Tak hanya itu, tarif maksimal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga naik dari 0,3% menjadi 0,5%.

Kondisi ini menjadikan kebijakan pemutihan sebagai hak otonom daerah. Namun, Lydia mengingatkan pentingnya evaluasi terhadap efektivitas kebijakan tersebut, terutama dalam menjaga kesinambungan fiskal daerah.

“Beberapa daerah memberikan pemutihan tanpa basis evaluasi yang kuat. Padahal, tanpa kajian yang matang, potensi hilangnya penerimaan daerah bisa lebih besar dibanding manfaat jangka pendeknya,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menambahkan bahwa tekanan terhadap penerimaan pajak tidak semata-mata berasal dari pemutihan. Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi global, fluktuasi harga komoditas, hingga perubahan perilaku konsumsi masyarakat turut berperan dalam tren penurunan ini.

Meski demikian, Lydia menilai bahwa otonomi fiskal yang diberikan melalui UU HKPD tetap memberikan peluang besar bagi daerah untuk menggali potensi pajak secara optimal dengan catatan pengelolaannya dilakukan secara akuntabel dan berbasis data yang kuat. (alf)

 

Prabowo Tunjuk Anak Usaha BUMN Jadi Pemungut Pajak Digital Luar Negeri

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk PT Jalin Pembayaran Nusantara sebagai pelaksana Sistem Pemungutan Pajak atas Transaksi Digital Luar Negeri (SPP-TDLN). Penunjukan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2025 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni lalu.

Melalui regulasi tersebut, pemerintah menugaskan BUMN di bidang teknologi layanan keuangan untuk mengambil peran strategis dalam mengamankan potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital lintas batas.

“PT Jalin Pembayaran Nusantara ditetapkan sebagai penyelenggara SPP-TDLN,” bunyi Pasal 3 Ayat (2) dari Perpres tersebut.

Langkah ini menjadi tonggak penting dalam reformasi perpajakan nasional, khususnya di tengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital global yang selama ini sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional.

Anak Usaha BUMN Naik Kelas

PT Jalin, yang awalnya dibentuk oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan PT Telkom Indonesia pada 2016, kini berada di bawah naungan Holding Danareksa. Seiring penugasan ini, Jalin bukan sekadar pengelola infrastruktur pembayaran, tetapi juga berperan dalam menjaga kedaulatan fiskal Indonesia di ranah digital.

Dalam pelaksanaannya, Jalin diberikan wewenang untuk menunjuk mitra kerja, dengan ketentuan bahwa mitra tersebut harus berbadan hukum Indonesia atau asing, serta memiliki infrastruktur teknologi yang mampu menangani data dan sistem perpajakan lintas negara.

Setidaknya terdapat empat alasan utama di balik lahirnya kebijakan ini. Pertama, untuk menjawab tantangan kompleksitas pemajakan atas transaksi digital lintas negara. Kedua, menciptakan level playing field yang adil antara pelaku usaha lokal dan asing. Ketiga, mendorong kepatuhan pajak pelaku ekonomi digital luar negeri. Dan keempat, mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor yang selama ini cenderung lolos dari pengawasan.

Namun, sistem ini belum serta-merta berjalan. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa implementasi penuh baru bisa dilakukan setelah Jalin menetapkan mitra dan tim koordinasi menyelesaikan evaluasi awal.

Penunjukan Jalin menandai keseriusan pemerintah dalam mengimbangi perkembangan ekonomi digital global dengan kerangka hukum dan sistem pengawasan yang adaptif. Dengan potensi transaksi digital lintas negara yang terus membesar, sistem ini diharapkan dapat menutup celah kebocoran pajak yang selama ini terjadi.

Ke depan, publik menanti bagaimana Jalin dan mitranya akan mengimplementasikan sistem ini secara konkret, termasuk transparansi data, mekanisme pemungutan, serta integrasi dengan otoritas pajak dan pelaku platform digital internasional. (alf)

 

DJP Kalselteng Blokir 98 Rekening Penunggak Pajak, Tunggakan Capai Rp48,7 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah penegakan hukum dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Terbaru, sebanyak 98 rekening milik penunggak pajak resmi diblokir secara serentak oleh sepuluh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng). Nilai total tunggakan dari rekening-rekening tersebut mencapai angka fantastis, yakni Rp48,7 miliar.

Langkah tegas ini terbagi dalam dua wilayah, di Kalimantan Selatan, terdapat 57 permintaan pemblokiran yang diajukan oleh enam KPP dengan total tunggakan sebesar Rp6,7 miliar. Sementara di Kalimantan Tengah, empat KPP mengajukan 41 permintaan blokir dengan nilai tunggakan jauh lebih besar, mencapai Rp41,9 miliar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa pemblokiran dilakukan untuk menjaga agar aset para penunggak tidak berpindah tangan sebelum utang pajak dilunasi. “Tindakan ini bukan langkah pertama. Kami sudah lebih dulu memberikan peringatan dan kesempatan kepada para wajib pajak untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun karena tidak ada itikad baik, maka kami harus melanjutkan proses penagihan aktif,” ujar Syamsinar dalam keterangan tertulis, diterima, Sabtu (12/7/2025).

Proses pemblokiran ini dilakukan secara terkoordinasi bersama Lembaga Jasa Keuangan, khususnya di sektor perbankan. DJP mengajukan permintaan pemblokiran dengan melampirkan dokumen hukum pendukung, seperti surat paksa dan surat perintah penyitaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak.

Syamsinar juga menambahkan bahwa pemblokiran rekening bukan akhir dari proses penagihan. Wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk melunasi utangnya. “Jika tunggakan dibayar, maka blokir akan dicabut dan proses penyitaan tidak perlu dilanjutkan,” jelasnya. (alf)

 

Mantan Direktur DJP Tegaskan Penegakan Hukum Pajak Harus Berbasis Keadilan

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2017–2021, Yuli Kristiyono, menegaskan pentingnya penegakan hukum perpajakan yang tidak semata-mata represif, namun tetap berkeadilan, transparan, dan berlandaskan asas kepastian hukum. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak” yang diselenggarakan di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yuli membeberkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal menghukum, tetapi juga memiliki delapan tujuan utama, yaitu:

• Membangun kepatuhan wajib pajak

• Menciptakan keadilan perpajakan

• Memberikan kepastian hukum

• Melindungi wajib pajak yang patuh

• Mengamankan penerimaan negara

• Memulihkan kerugian pendapatan negara

• Menciptakan efek jera

• Membangun integritas sistem perpajakan

“Penegakan hukum perpajakan harus menyasar dua hal sekaligus: edukasi dan koreksi. Tidak bisa semuanya dipidana, karena tujuan utamanya adalah membuat ekosistem kepatuhan yang berkelanjutan,” ujar Yuli yang juga pernah menjabat Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM DJP.

Tahapan Penegakan Hukum

Ia menegaskan bahwa dalam praktiknya, penegakan hukum perpajakan dilakukan secara bertahap, dimulai dari edukasi dan pelayanan oleh penyuluh pajak, dilanjutkan dengan pengawasan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, hingga penuntutan dan eksekusi.

“Langkah DJP itu tidak langsung represif. Ada proses edukatif dan administratif yang ditempuh terlebih dahulu sebelum penyidikan,” tegas Yuli.

Ancaman Sanksi

Dalam sesi panel tersebut, Yuli juga mengulas bentuk-bentuk sanksi yang dikenakan atas pelanggaran ketentuan perpajakan. Sanksi ini dibagi menjadi empat jenis:

• Sanksi Bunga, seperti keterlambatan bayar atau pembetulan SPT.

• Sanksi Denda, seperti tidak menyampaikan SPT, atau pengisian faktur pajak yang tidak lengkap.

• Sanksi Kenaikan, seperti pemotongan pajak yang tidak disetor.

• Sanksi Pidana, untuk pelanggaran karena kelalaian (Pasal 38 UU KUP) dan kesengajaan (Pasal 39, 39A UU HPP).

Dielaskannya, bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran namun masih beritikad baik, UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) memberikan ruang untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum proses pidana dimulai, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (3) dan (3a).

Pegawai Pajak Juga Bisa Dijerat

Yuli juga menyoroti bahwa pegawai DJP tidak luput dari jeratan hukum. Berdasarkan Pasal 43A UU HPP, jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana perpajakan yang melibatkan petugas DJP, maka Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa internal untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Jika terbukti korupsi, maka kasus akan diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya.

Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang adil dan berintegritas, agar wajib pajak tidak merasa menjadi korban dari sistem yang tidak konsisten.

“Penegakan hukum bukan tujuan akhir, melainkan jembatan menuju sistem pajak yang dipercaya. Di situlah kita bisa bicara tentang penerimaan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)

 

 

 

Assoc. Prof. Edy Gunawan: Keadilan dan Kepercayaan adalah Kunci Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Sekretaris Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Assoc. Prof. Edy Gunawan, menegaskan bahwa upaya penegakan hukum pajak yang efektif harus mengedepankan keseimbangan antara pendekatan legalistik dengan aspek kepercayaan dan keadilan. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam diskusi panel IKPI bertema “Upaya Penegakan Hukum dalam Peningkatan Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2025).

Dalam paparannya, Assoc. Prof. Edy membandingkan kebijakan penegakan hukum perpajakan di berbagai negara dan menyoroti tantangan khas yang dihadapi Indonesia. Ia menyebut, sistem hukum di Indonesia masih sangat formalistik dan sentralistis, dengan karakteristik hierarki hukum yang kompleks serta kendala seperti birokrasi lambat, patronase, hingga korupsi yang menghambat efektivitas kebijakan.

“Penegakan hukum perpajakan jangan semata-mata mengandalkan ancaman sanksi. Diperlukan pendekatan yang membangun kepercayaan dan kepastian hukum agar wajib pajak merasa sistem ini adil,” tegas Assoc. Prof. Edy.

Ia memperkenalkan tiga teori utama dalam penegakan hukum pajak:

• Economic Deterrence, yang menekankan risiko ketahuan dan besarnya sanksi;

• Responsive Regulation, yang menganut pendekatan bertahap dari edukasi hingga hukuman;

• Trust and Legitimacy, yang mengandalkan kepercayaan wajib pajak pada institusi pajak sebagai faktor utama kepatuhan.

Ia menyoroti bahwa banyak negara maju seperti Belanda dan Singapura telah menggeser fokus dari penindakan keras menuju model cooperative compliance, pendekatan yang kolaboratif dan edukatif, disertai transparansi serta pelayanan yang konsisten.

Assoc. Prof. Edy juga menguraikan prinsip legalitas (lex scripta) sebagai fondasi hukum pajak di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya menyeimbangkan pendekatan ini dengan prinsip substance over form, yakni menilai niat ekonomi transaksi di atas sekadar bentuk hukumnya. Negara seperti Inggris, Australia, dan Kanada bahkan telah menerapkan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) untuk mengantisipasi skema penghindaran pajak yang “legal secara formil namun manipulatif secara substansi”.

Dalam sesi analisis perbandingan, Assoc. Prof. Edy Gunawan menunjukkan bahwa:

• Amerika Serikat menekankan penegakan keras dengan sanksi berat dan audit agresif,

• Jerman dan Belanda mengedepankan kepastian hukum dan pendekatan administratif yang efisien,

• Singapura dan Jepang lebih kooperatif dan edukatif,

• Indonesia, menurutnya, masih mencari titik keseimbangan di tengah tantangan internal.

Menutup paparannya, Dosen Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) ini merekomendasikan tiga strategi kunci bagi Indonesia:

• Peningkatan kapasitas pengawasan DJP melalui teknologi seperti AI dan data mining;

• Penguatan edukasi dan pelayanan untuk membangun trust dan legitimasi;

• Penerapan bertahap terhadap pendekatan substantif, termasuk prinsip anti-abuse dalam hukum perpajakan nasional.

“Negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap otoritas pajak, seperti Australia dan Swedia, terbukti memiliki kepatuhan pajak yang jauh lebih tinggi. Ini pelajaran penting bagi Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, diskusi ini menjadi salah satu forum strategis yang diselenggarakan IKPI untuk mendalami peran kebijakan penegakan hukum dalam mendorong penerimaan negara yang berkeadilan dan berkelanjutan. (bl)

Brasil Ancam Balasan Setimpal atas Tarif 50% dari AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memantik ketegangan perdagangan global. Kali ini, Brasil menjadi sasaran kebijakan proteksionis terbarunya.

Dalam surat resmi kepada Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Trump mengumumkan tarif sebesar 50% terhadap sejumlah barang impor dari Negeri Samba, efektif mulai 1 Agustus 2025.

Namun langkah itu tak semata soal ekonomi. Trump juga menyinggung proses hukum terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang saat ini sedang diadili atas dugaan percobaan kudeta usai kekalahannya di pemilu 2022.

Dalam suratnya, Trump menyebut persidangan tersebut sebagai “aib internasional”, sekaligus menunjukkan dukungan terbuka terhadap sekutunya itu.

Lula tak tinggal diam. Presiden sayap kiri Brasil itu menegaskan bahwa kebijakan sepihak seperti ini akan ditanggapi tegas. “Setiap kenaikan tarif sepihak akan ditanggapi berdasarkan Hukum Timbal Balik Ekonomi Brasil,” tegasnya dalam pernyataan resmi.

Pemerintah Brasil juga telah memanggil pejabat diplomatik AS sebagai bentuk protes.

Tarif 50% ini, menurut Trump, diberlakukan atas nama “keamanan nasional” alasan yang juga digunakan untuk mengenakan pungutan serupa terhadap impor tembaga dari sejumlah negara lain. Trump menyebut tembaga sebagai logam strategis kedua paling penting bagi Departemen Pertahanan AS.

Kebijakan ini merupakan bagian dari rangkaian langkah Trump yang lebih luas. Sejak awal pekan ini, ia telah mengeluarkan lebih dari 20 surat peringatan kepada berbagai negara, mengancam tarif tinggi jika tak ada kesepakatan soal perdagangan “timbal balik”.

Meski sebelumnya Brasil tak masuk daftar negara yang terancam, hubungan dagang yang selama ini cenderung surplus bagi AS tampaknya tak cukup melindungi Brasil dari badai tarif.

Ketegangan ini berpotensi memperburuk hubungan bilateral kedua negara, yang sebelumnya relatif stabil. Kini, dunia menanti langkah lanjutan dari Brasil dan bagaimana eskalasi ini akan mengguncang pasar global. (alf)

 

RI Tak Perlu Negosiasi Tarif 32%, Guru Besar UI Yakini Kebijakan Trump Juga Bebani Rakyat AS

IKPI, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menilai Indonesia tidak perlu tergesa-gesa melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait pengenaan tarif impor sebesar 32% oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Ia meyakini, kebijakan tersebut justru akan menjadi beban bagi masyarakat AS sendiri.

“Atas dasar hal tersebut, sebaiknya Indonesia tidak perlu untuk melakukan negosiasi dengan pihak AS, mengingat syarat yang ditentukan oleh Trump sangat mustahil untuk dipenuhi,” ujar Prof. Hikmahanto, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, dalam surat resmi yang dikirim Trump kepada Presiden RI Prabowo Subianto, disebutkan bahwa perusahaan Indonesia bisa terbebas dari tarif apabila bersedia melakukan investasi di dalam negeri AS. Namun, ia menilai opsi tersebut tidak realistis.

“Sejatinya bila Indonesia hendak mendapatkan tarif 0% bukan didapat melalui negosiasi, tapi dengan melakukan investasi di Amerika Serikat. Tapi mahalnya biaya produksi di sana membuat syarat ini hampir tak mungkin dilakukan,” jelasnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah tidak gegabah dan menunggu kejelasan implementasi tarif hingga 1 Agustus 2025, sebagaimana tenggat yang disebutkan dalam kebijakan tersebut.

Lebih lanjut, Prof. Hikmahanto menilai kebijakan Trump ini tak hanya menyasar Indonesia, melainkan merupakan langkah proteksionis yang bisa memicu dampak global. Ironisnya, kebijakan itu justru bisa berbalik merugikan masyarakat AS sendiri.

“Tarif yang makin tinggi hanya akan membebani konsumen di Negeri Paman Sam. Bila rakyat AS merasa dirugikan, mereka berpotensi melakukan tindakan ketatanegaraan terhadap Trump,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa isu ini bukanlah persoalan bilateral semata. “Permasalahan kebijakan tarif Trump bukanlah masalah antara AS dengan Indonesia, tetapi masalah AS dengan dunia,” ujarnya. (alf)

 

 

id_ID