Tak Ada APBN-P 2025, DPR dan Pemerintah Sepakat Gunakan Fleksibilitas Anggaran

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bulat untuk tidak melakukan revisi terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Meski realisasi penerimaan pajak menunjukkan tanda-tanda kontraksi di awal tahun, perubahan postur anggaran dinilai belum diperlukan.

“Kita sudah memutuskan tidak ada APBN-P,” kata Misbakhun saat memberi keterangan kepada media di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, fleksibilitas tetap terjaga berkat kewenangan yang dimiliki Presiden dalam menyesuaikan alokasi anggaran. Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yang memberikan ruang bagi kepala pemerintahan untuk mengatur ulang anggaran sesuai kebutuhan kementerian dan struktur kabinet baru.

“Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian anggaran sesuai dengan kebutuhan kementerian dan lembaga, sejalan dengan struktur pemerintahan yang telah dibentuk,” jelasnya.

Misbakhun juga menilai bahwa tren penerimaan negara yang melambat di awal tahun bukanlah hal yang luar biasa. Ia menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengejar target penerimaan, terutama dari sektor perpajakan.

“Pemerintah punya instrumen dan langkah-langkah untuk memperkuat kinerja penerimaan negara. Ini hanya soal waktu dan strategi yang tepat,” ujar politisi dari Partai Golkar itu. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Pungutan Ekspor Kelapa Bulat

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kelapa bulat, menyusul keluhan terkait kelangkaan pasokan di dalam negeri akibat meningkatnya ekspor komoditas tersebut. Kebijakan ini diharapkan tak hanya menjaga ketersediaan kelapa di pasar lokal, tetapi juga memperkuat instrumen fiskal negara melalui pengenaan beban ekspor.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, tingginya volume ekspor kelapa bulat telah menyebabkan pasokan dalam negeri menipis dan berdampak pada lonjakan harga. Untuk itu, pemerintah akan memberlakukan pungutan ekspor guna mengendalikan arus keluar komoditas ini.

“Sekarang banyak keluhan karena kelapa terlalu banyak diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri meningkat. Kita sudah bicara dengan pelaku industri dan memutuskan akan memakai instrumen pungutan ekspor,” kata Budi usai acara Harkornas 5K di TMII, Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025).

Meskipun bukan termasuk pajak dalam arti umum, pungutan ekspor ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Selain berfungsi sebagai alat pengendalian (regulatif), kebijakan ini juga memberikan tambahan pemasukan bagi kas negara dari sektor ekspor pertanian yang selama ini dinilai masih kurang tergarap.

“Dengan diberlakukannya pungutan ini, ekspor kelapa akan berkurang secara alami. Pasokan dalam negeri akan kembali seimbang, harga bisa stabil, dan negara pun mendapat manfaat fiskal dari pungutan tersebut,” ujar Budi.

Rencana ini telah mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga terkait, dan saat ini sedang difinalisasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaannya.

“Semua pihak sudah sepakat. Tinggal tunggu PMK dari Kementerian Keuangan. Mudah-mudahan segera keluar, karena urgensinya sudah sangat jelas,” tambahnya.

Langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah mencoba menyeimbangkan antara dorongan ekspor dan kebutuhan dalam negeri, sekaligus menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan.(alf)

 

Legalisasi Kasino: Antara Devisa dan Pajak, Pemerintah Diminta Belajar dari UEA dan Malaysia

IKPI, Jakarta: Wacana legalisasi kasino kembali mencuat ke permukaan, kali ini disuarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian serius terhadap kemungkinan membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, dengan merujuk pada pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia.

Menurut Hikmahanto, pemerintah harus membuka mata terhadap realitas perputaran uang dalam aktivitas perjudian, terutama judi online yang marak dilakukan secara ilegal. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa aliran dana judi online sangat besar, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar yang telah melegalkan kasino secara terbuka.

“Ada tiga hal penting yang perlu diasesmen pemerintah. Pertama, soal besarnya perputaran uang judi online di luar negeri. Kedua, soal realita bahwa masyarakat kita masih belum bisa melepaskan diri dari praktik judi, meskipun secara normatif dilarang. Dan ketiga, soal penegakan hukum, yang hingga kini lemah karena lokasinya berada di luar yurisdiksi kita,” ujar Hikmahanto, Sabtu (17/5/2025).

Ia menekankan bahwa legalisasi kasino bukan berarti melegalkan perjudian secara bebas. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengadopsi pendekatan seperti Malaysia atau Singapura yang hanya membuka kasino di kawasan tertentu dengan pengawasan ketat. “Di Singapura, warga negaranya sendiri harus memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke kasino. Pendekatan ini bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, pembukaan kasino di kawasan ekonomi khusus dapat menjadi sumber pemasukan baru melalui pungutan pajak dan retribusi. Hikmahanto mengusulkan agar dana yang diperoleh diarahkan untuk program-program pembangunan, namun tidak menyentuh sektor-sektor sensitif yang berkaitan dengan agama atau moralitas.

“Jika negara bisa mengatur dan menarik pajak dari aktivitas ini, mengapa tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat? Apalagi selama ini judi ilegal justru merajalela dan tidak menyumbang apa pun ke kas negara,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah toleransi terhadap perjudian terbatas, seperti melalui program Porkas dan SDSB pada era Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, pemasukan dari aktivitas tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum.

Hikmahanto menekankan pentingnya keberanian politik pemerintah untuk bersikap realistis dan solutif. “Uni Emirat Arab saja yang melarang judi bisa membuka kasino dalam kawasan khusus. Indonesia seharusnya juga bisa membuat kebijakan yang rasional, tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar bangsa. Yang penting, ilegalitas harus diberantas dan pajaknya dimanfaatkan sebaik mungkin,” tegasnya.

Dengan potensi devisa dan penerimaan pajak yang signifikan, legalisasi kasino di wilayah terbatas bisa menjadi solusi pragmatis, asalkan dilengkapi dengan pengawasan ketat, aturan yang jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif perjudian. (alf)

 

 

Pajak Pesangon Naik tapi Setoran Pajak Turun: Apa yang Terjadi?

IKPI, Jakarta: Meski jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat tajam awal tahun ini, penerimaan pajak justru mengalami penurunan signifikan. Fenomena ini mengundang pertanyaan: mengapa setoran pajak turun di tengah potensi kenaikan penerimaan dari pajak pesangon?

Data Apindo mencatat hampir 74 ribu pekerja di-PHK sepanjang 1 Januari–10 Maret 2025. Jika tiap korban rata-rata menerima Rp100 juta pesangon, dan dikenakan pajak 5%, negara bisa mengantongi sekitar Rp370 miliar dari potongan pajak pesangon semata.

Namun, dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, penerimaan pajak Januari hanya mencapai Rp88,89 triliun—anjlok 41,86% dibandingkan periode sama tahun lalu. PPh Pasal 21, yang mencakup gaji dan pesangon karyawan, juga turun dari Rp28,3 triliun (Januari 2024) menjadi hanya Rp15,95 triliun tahun ini.

Ekonom CELIOS Nailul Huda menyebut PHK masif sebagai penyebab utama. “Ketika pendapatan masyarakat menurun, konsumsi juga turun. Itu berimbas langsung ke penerimaan PPh 21 dan PPN,” ujarnya baru-baru ini.

Situasi ini menunjukkan dilema: meski pajak pesangon bisa menambah kas negara, daya beli masyarakat tertekan akibat hilangnya pekerjaan dan tingginya potongan. Jika tak diatasi, penerimaan pajak berpotensi terus turun karena melemahnya ekonomi riil.

Pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan, tetap mengandalkan potensi penerimaan dari pesangon atau memberikan keringanan fiskal agar ekonomi masyarakat tetap bergerak. (alf)

Pajak Pesangon Korban PHK Diprotes, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Tarif Progresif

IKPI, Jakarta: Pengenaan pajak atas pesangon yang diterima korban pemutusan hubungan kerja (PHK) memicu protes dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja. Mereka menilai, sistem pajak progresif atas pesangon memperberat beban korban PHK yang tengah berjuang bertahan hidup tanpa pendapatan tetap.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengatakan bahwa potongan pajak pada uang pesangon, meski mengikuti aturan yang berlaku, sangat tidak berpihak pada kondisi pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan.

“Korban PHK itu butuh uang pesangon untuk bertahan hidup, bayar makan, listrik, hingga pendidikan anak. Ketika pesangon mereka dipotong pajak 5% atau bahkan 25%, itu sangat menyulitkan,” kata Mirah, Kamis (15/05/2025).

Ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi tarif pajak pesangon, terutama bagi mereka yang menerima di bawah Rp100 juta. “Harusnya dibebaskan dari pajak. Mereka sudah rutin bayar PPh selama bekerja, masa setelah di-PHK masih juga dikenakan pajak?”, ujarnya.

Dalam PMK Nomor 16/PMK.03/2010, pesangon memang dikenai PPh Pasal 21 final dengan tarif progresif: mulai dari 0% untuk penghasilan hingga Rp50 juta, dan bisa mencapai 25% bila di atas Rp500 juta.

Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengusulkan agar tarifnya disesuaikan dengan kondisi khusus korban PHK. “Sebaiknya tarifnya lebih ringan dibandingkan pajak penghasilan rutin karena ini bukan pendapatan reguler, melainkan kompensasi terakhir,” ujarnya, Jumat (16/05/2025). (alf)

Pemerintah Genjot Efektivitas Pajak sebagai Instrumen Stabilitas

IKPI, Jakarta: Di tengah ketidakpastian global yang masih membayangi perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia bersikap proaktif dengan merancang kebijakan strategis untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu instrumen yang kembali mendapat sorotan sebagai pilar penting stabilitas ekonomi adalah kebijakan perpajakan.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyampaikan bahwa kebijakan fiskal, termasuk perpajakan, akan menjadi tulang punggung dalam menjaga daya beli masyarakat, memperkuat pembiayaan sektor produktif, dan menopang belanja negara secara efisien.

“Efektivitas kebijakan pajak sangat krusial dalam konteks saat ini. Bukan hanya sebagai sumber pendapatan negara, tetapi juga sebagai alat distribusi dan stimulus yang bisa diarahkan secara presisi untuk menopang konsumsi dan investasi,” jelas Haryo dalam keterangan resminya, diterima Minggu (17/5/2025).

Sejalan dengan kebijakan jangka pendek yang difokuskan pada penguatan konsumsi rumah tangga dan peningkatan kemudahan berusaha, insentif perpajakan seperti pengurangan tarif PPh UMKM dan fasilitas tax holiday untuk sektor industri strategis kembali disorot sebagai langkah konkret mendukung pemulihan ekonomi.

Tak hanya itu, Pemerintah juga mempercepat proses digitalisasi administrasi perpajakan guna memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan. Implementasi sistem perpajakan berbasis data dan teknologi, seperti integrasi NIK-NPWP dan perluasan e-faktur, menjadi bagian dari transformasi struktural yang dijalankan secara paralel dengan kebijakan deregulasi investasi.

“Pajak bukan semata-mata kewajiban, tetapi instrumen kolaboratif antara negara dan pelaku usaha untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” tambah Haryo.

Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tetap tumbuh sehat di atas 10% pada tahun 2025, ditopang oleh reformasi sistem perpajakan, peningkatan efektivitas pengawasan, dan sinergi antar-lembaga dalam pengumpulan data ekonomi.

Dengan kombinasi kebijakan fiskal adaptif dan strategi jangka menengah seperti hilirisasi industri, transisi energi, dan transformasi digital, Pemerintah optimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% masih dalam jangkauan, meski gejolak global belum sepenuhnya mereda. (alf)

 

 

 

 

 

PPh Final 0,5% untuk Pengalihan Real Estat ke KIK-DIRE

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengatur perlakuan pajak yang lebih kompetitif bagi pelaku usaha properti dan investor institusi melalui skema investasi pasar modal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan real estat ke Special Purpose Company (SPC) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema Dana Investasi Real Estat (DIRE) dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari nilai bruto pengalihan.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 201 dan Pasal 202 PMK 81/2024, dan secara khusus menyasar transaksi pengalihan aset properti dalam kerangka KIK tertentu, yakni Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat (DIRE). Skema ini dapat melibatkan atau tidak melibatkan SPC sebagai entitas khusus dalam struktur kepemilikan aset.

Dalam Pasal 202 disebutkan bahwa tarif PPh final sebesar 0,5% dikenakan atas jumlah bruto nilai pengalihan real estat, yang meliputi:

• Seluruh jumlah sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK, jika tidak terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut; atau

• Seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan SPC atau KIK.

Penjelasan ini menandakan pentingnya perhatian terhadap aspek transfer pricing dan penilaian kewajaran harga pengalihan aset, terutama ketika pihak pengalihan dan pihak penerima berada dalam satu grup usaha atau memiliki keterkaitan kepemilikan.

Ketidaksesuaian dengan nilai pasar dapat memicu koreksi fiskus, sehingga konsultan pajak perlu memastikan dokumentasi dan pembuktian arm’s length principle (ALP) dilakukan secara tepat.

Kebijakan ini sekaligus membuka ruang perencanaan pajak yang sah (tax planning) bagi korporasi properti dan investor besar. Dengan tarif PPh final yang relatif rendah dibandingkan skema pengalihan biasa, pemanfaatan struktur KIK-DIRE menjadi lebih menarik, apalagi jika digabungkan dengan potensi yield dari pengelolaan portofolio aset properti dalam skema investasi kolektif.

Skema DIRE sebelumnya dianggap belum tumbuh optimal di Indonesia karena tantangan regulasi dan insentif fiskal yang belum cukup menarik. Dengan hadirnya PMK 81/2024 ini, arah kebijakan pemerintah tampaknya makin mendukung pertumbuhan Real Estate Investment Trusts (REITs) versi lokal, dengan penekanan pada transparansi, likuiditas aset, dan efisiensi perpajakan. (alf)

 

KPK Dorong Pendanaan Partai Politik Dibiayai APBN 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, menyampaikan bahwa lembaganya mengusulkan kebijakan alokasi anggaran negara bagi partai politik sebagai strategi jangka panjang untuk mencegah praktik korupsi di sektor politik dan ekonomi.

Menurut Fitroh, tingginya biaya kontestasi politik di berbagai level, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilu presiden, mendorong calon pejabat mencari sokongan dana dari pihak tertentu. Hal ini kerap menimbulkan konflik kepentingan usai mereka terpilih.

“Kebutuhan dana yang besar dalam proses pencalonan membuat mereka bergantung pada pemodal. Akibatnya, setelah menjabat, timbal balik dalam bentuk akses proyek atau kebijakan pun kerap terjadi,” ujarnya pada Jumat (16/5/2025).

Fenomena ini, lanjut Fitroh, menciptakan celah korupsi dalam belanja negara, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa, serta proyek-proyek infrastruktur di berbagai kementerian dan lembaga.

Dengan mendanai partai politik secara resmi melalui APBN, KPK berharap dapat memutus mata rantai ketergantungan politik terhadap modal swasta dan sekaligus memperkuat akuntabilitas fiskal nasional.

Usulan ini menjadi sorotan dalam konteks reformasi pendanaan politik dan penguatan tata kelola anggaran negara, yang selama ini kerap dikaitkan dengan lemahnya transparansi dalam proyek pemerintah. (alf)

 

RUU Pajak Remitansi AS Ancam Dana Kiriman Diaspora: India dan Indonesia Berpotensi Terdampak

IKPI, Jakarta: Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) baru di Amerika Serikat memicu kekhawatiran luas di kalangan komunitas imigran. Pasalnya, usulan legislatif yang diajukan oleh Komite Ways and Means di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS itu berencana mengenakan pajak sebesar 5 persen terhadap setiap pengiriman uang ke luar negeri yang dilakukan oleh non-warga negara AS.

RUU bertajuk The One Big Beautiful Bill ini menyisipkan ketentuan pajak tersebut di halaman ke-327 dari total 389 halaman dokumen. Pajak ini akan berlaku bagi pemegang visa kerja seperti H-1B, pemilik green card yang belum berstatus warga negara, serta individu lain yang mengirim dana ke luar AS, termasuk untuk keperluan keluarga atau pendidikan.

Mengutip laporan The Times of India, kebijakan ini diperkirakan akan memukul keras diaspora India, komunitas terbesar penerima remitansi dari AS. Data Bank Sentral India menunjukkan, remitansi dari AS ke India mencapai 32 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2023–2024. Jika pajak 5 persen diterapkan, potensi dana sebesar 1,6 miliar dolar AS bisa terkikis setiap tahunnya dari kantong para pengirim.

Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada ambang batas minimum transaksi yang dibebaskan dari pungutan ini. Artinya, bahkan pengiriman uang dalam jumlah kecil pun akan ikut terpangkas pajak, kecuali pengirim telah berstatus sebagai verified US sender warga negara atau penduduk tetap AS yang telah terverifikasi.

Pemungutan pajak akan dilakukan langsung oleh penyedia jasa remitansi, seperti bank atau lembaga pengiriman uang. Namun, pengecualian hanya berlaku jika pengirim adalah warga negara AS dan penyedianya tergolong sebagai qualified remittance transfer provider.

Tak hanya India yang terdampak. Negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, juga berisiko terkena imbas. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, terdapat lebih dari 63 ribu Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di AS, sebagian besar bekerja di sektor energi, konstruksi, layanan perhotelan, serta pendidikan.

Dengan berlakunya aturan ini, uang kiriman ke tanah air dari diaspora Indonesia juga akan dikenai potongan 5 persen, kecuali pengirim telah resmi menjadi warga negara atau penduduk tetap AS.

RUU tersebut diperkirakan akan masuk tahap pemungutan suara di DPR AS pada akhir Mei 2025 dan berpotensi disahkan menjadi undang-undang paling lambat Juli. Para analis keuangan menyarankan agar imigran non-warga negara AS mempertimbangkan untuk mengirim dana dalam jumlah besar sebelum kebijakan baru ini berlaku.

Di tengah upaya berbagai negara mengandalkan remitansi sebagai sumber devisa penting, langkah AS ini dinilai dapat memperlambat aliran dana lintas negara dan menambah tekanan ekonomi bagi jutaan pekerja migran. Jika benar-benar diterapkan, dunia bisa menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap pengiriman uang internasional. (alf)

 

 

 

 

 

UMKM Beromzet Kecil di Malang Berpeluang Bebas Pajak, Ini Aturannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Malang tengah menyusun regulasi baru yang akan memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya di sektor kuliner. Lewat revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023, pemerintah berencana membebaskan pajak bagi usaha yang beromzet di bawah Rp10 juta per bulan.

Draft revisi tersebut kini sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang. Jika disahkan, kebijakan ini akan mengubah ketentuan sebelumnya dalam Perda Nomor 8 Tahun 2019, yang menetapkan batasan omzet kena pajak mulai dari Rp5 juta per bulan.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto, menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung pertumbuhan UMKM.

“Kami sedang melakukan verifikasi langsung ke lapangan guna memastikan data pelaku usaha kuliner yang penghasilannya di bawah Rp10 juta, agar mereka bisa dibebaskan dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu sektor makanan dan minuman (PBJT Mamin),” ujar Handi, dikutip, Sabtu (17/5/2025).

Namun, pengecualian pajak ini hanya berlaku bagi usaha yang belum mencapai omzet Rp10 juta per bulan. Sementara itu, bisnis makanan dan minuman yang sudah memiliki pendapatan di atas Rp10 juta dan menyediakan tempat duduk untuk pengunjung, akan tetap dikenakan pajak restoran sesuai ketentuan baru.

Langkah pendataan juga mencakup pelaku usaha kuliner malam hari, sebagai bagian dari evaluasi apakah usaha mereka termasuk dalam kategori objek pajak. Bapenda menegaskan bahwa isu mengenai rencana pemungutan pajak dari pedagang kecil tidak benar.

“Tidak ada niat menarik pajak dari usaha kecil. Justru, kami sedang menyusun regulasi agar mereka mendapatkan perlindungan,” tegas Handi.

Dengan regulasi ini, Pemkot Malang berharap UMKM dapat tumbuh lebih kuat tanpa terbebani pajak yang tidak proporsional terhadap skala usaha mereka. (alf)

 

 

 

 

id_ID