Konsultan Pajak hingga Anggota Keluarga Bisa Jadi Kuasa dengan Kompetensi Tertentu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan mengenai hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Dalam keterangannya, kini Wajib Pajak dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasa untuk membantu menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Siapa yang Dapat Menjadi Kuasa?

1. Konsultan Pajak

2. Pihak Lain dengan kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan.

3. Keluarga, termasuk istri, suami, anak kandung, anak tiri, dan cucu.

Adapun kuasa wajib memiliki kompetensi tertentu seperti jenjang pendidikan, sertifikat, atau pembinaan dari asosiasi atau Kementerian Keuangan, kecuali jika kuasa adalah anggota keluarga.

Selain itu, kuasa harus memiliki surat kuasa khusus dari pihak yang menunjuknya.

Hak Kuasa Wajib Pajak:

1. Mendapatkan layanan perpajakan tertentu sesuai surat kuasa.

2. Menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT).

3. Memperoleh layanan konsultasi dan informasi terbaru terkait perpajakan.

Kewajiban Kuasa Wajib Pajak:

1. Mematuhi ketentuan perpajakan.

2. Menyerahkan surat kuasa khusus kepada pegawai DJP.

Namun, kuasa tidak dapat menjalankan tugas jika terbukti menghalangi pelaksanaan peraturan perpajakan atau tersangkut tindak pidana.

Adapun dasar hukum hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak sudah diatur dalam:

1. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

2. Pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022.

Wajib Pajak juga dapat mengakses informasi resmi DJP melalui, portal DJP di www.pajak.go.id atau Kring Pajak di 1500200 dan email informasi@pajak.go.id. (alf)

Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global untuk Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT) sebagai bagian dari kesepakatan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE) yang dirancang oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD. Langkah ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 dan mulai berlaku pada tahun pajak 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui tax haven sekaligus menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil. “Kesepakatan ini sangat positif dalam meningkatkan keadilan sistem perpajakan global,” ujar Febrio melalui keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (17/1/2025)

GMT akan berlaku bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro. Wajib pajak ini akan dikenakan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen.

Jika tarif pajak efektif yang dikenakan di negara tertentu kurang dari 15 persen, perusahaan tersebut diwajibkan membayar pajak tambahan (top up) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya. Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up harus diselesaikan paling lambat 31 Desember 2026.

Pemerintah memberikan waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir untuk pelaporan GMT. Namun, khusus untuk tahun pertama penerapan, diberikan kelonggaran hingga 18 bulan. Artinya, untuk tahun pajak 2025, pelaporan pertama wajib disampaikan paling lambat 30 Juni 2027.

Ketentuan teknis mengenai formulir, tata cara pengisian, pembayaran, dan pelaporan surat pemberitahuan tahunan akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dukungan untuk Iklim Investasi

Febrio memastikan bahwa penerapan GMT tidak akan mengurangi daya saing investasi di Indonesia. Pemerintah akan memberikan insentif khusus, terutama bagi sektor-sektor yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menambahkan bahwa insentif alternatif dalam bentuk nonfiskal sedang dirancang untuk mengimbangi dampak penerapan GMT.

Saat ini, Indonesia bergabung dengan lebih dari 40 negara yang telah mengadopsi kebijakan ini, di mana mayoritas negara mulai menerapkannya pada tahun 2025. Langkah ini menjadi salah satu upaya Indonesia untuk beradaptasi dengan tren perpajakan global sekaligus mendukung integrasi ekonomi internasional yang lebih transparan. (alf)

Pengamat Nilai Kebijakan Tax Amnesty dan Family Office Tak Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, menyatakan bahwa kebijakan seperti Tax Amnesty dan Family Office sangat tidak berkeadilan. Alasannya, BPS baru saja mengumumkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat meningkat.

Menurutnya, khususnya pajak penghasilan (PPh), seharusnya berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan—mengambil dari kelompok kaya untuk mendukung kelompok bawah. Namun, ia menilai bahwa dua kebijakan tersebut justru lebih menguntungkan kelompok superkaya.

“Family Office bisa menjadi alat bagi mereka untuk mengurangi beban pajaknya, sedangkan Tax Amnesty Jilid III menguntungkan wajib pajak yang tidak patuh,” kata Fajri di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Fajry juga menyoroti potensi dampak negatif kebijakan tersebut terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama Otoritas Pajak. Ia khawatir bahwa hal ini dapat merugikan Presiden Prabowo Subianto dalam merealisasikan janji-janji politiknya, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Ia menekankan bahwa kebijakan ini berisiko mengurangi penerimaan pajak dalam jangka panjang.

“Tax Amnesty Jilid III akan membuat wajib pajak semakin tidak patuh dalam jangka menengah-panjang. Sedangkan Family Office dapat berdampak pada penerimaan PPh Pasal 21, mengingat kontribusi tarif tertinggi mencapai 12,6% dari total penerimaan pajak,” kata Fajry.

Dalam pernyataannya, Fajry mengimbau Presiden Prabowo untuk mempertimbangkan kembali rencana penerapan kebijakan tersebut.

“Saya berharap Pak Prabowo menolak dua rencana tersebut demi keadilan sosial dan keberlanjutan penerimaan negara,” katanya. (alf)

Penerapan Aplikasi Coretax Resmi Dimulai, IKPI Soroti Kendala dan Berikan Masukan kepada DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pino Siddharta, menyampaikan pandangannya terkait penerapan aplikasi Coretax yang resmi berjalan sejak 1 Januari 2025. Langkah ini dianggap sebagai upaya pamungkas pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi perpajakan yang modern, akurat, sistematis, dan terintegrasi, dengan mengacu pada single identification number.

Menurut Pino, Coretax memungkinkan administrasi perpajakan dilakukan secara real-time melalui sistem online yang terhubung langsung dengan server Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tanpa batasan waktu dan tempat.

Sekadar informasi, hingga kini data milik DJP sudah terhubung dengan 106 perbankan; 9 entitas lain di kementerian keuangan; 190 kementerian dan lembaga (K/L); 38 pemerintah provinsi; 98 pemerintah kota; 416 pemerintah kabupaten; serta 20 entitas lain, seperti badan usaha milik negara nonperbankan, perusahaan fintech, dan marketplace. Hal ini diharapkan mampu menyederhanakan proses administrasi perpajakan.

Lebih lanjut Pino mengatakan, meskipun sudah berjalan selama 16 hari, berbagai kendala teknis masih ditemui dalam penerapan sistem ini. “Beberapa masalah seperti server DJP yang error, menu yang belum dapat diakses, hingga data yang belum sinkron dengan data AHU Kemenkumham menjadi sumber kekhawatiran wajib pajak dan konsultan pajak. Walau DJP telah berupaya keras mengatasi masalah ini, situasi ini tetap menambah tekanan bagi kedua belah pihak,” ujar Pino di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Untuk mengurangi dampak tersebut, DJP telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak No. 1 Tahun 2025, yang memberikan masa transisi tiga bulan (1 Januari – 31 Maret 2025) terkait pembuatan faktur pajak, khususnya untuk barang non-mewah. Dalam masa ini, wajib pajak dapat memilih dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan, baik dengan tarif lama 11% maupun tarif baru 12%.

Namun, Pino mengusulkan langkah tambahan berupa penerapan masa kahar (force majeure) selama aplikasi Coretax belum sepenuhnya berfungsi dengan optimal. “Masa kahar ini diperlukan agar DJP membebaskan sanksi perpajakan akibat keterlambatan yang disebabkan oleh kendala aplikasi Coretax. Hal ini akan memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak yang sudah berusaha menjalankan kewajibannya,” jelasnya.

IKPI melalui departemen terkait telah mengumpulkan masukan dari anggotanya terkait implementasi Coretax. Hingga 13 Januari 2025, tercatat 34 permasalahan yang dihadapi wajib pajak dan konsultan pajak. Laporan tersebut telah disampaikan kepada DJP pada 14 Januari 2025 untuk ditindaklanjuti.

Pino menegaskan bahwa IKPI sebagai mitra strategis pemerintah akan terus mengawasi dan memberikan masukan demi kemajuan sistem perpajakan nasional. “Kami akan terus menyampaikan kendala yang dihadapi wajib pajak agar Coretax bisa menjadi sistem yang lebih baik dan mendukung penerimaan pajak dengan tetap menjunjung asas keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan administrasi,” ujarnya.

Langkah penerapan Coretax ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi modernisasi perpajakan Indonesia meskipun tantangan di awal implementasi tidak dapat dihindari. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan diimbau untuk terus bersinergi demi tercapainya sistem perpajakan yang lebih baik dan berkelanjutan. (bl)

Luhut Temukan Ratusan Pemuda untuk Bantu Pengembangan Sistem Perpajakan dan Cari Pengemplang Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan sudah menemukan 300 pemuda yang akan membantu pemerintah mengembangkan sistem perpajakan. Tujuannya untuk menelusuri para pengemplang pajak, yang dinilai selama ini telah merugikan negara.

Luhut mengungkapkan, bahwa pemerintah saat ini tengah mengembangkan GovTech atau sebuah sistem data terintegrasi yang mencakup seluruh kementerian/lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan data perpajakan.

“Saya sudah ketemu mereka, dan mereka siap membantu pemerintah mencari siapa yang nggak bayar pajak ini,” ujar Luhut, Rabu (15/1/2025).

Namun, ia menegaskan pentingnya pendekatan yang hati-hati dalam menelusuri para pengemplang pajak. Menurutnya, pemerintah tidak akan langsung memungut pajak dari semua wajib pajak tanpa pertimbangan matang.

“Kita mesti lihat baik-baik dan dengan kepala dingin melihat ini. Jangan nanti menimbulkan masalah pula. Bisa nggak kita nyari dulu, kita masuk dulu semua ke dalam, jangan terus semua langsung dipajakin,” jelasnya.

Luhut juga menyoroti peran Coretax, salah satu komponen utama dari GovTech yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Dengan implementasi sistem ini, ada potensi tambahan penerimaan negara hingga Rp1.500 triliun.

“World Bank bilang, kalau kalian bisa koleksi pajak di bawah ini dengan benar, kalian akan bisa mendapatkan 6,4 persen dari GDP kalian. Itu setara kira-kira Rp1.500 triliun,” kata Luhut.

Program ini diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memberdayakan generasi muda untuk berkontribusi secara langsung dalam pembangunan ekonomi nasional melalui inovasi teknologi. (alf)

Pemerintah Siapkan Insentif Nonfiskal untuk Imbangi Dampak Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji alternatif insentif guna menyeimbangkan dampak dari penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen. Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpengaruh terhadap mekanisme pembebasan pajak (tax holiday) di Indonesia.

“Kami sedang mengkaji insentif nonfiskal untuk diberikan kepada investor sebagai kompensasi atas dampak GMT. Hal ini penting untuk tetap menjaga daya tarik investasi di Indonesia,” ujar Rosan dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 di Jakarta, Rabu (15/1/2025).

BKPM berencana berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya untuk merumuskan kebijakan insentif alternatif yang efektif. “Kami sedang berdiskusi terkait bagaimana implikasi GMT terhadap kebijakan fiskal kita. Fokusnya adalah memberikan insentif dalam bentuk lain, bukan hanya tax holiday,” katanya.

Implikasi Pajak Minimum Global

GMT, yang disepakati dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), bertujuan mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan global di atas 750 juta euro, yang harus membayar pajak minimal 15 persen.

Jika pajak yang dibayar di suatu yurisdiksi di bawah 15 persen, negara asal perusahaan berhak memungut pajak tambahan (top-up tax). Contohnya, jika suatu perusahaan dikenai pajak 5 persen di Indonesia, negara asalnya dapat menambahkan 10 persen hingga mencapai tarif minimal.

Pengaruh pada Kebijakan Tax Holiday

Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) Badan saat ini sebesar 22 persen. Namun, dengan adanya GMT, pemerintah hanya dapat memberikan pembebasan pajak hingga 7 persen untuk memenuhi tarif minimum global.

Pemerintah tetap memperpanjang kebijakan tax holiday hingga 31 Desember 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan di sektor industri pionir mendapatkan pembebasan PPh Badan hingga 100 persen.

Namun, perusahaan multinasional yang memanfaatkan tax holiday tetap harus memenuhi ketentuan GMT. Bila tingkat pajak efektif yang dibayarkan di bawah 15 persen, perusahaan wajib membayar pajak tambahan minimum domestik.

Rosan menegaskan, insentif nonfiskal akan menjadi alternatif untuk menjaga iklim investasi. Insentif ini dapat berupa kemudahan perizinan, fasilitas infrastruktur, atau dukungan lainnya yang tidak melibatkan pengurangan pajak. “Kami memastikan bahwa Indonesia tetap kompetitif di mata investor meskipun ada kebijakan GMT,” tutupnya.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mempertahankan daya saing Indonesia sebagai destinasi investasi strategis di tengah perubahan kebijakan global. (alf)

Kemenperin Usulkan Insentif dan Relaksasi Pajak untuk Pemulihan Sektor Otomotif

IKPI, Jakarta: Industri otomotif Indonesia diprediksi mengalami kontraksi signifikan sebesar 16,2% pada tahun 2024. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat serta kenaikan suku bunga kredit kendaraan bermotor yang membebani konsumen. Dampaknya, sektor yang menyumbang kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ini diperkirakan akan mengalami penurunan output sekitar Rp4,21 triliun, dengan sektor terkait (backward linkage) mengalami penurunan sebesar Rp4,11 triliun dan sektor hilir (forward linkage) Rp3,519 triliun.

Menurut Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Setia Diarta, industri otomotif Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih besar pada tahun 2025. Tantangan tersebut terutama terkait dengan kebijakan baru seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penerapan opsi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

“Dengan adanya kenaikan PPN serta penerapan opsi PKB dan BBNKB, kami memperkirakan akan ada dampak yang lebih besar pada daya beli masyarakat serta industri otomotif secara keseluruhan,” ungkap Setia Diarta dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) yang bertajuk “Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah” di Jakarta, Selasa (14/1/2024).

Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi perekonomian nasional, Kemenperin mengusulkan sejumlah insentif untuk mendukung keberlanjutan sektor ini, terutama dalam menghadapi tantangan yang muncul pada tahun 2025. Salah satu usulan utama adalah pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk kendaraan hybrid (PHEV, Full, Mild) sebesar 3%, serta insentif untuk kendaraan listrik (EV) dengan PPnBM DTP sebesar 10%.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk mempertimbangkan penundaan atau pemberian keringanan pada penerapan opsi PKB dan BBNKB, yang saat ini telah diberlakukan di 25 provinsi. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli konsumen dan meminimalisir dampak negatif bagi industri otomotif, baik di pasar domestik maupun global.

Kinerja Industri Otomotif 2024

Meski menghadapi tantangan besar, beberapa segmen industri otomotif Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik sepanjang tahun 2024. Industri Kendaraan Bermotor (KBM) roda empat, misalnya, mencatatkan produksi sebesar 1,19 juta unit (113,9% dari target), penjualan 865 ribu unit (113,9%), dan ekspor CBU (Complete Built-Up) mencapai 472 ribu unit (16,5%). Sementara itu, industri KBM roda dua mencatatkan produksi sebesar 6,91 juta unit (11,5%), penjualan 6,33 juta unit (11,5%), serta ekspor CBU sebesar 572 ribu unit (10,45%).

Meskipun sektor otomotif dihadapkan pada tantangan berat, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait terus berupaya mencari solusi guna menjaga pertumbuhan sektor ini. Langkah-langkah seperti insentif fiskal dan kebijakan relaksasi pajak diyakini dapat memberikan dorongan yang diperlukan agar industri otomotif kembali mencatatkan kinerja positif di masa depan.

Diharapkan, kebijakan ini tidak hanya mampu mengatasi tantangan jangka pendek, tetapi juga menjaga daya saing industri otomotif Indonesia di pasar global yang semakin kompetitif. (alf)

DJP Kaji Penghapusan PPN Minyakita untuk Tekan Harga

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang mengkaji kemungkinan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk Minyakita. Langkah ini dilakukan merespons keluhan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan yang menilai kebijakan wajib pungut PPN menjadi penyebab lonjakan harga di pasar.

Menteri Perdagangan Budi Santoso bahkan telah menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meminta relaksasi kewajiban tersebut. Hal ini diharapkan dapat menurunkan harga Minyakita yang saat ini dijual di kisaran Rp17 ribu hingga Rp19 ribu per liter, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.700 per liter.

“Terkait penghapusan PPN dan dampaknya terhadap penjualan Minyakita, saat ini masih dalam pembahasan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti, Selasa (14/1/2025).

Ia menegaskan bahwa kewajiban BUMN sebagai pemungut PPN bukanlah kebijakan baru. Ketentuan tersebut telah berlaku sejak 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012, yang kemudian diperkuat oleh PMK Nomor 8/PMK.03/2021.

Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai aturan ini menjadi salah satu penyebab harga Minyakita sulit dikendalikan. “Tantangan BUMN Pangan dalam mendistribusikan Minyakita salah satunya adalah karena mereka membutuhkan relaksasi wajib pungut,” ujar Staf Ahli Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi, Senin (13/1/2025).

Minyakita, yang dikenakan PPN sebesar 11 persen, menjadi lebih mahal di pasar. Meski demikian, Kemendag belum memberikan data konkret terkait kontribusi wajib pungut terhadap kenaikan harga.

Kemendag optimistis bahwa penghapusan atau relaksasi PPN dapat menjadi solusi untuk menekan harga Minyakita. Namun, Kemenkeu belum memastikan apakah usulan ini akan diterima.

“Saat ini fokus kami adalah menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan stabilitas harga di pasar. Langkah apa pun yang diambil, akan memperhatikan kedua hal tersebut,” kata Dwi Astuti.

Masyarakat dan pelaku usaha kini menunggu keputusan pemerintah terkait kebijakan ini. Jika penghapusan PPN diterapkan, diharapkan harga Minyakita dapat kembali sesuai dengan HET dan terjangkau bagi masyarakat luas. (alf)

Dirjen Pajak Sampaikan Relaksasi Sanksi Administrasi Selama Transisi Coretax

IKPI. Jakarta: Dalam upaya mendukung implementasi sistem inti administrasi pajak (Coretax) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan pembebasan sanksi administrasi bagi wajib pajak. Keputusan ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam diskusi daring yang diadakan bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Suryo menegaskan bahwa pembebasan sanksi ini berlaku untuk kesalahan atau keterlambatan yang disebabkan oleh kendala teknis selama masa transisi implementasi Coretax yang dimulai sejak 1 Januari 2025. “DJP memastikan tidak akan ada beban tambahan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi atas keterlambatan atau kesalahan dalam pembuatan Faktur Pajak yang disebabkan oleh kendala teknis dalam implementasi Coretax,” ujar Suryo dikutip dari keterangan resmi Apindo yang diterima, Rabu (15/1/2025).

Masa transisi Coretax belum memiliki tenggat waktu pasti. Menurut Suryo, periode ini masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. “Masa transisi ini akan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) guna memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak,” tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, Suryadi Sasmita, menyampaikan harapan agar DJP memberikan perlindungan dan pembinaan kepada pelaku usaha selama masa transisi. “Pelaku usaha membutuhkan jaminan bahwa mereka dapat tetap menjalankan aktivitas bisnis tanpa khawatir akan sanksi selama proses transisi yang menjadi ranah di luar kendali mereka,” kata Suryadi.

DJP menyatakan telah menyiapkan berbagai langkah untuk menangani kendala teknis dalam implementasi Coretax. Salah satu masalah utama adalah pelaporan PPh Pasal 26 untuk masa Desember 2024, yang sementara masih dapat dilakukan melalui aplikasi legacy seperti e-Bupot PPh Pasal 21 atau e-Bupot Unifikasi.

Selain itu, DJP mempercepat migrasi data untuk memastikan pelaporan manual tetap berjalan lancar. Masalah akses direktur tenaga kerja asing (TKA) yang memiliki NPWP namun kesulitan mendapatkan sertifikat elektronik juga tengah diatasi melalui validasi data imigrasi dan perbaikan sistem Coretax.

Pendekatan ini diharapkan dapat mendukung pelaku usaha beradaptasi lebih cepat dengan sistem baru sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah. “Pendekatan yang kooperatif sangat penting untuk menjaga keberlanjutan usaha dan kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah,” tutup Suryadi. (alf)

Pemerintah Optimistis Coretax Tingkatkan Penerimaan Pajak dan Tutup Tax Gap Indonesia

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan dukungannya terhadap penerapan sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang mulai dioperasikan pada 1 Januari 2025. Dalam kunjungannya ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2025), Luhut berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, guna memastikan kelancaran transisi sistem baru tersebut.

Coretax dirancang untuk menggantikan sistem perpajakan lama, dengan harapan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak Indonesia. Meskipun sejumlah kendala teknis muncul dalam implementasi awalnya, Luhut tetap yakin bahwa sistem ini akan berfungsi lebih baik seiring berjalannya waktu. “Saya juga mendorong keberlanjutan layanan bantuan (helpdesk) selama masa implementasi awal ini agar tantangan yang dihadapi dapat segera diatasi,” ujar Luhut.

Menurut Luhut, penerapan Coretax diproyeksikan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap penerimaan pajak Indonesia. Merujuk pada analisis Bank Dunia, ia mengungkapkan bahwa sistem ini bisa meningkatkan tax ratio Indonesia hingga 2% poin dalam beberapa tahun mendatang dan menutup tax gap yang diperkirakan sebesar 6,4% dari produk domestik bruto (PDB). “Coretax membuka peluang untuk mengoptimalkan potensi pajak hingga Rp1.500 triliun dalam lima tahun ke depan,” katanya.

Seiring dengan pengoperasian Coretax, sejumlah wajib pajak melaporkan kendala teknis, terutama dalam akses aplikasi dan pembuatan faktur pajak. Direktur P2Humas, DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa perbaikan telah dilakukan pada beberapa proses bisnis yang bermasalah. Tiga perbaikan utama yang dilakukan adalah: peningkatan proses masuk sistem, perbaikan pengiriman kode OTP, serta pembaruan data profil perusahaan dan karyawan.

Selain itu, DJP juga mengatasi permasalahan dalam pembuatan faktur pajak yang disampaikan dalam format *.xml, serta memperbaiki proses penandatanganan faktur menggunakan kode otorisasi Ditjen Pajak atau sertifikat elektronik. Dwi mengungkapkan bahwa perbaikan tersebut telah menghasilkan peningkatan signifikan dalam penerbitan faktur pajak. Hingga 13 Januari 2025 pukul 10.00 WIB, tercatat lebih dari 53.000 wajib pajak berhasil membuat faktur pajak, dengan total faktur yang telah diterbitkan mencapai 1,67 juta dan yang divalidasi sebanyak 670.000.

Data menunjukkan adanya kemajuan yang pesat, dengan jumlah faktur pajak yang diterbitkan meningkat dua kali lipat dalam waktu empat hari, dari 845.514 pada 9 Januari 2025 menjadi lebih dari 1,67 juta pada 13 Januari 2025. Dwi menambahkan, pihaknya terus melakukan perbaikan dan berharap tidak ada lagi masalah yang menghambat layanan Coretax bagi wajib pajak.

Penerapan Coretax diharapkan tidak hanya meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan. Luhut menekankan pentingnya integrasi sistem perpajakan ini dengan sistem digital pemerintahan lainnya untuk memastikan interoperabilitas data antar instansi. Pemerintah pun optimistis bahwa dengan implementasi Coretax, pondasi ekonomi Indonesia akan semakin kuat dalam menghadapi tantangan global di masa depan.

“Melalui implementasi Coretax, pemerintah berharap dapat memperkuat pondasi ekonomi Indonesia untuk menghadapi tantangan global di masa depan,” kata Luhut.(alf)

id_ID