Penerimaan Pajak Digital Capai Rp1,08 Triliun pada Januari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari sektor digital mencapai Rp1,08 triliun pada Januari 2025. Penerimaan ini berasal dari empat sektor utama, yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), pajak kripto, pajak fintech (P2P lending), dan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (11/2/2025), merinci bahwa pajak PMSE menyumbang Rp774,8 miliar, pajak kripto Rp107,11 miliar, pajak fintech Rp140 miliar, dan pajak SIPP Rp53,77 miliar.

Pajak PMSE Tembus Rp26,12 Triliun

DJP mencatat bahwa hingga 31 Januari 2025, total pajak yang telah dihimpun dari sektor PMSE mencapai Rp26,12 triliun. Setoran ini berasal dari 181 pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut pajak dari total 211 entitas yang terdaftar.

Sepanjang Januari 2025, pemerintah tidak melakukan penunjukan, pembetulan, atau pencabutan status pemungut pajak PMSE.

Pajak Kripto Capai Rp1,19 Triliun

Pajak dari transaksi kripto juga mengalami peningkatan dengan total setoran hingga Januari 2025 mencapai Rp1,19 triliun. Penerimaan ini terdiri dari pajak penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan senilai Rp560,55 miliar dan PPN dalam negeri atas transaksi pembelian di exchanger sebesar Rp634,24 miliar.

Pajak Fintech Tembus Rp3,17 Triliun

Dari sektor P2P lending, total setoran pajak tercatat sebesar Rp3,17 triliun. Rincian penerimaan pajaknya terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman wajib pajak luar negeri Rp720,74 miliar, serta PPN dalam negeri atas setoran masa senilai Rp1,62 triliun.

Pajak SIPP Capai Rp2,90 Triliun

Sementara itu, pajak yang berasal dari transaksi pada Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp2,90 triliun. Angka ini terdiri dari PPh sebesar Rp195,54 miliar dan PPN Rp2,71 triliun.

Pemerintah Terus Gali Potensi Pajak Digital

Dalam upaya menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang menjual produk atau layanan digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia.

“Pemerintah juga akan terus menggali potensi penerimaan pajak dari ekonomi digital lainnya, termasuk pajak kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman, serta pajak dari SIPP,” kata Dwi Astuti.

Dengan tren digitalisasi yang semakin berkembang, penerimaan pajak dari sektor digital diproyeksikan terus meningkat, memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan negara. (alf)

Sri Mulyani Ingatkan Investor Bayar Pajak 

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan para investor dan bankir untuk tetap memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Pesan tersebut ia sampaikan dalam Mandiri Investment Forum 2025 di Fairmont Hotel, Jakarta Pusat, pada Selasa (11/2/2025).

Dalam acara tersebut, Sri Mulyani awalnya memberikan doa dan harapan agar PT Bank Mandiri (Persero) Tbk serta para kliennya semakin sukses dan makmur, terutama dalam momen perayaan Tahun Baru Imlek. Namun, ia juga menegaskan bahwa kemakmuran harus diiringi dengan kepatuhan terhadap pajak.

“Jadi, saya berharap Anda akan jauh lebih makmur dan jangan lupa bayar pajak!” katanya.

Selain mengingatkan soal pajak, Sri Mulyani juga menanggapi keluhan terkait implementasi sistem Coretax yang diberlakukan sejak 1 Januari 2025. Ia mengakui adanya kendala dalam sistem tersebut, tetapi berjanji akan terus memperbaikinya.

“Saya tahu beberapa dari Anda masih komplain mengenai Coretax. Kami akan terus memperbaiki, dan membangun sistem kompleks seperti Coretax dengan lebih dari 8 miliar transaksi itu tidak mudah, tapi ini bukan alasan,” ujarnya. (alf)

Lapor SPT 1770SS dengan E-Filing di DJP Online, Ini Panduan Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) melalui e-Filing di djponline.pajak.go.id.

Pelaporan lebih awal disarankan demi kenyamanan bersama dan menghindari kendala teknis menjelang batas waktu pelaporan.

SPT 1770SS: Untuk Siapa?

Formulir SPT 1770SS diperuntukkan bagi WP OP yang hanya memiliki penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan tanpa usaha atau pekerjaan bebas, dengan penghasilan bruto tahunan tidak lebih dari Rp60 juta.

Panduan Pengisian SPT 1770SS Secara Online

Berikut langkah-langkah melaporkan SPT menggunakan e-Filing:

• Siapkan Dokumen Pendukung

• Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dari perusahaan

• Kartu Keluarga

• Email aktif

• Login ke DJP Online

• Kunjungi djponline.pajak.go.id

• Masukkan NIK/NPWP dan kata sandi

• Lakukan verifikasi MFA (melalui email, SMS, atau akun M-Pajak)

• Pilih Formulir SPT

• Klik menu Lapor, lalu pilih e-Filing

• Pilih Buat SPT, kemudian jawab pertanyaan sesuai kondisi pajak Anda

• Jika memenuhi kriteria SPT 1770SS, sistem akan mengarahkan Anda ke formulir yang sesuai

• Isi Data Sesuai Bukti Pemotongan

• Masukkan jumlah penghasilan bruto sesuai bukti pemotongan

• Isikan pengurangan, seperti biaya jabatan atau iuran pensiun

• Sesuaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status pernikahan dan tanggungan

• Periksa kembali data yang diinput

• Pernyataan dan Pengiriman SPT

• Centang pernyataan kebenaran data

• Klik Ambil Kode Verifikasi

• Masukkan kode verifikasi yang dikirim via email/SMS

• Klik Kirim SPT dan simpan bukti pelaporan

Dengan pelaporan online melalui e-Filing, Wajib Pajak tidak perlu datang ke kantor pajak, sehingga lebih praktis dan efisien. Batas waktu pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi adalah 31 Maret 2025.

DJP juga mengimbau agar Wajib Pajak melaporkan lebih awal untuk terhindar dari kepadatan sistem dan potensi denda keterlambatan.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.pajak.go.id atau hubungi Kring Pajak 1500200. (alf)

Presiden Prabowo Instruksikan Menkeu Fokus Atasi Kebocoran dan Penggelapan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerima arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan penerimaan pajak. Presiden menekankan pentingnya mengatasi kebocoran, penggelapan, serta penghindaran pajak guna memperkuat keuangan negara.

“Kita mendapat perhatian dari Bapak Presiden sendiri untuk lebih banyak melakukan pemungutan, terutama dalam mengatasi masalah kebocoran, penggelapan pajak, dan penghindaran pajak,” ujar Sri Mulyani dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, Selasa (11/2/2025).

Untuk mencapai target tersebut, Sri Mulyani menyatakan bahwa Kemenkeu akan mengintegrasikan sistem pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) agar lebih efektif dan transparan.

“Dengan integrasi ini, wajib pajak akan memiliki data yang konsisten dan menciptakan layanan yang lebih baik, sehingga tidak ada pengulangan data serta mengurangi biaya kepatuhan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengakui bahwa rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan rasio pajak dengan berbagai strategi, termasuk melalui pengembangan sistem Coretax yang lebih modern dan efisien.

“Indonesia masih dianggap sebagai negara dengan rasio pajak terhadap PDB yang rendah. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Kami sekarang berinvestasi pada beberapa sistem seperti Coretax,” ujarnya.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan penerimaan pajak negara dapat meningkat secara signifikan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat stabilitas fiskal Indonesia. (alf)

IKPI Soroti Rancangan PERMA Tindak Pidana Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, mengkritisi rancangan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Dalam Konsultasi Publik yang digelar di Hotel Grand Mercure Kemayoran, ia menyoroti sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak serta pelaku usaha.

Salah satu pasal yang dikritisi adalah Pasal 3, yang menurut Vaudy melampaui kewenangan Mahkamah Agung (MA). “Seharusnya PERMA hanya mengatur lingkup peradilan di lingkungan MA, tetapi dalam rancangan ini justru mengatur kewenangan penyidik dari institusi lain. Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

(Foto: Istimewa)

Selain itu, Pasal 6 yang mengatur perlakuan terhadap perusahaan dalam kondisi pailit dinilai bertentangan dengan UU Kepailitan. Vaudy menyoroti bahwa dalam kepailitan, aset perusahaan diprioritaskan untuk kreditor, sedangkan negara bukan kreditur. “Perusahaan yang sedang dipailitkan tidak memiliki kuasa untuk melepaskan hartanya karena semua sudah berada di bawah kendali kurator,” jelasnya.

Pasal 8, yang mengatur praperadilan, juga menjadi perhatian. Dalam rancangan PERMA ini, praperadilan mencakup pemeriksaan alat bukti, yang menurut Vaudy bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981. “Seharusnya, praperadilan hanya memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan alat bukti. Jika dibiarkan, ini bisa menimbulkan penyimpangan dalam proses hukum,” tegasnya.

Sementara itu, Pasal 14 terkait ultimum remedium atau penyelesaian pajak tanpa pemenjaraan juga dipertanyakan. Ia menyoroti ketidakjelasan perlakuan terhadap dua pihak dalam kasus faktur pajak, yakni penerbit dan pengguna. “Jika penerbit faktur pajak sudah membayar pokok pajak dan dendanya, apakah pengguna faktur pajak juga otomatis terbebas dari hukuman? Begitu pula sebaliknya. Hal ini harus diperjelas,” katanya.

Selain itu, Vaudy menyoroti kewenangan MA dalam memeriksa bukti permulaan. Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi ranah administratif, bukan kewenangan Mahkamah Agung. “Jika MA ikut campur dalam ranah administratif, ini bisa menimbulkan ketidakjelasan dalam proses penegakan hukum perpajakan,” tambahnya.

Namun, Vaudy menekankan bahwa aturan yang dibuat harus benar-benar proporsional dan sesuai dengan hukum yang berlaku, agar tidak merugikan dunia usaha serta tetap menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Kami berharap Mahkamah Agung benar-benar mempertimbangkan seluruh masukan dari pemangku kepentingan sebelum PERMA ini disahkan, agar tidak ada celah yang bisa merugikan wajib pajak maupun negara,” katanya.

Sementara itu, dalam keterangan resminya dikutip, Selasa (11/2/2025) Mahkamah Agung (MA) menggelar Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Senin (10/2/2025).

Acara tersebut, dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi dari MA, di antaranya Ketua Kamar Pembinaan dan Ketua Kamar Pidana. Hadir pula pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akademisi, serta perwakilan dari berbagai lembaga hukum dan organisasi profesi, termasuk IKPI yang diwakili Associate Professor Edy Gunawan, Donny Rindorindo, Heru, Hendro dan Prof. Agus dari Universitas Pelita Harapan (UPH).

Dalam konsultasi publik ini, Ketua Kamar Pembinaan MA Syamsul Ma’arif, yang mewakili Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Suharto, menyatakan bahwa setelah tahap ini, mereka akan meninjau kembali masukan yang diberikan sebelum menerbitkan PERMA secara resmi. Aturan ini diharapkan menjadi payung hukum utama dalam penanganan tindak pidana perpajakan, dengan tujuan mengoptimalkan pemulihan kerugian negara dan mencegah kebocoran penerimaan pajak.

Ia berharap dengan adanya PERMA ini, perkara perpajakan dapat ditangani lebih efisien, adil, dan transparan, serta memberikan efek jera bagi pelanggar pajak. (bl)

Fitur Prepopulated Dalam Coretax Permudah Pelaporan PEB, PIB hingga Cukai

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam mempermudah wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai Masa Pajak Januari 2025, DJP menghadirkan mekanisme prepopulated dalam sistem Coretax DJP untuk pelaporan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dan Cukai (CK-1).

Dikutip dari Instagram @pajakjakartapusat, Selasa (11/2/2025) dengan fitur ini, wajib pajak yang memiliki transaksi ekspor, impor, atau cukai dapat langsung menarik data dari sistem Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tanpa perlu menginput secara manual. Fitur ini tersedia dalam menu Dokumen Lain di sub-menu Pajak Masukan untuk PIB dan Pajak Keluaran untuk PEB serta CK-1.

Tata Cara Penggunaan Fitur Prepopulated

• Prepopulated Data PIB (Pajak Masukan)

• Masuk ke Menu Dokumen Lain → Pajak Masukan.

• Pilih Tindakan Lainnya → Prepopulated Data.

• Pilih Masa Pajak dan Tahun Pajak sesuai dengan Masa Pajak SSP atas PIB.

• Pilih Prepopulated PIB, lalu klik Membuat.

• Sistem akan menarik data PIB sesuai dengan yang tercatat di DJBC.

• Prepopulated Data PEB & CK-1 (Pajak Keluaran)

• Masuk ke Menu Dokumen Lain → Pajak Keluaran.

• Pilih Tindakan Lainnya → Prepopulated Data.

• Pilih Masa Pajak dan Tahun Pajak yang sesuai.

• Pilih Prepopulated PEB untuk ekspor atau Prepopulated CK-1 untuk cukai.

• Klik Membuat, lalu tunggu sistem mengambil data dari DJBC.

Kemudahan dan Manfaat Prepopulated Data

• Mengurangi Kesalahan Input

Data langsung diambil dari DJBC sehingga lebih akurat.

• Menghemat Waktu

Wajib pajak tidak perlu menginput satu per satu secara manual.

• Tercatat Secara Otomatis

Semua dokumen yang berhasil diproses akan tercatat di kolom Perekam sebagai DJBC.

Wajib pajak disarankan untuk melakukan penarikan data secara berkala, misalnya setiap minggu, untuk memastikan kelengkapan dokumen dalam sistem Coretax DJP. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.pajak.go.id. (alf)

Tetap Lapor Pajak Meski Terlambat, Ini Alasannya!

IKPI, Jakarta: Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan merupakan kewajiban setiap wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Namun, terkadang berbagai alasan menyebabkan keterlambatan dalam pelaporan.

Meski demikian, melaporkan pajak walau terlambat tetap lebih baik daripada tidak melaporkannya sama sekali. Berikut beberapa alasan mengapa tetap melaporkan pajak meski melewati batas waktu:

1. Patuh Terhadap Hukum yang Berlaku

Sebagai warga negara yang taat aturan, melaporkan SPT Tahunan merupakan bentuk kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. SPT Tahunan berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban wajib pajak atas kewajiban pajak yang telah dijalankan selama setahun penuh.

Pelaporan pajak juga menjadi instrumen check and balance dalam memastikan hak dan kewajiban perpajakan berjalan dengan baik. Pajak yang dikumpulkan dari masyarakat berkontribusi besar terhadap pembangunan negara, seperti infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, serta program sosial lainnya.

2. Menghindari Sanksi yang Lebih Berat

Menunda pelaporan SPT Tahunan dapat mengakibatkan sanksi administratif hingga pidana. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang diperbarui melalui UU Cipta Kerja, wajib pajak yang terlambat atau tidak melaporkan SPT dapat dikenakan denda atau bahkan hukuman penjara.

Bagi wajib pajak orang pribadi, keterlambatan pelaporan SPT dikenai denda sebesar Rp100.000, sedangkan untuk wajib pajak badan dikenai denda Rp1.000.000. Denda ini akan ditagihkan melalui Surat Tagihan Pajak dan harus dibayarkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Jika wajib pajak dengan sengaja tidak melaporkan SPT, sanksi bisa lebih berat, termasuk hukuman pidana berupa kurungan penjara selama enam bulan hingga enam tahun.

Oleh karena itu, melaporkan pajak tepat waktu merupakan langkah cerdas untuk menghindari konsekuensi hukum yang lebih besar.

3. Mendukung Penerimaan Negara dan Kemajuan Bangsa

Melaporkan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk kontribusi nyata terhadap pembangunan negara. Pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk berbagai program pemerintah, seperti pembangunan jalan, layanan kesehatan, pendidikan, serta berbagai bantuan sosial.

Pemerintah juga terus mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan pajak melalui berbagai sosialisasi. Namun, kesadaran dan tanggung jawab wajib pajak tetap menjadi faktor utama dalam menjaga keberlanjutan penerimaan pajak demi kesejahteraan masyarakat.

Batas Waktu Pelaporan SPT

Pelaporan pajak biasanya ramai dilakukan pada awal tahun, dengan batas waktu sebagai berikut:

• Wajib Pajak Orang Pribadi: 31 Maret

• Wajib Pajak Badan: 30 April

Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang telah mengalami beberapa perubahan, termasuk revisi terbaru dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Meskipun terlambat, melaporkan pajak tetap lebih baik daripada mengabaikannya. Kepatuhan terhadap pajak tidak hanya membantu menghindari sanksi, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.

Jadi, bagi yang belum melaporkan SPT, segera lakukan sekarang agar terhindar dari konsekuensi yang lebih besar! (alf)

Kanwil DJP Jateng II Sambut Tawaran Kolaborasi IKPI Surakarta Selenggarakan FGD Perpajakan

IKPI, Surakarta: Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surakarta periode 2024–2029 melakukan kunjungan silaturahmi dan perkenalan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah (Jateng) II, di Jl. M.T Haryono No. 5, Manahan, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (7/2/2025). Kunjungan ini disambut langsung Kepala Kantor Wilayah DJP Jateng II Etty Rachmiyanthi, yang didampingi Kepala Bidang P2 Humas Herlin Sulismiyarti dan Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Bambang.

Pada pertemuan tersebut, Etty menyampaikan apresiasi atas inisiatif pengurus IKPI Surakarta dalam membangun komunikasi dengan DJP. Ia juga menegaskan pentingnya peran IKPI dalam dunia perpajakan, khususnya dalam memberikan masukan terkait peraturan perpajakan yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi kunjungan ini dan berharap IKPI dapat menjadi mitra strategis dalam berdiskusi mengenai berbagai regulasi perpajakan. Dengan adanya komunikasi yang baik, kita bisa menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan solutif bagi para wajib pajak,” ujar Etty.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surakarta)

Lebih lanjut, Etty juga menyetujui usulan untuk mengadakan Focus Group Discussion (FGD) antara Kanwil DJP Jateng II dengan IKPI Cabang Surakarta. Kegiatan ini diharapkan menjadi wadah diskusi yang konstruktif dalam menyelaraskan pemahaman antara konsultan pajak dan otoritas pajak.

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Surakarta, Suparman, menyampaikan terima kasih atas sambutan yang diberikan pihak DJP Jateng II. Ia menekankan pentingnya kerja sama yang erat antara IKPI dan DJP dalam mencapai tujuan bersama, yakni mengoptimalkan penerimaan negara melalui sistem perpajakan yang lebih efektif dan efisien.

“Kami sangat mengapresiasi respons positif dari Kanwil DJP Jateng II, terutama dalam mendukung perencanaan pelaksanaan FGD ini. Harapannya, hubungan antara IKPI dan DJP semakin erat serta dapat memberikan manfaat bagi dunia perpajakan, baik bagi wajib pajak maupun negara,” kata Suparman.

Menurutnya, silaturahmi ini menjadi langkah awal bagi pengurus IKPI Surakarta periode 2024–2029 dalam memperkuat sinergi dengan otoritas pajak. Dengan adanya forum diskusi yang lebih intensif, diharapkan akan tercipta kebijakan perpajakan yang lebih baik dan berkeadilan bagi semua pihak.

Ke depan, IKPI Surakarta berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam memberikan edukasi perpajakan serta mendampingi wajib pajak agar patuh terhadap aturan yang berlaku.

Selain itu lanjut Suparman, kerja sama dengan DJP akan terus ditingkatkan guna menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan negara serta masyarakat luas.(bl)

DJP Buka Kembali Layanan e-Faktur Desktop untuk Perusahaan Besar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi membuka kembali layanan e-Faktur Desktop sebagai alternatif penerbitan e-faktur pajak bagi perusahaan besar. Langkah ini diambil setelah banyak wajib pajak mengeluhkan sulitnya penerbitan e-faktur melalui sistem inti administrasi pajak Coretax.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Kemenkeu Dwi Astuti, menyatakan bahwa pembukaan kembali layanan e-Faktur Desktop bertujuan untuk mempermudah perusahaan besar yang menerbitkan faktur pajak dalam jumlah banyak.

“Dalam rangka mendengarkan aspirasi dan mempermudah wajib pajak dalam masa transisi Coretax DJP, maka bagi wajib pajak tertentu yang cukup banyak menerbitkan faktur pajak telah dibuka kembali kanal pembuatan faktur pajak melalui e-Faktur Desktop,” ujar Dwi Astuti di Jakarta, Senin (10/2/2025).

Berlaku untuk Perusahaan dengan Minimal 10.000 Faktur Pajak per Bulan

Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-24/PJ/2025 yang menetapkan bahwa pengusaha kena pajak (PKP) yang menerbitkan minimal 10.000 faktur pajak per bulan dapat menggunakan e-Faktur Desktop atau Coretax.

DJP telah menetapkan 790 PKP, termasuk perusahaan besar seperti Tokopedia dan Maersk, yang dapat menggunakan layanan ini. Sementara itu, wajib pajak lainnya tetap diarahkan untuk menggunakan Coretax.

Meski demikian, kebijakan ini tidak bersifat mandatory, sehingga perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut bisa memilih antara menggunakan Coretax atau e-Faktur Desktop.

Dwi Astuti menegaskan bahwa DJP akan terus melakukan penyempurnaan sistem Coretax agar proses penerbitan e-faktur pajak semakin lancar di masa depan.

Sebagai informasi, hingga 3 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak tercatat mencapai 218.994.

Dengan adanya pilihan antara Coretax dan e-Faktur Desktop, diharapkan wajib pajak dapat lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (alf)

DJP Pastikan Coretax Tetap Berjalan Meski Gangguan Masih Terjadi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo menegaskan bahwa sistem administrasi perpajakan (Coretax) tetap akan berjalan. Meskipun sering mengalami berbagai gangguan, tidak ada rencana dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menunda implementasi sistem ini.

Namun demikian, Suryo menjelaskan bahwa dampak gangguan Coretax terhadap penerimaan negara baru akan terlihat setelah pelaporan pajak Januari 2025 selesai. “Nanti kita lihat deh tanggal 15 Februari,” ujarnya di Kompleks DPR, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

Ia juga memastikan bahwa DJP masih menggunakan dua sistem secara bersamaan. Untuk pelaporan pajak tahun 2024 dan sebelumnya, sistem lama tetap digunakan, sementara SPT tahun 2025 yang akan disampaikan pada 2026 sepenuhnya akan menggunakan Coretax. Adapun untuk PPN dan pemotongan PPh 21 karyawan, sistem baru sudah mulai diterapkan.

Suryo menekankan bahwa DJP sepakat dengan Komisi XI DPR untuk tetap mempertahankan sistem lama guna mengantisipasi kendala yang muncul dalam penerapan Coretax. “Kita menggunakan dua sistem jalan terus,” tegasnya.

Dengan pendekatan ini, DJP berharap dapat meminimalisir dampak dari gangguan sistem Coretax terhadap penerimaan negara serta memberikan waktu bagi wajib pajak untuk beradaptasi dengan sistem baru. (alf)

id_ID