Purbaya Minta Lulusan PKN STAN Jadi Mesin Perubahan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan harapannya kepada 991 lulusan Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN. Bukan sekadar menjadi Aparatur Sipil Negara, ia meminta para wisudawan tampil sebagai “mesin perubahan” yang membawa standar baru dalam pelayanan publik.

Dalam wisuda yang berlangsung di kompleks PKN STAN, Tangerang Selatan, Rabu (5/11), Purbaya mengingatkan bahwa lulusan kampus keuangan negara akan langsung bersentuhan dengan masyarakat yang menuntut birokrasi bersih, cepat, dan transparan.

“Sebagai ASN muda, tampillah beda. Jadilah agen perubahan. Jangan cepat puas dengan zona nyaman kantor. Belajar terus, cari inovasi, dan adaptasi,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa amanah publik hanya bisa dijaga jika para lulusan berpegang pada nilai Kementerian Keuangan: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. “Inti aparatur yang baik itu jujur, profesional, dan hadir tepat waktu dengan solusi,” lanjutnya.

Wisuda tahun ini mengangkat tema Samorastra, perpaduan tiga frasa Sansekerta yang menggambarkan lahir dari perjuangan, disertai rasa syukur, dan bermuara pada pengabdian untuk bangsa. Purbaya menyebut tema tersebut sebagai pengingat bahwa keberhasilan tidak pernah terjadi sendirian.

Ia kemudian menyampaikan apresiasi khusus kepada para orang tua yang turut hadir. “Dukungan Bapak Ibu adalah mesin perjuangan anak-anak kita. Tanpa itu, mereka tidak akan sampai sejauh ini.”

Menutup pidato, Purbaya menyampaikan pesan sederhana namun tegas: ketekunan adalah kunci. “Kalian adalah harapan baru Indonesia. Jaga nama baik diri, keluarga, almamater, dan negara.”

Usai wisuda, hampir seribu lulusan PKN STAN bersiap ditempatkan di berbagai instansi pemerintah. Beban besar menanti, namun Purbaya yakin generasi muda ini mampu menggerakkan perubahan yang dibutuhkan birokrasi Indonesia. (alf)

Hakim Pengadilan Pajak Ingatkan DJP Perkuat Prosedur Pemeriksaan dan Pengawasan

IKPI, Jakarta: Hakim Pengadilan Pajak, Junaidi Eko Widodo, mengingatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar lebih cermat menjalankan prosedur pemeriksaan dan pengawasan. Pasalnya, tren sengketa perpajakan mulai bergeser: Wajib Pajak kini tidak hanya menggugat besaran Surat Ketetapan Pajak (SKP), tetapi juga proses pemeriksaan yang dinilai tidak sesuai aturan.

“Sengketa di Pengadilan Pajak lebih banyak muncul karena proses pemeriksaan dan pengawasan dalam menentukan SKP. Bahkan, sudah ada gugatan soal prosedur pemeriksaan yang tidak benar, sehingga SKP-nya ikut tidak benar,” ujar Junaidi dalam diskusi Kupas Tuntas Perpajakan Ekonomi Digital, Rabu (5/11/2025).

Junaidi menilai sebagian sengketa sebenarnya bisa dihindari jika fiskus menjalankan pemeriksaan sesuai ketentuan. Karena itu, ia menekankan perlunya pembenahan internal agar proses pemeriksaan tidak dianggap sewenang-wenang dan tetap berlandaskan hukum. 

“Penting untuk memperkuat prosedur pemeriksaan dan pengawasan,” tegasnya.

Saat ini, dasar hukum pemeriksaan pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 (PMK 15/2025). Aturan tersebut mewajibkan pemeriksa memiliki kompetensi, melakukan pengujian dengan metode yang tepat, mendokumentasikan seluruh proses pemeriksaan, serta menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang berbasis bukti kuat.

Dengan semakin kompleksnya model bisnis dan ekonomi digital, kesalahan prosedur berpotensi memicu sengketa lebih besar. Jika fiskus tidak disiplin, Pengadilan Pajak akan terus dipenuhi gugatan yang sebenarnya dapat dicegah sejak awal. (alf)

Ekonom: Jangan Sampai Pajak Rakyat Jadi Penolong Proyek Gagal Hitung

IKPI, Jakarta: Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung kembali menjadi sorotan setelah isu beban utang mencuat ke publik. Total investasi proyek Whoosh mencapai US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 120 triliun, dengan sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman luar negeri. Konsekuensinya, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator harus menanggung cicilan utang dan bunga yang sangat besar.

Di tengah tekanan finansial proyek tersebut, muncul isyarat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat digunakan untuk membantu pembayaran utang. Sinyal itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat meninjau Stasiun Manggarai dan meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru pada 4 November 2025. “Presiden RI yang ambil alih. Jangan ribut, kita mampu dan kita kuat. Duitnya ada,” ujarnya. Pernyataan ini dibaca publik sebagai bentuk kesiapan negara untuk menanggung beban pembayaran.

Pandangan tersebut ditanggapi kritis oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Ia menilai penggunaan APBN tidak sesuai dengan konsep awal proyek yang menggunakan skema business to business (B2B). Menurutnya, jika pada akhirnya dana negara juga yang turun, maka tidak ada beda dengan proyek APBN murni.

“Kalau APBN yang menutup, lalu untuk apa kerja sama dengan pihak China? Seharusnya pembiayaan luar negeri meringankan beban negara, bukan justru membuat APBN turun tangan,” kata Bhima, Rabu (5/11/2025). 

Ia juga mengingatkan bahwa kondisi APBN saat ini mengarah pada pelebaran defisit. Jika pemerintah melakukan penyertaan modal negara hanya untuk melunasi utang Whoosh, maka anggaran sektor lain bisa ikut terpangkas.

Bhima mengungkapkan bahwa masyarakat yang tidak menikmati layanan Whoosh tetap akan ikut membayar melalui pajak apabila APBN dipakai sebagai penolong. Padahal penyertaan modal negara seharusnya digunakan untuk memperkuat layanan kereta reguler, termasuk pembangunan jalur di luar Jawa yang masih kekurangan pendanaan. “Kenapa negara harus mensubsidi transportasi untuk kelompok menengah atas?” ujarnya.

Sebagai alternatif, Bhima menyebut Danantara—holding investasi BUMN—lebih layak untuk menangani masalah utang kereta cepat karena memiliki kapasitas keuangan besar dan portofolio dividen sekitar Rp 80 triliun. Ia menilai penyelesaian melalui Danantara bisa dilakukan lewat sejumlah opsi seperti debt swap atau penghapusan sebagian kewajiban tanpa membebani APBN.

Kritik serupa datang dari Kepala Departemen Makroekonomi Indef, Muhammad Rizal Taufikurrahman. Menurutnya, proyek KCIC menciptakan dilema fiskal: jika negara tidak ikut campur, risiko gagal bayar dapat mencoreng reputasi pemerintah dan mengurangi kepercayaan investor. Namun jika APBN digunakan untuk menutup utang komersial, maka timbul moral hazard dan sinyal bahwa proyek yang tidak efisien tetap akan diselamatkan dengan uang rakyat.

Rizal menilai opsi paling realistis adalah restrukturisasi utang melalui negosiasi bunga, tenor, serta penguatan pendapatan non-tiket seperti kawasan TOD dan integrasi transportasi. Cara ini dinilai menjaga keberlanjutan operasional proyek tanpa menambah beban fiskal.

Ia menegaskan, kasus ini harus menjadi pelajaran penting bahwa proyek strategis nasional tidak boleh hanya mengandalkan prestise, tetapi harus memiliki perhitungan ekonomi yang kuat. “Jangan sampai pajak rakyat berubah menjadi penolong proyek gagal hitung,” tutupnya. (alf)

Thrifting Bebas Pajak Bikin Industri Tekstil Berdarah-darah, AGTI Angkat Suara

IKPI, Jakarta: Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) mendesak pemerintah menindak peredaran pakaian bekas impor yang masuk tanpa pajak dan tanpa proses kepabeanan. Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto menyampaikan sikap tersebut usai bertemu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Anne menilai fenomena thrifting ilegal menimbulkan persaingan tidak sehat. Industri tekstil resmi wajib membayar berbagai jenis pajak, termasuk PPh 21 hingga PPh 25, sementara barang ilegal bebas beredar tanpa pungutan. Ketimpangan itu, menurutnya, membuat pasar domestik banjir produk murah yang tidak menanggung beban fiskal.

Ia menegaskan, industri tekstil nasional selama ini berkontribusi pada penerimaan negara dan menyerap tenaga kerja besar. Ketika pakaian bekas impor masuk tanpa pajak, negara kehilangan potensi pendapatan sekaligus melemahkan produsen lokal yang masih berjuang di tengah biaya produksi tinggi.

Ia juga mengapresiasi langkah Menteri Keuangan memperketat pengawasan. Meski demikian, Anne berharap penindakan dilakukan konsisten agar “fairness fiskal” berlaku sama untuk seluruh pelaku usaha. “Kalau masuk resmi dan bayar pajak, tidak ada masalah. Tapi kalau jalur ilegal, dampaknya besar bagi negara dan industri padat karya,” ujarnya.

Untuk barang sitaan, AGTI menawarkan solusi ekonomi sirkular. Pakaian bekas dapat diolah kembali menjadi serat polyester atau cotton sebagai bahan baku industri, sehingga tidak menekan pasar sekaligus mengurangi ketergantungan impor.

Dalam pertemuan dengan Kemenkeu, AGTI juga memaparkan peta jalan penguatan industri tekstil, mulai dari percepatan perizinan, efisiensi produksi, hingga perluasan pasar ekspor. Respons positif kementerian menjadi sinyal dukungan terhadap keberlanjutan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Anne memastikan tidak ada gelombang PHK di sektor garmen dan tekstil. Beberapa perusahaan justru menambah kapasitas produksi dan merekrut tenaga kerja baru.

Ia menegaskan AGTI bukan menutup pintu impor, melainkan menuntut kesetaraan. Industri yang taat pajak, kata Anne, tidak seharusnya dikalahkan oleh barang yang tidak membayar kewajiban fiskal. Ke depan, AGTI akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, komunitas fesyen, dan pelaku kreatif untuk memperkuat ekosistem tekstil nasional. (alf)

DPR: Moratorium Cukai Lindungi Jutaan Pekerja Industri Tembakau, Fiskal Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menahan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada 2026 menuai apresiasi dari DPR. Kebijakan tersebut dinilai mampu memberi ruang napas bagi industri hasil tembakau (IHT) sekaligus menjaga stabilitas penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, langkah Purbaya merupakan sinyal perubahan atas pendekatan fiskal yang selama ini dianggap terlalu membebani sektor tembakau. Menurutnya, keputusan untuk tidak menaikkan cukai adalah bentuk respons pemerintah terhadap tekanan yang dialami industri.

“Yang menjadi angin segar adalah apa yang disampaikan oleh Pak Purbaya, yaitu mengenai tidak dinaikkannya cukai rokok, sebagai respons kebijakan atas permasalahan di industri hasil tembakau selama ini,” kata Misbakhun, Rabu (5/11/2025).

Ia menilai IHT selama ini terbukti menjadi salah satu penopang fiskal paling stabil. Namun, kebijakan bertubi-tubi dianggap membuat ruang tumbuh industri semakin sempit dan justru tidak optimal dalam menyetor penerimaan ke kas negara. Karena itu, moratorium cukai dinilai sebagai momentum memperbaiki arah fiskal.

“Kalau kita serius ingin menyelesaikan ini secara fundamental, harus kemudian secara bersama-sama kita duduk dalam satu meja, mumpung Pak Purbaya ini memberikan harapan baru,” tegasnya.

Jutaan Pekerja Tergantung pada IHT

Misbakhun mengingatkan bahwa kebijakan fiskal pada sektor tembakau tidak bisa hanya melihat sisi penerimaan. Ada aspek ketenagakerjaan dan sosial ekonomi yang harus dijaga. Ia menyebut, sekitar enam juta orang menggantungkan penghidupan pada industri ini, belum termasuk keluarga mereka.

“Enam juta orang terlibat aktif di industri ini. Itu belum termasuk keluarga. Ini aspek yang tidak bisa diabaikan,” ujar Misbakhun.

Dari sisi riset, ekonom senior Indef Tauhid Ahmad menyebut moratorium cukai justru berpotensi menjaga penerimaan negara dengan risiko penurunan yang relatif kecil. Berdasarkan perhitungan lembaganya, penerimaan CHT bahkan masih berpeluang mencapai sekitar Rp231 triliun meski tarif tidak naik.

“Kami melakukan simulasi. Kalau tidak naik atau moratorium, penerimaan kami hitung tetap bisa di Rp231 triliun,” kata Tauhid.

Ia menegaskan kenaikan tarif selama ini sering berakibat kontraproduktif karena mendorong maraknya rokok ilegal. Ketika daya beli masyarakat tidak sejalan dengan kenaikan tarif, konsumen beralih ke rokok murah yang tidak membayar cukai.

“Data menunjukkan, kenaikan tarif justru mendorong rokok ilegal semakin tinggi. Karena daya beli tidak sebanding dengan tarif, masyarakat mencari rokok lebih murah—even yang tanpa cukai,” jelasnya.

Tauhid mencatat peredaran rokok ilegal naik dari 4,9% pada 2020 menjadi 6,9% pada 2023. Tren ini bukan hanya menekan penerimaan negara, tapi juga melahirkan aktivitas ekonomi tersembunyi yang tidak tercatat dalam PDB.

Indef menilai pemerintah perlu memperlakukan IHT sebagai sektor ekonomi nyata yang menyerap tenaga kerja besar. Kebijakan fiskal ke depan tidak hanya berfokus pada pengendalian konsumsi, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan industri dan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat.

Dengan moratorium cukai pada 2026, pemerintah disebut membuka ruang bagi kebijakan fiskal yang lebih proporsional—menghasilkan penerimaan, menjaga tenaga kerja, sekaligus mengurangi pasar gelap tembakau. (alf)

Kemenkeu Wajibkan Kementerian dan Lembaga Kebut Belanja APBN 2026 di Kuartal I

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan belanja negara pada tahun anggaran 2026 akan dieksekusi lebih cepat. Pemerintah mewajibkan kementerian dan lembaga (K/L) dengan alokasi anggaran besar mengeksekusi mayoritas belanjanya sejak kuartal pertama. Langkah ini diambil untuk mempercepat perputaran ekonomi dan menjaga momentum pertumbuhan awal tahun.

“Strategi untuk 2026, khususnya APBN, harus makin dini realisasi belanjanya. Kami akan memastikan K/L dengan anggaran besar merealisasikan mayoritas belanja pada kuartal I,” tegas Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, dalam acara Economic Outlook: Tahun 2026, Tahun Ekspansi di Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Target Pertumbuhan Ekonomi

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen dalam jangka pendek. Tahun ini, proyeksi pertumbuhan berada di kisaran 5,2 persen. Sementara itu, ekonomi nasional pada kuartal III 2025 tumbuh 5,04 persen dan diharapkan meningkat menjadi 5,5 persen pada kuartal IV.

“Kami berharap sentimen positif terus terbangun dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat di akhir 2025, sehingga bisa berlanjut di kuartal pertama 2026,” ujar Febrio.

Untuk memastikan akselerasi ekonomi pada 2026 berjalan sesuai target, pemerintah menyiapkan tiga fokus utama penggerak perekonomian:

1. Penguatan kebijakan fiskal.

2. Stabilitas dan dukungan sektor keuangan.

3. Perbaikan iklim investasi.

Dari sisi pendanaan, Kemenkeu menempatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.

Meski demikian, Febrio menegaskan percepatan belanja negara saja tidak cukup. Keseimbangan antarsektor diperlukan agar pertumbuhan tidak timpang.

“Kalau mesin fiskal dan sektor keuangan hidup tetapi iklim usaha tidak membaik, maka pertumbuhan akan timpang. Oleh karena itu, tiga-tiganya harus berjalan seimbang. Ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara kementerian dan lembaga,” jelasnya.

Kemenkeu menegaskan koordinasi lintas instansi akan diperkuat untuk memastikan belanja negara, penyaluran kredit, dan aktivitas usaha dapat tumbuh seiring. (alf)

Bank Dunia: Insentif Pajak Salah Sasaran Bisa Pangkas Peluang Kerja di Asia Timur-Pasifik

IKPI, Jakarta: Bank Dunia kembali mengirim sinyal keras kepada negara-negara di Asia Timur dan Pasifik. Dalam East Asia and Pacific Economic Update: Jobs edisi Oktober 2025, lembaga internasional itu menegaskan bahwa strategi fiskal yang tidak tepat sasaran, terutama dalam pemberian insentif pajak, justru dapat mempersempit kesempatan kerja di kawasan.

Laporan dibuka dengan gambaran optimistis: pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara Asia Timur dan Pasifik masih bertahan di atas rerata global. Namun kabar baik itu tidak berlangsung panjang. Bank Dunia memprediksi laju ekonomi akan melandai pada akhir 2025 dan semakin melemah sepanjang 2026, seiring turunnya aktivitas produksi dan konsumsi.

Di titik inilah kebijakan fiskal menjadi sorotan. Banyak negara, termasuk Indonesia, dinilai terlalu bergantung pada langkah-langkah jangka pendek yang tidak menopang pertumbuhan berkelanjutan. Dampaknya bukan hanya ke penerimaan negara, tetapi juga langsung ke pasar kerja.

“Pajak dan subsidi yang tidak tepat sasaran dapat merugikan peluang kerja. Pembebasan insentif pajak dapat menyebabkan tarif pajak efektif lebih tinggi pada tenaga kerja, dibandingkan modal yang komplementer dengan teknologi otomatisasi,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut.

Tak hanya insentif fiskal, kebijakan perdagangan domestik maupun internasional juga bisa mengubah struktur ketenagakerjaan. Masalah lain muncul ketika iklim usaha tidak ramah bagi perusahaan baru. Iklim usaha yang tertutup mengurangi pilihan pekerja, mempersempit ruang lahirnya pelaku usaha baru, dan tentu saja menghambat penciptaan lapangan kerja.

“Hambatan masuk bagi perusahaan baru dapat mengurangi pilihan bagi pekerja dan menghambat munculnya peluang bagi pekerja baru,” tegas Bank Dunia.

Reformasi SDM dan Infrastruktur

Untuk mencegah perlambatan ekonomi semakin menekan pasar kerja, Bank Dunia merekomendasikan reformasi berbasis pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur. Fokus utamanya adalah menghapus hambatan masuk industri dan menumbuhkan persaingan usaha yang sehat.

“Reformasi harus berfokus pada penghapusan hambatan masuk dan persaingan, sehingga perusahaan dapat dinamis, produktif, berkembang, dan menciptakan peluang kerja baru. Kebijakan perlu membantu individu dan perusahaan mengantisipasi perkembangan masa depan dengan memastikan kesesuaian keterampilan dan peluang,” tulis laporan tersebut.

Rekomendasi Bank Dunia ini bukan tanpa alasan. Dalam laporan terpisah beberapa bulan lalu, Indonesia menjadi salah satu perhatian utama terkait menurunnya rasio pajak terhadap PDB. Sepanjang satu dekade terakhir, rasio pajak RI turun 2,1 persen. Bahkan pada 2021 angkanya hanya menyentuh 9,1 persen terhadap PDB—terendah di dunia.

Di kawasan Asia Tenggara, capaian ini tertinggal jauh dari negara lain:

• Kamboja: 18%

• Malaysia: 11,9%

• Filipina: 15,2%

• Thailand: 15,7%

• Vietnam: 14,7%

Bank Dunia juga mengingatkan bahwa kebijakan fiskal perlu berhati-hati. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, berpotensi menekan konsumsi dan justru melemahkan kepatuhan pajak jika basis pemajakan tidak diperluas secara efektif. (alf)

Akses Coretax DJP Kini Lebih Aman, Wajib Pajak Diminta Aktifkan 2FA untuk Cegah Kebocoran Data

IKPI, Jakarta: Seiring kian masifnya penggunaan sistem Coretax Direktorat Jenderal Pajak (DJP), isu keamanan data menjadi perhatian serius. DJP menegaskan bahwa perlindungan informasi pribadi wajib pajak bukan sekadar fitur tambahan, tetapi keharusan untuk mencegah penyalahgunaan akses oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Selain menjaga kerahasiaan password dan email yang terdaftar, DJP mendorong wajib pajak menyalakan fitur verifikasi dua langkah (Two-Factor Authentication/2FA) sebagai lapisan keamanan tambahan. Fitur ini diyakini mampu menutup celah kebocoran data maupun upaya peretasan akun.

Berikut langkah mengaktifkan 2FA di Coretax DJP:

1. Login ke akun Coretax DJP.

2. Pilih menu Portal Saya → Profil Saya.

3. Pada halaman Informasi Detail, klik Verifikasi Dua Langkah.

4. Lanjutkan ke Konfigurasi Autentikasi Dua Faktor dan pilih tombol Aktifkan 2FA Hari Ini!, kemudian tentukan metode melalui Authentication App agar proses lebih cepat dan aman.

5. Scan barcode yang muncul di layar menggunakan aplikasi autentikator, lalu masukkan kode verifikasi 6 digit untuk layanan eTaxIndonesia.

6. Jika berhasil, sistem akan menampilkan notifikasi Success.

Setelah fitur ini aktif, setiap kali wajib pajak login ke Coretax DJP, sistem akan otomatis meminta kode verifikasi 6 digit dari aplikasi autentikator atau email terdaftar.

Penerapan 2FA menjadi salah satu langkah penting DJP untuk menciptakan ekosistem perpajakan digital yang lebih aman, dipercaya, dan terhindar dari praktik pencurian data. Dengan keamanan yang semakin kuat, layanan digital DJP diharapkan semakin nyaman digunakan dan mendorong kepatuhan wajib pajak. (alf)

Di Hadapan Purbaya, DPD Minta Arah Fiskal Lebih Berani: “APBN Harus Hidup!”

IKPI, Jakarta; Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung mendesak arah kebijakan fiskal nasional diperkuat agar lebih berani dan produktif. Menurutnya, APBN tidak boleh hanya menjadi dokumen administrasi, tetapi harus menjadi mesin penggerak ekonomi yang hidup di daerah.

Hal itu disampaikan Tamsil dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI di Kompleks Parlemen, Senin (3/11/2025), yang turut dihadiri Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menilai langkah awal Purbaya sudah menunjukkan keberpihakan pada daerah dan sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo.

“Arsitektur APBN adalah cerminan moral kekuasaan. Kami melihat gebrakan Pak Purbaya memperbesar keberpihakan anggaran ke daerah dan langsung ke rakyat. Itu langkah yang hidup dan produktif,” kata Tamsil.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa hasilnya sangat bergantung pada kemampuan daerah memanfaatkan ruang fiskal yang diberikan. Daerah, kata dia, tidak boleh hanya menjadi penerima dana, tetapi harus mampu mengubahnya menjadi pertumbuhan ekonomi.

“Daerah memerlukan supervisi dan bimbingan, bukan hanya transfer. Setiap rupiah harus menghidupkan ekonomi rakyat, bukan sekadar menutup beban administratif,” ujarnya.

Tamsil juga menyinggung inovasi pembiayaan seperti municipal bond sebagai solusi agar daerah mampu membiayai pembangunan secara mandiri dan akuntabel. Menurutnya, daerah yang kredibel secara fiskal seharusnya diberi keleluasaan untuk membangun tanpa selalu bergantung pada APBN.

“Keadilan fiskal bukan soal membagi uang, tapi membagi kesempatan untuk tumbuh. Ketika fiskal pusat kuat dan daerah berdaya, kemakmuran nasional tumbuh dari akar,” tegasnya.

Mewakili DPD, ia memastikan dukungan terhadap langkah Kemenkeu, namun tetap mengawal agar keberanian fiskal benar-benar menumbuhkan kemandirian daerah.

Sementara itu, Purbaya mengatakan belum dapat memaparkan banyak detail lantaran raker tersebut merupakan pertemuan pertamanya bersama DPD. Ia menegaskan bahwa pemerintah berupaya memastikan anggaran digunakan maksimal, termasuk realokasi dana yang tidak terserap agar bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat.

“Saya baru mau mulai diskusi dengan DPD, jadi belum bisa cerita banyak. Yang jelas, kami pastikan anggaran bekerja,” kata Purbaya. (alf)

Perbaikan Coretax Berlanjut, Dirjen Pajak Tinjau Pelayanan di KPP Pratama Makassar Utara

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto melakukan inspeksi mendadak ke KPP Pratama Makassar Utara untuk melihat langsung bagaimana pelayanan pajak berjalan setelah sistem Coretax diterapkan. Bukan hanya memeriksa alur layanan, ia sengaja meminta Wajib Pajak menyampaikan pengalaman mereka tanpa perantara.

Dalam pertemuan itu, sejumlah Wajib Pajak mengungkapkan kesan dan kendala teknis ketika menggunakan sistem baru tersebut. Bimo menegaskan bahwa Coretax dirancang untuk menyederhanakan administrasi pajak, bukan menambah kerumitan.

“Coretax itu fondasi baru pelayanan pajak modern. Tujuannya membuat proses lebih efisien, akurat, dan transparan,” ujar Bimo, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2025).

Kepada para pegawai, Bimo mengingatkan bahwa modernisasi sistem tidak akan berarti tanpa sikap pelayanan yang benar. Ia menekankan bahwa ukuran pelayanan bukan hanya kecepatan melayani, tetapi juga etika dan ketulusan petugas dalam membantu masyarakat.

Ia mengatakan setiap interaksi antara petugas pajak dan Wajib Pajak menjadi cerminan integritas institusi.

Selain berbicara dengan masyarakat, Bimo juga mengumpulkan para pegawai KPP dalam sesi pengarahan internal. Ia meminta seluruh jajaran menjaga profesionalisme dan membangun suasana kerja yang sehat agar pelayanan ke masyarakat dapat dilakukan dengan optimal.

Coretax Masih Dibenahi

Di sisi lain, pemerintah masih menggarap perbaikan teknis Coretax. Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa tim ahli IT eksternal terus menyempurnakan sistem tersebut.

Menurut Purbaya, sejumlah perbaikan telah meningkatkan kecepatan sistem, meski masih ditemukan gangguan dalam kasus-kasus tertentu.

“Percepatannya sudah terasa. Kalau dites beberapa menit tidak ada masalah, tapi kadang masih muncul error kecil. Artinya prosesnya belum sepenuhnya sempurna,” kata Purbaya.

Oktober lalu, tim IT mengutamakan dua hal: memperbaiki tampilan antarmuka agar lebih ramah pengguna dan memperkuat sistem keamanan siber. Hasil evaluasi awal menunjukkan keamanan Coretax sebelumnya berada pada level memprihatinkan.

“Sebelum diperbaiki, skor keamanan siber cuma 30 dari 100. Itu berarti sistem mudah diserang. Kita belum tahu penyebabnya, apakah trafik yang terlalu padat atau upaya mengganggu dari luar. Yang jelas, sekarang kami perketat dan terus kami upgrade,” ujarnya. (alf)

id_ID