IKAPRAMA dan IKPI Jaksel Gandeng UMKM untuk Tingkatkan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Menjelang batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh), Ikatan Alumni Prasetiya Mulya (IKAPRAMA) SIG Financial Club dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan (Jaksel) berinisiatif memberikan asistensi kepada sekitar 90 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Langkah ini bertujuan untuk memastikan UMKM memahami proses pelaporan pajak dengan benar serta menghindari sanksi akibat keterlambatan atau kesalahan pelaporan.

Kegiatan yang berlangsung dalam format webinar dan asistensi langsung ini didukung oleh Pajak.com serta menghadirkan berbagai pakar perpajakan. Acara ini tidak hanya berfokus pada teknis pelaporan, tetapi juga memberikan pemahaman mendalam mengenai regulasi perpajakan terbaru yang berdampak pada UMKM.

Leander Resadhatu, Partner RDN Consulting sekaligus pengurus IKAPRAMA dan Financial Club, menekankan pentingnya sinergi antara komunitas profesional dan pelaku usaha dalam meningkatkan kepatuhan pajak. “Kami ingin membantu UMKM agar dapat melaporkan SPT tahunan dengan tepat waktu dan sesuai regulasi, sehingga mereka tidak hanya terhindar dari denda, tetapi juga dapat berkontribusi dalam mengoptimalkan penerimaan pajak negara,” ujar Leander dalam sambutannya belum lama ini.

Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris IKPI Jaksel, Faryanti Tjandra. Ia menyebut bahwa banyak UMKM masih mengalami kendala dalam memahami perubahan aturan perpajakan.

“Kami berharap melalui asistensi ini, para pelaku usaha bisa selalu update terhadap aturan pajak terbaru, sehingga mereka lebih siap dalam menyusun laporan pajak tahunan dengan lebih efisien,” kata Faryanti.

Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 menetapkan sanksi keterlambatan pelaporan SPT tahunan sebesar Rp100 ribu bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Rp1 juta bagi Wajib Pajak badan. Selain itu, kesalahan pelaporan dapat berujung pada pemeriksaan yang berpotensi menjadi sengketa pajak.

Oleh karena itu, kesadaran dan kesiapan UMKM dalam memenuhi kewajiban pajaknya menjadi hal yang sangat krusial.

Dalam sesi teknis, anggota IKPI Jaksel Anthony Pasaribu memberikan panduan bagi Wajib Pajak UMKM terkait dokumen yang perlu dipersiapkan sebelum melaporkan SPT tahunan. “Para pelaku usaha perlu menyiapkan daftar harta per 31 Desember 2024, daftar utang, kartu keluarga, serta bukti setoran pajak sebelum mengisi SPT melalui e-Filing,” jelas Anthony.

Ia juga mengingatkan bahwa UMKM dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun berhak menggunakan skema tarif PPh final sebesar 0,5 persen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Dengan memahami aturan ini, UMKM dapat lebih bijak dalam perencanaan pajaknya dan menghindari potensi kendala di masa mendatang.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan asistensi langsung, di mana para peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk mendapatkan bimbingan lebih spesifik. Para anggota IKPI Jaksel, yakni Sempurna Bahri, Boy Syabana, dan Putu Bagus Adi Wibawa, turut memberikan pendampingan kepada UMKM dalam menyelesaikan pelaporan pajak mereka.

Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan para pelaku UMKM dapat semakin mandiri dalam mengelola kewajiban perpajakannya. Upaya kolaboratif antara komunitas profesional, regulator, dan pelaku usaha menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem pajak yang lebih patuh dan transparan di Indonesia. (bl)

DJP Kembali Ingatkan Wajib Pajak OP untuk Segera Lapor SPT Tahunan, Hindari Sanksi Administrasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk tahun pajak 2024. Batas akhir pelaporan yang seharusnya berakhir pada 31 Maret 2025 kini diperpanjang hingga 11 April 2025. Perpanjangan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-79/P/2025 yang diterbitkan pada Selasa (25/3/2025) lalu.

Pelaporan SPT Tahunan merupakan kewajiban bagi seluruh wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) aktif. DJP menekankan bahwa keterlambatan dalam melaporkan SPT akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, dalam kebijakan terbaru, DJP memutuskan untuk menghapus sanksi keterlambatan bagi WP yang tetap melaporkan SPT dalam masa perpanjangan hingga 11 April 2025.

Perpanjangan batas waktu pelaporan ini dilakukan dengan mempertimbangkan adanya cuti bersama Hari Raya Nyepi dan Lebaran 2025. Kendati demikian, DJP menegaskan bahwa sanksi administratif tetap berlaku bagi wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak melewati batas waktu yang sudah diperpanjang.

Untuk SPT Tahunan Badan, batas waktu pelaporan tetap pada 30 April 2025. WP yang melaporkan SPT setelah 11 April 2025 akan dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp100.000 yang ditagihkan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Jika denda tidak segera dilunasi, wajib pajak akan diusulkan untuk pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan sebelum batas akhir guna menghindari sanksi dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Pelaporan SPT dapat dilakukan secara daring melalui situs resmi DJP untuk mempermudah proses administrasi pajak bagi wajib pajak di seluruh Indonesia. (alf)

 

 

Dirjen Pajak Minta Maaf dan Apresiasi Wajib Pajak di Momen Idulfitri

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, menyampaikan permohonan maaf atas layanan perpajakan yang mungkin kurang maksimal selama ini. Hal itu disampaikan melalui sebuah video singkat ucapan selamat Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah yang diunggah di akun Instagram resmi @ditjenpajakri pada Minggu (30/3/2025).

“Kami memohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila dalam menjalankan tugas kami selama ini untuk memberikan pelayanan perpajakan terdapat hal-hal yang mengganggu kenyamanan Bapak-Ibu semuanya,” ujar Suryo dalam video tersebut.

Ia menegaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dengan berpegang pada nilai-nilai Kementerian Keuangan.

Selain itu, Suryo juga mengapresiasi para wajib pajak (WP) yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara tepat waktu.

“Pelaporan SPT tahunan tepat waktu merupakan cermin kepatuhan kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa meridai kita semua dan insya Allah dipertemukan kembali dengan Ramadan tahun depan,” tambahnya.

Batas Waktu Pelaporan SPT Semakin Dekat

Sebagai informasi, batas waktu penyampaian SPT Tahunan 2024 semakin dekat. Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki tenggat hingga 31 Maret 2025, sementara Wajib Pajak Badan harus menyampaikannya paling lambat 30 April 2025.

Hingga 30 Maret 2025 pukul 00.01 WIB, masih terdapat sekitar 7,63 juta wajib pajak yang belum menyampaikan SPT dari total 19.775.679 wajib pajak yang harus melaporkan.

Sorotan Terhadap Coretax dan Dampaknya pada Penerimaan Pajak

Dalam beberapa bulan terakhir, DJP mendapat sorotan terkait implementasi sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax yang diluncurkan pada 1 Januari 2025. Sistem ini mengalami berbagai kendala yang berdampak pada layanan perpajakan dan diduga menjadi salah satu faktor penurunan penerimaan pajak.

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak per Februari 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, turun 30,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun. Para pakar menilai, permasalahan teknis Coretax turut berkontribusi pada penurunan ini.

Namun, Kementerian Keuangan menyatakan faktor utama penurunan lebih disebabkan oleh anjloknya harga komoditas serta kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) atas PPh 21.

Sebagai langkah antisipatif, DJP membatalkan seluruh sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan penyampaian SPT melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 67/PJ/2025. Selain itu, DJP juga memperbolehkan kembali penggunaan aplikasi e-Faktur Desktop untuk menerbitkan faktur pajak, tidak hanya melalui Coretax, sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-54/PJ/2025.

Dengan berbagai langkah perbaikan ini, DJP berharap dapat meningkatkan kualitas layanan serta mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di masa mendatang. (alf)

DJP Ingatkan Wajib Pajak Jangan Terjebak Modus Penipuan Baru

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap modus penipuan yang mengatasnamakan DJP. Baru-baru ini, muncul berbagai bentuk penipuan dengan konten yang menyerupai informasi resmi DJP, tetapi berisi tautan palsu yang berpotensi mencuri data pribadi dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk tidak mudah percaya dan tidak mengklik sembarang tautan.

Kenali Modus Penipuan

Berikut adalah beberapa modus penipuan yang sering digunakan:

• Konten palsu yang menyerupai informasi resmi DJP, tetapi berisi tautan berbahaya.

• Perintah untuk mengunduh aplikasi M-Pajak palsu.

• Perintah membuka file .APK dengan judul “Surat Ketetapan Pajak”.

• Permintaan konfirmasi status atau perubahan data wajib pajak.

• Permintaan pembayaran biaya meterai atau layanan lain melalui rekening pribadi.

• Instruksi membayar tagihan pajak ke rekening pribadi.

• Penawaran jasa percepatan pengembalian kelebihan pajak.

• Pelaku berpura-pura sebagai pegawai atau pejabat DJP.

• Penipuan melalui berbagai saluran, seperti SMS, WhatsApp, email, surat fisik, maupun telepon.

Hal-Hal yang Harus Dihindari

Untuk melindungi diri dari penipuan, pastikan Anda tidak melakukan hal-hal berikut:

• Memberikan informasi sensitif seperti nama ibu kandung, tanggal lahir, nomor telepon, alamat, dan data pribadi lainnya.

• Melakukan transfer uang untuk biaya meterai, pembayaran tunggakan pajak, atau pembayaran lainnya ke rekening pribadi.

• Memberikan kode unik One Time Password (OTP) kepada pihak yang tidak dikenal.

Konfirmasikan ke Saluran Resmi DJP

Jika menerima pesan yang mencurigakan mengatasnamakan DJP, segera konfirmasikan melalui saluran resmi berikut:

• Kring Pajak 1500200

• Kantor pajak terdekat

• Website pengaduan resmi: pengaduan.pajak.go.id

DJP mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati dan memastikan bahwa semua interaksi terkait pajak dilakukan melalui saluran resmi. Jangan sampai menjadi korban penipuan yang dapat merugikan Anda secara finansial maupun keamanan data pribadi. Tetap waspada, lindungi data Anda! (alf)

 

Bukan hanya Indonesia, Lima Negara ini juga Memberlakukan Pelaporan SPT Pajak Tahunan 

IKPI, Jakarta: Setiap musim pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tiba, masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya: mengapa harus melaporkan pajak meskipun sudah membayar pajak? Perlu diketahui bahwa kewajiban pelaporan SPT Tahunan ini bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain dengan aturan dan prosedur yang berbeda-beda.

Dikutip dari Pajak.com, berikut adalah perbandingan sistem pelaporan pajak di lima negara lain yang bisa menjadi referensi bagi Wajib Pajak Indonesia.

1. Jepang

Di Jepang, SPT Tahunan dilakukan dengan menghitung pendapatan dari 1 Januari hingga 31 Desember. Wajib Pajak wajib melaporkan SPT antara 16 Februari hingga 15 Maret tahun berikutnya, kecuali jika jumlah pajak yang terutang lebih kecil dari pajak yang telah dibayar atau dikreditkan. Wajib Pajak tidak perlu melaporkan SPT jika pendapatan gaji kurang dari 20 juta yen atau hanya memiliki satu pemberi kerja. Selain itu, jika tenggat waktu pelaporan jatuh pada hari libur, maka batas waktu akan diperpanjang hingga hari kerja berikutnya.

2. Australia

Di Australia, tahun pajak berlangsung dari 1 Juli hingga 30 Juni, dan Wajib Pajak harus melaporkan SPT antara 1 Juli hingga 31 Oktober. Penduduk dengan penghasilan di atas 18.200 dolar Australia wajib melaporkan pajak, sementara nonresiden harus melaporkan jika memperoleh penghasilan sebesar 1 dolar Australia atau lebih.

Proses pelaporan bisa dilakukan secara daring dengan waktu pemrosesan sekitar 2 minggu atau manual yang memakan waktu lebih lama. Audit pajak dapat dilakukan hingga dua tahun setelah pelaporan, dan Wajib Pajak bisa dikenakan denda jika ditemukan ketidaksesuaian.

3. Italia

Di Italia, Wajib Pajak dapat menggunakan formulir REDDITI PF atau formulir 730 tergantung jenis penghasilannya. Formulir 730 digunakan oleh karyawan dan pensiunan, sementara formulir REDDITI PF untuk penghasilan yang lebih kompleks. Pelaporan dapat dilakukan secara daring dengan sistem identifikasi digital.

Batas waktu pengajuan adalah 30 September untuk formulir 730 dan 31 Oktober untuk formulir REDDITI PF. Sistem pajak di Italia berbasis penilaian mandiri (self-assessment), di mana pembayaran dilakukan dalam dua cicilan dan pengembalian pajak dilakukan langsung oleh otoritas pajak.

4. Denmark

Di Denmark, sistem pajak berdasarkan pemotongan sementara yang dihitung dari penghasilan tahunan. Wajib Pajak harus mengajukan laporan pajak sebelum 1 Mei atau 1 Juli tahun berikutnya. Badan Pajak Denmark akan menentukan apakah ada kekurangan atau kelebihan pajak. Semua pembayaran kena pajak memiliki kewajiban pelaporan, dan informasi pajak dapat diakses secara daring. Proses audit pajak dilakukan berdasarkan laporan dari pemberi kerja, bank, dan lembaga keuangan.

5. Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, Wajib Pajak yang memiliki penghasilan di atas batas tertentu harus mendaftarkan diri dan menyampaikan SPT Tahunan melalui e-Filing. Ambang batas pendapatan yang mewajibkan pelaporan adalah 95.750 rand untuk usia di bawah 65 tahun.

Pelaporan dilakukan selama Tax Season yang berlangsung dari Maret hingga Februari. Sebagian Wajib Pajak menerima penilaian otomatis berdasarkan data dari pemberi kerja dan lembaga keuangan. Jika terdapat ketidaksesuaian, Wajib Pajak dapat mengajukan koreksi. Audit pajak dapat dilakukan kapan saja oleh South African Revenue Service (SARS).

Dengan memahami sistem pelaporan pajak di berbagai negara, diharapkan Wajib Pajak di Indonesia dapat lebih sadar akan pentingnya pelaporan SPT Tahunan sebagai bagian dari kewajiban perpajakan yang berlaku secara global. (alf)

 

Danantara Berpotensi Dorong Investasi dan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui berbagai strategi, salah satunya adalah pembentukan Dana Investasi Nasional (Danantara). Wakil Ketua Banggar DPR RI, Wihadi Wiyanto, menyatakan bahwa Danantara akan berperan penting dalam mendorong investasi yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak.

Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Wihadi menjelaskan bahwa Danantara akan berfungsi sebagai lembaga investasi yang mengelola dividen dari BUMN untuk mendanai proyek-proyek strategis. “Investasi yang dilakukan melalui Danantara diharapkan mampu menciptakan efek berganda, meningkatkan daya beli masyarakat, serta memperbesar basis pajak dari sektor-sektor yang berkembang,” katanya, Sabtu, (30/3/2025).

Wihadi menambahkan bahwa Danantara akan memungkinkan pemerintah untuk lebih fleksibel dalam mengalokasikan dana bagi proyek-proyek infrastruktur dan industri prioritas, yang nantinya akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan penerimaan pajak dari sektor usaha. Dengan adanya investasi yang lebih terarah, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi dapat lebih terakselerasi dan sektor-sektor produktif dapat berkembang lebih cepat.

Ia juga menekankan bahwa meskipun Danantara tidak secara langsung mengambil alokasi dari APBN, dampak ekonominya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak dalam jangka panjang. “Kita melihat bahwa pengelolaan investasi melalui Danantara dapat menjadi solusi dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Dengan investasi yang terkelola dengan baik, kita bisa meningkatkan daya saing ekonomi nasional dan memperkuat basis pajak negara,” jelasnya.

Selain itu, Wihadi menilai bahwa Danantara dapat membantu dalam menarik investasi asing yang lebih besar ke Indonesia. Dengan struktur yang lebih ramping dan fleksibel dibandingkan lembaga investasi sebelumnya, Danantara diharapkan mampu menarik minat investor global untuk menanamkan modalnya di berbagai sektor strategis Indonesia. “Kita harus melihat ini sebagai langkah ke depan dalam memperkuat ketahanan fiskal negara. Dengan semakin banyaknya investasi yang masuk, penerimaan pajak akan meningkat, dan ini akan memberikan dampak positif bagi anggaran negara,” tambahnya.

Meskipun terdapat kekhawatiran bahwa penerimaan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan berkurang akibat pengalihan dana ke Danantara, Wihadi menegaskan bahwa penerimaan pajak yang meningkat akan menyeimbangkan potensi pengurangan tersebut. Dengan strategi yang tepat, Danantara diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang memberikan dampak positif bagi keuangan negara dalam jangka panjang. (alf)

DJP Ingatkan Batas Akhir Penyampaian Pemberitahuan NPPN hingga 31 Maret 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar untuk segera menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Batas waktu penyampaian pemberitahuan ini adalah hingga 31 Maret 2025.

Dalam unggahannya di laman Instagram @pajakjakartapusat, yang dilihat pada Minggu (30/3/2025), pemberitahuan penggunaan NPPN ini dapat disampaikan melalui berbagai kanal, yaitu melalui aplikasi Coretax DJP, layanan Kring Pajak, Kantor Pajak terdekat, atau melalui pos/jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.

DJP menegaskan bahwa wajib pajak harus memastikan bahwa pemberitahuan penggunaan NPPN telah diterima dengan lengkap. Wajib pajak dapat melakukan pengecekan dengan memastikan bahwa Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) atau Bukti Penerimaan Surat (BPS) sudah masuk dalam “Daftar Fasilitas Saya” di akun Coretax DJP.

DJP mengimbau kepada seluruh wajib pajak yang memenuhi kriteria untuk segera menyampaikan pemberitahuan sebelum tenggat waktu guna menghindari kendala administrasi di kemudian hari. (alf)

 

 

DPR Optimis Penerimaan Pajak di Tengah Momentum Ramadan dan Lebaran Meningkat

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Banggar DPR, Wihadi Wiyanto, optimistis bahwa penerimaan pajak akan meningkat seiring dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri. Demikian dikatakan Wihadi dikutip dari diskusi di acara Power Lunch CNBC Indonesia pada Jumat (14/03/2025).

Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang masih berada di jalur positif akan menopang penerimaan negara. Menurut Wihadi, konsumsi masyarakat yang meningkat selama Ramadan dan Lebaran akan berdampak pada perputaran ekonomi yang lebih tinggi, sehingga turut meningkatkan penerimaan pajak, terutama dari sektor konsumsi dan perdagangan.

“Kita melihat bahwa daya beli akan meningkat signifikan, terutama dengan adanya kebijakan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) yang akan memperkuat konsumsi masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Wihadi menekankan bahwa adanya peningkatan transaksi di sektor ritel, kuliner, dan pariwisata selama bulan puasa dan Lebaran juga akan menjadi faktor pendorong penerimaan pajak dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan (PPh) dari pelaku usaha yang mengalami peningkatan omset.

Selain itu, sektor e-commerce juga diperkirakan akan berkontribusi besar terhadap pajak, mengingat tren belanja online yang terus meningkat selama periode ini.

Ia juga menyoroti bahwa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang jatuh pada bulan Maret akan menjadi faktor tambahan dalam peningkatan penerimaan pajak negara. Dengan sistem perpajakan yang semakin baik, diharapkan kepatuhan wajib pajak akan meningkat dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

“Pembayaran pajak yang tepat waktu dan akurat akan membantu pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal, terutama di tengah tantangan ekonomi global saat ini,” ujarnya.

Meski demikian, Wihadi mengingatkan bahwa tantangan masih ada, seperti potensi deflasi dan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat terus menjaga stabilitas harga serta memberikan insentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah agar tetap bisa berkembang dan berkontribusi terhadap penerimaan pajak. (alf)

Parsel Lebaran dan Pajak Natura: Ini yang Perlu Diketahui Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Berbagi parsel saat Lebaran sudah menjadi tradisi yang melekat di Indonesia. Namun, di tengah ketatnya aturan perpajakan, muncul pertanyaan apakah parsel Lebaran yang diterima dikenakan pajak natura? Untuk memahami lebih lanjut, mari kita bahas ketentuan hukum yang berlaku terkait aturan pajak natura dan bagaimana hal itu berhubungan dengan hadiah Lebaran.

Pajak Natura dan Lebaran

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2023 sebagai bagian dari harmonisasi peraturan perpajakan. Aturan ini mengatur bahwa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dapat menjadi objek pajak sehingga harus dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Namun, terdapat pengecualian dalam aturan ini. Parsel Lebaran yang diberikan oleh pemberi kerja dalam rangka perayaan hari besar keagamaan termasuk salah satu bentuk natura yang tidak dikenakan PPh. Hal ini tercantum dalam lampiran PMK 66/2023 yang menyebutkan bahwa bingkisan berupa bahan makanan dan minuman dalam rangka Hari Raya Idulfitri, Natal, Nyepi, Waisak, atau Tahun Baru Imlek tidak dikenakan pajak bagi penerimanya.

Syarat dan Contoh Penghitungan Parsel Lebaran Bebas Pajak

Meskipun parsel Lebaran umumnya dikecualikan dari pajak natura, terdapat beberapa kondisi di mana hadiah ini bisa menjadi objek PPh, yaitu:

• Jika parsel diberikan bukan dalam rangka perayaan hari besar keagamaan.

• Jika pegawai menerima bingkisan dengan nilai lebih dari Rp3 juta dalam satu Tahun Pajak.

Sebagai contoh, berikut adalah skenario penerimaan bingkisan oleh seorang pegawai, Tuan BZ, dari PT BC sepanjang tahun 2024:

• 30 Maret 2024: Parsel Lebaran berupa bahan makanan dan minuman senilai Rp500.000. Tidak dikenakan pajak karena termasuk pengecualian dalam PMK 66/2023.

• 19 Juni 2024: Bingkisan peralatan rumah tangga dalam rangka ulang tahun perusahaan senilai Rp1.000.000. Tidak dikenakan pajak karena masih di bawah batas Rp3 juta.

• 18 Agustus 2024: Bingkisan televisi senilai Rp4.000.000 sebagai apresiasi kinerja. Karena total nilai bingkisan yang diterima telah melebihi Rp3 juta, selisih Rp2 juta dikenakan PPh.

• 19 November 2024: Bingkisan oven senilai Rp2.000.000. Seluruh nilai ini dikenakan PPh karena total bingkisan sebelumnya telah melebihi batas pengecualian.

Dari contoh ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun ada pengecualian untuk parsel Lebaran, penerima tetap perlu memahami aturan terkait batasan nilai agar tidak terkena pajak tambahan. Dengan demikian, penting bagi masyarakat, terutama karyawan dan pemberi kerja, untuk memahami ketentuan pajak natura agar dapat mematuhi regulasi yang berlaku. (alf)

 

Guru Besar UI Dorong Pembentukan Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Haula Rosdiana, mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara. Menurutnya, kelemahan mendasar dalam aspek kelembagaan pemungutan penerimaan negara menjadi penyebab rendahnya rasio perpajakan Indonesia dibanding negara lain.

Laporan Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia mengungkap bahwa rasio pajak Indonesia pada 2021 hanya mencapai 9,1%. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di kawasan seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%).

Haula menegaskan bahwa solusi terbaik untuk meningkatkan penerimaan negara adalah dengan melakukan reformasi kelembagaan. Ia mengusulkan agar lembaga-lembaga pemungut penerimaan negara dilebur menjadi satu dalam Badan Penerimaan Negara. “Pak Sumitro [Sumitro Djojohadikoesoemo], tahun 1955 sudah menekankan bahwa kelembagaan adalah faktor krusial dalam transformasi penerimaan negara,” ungkapnya, Sabtu (29/3/2025).

Sebagai profesor perempuan pertama di bidang perpajakan di Indonesia, Haula juga mengkritisi kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kembali mengimplementasikan joint programme antar lembaga di Kementerian Keuangan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, program serupa yang pernah dijalankan pada 2018–2019 terbukti tidak efektif akibat kendala teknis, seperti pertukaran data yang tidak otomatis serta ego sektoral antar lembaga. Ia menilai joint programme hanya menjadi kebijakan formalitas yang tidak memberikan hasil signifikan.

“Kata Einstein, Insanity itu adalah ketika kamu mengharapkan hasil yang berbeda tetapi masih menggunakan cara yang sama,” ujar Haula.

Diberitakan sebelumnya, pada Kamis (27/3/2025), Sri Mulyani meresmikan pelaksanaan joint programme yang melibatkan tujuh unit di lingkungan Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Sekretariat Jenderal (Setjen), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Lembaga National Single Window (LNSW). Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi dalam analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan intelijen penerimaan negara.

Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio perpajakan dan memperkuat fondasi fiskal nasional. “Optimalisasi penerimaan negara tahun 2025 melalui joint programme dimulai hari ini,” ujarnya.

Namun, Haula tetap meyakini bahwa perombakan kelembagaan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara adalah langkah paling efektif untuk mencapai target penerimaan negara yang lebih optimal. (alf)

 

 

id_ID