Hingga November 2024 Pemerintah Himpun Rp10,59 Triliun dari Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah berhasil menghimpun pajak dari sektor digital mencapai Rp10,59 triliun sepanjang Januari hingga November 2024. Angka tersebut diperoleh dari berbagai sektor digital, termasuk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), kripto, fintech (P2P lending), dan Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (P2 Humas DJP) Dwi Astuti, kontribusi terbesar berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN) atas PMSE, yang mencapai Rp7,58 triliun. Selain itu, sektor kripto memberikan setoran pajak sebesar Rp511,8 miliar, sementara pajak dari sektor fintech P2P lending tercatat sebesar Rp1,31 triliun. Sektor SIPP turut berkontribusi dengan setoran pajak senilai Rp1,19 triliun.

Artinya, total pajak yang sudah dihimpun mencapai Rp24,5 triliun hingga November 2024. Angka ini didapatkan dari 171 pelaku PMSE yang telah ditunjuk dari 199 pelaku yang terdaftar. Pemerintah juga melakukan penunjukan baru pada bulan November 2024, dengan tujuh pelaku baru yang ditunjuk untuk memungut PPN PMSE, di antaranya Amazon Japan G.K., Vorwerk International & Co. KmG, dan Huawei Service (Hong Kong) Co., Limited. Selain itu, tercatat satu perubahan data dan satu pencabutan pelaku PMSE pada bulan yang sama.

Sekadar nformasi, sektor kripto mencatatkan setoran pajak sebesar Rp979,08 miliar hingga November 2024. Angka tersebut terdiri dari PPh 22 atas transaksi penjualan yang mencapai Rp459,35 miliar, serta PPN dalam negeri (DN) atas transaksi pembelian kripto di exchanger sebesar Rp519,73 miliar.

Sedangkan sektor P2P lending juga memberikan kontribusi signifikan dengan total setoran pajak mencapai Rp2,86 triliun. Setoran tersebut berasal dari tiga jenis pajak, yakni PPh 23 atas bunga pinjaman dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp800,99 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar Rp558,57 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,5 triliun.

Sementara ntuk sektor SIPP turut menyumbang total setoran pajak senilai Rp2,71 triliun, terdiri dari PPh sebesar Rp183,83 miliar dan PPN sebesar Rp2,53 triliun.

“Pemerintah terus melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap sektor-sektor digital ini guna memastikan kepatuhan pajak yang optimal. Upaya ini sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk memajukan sektor digital dan memperkuat basis pajak di Indonesia,” ujar Dwi kepada media baru-baru ini. (alf)

Hadi Poernomo: Transparansi Harusnya Jadi Solusi Meningkatkan Rasio Pajak, Bukan Kenaikan PPN

IKPI, Jakarta: Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% bagi barang mewah yang akan diterapkan mulai tahun 2025 dikritisi mantan Dirjen Pajak periode 2001-2006 Hadi Poernomo. Menurutnya, langkah ini bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia yang masih rendah.

Anggota Kehormatan dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ini mengungkapkan bahwa menaikkan tarif PPN justru bisa menjadi jalan terakhir untuk mendongkrak penerimaan negara. Sebaliknya, ia menilai tarif PPN seharusnya tetap dipertahankan pada 10%.

“Idealnya, rasio pajak seharusnya meningkat seiring dengan penurunan tarif pajak, bukan sebaliknya,” ujar pria yang akrab di sapa Pung seperti dikutip dari podcast Cuap-Cuap Cuan yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Jumat (13/12/2024).

Menurut Pung, solusi yang lebih efektif untuk meningkatkan rasio pajak adalah dengan memperbaiki sistem kepatuhan pajak. Salah satu cara yang disarankan adalah dengan memperkuat pengawasan atau monitoring terhadap pembayaran pajak secara mandiri oleh Wajib Pajak (WP) melalui sistem self-assessment.

Dalam sistem ini, setiap transaksi keuangan dan non-keuangan WP harus dilaporkan secara transparan, sehingga dapat mengurangi potensi kebocoran pajak dan praktek korupsi yang sering terjadi. “Sistem ini bagaikan CCTV bagi penerimaan negara,” kata Pung.

Dengan adanya transparansi, lanjutnya, petugas pajak tidak akan semena-mena dalam menjalankan tugasnya, dan WP pun diharapkan lebih patuh dalam melaporkan kewajiban pajaknya. Melalui penerapan sistem digitalisasi yang lebih ketat, data transaksi keuangan, rekening bank, hingga transaksi luar negeri dapat terhubung langsung dengan sistem pajak.

Pemerintah Indonesia menurut Pung, sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerapkan sistem ini, yaitu Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Bahkan, ia menambahkan, lembaga jasa keuangan dan perbankan wajib menyampaikan data transaksi kepada otoritas pajak secara otomatis.

Dengan demikian, Pung meyakini bahwa sistem pengawasan pajak yang lebih transparan dan digital dapat meningkatkan kepatuhan WP, yang pada gilirannya dapat mendongkrak penerimaan pajak.

Ia optimistis bahwa target rasio pajak Indonesia yang sebesar 16% yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto bisa tercapai dalam beberapa tahun ke depan. “Monitoring self-assessment bisa meningkatkan rasio pajak antara 1-2%, yang setara dengan Rp 250 triliun hingga Rp 500 triliun,” ujarnya.

Dengan demikian, Pung meyakini, meskipun kebijakan peningkatan tarif PPN dapat memberikan tambahan penerimaan pajak dalam jangka pendek, pendekatan yang lebih berkelanjutan melalui peningkatan kepatuhan pajak dan transparansi sistem perpajakan diharapkan bisa menjadi kunci utama dalam mengoptimalkan rasio pajak Indonesia di masa depan. (alf)

Pemerintah Siapkan Paket Stimulus Pajak Dukung Sektor Otomotif dan Properti

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengumumkan bahwa pemerintah akan meluncurkan paket stimulus ekonomi terbaru yang ditujukan untuk mendongkrak pertumbuhan dua sektor penting dalam perekonomian Indonesia, yakni otomotif dan properti. Paket ini akan berupa insentif pajak yang diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat serta memperkuat daya saing industri domestik.

Menurut Airlangga, paket stimulus ini akan terdiri dari dua jenis insentif pajak utama. Pertama, relaksasi pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk sektor otomotif, dan kedua, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti. Pengumuman resmi mengenai kedua insentif ini dijadwalkan akan dilakukan dalam waktu dekat, yaitu pekan ini.

Stimulus untuk Sektor Otomotif

Airlangga menjelaskan bahwa insentif PPnBM akan diberikan kepada industri otomotif dalam rangka mendorong peningkatan penjualan kendaraan bermotor. Pemerintah berharap dengan adanya insentif ini, sektor otomotif yang sempat terpuruk akibat pandemi COVID-19 dapat kembali bangkit, serta memperkuat daya beli masyarakat. “Kami berharap paket ekonomi ini bisa kami selesaikan dan memberikan dampak positif bagi industri otomotif,” ujar Airlangga kepada media di kantornya, Kamis (12/12/2024).

Pemerintah menilai sektor otomotif memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja maupun sebagai motor penggerak industri lainnya. Dengan adanya insentif pajak, diharapkan permintaan terhadap kendaraan baru akan meningkat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Stimulus untuk Sektor Properti

Selain sektor otomotif, paket stimulus ini juga akan mencakup insentif pajak untuk sektor properti. Airlangga mengungkapkan bahwa pemerintah akan memberikan insentif PPN DTP (ditanggung pemerintah) untuk sektor perumahan. Insentif ini dimaksudkan untuk menurunkan harga jual rumah bagi masyarakat, khususnya bagi kelas menengah yang tengah mengalami tekanan ekonomi akibat inflasi dan kenaikan harga barang.

Diharapkan, dengan adanya insentif ini, masyarakat akan lebih mudah membeli rumah yang sekaligus bisa mendongkrak permintaan di sektor properti. Sektor ini, yang merupakan salah satu sektor besar yang menyerap banyak tenaga kerja, diharapkan dapat kembali menunjukkan tren positif pasca-pandemi.

“Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya di sektor perumahan,” kata Airlangga.

Selain itu, Airlangga juga menekankan pentingnya kedua insentif pajak ini dalam menjaga daya saing industri domestik, terutama di sektor padat karya. Ia menyatakan bahwa insentif pajak ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaku industri nasional tidak kalah saing dengan pelaku industri baru yang didukung oleh dana investasi asing.

Melalui paket stimulus ini, pemerintah berharap bisa menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi pelaku industri lokal untuk berinovasi dan berkembang.

Sektor properti dan otomotif merupakan dua sektor yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi konsumsi masyarakat maupun penciptaan lapangan pekerjaan.

Oleh karena itu lanjit Airlangga, insentif pajak ini diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia pasca-pandemi dan menghadapi tantangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

Airlangga juga menyatakan bahwa meskipun rencananya pengumuman kedua insentif ini akan dilakukan bersamaan, namun pihaknya masih belum bisa memastikan tanggal pastinya. Ia menyebutkan bahwa jika memungkinkan, kedua insentif ini akan diumumkan dalam waktu bersamaan, namun jika tidak memungkinkan, pengumuman bisa dilakukan secara bertahap.

Menurutnya, paket stimulus ini sangat penting untuk memberikan dukungan langsung kepada masyarakat kelas menengah yang membutuhkan akses lebih mudah terhadap properti dan kendaraan bermotor. “Kami akan terus memonitor dan mengevaluasi dampak dari kebijakan ini agar bisa memberikan hasil yang maksimal bagi perekonomian nasional,” ujarnya.

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap sektor otomotif dan properti dapat kembali menjadi penggerak ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, serta meningkatkan konsumsi domestik yang pada akhirnya akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia. Pemerintah juga berharap stimulus ini akan mampu menciptakan peluang bisnis baru di sektor-sektor terkait, sekaligus memperkuat daya saing Indonesia di kancah global. (alf)

IFA Indonesia Gelar Seminar Pajak Internasional ke-12 di Jakarta

IKPI, Jakarta: International Fiscal Association (IFA) Indonesia sukses menggelar “The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar” pada 10-11 Desember 2024 di Financial Hall Graha CIMB Niaga, Jakarta. Seminar ini menghadirkan para otoritas, praktisi, akademisi, dan korporasi untuk membahas isu-isu perpajakan global terkini dan memberikan panduan dalam merespons kebijakan perpajakan internasional.

Ketua IFA Indonesia Ichwan Sukardi, menjelaskan bahwa seminar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang dampak kebijakan pajak internasional bagi perusahaan serta memberikan arahan tentang langkah-langkah yang perlu diambil oleh berbagai pihak terkait.

“Seminar ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi wajib pajak, membantu mereka memahami dampak kebijakan perpajakan global terhadap perusahaan mereka, serta memberikan masukan kepada otoritas terkait dalam penyusunan kebijakan perpajakan,” ujar Ichwan melalui keterangan tertulisnya yang diterima, Kamis (12/12/2024).

Sekadar informasi, selama dua hari, seminar ini menghadirkan sesi-sesi mendalam dan partisipatif yang membahas berbagai topik, termasuk perspektif dari narasumber yang berasal dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), IFA Internasional, praktisi perpajakan dari berbagai negara, serta akademisi.

Pembahasan utama dalam seminar kali ini mencakup isu-isu kebijakan pajak internasional yang paling aktual, termasuk Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0, khususnya Pilar I dan Pilar II.

Ichwan menekankan bahwa Pilar II, yang berkaitan dengan pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT), menjadi topik yang sangat relevan bagi Indonesia, terutama dengan rencana Kementerian Keuangan yang sedang menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang GMT.

“Pilar II ini akan langsung berdampak pada perusahaan multinasional di Indonesia, mengingat kesepakatan global menetapkan bahwa perusahaan dengan pendapatan lebih dari 750 juta euro harus membayar pajak minimal 15 persen atas keuntungan mereka,” kata Ichwan.

Ia berharap, seminar ini dapat memperkaya wawasan para peserta dan memberikan kontribusi positif dalam penyusunan kebijakan perpajakan Indonesia yang lebih berkelanjutan dan responsif terhadap perkembangan global. (alf)

Pemerintah Tunjuk Tujuh Perusahaan Asing jadi Pemungut PPN PMSE

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menunjuk tujuh perusahaan asing sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pada November 2024. Perusahaan-perusahaan yang ditunjuk tersebut meliputi Amazon Japan G.K., Vorwerk International & Co. KmG, Huawei Service (Hong Kong) Co., Limited, Sounds True Inc., Siteground Hosting Ltd., Browserstack Inc., dan Total Security Limited.

Selain penunjukan tujuh perusahaan baru, DJP juga melakukan pembetulan terhadap perusahaan Posit Software, PBC dan pencabutan terhadap Global Cloud Infrastructure Limited. Dengan demikian, total pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN mencapai 199 perusahaan hingga November 2024.

Dari 199 pelaku usaha tersebut, 171 perusahaan telah berhasil melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE dengan total setoran mencapai Rp 24,5 triliun.

Jumlah tersebut berasal dari setoran pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu Rp 731,4 miliar pada 2020, Rp 3,90 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun pada 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, dan Rp 7,58 triliun pada tahun 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha antara pelaku usaha konvensional dan digital.

Dwi juga menegaskan bahwa pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang menjual produk dan layanan digital dari luar negeri kepada konsumen Indonesia.

“Dengan langkah ini, diharapkan sistem perpajakan di sektor digital dapat lebih efisien dan berkeadilan, serta dapat meningkatkan kontribusi pajak dari sektor ekonomi digital yang berkembang pesat,” kata Dwi dalam keterangan resminya, Kamis (12/12/2024). (alf)

Mulai 16 Desember 2024 Coretax Diujikan di Seluruh Kanwil DJP

IKPI, Jakarta: Dirjen Pajak Suryo Utomo, menyatakan pihaknya akan melakukan pengujian system Coretax di seluruh Kantor Wilayah, Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) di Indonesia, pada 16 Desember 2024 mendatang. Hal itu dikatakannya kepada media dalam konfrensi pernya di Jakarta, Rabu (11/12/2024)

Suryo memastikan bahwa sistem Coretax akan siap digunakan untuk mendukung kegiatan administrasi perpajakan di Indonesia mulai 1 Januari 2025. Kepastian ini disampaikan setelah keberhasilan tahap uji coba awal yang dilakukan dengan baik.

“Insyallah 1 Januari Coretax bisa digunakan untuk kegiatan administrasi perpajakan di Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, hingga 29 November lalu, tahap uji coba Operational Acceptance Testing (OAT) yang dilakukan di dua Kantor Wilayah (Kanwil) DJP telah selesai dan berjalan dengan lancar. Keberhasilan ini memberikan dasar bagi DJP untuk melanjutkan ke fase uji coba berikutnya, yaitu uji coba sistem secara menyeluruh.

“Selama periode 29 November hingga 15 Desember, kami akan melakukan initial deployment untuk menguji sistem. Kami berharap baik internal DJP maupun masyarakat bisa mencoba sistem ini sebelum benar-benar diterapkan pada 1 Januari 2025,” tambah Suryo.

Nantinya, uji coba menyeluruh ini akan melibatkan wajib pajak serta pihak internal DJP untuk memastikan kesiapan penuh sistem Coretax sebelum implementasi pada awal tahun depan. (alf)

Penerimaan Pajak 2024 Masih Terpaut Rp 300 Triliun, DJP Perketat Pengawasan untuk Pengejaran Target

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak Indonesia per 30 November 2024 baru tercatat sebesar Rp 1.688,9 triliun, atau masih kurang sekira Rp 300 triliun dari target penerimaan pajak yang tercantum dalam APBN 2024, yang sebesar Rp 1.988,9 triliun. Dengan waktu yang semakin mendekati akhir tahun, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengintensifkan pengawasan untuk memastikan pencapaian target penerimaan pajak.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menyatakan, sisa waktu hanya sekitar 20 hari hingga akhir 2024 akan dimanfaatkan untuk menuntaskan seluruh upaya pengawasan dan penagihan pajak.

Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Rabu (11/12/2024), Suryo menegaskan bahwa prioritas utama DJP adalah memastikan setiap kewajiban pajak yang belum terpenuhi dapat segera terealisasi.

“Tinggal 20 hari lagi 2024 berakhir, kami akan sampaikan prioritasnya jelas, pastikan apa yang kami kerjakan terealisasi,” ujar Suryo.

Dikatakannya, salah satu sektor yang menjadi fokus pengawasan intensif adalah sektor pertambangan. Meskipun kinerja setoran pajak dari sektor ini mengalami kontraksi 37,3% secara neto dibandingkan tahun sebelumnya, dengan total setoran pajak sebesar Rp 96,35 triliun per November 2024, terdapat tanda-tanda pemulihan pada beberapa bulan terakhir. Suryo mencontohkan, pada kuartal III-2024 setoran pajak dari sektor pertambangan telah tumbuh sebesar 23,3%, dengan bulan September mencatatkan pertumbuhan 56,5%, Oktober mencapai 80,4%, dan November sebesar 49,6%.

“Pertambangan-pertambangan tertentu mengalami peningkatan, bijih logam dan segala macam mengalami peningkatan,” lanjutnya.

Sebagai langkah untuk mengejar target, DJP juga menerapkan strategi dinamisasi dalam pengawasan pajak. Dinamisasi ini melibatkan penyesuaian angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 pada perusahaan-perusahaan yang mengalami keuntungan signifikan. DJP berkomitmen untuk terus memantau kinerja perusahaan-perusahaan tersebut dan melakukan penyesuaian angsuran pajak sesuai dengan kondisi terkini.

“Kami terus awasi kondisi terkini mereka, belakangan juga mengalami pertumbuhan. Jika performanya bagus, kami akan melakukan dinamisasi setoran pajak mereka di 2024,” ujarnya.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berharap dapat memenuhi target penerimaan pajak pada akhir tahun 2024, yang menjadi salah satu kunci penting dalam pendanaan anggaran negara dan keberlanjutan program-program pembangunan nasional. (alf)

Hingga November 2024 Penerimaan Pajak Capai 84,92%, Wamenkeu Sebut Banyak Sektor Tumbuh Positif

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia mencatatkan serapan pajak sebesar Rp1.688,93 triliun hingga November 2024, mencapai 84,92 persen dari target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka ini menunjukkan bahwa pencapaian pajak berada dalam jalur yang sesuai dengan siklus tahun-tahun sebelumnya, meskipun terdapat beberapa tantangan dalam beberapa sektor.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyampaikan bahwa kinerja penerimaan pajak pada tahun ini masih berada dalam rencana yang telah ditetapkan, dan hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam jalur yang tepat untuk memenuhi target APBN 2024. “Ini masih ontrack,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Desember 2024 di Jakarta, Rabu (12/12/2024).

Secara keseluruhan, hampir seluruh kelompok pajak mengalami pertumbuhan positif. Kinerja positif ini terlihat pada Pajak Penghasilan (PPh) non migas, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta pajak lainnya yang menunjukkan hasil yang menggembirakan, didorong oleh kinerja sektor pertambangan yang kuat.

PPh non migas tercatat tumbuh 0,43 persen dengan realisasi Rp885,77 triliun (83,30 persen dari target). Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak lainnya mengalami kenaikan 2,65 persen dengan realisasi Rp36,52 triliun (96,79 persen dari target). Sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 8,17 persen, dengan realisasi mencapai Rp707,76 triliun (87,23 persen dari target). Peningkatan ini didorong oleh membaiknya aktivitas ekonomi domestik dan impor, khususnya di sektor perdagangan dan industri minyak kelapa sawit.

Namun, PPh migas mengalami kontraksi 8,03 persen, seiring dengan penurunan lifting minyak dan gas bumi. Realisasi pajak migas tercatat sebesar Rp58,89 triliun (77,10 persen dari target).

Dari sisi jenis pajak, kontribusi terbesar datang dari PPN dalam negeri, PPh Badan, dan PPh 21. Setoran PPN dalam negeri tercatat memberikan kontribusi sebesar 25,7 persen terhadap penerimaan pajak, dengan nilai Rp434,67 triliun, yang tumbuh 6,9 persen secara neto. PPh Badan yang berkontribusi 17,2 persen terhadap total penerimaan pajak tercatat sebesar Rp289,8 triliun, meskipun secara neto mengalami kontraksi 23,1 persen. Namun, Anggito menyebutkan bahwa performa PPh Badan mulai membaik dalam tiga bulan terakhir, terutama didorong oleh sektor pertambangan dan industri.

Sementara itu, PPh 21 yang berkontribusi 13,2 persen terhadap penerimaan pajak tercatat tumbuh signifikan sebesar 22 persen secara neto, berkat peningkatan gaji, upah, dan tunjangan bagi pekerja, dengan realisasi Rp223,42 triliun.

Secara sektoral, sektor industri pengolahan dan pertambangan menunjukkan perbaikan meskipun beberapa sektor masih mencatatkan kontraksi. Industri pengolahan tercatat mengalami kontraksi sebesar 4,3 persen secara neto, namun ada pemulihan dalam beberapa bulan terakhir berkat subsektor seperti sepeda motor, kendaraan, dan rokok. Penerimaan pajak dari sektor ini tercatat sebesar Rp411,74 triliun, memberikan kontribusi sebesar 25,8 persen terhadap total penerimaan pajak.

Sektor pertambangan juga mengalami penurunan tajam sebesar 37,3 persen, namun sejak September 2024, subsektor pertambangan bijih logam menunjukkan kinerja yang lebih baik, meskipun sektor ini masih mencatatkan kontraksi. Penerimaan pajak dari sektor pertambangan tercatat sebesar Rp96,35 triliun, dengan kontribusi 6 persen terhadap total penerimaan pajak.

Sektor perdagangan juga mencatatkan kontribusi yang besar, dengan andil 25,8 persen dan penerimaan pajak sebesar Rp410,44 triliun. Penerimaan dari sektor ini tumbuh 7,5 persen, didorong oleh sektor perdagangan besar, terutama bahan bakar dan kelapa sawit.

Secara keseluruhan, meskipun beberapa sektor masih menghadapi tantangan, pertumbuhan yang kuat di sektor lainnya menunjukkan optimisme terhadap capaian penerimaan pajak dan mendukung upaya pemerintah dalam mempertahankan kinerja ekonomi Indonesia.(alf)

Industri Alat Berat Tertekan dengan Penerapan PAB dan PPN 12% pada 2025

IKPI, Jakarta: Industri alat berat nasional menghadapi tantangan berat pada 2025, seiring dengan rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% dan Pajak Alat Berat (PAB) yang dipungut oleh pemerintah daerah. Dampak dari kedua kebijakan pajak ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya bagi pelaku usaha, termasuk perusahaan-perusahaan di sektor pertambangan dan kelapa sawit.

PAB yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (HKPD), akan dikenakan pada alat berat seperti excavator, bulldozer, crane, dan alat berat lainnya. Pemerintah daerah akan menentukan tarif PAB melalui Peraturan Daerah (Perda), dengan tarif maksimum sebesar 0,2% dari nilai jual alat berat. Sebagai contoh, sebuah excavator berkapasitas 20 ton yang memiliki nilai jual Rp 1,77 miliar akan dikenakan pajak sebesar Rp 3,54 juta per tahun.

Saat ini, beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah mulai memberlakukan PAB. Kalimantan Utara berencana menerapkannya pada awal 2025. Ketua Umum Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI) Yushi Sandidarma mengungkapkan bahwa pemberlakuan PAB akan menjadi beban tambahan bagi pelanggan alat berat, yang sudah menghadapi kenaikan harga akibat rencana penerapan PPN 12%. “Pelanggan alat berat saat ini masih bingung terhadap aturan tersebut,” kata Yushi, Selasa (10/12/2024).

Menurutnya, potensi penurunan tren penjualan alat berat pada 2025 sangat mungkin terjadi seiring dengan pemberlakuan PAB dan PPN 12%, setelah produksi alat berat nasional mengalami penurunan sebesar 18% year on year (yoy) hingga kuartal III-2024. Target produksi alat berat nasional yang dicanangkan Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) pada 2024 sebesar 8.000 unit tampaknya semakin sulit tercapai. (alf)

Bank Wajib Laporkan Saldo Tabungan Nasabah Rp 1 Miliar ke Kantor Pajak, Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengawasan pajak, Bank diwajibkan melaporkan saldo tabungan nasabah yang mencapai Rp 1 miliar ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, dalam klarifikasinya terhadap informasi yang beredar di media sosial.

Pernyataan yang pertama kali beredar melalui TikTok pada Kamis (5/12/2024) itu mengungkapkan bahwa nasabah yang menyimpan uang sebesar Rp 1 miliar di bank yang sama akan dilaporkan ke kantor pajak. Pengunggah tersebut menyarankan agar masyarakat menyebar simpanan mereka ke berbagai bank agar tidak mencapai batas tersebut.

Namun, Dwi memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru. Ketentuan mengenai kewajiban bank melaporkan saldo rekening nasabah ke DJP sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/PMK.03/2017 yang terakhir diubah dengan PMK-19/PMK.03/2018. Dalam Pasal 2 PMK-19/PMK.03/2018, dijelaskan bahwa DJP berwenang memperoleh informasi keuangan untuk tujuan perpajakan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK), termasuk bank, jika saldo rekening nasabah mencapai minimal Rp 1 miliar.

Menurutnya, tujuan utama dari kewajiban pelaporan ini adalah untuk memperkuat basis data perpajakan Indonesia dan meningkatkan pengawasan wajib pajak, sekaligus memenuhi komitmen Indonesia dalam pertukaran informasi keuangan otomatis sebagai bagian dari keanggotaan dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.

Dwi menegaskan bahwa meskipun bank wajib melaporkan informasi tersebut, tidak ada pemotongan pajak atas saldo rekening yang dilaporkan. “Namun, jika nasabah memperoleh penghasilan berupa bunga dari deposito atau tabungan, penghasilan tersebut akan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final,” ujarnya.

Selain kewajiban laporan otomatis, bank juga diwajibkan memberikan informasi dan bukti terkait kepada DJP jika diminta, dalam rangka pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Dengan adanya kewajiban ini, diharapkan sistem perpajakan Indonesia akan semakin transparan, serta mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak dan peningkatan kepatuhan pajak di kalangan masyarakat.(alf)

id_ID