Implementasi Coretax Harus Didukung Pertumbuhan PDB untuk Tingkatkan Rasio Pajak

IKPI. Jakarta, Implementasi Coretax diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia, namun keberhasilannya juga bergantung pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, Minggu (12/1/2024).

Ia menilai bahwa peningkatan rasio pajak tidak hanya ditentukan oleh penerapan Coretax semata.

“Meski Coretax berhasil, rasio pajak belum tentu meningkat jika pertumbuhan PDB tidak mendukung. Dalam menghitung rasio pajak, ada dua komponen utama yang memengaruhi, yaitu penerimaan pajak dan PDB,” ujarnya.

Pemerintah menargetkan rasio pajak sebesar 11,2% hingga 12% dari PDB pada 2025, lebih tinggi dibandingkan target 2024 sebesar 10,02% dan capaian 2023 yang berada di angka 10,31%. Prianto menambahkan, agar rasio pajak meningkat, pertumbuhan penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDB.

Ia juga menyoroti beberapa faktor internal dan eksternal yang memengaruhi penerimaan pajak. Dari sisi internal, intensifikasi melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) serta pemeriksaan pajak masih dinilai kurang efektif. Banyak wajib pajak yang melawan proses ini melalui upaya litigasi, seperti pengajuan keberatan hingga banding di pengadilan pajak, yang menyebabkan utang pajak tertahan dan tidak dapat segera dibayarkan.

Sementara itu, faktor eksternal mencakup kemampuan wajib pajak dalam menerapkan skema penghindaran pajak dan aggressive tax planning dengan memanfaatkan celah dalam aturan perpajakan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Prianto menyebutkan bahwa Coretax menjadi solusi strategis bagi Direktorat Jenderal Pajak. Sistem ini memungkinkan pengawasan kepatuhan pajak dilakukan secara cepat dan cermat, dengan tujuan akhir meningkatkan penerimaan pajak.

Namun demikian, menurutnya, keberhasilan Coretax juga harus didukung oleh proses intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang lebih optimal. Dengan langkah ini, rasio pajak diharapkan dapat meningkat sesuai dengan target yang telah ditetapkan pemerintah.

“Langkah-langkah ini harus dilakukan secara konsisten agar pertumbuhan penerimaan pajak dapat melampaui pertumbuhan PDB, sehingga rasio pajak Indonesia dapat mencapai target,” katanya. (alf)

PODCAST IKPI: Impersonating Coretax Disebut Sebagai Inovasi Signifikan Pengelolaan Sistem Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Suwardi Hasan, menyoroti pentingnya fitur impersonating dalam mendukung efisiensi dan akuntabilitas pada sistem Coretax. Dalam diskusi interaktif yang digelar IKPI, Suwardi menyebutkan bahwa fitur ini merupakan inovasi signifikan dalam pengelolaan sistem perpajakan.

“Impersonating mempermudah pengguna untuk mengelola banyak akun tanpa harus berbagi akses langsung. Ini adalah langkah maju dalam manajemen sistem perpajakan,” ujar Suwardi pada Podcast yang dimoderatori Ketua Departemen Humas, IKPI Jemmi Sutiono, Rabu (8/1/2025).

Menurut Suwardi, impersonating dirancang untuk mengatasi masalah yang kerap muncul akibat praktik berbagi akses dalam manajemen akun wajib pajak. Ia menegaskan bahwa risiko berbagi akses secara langsung tidak hanya mengancam keamanan data tetapi juga mengurangi tingkat akuntabilitas dalam pengelolaan sistem.

“Dengan fitur ini, risiko tersebut dapat ditekan secara signifikan. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam sistem akan tercatat secara detail, sehingga memberikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi,” ujarnya.

Lebih jauh, Suwardi menjelaskan bahwa sistem Coretax yang dilengkapi dengan fitur impersonating mampu memberikan solusi praktis bagi para konsultan pajak dan pengguna lainnya. Dengan fitur ini, konsultan pajak dapat mengakses dan mengelola akun wajib pajak secara efisien tanpa melibatkan pemilik akun secara langsung. Hal ini tentu mempermudah pekerjaan sekaligus memastikan bahwa seluruh aktivitas tetap dapat dipantau dan diaudit jika diperlukan.

“Keamanan dan efisiensi adalah dua pilar utama dalam pengelolaan sistem perpajakan modern. Fitur impersonating adalah salah satu alat yang membantu kita mencapai keduanya,” pungkas Suwardi.

Diskusi interaktif tersebut turut dihadiri hampir 1.500 anggota IKPI dari seluruh Indonesia melalui aplikasi Zoom. Para peserta sepakat bahwa teknologi seperti impersonating dapat menjadi game-changer dalam meningkatkan kualitas layanan perpajakan di Indonesia.

Dengan adanya inovasi ini, diharapkan sistem perpajakan nasional semakin adaptif terhadap kebutuhan zaman dan mampu menjawab tantangan pengelolaan data di era digital. (bl)

Cair! Pemerintah Sukses Terbitkan SUN Dual-Currency Sebesar US$ 2 Miliar dan EUR 1,4 Miliar

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) berhasil menyelesaikan transaksi penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam dua mata uang asing, yaitu US Dollar dan Euro, dengan format SEC Shelf Registered. Total penerbitan mencapai US$ 2 miliar dan EUR 1,4 miliar.

Transaksi ini menandai keberhasilan pemerintah menerbitkan global bonds dengan format SEC Registered untuk ke-16 kalinya. Dalam pernyataan resmi, DJPPR menyebutkan bahwa hasil penerbitan ini akan digunakan untuk pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

Penerbitan SUN kali ini meliputi empat seri dengan rincian sebagai berikut:

RI0130: Tenor 5 tahun, nominal US$ 900 juta

RIEUR0133: Tenor 8 tahun, nominal EUR 700 juta

RI0135: Tenor 10 tahun, nominal US$ 1,1 miliar

RIEUR0137: Tenor 12 tahun, nominal EUR 700 juta

Transaksi dimulai pada 8 Januari 2025, dengan pembukaan untuk mata uang USD pada pagi hari sesi Asia dan dilanjutkan dengan mata uang EUR saat pasar Eropa dibuka. Respons pasar sangat positif, dengan total permintaan mencapai US$ 6,1 miliar dan EUR 2,5 miliar.

Dengan solidnya orderbook, pemerintah berhasil menurunkan tingkat imbal hasil untuk semua tenor. Final yield yang dicapai adalah:

US$ 5 tahun: 5,300%

US$ 10 tahun: 5,650%

EUR 8 tahun: 3,917%

EUR 12 tahun: 4,251%

DJPPR menyampaikan bahwa tingginya minat investor mencerminkan kepercayaan terhadap fundamental ekonomi Indonesia serta pengelolaan APBN yang solid. “Keberhasilan transaksi ini mencerminkan dukungan kuat dan berkelanjutan dari investor global terhadap Indonesia,” demikian pernyataan DJPPR yang diterima, Minggu (12/1/2025).

Kualitas dan Kredibilitas Penerbitan

SUN yang diterbitkan memperoleh peringkat kredit Baa2 (Moody’s), BBB (Standard & Poor’s), dan BBB (Fitch). Surat utang ini akan terdaftar di Bursa Efek Singapura dan Bursa Efek Frankfurt.

Dalam transaksi ini, ANZ, BofA Securities, HSBC, J.P. Morgan, dan Standard Chartered Bank bertindak sebagai Joint Bookrunners, didukung oleh PT BRI Danareksa Sekuritas dan PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk sebagai Domestic Dealers.

Keberhasilan penerbitan SUN ini menjadi bukti konsistensi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan menarik kepercayaan investor global. (alf)

DJP Catat Sistem Coretax Berhasil Validasi 236.221 Faktu Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) pada 1 Januari 2025. Aplikasi ini dimaksudkan untuk mempermudah administrasi perpajakan di Indonesia. Namun, sistem baru yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini menghadapi sejumlah kendala teknis, seperti masalah login dan penerbitan faktur pajak yang mengganggu proses administrasi perpajakan.

Hingga 9 Januari 2025, tercatat sebanyak 126.590 Wajib Pajak (WP) berhasil memperoleh sertifikat digital untuk menandatangani faktur pajak secara elektronik. Sementara itu, sekitar 34.401 WP telah berhasil menerbitkan 845.514 faktur pajak. Dari jumlah tersebut, 236.221 faktur pajak telah berhasil divalidasi atau disetujui oleh sistem.

Meski demikian, DJP menggarisbawahi bahwa WP tidak perlu khawatir akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan penerbitan atau pelaporan pajak selama masa transisi ini. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP Pajak Dwi Astuti, dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini memastikan bahwa tidak ada beban tambahan bagi WP akibat perubahan sistem yang digunakan. “DJP akan terus melakukan perbaikan dan peningkatan kapasitas Coretax agar lebih efisien,” ujarnya.

Sistem Coretax ini menggantikan sistem perpajakan sebelumnya dan diharapkan dapat menyederhanakan proses administrasi serta meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Namun, sejumlah kendala teknis yang muncul, termasuk kegagalan dalam login dan proses penerbitan faktur pajak, telah menyebabkan beberapa keluhan dari WP yang terhambat dalam menjalankan kewajibannya.

Masyarakat diminta untuk tidak khawatir dan dapat mengakses informasi serta panduan terkait sistem baru ini melalui situs resmi DJP di www.pajak.go.id. Bagi WP yang mengalami kesulitan, DJP juga menyediakan layanan bantuan melalui kantor pajak setempat atau Kring Pajak 1500 200.

Meski tantangan teknis ini masih ada, DJP berkomitmen untuk menyempurnakan sistem Coretax, dengan tujuan akhirnya untuk menciptakan sistem administrasi perpajakan yang lebih modern dan efisien. (alf)

Penerimaan Bea Keluar Diproyeksikan Turun Drastis Akibat Larangan Ekspor Konsentrat Tembaga

IKPI, Jakarta: Target penerimaan dari pungutan bea keluar pada tahun 2025 diproyeksikan turun drastis, menyusul diberlakukannya larangan ekspor konsentrat tembaga mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk mendorong hilirisasi di sektor pertambangan.

Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai M. Aflah Farobi, mengungkapkan bahwa selama ini penerimaan bea keluar sebagian besar berasal dari ekspor konsentrat tembaga. Sepanjang 2024, total penerimaan bea keluar mencapai Rp20,8 triliun, di mana Rp11 triliun di antaranya disumbangkan oleh ekspor konsentrat tembaga. Sementara itu, pungutan dari ekspor minyak sawit mentah (CPO) tercatat sekitar Rp9,6 triliun.

Dengan larangan ekspor konsentrat tembaga, target penerimaan bea keluar pada 2025 dipatok jauh lebih rendah, yaitu hanya Rp4,5 triliun. “Sumber penerimaan bea keluar tahun ini hanya bergantung pada sawit,” ujar Aflah dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta Timur, Jumat (10/1/2025).

Namun, Aflah menambahkan bahwa penerimaan dari ekspor CPO sangat bergantung pada kondisi pasar, baik dari sisi volume ekspor maupun harga. Pada 2024, realisasi volume ekspor CPO hanya mencapai 36 juta ton, lebih rendah dari target awal sebesar 39 juta ton. “Penerimaan tahun ini akan sangat dipengaruhi oleh harga CPO di pasar global,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan Askolani, menyatakan bahwa meskipun kebijakan larangan ekspor konsentrat tembaga menyebabkan penurunan penerimaan negara, pemerintah tetap optimistis dengan potensi keuntungan jangka panjang.

Menurut Askolani, hilirisasi produk tembaga akan mendorong peningkatan investasi melalui pembangunan pabrik smelter, yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini diharapkan meningkatkan penerimaan negara melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dari aktivitas hilirisasi. “Kami akan mengganti sumber penerimaan dari bea keluar menjadi pajak yang berasal dari hilirisasi,” kata Askolani. (alf)

Menko Pangan Pastikan Kenaikan PPN 12% Berdampak pada Harga Pupuk

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan menyatakan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berimbas pada kenaikan harga pupuk. Hal ini disampaikan Zulhas saat meninjau gudang pupuk milik PT Pupuk Indonesia di Kota Serang, Banten, Jumat (12/1/2025).

“Ya pasti kena pajak ya harganya naik. Kalau enggak ada PPN, ya enggak naik. Kalau ada PPN, ya nambah,” ujar Zulhas.

Meski demikian, Zulhas memastikan bahwa pasokan pupuk untuk musim tanam, khususnya di Provinsi Banten, tetap aman. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung petani dengan memastikan distribusi pupuk berjalan lancar.

“Kita pastikan tidak ada hambatan lagi soal pupuk pada musim tanam. Karena yang kita bangun itu visi misi, rasa, cita, dan kesamaan,” ujarnya.

Selain mengomentari dampak PPN, Zulhas menyoroti pentingnya sinergi antara berbagai pihak dalam memastikan ketersediaan pupuk. Ia menekankan bahwa arahan Presiden harus diterjemahkan hingga ke tingkat daerah, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota, serta instansi terkait.

Di sisi lain, Zulhas juga menyampaikan kabar baik mengenai penurunan harga beras dunia sebagai dampak dari kebijakan larangan impor yang diterapkan. Langkah ini, menurutnya, bertujuan meningkatkan kemandirian pangan nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.

“Bayangkan tahun lalu kita impor, sekarang sudah tidak impor lagi. Karena pangan harus kita hasilkan sendiri,” katanya.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dan meningkatkan kesejahteraan petani di seluruh Indonesia. (alf)

DJP Sampaikan Permohonan Maaf atas Kendala Penggunaan Coretax: Ini Perbaikan yang Sedang Dilakukan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas kendala-kendala yang terjadi dalam penggunaan fitur layanan aplikasi Coretax, yang menyebabkan ketidaknyamanan dan keterlambatan layanan administrasi perpajakan. DJP menjamin bahwa mereka terus berupaya untuk memperbaiki masalah tersebut dan memastikan layanan dapat berjalan dengan baik.

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (10/1/2025), Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP, Dwi Astuti menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan beberapa upaya perbaikan yang telah dilakukan hingga saat ini antara lain:

1. Memperluas jaringan dan meningkatkan kapasitas bandwidth.

2. Penunjukan penanggung jawab perusahaan dan PIC untuk pembuatan faktur pajak.

3. Peningkatan kapasitas untuk menerima pengiriman faktur pajak dalam format *.xml hingga 100 faktur per pengiriman.

4. Pembaruan dalam pendaftaran, termasuk pengaturan ulang kata sandi, pemadanan NIK-NPWP, dan penggunaan kode otorisasi sertifikat elektronik dengan face recognition.

5. Penyempurnaan layanan pembayaran, termasuk pembuatan kode billing, pemindahbukuan, dan pembayaran tunggakan utang pajak.

6. Peningkatan layanan pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) dan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP).

Ia mengungkapkan, per 9 Januari 2025, sekitar 126.590 wajib pajak telah berhasil memperoleh sertifikat elektronik untuk menandatangani faktur pajak, sementara 34.401 wajib pajak telah berhasil membuat faktur pajak, dengan total 845.514 faktur yang dibuat dan 236.221 faktur yang telah divalidasi.

Dengan demikian lanjut Dwi, ia mengimbau agar wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai sanksi administrasi atas keterlambatan penerbitan faktur pajak atau pelaporan pajak selama masa transisi ini. DJP memastikan tidak ada beban tambahan yang akan dikenakan kepada wajib pajak terkait peralihan ke sistem baru.

Selain itu, Dwi juga menyampaikan terima kasih atas kerja sama dan kesabaran wajib pajak dalam mendukung pengembangan sistem informasi perpajakan yang lebih baik. “Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat mengakses laman FAQ di www.pajak.go.id atau menghubungi Kring Pajak di 1500 200,” ujarnya. (alf)

Dukung Efisiensi Logistik dan Konektivitas Nasional, Tarif Penyeberangan ASDP Bebas PPN

IKPI, Jakarta: PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) memastikan bahwa tarif layanan penyeberangan yang dikelolanya tetap bebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjaga efisiensi biaya logistik serta memperkuat konektivitas antar pulau di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Corporate Secretary ASDP, Shelvy Arifin, menjelaskan bahwa pembebasan PPN pada tarif penyeberangan ini berdasarkan amanat Pasal 4A ayat 3 Huruf J dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Layanan kapal penyeberangan termasuk dalam kategori jasa angkutan umum yang dibebaskan dari PPN. Dengan demikian, tarif tetap terjangkau bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Shelvy dalam keterangan resminya Kamis, (9/1/2025).

Pembebasan PPN ini juga diharapkan dapat membantu stabilitas harga barang di daerah-daerah terpencil, sekaligus mendukung penguatan konektivitas logistik di wilayah-wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). “Kebijakan ini sangat strategis untuk menekan biaya logistik dan menjaga harga kebutuhan pokok, khususnya di daerah 3T,” kata Shelvy.

Selain menjaga tarif tetap stabil, ASDP berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi laut yang melayani lebih dari 300 lintasan penyeberangan dengan lebih dari 200 kapal, serta mengoperasikan 37 pelabuhan di seluruh Indonesia. Sekitar 66 persen dari lintasan tersebut merupakan lintasan perintis yang menjadi tulang punggung konektivitas di daerah-daerah terpencil.

Meski layanan penyeberangan ASDP dibebaskan dari PPN, perusahaan tetap memenuhi kewajiban perpajakan lainnya, termasuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 sebesar 1,2 persen atas penghasilan bruto dari jasa angkutan laut. “Kami memastikan tarif yang diterapkan mematuhi regulasi dan tidak membebani masyarakat, sembari tetap mendukung pendapatan negara,” ujar Shelvy.

Dengan kebijakan ini, ASDP berharap dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi laut yang aman, nyaman, dan terjangkau. Pembebasan PPN dipandang sebagai langkah yang mendorong efisiensi logistik nasional dan memperkuat daya saing Indonesia, dengan harapan dapat mendukung pembangunan ekonomi yang merata dan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air. (alf)

Mantan Staf Khusus Menkeu Beri Delapan Solusi Atasi Kendala Coretax

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) segera memberikan solusi praktis untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pasca-peluncuran Coretax System. Sistem inti administrasi perpajakan yang resmi diluncurkan pada 1 Januari 2025 ini menghadapi sejumlah kendala, mulai dari kesulitan penerbitan faktur pajak hingga masalah impersonasi sistem.

Prastowo mengungkapkan bahwa dirinya menerima banyak keluhan baik dari wajib pajak maupun petugas pajak di lapangan. Wajib pajak, kata Prastowo, menghadapi kesulitan dalam menuntaskan kewajibannya untuk menghindari kesalahan dan sanksi, sementara petugas pajak kesulitan mengatasi kendala yang muncul.

Menurutnya, banyak petugas pajak yang belum dibekali dengan pedoman yang jelas atau solusi praktis terkait masalah yang timbul. Sebagai respons, Prastowo memberikan delapan solusi untuk DJP agar masalah yang dihadapi oleh para pengguna Coretax dapat segera teratasi. Adapun solusi tersebut adalah:

1. Permintaan Maaf: DJP diminta untuk segera meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi dan menghindari unggahan-unggahan yang tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada.

2. Aktif Menjemput Masalah: DJP disarankan lebih aktif menanggapi keluhan dan komplain dari wajib pajak, serta memberikan solusi dan panduan yang jelas.

3.Panduan untuk Petugas Lapangan: DJP perlu menyusun panduan yang memadai bagi petugas lapangan agar dapat memberikan respons yang tepat kepada wajib pajak, serta melakukan sosialisasi yang berkelanjutan.

4. Laman atau Kanal Pengaduan: DJP diminta menyediakan laman atau contact center yang dapat digunakan untuk menampung keluhan dengan cepat dan tepat.

5.Update Berkala: DJP sebaiknya memberikan update secara berkala mengenai penanganan masalah yang ada kepada wajib pajak, termasuk melalui konsultan atau akuntan.

6. Alternatif Solusi: DJP diharapkan menyiapkan alternatif solusi, terutama terkait faktur pajak dan registrasi, seperti dengan parallel run SI DJP.

7. Skenario Keadaan Kahar:DJP perlu mempersiapkan skenario untuk mengantisipasi terjadinya sanksi administratif yang bukan disebabkan oleh kesalahan wajib pajak atau petugas.

8. Sikap Belarasa dan Tanggung Jawab: DJP perlu menunjukkan sikap belarasa, bertanggung jawab, dan memegang kendali penuh dalam menyelesaikan masalah, dengan pendekatan top-down.

“Baru saja kita berupaya solusi yang baik untuk PPN 12%. Semoga Coretax juga dapat diatasi dengan baik,” tutup Prastowo melalui akun X-nya.

Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, menegaskan bahwa tidak akan ada sanksi atau denda yang dikenakan kepada wajib pajak terkait masalah yang timbul akibat penggunaan sistem Coretax.

Suryo menjelaskan bahwa pengaplikasian Coretax masih dalam tahap transisi dan pihaknya akan memonitor perkembangan sistem tersebut setiap hari. Ditjen Pajak pun berkomitmen untuk segera menyelesaikan masalah yang ditemukan, dengan fokus pada optimalisasi kapasitas sistem dan pengelolaan beban akses.

“Ini baru hari keenam setelah peluncuran Coretax, jadi kami mohon maklum,” kata Suryo, yang juga menambahkan bahwa pihaknya terus berupaya untuk memperbaiki dan memperluas bandwidth guna mengatasi kendala yang ada.

Suryo memastikan bahwa wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai keterlambatan penerbitan faktur atau masalah pelaporan lainnya selama proses transisi ini. “Kami akan memastikan tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru ini,” ujarnya.(alf)

Rendahnya Kepatuhan Pajak Hambat Indonesia jadi Negara Maju

IKPI, Jakarta: Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyoroti rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia yang dianggap menghambat ambisi negara ini untuk mencapai status negara maju pada tahun 2045. Anggota DEN Arief Anshory Jusuf, menegaskan bahwa hanya sebagian kecil individu dan perusahaan yang membayar pajak, dengan jumlah yang tidak sebanding dengan populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 300 juta jiwa.

“Dengan hanya 7-8 juta orang yang membayar pajak dari 300 juta penduduk, serta hanya 0,5% perusahaan yang melaporkan pembayaran pajaknya, bagaimana kita bisa menjadi negara modern?” ujar Arief dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Arief mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat kepatuhan pajak ini menjadi salah satu faktor utama yang menghalangi Indonesia untuk mencapai tujuannya menjadi negara maju. Ia menjelaskan tentang teori Wagner’s Law yang menggambarkan bahwa semakin modern sebuah negara, semakin besar belanja negara yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang juga bergantung pada penerimaan pajak yang tinggi.

“Semakin modern suatu negara, negara semakin hadir dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui belanja negara. Jika kita ingin menjadi negara maju, negara harus lebih hadir. Namun, ini bukan hanya tugas negara, kita semua harus berperan dalam mewujudkannya,” kata Arief.

Masalah ini, menurut Arief, tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam membayar pajak secara jujur dan tepat waktu. Ia berharap agar ke depan, kepatuhan pajak dapat meningkat untuk mendukung pembangunan negara yang lebih adil dan sejahtera. (alf)

id_ID