Pengamat Sebut Cukai Karbon Kendaraan Bermotor Berpotensi Hasilkan Rp 92 Triliun per Tahun

IKPI, Jakarta: Penerapan cukai karbon untuk kendaraan bermotor masih menjadi pembahasan di Indonesia. Jika kebijakan ini direalisasikan, pemerintah berpotensi mendapatkan pendapatan hingga Rp 92 triliun per tahun. Potensi ini muncul di tengah upaya pemerintah mencari sumber pendapatan baru untuk meningkatkan penerimaan negara.

Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan pajak kendaraan bermotor berbasis emisi karbon sejak Oktober 2021 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2019. Kebijakan tersebut menggantikan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor yang sebelumnya didasarkan pada bentuk kendaraan dan kapasitas mesin, menjadi berdasarkan tingkat emisi gas buang dan efisiensi bahan bakar.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, menyebut bahwa cukai karbon dapat menjadi solusi optimal untuk mendongkrak penerimaan negara. “Potensi cukai karbon bisa membuka ruang fiskal baru yang sangat besar, jauh melampaui pendapatan dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1% menjadi 12%,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Opsi Lain PPN 12%: Cukai Karbon Kendaraan di Jakarta, baru-baru ini.

Safrudin menjelaskan, cukai karbon memungkinkan penerapan tax feebate dan tax rebate. Tax feebate merupakan pajak tambahan atas kendaraan dengan emisi tinggi, sementara tax rebate berupa insentif bagi kendaraan rendah emisi. “Dengan pendekatan ini, masyarakat akan terdorong untuk memilih kendaraan ramah lingkungan, sekaligus memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara,” katanya.

Berdasarkan data KPBB, rata-rata penjualan kendaraan bermotor di Indonesia mencapai satu juta unit mobil dan enam juta unit sepeda motor setiap tahun. Dengan volume tersebut, penerapan cukai karbon diproyeksikan menghasilkan pendapatan hingga Rp 92 triliun per tahun, jauh lebih besar dibandingkan kenaikan PPN menjadi 12% yang hanya diperkirakan menyumbang Rp 67 triliun.

“Kenapa pemerintah tidak memanfaatkan peluang besar ini? Selain mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, cukai karbon juga memberikan manfaat fiskal yang signifikan,” ujar Safrudin.

Hingga kini, wacana penerapan cukai karbon masih dalam tahap pembahasan internal pemerintah. Namun, jika kebijakan ini direalisasikan, tidak hanya penerimaan negara yang meningkat, tetapi juga pengurangan emisi karbon kendaraan bermotor dapat tercapai. (alf)

Timbulkan Kebingungan, DPR Imbau Penyusunan PMK Dilakukan Dengan Bahasa Sederhana 

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengkritisi penerapan teknis tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

Menurutnya, aturan tersebut menimbulkan kebingungan di masyarakat, terutama terkait penggunaan dasar pengenaan pajak (DPP) dengan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.

Misbakhun berharap penyusunan aturan teknis seperti PMK dilakukan dengan bahasa yang lebih sederhana dan tidak menimbulkan multitafsir. “Regulasi yang tidak jelas hanya akan memperbesar beban administrasi bagi pelaku usaha dan masyarakat,” katanya.

Kritik ini mencerminkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dan pelaku usaha agar implementasi kebijakan pajak berjalan lancar tanpa merugikan pihak manapun.

Selain itu, ia menegaskan bahwa UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak melarang penerapan multitarif PPN, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberlakukan tarif PPN 11% dan 12% secara bersamaan.

Misbakhun menjelaskan bahwa tarif PPN 11% tetap berlaku untuk barang dan jasa biasa, sementara tarif PPN 12% hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah, sebagaimana ditegaskan oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024. Namun, implementasi aturan ini, menurutnya, tidak disertai persiapan yang memadai.

Misbakhun menyayangkan penggunaan DPP dengan nilai lain sebesar 11/12, yang menyebabkan beberapa pelaku usaha mulai memungut tarif PPN 12% tanpa kejelasan objeknya. “Ketentuan ini menimbulkan salah tafsir, sehingga ada masyarakat yang harus membayar lebih dari seharusnya,” kata Misbakhun.

Ia juga menyoroti waktu persiapan yang sangat singkat untuk perubahan tarif PPN per 1 Januari 2025. Kondisi ini, menurutnya, menyulitkan pengusaha dalam menyesuaikan sistem perpajakan mereka.

“Meski nantinya bisa dihitung ulang melalui SPT masa PPN, kondisi ini membebani masyarakat dan pengusaha,” tambahnya.

Pengecualian pada Barang dan Jasa Mewah

Tarif PPN 12% hanya diterapkan pada barang dan jasa mewah yang telah diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pemerintah juga memastikan bahwa barang dan jasa biasa tetap dikenakan tarif PPN 11%, seperti yang diatur dalam UU HPP Pasal 7.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa stimulus ekonomi yang telah disiapkan pemerintah tetap berlaku untuk mendukung enam sektor utama, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti. (alf)

DPR Nilai Aturan PPN 12%, Membingungkan dan Berpotensi Meresahkan Masyarakat

IKPI, Jakarta: Langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 untuk mengenakan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menuai kritik dari DPR. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat, khususnya di kalangan pelaku usaha.

Dalam keterangannya pada Jumat (3/1/2025), Misbakhun menyebutkan bahwa peraturan ini menyebabkan beberapa perusahaan ritel memungut PPN sebesar 12%, yang seharusnya hanya diterapkan untuk barang dan jasa mewah.

“Peraturan ini membingungkan, karena menggunakan dasar pengenaan pajak dengan nilai lain, yaitu 11/12, yang kemudian dikalikan tarif PPN 12% agar hasilnya tetap 11%,” ungkapnya.

Aturan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan mempersulit penerapannya. Misbakhun menyoroti bahwa Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 sebenarnya memperbolehkan multi-tarif PPN, sehingga tidak ada halangan untuk menerapkan tarif 11% dan 12% secara bersamaan.

Namun, pendekatan yang diambil Kemenkeu, menurutnya, tidak memberikan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk menyesuaikan sistem mereka. “Dengan waktu yang mepet, pengusaha terpaksa mengubah sistemnya, dan masyarakat justru harus membayar lebih dari yang seharusnya,” kata Misbakhun.

Ia juga menyoroti pentingnya penyusunan aturan yang sederhana dan jelas, agar tidak menimbulkan penafsiran ganda. Misbakhun mengingatkan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang telah menetapkan bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah pada 31 Desember 2024.

Sementara itu, dalam Media Briefing DJP pada Kamis (2/1/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa penggunaan DPP 11/12 adalah solusi yang paling memungkinkan dengan keterbatasan waktu. “Caranya ya kita tetapkan koefisien, yaitu nilai lain 11/12 x 12% sama dengan 11%. Ini solusi yang dapat kita jalankan saat ini,” ujarnya.

Keputusan mendadak ini dianggap sebagai langkah darurat, namun tetap menjadi perhatian serius karena berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Misbakhun menutup dengan pernyataan bahwa DJP harus segera memperbaiki kebijakan ini demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat. (alf)

Kenaikan Upah Minimum Provinsi 2025 Ditetapkan 6,5%, Ini Data Lengkapnya

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Upah Minimum. Kenaikan ini berlaku mulai 1 Januari 2025 di seluruh provinsi di Indonesia.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan bahwa kenaikan ini bertujuan untuk menjaga daya beli pekerja, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.

“Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global,” ujarnya, baru-baru ini.

Rincian Kenaikan UMP

Sebagai contoh, UMP DKI Jakarta mengalami kenaikan dari Rp5.067.381 pada 2024 menjadi Rp5.396.761 tahun ini. Di Banten, UMP naik menjadi Rp2.905.119 dari Rp2.727.812, sedangkan di Papua UMP naik menjadi Rp4.285.850 dari Rp4.024.270.

Berikut adalah rincian UMP tahun 2025 dari semua provinsi setelah kenaikan 6,5%:

1. Aceh: Rp3.685.615 (sebelumnya Rp3.460.672)

2. Sumatera Utara: Rp2.992.599 (sebelumnya Rp2.809.915)

3. Sumatera Barat: Rp2.994.193 (sebelumnya Rp2.811.449)

4. Sumatera Selatan: Rp3.681.570 (sebelumnya Rp3.456.874)

5. Kepulauan Riau: Rp3.623.653 (sebelumnya Rp3.402.492)

6. Riau: Rp3.508.775 (sebelumnya Rp3.294.625)

7. Lampung: Rp2.893.069 (sebelumnya Rp2.716.497)

8. Bengkulu: Rp2.670.039 (sebelumnya Rp2.507.079)

9. Jambi: Rp3.234.533 (sebelumnya Rp3.037.121)

10. Bangka Belitung: Rp3.876.600 (sebelumnya Rp3.640.000)

11. Banten: Rp2.905.119 (sebelumnya Rp2.727.812)

12. DKI Jakarta: Rp5.396.760 (sebelumnya Rp5.067.381)

13. Jawa Barat: Rp2.191.232 (sebelumnya Rp2.057.495)

14. Jawa Tengah: Rp2.169.348 (sebelumnya Rp2.036.947)

15. Jawa Timur: Rp2.305.984 (sebelumnya Rp2.165.244)

16. DI Yogyakarta: Rp2.264.080 (sebelumnya Rp2.125.897)

17. Bali: Rp2.996.560 (sebelumnya Rp2.816.672)

18. Nusa Tenggara Timur (NTT): Rp2.328.969 (sebelumnya Rp2.186.826)

19. Nusa Tenggara Barat (NTB): Rp2.602.931 (sebelumnya Rp2.444.067)

20. Kalimantan Barat: Rp2.878.286 (sebelumnya Rp2.702.616)

21. Kalimantan Tengah: Rp3.473.621 (sebelumnya Rp3.261.616)

22. Kalimantan Selatan: Rp3.496.194 (sebelumnya Rp3.282.812)

23. Kalimantan Utara: Rp3.580.160 (sebelumnya Rp3.361.653)

24. Kalimantan Timur: Rp3.579.313 (sebelumnya Rp3.360.858)

25. Sulawesi Utara: Rp3.775.425 (sebelumnya Rp3.545.000)

26. Sulawesi Tengah: Rp2.914.583 (sebelumnya Rp2.736.698)

27. Sulawesi Tenggara: Rp3.073.551 (sebelumnya Rp2.885.964)

28. Sulawesi Selatan: Rp3.657.527 (sebelumnya Rp3.443.298)

29. Sulawesi Barat: Rp3.104.430 (sebelumnya Rp2.914.958)

30. Gorontalo: Rp3.221.731 (sebelumnya Rp3.025.100)

31. Maluku Utara: Rp3.408.000 (sebelumnya Rp3.200.000)

32. Maluku: Rp3.141.699 (sebelumnya Rp2.949.953)

33. Papua: Rp4.285.850 (sebelumnya Rp4.024.270)

34. Papua Barat: Rp3.615.000 (sebelumnya Rp3.393.500)

35. Papua Barat Daya: Rp3.614.000 (sebelumnya Rp3.393.500)

36. Papua Tengah: Rp4.285.848 (sebelumnya Rp4.024.270)

37. Papua Selatan: Rp4.285.850 (sebelumnya Rp4.024.270)

38. Papua Pegunungan: Rp4.285.847 (sebelumnya Rp4.024.270)

Kenaikan UMP diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja sekaligus mendukung perekonomian nasional.

Secara keseluruhan, kenaikan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup pekerja dan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah.

Kenaikan UMP ini disambut baik oleh sebagian besar pekerja, meskipun masih menuai tantangan dari beberapa sektor usaha kecil dan menengah yang mengaku perlu waktu untuk menyesuaikan biaya operasional. Pemerintah juga memastikan pengawasan implementasi kenaikan UMP berjalan lancar, guna mencegah pelanggaran oleh pihak perusahaan.

Dengan kebijakan ini, pemerintah optimis bahwa daya beli masyarakat akan terjaga, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2025. (alf)

Wajib Pajak Keluhkan Lambatnya Akses Aplikasi Coretax

IKPI, Jakarta: Sejumlah wajib pajak mengeluhkan lambatnya akses pada aplikasi pelayanan pajak digital Direktorat Jenderal Pajak (DJP) (Coretax). Keluhan ini mencuat di tengah diberlakukannya sistem tersebut pada 1 Januari 2025.

Beberapa pengguna mengeluhkan bahwa mereka mengalami kesulitan saat mencoba masuk ke aplikasi, dengan proses login yang memakan waktu lama. Selain itu, beberapa fitur, seperti pelaporan SPT dan pembayaran pajak, dilaporkan sering mengalami kegagalan atau waktu muat yang terlalu lama.

“Saya sudah mencoba sejak pagi untuk melaporkan SPT, tetapi selalu gagal masuk. Bahkan saat berhasil, sistemnya lambat sekali,” ujar Aditya, seorang wajib pajak di Jakarta, Jumat (3/1/2025).

Keluhan serupa juga datang dari pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang merasa terganggu oleh kendala teknis ini.

Menanggapi keluhan ini, DJP mengakui adanya gangguan teknis pada aplikasi Coretax. “Coretax DJP saat ini sedang dalam proses peningkatan kualitas layanan demi memberikan pengalaman terbaik bagi Anda. Kami sangat memahami dan menyesali ketidaknyamanan yang mungkin Anda rasakan selama proses ini. Kami berkomitmen untuk segera mengembalikan layanan Coretax DJP agar dapat melayani Anda sebaik mungkin. Terima kasih atas kesabaran dan pengertian Anda.” tulis DJP dalam aplikasi itu.

Menanggapi permasalahan itu, Ketua Departemen Humas, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Jemmi Sutiono, menilai permasalahan ini mencerminkan pentingnya peningkatan infrastruktur digital (software dan hardware/server) di sektor perpajakan. “Digitalisasi adalah langkah maju, tetapi tanpa dukungan sistem yang andal, kepercayaan wajib pajak bisa menurun,” katanya.

Ia menegaskan, DJP diharapkan segera menyelesaikan permasalahan pada periode transisi dan migrasi sistem ini, mengingat data transaksi harian berjalan harus terselesaikan dengan baik dan minim risiko kerusakan data (data crash). “Penyempurnaan sistem harus terus dilakukan DJP, karena Coretax adalah satu-satunya sarana andalan dan unggulan administrasi pajak yang disediakan pemerintah mulai 01 Januari 2025. Jadi jika implementasi aplikasi itu bermasalah, maka secara otomatis akan berimbas kepada wajib pajak,” kata Jemmi di Jakarta, Jumat (3/1/2025). (bl)

DJP Beri Waktu Tiga Bulan untuk Peritel Menyesuaikan Sistem Tarif PPN 11%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan waktu tiga bulan kepada pelaku usaha ritel untuk menyesuaikan sistem mereka dengan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terbaru.

Pemerintah memastikan tarif efektif PPN barang dan jasa non-mewah tetap 11% per 1 Januari 2025, meskipun sejumlah peritel sudah menerapkan tarif 12%.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, diskusi dengan para pelaku usaha telah dilakukan untuk memberikan masa transisi. “Kami sedang berdiskusi, apakah waktu tiga bulan cukup bagi mereka untuk mengubah sistem. Ini yang kami coba pastikan,” ujar Suryo dalam media briefing di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Masa Transisi untuk Penyesuaian Sistem

DJP juga akan mencermati perubahan sistem internal yang diperlukan untuk memastikan kebijakan tarif PPN berjalan lancar. “Kami masih mengecek sistem kami dan bagaimana transisi ini bisa dijalankan dengan baik, sehingga aplikasinya pun dapat berjalan optimal,” tambah Suryo.

Suryo juga menjamin bahwa kelebihan pungutan PPN 12% yang terlanjur dikenakan kepada konsumen akan dikembalikan. “Hak negara tetap harus masuk, tetapi hak wajib pajak yang bukan menjadi hak negara harus dikembalikan,” tegasnya.

Namun, mekanisme pengembalian kelebihan pungutan ini masih dirumuskan. Selama ini, pengembalian bisa dilakukan melalui kompensasi langsung dari retailer kepada konsumen atau melalui koreksi faktur pajak. DJP berencana membuat mekanisme yang seragam agar lebih mudah diimplementasikan.

Penerapan Tarif 12% di Platform Digital

Beberapa transaksi di platform digital seperti Google, Apple, Shopee, dan Tokopedia diketahui telah menerapkan tarif PPN 12%. Misalnya, pelanggan layanan Apple One yang membayar Rp 149.000 per bulan mencatatkan Rp 15.964 sebagai PPN 12%. Hal serupa juga terjadi pada pengisian saldo iklan di Shopee dan Tokopedia, di mana PPN 12% diterapkan pada transaksi.

DJP berharap masa transisi ini dapat memberikan waktu yang cukup bagi pelaku usaha untuk memperbaiki sistem dan mencegah kebingungan konsumen. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga keadilan dan kepastian hukum dalam penerapan tarif PPN. (alf)

Pemerintah akan Tingkatkan Jumlah Wajib Pajak untuk Capai Target Penerimaan 2025 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, memaparkan strategi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ia menegaskan pentingnya dua langkah utama, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi, dalam memastikan target tersebut tercapai.

“Ekstensifikasi adalah upaya menambah jumlah wajib pajak, sedangkan intensifikasi berarti menggali potensi penerimaan dari objek pajak yang sudah terdaftar. Kedua langkah ini akan menjadi fokus utama kami di tahun 2025,” ujar Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Strategi ini juga mencakup adaptasi terhadap kebijakan baru mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, namun hanya diterapkan pada barang mewah. Barang non-mewah tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%, sesuai dengan skema dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

Menurut Suryo, kebijakan ini berpotensi mengurangi tambahan penerimaan pajak yang sebelumnya diproyeksikan mencapai Rp 75 triliun jika PPN 12% diberlakukan secara umum. Namun, ia optimis bahwa optimalisasi dari sumber penerimaan lain dapat menutup kekurangan tersebut. “Untuk mencari penggantinya, kita akan memaksimalkan sumber-sumber lain,” kata Suryo.

Dukungan DPR untuk Kebijakan PPN 12%

Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mendukung langkah pemerintah yang memutuskan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah. Ia menyebut keputusan ini mencerminkan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto kepada rakyat kecil, meskipun potensi penerimaan pajak menjadi lebih kecil.

“Potensi tambahan penerimaan sebesar Rp 3,2 triliun dari kebijakan ini tentu lebih rendah dibandingkan Rp 75 triliun jika tarif 12% diberlakukan secara umum. Namun, ini adalah pilihan sulit yang harus diambil untuk melindungi masyarakat kecil,” ujar Misbakhun.

Keputusan ini diambil setelah evaluasi mendalam terhadap dampaknya pada ekonomi masyarakat. Dengan fokus pada barang mewah, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat umum sekaligus mengoptimalkan penerimaan dari segmen yang lebih mampu.

Pemerintah dan DJP optimis bahwa melalui strategi yang terintegrasi, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dapat tercapai, tanpa membebani rakyat kecil secara berlebihan. (alf)

DJP Jelaskan Skema Penerapan PPN dan PPnBM 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan kebijakan pemerintah terkait PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang diberlakukan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menjaga keseimbangan penerimaan negara.

Pada media briefing yang digelar di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis (2/1/2025), beberapa skenario penghitungan pajak disampaikan untuk memberikan pemahaman lebih baik kepada pelaku usaha dan masyarakat umum.

Salah satu contoh yang diangkat DJP adalah penyerahan kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin 2.000 cc.

Contoh Kasus 1:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT B (pabrikan) kepada PT C (dealer).

Harga Jual: Rp500.000.000,00

PPN (12%): Rp60.000.000,00

PPnBM (15%): Rp75.000.000,00

Total Pajak Terutang: Rp135.000.000,00

Contoh Kasus 2:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada PT D untuk keperluan usaha.

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM: Tidak dikenakan.

PPN Disetor: Rp12.000.000,00 (selisih Pajak Keluaran dan Pajak Masukan).

Contoh Kasus 3:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada Tuan E (konsumen akhir).

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM (15%): Rp90.000.000,00

Implikasi Kebijakan

Suryo menekankan bahwa penerapan pajak ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengatur konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara. “Dengan kebijakan ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih memahami mekanisme penghitungan pajak atas barang mewah, sehingga mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, DJP akan terus memberikan edukasi kepada para pengusaha kena pajak terkait pengisian faktur pajak yang benar, termasuk penggunaan kode transaksi yang sesuai.

Menurutnya, langkah ini menjadi bagian dari strategi besar pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui pajak tanpa membebani masyarakat luas. (alf)

Dirjen Pajak Beri Contoh Penghitungan Baru PPN Barang Mewah hingga Barang Tak Berwujud

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan penerapan penghitungan baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Peraturan ini mengatur tarif PPN untuk berbagai jenis barang dan jasa, termasuk barang mewah, barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud.

PPN untuk Barang Mewah

Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam media briefing di kantor pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025), menjelaskan bahwa barang mewah akan dikenakan PPN sebesar 12% dari nilai impor untuk impor barang, dan 12% dari harga jual untuk penyerahan di dalam negeri. Khusus untuk konsumen akhir dengan faktur pajak eceran, tarif PPN hingga 31 Januari 2025 adalah 12% dari 1/12 harga jual.

Namun, mulai 1 Februari 2025, tarifnya menjadi 12% dari harga jual penuh. Sementara itu, ekspor barang mewah dikenai tarif PPN 0%.

Sebagai contoh, pada 2 Januari 2025, PT A, sebuah perusahaan otomotif, mengimpor satu unit mobil 2.000 CC senilai Rp500.000.000. Berdasarkan aturan ini, PT A wajib membayar PPN sebesar Rp60.000.000 (12% x Rp500.000.000) dan PPnBM sebesar Rp75.000.000 (15% x Rp500.000.000).

PPN untuk Barang Selain Barang Mewah, Jasa, dan Barang Tidak Berwujud

Untuk barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud, PPN dihitung sebesar 12% dari 11/12 nilai impor atau harga jual. Untuk pemanfaatan barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri, PPN juga dihitung sebesar 12% dari 11/12 penggantian. Ekspor barang dan jasa dalam kategori ini dikenakan tarif PPN 0%.

Suryo menegaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan. Dengan penerapan tarif baru ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. (alf)

Direktur DJP: Wajib Pajak Bisa Gunakan Skema Penggantian Faktur Pajak untuk Tarik Tarif PPN 11%

IKPI, Jakarta: Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, menjelaskan langkah yang bisa diambil wajib pajak terkait perbedaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% dan 12%. Dalam masa transisi sebelum kebijakan final ditetapkan oleh DJP, Hestu menyebut bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan skema penggantian faktur pajak.

“Ini sudah terlanjur diumumkan 12%, banyak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang membuat sistem 12%, sehingga ada masa transisi. Tapi saya kasih clue, kalau faktur pajak dibuat dan salah, harusnya menjadi 11% dalam konteks hitungannya, ada skema seperti penggantian faktur pajak,” kata Hestu dalam dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Kamis (2/1/2025).

Hestu menegaskan, jika penjual bersedia melakukan perubahan, pembeli dapat menerima faktur pajak baru dengan tarif yang benar, yakni 11%. Namun, jika penjual tetap menggunakan tarif 12% dan telah melaporkannya, pembeli masih memiliki hak untuk meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran tersebut sesuai regulasi.

“Sepanjang itu 12% disetor dan dilaporkan oleh penjual, sebenarnya di regulasi kita si pembeli boleh minta pengembaliannya,” tegasnya.

Langkah ini dinilai penting untuk menjaga keakuratan penerapan tarif PPN, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak di tengah masa transisi kebijakan tarif. (alf)

id_ID