Pajak Marketplace: Pemerintah Pastikan UMKM Beromzet di Bawah Rp 500 Juta Bebas Pungutan PPh

IKPI, Jakarta: Kabar baik datang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia, khususnya yang menjalankan bisnis secara online. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa UMKM orang pribadi yang memiliki omzet hingga Rp 500 juta per tahun akan tetap dibebaskan dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh).

Penegasan ini disampaikan menyusul rencana pemerintah menunjuk platform marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh pedagang online. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di sektor digital, DJP memastikan bahwa pelaku UMKM skala kecil tidak akan terbebani aturan baru tersebut.

“Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak dikenakan PPh dalam skema ini, sesuai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP Nomor 55 Tahun 2022,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, pada Kamis (26/6/2025).

Fokus pada UMKM yang Sudah Tumbuh

Rosmauli menjelaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku bagi UMKM yang telah mencatat omzet di atas Rp 500 juta dalam satu tahun pajak. Bagi kelompok ini, tarif PPh final yang dikenakan tetap ringan, yakni sebesar 0,5% dari penghasilan bruto, sebagaimana yang sudah diberlakukan sebelumnya.

“Kami tidak menambah jenis pajak baru. Justru kami ingin menyederhanakan proses administrasi pajak bagi UMKM yang sudah berkembang, dan tetap melindungi mereka yang masih dalam tahap awal usaha,” jelasnya.

Marketplace Jadi Mitra Pemungut Pajak

Melalui kebijakan yang sedang difinalisasi ini, platform marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya akan diberi peran sebagai pemungut PPh atas transaksi penjualan barang yang dilakukan pedagang online. Sistem ini akan langsung memotong pajak saat transaksi terjadi, sehingga pedagang tidak perlu mengurus penyetoran secara manual.

“Skema ini dirancang agar mudah, otomatis, dan mengurangi beban administrasi wajib pajak UMKM,” kata Rosmauli.

Mendorong Kepatuhan dan Keadilan

DJP menilai bahwa integrasi sistem pemungutan pajak dengan marketplace juga akan membantu mendorong kepatuhan sekaligus menciptakan keadilan antar pelaku usaha, baik yang menjual secara daring maupun luring. Di sisi lain, kebijakan ini juga ditujukan untuk mempersempit ruang shadow economy yang selama ini sulit terjangkau sistem perpajakan.

Rosmauli menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan sosialisasi secara luas agar para pelaku UMKM memahami hak dan kewajibannya dengan benar. “UMKM tidak perlu khawatir. Yang omzetnya masih kecil tetap bebas pajak. Yang sudah berkembang hanya dikenakan tarif ringan, dan prosesnya akan semakin mudah,” tandasnya.

Dengan pendekatan yang inklusif dan tidak memberatkan, pemerintah berharap UMKM digital terus tumbuh dan berkontribusi secara proporsional terhadap pembangunan ekonomi nasional. (bl)

 

Pelantikan Pengcab Kabupaten Bekasi: IKPI Dorong Pemekaran Cabang Demi Organisasi yang Inklusif dan Dekat dengan Anggota

IKPI, Cirebon: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya pemekaran dan penataan cabang sebagai upaya memperkuat jangkauan organisasi dan mendekatkan pelayanan kepada anggota. Hal tersebut disampaikan dalam sambutannya saat menghadiri Pelantikan Pengurus Cabang Kabupaten Bekasi di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (27/6/2025).

Pelantikan ini menjadi tonggak bersejarah karena merupakan cabang ke-45 yang resmi dilantik IKPI. Vaudy menyebut, lahirnya Pengcab Kabupaten Bekasi bukan proses yang instan, melainkan telah diinisiasi sejak hampir satu dekade lalu saat dirinya masih berada di Bidang Pengembangan Organisasi, saat situ berada di bawah pimpinan Ketua IV Sistomo.

(Foto: Istimewa)

“Selamat kepada ketua dan pengurus IKPI Cabang Kabupaten Bekasi Terpilih. Kembangkan dan kepakan sayap untuk memperkenalkan IKPI di wilayah ini dan bantu masyarakat untuk menunaikan kewajiba perpajakannya,” kata Vaudy, Sabtu (28/6/2025).

Lebih lanjut ia mengungkapkan, saat ini terdapat beberapa cabang sudah lebih dari 200 anggota, memenuhi syarat untuk pemekaran sesuai AD/ART. Cabang yang jumlahnya anggotanya dimekarkan atau membentuk cabang baru.

(Foto: Istimewa)

Ia menegaskan bahwa pembentukan cabang baru bukan bentuk perpecahan, melainkan langkah strategis penguatan organisasi. “Jangan jadikan pemekaran sebagai ancaman. Kita semua tetap satu IKPI. Ini justru menunjukkan dinamika pertumbuhan organisasi,” tegasnya.

Pemekaran Organisasi dan Penataan Wilayah

Dalam forum tersebut, Vaudy juga mendorong terbentuknya cabang-cabang baru, khususnya di provinsi yang belum memiliki pengurus cabang. Ia menekankan bahwa saat ini terdapat 14 provinsi yang masih belum tersentuh struktur kepengurusan cabang IKPI, termasuk ibu kota Provinsi Banten (Kota Serang).

“Sudah saatnya bendera IKPI hadir di seluruh wilayah Indonesia agar peran konsultan pajak makin dikenal dan dapat memberikan kontribusi optimal,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Selain itu, ia menegaskan pentingnya penyesuaian struktur wilayah organisasi dengan batas administratif pemerintah dan wilayah kerja DJP. “Misalnya, Cabang Depok dan Bekasi masih di bawah Pengda DKJ, padahal secara geografis keduanya berada di Jawa Barat. Ini perlu ditata kembali agar struktur organisasi kita menjadi lebih efisien dan fungsional,” katanya.

Ia juga menyinggung tentang pentingnya partisipasi luas anggota. “Ketua umum tidak bisa bekerja sendiri. Karena itu, saat ini ada 18 Ketua Departemen di pusat agar lebih banyak anggota yang bisa tampil dan berkontribusi, juga untuk bersama-sama dengan Ketua Umum membangun IKPI,” kata Vaudy.

Acara berlangsung dalam suasana santai dan kolaboratif, mencerminkan semangat soliditas dan pertumbuhan organisasi. IKPI terus memperkuat perannya sebagai wadah profesional konsultan pajak yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan anggotanya serta tantangan perpajakan nasional.

(Foto: Istimewa)

Pengurus Cabang Kabupaten Bekasi:

• Ketua: Asep Ardiansyah

• Wakil Ketua: Agus Wijatmoko

• Sekretaris: Leo Fisika

• Bendahara: Osti Meilana

• Koordinator: Ero Kusnara

Acara pelantikan dan Rakorda Jawa Barat ini dihadiri sejumlah pengurus pusat, daerah, dan cabang:

Pengurus Daerah (Pengda):

• Ketua: Heru Widayanto

• Sekretaris: Verdyant

• Bendahara: Debi Sion

• Pengurus Cabang:

• Ketua Cabang Cirebon: Petrus Hery dan jajaran

• Ketua Cabang Bogor: Andi Deswanta dan jajaran

• Ketua Cabang Bandung: Florentius Adhi Prasetyo dan jajaran

• Ketua Cabang Depok: Hendra Damanik (diwakili oleh Edy, Herwikson Sitorus dan Parlin Silitonga)

• Ketua Cabang Cirebon tiga periode (2009–2014–2019–2024): Kaslani

Pengurus Pusat IKPI:

• Ketua Umjm: Vaudy Starworld

• ⁠Bendahara Umum: Emanuel Ali

• Wakil Sekretaris Umum: Novalina Magdalena

• Ketua Departemen Pengembangan Organisasi: Nuryadin Rahman

• Ketua Departemen Sistem Pendukung Bisnis Anggota: Donny E. Rindorindo

• Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal: Pino Siddharta

• Anggota Departemen Pengembangan Organisasi: Muhammad Fadhil (bl)

Kunjungan PP IKPI: Perkuat Soliditas, Dorong Aktivitas Edukasi Pajak di Daerah

IKPI, Cirebon: Dalam upaya memperkuat sinergi organisasi dan membangun komunikasi yang lebih erat dengan pengurus serta anggota cabang Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld melakukan kunjungan kerja ke IKPI Cabang Cirebon, Jumat (27/6/2025), malam. Kunjungan ini menjadi bagian dari rangkaian roadshow nasional yang digagas untuk menjembatani aspirasi dan kebutuhan cabang-cabang IKPI di luar Jabodetabek.

Kunjungan tersebut disambut antusias oleh para pengurus dan anggota IKPI Cirebon. Turut hadir dalam rombongan pengurus pusat (PP) antara lain Sekretaris Umum, Associate Professor Edy Gunawan, Ketua Departemen Pendidikan dan Pengembangan Keprofesian (PPKF), Sundara Ichsan, Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman bersama anggota M Fadhil, serta jajaran Pengurus Daerah (Pengda) Jawa Barat dan Ketua Pengcab Kota Bogor, Andi Deswanta.

Sementara dari tuan rumah, hadir Ketua Pengcab Cirebon Petrus Hery dan mantan Ketua Pengcab Cirebon Kaslani.

Dalam sambutannya, Vaudy menekankan pentingnya membangun hubungan yang lebih dekat antara pengurus pusat dan daerah. “Pertemuan ini bukan hanya seremonial, tetapi momentum strategis untuk mendengarkan secara langsung masukan dari anggota di daerah, menyamakan visi, dan mendorong partisipasi aktif dalam pengembangan profesi konsultan pajak,” ujarnya, Sabtu (28/6/2025).

Vaudy juga menggarisbawahi pentingnya menjaga semangat kolaborasi dan kebersamaan di antara sesama anggota IKPI. Menurutnya, silaturahmi dan dialog langsung seperti ini perlu terus dilakukan agar organisasi tidak terjebak dalam sentralisasi, melainkan tumbuh merata dan responsif terhadap kebutuhan lokal.

Ia mengajak anggota untuk menjadikan pertemuan tatap muka sebagai ajang pertukaran gagasan, pembaruan wawasan, dan penguatan solidaritas profesi.

Dalam pertemuan tersebut, Vaudy turut menyampaikan rencana kegiatan nasional menyambut Hari Ulang Tahun IKPI, dan secara terbuka mengajak Cabang Cirebon beserta seluruh anggota untuk ikut serta dalam berbagai rangkaian kegiatan tersebut.

“Perayaan ulang tahun IKPI bukan sekadar seremoni, tapi refleksi perjalanan dan kontribusi profesi ini bagi masyarakat dan negara. Kami ingin semua cabang ikut ambil bagian,” tegasnya.

Tidak hanya itu, ia juga mendorong agar Cabang Cirebon lebih aktif menyelenggarakan kegiatan edukatif seperti pelatihan brevet pajak dan seminar perpajakan yang tidak hanya ditujukan bagi anggota IKPI, tetapi juga untuk wajib pajak dan pelaku usaha di wilayah Cirebon dan sekitarnya.

“Kita tidak boleh eksklusif. Justru peran edukatif dan kolaboratif IKPI di daerah harus semakin diperkuat agar masyarakat semakin paham dan patuh terhadap kewajiban perpajakan,” ujar Vaudy.

Menanggapi kunjungan tersebut, Ketua IKPI Cabang Cirebon Petrus Hery menyampaikan apresiasi tinggi atas kehadiran Ketua Umum dan jajaran pengurus pusat. “Kunjungan ini sangat berarti bagi kami. Selain menjadi bentuk perhatian langsung dari pusat, ini juga menambah semangat kami untuk lebih aktif dan inovatif dalam mengembangkan kegiatan di Cirebon,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa para anggota IKPI di Cirebon siap menyambut tantangan dan peluang yang disampaikan Ketua Umum, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan pajak dan kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat luas. “Kami di daerah siap mendukung program-program nasional dan akan menjadikan kunjungan ini sebagai titik awal penguatan eksistensi IKPI di Cirebon,” tambah Petrus.

Kunjungan ini juga menjadi catatan penting dalam sejarah IKPI Cirebon, karena , terakhir kali Ketua Umum IKPI hadir secara langsung ke Cirebon adalah pada masa kepemimpinan M. Soebakir. Dengan demikian, kunjungan Vaudy menjadi bukti nyata komitmen pengurus pusat untuk menjangkau seluruh lapisan keanggotaan, tanpa memandang lokasi geografis.

Ke depan, IKPI akan terus memperluas jangkauan komunikasi dan pelayanan organisasinya agar mampu menjawab tantangan profesi konsultan pajak yang semakin kompleks, sekaligus meningkatkan kontribusi nyata terhadap sistem perpajakan nasional yang berkeadilan dan profesional. (bl)

Wajib Pajak Berhak atas Imbalan Bunga

Sebagai wajib pajak, penting untuk memahami hak-hak kita dalam sistem perpajakan. Salah satu hak krusial adalah imbalan bunga, yaitu kompensasi dari pemerintah atas kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan ini bisa muncul karena berbagai kondisi, termasuk keputusan atas keberatan, banding, atau bahkan putusan gugatan yang dikabulkan, baik sebagian maupun seluruhnya.

Imbalan bunga ini menegaskan prinsip keadilan, memastikan wajib pajak tidak dirugikan karena dananya tertahan negara akibat suatu ketetapan pajak yang kemudian dibatalkan atau dikoreksi oleh otoritas atau putusan pengadilan.

Apa Itu Imbalan Bunga?

Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. Secara umum, imbalan bunga adalah sejumlah uang yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak sebagai kompensasi atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Kapan Wajib Pajak Berhak Mendapatkan Imbalan Bunga?

Wajib Pajak dapat diberikan imbalan bunga apabila dalam kondisi seperti ini:

  1. Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
  2. Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
  3. Kelebihan pembayaran pajak karena:

Pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan sebagian atau seluruhnya.

Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Skenario Pengabulan Permohonan:

1. Dikabulkan Seluruhnya

Jika upaya hukum Anda (keberatan, banding, atau gugatan) dikabulkan seluruhnya, artinya seluruh koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan dibatalkan atau disetujui. Jika Anda telah membayar pajak berdasarkan SKP/STP yang kini dibatalkan, maka muncullah kelebihan pembayaran. Imbalan bunga akan dihitung atas seluruh kelebihan pembayaran ini.

Contoh: Anda membayar Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp100 juta berdasarkan surat ketetapan pajak. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda dikabulkan seluruhnya, berarti PPh yang benar adalah Rp60 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp40 juta (Rp100 juta – Rp60 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp40 juta tersebut.

2. Dikabulkan Sebagian

Apabila upaya hukum Anda hanya dikabulkan sebagian, itu berarti hanya sebagian dari koreksi atau penetapan pajak yang Anda persoalkan yang disetujui. Meskipun tidak seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak tetap timbul akibat koreksi parsial ini. Imbalan bunga akan dihitung atas jumlah kelebihan pembayaran yang terjadi karena dikabulkannya sebagian permohonan Anda.

Contoh: Sama seperti contoh di atas, Anda membayar PPh sebesar Rp100 juta. Anda mengajukan keberatan karena merasa PPh yang seharusnya hanya Rp60 juta. Jika keberatan Anda hanya dikabulkan sebagian, misalnya diputuskan PPh yang benar adalah Rp80 juta. Maka, ada kelebihan pembayaran Rp20 juta (Rp100 juta – Rp80 juta), dan Anda berhak atas imbalan bunga atas Rp20 juta tersebut.

Imbalan Bunga Atas Putusan Gugatan yang Dikabulkan: Hak yang Tidak Boleh Diabaikan!

Seringkali muncul kesalahpahaman di lapangan bahwa putusan gugatan yang dikabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) tidak termasuk dalam ruang lingkup pemberian imbalan bunga. Ini tidak benar. Wajib pajak yang memenangkan gugatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak (STP) dan dikabulkan, tetap berhak atas imbalan bunga.

Mengapa Demikian?

Esensi Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak:

Sebagaimana dijelaskan DJP, imbalan bunga diberikan atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. Putusan gugatan oleh Pengadilan Pajak yang mengabulkan (baik sebagian atau seluruhnya) dan membatalkan atau mengurangi nilai SKP atau STP secara substansial sama dengan Surat Keputusan Pembatalan/Pengurangan Ketetapan Pajak.

Artinya, jika SKP/STP dinyatakan tidak sah atau dikurangi nilainya oleh pengadilan dan wajib pajak sudah membayar, maka terjadi kelebihan pembayaran yang wajib dikembalikan beserta imbalan bunga. Hal ini sejalan dengan Pasal 27A ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.

Kepatuhan Terhadap Putusan Pengadilan:

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak secara tegas menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.

Putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat. Ketika sebuah putusan gugatan membatalkan atau mengurangi suatu ketetapan pajak yang sudah dibayar, maka kewajiban mengembalikan kelebihan pembayaran pajak, termasuk imbalan bunganya, menjadi mutlak untuk dipatuhi. Mengabaikan imbalan bunga hanya akan mencederai asas kepatuhan terhadap putusan pengadilan.

Asas Keadilan dan Konsistensi Hukum:

Imbalan bunga diberikan sebagai kompensasi atas dana wajib pajak yang “tertahan” di negara akibat ketetapan pajak yang pada akhirnya terbukti keliru atau tidak sah. Tidak ada perbedaan fundamental secara keadilan antara kelebihan pembayaran yang timbul dari putusan keberatan atau banding dengan yang timbul dari putusan gugatan. Menolak imbalan bunga hanya karena sumbernya dari putusan gugatan akan menciptakan inkonsistensi dan ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Perhitungan dan Batas Waktu Pemberian Imbalan Bunga

  1. Berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai suku bunga acuan dibagi 12. Tarif yang berlaku adalah tarif pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
  2. Paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Imbalan bunga dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak (atau tanggal pembayaran, jika lebih akhir) sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

Skenario Khusus Perhitungan:

  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan SKPN dan SKPLB dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.
  • Dalam hal SKPN yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak tersebut.
  • Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga untuk paling lama 24 bulan.

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi (denda/bunga) yang dibatalkan/dikurangi berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Catatan: Perhitungan imbalan bunga mulai 2 November 2020 diatur setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan dalam berbagai PMK terkait.

Imbalan Bunga Tidak Diberikan Terhadap:

  1. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas SKPKB atau SKPKBT yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  2. Kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.

Pelaksanaan Pemberian Imbalan Bunga:

  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan jika terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga sebagai akibat terbitnya Putusan Peninjauan Kembali diberikan jika terhadap Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.

Dasar Hukum Imbalan Bunga

Hak wajib pajak atas imbalan bunga ini dijamin kuat oleh peraturan perundang-undangan:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  2. Pasal 27A UU KUP adalah landasan utama yang menjelaskan kondisi-kondisi pemberian imbalan bunga, termasuk tarif dan jangka waktunya. Penjelasan Pasal ini adalah kunci untuk mengaitkan putusan gugatan yang membatalkan ketetapan pajak.
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
  4. Pasal 77 ayat (1): Mengatur jenis putusan Pengadilan Pajak (termasuk membatalkan), yang berimplikasi pada timbulnya kelebihan pembayaran.
  5. Pasal 80: Menegaskan kewajiban bagi pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan Pengadilan Pajak, yang berarti termasuk konsekuensi pengembalian kelebihan pembayaran pajak beserta imbalan bunganya.
  6. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Terkait Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga serta Pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Peraturan pelaksana ini mengatur lebih detail mengenai tata cara pengajuan, perhitungan, dan pembayaran imbalan bunga. Penting untuk selalu merujuk pada regulasi terbaru. Beberapa yang relevan adalah:

  1. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 226/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBERIAN IMBALAN BUNGA.
  2. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2021 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

Kedua PMK ini, dan peraturan pelaksana lainnya yang mungkin diperbarui, memberikan detail teknis mengenai perhitungan, prosedur, dan tarif imbalan bunga, termasuk penerapannya dalam konteks perubahan undang-undang terbaru.

Lindungi Hak Anda Sebagai Wajib Pajak!

Memahami secara mendalam ketentuan imbalan bunga sangat krusial bagi setiap wajib pajak. Jika Anda telah memenangkan upaya hukum (keberatan, banding, atau gugatan) dan putusan tersebut menyebabkan kelebihan pembayaran pajak (baik sebagian maupun seluruhnya), jangan ragu untuk menuntut hak Anda atas imbalan bunga.

Ajukan permohonan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan melampirkan salinan putusan Pengadilan Pajak (atau surat keputusan terkait lainnya) dan semua dokumen pendukung yang relevan. Dengan pengetahuan ini, Anda dapat memastikan hak-hak Anda terpenuhi dan berkontribusi pada sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan.

Sumber Informasi:

  •  Direktorat Jenderal Pajak (pajak.go.id)
  •  Undang-Undang terkait dan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

FGD IKPI: Adilkah Penerapan NPPN Secara Jabatan bagi WP Badan?

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menyelenggarakan forum diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) sebagai wujud komitmen organisasi dalam memperkuat kapasitas profesional anggotanya. FGD kali ini mengangkat tema krusial dan penuh perdebatan: “Pengenaan NPPN Secara Jabatan Pemeriksaan WP Badan, Apakah Adil?”

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, mengajak seluruh anggota IKPI untuk memanfaatkan kesempatan ini sebagai sarana menambah wawasan, berdiskusi secara mendalam, dan memperkuat solidaritas profesi konsultan pajak.

“FGD ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan juga ruang pembelajaran kolektif untuk mendalami dinamika kebijakan perpajakan yang berdampak langsung terhadap praktik profesi konsultan pajak. Kami ingin agar anggota aktif menyuarakan pandangan, menyumbangkan pengalaman lapangan, dan membangun perspektif yang lebih utuh terhadap isu pengenaan NPPN secara jabatan,” ungkap Jemmi.

Ia menegaskan, partisipasi dalam FGD ini memberikan berbagai manfaat strategis bagi anggota IKPI, di antaranya:

• Peningkatan Kapasitas Profesional:

Anggota akan memperoleh pemahaman mendalam tentang pengenaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), khususnya dalam konteks pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Badan. Ini penting untuk menghadapi tantangan teknis dan yuridis dalam praktik sehari-hari.

• Akses ke Narasumber Berpengalaman:

FGD akan menghadirkan pembicara yang memiliki latar belakang akademik dan praktisi pajak yang kaya pengalaman, yaitu:

• Andry Dermawanto, SE, SH, MM

• Andreas Budiman, SE, SH, M.Si, MH

• Daniel Benyamin De Poere, SE, M.Ak, Ak, CA, CPA

• Forum Dialog Terbuka dan Konstruktif:

Peserta dapat menyampaikan pandangan kritis dan pengalaman nyata dalam praktik konsultan pajak, termasuk tantangan interpretasi peraturan dan pendekatan pemeriksaan oleh otoritas pajak.

• Menjaga Soliditas Profesi Konsultan Pajak:

FGD menjadi wadah memperkuat kekompakan dan kesatuan suara antaranggota dalam menyikapi isu-isu yang menyentuh prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam perpajakan.

• Gratis & Eksklusif untuk Anggota:

Kegiatan ini disediakan secara gratis dan eksklusif hanya untuk anggota IKPI, sebagai bentuk pelayanan organisasi dalam peningkatan kualitas anggotanya secara berkelanjutan.

Sekadar informasi, acara tersebut akan diselenggarakan pada Jumat, 4 Juli 2025, pukul 14.00 – 16.00 WIB melalui platform Zoom Meeting, Link Registrasi: https://us02web.zoom.us/meeting/register/yymgl9sxS5yQWKRj_s2Lqg Meeting ID: 853 7286 1664

Jemmi menambahkan bahwa melalui diskusi seperti ini, IKPI ingin menguatkan posisi konsultan pajak sebagai mitra kritis pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil, proporsional, dan berkepastian hukum.

“Semakin banyak anggota yang terlibat aktif, semakin kuat pula suara kita dalam memperjuangkan praktik perpajakan yang sehat dan berkeadilan,” tutupnya.

Acara ini diselenggarakan oleh Departemen FGD IKPI dan menjadi bagian dari rangkaian kegiatan strategis organisasi dalam menyikapi dinamika kebijakan perpajakan nasional. (bl)

IEF Sebut Indonesia Hadapi Tekanan Fiskal Serius

IKPI, Jakarta: Indonesia tengah dihadapkan pada tekanan fiskal yang kian menguat akibat penurunan penerimaan pajak secara konsisten sejak awal 2025. Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute menilai situasi ini membuka peluang bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan merevisi kebijakan perpajakan nasional demi menjaga stabilitas fiskal.

Direktur Eksekutif IEF, Ariawan Rahmat, mengungkapkan bahwa hingga Mei 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mencatat defisit sebesar Rp21 triliun, setara 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut timbul dari ketimpangan antara pendapatan negara yang baru mencapai Rp995,3 triliun dan belanja negara yang telah menembus Rp1.016,3 triliun.

“Ini baru 28,1 persen dari total anggaran 2025 yang senilai Rp3.621,3 triliun, tetapi tekanan fiskalnya sudah sangat terasa. Komposisinya menunjukkan ketidakseimbangan yang bisa semakin memburuk tanpa langkah korektif,” ujar Ariawan, Kamis (26/6/2025).

Untuk menutup defisit, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp349,3 triliun hingga Mei 2025, melonjak drastis 164 persen dibandingkan tahun lalu. Utang ini digunakan antara lain untuk program strategis seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan ketahanan pangan.

Kendati demikian, rasio utang terhadap PDB justru turun ke level 30,3 persen per April 2025, dengan total utang luar negeri tercatat sebesar 431,55 miliar dolar AS. Namun, sorotan utama datang dari sisi penerimaan perpajakan yang mengalami penurunan signifikan.

Hingga Mei, penerimaan pajak tercatat minus 10,13 persen secara tahunan. Bahkan pada Februari, kontraksi mencapai 30,1 persen, hanya mengumpulkan Rp187,8 triliun, jauh di bawah capaian tahun sebelumnya. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa penerimaan pajak 2025 bisa meleset dari target hingga Rp120–Rp140 triliun.

Ariawan mengidentifikasi sejumlah faktor yang memperberat penurunan ini, seperti turunnya harga komoditas ekspor, perlambatan ekonomi global, serta belum optimalnya implementasi sistem administrasi pajak Coretax di awal tahun.

“Dalam situasi ini, pemerintah berpotensi mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan perpajakan yang lebih agresif untuk menambal defisit dan menjaga keberlanjutan fiskal,” tegas Ariawan.

Menurutnya, landasan hukum seperti UU No. 7 Tahun 2021 dan UU No. 28 Tahun 2007 membuka ruang bagi pemerintah untuk mengubah parameter perpajakan, termasuk kemungkinan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga maksimal 15 persen.

Salah satu opsi yang kembali mengemuka adalah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, wacana yang sebelumnya sempat tertunda.

Namun, Ariawan mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak diberlakukan secara tergesa-gesa. Ia menilai bahwa daya beli masyarakat masih rentan, dan peningkatan tarif PPN bisa berdampak pada tekanan konsumsi domestik yang belum sepenuhnya pulih.

Sebagai alternatif, ia merekomendasikan pemerintah untuk memperluas basis PPN melalui revisi negative list, serta memperketat pengawasan terhadap transaksi ekonomi digital dan sektor informal yang rawan tidak tercatat (unrecorded economy).

“Langkah ini lebih moderat dan tidak langsung membebani konsumsi masyarakat. Ini saatnya fokus pada reformasi struktural pajak yang lebih cermat dan inklusif,” ujarnya. (bl)

 

Lelang Aset Sitaan Kanwil DJP Jakarta Selatan Hasilkan Rp1,34 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak terus menunjukkan ketegasannya dalam menegakkan kepatuhan perpajakan. Kali ini, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan I bersama seluruh Kanwil DJP se-Jakarta Raya menggelar lelang eksekusi serentak atas aset milik penanggung pajak, sebagai bagian dari upaya intensifikasi penagihan pajak secara aktif.

Objek lelang berasal dari hasil penyitaan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Selatan I dan KPP Pratama Jakarta Tebet. Di antara aset yang ditawarkan, terdapat satu unit apartemen The Bellagio Residence seluas 77 meter persegi dengan nilai limit Rp1,26 miliar dan satu unit mobil Daihatsu Ayla 1.0 X MT tahun 2018 berwarna merah dengan nilai limit Rp72,46 juta.

Proses lelang dilaksanakan secara daring melalui situs resmi www.lelang.go.id tanpa kehadiran fisik peserta. Pejabat lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV menetapkan pemenang lelang pada hari yang sama. Hasilnya, apartemen berhasil terjual dengan harga Rp1,267 miliar, sedangkan mobil laku Rp76,96 juta. Total nilai lelang mencapai Rp1,34 miliar, yang seluruhnya digunakan untuk melunasi tunggakan pajak dari para wajib pajak yang bersangkutan.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengapresiasi inisiatif ini dan berharap agar pelaksanaan lelang serentak seperti ini terus dilanjutkan.

“Hal seperti ini silakan dilanjutkan. InsyaAllah kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (25/6/2025).

Kepala Kanwil DJP Jaksel I Dionysius Lucas Hendrawan, menyatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar aksi penagihan, tetapi juga bentuk edukasi kepada masyarakat untuk lebih patuh terhadap kewajiban perpajakan.

“Harapannya kegiatan lelang serentak ini dapat menjadi gaung nasional untuk mendorong kepatuhan masyarakat,” ungkap Lucas.

Ia menambahkan bahwa kegiatan serupa akan digelar dua kali dalam setahun sebagai bagian dari strategi berkelanjutan dalam menjaga integritas sistem perpajakan nasional. (alf)

 

Pemutihan Pajak Kendaraan di Banten Diperpanjang hingga Oktober 2025

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi pemilik kendaraan bermotor di Provinsi Banten. Gubernur Andra Soni secara resmi memperpanjang program pemutihan pajak kendaraan bermotor hingga 31 Oktober 2025. Perpanjangan ini diatur dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 286 Tahun 2025 tentang Pembebasan Pokok dan/atau Sanksi Pajak Kendaraan Bermotor.

Program yang awalnya dijadwalkan berakhir pada 30 Juni 2025 ini kini akan kembali memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengurus tunggakan pajak kendaraan mereka tanpa dibebani sanksi denda maupun pokok pajak tertentu. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Juli hingga 31 Oktober 2025 mendatang.

“Pembebasan pokok dan atau sanksi pajak kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada diktum kedua dimulai tanggal 1 Juli 2025 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2025,” demikian bunyi salinan Kepgub yang ditandatangani Andra Soni pada 25 Juni 2025 di Serang.

Keputusan perpanjangan ini bukan tanpa alasan. Menurut Andra Soni, program pemutihan yang digelar sejak 10 April 2025 mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Pemprov mencatat lonjakan signifikan dalam pendaftaran ulang kendaraan, termasuk kendaraan-kendaraan lama yang sebelumnya tidak aktif dalam database perpajakan.

“Antusiasme masyarakat luar biasa. Banyak kendaraan yang sebelumnya tak aktif kini didaftarkan ulang, baik yang sudah tua, yang baru, maupun yang sedang. Ini juga berdampak positif pada penerimaan pajak kendaraan bermotor,” kata Andra di Gedung Negara Pemprov Banten, Kota Serang, Senin (19/5/2025).

Gubernur Andra mengungkapkan bahwa keputusan ini lahir dari banyaknya aspirasi masyarakat yang meminta tambahan waktu untuk mengikuti program pemutihan. Pemprov pun melakukan kajian menyeluruh sebelum akhirnya menetapkan perpanjangan.

“Banyak harapan dari masyarakat agar diberikan kelonggaran waktu. Setelah melakukan analisis dan mempertimbangkan kondisi fiskal serta penyusunan anggaran ke depan, kami memutuskan untuk memperpanjangnya,” jelasnya.

Program ini dinilai tidak hanya meringankan beban masyarakat, tetapi juga meningkatkan kesadaran pajak serta menambah pendapatan daerah. Masyarakat pun diimbau untuk memanfaatkan waktu yang tersedia sebaik-baiknya.

“Kami harap masyarakat tidak menunda lagi. Gunakan kesempatan ini untuk menuntaskan kewajiban pajak kendaraan sebelum 31 Oktober 2025,” kata Andra.

 

 

 

 

Pengembang Usulkan Pemberian Insentif Pajak Properti Hijau

IKPI, Jakarta: Para pengembang properti Tanah Air semakin giat mendorong pengembangan proyek berkonsep hijau dan berkelanjutan. Namun, tingginya biaya investasi menjadi tantangan utama dalam merealisasikan properti ramah lingkungan secara masif. Karena itu, sejumlah pengembang besar mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak untuk mempercepat adopsi bangunan hijau di Indonesia.

Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA), Budiarsa Sastrawinata menuturkan, komitmen membangun properti hijau membutuhkan biaya besar, mulai dari perencanaan desain berorientasi iklim, penggunaan material rendah karbon, hingga pemasangan teknologi hemat energi dan air. “Biaya itu dikeluarkan untuk memenuhi standar agar proyek bisa memperoleh sertifikat properti hijau, seperti EDGE atau Greenship,” katanya, Jumat (27/6/2025).

Ciputra Development sendiri telah mengembangkan tujuh proyek bersertifikat hijau yang terdiri atas lima bangunan tinggi (high rise) dan dua proyek hunian. Enam proyek meraih sertifikasi EDGE dari International Finance Corporation (IFC), dan satu proyek memperoleh Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Budiarsa menjelaskan, efisiensi dari bangunan hijau mencapai 20% dalam penggunaan air, energi, dan bahan bangunan.

Namun, dia tak menampik bahwa implementasi properti hijau belum berjalan mulus. Tantangan besar di lapangan mencakup minimnya baseline data untuk memenuhi kriteria taksonomi hijau, lemahnya ekosistem regulasi, hingga kebutuhan akan kebijakan insentif agar investasi hijau lebih menarik secara komersial.

Senada, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), Adrianto Pitojo Adhi, mengungkapkan bahwa pembangunan hunian hijau membutuhkan biaya tambahan sebesar 30% hingga 35% dibanding hunian konvensional. “Pemerintah seharusnya mempertimbangkan skema insentif fiskal bagi pengembang hijau agar proyek berkelanjutan ini bisa dijangkau pasar yang lebih luas,” ucapnya.

Sementara itu, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunjukkan keseriusannya dalam membangun gedung ramah lingkungan. Wakil Direktur Utama Intiland, Utama Gondokusumo, menjelaskan bahwa pendekatan ramah lingkungan diterapkan sejak tahap pengadaan material. Misalnya, pada proyek apartemen Fifty Seven Promenade, mereka bekerja sama dengan produsen kaca untuk meminimalkan limbah hingga tinggal 5%, dari sebelumnya 34%.

Namun, dia mengakui bahwa penerimaan pasar terhadap properti hijau masih rendah, terutama karena harganya lebih tinggi. “Tantangannya memang soal harga. Tapi tren ke depan menunjukkan konsumen, khususnya generasi muda, semakin peduli pada isu keberlanjutan,” imbuhnya.

Hal ini diperkuat oleh Vice President Market Research & Product Strategy Sinar Mas Land, Dwi Novita Yeni, yang menyebutkan bahwa generasi milenial dan Z mulai beralih ke gaya hidup eco-living. Dalam survei global Deloitte, mayoritas generasi muda kini mengutamakan lingkungan dan mendukung produk yang ramah bumi. “Namun teknologi hijau masih mahal, dan untuk bisa menjangkau segmen menengah, diperlukan insentif pemerintah,” jelasnya.

Sinar Mas Land sendiri telah menerapkan penghematan energi, pengelolaan air limbah, dan pemanfaatan panel surya. Bahkan, 29% material bangunan yang digunakan sudah tergolong ramah lingkungan.

Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI) Ignesjz Kemalawarta menyebut jumlah properti hijau di Indonesia masih sangat minim dibanding negara tetangga. Per 2024, baru ada sekitar 100 proyek tersertifikasi Greenship dan 150 proyek tersertifikasi EDGE. “Malaysia, Singapura, dan Filipina sudah memberikan insentif fiskal untuk bangunan hijau. Indonesia justru belum punya regulasi insentif sama sekali,” ujarnya.

GBCI menilai penting adanya insentif seperti diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 30% selama 3 tahun, atau pemberian tambahan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk proyek hijau. Menurut Ignesjz, investasi awal properti hijau memang lebih mahal 3%-4%, namun penghematan jangka panjang dapat mencapai 15%-40% selama usia bangunan 40 tahun.

Tak hanya pengembang, kalangan analis properti juga menilai insentif fiskal sebagai langkah strategis untuk mempercepat adopsi green building. CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda mengusulkan skema insentif pajak khusus untuk green financing, agar hunian hijau bisa lebih terjangkau. “Selama ini, konsep green living baru dinikmati oleh kelas menengah atas. Segmen menengah ke bawah belum tersentuh karena harga masih menjadi kendala,” jelasnya.

CEO PT Leads Property Services Indonesia, Hendra Hartono menambahkan, walau kesadaran masyarakat akan pentingnya hunian hijau mulai tumbuh, namun faktor harga masih menjadi penentu utama dalam keputusan pembelian rumah. Oleh karena itu, ia menilai insentif bagi pengembang dan konsumen sama-sama penting untuk menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan dan keterjangkauan.

Dengan tren properti hijau yang mulai menggeliat, dorongan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan menjadi krusial. Apalagi, pengembang mulai menyadari bahwa proyek ramah lingkungan dapat membuka akses pembiayaan yang lebih mudah, suku bunga lebih rendah, serta peluang kemitraan dengan investor global. (alf)

 

 

Apindo Dukung Pungutan Pajak E-Commerce, Sebut Langkah Pemerintah Sejalan dengan Perkembangan Bisnis Digital

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut positif rencana pemerintah untuk menetapkan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan oleh pedagang daring (online merchant) melalui platform niaga elektronik atau marketplace.

Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, Suryadi Sasmita, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan hal baru, melainkan bagian dari penyesuaian terhadap pola bisnis yang terus berkembang di era digital. Menurutnya, langkah ini justru memberi kepastian hukum sekaligus kemudahan bagi pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

“Kami sebagai pelaku usaha mendukung langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengenaan PPh final 0,5 persen bagi pelaku usaha online,” ujar Suryadi dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Suryadi menjelaskan bahwa aturan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang sebelumnya telah menetapkan tarif PPh final bagi pelaku UMKM. Dengan rencana ke depan, mekanisme pungutan PPh oleh marketplace akan membuat proses pembayaran pajak menjadi lebih praktis dan efisien.

“Di tengah digitalisasi dan penerapan sistem inti perpajakan (Coretax), pemerintah semakin memiliki kemampuan untuk mengakses data usaha secara transparan. Ini mendukung ekosistem perpajakan yang modern dan akuntabel,” tambahnya.

Ia juga menegaskan bahwa pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak akan dikenakan PPh final, sehingga tidak perlu merasa khawatir. “Regulasi ini tetap berpihak pada pelaku usaha kecil,” tegasnya.

Lebih jauh, Apindo mengajak seluruh pelaku usaha daring untuk aktif mendukung kebijakan ini. “Dengan kepatuhan bersama, kita bisa menciptakan iklim usaha yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Ini adalah bagian dari kontribusi menuju ekonomi nasional yang inklusif dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045,” kata Suryadi.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Rosmauli, menyebut bahwa kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22 merupakan bentuk pergeseran (shifting) dari sistem pelaporan mandiri menjadi pemungutan otomatis di titik transaksi.

“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan. Justru memberikan kemudahan karena sistem pemungutan dilakukan langsung oleh platform, sehingga pedagang tidak perlu lagi melapor dan menyetor sendiri,” jelas Rosmauli.

DJP menegaskan bahwa langkah ini bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan dan mendorong kepatuhan sukarela di sektor perdagangan digital yang kian berkembang pesat. (alf)

 

id_ID