Coretax Permudah Pengusaha Pindah Alamat KPP, Ini Caranya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan para pelaku usaha untuk tidak lupa mengajukan perubahan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar apabila perusahaan berpindah alamat ke wilayah administrasi berbeda. Prosedur tersebut kini dapat dilakukan secara daring melalui sistem Coretax.

Peringatan ini disampaikan DJP lewat akun resmi X @kring\_pajak menanggapi pertanyaan dari warganet yang mengeluhkan kendala saat berkonsultasi lewat sambungan telepon.

“Bagaimana prosedur untuk pindah alamat NPWP perusahaan? Misalnya, dari Jakarta Barat ke Jakarta Utara? Saya sempat telepon, tapi sambungan terputus,” tulis pengguna akun tersebut yang dikutip pada Senin (30/6/2025).

Menanggapi hal ini, DJP menjelaskan bahwa perusahaan yang mengalami perpindahan alamat antarwilayah KPP dapat melakukan pengajuan pemindahan secara langsung melalui platform Coretax.

Langkah-langkah Ajukan Perubahan KPP Lewat Coretax

Berikut ini tata cara perubahan alamat utama bagi Wajib Pajak Badan melalui Coretax yang dijelaskan DJP:

1. Akses situs Coretax di [https://coretaxdjp.pajak.go.id](https://coretaxdjp.pajak.go.id);
2. Masuk ke menu “Portal Saya”;
3. Klik bagian “Perubahan Data”;
4. Pilih opsi “Perubahan Alamat Utama”;
5. Klik menu “Perubahan alamat untuk Badan”;
6. Gunakan akun Person In Charge (PIC) dan lakukan impersonate terhadap akun Wajib Pajak badan.

DJP juga membuka opsi pengajuan perubahan secara manual apabila Wajib Pajak mengalami kendala dengan sistem daring. Pengajuan dapat dilakukan secara langsung ke KPP/KP2KP, atau dikirim melalui pos dan jasa ekspedisi resmi, dengan melampirkan bukti pengiriman.

Status PKP Tidak Perlu Dicabut

Dalam keterangannya, DJP menekankan bahwa perubahan alamat perusahaan yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak mengharuskan pencabutan status PKP tersebut. Proses tetap bisa dilanjutkan tanpa gangguan terhadap kewajiban perpajakan.

Namun, bagi perusahaan yang memiliki NPWP Cabang, prosedurnya berbeda. Pemindahan alamat hanya berlaku untuk NPWP Pusat. Jika cabang ingin berpindah alamat, maka perusahaan harus lebih dahulu menghapus NPWP cabang dari KPP lama dan kemudian mendaftarkannya kembali di KPP baru sesuai wilayah baru.

Bagi Wajib Pajak yang membutuhkan bantuan lebih lanjut, DJP menyediakan berbagai kanal layanan, antara lain:

* Kring Pajak di nomor 1500200
* Email: [pengaduan@pajak.go.id](mailto:pengaduan@pajak.go.id)
* Akun X resmi: [@kring\_pajak](https://x.com/kring_pajak)
* Situs pengaduan online: [https://pengaduan.pajak.go.id](https://pengaduan.pajak.go.id)
* Fitur Live Chat di [https://www.pajak.go.id](https://www.pajak.go.id)
(alf)

DJP Jakarta Timur Raup Rp2,93 Miliar dari Lelang Aset Penunggak Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur (Kanwil DJP Jaktim) sukses membukukan perolehan hampir Rp 2,93 miliar dari kegiatan Lelang Bersama Barang Sitaan Pajak yang digelar bersama seluruh Kanwil DJP se-Jakarta Raya. Acara ini berlangsung di Aula Chakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP, dan menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam menegakkan kepatuhan pajak melalui penegakan hukum.

Dalam lelang yang digelar pada 26 Mei 2025 itu, Kanwil DJP Jaktim berhasil melepas 19 aset sitaan dengan total perolehan sebesar Rp2,93 miliar. Dua unit kendaraan yakni, mobil Daihatsu Luxio berhasil terjual dengan harga Rp102,6 juta dari nilai limit awal Rp89,6 juta, setelah diperebutkan oleh lima peserta. Sementara Daihatsu Gran Max yang dilelang oleh KPP Madya Jaktim dan KPP Pratama Jakarta Duren Sawit, mencetak hasil lebih tinggi: Rp95 juta dari nilai limit Rp60,1 juta setelah diikuti 20 peserta.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan apresiasinya atas sinergi yang ditunjukkan oleh seluruh kantor wilayah DJP di Jakarta. “Kegiatan lelang bersama ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga soal optimalisasi penerimaan negara yang dilakukan secara kolaboratif dan efisien,” ujar Bimo dalam pernyataan resminya.

Senada dengan itu, Kepala Kanwil DJKN Provinsi Jakarta Dodok Dwi Handoko menegaskan dukungan penuh jajarannya untuk terus menjadi mitra strategis DJP dalam pelaksanaan lelang. “KPKNL siap menjadi eksekutor yang andal, memastikan proses lelang berjalan transparan, cepat, dan akuntabel,” tegas Dodok.

Secara keseluruhan, DJP se-Jakarta Raya melelang 74 aset milik penunggak pajak dengan total nilai limit mencapai Rp53,6 miliar. Aset yang dilelang berasal dari berbagai KPP, meliputi kendaraan, alat berat, properti, dan peralatan kerja. Penjualan dilaksanakan secara online melalui situs lelang.go.id menggunakan sistem open bidding tanpa tatap muka langsung.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk konkret dari implementasi nota kesepahaman (MoU) antara DJP dan DJKN. “Kami ingin membuktikan bahwa proses penegakan hukum bisa tetap humanis, efisien, dan mendukung pemulihan fiskal negara,” ucap Farid.(alf)

 

DJP Jawa Tengah II Hentikan Penyidikan Tersangka Pidana Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Tengah II mengumumkan secara resmi penghentian proses penyidikan terhadap SSN, tersangka kasus tindak pidana perpajakan yang dilakukan melalui PT IDS. Langkah ini diambil setelah SSN melunasi seluruh kewajiban perpajakan, mencakup pokok pajak dan sanksi administratif.

Kepala Kanwil DJP Jateng II, Etty Rachmiyanthi, menjelaskan bahwa keputusan penghentian penyidikan merupakan hasil sinergi kuat antara otoritas pajak dan aparat penegak hukum, serta menjadi bukti bahwa penyelesaian kasus perpajakan dapat dilakukan secara berkeadilan dan sesuai mekanisme hukum.

“Proses ini mencerminkan kolaborasi yang solid dan profesional antarinstansi, sekaligus menegaskan bahwa negara hadir dengan solusi yang mengedepankan kepatuhan dan tanggung jawab,” ujar Etty dalam keterangan tertulis, Minggu (30/6/2025).

Dasar Hukum dan Pertimbangan Penghentian

Penghentian penyidikan merujuk pada ketentuan Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyidikan pidana perpajakan dapat dihentikan oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan, apabila tersangka telah melunasi seluruh kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.

Proses tersebut diawali dengan gelar perkara oleh penyidik Kanwil DJP Jateng II yang menyampaikan fakta bahwa SSN telah mengajukan permohonan penghentian penyidikan setelah melunasi seluruh kewajiban pajaknya. Permohonan itu dikaji dan diteruskan kepada Menteri Keuangan, lalu disampaikan ke Kejaksaan Agung.

Sebagai tindak lanjut, Jaksa Agung melalui Keputusan Nomor 154 Tahun 2025 menyetujui penghentian penyidikan atas nama SSN.

Dalam kasus ini, SSN terbukti melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP, karena dengan sengaja tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut. Ketentuan ini telah diperbarui melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Etty menegaskan, meskipun penyidikan dihentikan, langkah tersebut bukan berarti pelanggaran diabaikan. Justru, DJP berharap keputusan ini memberikan pesan tegas kepada pelaku usaha lain bahwa penghindaran pajak memiliki risiko hukum serius.

“Penghentian bukan pembebasan, melainkan bentuk penyelesaian yang telah memenuhi syarat hukum. Kami berharap ini memperkuat kesadaran para Wajib Pajak untuk taat dan jujur dalam menjalankan kewajiban perpajakan,” pungkasnya.(alf)

 

Pemerintah Siapkan Skema Pajak E-Commerce, Wamenkeu: Fokus Pendataan dan Keadilan Usaha

IKPI, Jakarta: Wacana pemerintah untuk memberlakukan kewajiban pemungutan pajak oleh platform e-commerce kembali mencuat. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu akhirnya angkat bicara, menegaskan bahwa kebijakan tersebut saat ini masih dalam tahap rancangan dan belum memiliki kekuatan hukum.

“Jadi yang pertama, itu kan kebijakannya belum diterbitkan ya, jadi tunggu dulu ya. Makanya saya belum bisa jawab, karena itu belum dikeluarkan,” ujar Anggito kepada wartawan di lingkungan Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Meski belum resmi diberlakukan, Anggito menjelaskan arah kebijakan ini adalah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan antara pelaku usaha online dan offline. Pemerintah ingin memastikan bahwa transaksi melalui sistem elektronik atau digital turut tercatat dalam sistem perpajakan nasional.

“Kalau non-elektronik kan enggak ada masalah ya, semua pakai faktur, terdata. Yang PMSE ini belum ada datanya. Jadi kita menugaskan kepada platform untuk mendata siapa saja yang melakukan perdagangan melalui sistem itu,” ujarnya.

Menurut Anggito, pemerintah tidak bermaksud menciptakan beban pajak baru, melainkan membangun sistem pencatatan yang lebih baik agar pelaku usaha digital tidak luput dari kewajiban pajak. Ia juga membantah anggapan bahwa kebijakan ini bersifat baru.

Wacana serupa sempat muncul pada 2018 lewat PMK Nomor 210 Tahun 2018, namun dibatalkan pada 2019.

“Jadi tidak ada hal yang baru, tidak ada tarif pajak baru. Itu kan ketentuan mengenai tarifnya nantinya akan disampaikan pada waktunya,” jelasnya.

Salah satu hal yang ditekankan Anggito adalah bahwa tidak akan ada pajak berganda bagi pelaku usaha yang berjualan secara online dan offline sekaligus. Skema ini, menurutnya, lebih menitikberatkan pada aspek pendataan dan kesetaraan perlakuan pajak.

“Kan kita ingin melakukan dua hal. Satu, pendataan. Yang kedua adalah perlakuan yang sama antara yang online sama offline,” kata dia.

Rencana ini sebelumnya dilaporkan oleh Reuters, yang menyebut bahwa platform e-commerce nantinya akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari omzet penjualan pedagang yang bertransaksi melalui mereka, dengan kisaran omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.

Angka tersebut merujuk pada skema Pajak Penghasilan Final UMKM sesuai PP No. 23 Tahun 2018. Namun hingga kini, pemerintah belum mengonfirmasi besaran tarif atau skema pelaksanaannya secara resmi. Anggito memastikan, semua detail akan disampaikan setelah kebijakan itu disahkan. (alf)

 

 

idEA Minta Penerapan Pajak E-Commerce Dilakukan Bertahap dan Inklusif

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 menuai tanggapan dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA). Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, mengingatkan agar kebijakan tersebut diterapkan secara hati-hati dan bertahap mengingat dampaknya yang besar terhadap jutaan penjual, khususnya pelaku UMKM digital.

“Jika nantinya platform memang ditunjuk sebagai pemotong pajak untuk penjual orang pribadi dengan omzet tertentu, tentu implementasinya akan berdampak langsung pada jutaan seller, khususnya pelaku UMKM digital,” ujar Budi dalam keterangan tertulisnya diterima, Minggu (29/6/2025).

Budi menyampaikan bahwa kesiapan pelaku usaha menjadi kunci utama agar kebijakan ini berjalan lancar. Ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan penyedia platform dalam mempersiapkan infrastruktur yang mendukung, termasuk dari sisi edukasi dan sosialisasi.

Menurut Budi, beberapa marketplace memang telah mulai menerima sosialisasi terbatas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun demikian, pihaknya belum bisa memberikan tanggapan lebih dalam karena regulasi teknis belum resmi diterbitkan.

“Keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada pendekatan yang kolaboratif, terencana, dan inklusif, agar tidak menimbulkan disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional,” ujarnya.

Sementara itu, DJP memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk pajak baru, melainkan peralihan mekanisme pemungutan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa regulasi terkait saat ini sedang difinalisasi di internal pemerintah.

“UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp 500 juta tetap tidak dipungut pajak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegas Rosmauli dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan, penunjukan platform sebagai pemungut PPh Pasal 22 bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan perlakuan yang setara di antara pelaku usaha digital. Kebijakan ini juga diharapkan dapat memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan mempersempit ruang bagi praktik shadow economy.

Dengan proses finalisasi yang masih berlangsung, seluruh mata kini tertuju pada regulasi akhir yang akan diterbitkan pemerintah. idEA sendiri menegaskan komitmennya untuk mematuhi dan menjalankan kebijakan yang ditetapkan, selama implementasinya mempertimbangkan kesiapan seluruh pihak yang terdampak. (alf)

 

Bukan Lagi Profesi Sunyi, Konsultan Pajak Kini Jadi Primadona

IKPI, Jakarta: Dunia perpajakan Indonesia tengah mengalami pergeseran menarik. Profesi konsultan pajak bukan lagi pilihan alternatif, tapi telah menjadi primadona. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, dalam gelaran Focus Group Discussion bertajuk “Profesi Konsultan Pajak: Bagaimana Menjadi Konsultan Pajak dan Prospek Profesi Konsultan Pajak” yang digelar secara daring dari studio podcast IKPI, Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (26/6/2025).

“Profesi ini seperti gula, semua tertarik. Akuntan mau jadi konsultan pajak. Pengacara juga. Bahkan notaris ikut melirik,” ujar Robert di hadapan ratusan peserta yang tergabung melalui Zoom Meeting.

Menurut Robert, meningkatnya kebutuhan akan profesional pajak tidak lepas dari fakta bahwa penerimaan negara saat ini sangat bergantung pada pajak. Dengan lebih dari 80 juta wajib pajak terdaftar dan hanya sekitar 7.500 konsultan pajak yang ada, kesenjangan yang lebar menunjukkan bahwa peluang di bidang ini masih sangat terbuka.

“Artinya, kita belum cukup. Jumlah konsultan yang ada belum sebanding dengan kebutuhan. Di sinilah peran IKPI dan profesi ini menjadi sangat penting untuk masa depan Indonesia,” ujarnya.

Robert menjelaskan bahwa lulusan dari berbagai latar belakang bisa menjadi konsultan pajak, asalkan memenuhi syarat formal dan menjalani proses yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, banyak anggota IKPI saat ini merupakan profesional ganda, konsultan pajak yang juga berprofesi sebagai akuntan publik, advokat, atau pengajar (Dosen).

Robert mengajak peserta menyadari bahwa menjadi konsultan pajak bukan hanya profesi teknis melainkan pilihan hidup yang membawa pengaruh nyata bagi bangsa. (bl)

Dimensi Hukum PPN DTP atas Rumah Tapak dan Rusun

Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun merupakan kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan. Pemanfaatan insentif PPN DTP ini, terkait erat dengan makna kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK 13/2025). Bagaimana memaknai kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam PMK 13/2025 tersebut ..?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidak cukup hanya sebatas mengartikan kedua kata tersebut secara tekstual. Pemahaman konteks atas penggunaan kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 lebih memperjelas serta mempertegas makna dan tujuan digunakannya 2 (dua) kata tersebut. Walaupun sekilas secara tekstual tampak memiliki makna yang sama, namun kedua kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemahaman kontekstual terhadap kata “penyerahan” dalam PMK 13/2025, setidaknya memunculkan 2 (dua) makna. Makna kata “penyerahan” yang pertama adalah penyerahan dalam arti yuridis (Penyerahan Yuridis). Penyerahan Yuridis yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan huruf b PMK 13/2025 dapat dilaksanakan melalui salah satu cara berikut:

• Penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau

• Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas dihadapan Notaris.

Makna Penyerahan Yuridis di atas adalah penyerahan hak kepemilikan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak atau satuan rumah susun dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Makna kata “penyerahan” yang kedua adalah penyerahan dalam arti penguasaan fisik (Penyerahan Penguasaan Fisik). Penyerahan Penguasaan Fisik ini dalam Pasal 3 PMK 13/2025 dilaksanakan melalui penandatanganan Berita Acara Serah Terima. Makna Penyerahan Penguasaan Fisik ini adalah penyerahan hak penguasaan fisik atau hak penggunaan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni secara nyata dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal penandatanganan Berita Acara Serah Terima, fisik rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni sudah beralih penguasaan atau penggunaannya dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada pembeli. Kedua makna yang terkandung dalam kata “penyerahan” tersebut merupakan syarat kumulatif yang wajib dipenuhi untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP, disamping persyaratan lainnya yang tercantum dalam PMK 13/2025. Kedua makna penyerahan tersebut merupakan perbuatan menyerahkan rumah tapak atau satuan rumah susun yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Lebih lanjut, kedua makna kata “penyerahan” tersebut merupakan perincian/penjabaran dari pengertian penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian, khususnya perjanjian jual beli dan jual beli dengan angsuran yang tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“UU PPN”).

Sama halnya dengan cara memahami konteks kata “penyerahan” di atas, kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat dipahami sebatas hanya secara tekstual. Bahkan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat diartikan terpisah dari kata “penyerahan”. Terdapat 3 (tiga) makna kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025. Makna kata “pemindahtangan” yang pertama adalah penyerahan pertama kali rumah tapak atau satuan rumah susun baru siap huni oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menyelenggarakan pembangunan kepada pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang pertama ini, dapat ditemui dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b juncto Pasal 4 ayat 2 huruf b PMK 13/2025.

Makna yang pertama ini penting sekali dipahami guna membedakan pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun siap huni yang bukan baru atau pernah dipindahtangankan (atau yang sering disebut dengan rumah tapak atau satuan rumah susun second hand).

Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua adalah pemindahtanganan yang merupakan kelanjutan dari pemindahtanganan yang pertama, pemindahtanganan ini dilakukan oleh pihak yang semula merupakan pembeli rumah tapak atau satuan rumah susun baru kepada pihak lain/pembeli selanjutnya.

Pemindahtanganan ini dilakukan dalam rentan waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua ini dapat ditemui dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e juncto Pasal 10 huruf g PMK 13/2025. Pemindahtanganan dalam makna yang kedua ini akan mengakibatkan insentif PPN DTP yang telah diterima menjadi terutang dan dapat ditagih oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga adalah pemindahtanganan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atas rumah tapak atau satuan rumah susun second hand kepada pembeli.

Benang merah dari makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga ini adalah rumah tapak atau satuan rumah susun yang sebelumnya pernah dipindahtangankan (bukan baru / second hand). Kata “pemindahtanganan” dalam makna yang ketiga dan kedua di atas adalah pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun yang tidak mendapatkan fasilitas PPN DTP.

Demikian makna – makna dari kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang secara kontekstual penulis temukan dalam PMK 13/2025. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna dan singkat ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi, khususnya bagi rekan-rekan Konsultan Pajak yang memiliki klien perusahaan real estat atau klien yang bermaksud memanfaatkan fasilitas PPN DTP.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

Cek Status Pembayaran Pajak Kini Semudah Sentuhan Jari, Ini Panduannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan kemudahan layanan bagi wajib pajak di era digital. Salah satu fitur yang kini makin diandalkan adalah layanan daring untuk memantau status pembayaran pajak secara real-time.

Lewat platform DJP Online, wajib pajak kini tak perlu lagi repot datang ke kantor pajak atau menunggu lama hanya untuk memastikan transaksi perpajakannya berhasil. Cukup dengan koneksi internet, proses pengecekan bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Berikut langkah-langkah mudah yang dapat diikuti, bahkan oleh pengguna pemula:

1. Akses DJP Online

Buka situs resmi di https://djponline.pajak.go.id. Pastikan Anda telah memiliki akun terdaftar. Jika belum, registrasi bisa dilakukan dengan memasukkan NPWP, alamat email aktif, dan membuat kata sandi.

2. Login ke Sistem

Masukkan NPWP, password, dan kode captcha yang diminta. Bila lupa kata sandi, tersedia opsi pemulihan yang mudah diikuti.

3. Buka Menu “Histori Pembayaran”

Setelah berhasil masuk, cari dan klik menu Histori Pembayaran atau Laporan Pembayaran untuk melihat riwayat transaksi perpajakan Anda.

4. Pilih Periode Pajak

Tentukan periode bulan dan tahun yang ingin diperiksa. Sistem akan menyajikan seluruh data transaksi pada periode tersebut secara otomatis.

5. Cek Status Pembayaran

Status pembayaran yang tampil di sistem meliputi:

Sudah Diterima: Pembayaran telah dikonfirmasi DJP.

Dalam Proses: Pembayaran sedang diverifikasi.

Belum Dibayar: Tidak ditemukan transaksi pembayaran.

6. Simpan Bukti Pembayaran

Jika status pembayaran sudah “Diterima”, Anda bisa langsung mencetak atau mengunduh bukti pembayaran sebagai dokumentasi atau bahan pelaporan SPT Tahunan.

Sebagai alternatif, DJP juga menyediakan aplikasi versi mobile yang tersedia di Google Play dan App Store. Fungsinya serupa dan memudahkan akses layanan DJP kapan saja dari ponsel Anda. (alf)

 

 

 

 

PER-12/2025 Wajibkan PMSE Laporkan SPT PPN Setiap Masa Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperbarui kewajiban pelaporan bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Aturan ini menandai perubahan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak digital. Jika sebelumnya laporan pemungutan PPN PMSE cukup dilakukan setiap triwulan, kini pemungut diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN untuk setiap masa pajak. Batas waktu pelaporan ditetapkan paling lambat akhir masa berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Kewajiban ini berlaku bagi seluruh pemungut, baik yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun pihak lain yang bukan PKP. Mereka wajib menggunakan format pelaporan yang diatur dalam PER-11/PJ/2025.

Khusus untuk pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri. Format dan ketentuannya tercantum dalam Lampiran J PER-12/2025. Dokumen ini memuat detail transaksi seperti:

  1. Nomor dan tanggal bukti pungut PPN,
  2. Nilai pembayaran transaksi (tidak termasuk PPN),
  3. Jumlah PPN yang dipungut,
  4. Identitas pengguna (nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon),
  5. Serta alamat email pengguna barang atau jasa digital.

Dirjen Pajak memberi kelonggaran masa transisi. Apabila pemungut mengalami kendala teknis akibat perbedaan sistem dengan Portal DJP, mereka dapat menyampaikan laporan dalam bentuk total (digunggung) hingga 31 Juli 2025. Setelahnya, pemungut wajib melakukan pembetulan SPT dengan melengkapi rincian transaksi.

Perubahan ini menjadi bagian dari langkah DJP memperkuat kepatuhan dan transparansi perpajakan di sektor ekonomi digital yang terus berkembang. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jaksel II Lelang Empat Ruko Sitaan Senilai Rp3,52 Miliar

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memulihkan penerimaan negara dan menegakkan kepatuhan perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan II ambil bagian dalam lelang eksekusi serentak se-Jakarta Raya.

Pada kegiatan tersebut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II melelang empat aset berupa rumah toko (ruko) yang sebelumnya telah disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Kebayoran Lama. Total nilai keempat aset tersebut ditaksir mencapai Rp3,52 miliar.

“Lelang ini merupakan bagian dari tindakan penagihan aktif atas utang pajak, sebagai upaya konkret untuk mendukung penerimaan negara,” ujar Kanwil DJP Jakarta Selatan II dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (29/6/2025).

Lelang dilakukan secara elektronik melalui laman resmi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di www.lelang.go.id.

Lebih lanjut, Kanwil DJP Jakarta Selatan II menegaskan bahwa aksi lelang ini tidak hanya bertujuan mengamankan piutang pajak, tetapi juga sebagai bentuk komitmen dalam memberikan efek jera kepada wajib pajak yang tidak patuh.

“Penegakan hukum perpajakan seperti ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem pajak dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu,” tegas Kanwil DJP.

Lelang eksekusi serentak ini merupakan hasil kolaborasi antar-Kanwil DJP di wilayah Jakarta Raya dan menjadi langkah lanjutan dari strategi penegakan hukum yang lebih terintegrasi dan transparan. (alf)

 

 

id_ID