Pemerintah Diminta Segera Selaraskan Kebijakan Fiskal, Indonesia Terancam jadi “Dapur Murah Dunia”

IKPI, Jakarta: Founder dan Managing Partner TaxPrime, Muhammad Fajar Putranto, mengingatkan bahwa pemerintah harus segera menyelaraskan kebijakan fiskal dengan strategi perlindungan sumber daya alam (SDA). Menurutnya, Indonesia terancam hanya menjadi “dapur murah dunia” jika tidak siap menghadapi regulasi global yang makin ketat.

Dalam forum diskusi perpajakan Perbanas Institute, Jakarta, Fajar menyoroti implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. Berdasarkan riset yang ia paparkan, produksi satu ton nikel di Indonesia menghasilkan emisi setara 70 ton karbon, angka yang sangat tinggi dibanding standar global.

“Kalau kita terus abaikan, akibatnya jelas: produk kita hanya bisa dijual ke negara yang tidak peduli emisi, seperti China. Harganya jelas lebih rendah, 15 sampai 20 persen di bawah pasar premium. Sementara negara yang mengikuti standar tinggi akan menikmati premium price. Itu kerugian besar bagi kita,” tegas Fajar.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal Indonesia belum sepenuhnya mendukung transformasi energi bersih. Insentif pajak untuk sektor energi terbarukan masih terbatas, sehingga investor asing lebih banyak menjadi penyewa aset ketimbang produsen listrik.

“Akibatnya kita tidak dapat transfer teknologi dan nilai tambahnya minim. Kita hanya dapat remah-remahnya saja,” kata Fajar.

Ia juga menyoroti kebijakan fiskal yang cenderung mengejar penerimaan tanpa memperhitungkan efisiensi belanja negara. Menurutnya, subsidi energi yang membengkak bisa menjadi “lubang hitam” APBN jika tidak dioptimalkan.

“Jangan hanya sibuk menaikkan pajak. Pemerintah juga harus bisa mengendalikan pengeluaran. Kalau tidak, Indonesia akan terus tertinggal dari Vietnam, Malaysia, bahkan India yang sudah lebih agresif dalam reformasi fiskal dan investasi hijau,” jelasnya.

Lebih jauh, Fajar mengingatkan bahwa perlindungan SDA adalah soal kedaulatan. “Yang dijual itu bukan sekadar komoditas, tapi kekayaan negara. Kalau kita tidak melindungi, kita akan selamanya jadi dapur dunia. Indonesia hanya kebagian asapnya, bukan roti utuhnya,” tegasnya. (bl)

 

Tax Gap RI Rp1.300 Triliun, Pengamat Kritisi Rapuhnya Basis Pajak

IKPI, Jakarta : Angka ini mengejutkan: tax gap Indonesia mencapai Rp1.300 triliun pada 2022. Fakta tersebut diungkap cendekiawan atau pengamat pajak Permana Agung Dradjatun dalam diskusi perpajakan Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Tax gap adalah selisih antara potensi penerimaan pajak dan realisasi yang berhasil dikumpulkan negara. Menurut Permana, data Bank Dunia menunjukkan rata-rata tax gap Indonesia pada 2016–2021 berada di kisaran Rp1.000 triliun per tahun. Angka itu terus membesar hingga 2022.

“Potensi penerimaan kita sebenarnya dua kali lipat lebih besar dari realisasi. Tapi setengahnya lenyap karena kepatuhan rendah dan kebijakan yang kurang efektif,” ungkapnya.

Ia menyoroti rendahnya collection efficiency Indonesia. Untuk PPh orang pribadi hanya 52,6 persen, sementara PPh badan lebih buruk lagi, 42 persen. “Bayangkan, hampir separuh potensi pajak badan tidak pernah masuk kas negara. Compliance gap kita mencapai 58 persen, lebih besar dari policy gap,” tegasnya.

Permana juga mengingatkan soal rapuhnya basis pajak Indonesia. Dari 270 juta penduduk, hanya 19 juta yang wajib lapor SPT pada 2023, dan yang benar-benar menyetor pajak hanya 2,3 juta orang. Ironisnya, pada 2024 jumlah pembayar pajak malah turun jadi 1,7 juta.

“Dengan basis sekecil itu, mustahil tax ratio naik signifikan. Apalagi yang paling kaya sering lolos dari jangkauan, sementara yang patuh terus ditekan,” katanya.

Menurutnya, persoalan utama bukan sekadar tarif, tetapi keadilan. Ia menguraikan perbedaan equality, equity, dan justice dalam perpajakan. Equality berarti semua mendapat bagian sama rata, equity berarti sesuai kebutuhan, sedangkan justice adalah saat tembok ketidakadilan dibongkar agar semua memiliki kesempatan yang sama.

“Pemerintah harus berani membongkar tembok ketidakadilan itu. Pajak harus diposisikan sebagai instrumen keadilan sosial, bukan sekadar target angka penerimaan,” ujarnya.

Permana menegaskan, jika reformasi pajak hanya berhenti pada menaikkan tarif atau memperluas basis tanpa memperhatikan keadilan, maka Indonesia hanya akan terjebak dalam siklus “under taxation” dan ketimpangan. “Ini soal pilihan. Apakah kita hanya bertahan hidup, atau bertransformasi menjadi bangsa yang kuat,” pungkasnya.(bl)

 

SP2DK dan Benchmarking, Antara Alat Bantu dan Beban Psikologis Wajib Pajak

Menjelang akhir tahun, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lazim mengeluarkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Langkah ini wajar, sebab target penerimaan negara kerap belum tercapai. Melalui SP2DK, fiskus berupaya menggali potensi penerimaan dengan berbagai analisis. Salah satu yang paling sering dipakai adalah benchmarking, metode yang membandingkan rasio laporan keuangan wajib pajak dengan standar industri.

Dasar hukum benchmarking tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Dalam aturan itu, fiskus menggunakan sejumlah rasio untuk menilai kewajaran kinerja keuangan. Beberapa di antaranya adalah Gross Profit Margin (laba kotor terhadap penjualan), Operating Profit Margin (laba operasi terhadap penjualan), Pretax Profit Margin (laba sebelum pajak terhadap penjualan), Corporate Tax to Turnover Ratio (pajak terutang terhadap penjualan), Net Profit Margin (laba bersih setelah pajak terhadap penjualan), hingga Dividend Payout Ratio (dividen terhadap laba bersih).

Tak berhenti di situ, fiskus juga melihat rasio PPN Masukan yang dikreditkan dalam satu tahun, rasio biaya gaji terhadap penjualan, biaya bunga, biaya sewa, biaya penyusutan, hingga rasio input lain yang digunakan perusahaan. Bahkan, penghasilan luar usaha dan biaya luar usaha terhadap penjualan pun ikut masuk dalam daftar analisis. Seluruh indikator ini dipakai untuk mengukur apakah laporan wajib pajak sudah masuk akal atau justru menyimpan potensi kurang bayar.

Dalam praktiknya, jika rasio laporan lebih rendah dari standar benchmarking, fiskus sering menafsirkan ada kewajiban perpajakan yang belum sepenuhnya dipenuhi. Akibatnya, analisis SP2DK kerap menunjukkan potensi pajak kurang bayar dalam jumlah besar. Padahal, benchmarking sejatinya hanyalah alat bantu (supporting tools) dan tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak.

Penting dicatat, wajib pajak dengan rasio lebih rendah dari benchmark belum tentu tidak patuh. Banyak faktor bisnis bisa memengaruhi kinerja, mulai dari naik-turunnya harga bahan baku, strategi usaha, hingga kondisi pasar. Jika setiap selisih angka langsung dianggap sebagai indikasi pelanggaran, risiko salah tafsir dan ketidakadilan dalam perlakuan pajak akan semakin besar.

Masalah lain adalah dampak psikologisnya. Fokus wajib pajak bisa bergeser, bukan lagi pada pelaporan SPT yang benar, lengkap, dan jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KUP, melainkan hanya agar laporan terlihat sesuai rasio benchmarking. Kepatuhan akhirnya menjadi formalitas angka semata. Di sinilah letak potensi kontradiksi antara SE-96/2009 dan amanat UU KUP.

Untuk menghadapinya, wajib pajak sebaiknya tetap memegang prinsip pelaporan yang benar. Jika menerima SP2DK, susun tanggapan resmi secara profesional, lengkap dengan dokumen pendukung, serta jelaskan setiap perbedaan data secara logis. Selama proses ini, dokumentasi komunikasi dengan fiskus perlu disimpan rapi, karena bisa menjadi pegangan bila proses berlanjut ke pemeriksaan. Bila kesepakatan tak tercapai, wajib pajak harus siap menghadapi pemeriksaan dengan bukti dan administrasi yang solid. Pada akhirnya, benchmarking seharusnya ditempatkan sebagai kompas yang membantu fiskus mendeteksi ketidakwajaran, bukan palang pintu yang membebani wajib pajak.

Jika tujuan besar perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan sukarela, keseimbangan antara pembinaan dan pengawasan harus dijaga. Jangan sampai SP2DK yang semestinya menjadi sarana pembinaan justru berubah menjadi momok yang merusak semangat kepatuhan.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Defisit APBN 2026 Melebar, Purbaya Pede Ekonomi Tetap Ngebut

IKPI, Jakarta: Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 resmi melebar, namun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa percaya diri (pede) hal itu tidak akan mengganggu stabilitas keuangan negara. Sebaliknya, ia menilai pelebaran defisit justru akan menjadi dorongan tambahan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa “ngebut”.

Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR mengenai pengesahan tingkat I RUU APBN 2026 di Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025), Purbaya menegaskan defisit yang naik dari Rp638,8 triliun (2,48% PDB) menjadi Rp689,1 triliun (2,68% PDB) masih aman. Angka itu tetap di bawah batas maksimal 3% PDB sesuai aturan Undang-Undang Keuangan Negara.

“Kalau ditanya bahaya atau enggak, ya enggak apa-apa. Masih 2–3 persen, jadi tetap aman. Justru ini diperlukan agar ekonomi kita bisa tumbuh lebih cepat,” kata mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.

Dikatakannya, pelebaran defisit terjadi seiring meningkatnya belanja negara yang kini mencapai Rp3.842,7 triliun, lebih tinggi dari rancangan awal Rp3.786,5 triliun. Sementara pendapatan negara hanya naik tipis dari Rp3.147,7 triliun menjadi Rp3.152,6 triliun.

Rinciannya:

• Pendapatan Negara: Rp3.152,6 triliun

• Pajak: Rp2.357,7 triliun (tetap)

• Kepabeanan & Cukai: naik jadi Rp336 triliun

• PNBP: naik jadi Rp459,2 triliun

• Belanja Negara: Rp3.842,7 triliun

• Belanja K/L: Rp1.510,5 triliun

• Belanja Non K/L: Rp1.639,2 triliun

• Transfer ke Daerah: Rp693 triliun

• Defisit Anggaran: melebar jadi Rp689,1 triliun

• Keseimbangan Primer: defisit naik ke Rp89,7 triliun

Menurut Purbaya, langkah fiskal ini dirancang untuk menjaga momentum pertumbuhan, terutama di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. Ia menegaskan pemerintah tetap berhati-hati meski memberikan ruang fiskal lebih longgar.

“Dengan defisit ini, pemerintah punya ruang untuk mendorong belanja yang produktif. Jangan dilihat hanya angkanya, tapi manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.

Dengan keyakinan itu, pemerintah percaya diri APBN 2026 mampu menjadi instrumen penting untuk menyalakan mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tetap melaju kencang. (alf)

 

 

Menteri UMKM Tegaskan Pedagang Kecil Bebas Pajak, Omzet di Bawah Rp500 Juta Nol Persen!

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman meluruskan isu yang sempat ramai bahwa pemerintah memungut pajak dari seluruh pelaku usaha, termasuk pedagang kecil dan kaki lima. Ia menegaskan, kabar tersebut adalah hoaks.

“Pedagang kaki lima, warung, atau usaha supermikro dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta sama sekali tidak dikenakan pajak. Jadi jangan terjebak narasi menyesatkan,” tegas Maman di Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Maman menjelaskan, pemerintah hanya menerapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen bagi pelaku UMKM dengan omzet tahunan hingga Rp4,8 miliar. Bila dihitung, omzet sebesar itu setara Rp400 juta per bulan, sementara pajak yang dibayarkan hanya sekitar Rp18 juta per tahun.

“Ini bukti keberpihakan negara. Usaha yang omzetnya sudah besar saja baru dikenakan pajak, sementara usaha kecil tetap dilindungi,” ujarnya.

Kebijakan PPh final 0,5 persen sendiri awalnya berlaku tujuh tahun dan dijadwalkan berakhir 2025. Namun, Presiden Prabowo Subianto memutuskan memperpanjang insentif tersebut hingga 2029 sebagai bagian dari strategi menjaga daya tahan ekonomi nasional.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran Rp2 triliun pada 2025 untuk mendukung kebijakan ini. Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, saat ini ada 542 ribu wajib pajak UMKM yang sudah terdaftar.

Maman menekankan, aturan perpajakan UMKM dirancang dengan prinsip keadilan sosial dan kemampuan ekonomi. “Bukan sekadar pungutan, tapi afirmasi. Pajak hanya untuk mereka yang benar-benar sudah berkembang,” katanya.

Sebagai gambaran, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 membagi UMKM berdasarkan aset dan omzet. Usaha mikro memiliki aset maksimal Rp50 juta dan omzet tak lebih dari Rp300 juta per tahun. Usaha kecil punya aset lebih dari Rp50 juta hingga Rp500 juta dan omzet Rp300 juta–Rp2,5 miliar per tahun. Sementara usaha menengah memiliki aset Rp500 juta–Rp10 miliar dengan omzet Rp2,5 miliar–Rp50 miliar.

Dengan skema itu, Maman berharap pelaku usaha kecil tidak perlu khawatir. “Fokuslah membesarkan usaha, negara ada di belakang Anda,” tutupnya. (alf)

Jangan Abaikan! Begini Cara Resmi Menghapus NPWP yang Sudah Tak Berlaku

IKPI, Jakarta: Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bukan sekadar angka identitas, melainkan kunci utama bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengawasi kepatuhan setiap wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Melalui NPWP, segala kewajiban seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, hingga pengawasan administratif dijalankan.

Namun, tidak semua orang atau badan selamanya terikat dengan kewajiban pajak. Ada kondisi tertentu yang membuat NPWP tak lagi relevan. Misalnya, orang pribadi yang telah meninggal dunia dan harta warisannya sudah selesai dibagi, individu yang penghasilannya sudah di bawah ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib pajak yang resmi pindah ke luar negeri, hingga badan usaha yang bubar secara permanen.

Dalam kondisi ini, NPWP harus segera dihapus. Jika dibiarkan, status perpajakan yang tidak jelas bisa menimbulkan masalah, bahkan sanksi di kemudian hari.

Mekanisme Resmi dari DJP

Pemerintah melalui DJP telah menyiapkan jalur resmi untuk mengurus penghapusan NPWP. Aturan lengkapnya diatur dalam PER-04/PJ/2020 tentang Tata Cara Penghapusan NPWP.

Berikut tahapan yang wajib diperhatikan wajib pajak:

• Pastikan Status Perpajakan Bersih

• Semua SPT Tahunan maupun SPT Masa harus sudah dilaporkan.

• Lunasi tunggakan pajak, jika masih ada.

• Untuk kasus wajib pajak meninggal, ahli waris wajib menuntaskan SPT terakhir.

• Lengkapi Dokumen Persyaratan

• Orang pribadi aktif: fotokopi KTP, KK, surat permohonan bermaterai, serta bukti sudah tidak berpenghasilan di atas PTKP.

• Orang pribadi meninggal: akta kematian, identitas ahli waris, dan surat pernyataan bahwa kewajiban pajak almarhum sudah selesai.

• Badan usaha: akta pembubaran, laporan keuangan terakhir, serta bukti penyelesaian kewajiban pajak.

• Ajukan ke KPP Sesuai Domisili

Permohonan bisa diajukan langsung ke kantor pajak, maupun melalui pos/ekspedisi. Petugas akan memverifikasi kelengkapan berkas dan memberikan tanda terima.

• Proses Verifikasi DJP

DJP akan memeriksa rekam jejak perpajakan. Jika ada dokumen yang kurang jelas, petugas dapat meminta tambahan data.

• Surat Keputusan Penghapusan NPWP

Jika semua persyaratan terpenuhi, DJP akan menerbitkan surat keputusan sebagai bukti sah bahwa NPWP sudah tidak berlaku lagi.

• Simpan Bukti Resmi

Dokumen ini wajib dijaga, karena bisa dibutuhkan untuk keperluan administrasi lain di masa depan.

Penghapusan NPWP bukan sekadar formalitas, melainkan langkah penting agar tidak ada kewajiban pajak yang “menggantung”. Dengan status perpajakan yang jelas, wajib pajak maupun ahli waris dapat terhindar dari potensi sanksi, serta lebih tenang dalam mengurus administrasi di instansi lain. (alf)

 

KPP Semarang Timur Genjot Bendahara Pemerintah Melek Coretax DJP

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Semarang Timur terus mendorong peningkatan literasi perpajakan bagi bendahara instansi pemerintah. Baru-baru ini, KPP Semarang Timur menggelar edukasi perpajakan yang fokus pada pemanfaatan sistem Coretax DJP, khususnya bagi bendahara instansi pemerintah di Kecamatan Semarang Utara dan Semarang Timur.

Kegiatan ini diikuti lebih dari 40 peserta dari berbagai satuan kerja instansi pemerintah yang terdaftar di KPP Semarang Timur. Acara dibuka oleh Kepala KPP Pratama Semarang Timur, Mochamad Imroni, bersama Kepala Seksi Pelayanan, Dirgo Handoko. Dalam sambutannya, Imroni menekankan pentingnya integritas, anti-gratifikasi, serta kedisiplinan bendahara dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

“Edukasi ini bukan hanya soal pembayaran, tapi juga pelaporan SPT Masa. Kami ingin bendahara instansi semakin melek administrasi perpajakan melalui Coretax,” tegas Imroni.

Materi edukasi disampaikan oleh dua Penyuluh Pajak, Nunung Fitrianingsih dan Rimananda Andriani. Mereka menjelaskan ketentuan formal maupun material yang harus dipenuhi bendahara, mulai dari pembuatan bukti pemotongan hingga pelaporan SPT Masa.

Rimananda menambahkan, tahun ini menjadi tonggak awal penerapan Coretax DJP secara penuh. “Jika sebelumnya kita baru sebatas mengenalkan, sekarang Coretax sudah aktif digunakan. Harapannya, sistem ini memudahkan bendahara dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” jelasnya saat mengulas pembuatan bukti potong PPh Pasal 21.

Antusiasme peserta terlihat dari sesi diskusi yang interaktif. Sarwono, salah satu bendahara peserta edukasi, mengaku kegiatan ini membuka wawasan baru. “Memang masih ada kendala dalam pelaporan SPT Masa, tapi dengan pelatihan ini kami lebih yakin bisa menyusun bukti potong dengan benar dan melaporkannya sesuai ketentuan,” ujarnya.

Kegiatan edukasi yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 11.30 WIB itu berjalan lancar. Diskusi yang hangat menjadi penanda semangat para bendahara untuk semakin tertib administrasi. KPP Pratama Semarang Timur berharap, melalui edukasi berkelanjutan ini, kepatuhan perpajakan instansi pemerintah dapat terus meningkat seiring dengan pemanfaatan Coretax DJP. (alf)

 

 

 

 

 

Menkeu Purbaya Tegaskan Tax Amnesty Berulang Rusak Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu lagi dijalankan. Menurutnya, pemberian amnesti secara berulang hanya akan merusak kredibilitas kebijakan dan memberi sinyal keliru bagi para wajib pajak.

“Kalau amnesti dilakukan berkali-kali, apa jadinya kredibilitas kebijakan itu? Pesan yang sampai ke masyarakat justru membolehkan melanggar aturan pajak, toh nanti ada pengampunan lagi,” tegas Purbaya dalam media briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

Purbaya menilai, langkah yang lebih tepat dibanding mengandalkan pengampunan pajak adalah memaksimalkan instrumen perpajakan yang sudah tersedia, sembari memperkuat upaya pemberantasan praktik penggelapan pajak.

Menurutnya, tax amnesty berulang bisa menjadi bumerang. “Kalau setiap tiga atau lima tahun sekali ada tax amnesty, ya sudah. Semua orang akan sengaja sembunyikan duitnya, menunggu pemutihan berikutnya. Itu yang tidak boleh terjadi,” katanya.

Selain merusak kepatuhan, ia khawatir kebijakan tersebut justru membuka ruang manipulasi dari wajib pajak besar. Mereka bisa mengakali aturan, lalu menjadikan tax amnesty sebagai jalan pintas untuk melegalkan praktik penghindaran pajak.

“Kalau terus-terusan seperti itu, pesan yang diterima masyarakat ya hanya satu: akali dulu pajaknya, tunggu pemutihan. Ini tidak sehat untuk sistem perpajakan kita,” tegas Purbaya.

Sebagai solusi untuk memperbaiki rasio pajak, ia mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini masih mengalami tren perlambatan.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI diketahui telah memasukkan RUU Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Selain itu, ada juga RUU Perampasan Aset serta RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang akan dibahas dalam periode yang sama.

“Jika RUU Perampasan Aset tidak rampung dibahas tahun ini, pembahasannya akan berlanjut ke 2026, sama halnya dengan sejumlah RUU lainnya,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, Sturman Panjaitan. (alf)

 

Profit Shifting Rugikan Indonesia, Denny Vissaro Dorong Aturan Anti-Avoidance

IKPI, Jakarta: Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan penerimaan negara dari praktik penghindaran pajak. Denny Vissaro, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory, mengungkapkan bahwa praktik pengalihan laba atau profit shifting perusahaan multinasional menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan negara hingga Rp35 triliun pada 2020.

“Data internasional menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 10,3 persen dari total penerimaan PPh Badan akibat profit shifting. Angka ini bahkan lebih tinggi dari rata-rata global yang berada di level 9,1 persen,” ungkap Denny saat menjadi panelis dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, baru-baru ini.

Fenomena ini, jelas Denny, terjadi karena perusahaan multinasional kerap menargetkan keuntungan secara agregat di level grup, bukan pada masing-masing negara tempat mereka beroperasi. “Tidak masalah jika ada entitas tertentu yang merugi di negara dengan tarif pajak lebih tinggi, selama laba sebenarnya bisa dipindahkan ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah. Itu strategi umum yang mereka lakukan,” jelasnya.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara pasar dengan sumber daya melimpah justru rentan menjadi target praktik tersebut. Laba yang semestinya dikenakan pajak di Indonesia bisa “digeser” keluar negeri melalui mekanisme transfer pricing atau skema agresif lainnya.

Untuk mengatasinya, Denny menekankan perlunya penerapan anti-avoidance rule secara konsisten. Ia menyinggung keberadaan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) yang sebenarnya sudah diadopsi dalam kerangka hukum perpajakan terbaru. “Tax avoidance memang tidak melanggar aturan secara eksplisit, tetapi jelas menyalahi semangat perpajakan. GAAR memberi pemerintah alat untuk membatalkan skema agresif yang tujuannya hanya menghindari pajak,” tegasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa penerapan GAAR perlu dijalankan secara hati-hati. “Mengukur motif di balik sebuah transaksi bisnis bukan perkara mudah. Jika regulasi tidak jelas, justru bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak. Ini yang harus diantisipasi,” kata Denny.

Ia menilai, jika regulasi anti-avoidance diperkuat dan diterapkan dengan konsisten, Indonesia tidak hanya bisa menutup kebocoran pajak, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. “Kita perlu memastikan bahwa sistem pajak tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga adil dan memberikan perlindungan bagi wajib pajak yang patuh,” pungkasnya. (bl)

Founder TaxPrime Kritik PPN 11%: Daya Beli Rakyat Bisa Tertekan

IKPI, Jakarta: Kebijakan fiskal pemerintah kembali menuai sorotan. Founder sekaligus Managing Partner TaxPrime, Muhamad Fajar Putranto, menilai langkah pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen dan menuju 12 persen perlu dikaji ulang secara serius.

Dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, pada 16 September 2025, Fajar menyebut keputusan tersebut berpotensi menekan daya beli masyarakat, yang justru menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kalau konsumsi rumah tangga turun, itu alarm keras buat pemerintah. Bayangkan, riset menunjukkan kontribusi konsumsi sudah merosot dari 21 persen ke 17 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan PPN ini sudah benar-benar berbasis riset dan perbandingan internasional yang tepat?” ujarnya.

Ia menekankan, konsumsi tidak bersifat elastis. Sekali daya beli masyarakat terpukul akibat kenaikan PPN, pemulihannya tidak otomatis kembali meski tarif diturunkan lagi.

“Begitu PPN naik, harga-harga terkerek, konsumsi melemah. Tapi ketika diturunkan lagi, konsumsi tidak serta-merta kembali. Ada resistensi. Ini berbahaya kalau tidak diperhitungkan,” paparnya.

Ia menilai pemerintah harus lebih berhati-hati memainkan pajak konsumsi, apalagi di tengah perlambatan ekonomi global. Menurutnya, kebijakan fiskal yang salah arah justru akan memperparah kondisi dan membuat Indonesia kesulitan menjaga momentum pertumbuhan.

“Jangan sampai kita bermain-main dengan instrumen pajak konsumsi hanya demi target jangka pendek. Karena yang dipertaruhkan adalah daya beli rakyat, dan itu fondasi ekonomi kita,” tegasnya. (bl)

id_ID