Agustina Mappadang: Pajak Bukan Pemaksaan, Tapi Kontrak Sosial Demi Kebaikan Bersama

IKPI, Jakarta: Pajak bukanlah bentuk pemaksaan negara, melainkan legitimasi sosial yang lahir dari kontrak sosial antara warga dan pemerintah. Demikian ditegaskan Agustina Mappadang, anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Membedah Keengganan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak: Penyebab dan Solusi”, yang digelar daring oleh IKPI, Rabu (30/7/2025).

FGD ini terbuka untuk umum dan diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari praktisi perpajakan, pelaku usaha, hingga mahasiswa.

Agustina mengurai pemahaman mendalam mengenai keengganan wajib pajak (WP) dari perspektif teori keadilan, psikologi, dan kepatuhan fiskal modern. Ia menggarisbawahi bahwa keberhasilan pemungutan pajak bukan hanya soal sanksi dan pemeriksaan, tetapi juga menyangkut kepercayaan, transparansi, dan keadilan dalam sistem perpajakan.

“Konsep pajak dalam negara modern bersandar pada prinsip utilitarianism menciptakan manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang,” ujarnya.

Ia juga menyinggung Slippery Slope Framework dari Kirchler, yang menjelaskan dua poros utama kepatuhan, kekuatan otoritas (enforcement) dan kepercayaan (trust).

Menurutnya, sistem perpajakan yang hanya menekankan penegakan hukum akan melahirkan enforced compliance, bukan kepatuhan sukarela yang berkelanjutan.

Enam Akar Masalah Enggan Bayar Pajak

Agustina memetakan beberapa penyebab utama keengganan WP, yaitu:

• Rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dan transparansi penggunaan pajak.

• Kurangnya pemahaman atas sistem dan kewajiban pajak.

• Beban pajak yang dianggap berat, terutama bagi sektor informal.

• Lemahnya penegakan hukum dan sanksi yang tidak konsisten.

• Norma sosial yang permisif terhadap ketidakpatuhan.

• Ketimpangan perlakuan antar sektor dan kelas ekonomi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Agustina mengajukan tujuh solusi strategis, antara lain:

• Optimalisasi teknologi Coretax untuk mendeteksi potensi pelanggaran secara dini.

• Penyederhanaan administrasi pajak dan perbaikan user experience sistem daring.

• Penerapan sanksi yang adil dan proporsional.

• Pemeriksaan berbasis risiko dengan audit trail yang transparan.

• Efisiensi penyelesaian sengketa melalui digitalisasi keberatan dan mediasi.

• Peningkatan literasi pajak berbasis nilai dan manfaat.

• Peran aktif konsultan pajak dalam mendampingi dan mendidik WP.

Ia juga mendorong agar dashboard wajib pajak segera diimplementasikan dalam sistem Coretax, agar WP bisa mengetahui status dan potensi risiko mereka secara mandiri.

“Kita harus bergeser dari paradigma menghukum ke paradigma membina. Kepatuhan yang berkelanjutan hanya akan tumbuh bila WP percaya sistemnya adil dan dapat diakses secara transparan,” tegas Agustina.

FGD ini menjadi bukti bahwa diskursus perpajakan tak lagi eksklusif bagi teknokrat, namun menjadi ranah publik yang perlu disuarakan oleh semua pihak. Pajak, pada akhirnya, adalah cerminan kualitas relasi antara negara dan warganya. (bl)

id_ID