MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi Pajak LPG 3 Kg, Pemerintah Tegaskan Dasar Hukum Pemajakan

 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 terkait uji materi dua undang-undang perpajakan: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Permohonan ini diajukan oleh dua badan usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai, yang mempersoalkan kejelasan dasar pemungutan pajak atas penyerahan LPG bersubsidi tabung 3 kilogram.

Sidang yang digelar di Ruang Sidang MK pada Senin (19/5/2025) itu dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya. Dalam persidangan, Pemerintah melalui keterangan Direktur Jenderal Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pemajakan atas penyerahan LPG 3 kg telah sesuai dengan prinsip legalitas dalam perpajakan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

“LPG 3 kg adalah barang kebutuhan strategis yang telah disubsidi oleh pemerintah. Namun, keuntungan yang diperoleh agen atau penyalur atas penjualannya tetap merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujar Yon Arsal, dikutip dari website resmi MK.

Ia menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak mengacu pada kebijakan lokal seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, melainkan berdasarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari transaksi yang terjadi. Menurutnya, dasar pengenaan pajak dalam kasus ini adalah harga jual — termasuk seluruh biaya yang dibebankan kepada konsumen, kecuali PPN itu sendiri dan potongan harga.

Perbedaan Penafsiran Jadi Sorotan

Dalam gugatannya, para Pemohon menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan UU PPN menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara eksplisit mencantumkan bahwa objek pajak harus ditentukan berdasarkan perundang-undangan. Akibatnya, pungutan pajak atas biaya transportasi yang diatur dalam peraturan daerah dianggap merugikan, terutama bagi agen LPG 3 kg yang dibebani pajak atas biaya yang bukan merupakan keuntungan langsung mereka.

“Jika frasa tersebut tidak dipertegas, maka penafsiran bisa menjadi terlalu luas dan membuka ruang penyimpangan terhadap prinsip legalitas perpajakan,” tulis para Pemohon dalam petitumnya.

Namun Pemerintah berpendapat bahwa menambahkan frasa “berdasarkan perundang-undangan perpajakan” dalam pasal-pasal tersebut justru akan menimbulkan implikasi hukum yang kompleks. “Hal itu bisa memperluas atau bahkan mempersempit cakupan objek pajak, serta mengubah penafsiran sebelum dan sesudah putusan,” tegas Yon Arsal.

Tarik Ulur antara Keadilan dan Kepastian Hukum

Perkara ini mencerminkan tarik-ulur antara perlindungan hak konstitusional wajib pajak dengan kebutuhan negara untuk menjaga basis pajaknya. LPG 3 kg sebagai komoditas bersubsidi memang mendapat perlakuan khusus dalam hal distribusi dan harga, namun keuntungan dari aktivitas komersialnya tetap dinilai sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang sah dikenai pajak.

Pemerintah mengingatkan bahwa prinsip utama perpajakan bukan semata-mata pada sumber biaya, tetapi pada nilai ekonomi yang diterima pelaku usaha. Maka, sekalipun biaya transportasi ditentukan oleh kepala daerah, ketika biaya itu dimasukkan dalam harga jual kepada konsumen, maka secara hukum menjadi bagian dari dasar pengenaan pajak.

Mahkamah Konstitusi belum memutuskan perkara ini. Sidang-sidang lanjutan masih akan digelar untuk mendalami argumen kedua belah pihak. Putusan MK nantinya diperkirakan akan menjadi penentu penting dalam memberikan kejelasan hukum atas pemajakan barang bersubsidi yang distribusinya melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga daerah. (alf)

id_ID