IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menanggapi pemberitaan Kompas.com berjudul “Produsernya Ditangkap, Film Ini Ternyata Dibiayai dari Hasil Penggelapan Rp 2,2 Miliar” yang tayang pada Minggu, 25 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, tersangka Idrus Efendi disebut sebagai “konsultan pajak” yang menggelapkan dana kliennya hingga Rp2,2 miliar untuk membiayai produksi film.
Menanggapi hal itu, Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono menegaskan bahwa Idrus Efendi bukan Konsultan Pajak (KP) resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. “Kami ingin meluruskan bahwa berdasarkan data yang kami miliki, yang bersumber dari Sistem Informasi Konsultan Pajak (SIKoP), nama yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai konsultan pajak. Ia bukan anggota IKPI dan tidak memiliki izin praktik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan,” kata Jemmi, Senin (26/5/2025).
Jemmi mengimbau masyarakat, khususnya para Wajib Pajak (WP), untuk tidak sembarangan menggunakan jasa pihak yang mengaku sebagai konsultan pajak. Menurutnya, hanya konsultan pajak resmi yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab profesional untuk mewakili, mendampingi, atau memberi nasihat kepada WP dalam urusan perpajakan.
“Jasa konsultan pajak adalah jasa kepercayaan. Konsultan pajak resmi harus melalui proses sertifikasi, memiliki izin praktik, dan wajib mengikuti pelatihan serta pembinaan secara berkala. Setiap pelanggaran kode etik bisa dikenai sanksi. Ini berbeda jauh dengan pihak-pihak yang hanya mengaku-ngaku,” jelasnya.
Untuk itu, Jemmi menekankan pentingnya melakukan pengecekan status KP melalui SIKoP (Sistem Informasi Konsultan Pajak) yang dikelola oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), Kementerian Keuangan. “Wajib Pajak bisa dengan mudah mengecek status seorang konsultan pajak melalui laman resmi https://sikop.pajak.go.id. Di sana tersedia data lengkap, termasuk tingkat sertifikasi dan nomor izin praktik,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Jemmi menjelaskan bahwa konsultan pajak terdaftar bukan hanya tunduk pada regulasi perpajakan, tetapi juga diawasi oleh organisasi profesi seperti IKPI. Setiap anggota wajib mematuhi kode etik, menjalani pembaruan pengetahuan secara berkala (continuous professional development), serta menjaga integritas dan profesionalisme dalam melayani klien.
“Profesi konsultan pajak bukan sekadar soal menghitung pajak atau mengisi formulir SPT. Ini menyangkut nasihat hukum dan kepatuhan pajak yang dapat berdampak signifikan pada risiko hukum maupun keuangan klien. Maka dari itu, menggunakan jasa konsultan pajak ilegal sama saja menaruh risiko besar atas nama pribadi atau perusahaan,” ujarnya.
IKPI juga mengingatkan media massa agar lebih berhati-hati dalam menyebut status hukum seseorang sebagai konsultan pajak. “Sebutan ‘konsultan pajak’ tidak boleh digunakan sembarangan. Ada standar profesional dan perizinan yang melekat. Memberi label kepada tersangka yang bukan KP bisa merugikan profesi secara keseluruhan,” kata Jemmi. (bl)