IKPI Soroti Fragmentasi Fiskal, Usulkan Badan Penerimaan Negara sebagai Solusi Masa Depan

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai solusi strategis dalam menjawab tantangan fragmentasi fiskal di Indonesia. Pernyataan itu disampaikan dalam pembukaan diskusi panel nasional bertajuk “Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (30/5/2025).

Dalam paparannya berjudul “Badan Penerimaan Negara: Reformasi Fiskal, Efisiensi, dan Integrasi”,  Vaudy menyoroti kelemahan struktur fiskal nasional yang saat ini bersifat tersebar (fragmentatif), dengan banyak instansi yang memiliki kewenangan mengumpulkan penerimaan negara baik dari sisi perpajakan maupun non-pajak. Di antaranya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), serta Kementerian/Lembaga lain yang mengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Fragmentasi fiskal menyebabkan tumpang tindih kebijakan, lemahnya koordinasi, serta inefisiensi dalam pengelolaan penerimaan negara. Badan Penerimaan Negara dapat menjadi solusi institusional untuk menyederhanakan struktur, meningkatkan akuntabilitas, dan mengintegrasikan sistem penerimaan negara secara menyeluruh,” tegas Vaudy di hadapan para akademisi dan praktisi perpajakan.

Landasan Pembentukan BPN

Pembentukan BPN telah masuk dalam Program Prioritas RPJMN 2025–2029 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. Salah satu target utamanya adalah meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 23%.

Ketum IKPI ini menggarisbawahi bahwa saat ini terdapat lebih dari 20 instansi negara yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengumpulan penerimaan negara, termasuk sektor-sektor strategis seperti sumber daya alam, pendidikan, transportasi, dan pelayanan publik.

“Struktur yang tersebar ini menimbulkan fragmentasi kebijakan dan data, serta menimbulkan potensi inefisiensi dan kebocoran penerimaan,” ujarnya.

Model Otoritas Fiskal

Dalam forum tersebut, Vaudy memaparkan empat model institusional yang umum digunakan negara-negara di dunia dalam mengelola penerimaan negara:

1.Government Department

seperti yang dianut Indonesia saat ini, di mana unit-unit penerimaan berada langsung di bawah kementerian, namun kurang memiliki otonomi manajerial dan strategis.

2.Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) seperti di Kenya dan Tanzania, dengan otonomi terbatas namun lebih fokus dalam tata kelola.

3.Autonomous Revenue Authority (ARA) seperti Malaysia dan Afrika Selatan, dengan keleluasaan tinggi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya.

4.Integrated Revenue Authority (IRA)

seperti Singapura, Korea Selatan, dan Australia. Model ini menggabungkan seluruh jenis penerimaan negara termasuk pajak, bea cukai, dan PNBP ke dalam satu institusi.

Ia menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan dan mengadopsi model-model yang sudah ada dan menambahkan model sesuai dengan kebutuhan pemerintah Indonesia.

Kelebihan BPN

Vaudy menekankan bahwa pembentukan BPN tidak hanya soal kelembagaan, tetapi juga berkaitan dengan:

• Peningkatan efisiensi dan efektivitas penerimaan

• Penguatan akuntabilitas dan transparansi

• Integrasi data lintas sektor

• Konsistensi kebijakan fiskal

• Fleksibilitas dalam strategi penerimaan negara

Dampak Positif Jangka Panjang

Jika dirancang dan diimplementasikan dengan baik, BPN dapat mendukung:

• Peningkatan rasio pajak (tax ratio)

• Simplifikasi proses pelaporan dan pembayaran

• Penguatan pengawasan dan penegakan hukum fiskal

• Peningkatan kualitas layanan bagi wajib pajak

• Pengambilan kebijakan fiskal yang berbasis data dan evidence-based

“BPN akan membuka peluang pembaruan fiskal menyeluruh, dengan sistem pengumpulan penerimaan negara yang lebih modern, efisien, dan adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital,” tutup Vaudy.

Diskusi panel juga menghadirkan sejumlah tokoh penting, antara lain:

1.Dr. Machfud Sidik, M.Sc. (Dirjen Pajak 2000-2001)

2.Prof. Dr. Edi Slamet Irianto, S.H., M.Si. (Guru Besar Hukum Perpajakan)

3.Dr. Ning Rahayu, M.Si. (Pakar kebijakan fiskal dan dosen FISIP UI)

4.Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si (Ketua Departemen (Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI)

Keempat narasumber memberikan perspektif historis, dan praktis mengenai kemungkinan, tantangan, serta urgensi pembentukan Badan Penerimaan Negara di Indonesia. (bl)

id_ID