IKPI Desak Pemerintah Tegaskan Batas Sertifikasi Pajak: Cegah Tumpang Tindih Akademik dan Profesi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyerukan perlunya ketegasan pemerintah dalam membedakan ranah sertifikasi konsultan pajak profesional dengan sertifikasi kompetensi pajak di dunia akademik.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menekankan bahwa ketidaktegasan kebijakan dan regulasi nantinya akan berisiko menimbulkan kebingungan publik dan kegaduhan di kalangan praktisi.

“Imbauan ini penting agar masyarakat paham bahwa sertifikasi konsultan pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan adalah untuk profesi independen yang bekerja secara profesional dan berintegritas. Ini sangat berbeda dengan sertifikasi di dunia akademik,” kata Jemmi, menanggapi isu tersebut langsung dari Negeri Tirai Bambu, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, perbedaan signifikan tersebut tercermin dari:

• PMK No. 111/2014 jo PMK No. 172/2024

Dikhususkan bagi konsultan pajak profesional yang memberikan jasa perpajakan. Terdapat tiga tingkat sertifikasi:

• Tingkat A: Untuk Wajib Pajak orang pribadi.

• Tingkat B: Untuk WP orang pribadi dan badan, kecuali WP asing, BUT, dan WP dari negara mitra P3B.

• Tingkat C: Untuk seluruh WP orang pribadi dan badan tanpa batasan.

Persyaratan:

• Ijazah S1/D-IV di bidang perpajakan

• Lulus ujian sertifikasi

• Pengalaman di DJP menjadi pertimbangan tambahan

Pengaturan di Permendikbudristek No. 50 Tahun 2024

Belum diuraikan secara detail, namun diperkirakan lebih berfokus pada pengembangan kompetensi pajak mahasiswa dan akademisi. Tujuannya lebih kepada pembekalan awal, bukan pemberian izin praktik.

“Ini penting untuk dipilah. Jangan sampai sertifikasi akademik dianggap sama nilainya dengan sertifikasi profesi. Kalau rancu, praktisi bisa ricu,” ujar Jemmi.

IKPI juga mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memilah dan memisahkan kewenangan lembaga sertifikasi secara jelas. Hal ini dinilai penting agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai otoritas dan dampak hukum dari masing-masing jenis sertifikasi.

“Ke depan, regulasi harus menjamin kepastian hukum dan memperjelas siapa yang berwenang memberi sertifikasi untuk profesi dan siapa untuk akademik. Kalau tidak segera ditangani, ini bisa jadi masalah besar,” pungkasnya.

Dengan adanya pembeda, jelas akan terlihat keunggulan kompetensi secara profesional dan integritas secara etik yang tegas, Jemmi berharap ekosistem perpajakan Indonesia menjadi lebih sehat, tertib, dan tidak merugikan baik mahasiswa, akademisi, maupun konsultan pajak profesional. (bl)

id_ID