Konstelasi perpajakan internasional tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran digitalisasi ekonomi, krisis geopolitik, dan tekanan transparansi global, negara-negara di Asia-Pasifik menunjukkan geliat yang tidak bisa diabaikan.
Kongres International Fiscal Association (IFA) Asia-Pacific Regional yang ke-8 di Kuala Lumpur pada 29-30 April 2025 menjadi momen penting dalam menggambar ulang peta jalan pajak kawasan ini.
Semangat kolaborasi menjadi denyut utama kongres ini. Lebih dari 150 peserta dari berbagai negara hadir bukan hanya untuk berbagi kebijakan, tapi untuk menyusun fondasi kesepahaman lintas yurisdiksi.
Topik seperti BEPS 2.0, Global Minimum Tax (GMT), transfer pricing, sengketa pajak, dan Country-by-Country Reporting (CbCR) dibedah dalam konteks regional, dengan fokus pada bagaimana negara-negara seperti Indonesia, Australia, India, Malaysia, dan Singapura menyelaraskan regulasi domestik dengan standar global.
Pembahasan mengenai compliance dan transparansi menandai titik temu baru antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Asia-Pasifik tak lagi sekadar “penerima dampak”, melainkan kini tampil sebagai aktor yang berani membentuk arah.
Namun, kolaborasi bukan tanpa tantangan. Meningkatnya jumlah sengketa pajak internasional, khususnya yang melibatkan transaksi afiliasi dan perpindahan laba, menjadi bukti bahwa sistem perpajakan global masih terus mencari keseimbangannya. India, misalnya, mencatat lebih dari 170 kasus APA, sementara Australia menghadapi landmark cases yang menguji batas kewenangan domestik atas praktik global perusahaan multinasional.
Indonesia juga menunjukkan peningkatan intensitas pemeriksaan pajak audit dan permintaan MAP, menandakan bahwa Wajib Pajak kini lebih sadar risiko dan lebih siap untuk menempuh jalur formal penyelesaian. Sementara itu, Singapura menjadi contoh bagaimana kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa pajak bisa menjadi keunggulan kompetitif.
Tren baru juga terlihat dari pergeseran fokus kebijakan pajak. Jika dulu perhatian tertuju pada perusahaan multinasional, kini negara-negara seperti Australia mulai membidik family office dan individu berpenghasilan tinggi. Indonesia memperkuat insentif fiskal sekaligus membangun ulang sistem teknologi perpajakan.
Di India, pencabutan Equalization Levy menjadi langkah strategis untuk meredam tensi dagang dengan Amerika Serikat. Isu geopolitik seperti tarif Trump juga menciptakan tantangan yang dinamis. Negara-negara Asia-Pasifik tak lagi bereaksi dengan defensif, melainkan secara strategis. Indonesia memilih negosiasi dua arah, sementara Singapura dan Australia mengambil posisi waspada dan cermat.
Sistem Pajak yang Berkelanjutan
Kongres ini juga menyiratkan bahwa masa depan perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara. Cross-border services, sustainable tax system, dan posisi strategis direktur pajak di perusahaan multinasional menjadi diskursus penting. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, sementara pemerintah menginginkan kepatuhan tanpa mengorbankan daya saing.
IFA Asia-Pacific Conference 2025 bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah ruang strategis untuk menyusun peta jalan bersama di mana kolaborasi regional menjadi kunci, penyelesaian sengketa menjadi jembatan keadilan, dan strategi baru menjadi jawaban atas perubahan dunia.
Tahun depan kongres yang sama akan diadakan Tokyo, dan dua tahun lagi di Jakarta, Asia-Pasifik berpeluang memimpin diskursus pajak global. Dengan modal kolaborasi dan keberanian untuk berubah, kawasan ini siap menjadi episentrum reformasi perpajakan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Penulis adalah Presiden IFA Asia-Pacific yang juga Wakil Ketua Departemen Hubungan Kerja Sama Internasional, IKPI
Ichwan Sukardi
Email: ichwan.sukardi@rsm.id
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis