Diskusi Panel IKPI: Mantan Direktur di DJP Bongkar Fakta di Balik Tiga Kali Tax Amnesty

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Harry Gumelar, membongkar kisah dan dinamika pelaksanaan tiga gelombang tax amnesty yang pernah dijalankan Indonesia. Dalam paparannya, di acara diskusi panel IKPI bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan Jumat (13/6/2025).

Harry menyebut program pengampunan pajak pertama kali dicoba pada 2007 melalui kebijakan sunset policy, yang awalnya memang diniatkan sebagai tax amnesty. “2007 itu sebetulnya mau tax amnesty, tapi gagal di bagian penghapusan pidananya, akhirnya jadi sunset policy. Tapi justru itu yang paling sukses, karena tax ratio kita naik jadi 13,6%—tertinggi selama saya di DJP,” ungkapnya.

Harry yang terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan dan implementasi tax amnesty mengungkap bahwa tantangan terbesar DJP justru terletak pada kualitas dan pengelolaan data, bukan regulasi.

“Self-assessment enggak akan kuat kalau DJP enggak punya data dari pihak ketiga. Data kita banyak, tapi manajemennya lemah. Saya minta ke 78 instansi, hasilnya? Susah sekali. Data kendaraan bermotor aja kita cuma dapat sekali, itupun enggak jelas pemiliknya siapa,” ujarnya blak-blakan.

Menurutnya, jika pengelolaan data pajak berjalan baik, DJP seharusnya tidak perlu lagi mengandalkan tax amnesty sebagai instrumen penerimaan. Ia mencontohkan Australia yang cukup hanya dengan data properti, kendaraan, dan keuangan.

Lebih lanjut, Harry menyinggung dua program besar tax amnesty setelah itu: Tax Amnesty Jilid I (2016–2017) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Jilid II (2022). Ia mengkritisi bahwa pada jilid pertama, DJP gagal mencapai target penerimaan.

“Nilai harta yang diungkap Rp4.800 triliun, tapi uang tebusan cuma Rp114 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya cuma tercapai 69 persen. Padahal pidana dihapuskan,” jelasnya.

Sementara itu pada PPS, DJP menyatakan program itu bukan tax amnesty, tapi kenyataannya, kata Harry, fungsi utamanya tetap pengampunan. Bahkan, ia menyebut bahwa peserta PPS bisa “lolos” dari sanksi denda 200% jika mengungkap harta tersembunyi sebelum DJP mengetahuinya.

“Kalau DJP lebih tahu duluan, dendanya 200 persen. Tapi karena ada PPS, cukup bayar 18 persen. Itu artinya DJP kehilangan potensi penerimaan sampai 182 persen,” ujar Harry.

Yang lebih mengejutkan, Harry mengungkap mayoritas harta yang diungkap dalam PPS adalah uang tunai, mencapai Rp263 triliun. “Makanya jangan heran kalau kemarin ada mantan hakim punya Rp1 triliun di rumahnya,” sindirnya.

Di akhir paparannya, Harry mempertanyakan urgensi melanjutkan tax amnesty ke jilid III. Menurutnya, jika DJP belum mampu mengelola dan mengamankan data dengan baik, maka pengampunan pajak hanya akan jadi solusi jangka pendek yang berpotensi dimanfaatkan oleh para penghindar pajak.

“Kalau DJP mau adakan tax amnesty lagi, pastikan dulu datanya kuat, aman, dan DJP benar-benar lebih tahu duluan dari wajib pajak. Kalau enggak, jangan heran kalau ada lagi yang main ‘sandiwara PPS’,” pungkasnya. (bl)

id_ID