BRI UMKM EXPO(RT) 2025: Memperluas Akses Pasar Global untuk UMKM

 


IKPI, Jakarta: PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) sukses menyelenggarakan BRI UMKM EXPO(RT) 2025 yang berlangsung pada 30 Januari hingga 2 Februari di ICE BSD. Acara ini melibatkan lebih dari 1.000 pelaku UMKM terbaik di tanah air dan mengusung tema Broadening MSMEs Global Outreach, yang menegaskan komitmen BRI dalam memperluas akses pasar bagi UMKM serta meningkatkan daya saing produk lokal di kancah internasional.

BRI UMKM EXPO(RT) 2025 menampilkan lima kategori produk unggulan, yaitu home decor & craft, fashion & wastra, food & beverage, accessories & beauty, serta healthcare & wellness. Selain itu, acara ini juga diisi dengan berbagai kompetisi bergengsi, seperti Indonesia Barista Championship & Indonesia Brewers Cup Championship, serta pertunjukan Nusantara Culinary dan Fashion Show.

Untuk menambah semarak acara, BRI UMKM EXPO(RT) 2025 menghadirkan penampilan spesial dari musisi papan atas Indonesia seperti Juicy Luicy, Tulus, Lyodra, dan Maliq & D’Essentials, yang memberikan pengalaman menarik bagi pengunjung.

Direktur Utama BRI, Sunarso, menyampaikan bahwa acara ini merupakan bagian dari strategi perseroan dalam memperkuat peran UMKM sebagai motor penggerak perekonomian nasional. “BRI UMKM EXPO(RT) 2025 bertujuan membuka akses UMKM ke pasar global dan meningkatkan kontribusi UMKM terhadap neraca perdagangan dan penyerapan tenaga kerja,” ujarnya. (alf)

Pengguna Threads Temukan Celah Keamanan di Sistem Coretax DJP, Buat NPWP Hanya 1 Detik

IKPI, Jakarta: Seorang pengguna Threads dengan akun @mughu.id membagikan pengalamannya saat menemukan celah keamanan di sistem Coretax milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Celah tersebut memungkinkan pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya dengan menggunakan API Coretax melalui Node.js, tanpa validasi yang seharusnya dilakukan oleh sistem.

Dalam unggahannya, @mughu.id mengaku kesulitan saat mencoba membuat NPWP melalui website resmi Coretax. Namun, ketika ia mencoba melakukan permintaan melalui API menggunakan Node.js, NPWP justru berhasil dibuat dalam waktu 1 detik tanpa hambatan.

“Dari kemarin nyoba mau buat NPWP lewat web Coretax buat keluarga susah bener diaksesnya (killing time banget), dan tadi sekalinya berhasil saya langsung coba buat post request API pake Node.js dan boom, 1 detik jadi!” tulisnya dalam unggahan pada Selasa (4/2/2025).

NPWP Bisa Dibuat dengan Nama “Test Bug”

Dua hari sebelumnya, dalam unggahan lain, @mughu.id membuktikan celah keamanan tersebut dengan mencoba mendaftarkan NPWP menggunakan nama “Test Bug”. Hasilnya, NPWP tetap berhasil dibuat dan dikirim ke emailnya, meskipun data yang dimasukkan tidak sepenuhnya valid.

“Data sukses dengan modal NIK yang valid, data lainnya tanpa validasi, dan NPWP langsung masuk ke email! Saya coba masukkan nama Test Bug,” tulisnya. (alf)

Menteri Airlangga Pastikan Penyempurnaan Sistem Coretax Tak Hambat Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Senin (3/2/2025). Kunjungan untuk meninjau perkembangan perbaikan sistem Coretax, yang masih mengalami kendala sejak diimplementasikan secara nasional pada 1 Januari 2025.

Dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran pegawai DJP, Airlangga menekankan pentingnya mempercepat penyempurnaan sistem administrasi pajak tersebut. Hal ini dilakukan agar penerimaan negara tidak terganggu dan tujuan awal Coretax untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan pajak dapat tercapai.

“Kami memastikan bahwa penerimaan anggaran tidak terganggu dengan implementasi Coretax yang masih memerlukan penyempurnaan. Apalagi sistem ini langsung diberlakukan secara nasional,” ujar Airlangga, Selasa (4/2/2025).

Airlangga juga menyoroti pentingnya konektivitas sistem Coretax dengan instansi lain, seperti perbankan dan perusahaan, untuk memperkuat pengawasan kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, sistem ini tidak hanya bergantung pada DJP, tetapi juga memerlukan kesiapan dari pihak wajib pajak, terutama perusahaan yang memproduksi banyak faktur atau melakukan pemotongan pajak.

“Semua pihak harus mempersiapkan interoperabilitas, baik perbankan maupun wajib pajak. Ini bukan sistem satu pihak. Perusahaan yang memproduksi banyak faktur atau sering melakukan pemotongan pajak perlu memiliki sistem tersendiri,” jelas Airlangga.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah mengakui adanya tantangan dalam implementasi Coretax, terutama terkait adaptasi sistem oleh wajib pajak dan instansi terkait. Namun, ia optimistis bahwa dengan perbaikan berkelanjutan, sistem ini akan mampu meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan.

Pemerintah berharap, dengan penyempurnaan yang terus dilakukan, Coretax dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung penerimaan negara dan memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Hal ini dianggap krusial mengingat penerimaan pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara untuk mendukung berbagai program pembangunan. (alf)

Deflasi Januari 2025 Catatkan Penurunan 0,76 Persen, BPS: Ini Deflasi Pertama Sejak September 2024

IKPI, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month). Secara tahunan, inflasi tercatat 0,76 persen (year on year/yoy).

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa deflasi ini merupakan deflasi pertama setelah terakhir kali terjadi pada September 2024 lalu. “Pada Januari 2025, secara bulanan atau month to month dan tahun kalender year to date, terjadi deflasi sebesar 0,76 persen. Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025,” ungkap Amalia dalam konferensi pers, Senin (3/2).

Amalia menjelaskan bahwa kelompok penyumbang deflasi terbesar berasal dari sektor perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami penurunan harga sebesar 9,16 persen. Kelompok ini memberikan andil deflasi sebesar 1,44 persen. Salah satu komoditas utama yang berperan dalam deflasi adalah tarif listrik, yang memiliki andil deflasi sebesar 1,47 persen.

Selain itu, beberapa komoditas lainnya turut memberikan kontribusi pada deflasi, di antaranya adalah tomat dengan deflasi 0,03 persen, ketimun, tarif kereta api, dan tarif angkutan udara yang masing-masing memberikan andil deflasi sebesar 0,01 persen.

BPS juga mencatat bahwa deflasi terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, dengan 34 dari 38 provinsi mengalami deflasi. Sementara itu, empat provinsi lainnya tercatat mengalami inflasi. Papua Barat menjadi provinsi dengan deflasi terdalam sebesar 2,29 persen, sementara Kepulauan Riau mencatat inflasi tertinggi sebesar 0,43 persen.

Dengan deflasi yang terjadi pada Januari 2025, BPS berharap dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di tengah berbagai dinamika ekonomi yang ada. (alf)

Panduan Coretax DJP Tersedia untuk PIC dan Wajib Pajak Badan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah merilis panduan Coretax yang ditujukan bagi Penanggung Jawab (PIC) fitur impersonate, serta penambahan role akses bagi wajib pajak badan. Panduan ini dapat diunduh secara gratis melalui tautan resmi DJP di [pajak.go.id/reformdjp/coretax](https://pajak.go.id/reformdjp/coretax).

Panduan ini diharapkan dapat memudahkan para penanggung jawab dan wajib pajak badan dalam memahami dan mengelola hak akses serta fitur-fitur terbaru dalam sistem Coretax.

Dengan adanya fitur impersonate, PIC dapat lebih fleksibel dalam mengelola akun pajak, sementara penambahan role akses memastikan keamanan dan akurasi data pajak.

“Bagi #KawanPajak yang membutuhkan informasi lebih lanjut atau bantuan teknis, DJP menyediakan layanan Kring Pajak yang dapat dihubungi melalui nomor telepon 1500 200,” tulis pengumuman yang dikutip dari Instagram DJP, Sabtu (1/2/2025).

Selain itu, wajib pajak juga dapat mengakses layanan konsultasi melalui akun Twitter/X resmi Kring Pajak (@kring_pajak) atau langsung menghubungi Helpdesk Kantor Pajak terdekat.

DJP terus berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak melalui inovasi dan penyediaan panduan yang komprehensif. Diharapkan, langkah ini dapat mendukung kemudahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan serta meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. (alf)

Sri Mulyani Sebut Kebijakan HGBT Tingkatkan Kinerja Ekonomi dan Industri Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diterapkan sejak 2020 berdasarkan Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2020 memberikan dampak positif bagi perekonomian dan industri Indonesia. Kebijakan tersebut terbukti mampu meningkatkan kinerja sektor-sektor yang menerima harga gas lebih rendah, seperti PLN, Pupuk, Keramik, dan Petrokimia, dengan kontribusi signifikan terhadap net profit margin (NPM).

Menurut Sri Mulyani, sektor-sektor yang mendapatkan HGBT mencatatkan peningkatan NPM yang bervariasi, yakni PLN sebesar 49%, Pupuk 37%, Keramik 5,4%, dan Petrokimia 5%. Secara keseluruhan, perbaikan kinerja korporasi tercermin dari peningkatan NPM dari 6,21% pada tahun 2020 menjadi 7,53% pada tahun 2023. Pada tahun 2023, sektor pupuk, sarung tangan karet, dan kaca tercatat sebagai kontributor terbesar dengan NPM masing-masing 12,73%, 11,36%, dan 11,24%.

Kinerja positif tersebut juga berdampak pada penerimaan pajak yang meningkat signifikan. Penerimaan pajak dari sektor penerima HGBT naik dari Rp 37,16 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 65,06 triliun pada tahun 2023. Sektor ketenagalistrikan, pupuk, baja, dan petrokimia menjadi penyumbang pajak terbesar, meskipun Sri Mulyani tidak merinci secara detail jumlah kontribusi masing-masing sektor.

Namun, Sri Mulyani juga menyoroti adanya dampak negatif dari kebijakan ini, yaitu beban fiskal yang timbul akibat pendapatan negara (PNBP) yang tidak diterima. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus mendukung penguatan industri nasional agar tetap kompetitif dan efisien, serta memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan oleh Sri Mulyani melalui akun Instagram pribadinya pada Jumat, 24 Januari 2025. (alf)

Presiden Prabowo Inginkan PPN 12% untuk Barang dan Jasa Mewah Tak Bebani Rakyat Kecil

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya diatur untuk semua barang dan jasa akan diterapkan secara terbatas, hanya pada barang dan jasa mewah. Keputusan ini diambil sehari sebelum tarif PPN dari 11% menjadi 12% sesuai dengan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

Menurut ketentuan terbaru, tarif PPN 12% akan dikenakan pada barang dan jasa mewah, sementara untuk barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%. Langkah ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang dinilai melemah sejak pertama kali aturan ini dirancang dua tahun lalu.

Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, menyampaikan apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo. Ia menilai bahwa langkah ini menunjukkan kepedulian Presiden untuk tidak membebani rakyat. “Keputusan ini merupakan langkah moderasi yang diambil Presiden, mengingat kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan saat kebijakan PPN 12% pertama kali diputuskan,” kata Misbakhun, Selasa (21/1/2025).

Misbakhun juga menegaskan bahwa meskipun tarif PPN 12% tetap harus diterapkan sesuai dengan UU HPP, Presiden Prabowo memilih untuk menargetkan hanya barang-barang mewah seperti mobil, rumah, tas, kosmetik, hingga daging mahal, baik yang diimpor maupun yang diproduksi di dalam negeri.

Keputusan ini, menurut Misbakhun, merupakan bukti konsistensi Presiden dalam menjalankan janjinya untuk menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyat. “Presiden ingin menjadi pemimpin yang tidak membebani rakyat, dan keputusan ini merupakan bagian dari cita-cita beliau untuk memimpin dengan bijaksana,” tegas Misbakhun.

Dengan langkah ini, diharapkan beban yang ditanggung oleh masyarakat akan lebih terjaga, terutama bagi kalangan menengah ke bawah, sementara sektor barang mewah tetap dikenakan PPN yang lebih tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.(alf)

Menteri Airlangga Ungkap Penyebab Orang Super Kaya Indonesia Gemar Belanja di Luar Negeri

IKPI, Jakarta:  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan mengapa orang super kaya di Indonesia lebih memilih berbelanja di luar negeri ketimbang di dalam negeri. Menurut Airlangga, harga barang-barang mewah yang menjadi objek konsumsi orang kaya di Indonesia lebih mahal akibat berbagai pungutan yang dikenakan, seperti bea masuk, Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Barang-barang yang masuk di mal di Indonesia, misalnya, dikenakan bea masuk 25%. Belum lagi ditambah PPh dan PPN, membuat harga barang tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan di negara lain seperti Singapura, yang tidak memiliki pungutan serupa,” ujar Airlangga di kantornya, baru-baru ini.

Airlangga menambahkan, perbedaan harga ini membuat orang super kaya cenderung lebih memilih untuk berbelanja di luar negeri, di mana harga barang-barang mewah lebih terjangkau. Ia juga menyebutkan bahwa potensi transaksi belanja orang super kaya yang sering melakukan pembelian di luar negeri bisa mencapai sekitar USD 2.000 per orang, atau setara dengan Rp 32,79 juta.

“Jika ada sekitar 10 juta orang kaya yang sering berbelanja dengan total pengeluaran tersebut, maka potensi transaksi yang hilang di dalam negeri bisa mencapai lebih dari Rp 324 triliun,” jelas Airlangga.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan sekitar 10 juta orang Indonesia sering bepergian ke luar negeri, yang berkontribusi pada hilangnya potensi transaksi ekonomi domestik.

Pernyataan Airlangga ini menunjukkan pentingnya memperhatikan kebijakan perpajakan dan bea masuk dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi domestik dan daya saing pasar Indonesia.(akf)

Pemerintah Proyeksi Tambah Penerimaan Negara Rp8,8 Triliun dari Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia secara resmi memberlakukan pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15 persen, melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Keputusan ini diharapkan dapat menambah penerimaan negara hingga Rp8,8 triliun, sesuai dengan proyeksi yang disampaikan oleh Analis Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Melani Dwi Astuti.

Melani menyampaikan proyeksi potensi penerimaan negara dari kebijakan ini berkisar antara Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun. “Proyeksi potensinya, Rp3,8-Rp8,8 triliun,” ungkap Melani baru-baru ini.

Pengenaan pajak minimum global ini diyakini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Melani dalam acara ’The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar’, yang diadakan oleh International Fiscal Association (IFA) pada 10 Desember 2024. Melani juga menjelaskan bahwa regulasi yang mendasari kebijakan ini telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Sebelumnya, pada 31 Desember 2024, pemerintah juga menerbitkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 untuk mengatur penerapan pajak minimum global ini sesuai dengan kesepakatan internasional.

Ketentuan Pajak Minimum Global

PMK Nomor 136 Tahun 2024 berlaku bagi Wajib Pajak badan yang merupakan bagian dari grup Perusahaan Multinasional (PMN) dengan omzet konsolidasi global sekurang-kurangnya 750 juta euro. Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak minimum global dengan tarif 15 persen mulai tahun pajak 2025.

Dalam ketentuan tersebut, tarif pajak minimum global yang dikenakan akan bergantung pada tiga mekanisme utama, yaitu income inclusion rule (IIR), domestic minimum top-up tax (DMTT), dan undertaxed payment rule (UTPR).

Melani menjelaskan, IIR adalah ketentuan yang mengharuskan induk dari grup multinasional untuk membayar pajak tambahan atas anak usahanya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15 persen. Sementara itu, DMTT adalah skema yang memungkinkan yurisdiksi sumber untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang kurang dipajaki, sebelum yurisdiksi domisili anak perusahaan mengenakan pajak tambahan. Sedangkan, UTPR akan berlaku jika IIR tidak dapat diterapkan, misalnya jika entitas induk berada di yurisdiksi dengan pajak rendah atau tidak menerapkan IIR dalam regulasi domestiknya.

Dengan implementasi pajak minimum global ini, pemerintah Indonesia berharap dapat memperkuat sistem perpajakan internasional dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil sesuai dengan penghasilannya di seluruh dunia.(alf)

Penerimaan Pajak 2024 Kanwil DJP Jakarta Barat Lampaui Target

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat berhasil mencatatkan capaian gemilang pada akhir tahun 2024. Dengan target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp64,5 triliun, realisasi penerimaan bruto mencapai Rp72,2 triliun dan penerimaan neto sebesar Rp64,7 triliun, atau 100,26% dari target.

Pertumbuhan penerimaan neto tercatat sebesar 9,25% dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan jenis pajaknya, Pajak Penghasilan (PPh) menyumbang Rp29,12 triliun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp35,44 triliun, dan pajak lainnya Rp131,1 miliar.

Empat sektor usaha di Jakarta Barat menjadi kontributor dominan, yakni:

• Sektor perdagangan: Rp32,22 triliun (49,80%).

• Sektor industri pengolahan: Rp9,31 triliun (14,39%).

• Sektor pengangkutan dan pergudangan: Rp4,25 triliun (6,57%).

• Sektor konstruksi: Rp3,37 triliun (5,22%).

Dari sisi kepatuhan pelaporan, Kanwil DJP Jakarta Barat berhasil mengumpulkan 373.467 Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dari target 412.582, mencapai rasio 90,52%.

Melalui keterangan tertulisnya yang diterima Jumat, (24/1/2025) Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat Farid Bachtiar, menyampaikan apresiasi kepada wajib pajak atas kontribusi dan kepatuhan mereka, serta kepada semua pihak yang mendukung pencapaian ini.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak di wilayah DKI Jakarta hingga 31 Desember 2024 mencapai Rp1.355,07 triliun, atau 112,30% dari target pajak 2024. Peningkatan kinerja ini didorong oleh konsumsi domestik yang terjaga, terutama melalui pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Namun, terdapat kontraksi pada Pajak Penghasilan (PPh) Non-Migas karena penurunan lifting minyak dan gas bumi, serta tidak terulangnya pembayaran besar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun ini.

Sementara itu, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan DKI Jakarta Mei Ling, menyebutkan realisasi APBN 2024 menunjukkan kinerja optimal meskipun defisit tercatat sebesar Rp133,39 triliun. Pendapatan negara mencapai Rp1.799,54 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp1.932,93 triliun.

Pendapatan daerah di DKI Jakarta mencapai Rp72,90 triliun atau 97,26% dari target, meningkat 2,57% secara tahunan (year-on-year).

Indikator Ekonomi Lainnya

• Tingkat inflasi Desember 2024 sebesar 1,48% (yoy), masih terkendali di bawah rata-rata nasional.

• Nilai Tukar Petani (NTP) turun 0,23% (yoy) akibat kenaikan biaya produksi, sedangkan Nilai Tukar Nelayan (NTN) meningkat 1,00% (yoy).

• Neraca perdagangan Desember 2024 mencatat defisit sebesar US$0,51 miliar.

Kinerja Kepabeanan, Cukai, dan PNBP

Penerimaan Kepabeanan dan Cukai di DKI Jakarta mencapai Rp24,02 triliun (100,69% dari target), dengan pertumbuhan sebesar 0,45% (yoy). Pertumbuhan ini ditopang akselerasi penerimaan bea keluar.

Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp389,37 triliun, melebihi target dengan realisasi 121,36%. Kinerja positif ini didukung oleh laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang semakin baik.

Capaian ini menunjukkan keberhasilan pengelolaan fiskal dan optimalisasi penerimaan negara di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun 2024. (bl)

en_US