IKPI Cabang Tegal Sukses Selenggarakan PPL Bertema CoreTax System dan Sengketa Pajak

IKPI, Tegal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Tegal sukses menyelenggarakan seninar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Metro Park View Hotel, Semarang, Sabtu (29/11/2025). Kegiatan ini mengusung tema “SPT Tahunan PPh dengan CoreTax System serta Permohonan Keberatan dan Banding” dengan menghadirkan narasumber berpengalaman, Nurkholik.

Selain anggota cabang Tegal, acara ini dihadiri anggota IKPI dari sejumlah cabang di wilayah Jawa Tengah, serta mendapat apresiasi langsung dari Wakil Ketua Umum IKPI Pusat, Nuryadin Rahman, yang turut hadir memberikan sambutan. 

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Dalam pesannya, Nuryadin menekankan pentingnya keseriusan seluruh peserta dalam mengikuti materi yang disampaikan, mengingat dinamika perpajakan yang terus berkembang.

“Saya berharap seluruh peserta PPL serius dan betul-betul mengikuti materi yang disajikan narasumber. Sinergi IKPI Cabang dengan IKPI Pusat juga harus terus diperkuat. Mohon doa dan dukungan agar kami dapat mengembangkan IKPI hingga mencapai 100 cabang di seluruh Indonesia,” ujar Nuryadin.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Tegal, H. Imron, menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan serta mengajak seluruh jajaran untuk semakin memperkokoh kerja sama organisasi.

“Kami berharap sinergi antara IKPI Pusat, Pengda Jawa Tengah, dan seluruh IKPI Cabang dapat terus ditingkatkan sehingga organisasi kita semakin solid dan mampu menjawab kebutuhan anggota serta perkembangan industri jasa perpajakan yang semakin kompleks,” ungkapnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Sementara itu, Ketua IKPI Pengda Jawa Tengah, Slamet Umbaran, dalam sambutannya menyoroti tantangan profesi konsultan pajak yang semakin dinamis, khususnya pada penerapan sistem perpajakan berbasis teknologi.

“Implementasi CoreTax System, terutama dalam proses pelaporan SPT Tahunan PPh, menuntut kita untuk terus meningkatkan kompetensi, pemahaman, serta kemampuan dalam memberikan layanan terbaik kepada wajib pajak,” tegasnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Tegal)

Melalui PPL ini, diharapkan para konsultan pajak dapat meningkatkan keahlian dan pengetahuan, khususnya terkait CoreTax System serta penanganan keberatan dan banding pajak, sehingga semakin mampu mendukung wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya secara profesional.

Acara berjalan dengan lancar dan interaktif, serta menjadi momentum penting dalam memperkuat profesionalisme dan solidaritas antaranggota IKPI di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. (bl)

Dari SP2DK ke Data Konkret: Menguji Keadilan di Era Pajak Digital

Modernisasi administrasi perpajakan tidak terelakkan. Di tengah kompleksitas ekonomi digital dan derasnya arus data transaksi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk bekerja semakin presisi. Salah satu langkah strategis terbaru adalah penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret—sebuah regulasi teknis yang berpotensi mengubah relasi antara negara dan Wajib Pajak.
Perubahan ini mungkin terdengar administratif. Namun sesungguhnya, ia menyentuh soal yang lebih mendasar: bagaimana negara mengelola kekuasaan fiskal di era digital tanpa mengorbankan rasa keadilan.

Pergeseran dari Klarifikasi ke Penegakan

Selama ini, publik mengenal SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) sebagai pintu awal komunikasi fiskus dengan Wajib Pajak. SP2DK secara normatif ditempatkan dalam kerangka klarifikasi: negara meminta penjelasan, Wajib Pajak memberikan respons. Di ruang ini, masalah kepatuhan kerap dapat diselesaikan tanpa eskalasi ke pemeriksaan.


Namun PER-18/PJ/2025 memperkenalkan konsep baru: data konkret. Data konkret didefinisikan sebagai data yang dimiliki DJP dan cukup kuat untuk diuji secara sederhana, lalu langsung ditindaklanjuti melalui pengawasan atau pemeriksaan spesifik.

Contohnya adalah faktur pajak yang telah disetujui sistem tetapi tidak dilaporkan di SPT, bukti potong/pungut pajak yang belum dilaporkan, pengkreditan Pajak Masukan yang tidak sesuai ketentuan, hingga hasil SP2DK yang telah disepakati tetapi tidak direalisasikan oleh Wajib Pajak.


Di titik inilah terjadi pergeseran fundamental. Negara tidak lagi sekadar bertanya atas dasar dugaan, melainkan bertindak atas dasar data yang telah dianggap cukup kuat. SP2DK tidak dihapus, tetapi perannya berubah: dari ruang dialog, menjadi bagian dari rantai penegakan.

Data sebagai Otoritas

Dalam rezim baru ini, data tidak lagi netral. Data menjadi otoritas. Data menjadi dasar legitimasi tindakan. Bagi DJP, ini adalah manifestasi dari reformasi administrasi perpajakan berbasis teknologi.

Sistem seperti e-Faktur, e-Bupot, dan penguatan core tax system menghasilkan volume data besar yang tak mungkin dibiarkan mengendap. Pemanfaatannya untuk pengawasan adalah keniscayaan.

Namun, persoalan muncul ketika data yang kuat tidak diimbangi oleh mekanisme perlindungan yang memadai. Dalam praktik, kesalahan data bukan hal mustahil. Ketidaksesuaian laporan dapat timbul dari berbagai faktor: kesalahan input, keterlambatan sinkronisasi, kelalaian pihak ketiga, atau problem teknis pada sistem itu sendiri.


Jika data yang belum sepenuhnya steril dari kesalahan langsung diberi status sebagai “data konkret”, maka risiko keadilan prosedural menjadi taruhan.

Keadilan Prosedural dan Asimetri Informasi

Dalam negara hukum, kekuasaan tidak cukup hanya sah secara formal, tetapi juga harus adil dalam prosedur. PER-18/PJ/2025 membawa implikasi terhadap apa yang dikenal sebagai keadilan prosedural (procedural justice). Jika data konkret menjadi dasar tindakan, pertanyaannya: seberapa besar ruang Wajib Pajak untuk memeriksa, menguji, dan membantah data tersebut? Apakah akses terhadap data yang digunakan negara tersedia secara memadai bagi Wajib Pajak? Ataukah hanya sebagian yang diperlihatkan? Di sinilah risiko asimetri informasi muncul. Negara memegang seluruh infrastruktur data, sementara Wajib Pajak berada pada posisi reaktif. Jika kesenjangan ini tidak dikelola hati-hati, relasi fiskus–Wajib Pajak akan semakin timpang.

Kepatuhan yang lahir dari ketimpangan bukanlah kepatuhan yang berkelanjutan. Ia hanya melahirkan rasa takut, bukan kesadaran.

Efisiensi Negara vs Rasa Keadilan Warga

Dari sudut pandang fiskal, PER-18/PJ/2025 dapat mempercepat proses koreksi potensi pajak yang tidak atau kurang dibayar. Negara membutuhkan penerimaan yang optimal untuk membiayai pembangunan. Namun bagi Wajib Pajak—terutama UMKM dan pelaku usaha yang belum sepenuhnya siap digital—kebijakan ini bisa menambah tekanan administratif. Mereka tidak hanya dituntut patuh membayar pajak, tetapi juga harus piawai mengelola data, memastikan sinkronisasi sistem, dan meminimalkan risiko mismatch.
Tanpa dukungan edukasi dan asistensi yang memadai, kebijakan ini berpotensi menciptakan beban baru bagi kelompok usaha yang rentan.

Legitimasi Lebih Penting dari Sekadar Efektivitas

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan modernisasi pajak tidak semata diukur dari peningkatan rasio penerimaan. Lebih dari itu, ia diukur dari seberapa jauh sistem tersebut dipercaya publik.
Efektivitas tanpa legitimasi hanya menghasilkan kepatuhan semu.
Legitimasi tanpa efektivitas menghasilkan sistem yang rapuh.
PER-18/PJ/2025 berada di persimpangan itu.
Agar regulasi ini tidak sekadar menjadi alat tekan, tetapi juga instrumen transformasi yang adil, setidaknya ada tiga prasyarat penting:

  1. Transparansi data
    Wajib Pajak harus diberi akses yang jelas terhadap data konkret yang digunakan sebagai dasar pengawasan atau pemeriksaan.
  2. Ruang klarifikasi yang manusiawi
    Meskipun data konkret bisa langsung ditindaklanjuti, mekanisme dialog tetap harus dijaga agar tidak berubah menjadi proses sepihak.
  3. Standar kualitas data internal yang ketat
    Negara harus memastikan bahwa data yang dikualifikasi sebagai “konkret” benar-benar memiliki kualitas dan validitas yang tinggi.
    Tanpa tiga hal ini, penggunaan data justru berpotensi melahirkan sengketa dan memukul kepercayaan.

Penutup: Membangun Negara Digital yang Berkeadilan

Transformasi digital dalam perpajakan adalah keniscayaan. Negara tidak mungkin kembali ke cara-cara lama yang lambat, manual, dan penuh celah.
Namun negara digital tidak boleh kehilangan sisi manusianya.
Di balik angka, ada usaha.
Di balik data, ada keringat.
Di balik faktur, ada kehidupan ekonomi riil.
PER-18/PJ/2025 adalah ujian bagi kedewasaan institusi perpajakan kita:
mampukah negara menggunakan kekuatan data bukan sekadar untuk mengawasi, tetapi juga untuk memperkuat legitimasi dan keadilan?
Jika jawabannya ya, maka data konkret bukan ancaman, melainkan fondasi baru bagi sistem pajak yang modern, adil, dan beradab.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Diskusi Panel IKPI: Dendi Siswanto Kritik Wacana Tax Amnesty Jilid III dan Insentif Family Office 0%, Sebut Risiko Moral Hazard Mengancam

IKPI, Jakarta: Dalam sesi lanjutan Diskusi Panel IKPI yang berlangsung pada Jumat (28/11/2025), jurnalis Kontan Dendi Siswanto kembali menarik perhatian audiens dengan analisis kritis mengenai arah kebijakan fiskal pemerintah, terutama terkait wacana Tax Amnesty Jilid III dan rencana pemberian insentif pajak 0% bagi Family Office.

Menurut Dendi, wacana Tax Amnesty lanjutan adalah kebijakan yang berpotensi menjadi “karpet merah bagi wajib pajak kaya yang tidak patuh.” Ia menilai, pemberian pengampunan pajak berulang kali dapat menciptakan moral hazard, di mana konglomerat justru merasa aman untuk menyembunyikan harta karena yakin pada akhirnya pengampunan baru akan diberikan.

“Ini bukan sekadar kekhawatiran. Pak Purbaya sendiri sudah menolak rencana Tax Amnesty Jilid III karena berpotensi mendorong ketidakpatuhan,” tegasnya.

Selain itu, Dendi menyoroti rencana pembentukan Family Office yang disebut-sebut bakal menawarkan insentif pajak 0%. Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan detail kebijakan itu, namun rencana tersebut sudah memunculkan diskusi luas di publik. 

Menurut Dendi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan karena memberi fasilitas super ringan kepada kelompok kaya, sementara kelas menengah tetap menanggung beban pajak yang besar.

“Kelas menengah bayar PPh 21, bayar PPN saat belanja, bahkan bayar pajak UMKM jika punya usaha. Beban mereka jelas lebih besar, tetapi insentif yang diterima justru jauh lebih kecil,” ujarnya.

Dendi menilai kondisi itu semakin memperkuat narasi bahwa sistem perpajakan Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan asas keadilan. Di sisi lain, ia mengakui bahwa family office sebenarnya dapat memberikan manfaat kompetitif bagi Indonesia, seperti yang sudah diterapkan Singapura. Namun, ia menekankan pentingnya merancang struktur pajak yang tetap adil.

Dalam paparannya, Dendi mengutip rekomendasi dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) yang mengusulkan penambahan lapisan tarif PPh untuk kelompok super kaya. Saat ini tarif pajak orang pribadi berada pada dua bracket tertinggi: 30% untuk penghasilan Rp500 juta–Rp5 miliar dan 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

AMRO menilai selisih kedua lapisan ini terlalu lebar. Oleh karena itu, Dendi menyampaikan usulan menambah bracket baru untuk penghasilan mulai dari Rp10 miliar hingga Rp20 miliar, dengan tarif yang lebih progresif.

“Menambah bracket jauh lebih baik daripada menaikkan tarif konsumsi seperti PPN. Struktur pajak yang lebih progresif akan memperkuat keadilan fiskal dan meningkatkan kontribusi kelompok berpenghasilan tinggi,” jelasnya.

Sebagai penutup, Dendi menggarisbawahi bahwa sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini mulai dari rencana Tax Amnesty hingga insentif Family Office berpotensi memperlebar jurang kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. Ia mendorong pemerintah untuk fokus pada peningkatan pengawasan, pemanfaatan teknologi seperti Cortex dan integrasi NIK–NPWP, serta perluasan basis wajib pajak kaya yang betul-betul masuk ke tarif 35%.

“Data menunjukkan kesenjangan pajak semakin melebar. Jika tidak segera diatasi, keadilan pajak hanya akan jadi slogan,” tegasnya. (bl)

Di FGD Pasca Sarjana UPH, Ketum IKPI Vaudy Starworld Soroti Pentingnya Konsentrasi Hukum Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa penguatan kepastian hukum di sektor perpajakan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan konsultan pajak yang berkompeten dan berlandaskan keilmuan hukum. Hal itu ia sampaikan saat menjadi panelis pada Focus Group Discussion (FGD) “Tuntutan Konsentrasi Hukum Pajak pada Magister Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH)” yang digelar di Kampus Pascasarjana UPH, Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (28/11/2025).  

FGD ini merupakan bagian dari persiapan pembentukan konsentrasi Hukum Pajak pada Program Magister Hukum UPH, yang dijadwalkan mulai dibuka pada Semester Ganjil 2026/2027. Upaya ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya kebutuhan SDM profesional yang mampu memahami aspek hukum perpajakan secara mendalam di tengah kompleksitas regulasi dan digitalisasi sistem perpajakan.  

Dalam paparannya berjudul “Urgensi Konsultan Pajak dalam Menciptakan Prinsip Kepastian Hukum Sektor Perpajakan”, Vaudy menekankan bahwa konsultan pajak bukan hanya profesi teknis, tetapi juga bagian dari ekosistem penegakan hukum di Indonesia.

(Foto: Istimewa)

“Kepastian hukum dalam perpajakan tidak hanya terletak pada regulasi dan sistem administrasinya, tetapi juga pada kualitas konsultan pajak. Mereka harus memahami dasar ilmu hukum agar mampu memberi pendampingan, pertimbangan profesional, hingga pembelaan ketika terjadi sengketa,” ujarnya.

Menurutnya, integrasi data melalui Coretax, pemadanan NIK sebagai NPWP, serta penggunaan forensik digital menuntut kompetensi konsultan pajak yang lebih kuat agar wajib pajak memperoleh hak, kepastian, dan rasa keadilan.  

FGD ini menghadirkan tiga panelis utama:

  1. Dr. Hadi Poernomo, Anggota Kehormatan IKPI serta mantan Ketua BPK dan Penasehat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara, yang memaparkan Prinsip Kepastian Hukum dan Keadilan pada Sektor Perpajakan. 
  2. Vaudy Starworld, Ketua Umum IKPI, dengan tema Urgensi Konsultan Pajak dalam Menciptakan Prinsip Kepastian Hukum Sektor Perpajakan.
  3. Associate Professor. Edy Gunawan,  dosen tetap program Pascasarjana dan Doktoral UPH sekaligus Sekretaris Umum IKPI, yang menyampaikan materi berjudul Kebijakan Perpajakan dan Proses Penyelesaian Sengketa Pajak yang Berkeadilan.  

Diskusi berlangsung intensif, terutama ketika para panelis membedah isu tax gap, efektivitas reformasi perpajakan, hingga tantangan harmonisasi regulasi untuk menciptakan sistem perpajakan yang stabil, adil, dan berkelanjutan.  

UPH Mantapkan Pembentukan Konsentrasi Hukum Pajak

FGD juga menjadi wadah untuk menghimpun masukan dari praktisi dan akademisi terkait struktur kurikulum, penamaan mata kuliah, serta proyeksi kebutuhan pasar terhadap lulusan konsentrasi Hukum Pajak. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama strategis antara UPH dan IKPI dalam meningkatkan kualitas pendidikan hukum dan perpajakan di Indonesia.  

Program Magister Hukum UPH yang telah meraih akreditasi Unggul dari BAN-PT pada 2025 optimistis bahwa konsentrasi ini akan melahirkan tenaga ahli dengan perpaduan keilmuan hukum dan perpajakan yang relevan dengan kebutuhan nasional. (bl)

IKPI Kabupaten Bekasi Gelar Seminar Transformasi Coretax dan AI, Antusiasme Puluhan Peserta Umum Terlihat

IKPI, Kabupaten Bekasi: IKPI Kabupaten Bekasi menggelar seminar bertema “Perubahan Besar dalam Pelaporan Tahunan dengan Coretax dan Peran AI dalam Perpajakan” di Hotel Java Palace, Kabupaten Bekasi, Kamis (27/11/2025). Acara yang dihadiri peserta dari berbagai wilayah, terdiri dari perwakilan 31 cabang IKPI Kabupaten Bekasi, 3 cabang Bogor, 1 cabang Jakarta, serta 20 peserta umum yang menunjukkan minat dan antusiasme tinggi terhadap perkembangan terbaru dunia perpajakan.

Ketua IKPI Kabupaten Bekasi, Asep Ardiansyah Y, menyampaikan rasa syukur sekaligus kebanggaan atas tingginya partisipasi peserta yang hadir.

Ia menekankan bahwa seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) ini tidak hanya menjadi ajang berbagi wawasan terkait Coretax dan peran kecerdasan buatan, tetapi juga merupakan momentum penting yang menegaskan posisi IKPI sebagai organisasi yang aktif merespons perubahan di sektor perpajakan.

Dikatakan Asep, seminar ini berjalan dinamis dengan interaksi aktif antara peserta dari berbagai latar belakang mulai dari praktisi pajak, pelaku usaha, peserta umum dengan narasumber seminar yang ingin memahami lebih dalam arah baru sistem perpajakan nasional.

Ia berharap, seminar ini bukan hanya simbol seremonial, tetapi juga ruang belajar yang produktif bagi seluruh peserta. Antusiasme terlihat dari tingginya partisipasi tanya jawab sepanjang sesi berlangsung.

Melalui kegiatan ini, IKPI Kabupaten Bekasi kembali menegaskan komitmennya untuk menjadi wadah edukasi, kolaborasi, sekaligus motor penggerak literasi perpajakan di tengah transformasi digital yang terus berkembang. (bl)

DJP Apresiasi Peran Strategis IKPI, Ajak Perkuat Kolaborasi dalam Survei Efektivitas Peraturan 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggelar Sharing Session Peraturan Perpajakan dalam rangka Survei Efektivitas Peraturan Perpajakan Tahun 2025 serta dialog khusus terkait Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 mengenai tindak lanjut atas data konkret. Acara berlangsung secara hybrid dari Kantor Pusat DJP dan melalui Zoom Meeting, Rabu (26/11/2025), dengan antusiasme tinggi lebih dari 400 anggota IKPI yang mengikuti secara daring.

Dalam sambutannya, Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, Heri Kuswanto, menyampaikan apresiasi mendalam kepada IKPI. Ia menegaskan bahwa IKPI merupakan asosiasi konsultan pajak terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, dengan peranan yang tidak tergantikan dalam ekosistem perpajakan nasional.

Peran IKPI untuk Administrasi Pajak

Heri menyebut IKPI telah berkontribusi besar dalam memperkuat fondasi kepatuhan dan hubungan antara negara dan Wajib Pajak melalui peran-peran penting seperti:

• mendukung administrasi perpajakan,

• memberikan edukasi berkelanjutan kepada Wajib Pajak,

• menjaga kualitas kepatuhan, serta

• menjadi jembatan komunikasi antara otoritas pajak dan masyarakat.

Menurutnya, IKPI memiliki kemampuan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban Wajib Pajak sehingga terbangun sistem perpajakan yang semakin adil, efisien, dan akuntabel.

Heri menekankan bahwa efektivitas regulasi sangat bergantung pada keterlibatan para pemangku kepentingan, termasuk konsultan pajak. Karena itu, ia mendorong partisipasi aktif IKPI dalam Survei Efektivitas Peraturan Tahun 2025, yang menjadi instrumen penting bagi DJP dalam mengevaluasi dan menyempurnakan kebijakan perpajakan.

Selain itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya dialog mendalam mengenai PER-18/PJ/2025, terutama terkait mekanisme tindak lanjut data konkret. Ia berharap sinergi ini membuat pemahaman terhadap regulasi semakin seragam dan implementasinya lebih optimal.

“Semoga IKPI semakin aktif, semakin dinamis, dan terus menjadi mitra strategis DJP dalam mewujudkan administrasi perpajakan yang modern dan terpercaya,” ungkap Heri. 

Ia juga berharap agar IKPI dapat terus memberi kontribusi terbaik bagi bangsa.

Dari IKPI, sejumlah pengurus hadir dalam kegiatan ini, antara lain:

1. Ketua Departemen Humas, Jemmi Sutiono

2. Ketua Departemen KKSO, Rusmadi

3. Ketua Departemen PPL, Benny Wibowo

4. Wakil Ketua Departemen Humas, Ronsianus B Daur

5. Ketua Bidang Pengembangan Teknologi, Aplikasi, dan Informasi, Welvin I Guna

6. Anggota Departemen Kemitraan Organisasi dan Kelembagaan Pemerintah, Budi Prasongko (bl)

Penerimaan Pajak Jatim II Tembus Rp19,11 Triliun, DJP Genjot Kepatuhan dan Edukasi Coretax

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp19,11 triliun hingga 31 Oktober 2025. Angka tersebut setara 65,17 persen dari target penerimaan tahun 2025 yang dipatok Rp29,32 triliun.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Kindy Rinaldy Syahrir, mengungkapkan capaian tersebut menunjukkan tren positif, sekalipun tingkat kepatuhan wajib pajak masih perlu terus digenjot.

“Penerimaan pajak di wilayah Kanwil DJP Jatim II hingga 31 Oktober sebesar Rp19,41 triliun dari target Rp29,32 triliun pada 2025,” ujar Kindy dalam Media Gathering dan Media Briefing 2025, dikutip Rabu (26/11/2025)

Ia menambahkan, hingga akhir tahun Kanwil Jatim II masih membutuhkan tambahan penerimaan sebesar Rp10,209 triliun atau 34,83 persen untuk memenuhi target tahunan.

Kontribusi Jatim dan Nasional

Dalam paparannya, Kindy juga membeberkan bahwa total penerimaan pajak seluruh wilayah Jawa Timur mencapai Rp82,17 triliun. Sementara penerimaan pajak nasional tercatat Rp1.459,03 triliun atau 66,6 persen dari target APBN 2025.

Ia menegaskan peran vital penerimaan pajak terhadap APBN, yang tahun ini menopang 72,84 persen belanja negara dan diproyeksikan meningkat menjadi 74,9 persen pada 2026.

“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk semakin sadar pajak. Setiap rupiah pajak kembali kepada rakyat melalui pembangunan dan penyediaan layanan publik,” kata Kindy.

Kindy turut menyoroti perkembangan penyampaian SPT Tahunan per Oktober 2025. Seiring implementasi penuh Coretax Administration System, mulai tahun 2026 pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 dilakukan melalui aplikasi Coretax.

Sistem baru ini diproyeksikan menghadirkan administrasi perpajakan yang lebih cepat, akurat, dan terintegrasi, namun juga menuntut peningkatan literasi digital masyarakat.

Untuk itu, sejak 1 Oktober hingga 21 November 2025, Kanwil DJP Jatim II telah menggelar 345 kelas edukasi pengisian SPT di 18 kabupaten/kota. Sebanyak 14.932 wajib pajak diundang dan 11.660 hadir mengikuti pendampingan.

Penipuan Berkedok Pajak

Di akhir paparannya, Kindy mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap maraknya penipuan yang mengatasnamakan petugas pajak. Wajib pajak diminta tidak membagikan kode OTP, data pribadi, maupun mentransfer dana ke rekening individu.

“Seluruh layanan DJP hanya menggunakan kanal resmi dan tidak pernah meminta informasi sensitif yang bersifat rahasia,” tegasnya.

Dengan sisa waktu dua bulan menuju akhir tahun, DJP Jatim II optimistis realisasi penerimaan dapat terus didorong, baik melalui penguatan kepatuhan, optimalisasi pengawasan, maupun edukasi Coretax kepada masyarakat. (alf)

DJP Ungkap 463 Wajib Pajak Terindikasi Gunakan Modus Penghindaran

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali menguak temuan besar terkait dugaan penghindaran pajak oleh ratusan wajib pajak. Setelah penelusuran lanjutan, jumlah entitas yang dicurigai terlibat melonjak menjadi 463 wajib pajak.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebutkan bahwa temuan terbaru ini memperluas identifikasi terhadap wajib pajak yang diduga melakukan rekayasa transaksi untuk mengurangi kewajiban perpajakan mereka.

“Awalnya 282 wajib pajak yang terdeteksi. Setelah pendalaman, dugaan meningkat menjadi 463 wajib pajak. Ini masih dugaan, tetap kita menjunjung presumption of innocence,” ujar Bimo dalam Media Gathering di Bali, dikutip Selasa (25/11/2025).

Modus-Modus Penghindaran 

DJP mengidentifikasi sejumlah skema yang diduga digunakan oleh para wajib pajak, di antaranya:

• penghindaran pungutan ekspor,

• pengabaian kewajiban domestic market obligation (DMO),

• penundaan atau pengelakan pajak dalam negeri,

• indikasi praktik dividen terselubung.

Temuan ini memperluas laporan sebelumnya, ketika DJP mengidentifikasi 282 wajib pajak yang diduga memanipulasi nilai ekspor, terdiri atas:

• 257 wajib pajak dengan modus POME (periode 2021–2024) dengan nilai PEB Rp 45,9 triliun, serta

• 25 wajib pajak dengan modus Fatty Matter sepanjang 2025 dengan nilai PEB Rp 2,08 triliun.

Akibat praktik underinvoicing Fatty Matter, DJP menghitung potensi kerugian negara pada 2025 mencapai Rp 140 miliar. Anomali ini awalnya terdeteksi dari lonjakan ekspor Fatty Matter ke Tiongkok yang tidak sebanding dengan nilai pelaporan.

Empat perusahaan mulai diperiksa

Sebagai langkah pendalaman, DJP kini melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terhadap:

• PT MMS,

• PT LPMS,

• PT LPMT, dan

• PT SUNN.

Pemeriksaan berlangsung untuk memastikan kebenaran nilai transaksi dan kepatuhan perpajakan perusahaan-perusahaan tersebut. Hasilnya akan menjadi dasar untuk menentukan apakah kasus akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Penegakan hukum multi-lembaga

Bimo menegaskan bahwa DJP menerapkan pendekatan multi-door dalam penanganan kasus, dengan menggandeng:

• Satgassus OPN Polri,

• Kejaksaan Agung, dan

• Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Tujuan akhirnya bukan hanya pemulihan kerugian negara, tetapi juga memastikan adanya efek jera agar praktik ini tidak berulang,” tegas Bimo. (alf)

GMT Berlaku Penuh 2026, DJP Pastikan Pajak Minimum Global Ubah Peta Insentif Investasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan implementasi kebijakan Pajak Minimum Global atau Global Minimum Tax (GMT) akan berlaku penuh di Indonesia mulai 2026. Kepastian ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (24/11/2025).

Penerapan GMT mengacu pada PMK Nomor 136 Tahun 2024, yang telah mengatur kerangka dasar kebijakan. Namun, aturan teknis mengenai administrasi dan tata cara pelaporan GMT masih difinalisasi DJP dan ditargetkan rampung tahun ini.

Indonesia akan menerapkan top up tax terhadap perusahaan multinasional (PMN/MNE) dengan peredaran bruto konsolidasi minimal 750 juta euro yang membayar pajak di yurisdiksi tempat beroperasi kurang dari tarif minimum 15%.

“Untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up tax dilakukan paling lambat 31 Desember 2026,” ujar Bimo.

Skema pemajakan GMT akan dijalankan melalui tiga instrumen utama:

Income Inclusion Rules (IIR) Membebankan pajak tambahan di level induk grup jika entitas anak membayar pajak di bawah 15%

Qualified Domestic Minimum Top Up Tax (QDMTT) Memastikan pajak minimum 15% dibayarkan di negara tempat entitas beroperasi

Undertaxed Payment Rules (UTPR) Dikenakan jika negara induk tidak menerapkan IIR, pajak tambahan dialokasikan ke yurisdiksi lain

Tahapan Implementasi GMT

Bimo merinci peta jalan implementasi GMT di Indonesia:

Tahun Agenda

2025 Perhitungan IIR & QDMTT mulai berlaku, sosialisasi ke wajib pajak & fiskus, penyiapan infrastruktur IT, finalisasi aturan teknis, persiapan exchange of information (EOI)

2026 UTPR mulai berlaku dan pembayaran pajak minimum global untuk tahun pajak 2025 dimulai

2027 Pengiriman GloBE Information Return (GIR), notifikasi entitas konstituen, penyampaian SPT GloBE, implementasi EOI

2028 Risk assessment serta pertukaran GIR dan notifikasi antarnegara yang mengadopsi GMT

Bimo mengakui pemberlakuan GMT akan memengaruhi efektivitas insentif pajak, khususnya bagi perusahaan yang masuk cakupan GloBE. Namun, perusahaan multinasional di luar cakupan GMT tidak akan terdampak.

GMT juga diprediksi mengubah pola kompetisi negara dalam menarik investasi. Jika sebelumnya negara berlomba menawarkan tax holiday atau tax allowance, ke depan persaingan lebih condong menjadi refund­able tax credit.

Bimo memberi contoh, bila perusahaan penerima tax holiday di Indonesia menikmati tarif pajak efektif 5%, negara induk dapat mengenakan pajak tambahan 10% sehingga total tetap mencapai 15% sesuai standar GMT.

“Perusahaan tetap membayar 15% pajak secara total. Akibatnya, tax holiday menjadi tidak lagi menarik bagi MNE sebagai strategi penarikan investasi,” tegasnya.

Dengan begitu, strategi insentif pajak global akan bergerak ke arah kompensasi fiskal yang bersifat refundable, bukan lagi pengurangan tarif yang mengurangi efektivitas pemungutan pajak. (alf)

DPR Ingatkan Keberhasil Target Ekonomi 2026 Ditentukan oleh Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, memberikan sejumlah catatan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di tengah optimisme pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun 2026. Ia menilai, keberhasilan target tersebut sangat ditentukan oleh kebijakan fiskal yang akan dijalankan tahun depan.

Harris mengingatkan bahwa fiskal menjadi penopang utama perekonomian, terlebih dengan skala APBN 2026 yang mencapai Rp 3.800 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.300 triliun angka yang menurutnya tidak kecil jika dibandingkan dengan estimasi penerimaan tahun ini yang hanya Rp 2.050 triliun.

“Ini angka yang sangat besar. Tantangannya bukan sekadar menutup gap, tapi memastikan fiskal benar-benar kuat menopang pertumbuhan ekonomi 5,4%,” ujarnya.

Harris turut menyoroti capaian penerimaan pajak di bawah kepemimpinan Purbaya selama dua bulan terakhir. Ia membeberkan bahwa hingga Oktober, realisasi penerimaan pajak masih tertinggal sekitar 4,4% atau setara Rp 38 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu.

“Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Pak Purbaya. Target pajak tahun depan Rp 2.300 triliun, minimal harus sama seperti target tahun ini,” tegasnya.

Cukai dan Likuiditas Perbankan 

Selain perpajakan, Harris juga menekankan pentingnya menjaga proyeksi kenaikan penerimaan cukai pada 2026. Menurutnya, pemerintah harus mengamankan potensi tersebut untuk memperkuat ruang fiskal yang mendukung target pertumbuhan ekonomi.

Tak hanya itu, ia menyoroti realisasi penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke lima bank BUMN—BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia. Penempatan dana tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan kredit.

“Memang ada sedikit penurunan suku bunga deposito, tapi persoalannya belum diikuti penurunan suku bunga kredit,” kata Harris.

“Dengan likuiditas yang meningkat, seharusnya penciptaan kredit baru bisa lebih agresif.”

Harris menegaskan bahwa Purbaya harus bekerja lebih cepat dan tepat agar kebijakan fiskal 2026 dapat berjalan efektif. Menurutnya, ketepatan dalam mengelola penerimaan, belanja, dan likuiditas akan sangat menentukan tercapai atau tidaknya target pertumbuhan ekonomi 5,4%.

“Fondasi pertumbuhan tahun depan ada di fiskal. Kalau fiskalnya kuat, target bisa dikejar,” tandasnya. (alf)

en_US