DJP Siap Terapkan Standar Baru OECD, Akses Informasi Keuangan Kini Mencakup E-Money dan Mata Uang Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan akan mulai mengimplementasikan Amendments to the Common Reporting Standard (Amended CRS) yang diterbitkan oleh OECD, sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan secara internasional (Automatic Exchange of Information / AEOI).

Langkah ini ditegaskan melalui Pengumuman Nomor PENG-3/PJ/2025 yang dirilis DJP pada Oktober 2025. Indonesia akan mulai melaksanakan pertukaran data berdasarkan Amended CRS untuk tahun data 2026, yang akan dipertukarkan secara internasional pada tahun 2027.

“Penandatanganan Addendum to the CRS Multilateral Competent Authority Agreement (CRS MCAA) oleh Direktur Jenderal Pajak pada 19 November 2024 merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam memperkuat transparansi keuangan global,” demikian pernyataan resmi DJP, dikutip Jumat (31/10/2025)

Cakupan Informasi Kini Lebih Luas

Dalam Amended CRS, cakupan rekening keuangan yang dilaporkan akan diperluas. Tidak hanya mencakup rekening bank dan produk keuangan tradisional, tetapi juga meliputi:

1. Produk uang elektronik tertentu (Specified Electronic Money Products);

2. Mata uang digital bank sentral (Central Bank Digital Currencies / CBDC).

Perluasan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi finansial global yang semakin beragam dan kompleks. OECD menilai, aset digital kini berpotensi besar menjadi sarana penyimpanan nilai dan investasi, sehingga perlu dimasukkan dalam sistem pelaporan otomatis antarnegara.

Mencegah Duplikasi dengan Pelaporan Aset Kripto

Selain perluasan cakupan, DJP juga menyebutkan bahwa Amended CRS akan mengatur mekanisme pencegahan duplikasi pelaporan antara AEOI CRS dan kerangka pelaporan aset kripto (Crypto-Asset Reporting Framework / CARF). Hal ini penting agar lembaga keuangan tidak terbebani kewajiban pelaporan ganda atas data yang sama.

Beberapa pembaruan teknis juga disiapkan, antara lain:

• Penguatan prosedur identifikasi rekening keuangan;

• Penambahan jenis rekening yang dikecualikan dari pelaporan;

• Penambahan detail informasi pelaporan seperti status self-certification nasabah, peran pemegang penyertaan, klasifikasi rekening lama/baru, hingga jumlah pemegang rekening bersama (joint account);

• Penyesuaian format laporan sesuai Amended CRS XML Schema: User Guide for Tax Administrations dari OECD.

DJP menyampaikan bahwa saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) sebagai pengganti PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Akses Informasi Keuangan, yang terakhir diubah melalui PMK Nomor 47/PMK.03/2024. RPMK tersebut akan menjadi dasar hukum pelaksanaan Amended CRS di Indonesia.

Melalui pengumuman ini, DJP memberikan waktu yang cukup bagi Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, serta entitas pelapor lainnya untuk melakukan identifikasi dan penyesuaian sistem pelaporan mereka sebelum aturan mulai berlaku penuh.

“Kami berharap pengumuman ini dapat menjadi pedoman awal bagi seluruh lembaga keuangan untuk mempersiapkan infrastruktur dan pemahaman teknis yang diperlukan,” tulis DJP dalam penutup pengumuman.

Implementasi Amended CRS diharapkan memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama global melawan penghindaran pajak lintas negara, sekaligus memperluas kemampuan otoritas pajak dalam memantau aset keuangan wajib pajak, baik konvensional maupun digital. (bl)

IKPI Pengda DKJ Jalin Silaturahmi ke KPP Migas, Bahas Tata Kelola dan Joint Audit Sektor Hulu

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Khusus Jakarta (Pengda DKJ) bersama jajaran pengurus cabang di lingkungannya menggelar silaturahmi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Migas, Rabu (29/10/2025). Kegiatan ini menjadi ajang penting untuk memperkuat sinergi antara konsultan pajak dan otoritas pajak, khususnya di sektor strategis minyak dan gas bumi.

Rombongan IKPI yang tiba tepat pukul 10.10 WIB diterima langsung Kepala KPP Migas, Luky Priyanto, beserta para kepala seksi dan supervisor fungsional pemeriksa. Dalam pertemuan tersebut, Luky memaparkan tata kelola pertanggungjawaban keuangan wajib pajak migas yang memiliki karakteristik berbeda dibanding wajib pajak lainnya.

Menurut Luky, wajib pajak yang dapat terdaftar di KPP Migas adalah mereka yang memiliki blok migas serta kontrak bagi hasil (production sharing contract). Penunjukan wajib pajak tersebut dilakukan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP Dirjen). Ia juga menjelaskan bahwa Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang terdaftar di KPP Migas meliputi dua kelompok besar, yaitu usaha migas dan jasa penunjang migas, dengan total sekitar 1.200 wajib pajak yang terdaftar.

Selain itu, Luky turut mengungkapkan bahwa sejak tahun 2018 telah dibentuk Satuan Tugas Pemeriksaan Bersama (Joint Audit Task Force) yang terdiri atas KPP Migas, SKK Migas, dan BPKP. Tim ini berfokus pada pengawasan pelaksanaan kontrak, mekanisme bagi hasil, dan cost recovery untuk memastikan transparansi serta akuntabilitas fiskal di sektor hulu migas.

Lebih lanjut, Luky menjelaskan bahwa setiap wajib pajak K3S diwajibkan untuk melampirkan laporan keuangan triwulan keempat (Financial Quarter 4) dalam SPT Tahunan, khususnya bagi wajib pajak yang terikat kontrak bagi hasil.

Sementara itu, Ketua IKPI Pengda DKJ, Tan Alim, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen IKPI dalam membangun komunikasi aktif dan kolaboratif dengan otoritas pajak. “Melalui silaturahmi seperti ini, anggota IKPI dapat memperdalam pemahaman terhadap tata kelola perpajakan sektor migas yang kompleks. Hal ini penting agar konsultan pajak dapat memberikan layanan profesional sekaligus mendukung kebijakan fiskal nasional,” ujar Tan Alim.

Tan Alim juga menambahkan bahwa sektor migas memiliki sistem perpajakan yang sangat spesifik sehingga membutuhkan kompetensi dan pembaruan pengetahuan yang berkelanjutan. “Kami ingin memastikan bahwa para konsultan pajak IKPI senantiasa memahami dinamika regulasi di sektor strategis seperti migas ini,” tambahnya.

Dalam kunjungan tersebut, IKPI Pengda DKJ diwakili oleh:

1. Tan Alim (ketua)

2. Hery Juwana (Humas)

3. Chamdun M.

4. Esty Aryani

5. Kosasih

Sedangkan dari pengurus cabang di lingkungan Pengda DKJ turut hadir:

    1. Franky Foreson (Ketua IKPI Cabang Jakarta Utara) 

    2. Suryani (Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat)

    3. Sustiwi (Bendahara IKPI Cabang Jakarta Timur)

    4. Santoso Aliwarga (Sekretaris IKPI Cabang Jakarta Pusat)

    5. Wiwik Budiarti (Seksi PPL IKPI Cabang Jakarta Barat)

    6. Yustinus Taruna (Seksi PPL IKPI Cabang Jakarta Barat)

    7. Herry Purwanto (Seksi PPL IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Tan Alim menegaskan bahwa IKPI DKJ akan terus memperkuat hubungan sinergis dengan otoritas pajak, guna mendorong terciptanya profesionalisme, kepatuhan, dan integritas tinggi dalam praktik perpajakan nasional. (bl)

IKPI Depok Jadi Pelopor Aktivasi Akun Coretax, Waketum Nuryadin: Konsultan Pajak Harus Jadi yang Terdepan

IKPI, Depok: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok kembali menunjukkan kiprahnya sebagai cabang yang inovatif dan responsif terhadap perkembangan kebijakan perpajakan nasional. Bersama Kantor Wilayah DJP Jawa Barat III, KPP Pratama Depok Sawangan, dan KPP Pratama Depok Cimanggis, IKPI Depok menggelar Sosialisasi dan Asistensi Aktivasi Akun & Kode Otorisasi/Sertifikat Digital Coretax Wajib Pajak (UMKM & Koperasi Kota Depok) di D’Mall, Kamis (30/10/2025).

Acara dibuka dengan sambutan Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman, mewakili Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld yang berhalangan hadir.  

Ia mengapresiasi langkah cepat IKPI Cabang Depok dalam membantu masyarakat memahami sistem pajak digital terbaru. “Saya pantau di pusat, belum ada cabang lain yang melaksanakan kegiatan aktivasi akun Coretax seperti ini. IKPI Depok selalu jadi pelopor, dan hasil kegiatannya sering jadi inspirasi di tingkat nasional,” ujar Nuryadin.

Menurutnya, kegiatan ini penting untuk mendorong kesiapan para konsultan pajak menghadapi implementasi penuh sistem Coretax. “Kami harapkan seluruh anggota IKPI yang jumlahnya lebih dari 7.600 orang di seluruh Indonesia — menjadi yang pertama mengaktifkan akunnya. Jangan sampai nanti Januari atau Februari justru ikut antre dengan wajib pajak,” tegasnya.

Nuryadin juga menyoroti berbagai program edukatif yang selama ini dijalankan oleh IKPI Cabang Depok, mulai dari Tax Corner di pusat perbelanjaan hingga Bincang Pajak daring yang membahas aturan baru secara rutin.

“Tax Corner itu luar biasa. Bapaknya lapor SPT, ibunya belanja, anaknya main. Lapor pajak jadi terasa menyenangkan,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsultan pajak memiliki peran penting sebagai intermediary antara wajib pajak dan otoritas pajak. “Kita berada di tengah. Tugas kita bukan hanya mendampingi klien, tapi juga membantu pemerintah meningkatkan kepatuhan pajak. Karena lebih dari 80 persen pendapatan negara berasal dari pajak, maka kontribusi IKPI harus terasa nyata bagi Nusa dan Bangsa,” tutupnya.

Sekadar informasi, kegiatan ini turut dihadiri oleh sejumlah pejabat daerah dan instansi terkait, antara lain:

  1. Hendra Damanik, Ketua IKPI Cabang Depok beserta jajaran pengurus cabang.
  2. Chairuddin Umsohi, Kepala KPP Pratama Depok Sawangan.
  3. Agung Sugiharti, Staf Ahli Bidang Ekonomi Pemkot Depok, mewakili Wali Kota.
  4. Yati Sumiati, Kepala Bidang Pemberdayaan Usaha Mikro, Dinas Koperasi dan UKM Kota Depok.

Acara yang berlangsung di D’Mall Depok ini diikuti dengan antusias oleh para pelaku UMKM dan koperasi. Melalui kegiatan ini, IKPI Depok berharap semakin banyak wajib pajak yang memahami pentingnya aktivasi akun Coretax dan pelaporan pajak digital secara mandiri.

Kegiatan ini juga menghadirkan sejumlah penyuluh dan relawan pajak dari  Kanwil DJP Jabar 3, KPP Depok Cimanggis, dan STIE BMI. Mereka membantu melayani para pelaku UMKM yang hadir untuk melakukan aktivasi akun Coretax. (bl)

Kuliah Umum MAKSI FEB UGM: Ketum IKPI Paparkan Peran Strategis Konsultan Pajak di Era Kepatuhan Sukarela

IKPI, DIY: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan bahwa profesi konsultan pajak memegang peran strategis dalam menjaga ekosistem perpajakan yang berkeadilan sekaligus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Hal itu disampaikan Vaudy dalam kuliah umum di Program Magister Akuntansi (MAKSI) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa, 29 Oktober 2025.

Dalam paparannya, Vaudy menjelaskan bahwa konsultan pajak saat ini sudah beralih dari administrator perpajakan menjadi pemberi nasihat perpajakan, bahkan dengan otoritas perpajakan konsultan pajak telah juga mitra pemerintah dalam mewujudkan peningkatan penerimaan negara, kepastian hukum dan keadilan fiskal.

“Profesi ini menuntut integritas, kompetensi, dan tanggung jawab tinggi karena berkaitan langsung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan masyarakat, di satu sisi sebagai pihak yang harus cinta tanah air yaitu bagian dari pihak yang menentukan penerimaan negara,” ujar Vaudy.

Menurutnya, seorang konsultan pajak wajib memiliki izin praktik yang diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Izin ini terbagi menjadi tiga tingkat:

• Tingkat A untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, termasuk yang berdomisili di negara dengan P3B (perjanjian penghindaran pajak berganda);

• Tingkat B untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan, kecuali orang asing, PM, dan BUT;

• Tingkat C untuk seluruh Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan termasuk orang asing, PMA, dan BUT.

Izin praktik tersebut hanya dapat diperoleh setelah seseorang memiliki Sertifikat Konsultan Pajak (SKP) melalui Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) atau penyetaraan kompetensi, dan menjadi anggota asosiasi profesi konsultan pajak yang diakui pemerintah, seperti IKPI.

Membangun Generasi Konsultan Pajak Baru

Melalui kuliah umum di dua kampus ternama itu, Vaudy mengajak mahasiswa S2 dan S3 untuk memandang profesi konsultan pajak sebagai karier profesional yang menjanjikan sekaligus berkontribusi langsung terhadap pembangunan nasional.

“Dengan pemahaman yang baik dan kompetensi yang terukur, lulusan akuntansi dan perpajakan bisa menjadi konsultan pajak profesional baik membuka kantor sendiri, bergabung dengan firma nasional atau global, maupun bekerja di sektor korporasi dan akademik,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya penerapan empat standar utama dalam profesi konsultan pajak:

1. Standar Kompetensi,

2. Standar Kode Etik,

3. Standar Profesi, dan

4. Standar Pengendalian Mutu.

“Profesi konsultan pajak bukan hanya soal menghitung pajak, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan etika dalam mendampingi wajib pajak,” tambah Vaudy.

Pasa kesempatan itu, Vaudy juga menceritakan IKPI yang telah berdiri sejak 27 Agustus 1965 atas prakarsa J. Sopaheluwakan, Drs. A. Rahmat Abdisa, Erwin Halim, A.J.L. Loing, dan Drs. Hidayat Saleh. Organisasi ini kini menaungi 7.635 anggota yang tersebar di 13 Pengurus Daerah (Pengda) dan 46 Pengurus Cabang (Pengcab) di seluruh Indonesia.

Dari jumlah tersebut, 6.903 anggota atau 88,67% telah memiliki izin praktik aktif. IKPI memiliki misi menjaga martabat profesi, mengawal pelaksanaan peraturan perpajakan agar adil dan pasti, serta mempererat solidaritas antaranggota.

Selain pelatihan dan sertifikasi, IKPI juga aktif bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pemerintah dalam riset serta edukasi perpajakan bagi masyarakat.

Dalam penutup kuliahnya, Vaudy menegaskan bahwa sistem perpajakan modern menuntut ekosistem yang adil, efisien, dan ramah pengguna. Di sinilah peran konsultan pajak menjadi penting mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dan memperkuat penerimaan pajak negara.

“Ekosistem pajak yang berkeadilan hanya bisa terwujud jika semua pihak—pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan profesi berjalan seimbang. IKPI berkomitmen terus menjadi jembatan antara wajib pajak dan otoritas untuk menciptakan sistem perpajakan yang transparan dan berintegritas,” tutup Vaudy.

Sekadar informasi, dalam kuliah umum ini IKPI menghadirkan dua pemateri yakni Ketua Umum Vaudy Starworld dan Ketua Departemen Humas Jemmi Sutiono. Hadir juga sebagai host, Ketua IKPI Cabang Sleman Hersona Bangun (bl)

CELIOS Ingatkan Risiko ‘Jebakan Utang’ di Balik Skema Pinjaman Pemerintah ke Daerah

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan skema pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda) siap digulirkan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut total dana yang disiapkan mencapai Rp240 triliun, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat.

“Itu totalnya nanti kalau semuanya siap, kami siapkan Rp240 triliun, tergantung kesiapan kerja sama. Jadi uangnya cukup,” ujar Purbaya kepada wartawan di Jakarta, Senin (27/10/2025).

Ia menjelaskan, skema ini ditujukan untuk mendorong percepatan belanja daerah agar ekonomi bergerak lebih cepat. “Kalau sektor riil berjalan bagus, seharusnya tax ratio bisa naik hampir setengah sampai satu persen, berkaitan dengan minimal Rp100 triliun,” tambahnya.

Namun di sisi lain, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai kebijakan tersebut kontradiktif dengan semangat efisiensi anggaran. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai kebijakan itu berisiko menjerumuskan daerah ke dalam jebakan utang baru.

“Banyak pemda yang tahun depan akan mengalami pemotongan transfer ke daerah (TKD) sebesar 24,7 persen. Saat mereka sedang kesulitan membiayai kebutuhan dasar, malah ditawari pinjaman. Ini jelas jebakan utang,” tegas Bhima.

Kekhawatiran serupa diungkap Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi, yang menilai pinjaman ini dapat mendorong pemda mencari tambahan pemasukan melalui kenaikan pajak dan retribusi daerah. “Risikonya, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, bahkan pajak konsumsi bisa naik. Dan beban itu ditanggung kelas menengah yang ekonominya sedang berat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai pinjaman berbasis utang justru membuat perencanaan keuangan daerah tidak berkelanjutan. “Apalagi ada syarat pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di tahun berikutnya. Akhirnya, sistem penganggaran daerah jadi tidak sustain,” katanya.

Kritik ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat, yang memungkinkan pemda, BUMN, dan BUMD berutang ke pemerintah pusat.

Dalam beleid tersebut ditegaskan bahwa pemberian pinjaman harus berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan kehati-hatian. Meski begitu, CELIOS mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada semangat percepatan belanja tanpa memperhatikan kapasitas fiskal daerah.

“Kalau tidak diatur dengan hati-hati, yang akan terbebani justru masyarakat, karena APBD daerah tersedot untuk cicilan utang, sementara layanan publik bisa terpangkas,” tutup Bhima. (alf)

Ekonom: Penurunan PPN 1 Persen Jadi Sinyal Negara Kembalikan Napas Konsumsi Rakyat

IKPI, Jakarta: Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai rencana pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen pada tahun 2026 merupakan langkah strategis untuk menghidupkan kembali daya beli masyarakat. Menurutnya, kebijakan kecil namun terukur ini bisa menjadi sinyal perubahan arah fiskal menuju ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat.

“Kita tidak perlu terburu-buru memotong pajak hingga 4 persen. Cukup satu langkah kecil yang konsisten. Penurunan 1 persen PPN di tahun depan bisa menjadi sinyal bahwa negara ingin mengembalikan napas konsumsi rakyat — fondasi sejati pertumbuhan Indonesia,” ujar Fakhrul di Jakarta, Kamis (30/10/2025).

Ia menilai selama satu dekade terakhir, kebijakan perpajakan nasional cenderung menekan konsumsi masyarakat, sementara perusahaan besar justru menikmati insentif melalui penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Ketidakseimbangan ini, lanjutnya, membuat ekonomi domestik tampak stabil di permukaan namun rapuh di akar, karena daya beli masyarakat terus terkikis.

“Kita sudah hidup terlalu lama dalam arus yang salah. Kenaikan PPN membunuh daya beli, mengurangi uang yang berputar di masyarakat. Sekarang sudah saatnya kita putar balik,” tegasnya.

Fakhrul menyoroti kebijakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang menaikkan tarif PPN namun menurunkan PPh Badan beberapa tahun lalu. Kombinasi tersebut, kata dia, menurunkan rasio pajak dan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan nasional.

Ia menegaskan, penurunan PPN bukan sekadar persoalan angka, melainkan simbol perubahan arah kebijakan fiskal yang lebih adil dan berpihak kepada masyarakat kecil. Menurutnya, konsumsi rakyat adalah penopang utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Rakyat tidak keberatan membayar pajak jika merasa uangnya digunakan dengan benar. Tapi selama yang patuh terus ditagih dan yang bermain bebas dari hukuman, kepercayaan fiskal akan runtuh,” pungkasnya.

Rencana penurunan tarif PPN sebesar 1 persen ini diharapkan menjadi momentum awal untuk memperbaiki struktur kebijakan fiskal Indonesia agar lebih berkeadilan dan mampu mendorong pemulihan konsumsi domestik dari bawah. (alf)

Dirjen Pajak Tegaskan Pelayanan Prima Jadi Kunci Pendongkrak Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa pelayanan prima kepada wajib pajak merupakan kunci utama dalam mendongkrak penerimaan negara. Pesan itu disampaikan Bimo saat berkunjung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Makassar Utara, Kamis (30/10/2025), dalam rangka pembinaan pegawai dan dialog dengan wajib pajak.

Menurut Bimo, peningkatan penerimaan pajak tidak bisa hanya bertumpu pada strategi penegakan kepatuhan, tetapi harus dibangun melalui kepercayaan dan pengalaman positif wajib pajak dalam setiap interaksi pelayanan.

“Kualitas pelayanan pajak tidak hanya diukur dari kecepatan proses, tetapi juga dari ketulusan, empati, dan integritas dalam membantu wajib pajak. Setiap interaksi mencerminkan nilai-nilai yang kita pegang sebagai abdi negara,” tegas Bimo.

Ia menekankan, setiap pegawai pajak memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan kerja yang produktif, berintegritas, dan berorientasi pada kepuasan wajib pajak. Bimo juga mendorong agar mentalitas pelayanan publik menjadi bagian dari budaya kerja di seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Kunjungan kerja Dirjen Pajak ke Makassar menjadi bagian dari agenda nasional DJP untuk memperkuat kualitas layanan dan membangun semangat baru di lingkungan pegawai pajak. Dalam kesempatan itu, Bimo juga mengadakan sesi interaktif dengan para wajib pajak guna mendengarkan langsung pengalaman mereka, termasuk soal implementasi sistem Coretax platform digital baru yang diharapkan memperkuat efisiensi, akurasi, dan transparansi layanan perpajakan.

Menurut Bimo, transformasi digital melalui Coretax bukan sekadar modernisasi sistem, tetapi juga bukti komitmen DJP dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan dapat dipercaya.

Kehadiran Bimo di Makassar mendapat sambutan positif dari jajaran Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra). Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Sulselbartra, Sumin, mengatakan kunjungan tersebut menjadi penyemangat bagi seluruh pegawai untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan.

“Kehadiran Bapak Dirjen di unit kerja adalah simbol komitmen nyata DJP dalam menjaga kepercayaan publik,” ujar Sumin.

Dengan semangat reformasi dan pembaruan digital, DJP berharap pelayanan prima benar-benar menjadi budaya kerja yang nyata bukan sekadar slogan agar penerimaan pajak terus tumbuh seiring meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada institusi pajak. (alf)

MK Tolak Gugatan Pajak Pesangon dan Pensiun, Permohonan Dinilai Kabur

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang mempersoalkan pengenaan pajak progresif atas pesangon dan uang pensiun. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan permohonan yang diajukan dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, tidak dapat diterima karena dinilai tidak memenuhi syarat formil maupun substansi.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, para pemohon tidak cermat dalam merumuskan permohonan, terutama dalam menyebutkan norma undang-undang yang diuji serta rumusan petitum yang diajukan. “Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), sebagaimana dikutip dari laman resmi MK.

Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim, karena tidak memuat alternatif permintaan sebagaimana prinsip hukum acara konstitusi. Ketiadaan pilihan itu dianggap melanggar asas kejelasan dan kepastian hukum yang menjadi dasar dalam setiap permohonan uji materi.

Sebelumnya, kedua pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Rosul dan Maksum menilai bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya tidak dipajaki, karena merupakan hak sosial pekerja sebagai jaminan hidup setelah berhenti bekerja. Namun, MK menyatakan permohonan mereka obscuur libel atau kabur, sehingga tidak bisa dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, ketentuan pajak atas pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menegaskan setiap tambahan kemampuan ekonomis termasuk imbalan kerja merupakan objek pajak.

Permohonan Baru dari Pekerja Bank

Meski satu gugatan kandas, upaya serupa kini kembali menggeliat. Sejumlah karyawan bank swasta mengajukan perbaikan permohonan uji materi terhadap ketentuan pajak progresif atas pesangon dan pensiun dalam UU PPh. Permohonan ini teregistrasi dengan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 dan telah disidangkan di MK, Kamis (30/10/2025).

Dalam sidang beragenda pembacaan perbaikan, salah satu pemohon, Wahyuni Indrijanti, membacakan petitum baru di hadapan majelis hakim. “Untuk perbaikan hampir semuanya, Yang Mulia. Saya bacakan petitumnya saja,” ujar Wahyuni di ruang sidang MK, sebagaimana dikutip dari situs resmi Mahkamah.

Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “tunjangan dan uang pensiun” dimasukkan sebagai objek pajak penghasilan. Mereka berpendapat dana pensiun, JHT, dan THT bukan tambahan penghasilan baru, melainkan hak sosial pekerja yang dijamin oleh konstitusi.

Selain itu, pemohon juga meminta agar Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP yang mengatur tarif progresif dinyatakan konstitusional bersyarat, hanya jika tidak mencakup kompensasi pascakerja seperti pesangon dan pensiun. “Pengecualian pajak atas dana pascakerja harus dianggap sebagai jaminan konstitusional, bukan kebijakan fiskal yang bisa diubah sewaktu-waktu,” demikian bunyi dalil para pemohon dalam berkas perbaikan.

Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta dan satu ketua serikat karyawan dari berbagai institusi perbankan. Mereka menilai pajak progresif atas pesangon dan pensiun justru mengaburkan makna Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas penghidupan yang layak.

Menurut para pemohon, dana pesangon dan manfaat pensiun merupakan hasil kerja keras puluhan tahun, bukan penghasilan baru seperti laba usaha atau capital gain. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ulang makna penghasilan kena pajak, agar hak-hak sosial pekerja pascakerja tetap terlindungi di bawah payung konstitusi. (alf)

Kebijakan Insentif PPh DTP Rp 7,5 Juta Dinilai Tak Signifikan Beri Dampak Ekonomi Nasional

IKPI, Jakarta: Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kebijakan pemerintah memperluas insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor pariwisata tidak akan memberi dampak besar terhadap perekonomian nasional. Ia menilai langkah tersebut terlalu sempit dan hanya dinikmati sebagian kecil pekerja.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah menetapkan kebijakan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025. Dalam aturan itu, pegawai sektor pariwisata seperti hotel, restoran, biro perjalanan, hingga taman rekreasi akan menikmati penghasilan penuh tanpa potongan PPh 21 mulai masa pajak Oktober hingga Desember 2025.

Namun Said Iqbal menilai kebijakan itu tak menyentuh akar persoalan daya beli buruh. “Sekarang gini, yang dimaksud pemotongan pajak itu hanya di sektor tertentu, jumlahnya kecil. Jadi saya bilang nggak signifikan,” ujarnya usai menghadiri sebuah acara di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (30/10/2025).

Menurutnya, dibandingkan memberikan insentif pajak terbatas, pemerintah seharusnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan. Dengan begitu, kata Said, mayoritas buruh bergaji setara UMP atau UMK bisa bebas pajak dan memiliki daya beli lebih tinggi.

“Kalau PTKP dinaikkan ke Rp7,5 juta, seluruh buruh tidak terkena pajak. Artinya uang yang dipegang jadi lebih banyak. Kalau kita belanja, purchasing power naik, ekonomi ikut bergerak,” tegasnya.

Said menjelaskan, peningkatan PTKP akan berdampak langsung terhadap konsumsi rumah tangga komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan penghasilan yang utuh tanpa potongan pajak, buruh dapat memperbesar pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat.

Selain itu, Said juga mendorong pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk memperkuat daya beli masyarakat dan mendukung industri dalam negeri. “Kalau PPN diturunin, harga barang jadi lebih murah. Orang beli lebih banyak. Pabrik jalan, pekerja direkrut lagi, dan pada akhirnya pajak penghasilan juga ikut naik,” jelasnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal semestinya diarahkan pada pemerataan dampak ekonomi, bukan hanya pada kelompok tertentu yang beruntung. “Mengurangi beban pajak bagus, tapi jangan setengah hati. Kalau mau dorong ekonomi rakyat, mulai dari buruh dari mereka yang paling cepat membelanjakan uangnya,” pungkas Said Iqbal. (alf)

IKPI Depok Gandeng DJP Jabar III Sosialisasikan Coretax untuk UMKM dan Koperasi

IKPI, Depok: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok terus memperkuat perannya dalam mendukung digitalisasi perpajakan nasional. Kamis (31/10/2025), IKPI Depok berkolaborasi dengan Kanwil DJP Jawa Barat III, KPP Pratama Depok Sawangan, dan KPP Pratama Depok Cimanggis menggelar kegiatan bertajuk “Sosialisasi dan Asistensi Aktivasi Akun & Kode Otorisasi/Sertifikat Digital Coretax Wajib Pajak (UMKM & Koperasi Kota Depok)” di D’Mall Depok, Kamis (31/10/2025).

Kegiatan ini turut menghadirkan tim penyuluh dari Kanwil DJP Jabar III, KPP Depok Sawangan, serta relawan pajak dari STIE MBI Kelapa Dua, Depok. Ratusan pelaku UMKM dan koperasi hadir langsung untuk mendapatkan edukasi sekaligus asistensi aktivasi akun Coretax pribadi.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Ketua IKPI Cabang Depok, Hendra Damanik, mengatakan kegiatan ini merupakan bagian dari upaya bersama mendorong kesadaran pajak di kalangan pelaku usaha kecil dan koperasi di Kota Depok.

“Digitalisasi sistem perpajakan lewat Coretax adalah langkah besar pemerintah. Kami di IKPI Depok ingin memastikan pelaku UMKM tidak tertinggal dan justru bisa memanfaatkan teknologi ini untuk mempermudah kewajiban pajak mereka,” ujar Hendra.

Menurutnya, perpajakan kini tidak lagi sebatas kewajiban administratif, melainkan sudah masuk ke tahap transformasi digital yang menuntut literasi baru bagi para pelaku usaha.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“UMKM harus siap menghadapi era pajak digital. Jangan takut dengan sistem baru, karena justru Coretax ini akan membuat proses perpajakan lebih cepat, akurat, dan transparan,” jelasnya.

Hendra menilai sinergi antara IKPI, DJP, dan dunia pendidikan melalui relawan pajak menjadi kunci dalam mempercepat adaptasi pelaku usaha terhadap sistem digital.

“Kolaborasi ini bukan sekadar sosialisasi, tetapi gerakan bersama membangun budaya pajak yang modern dan inklusif,” tegasnya.

Ia juga mengapresiasi kehadiran para pelaku UMKM dan koperasi se-Kota Depok yang antusias mengikuti asistensi langsung di lokasi kegiatan.

“Antusiasme peserta hari ini luar biasa. Banyak yang langsung melakukan aktivasi akun Coretax di tempat. Ini menunjukkan kesadaran pajak di kalangan UMKM Depok semakin meningkat,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Hendra menegaskan komitmen IKPI Depok untuk terus hadir memberikan pendampingan dan edukasi bagi pelaku usaha di wilayahnya.

“Kami tidak berhenti di sini. IKPI Depok akan terus bergerak bersama DJP dan pemerintah daerah untuk memastikan setiap pelaku usaha bisa memahami dan memanfaatkan sistem pajak digital dengan baik,” pungkasnya. (bl)

en_US