PPL IKPI Kabupaten Tangerang: Ketum Vaudy Tekankan Penting Kontrak Kerja dan Perlindungan Hukum Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, membuka acara Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) IKPI Cabang Kabupaten Tangerang dengan tema “Kupas Tuntas Penyusunan Kontrak Kerja Konsultan Pajak dengan Klien dan Perlindungan Hukum Terhadap Konsultan Pajak”. Acara yang berlangsung di Kabupaten Tangerang, Sabtu (7/12/2024) ini dihadiri oleh puluhan anggota IKPI, baik itu dari Cabang Kabupaten Tangerang maupun cabang IKPI di wilayah Jabodetabek.

Dalam sambutannya, Vaudy menyampaikan bahwa topik yang diangkat dalam PPL ini sangat relevan dengan kebutuhan anggota IKPI. Menurutnya, penyusunan kontrak kerja yang baik antara konsultan pajak dan klien merupakan salah satu hal yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh setiap konsultan pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

“Sebagai konsultan pajak, kita harus memiliki landasan yang jelas dalam bekerja dengan klien, dan kontrak adalah instrumen yang dapat mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak,” ujar Vaudy.

Ia juga menekankan pentingnya kontrak dalam membatasi risiko yang mungkin timbul dalam hubungan kerja antara konsultan pajak dan klien. Selain itu, Vaudy menambahkan bahwa kontrak yang disusun dengan baik juga dapat mengatur langkah-langkah penyelesaian sengketa, jika terjadi perselisihan di kemudian hari.

“Kontrak yang jelas tidak hanya melindungi klien, tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi konsultan pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut Vaudy mengingatkan, bahwa anggota IKPI sangat perlu untuk terus memperbaharui pengetahuan dan keterampilan mereka dalam hal penyusunan kontrak, mengingat dinamika dunia perpajakan yang terus berkembang.

Ia berharap acara PPL ini dapat menjadi sarana untuk memperkuat kompetensi dan profesionalisme para anggota IKPI, khususnya dalam hal perjanjian kerja yang melibatkan klien.

Dengan dilaksanakannya acara ini, Vaudy berharap seluruh anggota IKPI dapat semakin profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka, serta memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya perlindungan hukum dalam dunia konsultasi pajak. (bl)

FGD RUU Konsultan Pajak: Menyemangati dan Mendorong Upaya Pengawalan RUU KP

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Suwardi Hasan memberikan pandangannya terkait penyelenggaraan FGD Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak (RUU KP), pada Kamis (5/12/2024).

Suwardi menegaskan bahwa acara ini merupakan langkah awal yang penting untuk menyemangati serta mendorong kembali upaya aktif yang dilakukan oleh Tim Task Force RUU Konsultan Pajak untuk terus memperjuangkan dalam mewujudkan lahirnya UU Konsultan Pajak.

Dikatakan Suwardi, RUU KP sudah 8 tahun sejak dibahas di DPR dan pernah masuk Prolegnas prioritas di Tahun 2018, namun tak sempat dibahas dengan Pemerintah. Nah di dalam FGD ini, kami berharap nantinya bermunculan ide-ide segar yang bisa mendorong dan memberikan masukan jika kiranya ada hal-hal baru yang perlu diupdate/dimutahirkan dalam RUU Konsultan Pajak termasuk naskah akademisnya, sehingga RUU KP masuk kembali kedalam Prolegnas Prioritas DPR dan segera dibahas,” ujarnya, di Jakarta, Jumat (6/2024).

Secara garis besar lanjut Suwardi, penyelenggaraan FGD ini bertujuan untuk mengumpulkan dan kompilasi pemikiran, masukan, dan kontribusi yang konstruktif dari seluruh anggota IKPI dan pemangku kepentingan, khususnya yang terlibat dalam Tim Task Force. “FGD ini menjadi wadah yang tepat untuk saling bertukar ide dan pandangan mengenai RUU Konsultan Pajak, serta memberikan dukungan kepada Tim Task Force yang bekerja keras mengawal proses legislasi tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, penyelenggaraan FGD ini juga memiliki peran strategis dalam memastikan agar RUU Konsultan Pajak dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan profesi konsultan pajak di Indonesia. Dalam hal ini, FGD bertujuan untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Tim Task Force guna memperkaya substansi RUU tersebut dengan perspektif praktis dan mendalam dari para pelaku di lapangan.

Dalam FGD tersebut terjadi tukar menukar pandangan mengenai hal-hal yang sebaiknya dimasukkan dan yang tidak dalam RUU KP, termasuk usulan dari Doni Budiono mengenai lulusan universitas dari jurusan tertentu (Akuntansi, FIA, Hukum) yang mendapatkan waiver / pengecualian tanpa mengikuti ujian sertifikasi, namun usulan tersebut juga mendapat tantangan dari Lani Dharmasetya bahwa bagaimana menentukan kualitas dari lulusan tersebut, karena begitu banyak universitas yang mempunyai kualitas yang berbeda-beda mulai dari universitas ternama sampai dengan universitas yang tidak jelas nama dan statusnya, sedangkan melihat ke belakang mengenai kebijakan pemberian gelar akuntan oleh beberapa universitas negeri tertentu, sekarang kebijakan tersebut telah dihapuskan oleh Pemerintah, bukankah pemberian fasilitas / waiver untuk lulusan universitas seperti set back / langkah mundur.

Selain juga terjadi perbedaan pandangan bagaimana strategi yang akan digunakan untuk meng-gol-kan RUU KP, apakah melewati jalur Pemerintah atau melalui jalur DPR, karena apapun jalur yang akan dipilih, semua memiliki plus minus nya sendiri-sendiri.

Adapun I Kadek Sumadi dan Heru R Hadi menyampaikan bahwa jangan sampai UU Konsultan Pajak yang diperjuangkan justru akan membelenggu kemandirian organisasi dan anggota. Diingatkan oleh Pino Siddharta bahwa impian seluruh Konsultan Pajak khususnya anggota IKPI, tentunya memiliki UU seperti UU Advokat, namun profesi KP tidak sama dengan Advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum, sehingga semua anggota IKPI harus mengetahui mengenai hak dan kewajiban, serta tanggung jawab yang harus dipikul seorang KP jika UU KP terealisasi, karena Pemerintah tidak mungkin memberikan cek kosong sebuah undang-undang, jika Pemerintah tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan UU tersebut.

Tentunya perbedaan pandangan antar para narasumber dan juga pertanyaan dari beberapa anggota, memberikan banyak wawasan dan pemikiran, karena UU adalah produk politik maka pasti akan terjadi tawar menawar, sehingga take and give pasti akan terjadi tidak mungkin hanya win-win saja, termasuk juga fakta saat ini terdapat asosiasi konsultan pajak lebih dari satu. Yang diharapkan dalam diskusi ini, agar pihak yang jika usulannya tidak / belum terakomodir, maka tidak menjatuhkan atau menggagalkan cita-cita semua KP untuk memiliki UU KP secara mandiri dan profesional dengan dukungan penuh stakeholders.

“Sebagai bagian dari upaya mendukung Tim Task Force, FGD ini diharapkan dapat memberikan dukungan moral dan intelektual yang kuat agar proses legislasi RUU Konsultan Pajak berjalan dengan baik dan menghasilkan regulasi yang memberikan manfaat nyata bagi profesi konsultan pajak dan dunia perpajakan secara keseluruhan,” kata Suwardi.

Kedepannya, FGD RUU Konsultan Pajak akan terus diadakan dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan profesional di bidang perpajakan seperti Pemerintah, DPR, Kadin, Apindo, dan dunia pendidikan/akademisi, serta KP dari asosiasi lainnya, semoga proses ini diharapkan mampu memperkuat kolaborasi antara IKPI, pemerintah, serta berbagai pihak terkait dalam mengawal pengesahan RUU ini menjadi undang-undang yang dapat memberikan kerangka hukum yang jelas dan mendukung tidak hanya perkembangan profesi konsultan pajak di Indonesia, namun tujuan utamanya agar dapat membantu Pemerintah untuk meningkatkan Tax Rasio, dan menjaga kepentingan hukum perpajakan wajib pajak.

Sekadar informasi, FGD RUU Konsultan Pajak ini dihadiri oleh sedikitnya 1.084 anggota IKPI. Hadir sebagai narasumber utama adalah:

1. Ketua Tim Task Force RUU Konsultan Pajak, Associate Prof. Dr. Edy Gunawan

2. Ketua Pengkaji Tim Task Force, Sistomo

3. Ketua Pengawas IKPI, Dr. Prianto Budi Saptono

4. Anggota Dewan Pembina IKPI, Dr. Heru. R. Hadi

5. Anggota Dewan Kehormatan IKPI, I. Kadek Sumadi

6. Ketua Departemen Litbang IKPI, Pino Siddharta

7. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Dr. Nuryadin Rahman

8. Ketua Departemen Litbang dan FGD periode 2019-2024, Dr. Lani Dharmasetya

9. Anggota Tim Task Force RUU KP Dr. Doni Budiono

(bl)

Daftar Barang Mewah Kena Pajak 12% Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang direncanakan berlaku pada 2025, hanya dikenakan pada barang-barang mewah. Usulan ini telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto oleh pimpinan DPR dalam pertemuan yang berlangsung pada Kamis (5/12/2024).

Menurut Ketua Komisi XI DPR  Mukhamad Misbakhun, usulan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa PPN 12% hanya diterapkan pada barang-barang yang selama ini telah dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). “Yang dimaksud dengan itu memang selektif. Artinya selektif kepada barang yang selama ini sudah kena PPnBM hanya mereka yang dikenakan PPN 12%,” kata Misbakhun.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan lebih lanjut bahwa barang-barang yang termasuk dalam kategori barang mewah yang diusulkan untuk dikenakan PPN 12% adalah seperti mobil mewah, apartemen mewah, dan rumah mewah.

Barang-barang yang selama ini dikenakan PPnBM adalah barang yang tergolong mewah dan tidak termasuk dalam kategori kebutuhan pokok masyarakat. Adapun barang yang dikenakan PPnBM meliputi:

1. Kelompok kendaraan bermotor mewah,

2. Kelompok hunian mewah (seperti rumah mewah, apartemen, dan kondominium),

3. Kelompok Pesawat udara (kecuali untuk kepentingan negara),

4. Kelompok Balon udara,

5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali keperluan negara,

6. Kelompok kapal pesiar mewah yang tidak digunakan untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Dasco berharap usulan DPR ini dapat memberikan kejelasan dan keadilan dalam penerapan pajak, serta mendukung pengendalian konsumsi barang mewah di kalangan masyarakat.

Sekadar informasi, berdasarkan keterangan dari laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dijelaskan bahwa PPnBM juga dikenakan pada barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau untuk menunjukkan status sosial. Namun, pajak ini hanya dikenakan satu kali, yakni hanya pada saat penyerahan barang dari produsen dan bertujuan untuk mengatur konsumsi barang-barang mewah yang tidak esensial. (alf)

OJK Dorong Pengaturan Batas Emisi dan Penerapan Carbon Tax 

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pentingnya pengaturan batas atas emisi gas rumah kaca di setiap sektor industri untuk meningkatkan permintaan terhadap kredit karbon di bursa karbon Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, dalam sebuah webinar yang bertajuk “The Greenwashing Trap: How to Build Public Awareness” pada Kamis (5/12/2024).

Mirza menekankan, selain aturan mengenai batas atas emisi, penerapan carbon tax yang mencakup insentif dan disinsentif juga diperlukan untuk mendorong pelaku usaha agar lebih serius dalam mengurangi emisi mereka.

Menurutnya, tanpa adanya batasan yang jelas dan tanpa adanya sanksi bagi yang melanggar, permintaan terhadap kredit karbon tidak akan berkembang dengan signifikan.

“Karena kalau tidak ada batas atasnya dan tidak ada disinsentif, jika melanggar maka demand-nya terhadap kredit karbon tidak terjadi,” kata Mirza.

OJK juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mempelajari praktik-praktik terbaik dari kebijakan pengurangan emisi yang diterapkan di berbagai negara. Tujuannya adalah untuk mencapai target penurunan emisi yang termuat dalam Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia.

Selain itu, OJK melaporkan perkembangan positif dari bursa karbon Indonesia yang telah diluncurkan pada 26 September 2023. Sejak peluncurannya hingga 27 September 2024, nilai perdagangan bursa karbon tercatat mencapai Rp37,06 miliar dengan total volume perdagangan 613.894 ton CO2e.

Dalam laporan tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Dajajadi, menjelaskan rincian transaksi, yang terdiri dari 26,75 persen di Pasar Reguler, 23,18 persen di Pasar Negosiasi, 49,87 persen di Pasar Lelang, dan 0,21 persen di marketplace.

Untuk mencapai hasil yang optimal, Mirza menegaskan bahwa OJK mendorong agar semua sektor industri di Indonesia berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi mereka dan memanfaatkan kredit karbon. “Kredit karbon Indonesia sebaiknya harus berkembang, baik dari volume maupun sektor industri, agar emisi dari berbagai sektor bisa turun,” ujarnya.

Dengan kebijakan yang tepat dan keterlibatan berbagai pihak, OJK berharap perdagangan kredit karbon di Indonesia dapat meningkat, sekaligus mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan negara. (alf)

Ketua IKPI Pengda Jatim Sebut Pelatihan Coretax Langkah Penting Tingkatkan Kompetensi Anggota

IKPI, Jakarta: Bertempat di Aula Lantai 8 Kanwil DJP Jatim 1, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Jawa Timur bersama Pengurus IKPI Cabang Surabaya, Sidoarjo dan Malang mengikuti pelatihan Coretax yang dilaksanakan Kanwil DJP Jatim 1, Kamis (5/12/2024). Acara ini dihadiri oleh sekitar 20 konsultan pajak yang terdiri dari 15 peserta dari Cabang Surabaya, 3 Cabang Sidoarjo, dan 2 lainnya dari Cabang Malang.

Ketua IKPI Pengda Jawa Timur Zeti Arina, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan langkah penting dalam upaya meningkatkan kompetensi anggota IKPI di Jawa Timur, khususnya untuk menyambut implementasi Coretax pada tahun 2025.

Selain itu kata Zeti, menjalin kemitraan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah prioritas utama IKPI Jatim yang memang merupakan mitra strategis. “Kami sangat menghargai kolaborasi yang terjalin antara IKPI dan DJP. Hal ini terbukti dengan diberikan prioritas kepada IKPI Jatim untuk mengikuti uji praktik CoreTax versi yang hampir final,” ujar Zeti, Jumat (6/12/2024).

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Menurutnya, pelatihan Coretax ini bukan hanya sebuah kegiatan rutin, tetapi juga merupakan bagian dari komitmen DJP untuk memastikan bahwa para konsultan pajak memiliki pengetahuan yang paling mutakhir mengenai sistem pajak terbaru.

Bahkan, Zeti juga menyampaikan bahwa Kanwil DJP Jatim 1 all out mendukung dengan mendatangkan trainner langsung dari kantor pusat DJP untuk penyelenggaraan pelatihan Coretax. “Langkah ini jelas menunjukkan komitmen DJP yakni Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) untuk memberikan pelatihan yang lebih mendalam dan relevan bagi para konsultan pajak di daerah. Dengan adanya pelatihan ini, kami berharap dapat memperkuat pengetahuan dan keterampilan para konsultan pajak untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada wajib pajak,” ujarnya.

Zeti juga mengungkapkan bahwa dalam menghadapi era digital dan perubahan kebijakan pajak yang semakin kompleks, para konsultan pajak harus terus mengembangkan diri. “Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai sistem Coretax, kami berharap konsultan pajak di Jawa Timur bisa lebih siap menghadapi tantangan baru dalam dunia perpajakan,” katanya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Menurutnya, pelatihan Coretax kali ini menjadi bukti nyata upaya IKPI di wilayah Jatim untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor perpajakan. Diharapkan, setelah mengikuti pelatihan ini, para anggota IKPI tidak hanya akan memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang sistem pajak terkini, tetapi juga akan siap untuk memberikan solusi yang lebih efektif dan efisien bagi wajib pajak di wilayah Jawa Timur. (bl)

Berbagai Kalangan Tanggapi Kenaikan PPN 12% Selektif

IKPI, Jakarta: Kontroversi rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2024, melahirkan wacana kenaikan pajak hanya untuk barang mewah sedangkan sembako dan layanan publik tetap dikenakan pajak 11 persen.

Ketentuan PPN 12% itu diperintahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini, PPN naik dari 10% menjadi 11 % per 1 April 2022 dan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

Namun banyak elemen masyarakat minta Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan kenaikan karena kondisi ekonomi sedang tidak baik.

Munculnya wacana PPN 12% tetap berlaku mulai 1 Januari 2025 namun hanya untuk barang mewah, ketika pimpinan DPR menemui Presiden Prabowo di Istana, Kamis, 5 Desember 2024. Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, dalam pertemuan itu DPR mengusulkan PPN 12% diterapkan secara selektif dan menyasar pembeli barang-barang mewah.

Sementara untuk kebutuhan pokok dan pelayanan publik seperti jasa kesehatan, jasa perbankan dan jasa pendidikan dipastikan tidak diberikan pajak 12% dan dikenakan pajak yang saat ini sudah berjalan yaitu 11%.

Usulan ini ditanggapi beragam. Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengenaan tarif PPN secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan.

“Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12% untuk barang mewah dan PPN 11% untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah,” kata Bhima seperti dikutip dari ANTARA, Jumat, 6 Desember 2024.

Maka, pengenaan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan banyak pihak, terutama bagi pelaku usaha dan konsumen. Seperti misalnya bila satu toko ritel menjual objek pajak yang terkena tarif PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), maka penjual perlu menghitung tarif yang berbeda terhadap barang-barang yang dijual.

Ketika mengurus administrasi perpajakan pun, kemungkinannya, faktur pajak akan menjadi lebih kompleks.

“Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12% per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) soal PPN 12%. Itu solusi paling baik,” ujar dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN sama sekali untuk komoditas bahan pokok dan penting seperti fasilitas transportasi publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Ketentuan barang yang bebas PPN itu tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Menurut Airlangga, pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang di dalamnya membahas soal PPN dan ditargetkan bisa rampung dalam waktu satu pekan ke depan.

Kaji Secara Komprehensif

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Herman Khaeron menyebut pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif sebelum menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025 guna mengetahui dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

“Ini pilihan pemerintah, kemudian kaji secara komprehensif, dipertimbangkan apa keuntungan dan kerugiannya bagi masyarakat,” kata Herman, Kamis.

Sebab, menurut dia, meski penerapan kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun pemerintah dapat mengambil pilihan ataupun pengaturan agar kebijakan itu tidak membebani masyarakat.

“Tadi mendengar apa yang disampaikan oleh pimpinan DPR bahwa pemberlakuan 12% itu adalah untuk pajak barang mewah, dan ya tentu kalau diberlakukan pada pajak barang mewah terus kompensasinya bagaimana untuk kalangan menengah ke bawah misalkan, karena bagaimanapun dampak ini pasti ada,” katanya.

Dia mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12%, mulai dari dampaknya terhadap prospek ekonomi ke depan hingga daya beli masyarakat.

“Apakah dengan menaikkan pajak ini akan memberikan dampak positif atau tidak kepada masyarakat,” ujarnya.

Dia menyebut pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu memberikan penjelasan secara gamblang dan komprehensif kepada publik mengenai pertimbangan yang diambil pemerintah apabila nantinya PPN tetap dinaikkan menjadi 12% per 1 Januari 2025.

“Sepanjang bahwa bisa menggaransi terhadap menjaga daya beli masyarakat, menjaga masyarakat bisa survive dalam kehidupannya, menurut saya ya harus dijelaskan,” ucapnya.

Sebaliknya, dia meminta pemerintah tak memaksakan untuk menerapkan kebijakan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 sekiranya hasil kajian menunjukkan kenaikan tersebut membebani rakyat.

DJP Luncurkan Simulator Coretax untuk Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi meluncurkan sistem uji coba interaktif (Simulator Coretax) yang dapat diakses oleh masyarakat sejak September 2024 melalui situs resmi pajak.go.id.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa simulator ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai fitur aplikasi Coretax kepada wajib pajak secara lebih mudah dan interaktif.

“Simulator Coretax dapat diakses dari mana saja dan kapan saja menggunakan internet, sehingga lebih banyak wajib pajak dapat memanfaatkan sistem ini,” ujar Dwi Astuti pada Rabu (25/9/2024).

Untuk mengakses simulator ini kata Dwi, wajib pajak diwajibkan melakukan pendaftaran melalui akun DJP Online. Setelah pendaftaran berhasil, sistem akan mengirimkan notifikasi melalui email yang berisi tautan, nama pengguna, dan kata sandi untuk mengakses simulator, paling lambat tiga hari kerja setelah pendaftaran.

Ia juga menekankan bahwa wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai keamanan data pribadi, karena data yang digunakan dalam simulator ini bersifat khusus untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan data pribadi wajib pajak yang sesungguhnya.

Sekadar informasi, selain menyediakan simulator, DJP juga mengadakan sesi edukasi langsung dengan metode hands-on di seluruh unit kerja untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada wajib pajak prioritas. DJP juga menyediakan sarana belajar mandiri berupa video tutorial dan handbook.

Menurut Dwi, saat ini ada 55 video tutorial dan 19 handbook telah diproduksi dan dapat diakses oleh wajib pajak.

“Video tutorial dapat ditemukan di kanal YouTube @DitjenpajakRI, sementara handbook tersedia di tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/,” ujarnya.

Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari upaya DJP untuk memberikan kemudahan dalam penggunaan aplikasi Coretax dan mempercepat proses edukasi kepada wajib pajak di seluruh Indonesia. (alf)

Kemenkeu Tingkatkan Target Penerimaan Pajak Dalam Negeri pada 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan target penerimaan pajak dalam negeri untuk tahun 2025 sebesar Rp 2.433,5 triliun. Angka ini mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan target penerimaan pajak tahun 2024 yang diperkirakan sebesar Rp 2.234,95 triliun.

Mengutip Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, rincian target penerimaan pajak dalam negeri terungkap sebagai berikut:

Pajak Penghasilan (PPh)

Target penerimaan dari PPh untuk tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 1.209,27 triliun, yang meningkat dari target 2024 sebesar Rp 1.139,78 triliun. PPh migas diperkirakan akan mencapai Rp 62,84 triliun, meskipun lebih rendah dibandingkan target 2024 yang sebesar Rp 76,37 triliun.

Sementara itu, PPh non-migas ditargetkan mencapai Rp 1.146,43 triliun, lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yang sebesar Rp 1.063,4 triliun. Rinciannya antara lain PPh pasal 21 sebesar Rp 313,51 triliun, PPh pasal 22 sebesar Rp 36,81 triliun, dan PPh pasal 25/29 orang pribadi sebesar Rp 15,14 triliun.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM)

Untuk PPN dan PPnBM, target penerimaan pada 2025 ditetapkan sebesar Rp 945,12 triliun, mengalami peningkatan signifikan dibandingkan target tahun ini yang hanya Rp 811,36 triliun. Penerimaan PPN dalam negeri diproyeksikan sebesar Rp 609,04 triliun, sementara PPN impor mencapai Rp 308,74 triliun.

Penerimaan PPnBM dalam negeri dan impor masing-masing ditargetkan sebesar Rp 10,78 triliun dan Rp 5,8 triliun.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditargetkan sebesar Rp 27,11 triliun pada 2025, sedikit menurun dibandingkan dengan target PBB tahun 2024 yang mencapai Rp 27,18 triliun.

Rincian target PBB tersebut antara lain PBB perkebunan Rp 3,04 triliun, PBB perhutanan Rp 702,77 miliar, dan PBB migas sebesar Rp 15,04 triliun.

Kenaikan target penerimaan pajak ini mencerminkan optimisme pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara, yang diharapkan dapat mendukung pembiayaan program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada tahun 2025. (alf)

DPR: PPN 12% Tetap Berlaku 2025, Tetapi hanya Dikenakan pada Barang Mewah

IKPI, Jakarta: Pimpinan dan anggota DPR bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (5/12/2024). Pertemuan itu membahas rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang direncanakan berlaku pada 1 Januari 2025.

Dalam diskusi tersebut, DPR mengusulkan agar kenaikan PPN 12% hanya diberlakukan pada barang-barang mewah, sementara barang pokok dan layanan yang menyentuh langsung masyarakat tetap dikenakan PPN 11%.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa PPN 12% akan diterapkan secara selektif, hanya pada komoditas barang mewah. “Yang pertama, untuk PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah, jadi pengenaannya dilakukan secara selektif,” ujar Dasco.

Ia menambahkan, sedangkan untuk barang-barang pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat, seperti sembako, akan tetap dikenakan PPN 11%.

Terkait hal itu, Dasco menyampaikan bahwa Presiden Prabowo akan segera berkomunikasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengkaji usulan dari masyarakat, yang menginginkan penurunan PPN pada barang-barang pokok.

“Mungkin dalam satu jam ini Pak Presiden akan meminta menteri keuangan dan beberapa menteri untuk rapat dalam mengkaji usulan dari masyarakat maupun dari DPR tentang beberapa hal pajak yang harus diturunkan,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, mengonfirmasikan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% tetap akan berlaku mulai Januari 2025, namun akan diterapkan secara selektif.

“Kita akan tetap ikuti UU jika PPN berjalan (sesuai) jadwal waktu yakni 1 Januari 2025, tapi kemudian diterapkan secara selektif,” kata Misbakhun.

Sementara itu, nantinya penerapan PPN 12% akan menyasar barang-barang mewah, sedangkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tarif PPN akan tetap pada angka 11%.

Misbakhun juga menekankan bahwa kebutuhan dasar seperti bahan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa perbankan tidak akan dikenakan PPN.

“Jadi PPN tak berada dalam satu tarif. Dan ini nanti masih dipelajari,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah dan DPR sebelumnya telah menyepakati kenaikan PPN menjadi 12% melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menjadwalkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025.

Meski demikian, rencana kenaikan PPN ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, pengusaha, dan ekonom, yang khawatir akan semakin menurunkan daya beli masyarakat di tengah situasi ekonomi yang belum pulih. (alf)

Menkeu Sebut APBN Bantu Pemulihan Perekonomian di Bali

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat meninjau Kantor Kementerian Keuangan Wilayah Bali menyatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah membantu pemulihan ekonomi di wilayah Pulau Dewata.

“Ekonomi Bali dan sektor pariwisata mulai pulih. APBN dan transfer ke daerah (TKD) ikut mendukung pemulihan ekonomi daerah,” kata Sri Mulyani dalam akun Instagram @smindrawati di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (5/12/2024).

Dalam kunjungannya itu, Sri Mulyani menerima laporan performa empat direktorat jenderal, di antaranya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Menjelang akhir tahun anggaran, seluruh Kanwil Kemenkeu sibuk menjalankan tugas, baik dari sisi penerimaan, belanja, dan pengelolaan kekayaan negara dan lelang,” tutur dia.

APBN per Oktober 2024 mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau 1,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit ini masih lebih kecil dari yang ditetapkan bersama DPR pada UU APBN, yakni sebesar 2,29 persen.

Defisit diperoleh lantaran belanja negara lebih tinggi daripada pendapatan negara. Belanja negara tercatat sebesar Rp2.556,7 triliun atau 76,9 persen dari pagu, tumbuh 14,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara pendapatan negara tercatat sebesar Rp2.247,5 triliun atau 80,2 persen dari target, tumbuh 0,3 persen yoy.

Secara rinci, realisasi belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp1.834,5 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp722,2 triliun.

Realisasi BPP setara 74,3 persen dari target APBN Rp2.467,5 triliun, tumbuh 16,7 persen. Sementara realisasi TKD setara 84,2 persen APBN Rp857,6 triliun, tumbuh 8 persen.

 

en_US