Pemerintah Luncurkan 6 Paket Stimulus Konsumsi Domestik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian resmi mengumumkan rencana peluncuran enam paket stimulus ekonomi berbasis konsumsi domestik yang dirancang untuk memperkuat daya beli masyarakat selama periode liburan sekolah Juni–Juli 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa stimulus ini difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti transportasi, energi, serta perlindungan sosial, dengan tujuan utama menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan global.

“Paket stimulus ini sedang difinalisasi dan dijadwalkan akan diluncurkan pada tanggal 5 Juni 2025. Pemerintah melihat momentum libur sekolah sebagai peluang strategis untuk mendorong perputaran ekonomi dari bawah, melalui peningkatan konsumsi masyarakat,” ujar Airlangga dalam konferensi pers usai rapat koordinasi ekonomi nasional, Jumat (23/5/2025).

Stimulus pertama berupa diskon transportasi publik meliputi potongan harga tiket kereta api, pesawat, dan angkutan laut. Diskon ini akan diberlakukan selama periode libur sekolah, dan ditujukan untuk mendorong mobilitas masyarakat, pariwisata domestik, serta mempercepat pemulihan sektor transportasi yang masih terdampak pandemi dan tekanan ekonomi global.

Stimulus kedua berupa diskon tarif tol yang ditargetkan dapat dinikmati oleh sekitar 110 juta pengendara di seluruh Indonesia. Kebijakan ini diyakini akan mengurangi beban biaya perjalanan darat dan meningkatkan arus logistik serta wisata antardaerah.

Pada sektor energi, pemerintah juga menggelontorkan stimulus ketiga berupa diskon tarif listrik sebesar 50% untuk 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik hingga 1.300 VA, yang akan diberlakukan selama dua bulan penuh, yakni Juni dan Juli 2025. “Keringanan ini diharapkan langsung mengurangi beban pengeluaran rumah tangga kecil dan menengah,” tambah Airlangga.

Selanjutnya, stimulus keempat menyasar keluarga prasejahtera melalui peningkatan alokasi bantuan sosial, seperti kartu sembako dan bantuan pangan yang akan diberikan kepada 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tambahan bantuan ini dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki akses terhadap kebutuhan pokok selama masa liburan.

Stimulus kelima adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau di bawah UMP, serta bagi guru honorer. Pemerintah menargetkan program ini dapat memperkuat daya beli kelompok pekerja berpendapatan rendah yang sangat terdampak oleh inflasi.

Terakhir, stimulus keenam berupa perpanjangan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), khusus bagi sektor padat karya, untuk membantu dunia usaha tetap menjaga produktivitas tenaga kerja mereka.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pelaksanaan stimulus ini memerlukan kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam mendorong penciptaan kegiatan pariwisata dan hiburan lokal, agar terjadi pergerakan ekonomi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

“Pemerintah Daerah harus menjadi motor penggerak dalam mengisi liburan dengan event dan program lokal yang mampu menarik minat masyarakat. Dengan begitu, belanja domestik bisa meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap stabil,” ujarnya. (alf)

PNBP April 2025 Turun Tajam, Kemenkeu Ungkap Perubahan Kebijakan Pelaporan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga akhir April 2025 mencapai Rp153,3 triliun. Meski sudah memenuhi 29,8 persen dari target APBN tahun ini, angka tersebut mengalami penurunan signifikan sebesar 24,59 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp203,3 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perubahan metode pelaporan. Mulai tahun ini, PNBP tidak lagi mencantumkan penerimaan dari kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk dividen dari BUMN. Komponen tersebut kini dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, sehingga tidak tercermin dalam PNBP.

“PNBP dari kekayaan negara dipisahkan (KND) tidak lagi masuk dalam perhitungan penerimaan negara nonpajak,” ujar Anggito dalam konferensi pers, dikutip Senin (26/5/20225).

Meski secara tahunan mencatat kontraksi, beberapa komponen PNBP justru menunjukkan pemulihan bulanan. PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA) migas, misalnya, tumbuh 23,4 persen menjadi Rp9,1 triliun dibandingkan Maret. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan volume lifting minyak dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

PNBP dari SDA nonmigas juga membukukan kenaikan signifikan, naik 16,8 persen dari bulan sebelumnya, dengan nilai mencapai Rp11 triliun. Kinerja positif ini didorong oleh meningkatnya produksi dan harga batu bara, seiring dengan tren penguatan harga komoditas global.

Namun demikian, tidak semua pos PNBP mencatatkan kinerja baik. Kategori PNBP lainnya justru turun drastis sebesar 22,5 persen, dari Rp13,9 triliun pada Maret menjadi Rp10,8 triliun di April. Pelemahan ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan jasa bersifat musiman. Pendapatan dari Badan Layanan Umum (BLU) pun anjlok 25,3 persen menjadi Rp6,5 triliun, imbas dari penyesuaian setoran beberapa instansi BLU.

Rata-rata bulanan realisasi PNBP tahun ini pun mencerminkan tekanan tersebut. Hingga April 2025, rata-rata penerimaan bulanan tercatat Rp40,9 triliun—lebih rendah dari rata-rata April 2024 sebesar Rp44,4 triliun dan April 2023 sebesar Rp49,1 triliun.

Faktor eksternal seperti fluktuasi harga komoditas, dinamika pasar global, serta berkurangnya penerimaan nonrutin dari kementerian/lembaga disebut turut menekan kinerja PNBP tahun ini. (alf)

 

Industri Jalan Tol Terjepit Beban Pajak, BUJT Mengeluh Tak Dapat Insentif

IKPI, Jakarta: Industri jalan tol di Indonesia kembali menyuarakan keprihatinan atas berbagai kebijakan fiskal yang dinilai menyulitkan kelangsungan usaha Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Dalam rapat dengar pendapat di Komisi V DPR RI, Senin (26/5/2025), Sekretaris Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Kris Ade Sudiyono, memaparkan sederet beban pajak yang dinilai tak proporsional.

Salah satu sorotan utama adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen atas jasa konstruksi jalan tol. Ironisnya, pungutan tarif dari pengguna jalan tol tidak dikenakan PPN, sehingga BUJT tidak bisa mengkreditkan pajak masukannya. “Misalnya dari proyek senilai Rp 110 miliar, hanya Rp 100 miliar yang menjadi infrastruktur. Sisanya Rp 10 miliar, langsung menjadi beban pajak yang tak bisa dikompensasi,” ujar Kris.

Tak hanya itu, lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dinilai memberatkan. Menurutnya, terdapat kasus kenaikan PBB hingga 200–300 persen hanya dalam kurun dua tahun, tanpa dasar kenaikan nilai tanah yang sepadan. Kris mencontohkan proyek jalan tol Semarang-Demak yang juga berfungsi sebagai tanggul laut, namun tetap dibebankan PBB secara penuh.

“Padahal, fungsi tanggul laut itu bukan tujuan utama tol,” tambahnya.

Beban lain yang turut disoroti adalah keterbatasan dalam pengakuan kerugian usaha. Aturan fiskal saat ini hanya mengizinkan akumulasi kerugian selama lima tahun, sementara proyek jalan tol umumnya baru mencapai titik impas setelah 10 hingga 15 tahun. Akibatnya, BUJT tidak bisa menikmati manfaat loss carry forward secara optimal.

Kris juga menyesalkan absennya industri jalan tol dari daftar sektor penerima insentif fiskal seperti tax holiday atau tax allowance. “Padahal, tiap ruas jalan tol biasanya melibatkan investasi lebih dari Rp 5 triliun dan jelas berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur daerah,” ujarnya.

Dengan berbagai tekanan fiskal tersebut, Kris menyimpulkan bahwa mayoritas BUJT saat ini masih mencatatkan kerugian. “Banyak yang masih berdarah-darah. Ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan investasi jalan tol ke depan,” tutupnya. (alf)

 

Pelaku Industri Kripto Minta Pemerintah Hapus PPN

IKPI, Jakarta: Diskusi mengenai regulasi perpajakan aset kripto di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Dalam perayaan Bitcoin Pizza Day bertajuk Bitcoin Bites Back, pelaku industri kripto mendesak pemerintah agar segera merevisi skema pajak yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan ekosistem aset digital saat ini.

Oscar Darmawan, Co-founder Indodax, mengungkapkan bahwa persoalan pajak kripto sudah kerap menjadi topik utama dalam forum diskusi bersama Kementerian Keuangan. Menurutnya, sejak kripto dialihkan ke bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dikategorikan sebagai aset keuangan, maka seharusnya PPN tidak lagi berlaku atas transaksinya.

“Sebelumnya kripto dianggap komoditas, sehingga ada PPN 0,1% dan PPh 0,1%. Tapi sekarang statusnya sudah berubah. Seperti saham, harusnya tidak kena PPN lagi,” ujar Oscar.

Pernyataan serupa juga datang dari Hamdi Hassarbaini, CEO Bitwewe. Ia menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pajak terhadap produk keuangan. “Sekarang kripto adalah aset keuangan, bukan barang. Maka perlakuannya juga harus seperti produk keuangan lain yang tidak dikenakan PPN,” katanya.

Aturan perpajakan kripto saat ini masih mengacu pada PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Pasal 359 ayat 2(a) dalam PMK tersebut menetapkan tarif 0,1% atas transaksi aset kripto yang dilakukan melalui platform resmi, di luar komponen PPN dan pajak barang mewah. Namun, dengan perubahan otoritas pengawasan ke OJK, pelaku industri berharap beleid ini segera direvisi agar lebih selaras dengan lanskap regulasi terkini.

Dibanding Negara Lain, Pajak Kripto RI Masih Ramah

Meski demikian, Oscar mengakui bahwa secara umum, rezim pajak kripto Indonesia masih dalam taraf wajar jika dibandingkan dengan negara lain. “Setidaknya, Indonesia bukan negara dengan pajak kripto paling tinggi,” ujarnya.

Andy Lynn dari Crypstocks juga menilai Indonesia cukup kompetitif. “Kalau dibandingkan negara-negara seperti AS, Kanada, atau Jepang, tarif di sini jauh lebih ringan,” kata Andy.

Di Amerika Serikat, misalnya, aset kripto dikenakan pajak penghasilan antara 10% hingga 37% untuk keuntungan jangka pendek, dan 15% hingga 20% untuk jangka panjang. NFT bahkan bisa dikenai tarif khusus sebesar 28%.

Sementara di Kanada, kripto dikategorikan sebagai komoditas dan bisa dikenai pajak federal hingga 33%, belum termasuk pajak provinsi. Di Australia, pajak atas kripto bisa menembus 45%, sedangkan Jepang menerapkan tarif progresif hingga 55%.

Denmark juga menerapkan tarif pajak tinggi, antara 37% dan 52%, tergantung pendapatan individu. Jerman relatif lebih lunak, tetapi hanya jika aset disimpan lebih dari satu tahun—jika dijual lebih cepat, pajaknya bisa mencapai 45%. (alf)

 

 

 

 

IKPI Dorong Kepengurusan Cabang Kabupaten Bekasi Segera Aktif dan Produktif Usai Pemilihan Ketua

IKPI, Kabupaten Bekasi: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menaruh harapan besar pada pengurus baru Cabang Kabupaten Bekasi untuk segera membentuk struktur organisasi lengkap dan melaksanakan program kerja yang selaras dengan arah kebijakan pusat. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Nuryadin Rahman, saat menghadiri acara pemilihan Ketua Cabang IKPI Kabupaten Bekasi yang digelar pada Senin (26/5/2025).

Dalam forum tersebut, Nuryadin menyampaikan pentingnya kesinambungan organisasi di tingkat cabang sebagai ujung tombak pelaksanaan program dan misi IKPI di lapangan. Ia menegaskan bahwa setelah ketua cabang terpilih, langkah selanjutnya yang paling mendesak adalah pembentukan kepengurusan inti dan pendukung.

“Harapan saya sebagai pengurus pusat dan Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, setelah terpilih ketua cabang, segera dibentuk kepengurusannya. Dalam AD/ART IKPI, disebutkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada Sekretaris dan Bendahara. Tapi karena kebutuhan cabang yang beragam, tentu bisa ditambahkan seksi-seksi sesuai prioritas kerja masing-masing,” ungkap Nuryadin.

Ia juga menekankan pentingnya pengurus baru untuk langsung ‘bergerak’, menyusun agenda kegiatan, dan melibatkan anggota secara aktif dalam kegiatan yang mendukung eksistensi dan kontribusi IKPI, baik di bidang edukasi, pelayanan profesi, hingga penguatan kapasitas konsultan pajak.

“Kalau bisa, kepengurusan baru ini segera melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung organisasi. Gerak cepat ini penting agar keberadaan cabang terasa manfaatnya, tidak hanya bagi anggota, tapi juga masyarakat dan mitra strategis lainnya,” ujar Nuryadin.

Dalam acara tersebut, turut hadir Ketua Pengurus Daerah (Pengda) IKPI Jawa Barat, Heru, dan Sekretaris Pengda, Ferdian, yang memberikan dukungan langsung terhadap proses pemilihan dan konsolidasi internal di Cabang Bekasi.

Hadir pula Pengurus Pusat IKPI, Suwardi Hasan, yang juga merupakan anggota cabang Kabupaten Bekasi dan berdomisili di Cikarang. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman dan Plh Sekretaris Umum Novalina Magdalena.

Nuryadin mengakui bahwa kehadiran anggota dalam acara ini belum maksimal. Dari total sekitar 80 anggota cabang, hanya sekitar 15 orang yang hadir secara langsung. Menurutnya, semua anggota sudah diundang secara resmi melalui email, namun kemungkinan besar kesibukan pribadi menjadi kendala kehadiran.

Meski demikian, ia tetap optimistis bahwa dengan komunikasi yang baik dan pelibatan aktif dalam program kerja ke depan, partisipasi anggota akan meningkat. Ia juga mendorong ketua cabang terpilih untuk tidak menunda pembentukan program kerja dan dapat memanfaatkan dukungan dari pusat maupun daerah dalam menjalankan mandat organisasi.

Acara ini menandai babak baru bagi IKPI Cabang Kabupaten Bekasi dalam memperkuat eksistensinya di tingkat daerah, sekaligus menjadi momentum konsolidasi yang diharapkan dapat membawa energi baru bagi penguatan profesi konsultan pajak di wilayah yang berkembang pesat ini.

Sekadar informasi, pada pemilihan ini, Asep Ardiansyah terpilih sebagai Ketua IKPI Cabang Kabupaten Bekasi secara aklamasi, dan kemudian ketua terpilih harus segera membentuk jajaran kepengurusan agar roda organisasi cepat berjalan. (bl)

IKPI Mendukung Regulasi Tentang Kuasa Wajib Pajak Sesuai Amanat UU HPP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mendukung pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar segera menyusun dan menerbitkan regulasi yang mengatur dengan jelas keberadaan serta kewenangan pihak-pihak yang menerima kuasa dari wajib pajak, baik yang merupakan konsultan pajak maupun pihak lain. Regulasi tersebut dinilai krusial untuk menciptakan kepastian hukum dan menjaga integritas profesi konsultan pajak di Indonesia maupun kuasa wajib pajak dari pihak lain dalam membantu wajib pajak memenuhi hak dan/atau kewajiban di bidang perpajakan sebagaimana diatur pada UU HPP.

Menurut Vaudy, hingga saat ini belum ada aturan tegas yang mengatur mengenai pengertian “kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (3a) UU HPP. Hal ini sangat penting di atur untuk membedakan secara formal antara kuasa wajib yang diberikan kepada konsultan pajak dan yang diberikan kepada pihak lain (non-konsultan pajak). Akibatnya, banyak wajib pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah hanya konsultan pajak.

“Ini celah hukum yang sangat serius. Tidak hanya membahayakan kepentingan wajib pajak, tapi juga merusak kredibilitas sistem perpajakan secara keseluruhan bahkan profesi konsultan pajak sendiri,” tegasnya.

IKPI mengusulkan agar pemerintah tidak hanya membedakan secara administratif antara dua kelompok ini, tapi juga memberikan perlakuan yang setara dari sisi pengawasan dan kewajiban. Ia menekankan bahwa siapa pun yang menerima kuasa dari wajib pajak dalam urusan perpajakan, baik konsultan pajak maupun pihak lain (non-konsultan pajak) harus tunduk pada persyaratan dan standar profesional yang sama.

“Kalau pemerintah mengizinkan non-konsultan untuk bertindak sebagai kuasa wajib pajak, maka mereka juga harus dikenai kewajiban dan hak yang sama seperti konsultan pajak. Mereka harus diwajibkan ujian sertifikasi, menyampaikan laporan tahunan kepada pemerintah, serta mengikuti Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan mempunyai kode etik,” ujarnya.

IKPI menilai bahwa perlakuan berbeda antara konsultan pajak dan pihak lain yang bekerja di bidang perpajakan ini justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam praktik perpajakan. Aturan tentang Konsultan Pajak sudah jelas yaitu pada PMK 175/PMK.03/2022, pada PMK ini membebankan konsultan pajak dari berbagai kewajiban profesional, mulai dari pelaporan, kode etik, hingga pengembangan kapasitas secara berkelanjutan, sementara pihak lain non-konsultan tidak ada pengaturan yang jelas pada hal keduanya bekerja pada bidang yang sama yaitu membantu wajib pajak untuk memenuhi hak dan/atau kewajiban perpajakannya.

“Jika dibiarkan seperti ini, konsultan pajak akan selalu berada di posisi tidak seimbang bahkan cenderung menjadikan profesi konsultan pajak sebagai profesi yang tidak menarik dibandingkan kuasa wajib pajak dari pihak lain. Kami kami harus ujian sertifikasi, diawasi, kami dikenai PPL, kami tunduk pada kode etik dan sanksi, kami di atur melalui peraturan Menteri keuangan sedangkan kuasa wajib pajak dari pihak lain tidak ada pengaturannya. Padahal mereka juga terlibat langsung dalam kegiatan perpajakan melalui kuasa wajib pajak. Ini sangat tidak adil. Untuk itu IKPI sangat mendukung pengaturan mengenai kuasa wajib pajak sesuai amanat UU HPP,” katanya.

Sebagai organisasi profesi yang menaungi lebih dari 7.000 konsultan pajak bersertifikat di seluruh Indonesia, IKPI meminta agar Kemenkeu segera menyusun regulasi yang memuat:

• Definisi dan kriteria kuasa wajib pajak,

• Kewajiban pelaporan dan pengembangan profesional berkelanjutan bagi seluruh penerima kuasa,

• Sanksi administratif dan pidana bagi pihak yang mengaku sebagai kuasa wajib pajak tanpa legitimasi,

• ⁠Kewajiban registrasi dalam sistem informasi resmi Kemenkeu seperti SIKoP bagi konsultan pajak.

“Regulasi ini bukan hanya untuk melindungi profesi wajib pajak, tapi lebih penting lagi untuk melindungi wajib pajak dan menjaga wibawa hukum sistem perpajakan kita. Semua pihak yang menjalankan fungsi strategis dalam sistem perpajakan harus tunduk pada aturan yang adil dan setara,” kata Vaudy.

Diketahui, pernyataan Vaudy ini mengacu kepada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dalam UU HPP yang berbunyi “Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,”

Lebih lanjut ia menyebutkan, pada Pasal 32 ayat (3) UU HPP mengatur bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pada penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU HPP menjelaskan mengenai seorang kuasa, yaitu orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 khususnya Pasal 51, pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak. Yaitu membedakan Kuasa Wajib Pajak yang terdiri dari Konsultan Pajak, Pihak Lain, atau Keluarga. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak.

Namun, pada prakteknya Wajib Pajak tidak dapat membedakan antara Kuasa Wajib Pajak dari Konsultan Pajak maupun Pihak Lain. Wajib Pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah konsultan pajak saja, namun UU HPP telah membedakan antara profesi Konsultan Pajak maupun Pihak Lain dalam membantu Wajib Pajak untuk memenuhi hak da/atau kewajibannya. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Tegaskan Idrus Efendi Bukan Konsultan Pajak Resmi: Masyarakat Diimbau Cek Lewat SIKoP Sebelum Gunakan Jasa KP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menanggapi pemberitaan Kompas.com berjudul “Produsernya Ditangkap, Film Ini Ternyata Dibiayai dari Hasil Penggelapan Rp 2,2 Miliar” yang tayang pada Minggu, 25 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, tersangka Idrus Efendi disebut sebagai “konsultan pajak” yang menggelapkan dana kliennya hingga Rp2,2 miliar untuk membiayai produksi film.

Menanggapi hal itu, Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono menegaskan bahwa Idrus Efendi bukan Konsultan Pajak (KP) resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. “Kami ingin meluruskan bahwa berdasarkan data yang kami miliki, yang bersumber dari Sistem Informasi Konsultan Pajak (SIKoP), nama yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai konsultan pajak. Ia bukan anggota IKPI dan tidak memiliki izin praktik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan,” kata Jemmi, Senin (26/5/2025).

Jemmi mengimbau masyarakat, khususnya para Wajib Pajak (WP), untuk tidak sembarangan menggunakan jasa pihak yang mengaku sebagai konsultan pajak. Menurutnya, hanya konsultan pajak resmi yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab profesional untuk mewakili, mendampingi, atau memberi nasihat kepada WP dalam urusan perpajakan.

“Jasa konsultan pajak adalah jasa kepercayaan. Konsultan pajak resmi harus melalui proses sertifikasi, memiliki izin praktik, dan wajib mengikuti pelatihan serta pembinaan secara berkala. Setiap pelanggaran kode etik bisa dikenai sanksi. Ini berbeda jauh dengan pihak-pihak yang hanya mengaku-ngaku,” jelasnya.

Untuk itu, Jemmi menekankan pentingnya melakukan pengecekan status KP melalui SIKoP (Sistem Informasi Konsultan Pajak) yang dikelola oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), Kementerian Keuangan. “Wajib Pajak bisa dengan mudah mengecek status seorang konsultan pajak melalui laman resmi https://sikop.pajak.go.id. Di sana tersedia data lengkap, termasuk tingkat sertifikasi dan nomor izin praktik,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Jemmi menjelaskan bahwa konsultan pajak terdaftar bukan hanya tunduk pada regulasi perpajakan, tetapi juga diawasi oleh organisasi profesi seperti IKPI. Setiap anggota wajib mematuhi kode etik, menjalani pembaruan pengetahuan secara berkala (continuous professional development), serta menjaga integritas dan profesionalisme dalam melayani klien.

“Profesi konsultan pajak bukan sekadar soal menghitung pajak atau mengisi formulir SPT. Ini menyangkut nasihat hukum dan kepatuhan pajak yang dapat berdampak signifikan pada risiko hukum maupun keuangan klien. Maka dari itu, menggunakan jasa konsultan pajak ilegal sama saja menaruh risiko besar atas nama pribadi atau perusahaan,” ujarnya.

IKPI juga mengingatkan media massa agar lebih berhati-hati dalam menyebut status hukum seseorang sebagai konsultan pajak. “Sebutan ‘konsultan pajak’ tidak boleh digunakan sembarangan. Ada standar profesional dan perizinan yang melekat. Memberi label kepada tersangka yang bukan KP bisa merugikan profesi secara keseluruhan,” kata Jemmi. (bl)

Ketua Umum IKPI: BPN Bisa Jadi Kunci Reformasi Fiskal Indonesia

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan terobosan struktural dalam sistem perpajakannya untuk menjawab tantangan fiskal jangka panjang. Salah satu wacana yang mengemuka adalah pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), yang menurutnya bisa menjadi solusi strategis untuk mendorong efisiensi, inklusivitas, dan keberlanjutan penerimaan negara.

Pernyataan ini disampaikan menjelang gelaran Diskusi Panel IKPI bertajuk “Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya?” yang akan diselenggarakan pada Jumat, 30 Mei 2025, pukul 14.00–17.00 WIB melalui Zoom Meeting.

“BPN bukan hanya soal efisiensi fiskal, tapi juga soal arah masa depan kelembagaan penerimaan negara kita. Perlu dipikirkan secara konstitusional dan kelembagaan: apakah idealnya berada di bawah Presiden, Menteri, atau independen?” ujar Vaudy, Senin (26/5/2025).

Diskusi ini akan menghadirkan narasumber berkompeten, antara lain Dr. Machfud Sidik (Dirjen Pajak 2000-2001), Prof. Dr. Edi Slamet Irianto (pakar hukum fiskal), Dr. Ning Rahayu (Guru Besar FIA-UI), dan Pino Siddharta (Ketua Departemen PPKF IKPI). Moderator diskusi adalah Ratna Febrina, Ketua Departemen Hukum IKPI.

Fokus Utama Diskusi Panel:
• Dasar hukum dan konstitusional pembentukan BPN
• Desain ideal kelembagaan BPN
• Manfaat fiskal dan administratif
• Tantangan sumber daya manusia dan teknologi
• Studi banding dari negara lain serta strategi transisi kelembagaan di Indonesia

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis, dengan tujuan utama merumuskan rekomendasi kebijakan konkret bagi Pemerintah terkait optimalisasi sistem penerimaan negara.

Pendaftaran dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/DiskusiPanelMasadepanFiskalIndonesia. (bl)

Trump Tunda Tarif Impor 50% untuk Uni Eropa

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif impor sebesar 50% terhadap berbagai produk dari Uni Eropa, setelah menerima permintaan langsung dari Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Keputusan ini diumumkan Trump pada Minggu malam waktu setempat, hanya dua hari setelah ia mengancam percepatan tarif baru mulai 1 Juni mendatang.

Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Putih, Trump mengungkapkan bahwa von der Leyen telah menghubunginya melalui sambungan telepon. “Dia menelepon saya dan meminta tambahan waktu. Katanya kami akan segera bertemu untuk mencari solusi. Saya menghargai itu, jadi saya beri mereka waktu hingga 9 Juli,” ujar Trump dikutip dari Reuters, Senin (26/5/2025).

Penundaan ini memberi napas bagi jalannya perundingan dagang antara kedua kekuatan ekonomi tersebut, yang sebelumnya berada di ujung tanduk akibat ancaman kebijakan tarif tinggi dari Trump. Ancaman yang dilontarkan Jumat lalu sempat mengguncang pasar global dan menimbulkan kecemasan akan potensi kembalinya perang dagang lintas Atlantik.

Von der Leyen dalam pernyataan terpisah di platform X menyebutkan bahwa pembicaraan dengan Trump berjalan “konstruktif”, dan menegaskan kesiapan Uni Eropa untuk mempercepat proses negosiasi. “Kami siap bekerja keras demi mencapai kesepakatan yang adil,” tulisnya.

Sebelumnya, pada April lalu, Trump telah menetapkan tenggat 90 hari bagi perundingan dagang AS-Uni Eropa, yang berarti batas waktunya jatuh pada 9 Juli. Namun pernyataan mengejutkan Trump pekan lalu, yang mengisyaratkan tarif baru bisa berlaku mulai 1 Juni, memicu kekhawatiran akan arah kebijakan perdagangannya yang semakin agresif.

Tarif yang direncanakan itu mencakup berbagai sektor penting, termasuk otomotif, makanan, hingga elektronik, dan dikhawatirkan dapat memicu respons serupa dari Brussels. Para pelaku pasar dan pelaku industri pun menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa mengganggu stabilitas perdagangan internasional serta menaikkan harga konsumen di AS.

Meski kini ada penundaan, analis menilai langkah Trump ini tetap mencerminkan niatnya untuk menekan mitra dagang luar negeri sebagai bagian dari agenda ekonomi domestiknya. Terutama di tengah tekanan politik dalam negeri untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan menekan defisit neraca dagang.

Di sisi lain, Uni Eropa kini berlomba dengan waktu untuk menyusun usulan kompromi baru, yang dilaporkan mencakup peningkatan akses pasar bagi produk AS dan perlindungan strategis bagi sektor kunci seperti pertanian dan industri mobil.

Dengan tenggat baru yang hanya beberapa minggu lagi, dunia menanti apakah dua pemain besar ini bisa menemukan titik temu atau justru kembali memanaskan tensi dagang global. (alf)

 

 

 

 

 

Tak Semua Bisa Jadi Kuasa Wajib Pajak, Ini Aturannya Menurut UU HPP!

IKPI, Jakarta: Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) membawa angin segar sekaligus tantangan baru bagi para wajib pajak. Salah satu perubahan signifikan hadir dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang mewajibkan kuasa wajib pajak memiliki kompetensi khusus di bidang perpajakan.

Dalam aturan baru ini, tidak semua orang bisa serta-merta menjadi kuasa wajib pajak. Mereka yang ditunjuk harus memiliki kualifikasi tertentu, seperti tingkat pendidikan yang relevan, sertifikasi di bidang perpajakan, atau telah melalui pembinaan resmi oleh asosiasi profesi maupun Kementerian Keuangan.

Namun demikian, pemerintah tetap memberikan kelonggaran dalam lingkup kekeluargaan. Ketentuan kompetensi tidak berlaku jika kuasa merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda hingga derajat kedua. Artinya, keluarga inti tetap bisa membantu urusan perpajakan tanpa perlu sertifikasi tambahan.

“Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,” demikian bunyi Pasal 32 ayat (3a) sebagaimana dimuat dalam UU HPP.

Penjelasan lebih lanjut menyebutkan bahwa konsultan pajak dan pihak lain tetap dapat ditunjuk sebagai kuasa, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perpajakan.

Kuasa wajib pajak sendiri adalah pihak yang diberi mandat melalui surat kuasa khusus untuk mewakili wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Baik orang pribadi maupun badan dapat menunjuk kuasa sebagai bentuk kemudahan dan dukungan dalam menghadapi kompleksitas peraturan perpajakan nasional.

Lebih jauh lagi, Pasal 44E ayat (2) UU KUP yang telah diperbarui oleh UU HPP, menyatakan bahwa seluruh pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan oleh kuasa—termasuk syarat kompetensinya—akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Ini menandai pendekatan regulatif yang lebih terstruktur dan profesional terhadap peran kuasa wajib pajak.

Dibandingkan dengan aturan sebelumnya, perubahan ini menegaskan bahwa kompetensi bukan lagi opsional. Bila dulu ketentuan hanya menyebut bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban akan diatur dengan PMK, kini secara eksplisit disyaratkan adanya kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh seorang kuasa.

Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan sekaligus memperkuat kepatuhan pajak di kalangan masyarakat. (alf/bl)

 

en_US