BPK Beri WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah: Ingatkan Ketidaksesuaian Data Pajak

IKPI, Jakarta: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2024 kembali meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski menjadi bentuk apresiasi atas pengelolaan anggaran negara yang dinilai transparan, laporan tersebut juga memuat sejumlah temuan penting yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah.

Ketua BPK Isma Yatun menyebut, salah satu perhatian utama adalah adanya ketidaksesuaian data antara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang disampaikan oleh wajib pajak maupun pihak pemungut, dibandingkan dengan catatan yang tercatat dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah.

“Temuan kami menunjukkan bahwa perbedaan data penyetoran PPN dan PPh tidak dapat langsung terdeteksi oleh sistem perpajakan yang ada saat ini,” ujar Isma dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (27/5/2025).

Masalah ini menunjukkan perlunya penguatan sistem informasi perpajakan, khususnya dalam aspek konsolidasi dan validasi data secara otomatis untuk meningkatkan akurasi dan keandalan pelaporan pajak.

Tak hanya itu, BPK juga mencatat bahwa pengendalian terhadap belanja pegawai dan pengelolaan dana transfer ke daerah yang telah ditentukan penggunaannya masih belum sepenuhnya memadai. Selain itu, penyajian belanja dibayar di muka dinilai belum tersusun dengan optimal dan penyelesaiannya masih cenderung memakan waktu lama.

“Temuan-temuan ini perlu segera ditindaklanjuti. Efektivitas dan efisiensi pengelolaan APBN adalah fondasi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Isma.

Isma juga menyoroti perlunya peningkatan dalam penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah (CAL LKPP), terutama terkait pelaporan kinerja. Menurutnya, masih terdapat ruang perbaikan dalam aspek sumber daya manusia, metodologi, hingga pedoman penyusunan laporan agar dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap capaian dan dampak penggunaan anggaran negara.

“Informasi yang lebih komprehensif dari laporan kinerja ini akan menjadi dasar yang kuat dalam pengambilan kebijakan fiskal strategis ke depan,” tambahnya.

Dengan capaian WTP ini, pemerintah didorong untuk terus memperbaiki tata kelola, memperkuat integrasi sistem, dan memastikan setiap rupiah dari anggaran negara benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.(alf)

 

DJP Atur 13 Layanan Pajak Baru lewat PER-8/PJ/2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 yang secara khusus mengatur ketentuan baru dalam pemberian layanan administrasi perpajakan tertentu melalui sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system. Regulasi ini ditetapkan pada 21 Mei 2025 dan mulai berlaku sejak tanggal tersebut.

Langkah ini diambil sebagai respons atas kebutuhan penyesuaian regulasi administratif yang belum sepenuhnya tercakup dalam ketentuan teknis sebelumnya. Beberapa perdirjen maupun keputusan dirjen yang lama dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sistem coretax sehingga perlu diganti atau dicabut.

“Perlu menetapkan peraturan direktur jenderal pajak tentang ketentuan pemberian layanan administrasi perpajakan tertentu dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan,” demikian bunyi bagian pertimbangan PER-8/PJ/2025.

Regulasi ini mencakup 13 jenis layanan administrasi perpajakan, antara lain:

• Tata cara permohonan dan penerbitan Surat Keterangan Fiskal (SKF).

• Prosedur perubahan metode pembukuan atau tahun buku.

• Izin pembukuan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang dolar AS.

• Pengajuan dan penerbitan keputusan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam penggabungan atau akuisisi usaha.

• Penilaian kembali aktiva tetap untuk keperluan perpajakan.

• Permohonan pembebasan dari pemotongan PPh oleh pihak ketiga.

• Penerbitan SKB PPh Pasal 22 atas impor emas batangan untuk ekspor perhiasan.

• SKB pemotongan PPh atas bunga deposito dan diskonto SBI bagi dana pensiun.

• Pengecualian PPh atas pengalihan tanah/bangunan serta pembebasan PPh untuk hunian mewah di KEK pariwisata.

• Pemeriksaan bukti setor PPh terkait pengalihan hak tanah/bangunan.

• Surat keterangan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean atas impor barang.

• Pencabutan persetujuan pengenaan PPh hanya atas penghasilan dari Indonesia.

• Layanan pemenuhan syarat perpajakan bagi bakal calon kepala daerah.

DJP juga menegaskan bahwa seluruh produk layanan yang berkaitan dengan 13 layanan tersebut dan telah diterbitkan sejak 1 Januari 2025 tetap sah dan berlaku meskipun dikeluarkan sebelum PER-8/PJ/2025 ditetapkan. (alf)

 

Jual Saham di Indonesia, Investor Asing Wajib Bayar Pajak 5% dari Harga Jual

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali mempertegas komitmennya dalam menciptakan rezim perpajakan yang adil dan setara bagi seluruh pelaku ekonomi, termasuk investor asing. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, khususnya Pasal 238, yang mengatur pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari penjualan saham oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa atas penghasilan dari penjualan saham perusahaan di Indonesia yang diperoleh WPLN, dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Namun, yang menarik adalah cara penghitungan penghasilan neto tersebut.

Penghasilan neto diperkirakan sebesar 25% dari harga jual saham, sehingga tarif efektif yang dikenakan terhadap nilai transaksi penjualan saham menjadi 5% dari harga jual (20% x 25%). Skema ini memberikan kejelasan perhitungan pajak sekaligus penyederhanaan administrasi perpajakan atas transaksi yang bersifat lintas negara.

Ketentuan Final dan Tidak Dapat Dikreditkan

Penting untuk dicatat bahwa pemotongan PPh ini bersifat final. Artinya, pajak yang telah dibayarkan oleh investor asing atas penjualan saham tidak dapat dikreditkan kembali dalam perhitungan pajak lainnya.

Hal ini memberikan kepastian hukum sekaligus menyederhanakan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak luar negeri, karena mereka tidak lagi harus melaporkan penghasilan tersebut dalam sistem pajak Indonesia secara lebih lanjut.

Perlakuan Khusus bagi Negara Mitra P3B

Meskipun ketentuan ini berlaku umum bagi seluruh WPLN, terdapat pengecualian yang diatur dalam ayat (2) Pasal 238. Bagi WPLN yang berasal dari negara yang telah memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan jika hak pemajakan atas penghasilan tersebut berada di tangan Indonesia, sesuai isi perjanjian bilateral tersebut.

Artinya, investor dari negara-negara mitra P3B bisa mendapatkan pengurangan tarif atau bahkan pembebasan pajak, bergantung pada ketentuan dalam perjanjian yang bersangkutan. Hal ini memberikan fleksibilitas sekaligus mematuhi prinsip-prinsip perpajakan internasional yang berlaku.

Mendorong Kepatuhan dan Transparansi di Pasar Modal

Penerapan ketentuan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dari transaksi pasar modal, serta menutup celah penghindaran pajak yang selama ini mungkin dimanfaatkan melalui mekanisme offshore.

Selain itu, pengenaan tarif pajak yang final dan transparan ini juga diharapkan dapat memperkuat iklim investasi yang sehat dan adil, dengan mendorong investor asing untuk lebih memahami dan patuh terhadap ketentuan perpajakan domestik.

Dengan berlakunya PMK 81/2024, para pelaku pasar, konsultan pajak, dan investor asing diimbau untuk segera memahami dan menyesuaikan strategi transaksi saham mereka, khususnya dalam hal pelaporan dan penghitungan kewajiban pajak. Pengelola pasar modal dan kustodian juga perlu memastikan bahwa pemotongan PPh dilakukan sesuai ketentuan baru ini untuk menghindari potensi sanksi administrasi. (alf)

 

Pemerintah Luncurkan 6 Paket Stimulus Konsumsi Domestik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian resmi mengumumkan rencana peluncuran enam paket stimulus ekonomi berbasis konsumsi domestik yang dirancang untuk memperkuat daya beli masyarakat selama periode liburan sekolah Juni–Juli 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa stimulus ini difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti transportasi, energi, serta perlindungan sosial, dengan tujuan utama menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional di tengah tantangan global.

“Paket stimulus ini sedang difinalisasi dan dijadwalkan akan diluncurkan pada tanggal 5 Juni 2025. Pemerintah melihat momentum libur sekolah sebagai peluang strategis untuk mendorong perputaran ekonomi dari bawah, melalui peningkatan konsumsi masyarakat,” ujar Airlangga dalam konferensi pers usai rapat koordinasi ekonomi nasional, Jumat (23/5/2025).

Stimulus pertama berupa diskon transportasi publik meliputi potongan harga tiket kereta api, pesawat, dan angkutan laut. Diskon ini akan diberlakukan selama periode libur sekolah, dan ditujukan untuk mendorong mobilitas masyarakat, pariwisata domestik, serta mempercepat pemulihan sektor transportasi yang masih terdampak pandemi dan tekanan ekonomi global.

Stimulus kedua berupa diskon tarif tol yang ditargetkan dapat dinikmati oleh sekitar 110 juta pengendara di seluruh Indonesia. Kebijakan ini diyakini akan mengurangi beban biaya perjalanan darat dan meningkatkan arus logistik serta wisata antardaerah.

Pada sektor energi, pemerintah juga menggelontorkan stimulus ketiga berupa diskon tarif listrik sebesar 50% untuk 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik hingga 1.300 VA, yang akan diberlakukan selama dua bulan penuh, yakni Juni dan Juli 2025. “Keringanan ini diharapkan langsung mengurangi beban pengeluaran rumah tangga kecil dan menengah,” tambah Airlangga.

Selanjutnya, stimulus keempat menyasar keluarga prasejahtera melalui peningkatan alokasi bantuan sosial, seperti kartu sembako dan bantuan pangan yang akan diberikan kepada 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tambahan bantuan ini dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki akses terhadap kebutuhan pokok selama masa liburan.

Stimulus kelima adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau di bawah UMP, serta bagi guru honorer. Pemerintah menargetkan program ini dapat memperkuat daya beli kelompok pekerja berpendapatan rendah yang sangat terdampak oleh inflasi.

Terakhir, stimulus keenam berupa perpanjangan program diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), khusus bagi sektor padat karya, untuk membantu dunia usaha tetap menjaga produktivitas tenaga kerja mereka.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pelaksanaan stimulus ini memerlukan kerja sama erat antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam mendorong penciptaan kegiatan pariwisata dan hiburan lokal, agar terjadi pergerakan ekonomi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

“Pemerintah Daerah harus menjadi motor penggerak dalam mengisi liburan dengan event dan program lokal yang mampu menarik minat masyarakat. Dengan begitu, belanja domestik bisa meningkat dan pertumbuhan ekonomi tetap stabil,” ujarnya. (alf)

PNBP April 2025 Turun Tajam, Kemenkeu Ungkap Perubahan Kebijakan Pelaporan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga akhir April 2025 mencapai Rp153,3 triliun. Meski sudah memenuhi 29,8 persen dari target APBN tahun ini, angka tersebut mengalami penurunan signifikan sebesar 24,59 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp203,3 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perubahan metode pelaporan. Mulai tahun ini, PNBP tidak lagi mencantumkan penerimaan dari kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk dividen dari BUMN. Komponen tersebut kini dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, sehingga tidak tercermin dalam PNBP.

“PNBP dari kekayaan negara dipisahkan (KND) tidak lagi masuk dalam perhitungan penerimaan negara nonpajak,” ujar Anggito dalam konferensi pers, dikutip Senin (26/5/20225).

Meski secara tahunan mencatat kontraksi, beberapa komponen PNBP justru menunjukkan pemulihan bulanan. PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA) migas, misalnya, tumbuh 23,4 persen menjadi Rp9,1 triliun dibandingkan Maret. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan volume lifting minyak dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

PNBP dari SDA nonmigas juga membukukan kenaikan signifikan, naik 16,8 persen dari bulan sebelumnya, dengan nilai mencapai Rp11 triliun. Kinerja positif ini didorong oleh meningkatnya produksi dan harga batu bara, seiring dengan tren penguatan harga komoditas global.

Namun demikian, tidak semua pos PNBP mencatatkan kinerja baik. Kategori PNBP lainnya justru turun drastis sebesar 22,5 persen, dari Rp13,9 triliun pada Maret menjadi Rp10,8 triliun di April. Pelemahan ini disebabkan oleh berkurangnya pendapatan jasa bersifat musiman. Pendapatan dari Badan Layanan Umum (BLU) pun anjlok 25,3 persen menjadi Rp6,5 triliun, imbas dari penyesuaian setoran beberapa instansi BLU.

Rata-rata bulanan realisasi PNBP tahun ini pun mencerminkan tekanan tersebut. Hingga April 2025, rata-rata penerimaan bulanan tercatat Rp40,9 triliun—lebih rendah dari rata-rata April 2024 sebesar Rp44,4 triliun dan April 2023 sebesar Rp49,1 triliun.

Faktor eksternal seperti fluktuasi harga komoditas, dinamika pasar global, serta berkurangnya penerimaan nonrutin dari kementerian/lembaga disebut turut menekan kinerja PNBP tahun ini. (alf)

 

Industri Jalan Tol Terjepit Beban Pajak, BUJT Mengeluh Tak Dapat Insentif

IKPI, Jakarta: Industri jalan tol di Indonesia kembali menyuarakan keprihatinan atas berbagai kebijakan fiskal yang dinilai menyulitkan kelangsungan usaha Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Dalam rapat dengar pendapat di Komisi V DPR RI, Senin (26/5/2025), Sekretaris Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Kris Ade Sudiyono, memaparkan sederet beban pajak yang dinilai tak proporsional.

Salah satu sorotan utama adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen atas jasa konstruksi jalan tol. Ironisnya, pungutan tarif dari pengguna jalan tol tidak dikenakan PPN, sehingga BUJT tidak bisa mengkreditkan pajak masukannya. “Misalnya dari proyek senilai Rp 110 miliar, hanya Rp 100 miliar yang menjadi infrastruktur. Sisanya Rp 10 miliar, langsung menjadi beban pajak yang tak bisa dikompensasi,” ujar Kris.

Tak hanya itu, lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dinilai memberatkan. Menurutnya, terdapat kasus kenaikan PBB hingga 200–300 persen hanya dalam kurun dua tahun, tanpa dasar kenaikan nilai tanah yang sepadan. Kris mencontohkan proyek jalan tol Semarang-Demak yang juga berfungsi sebagai tanggul laut, namun tetap dibebankan PBB secara penuh.

“Padahal, fungsi tanggul laut itu bukan tujuan utama tol,” tambahnya.

Beban lain yang turut disoroti adalah keterbatasan dalam pengakuan kerugian usaha. Aturan fiskal saat ini hanya mengizinkan akumulasi kerugian selama lima tahun, sementara proyek jalan tol umumnya baru mencapai titik impas setelah 10 hingga 15 tahun. Akibatnya, BUJT tidak bisa menikmati manfaat loss carry forward secara optimal.

Kris juga menyesalkan absennya industri jalan tol dari daftar sektor penerima insentif fiskal seperti tax holiday atau tax allowance. “Padahal, tiap ruas jalan tol biasanya melibatkan investasi lebih dari Rp 5 triliun dan jelas berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur daerah,” ujarnya.

Dengan berbagai tekanan fiskal tersebut, Kris menyimpulkan bahwa mayoritas BUJT saat ini masih mencatatkan kerugian. “Banyak yang masih berdarah-darah. Ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan investasi jalan tol ke depan,” tutupnya. (alf)

 

Pelaku Industri Kripto Minta Pemerintah Hapus PPN

IKPI, Jakarta: Diskusi mengenai regulasi perpajakan aset kripto di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Dalam perayaan Bitcoin Pizza Day bertajuk Bitcoin Bites Back, pelaku industri kripto mendesak pemerintah agar segera merevisi skema pajak yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan ekosistem aset digital saat ini.

Oscar Darmawan, Co-founder Indodax, mengungkapkan bahwa persoalan pajak kripto sudah kerap menjadi topik utama dalam forum diskusi bersama Kementerian Keuangan. Menurutnya, sejak kripto dialihkan ke bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dikategorikan sebagai aset keuangan, maka seharusnya PPN tidak lagi berlaku atas transaksinya.

“Sebelumnya kripto dianggap komoditas, sehingga ada PPN 0,1% dan PPh 0,1%. Tapi sekarang statusnya sudah berubah. Seperti saham, harusnya tidak kena PPN lagi,” ujar Oscar.

Pernyataan serupa juga datang dari Hamdi Hassarbaini, CEO Bitwewe. Ia menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pajak terhadap produk keuangan. “Sekarang kripto adalah aset keuangan, bukan barang. Maka perlakuannya juga harus seperti produk keuangan lain yang tidak dikenakan PPN,” katanya.

Aturan perpajakan kripto saat ini masih mengacu pada PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Pasal 359 ayat 2(a) dalam PMK tersebut menetapkan tarif 0,1% atas transaksi aset kripto yang dilakukan melalui platform resmi, di luar komponen PPN dan pajak barang mewah. Namun, dengan perubahan otoritas pengawasan ke OJK, pelaku industri berharap beleid ini segera direvisi agar lebih selaras dengan lanskap regulasi terkini.

Dibanding Negara Lain, Pajak Kripto RI Masih Ramah

Meski demikian, Oscar mengakui bahwa secara umum, rezim pajak kripto Indonesia masih dalam taraf wajar jika dibandingkan dengan negara lain. “Setidaknya, Indonesia bukan negara dengan pajak kripto paling tinggi,” ujarnya.

Andy Lynn dari Crypstocks juga menilai Indonesia cukup kompetitif. “Kalau dibandingkan negara-negara seperti AS, Kanada, atau Jepang, tarif di sini jauh lebih ringan,” kata Andy.

Di Amerika Serikat, misalnya, aset kripto dikenakan pajak penghasilan antara 10% hingga 37% untuk keuntungan jangka pendek, dan 15% hingga 20% untuk jangka panjang. NFT bahkan bisa dikenai tarif khusus sebesar 28%.

Sementara di Kanada, kripto dikategorikan sebagai komoditas dan bisa dikenai pajak federal hingga 33%, belum termasuk pajak provinsi. Di Australia, pajak atas kripto bisa menembus 45%, sedangkan Jepang menerapkan tarif progresif hingga 55%.

Denmark juga menerapkan tarif pajak tinggi, antara 37% dan 52%, tergantung pendapatan individu. Jerman relatif lebih lunak, tetapi hanya jika aset disimpan lebih dari satu tahun—jika dijual lebih cepat, pajaknya bisa mencapai 45%. (alf)

 

 

 

 

IKPI Dorong Kepengurusan Cabang Kabupaten Bekasi Segera Aktif dan Produktif Usai Pemilihan Ketua

IKPI, Kabupaten Bekasi: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menaruh harapan besar pada pengurus baru Cabang Kabupaten Bekasi untuk segera membentuk struktur organisasi lengkap dan melaksanakan program kerja yang selaras dengan arah kebijakan pusat. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Nuryadin Rahman, saat menghadiri acara pemilihan Ketua Cabang IKPI Kabupaten Bekasi yang digelar pada Senin (26/5/2025).

Dalam forum tersebut, Nuryadin menyampaikan pentingnya kesinambungan organisasi di tingkat cabang sebagai ujung tombak pelaksanaan program dan misi IKPI di lapangan. Ia menegaskan bahwa setelah ketua cabang terpilih, langkah selanjutnya yang paling mendesak adalah pembentukan kepengurusan inti dan pendukung.

“Harapan saya sebagai pengurus pusat dan Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, setelah terpilih ketua cabang, segera dibentuk kepengurusannya. Dalam AD/ART IKPI, disebutkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada Sekretaris dan Bendahara. Tapi karena kebutuhan cabang yang beragam, tentu bisa ditambahkan seksi-seksi sesuai prioritas kerja masing-masing,” ungkap Nuryadin.

Ia juga menekankan pentingnya pengurus baru untuk langsung ‘bergerak’, menyusun agenda kegiatan, dan melibatkan anggota secara aktif dalam kegiatan yang mendukung eksistensi dan kontribusi IKPI, baik di bidang edukasi, pelayanan profesi, hingga penguatan kapasitas konsultan pajak.

“Kalau bisa, kepengurusan baru ini segera melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung organisasi. Gerak cepat ini penting agar keberadaan cabang terasa manfaatnya, tidak hanya bagi anggota, tapi juga masyarakat dan mitra strategis lainnya,” ujar Nuryadin.

Dalam acara tersebut, turut hadir Ketua Pengurus Daerah (Pengda) IKPI Jawa Barat, Heru, dan Sekretaris Pengda, Ferdian, yang memberikan dukungan langsung terhadap proses pemilihan dan konsolidasi internal di Cabang Bekasi.

Hadir pula Pengurus Pusat IKPI, Suwardi Hasan, yang juga merupakan anggota cabang Kabupaten Bekasi dan berdomisili di Cikarang. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman dan Plh Sekretaris Umum Novalina Magdalena.

Nuryadin mengakui bahwa kehadiran anggota dalam acara ini belum maksimal. Dari total sekitar 80 anggota cabang, hanya sekitar 15 orang yang hadir secara langsung. Menurutnya, semua anggota sudah diundang secara resmi melalui email, namun kemungkinan besar kesibukan pribadi menjadi kendala kehadiran.

Meski demikian, ia tetap optimistis bahwa dengan komunikasi yang baik dan pelibatan aktif dalam program kerja ke depan, partisipasi anggota akan meningkat. Ia juga mendorong ketua cabang terpilih untuk tidak menunda pembentukan program kerja dan dapat memanfaatkan dukungan dari pusat maupun daerah dalam menjalankan mandat organisasi.

Acara ini menandai babak baru bagi IKPI Cabang Kabupaten Bekasi dalam memperkuat eksistensinya di tingkat daerah, sekaligus menjadi momentum konsolidasi yang diharapkan dapat membawa energi baru bagi penguatan profesi konsultan pajak di wilayah yang berkembang pesat ini.

Sekadar informasi, pada pemilihan ini, Asep Ardiansyah terpilih sebagai Ketua IKPI Cabang Kabupaten Bekasi secara aklamasi, dan kemudian ketua terpilih harus segera membentuk jajaran kepengurusan agar roda organisasi cepat berjalan. (bl)

IKPI Mendukung Regulasi Tentang Kuasa Wajib Pajak Sesuai Amanat UU HPP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mendukung pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar segera menyusun dan menerbitkan regulasi yang mengatur dengan jelas keberadaan serta kewenangan pihak-pihak yang menerima kuasa dari wajib pajak, baik yang merupakan konsultan pajak maupun pihak lain. Regulasi tersebut dinilai krusial untuk menciptakan kepastian hukum dan menjaga integritas profesi konsultan pajak di Indonesia maupun kuasa wajib pajak dari pihak lain dalam membantu wajib pajak memenuhi hak dan/atau kewajiban di bidang perpajakan sebagaimana diatur pada UU HPP.

Menurut Vaudy, hingga saat ini belum ada aturan tegas yang mengatur mengenai pengertian “kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (3a) UU HPP. Hal ini sangat penting di atur untuk membedakan secara formal antara kuasa wajib yang diberikan kepada konsultan pajak dan yang diberikan kepada pihak lain (non-konsultan pajak). Akibatnya, banyak wajib pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah hanya konsultan pajak.

“Ini celah hukum yang sangat serius. Tidak hanya membahayakan kepentingan wajib pajak, tapi juga merusak kredibilitas sistem perpajakan secara keseluruhan bahkan profesi konsultan pajak sendiri,” tegasnya.

IKPI mengusulkan agar pemerintah tidak hanya membedakan secara administratif antara dua kelompok ini, tapi juga memberikan perlakuan yang setara dari sisi pengawasan dan kewajiban. Ia menekankan bahwa siapa pun yang menerima kuasa dari wajib pajak dalam urusan perpajakan, baik konsultan pajak maupun pihak lain (non-konsultan pajak) harus tunduk pada persyaratan dan standar profesional yang sama.

“Kalau pemerintah mengizinkan non-konsultan untuk bertindak sebagai kuasa wajib pajak, maka mereka juga harus dikenai kewajiban dan hak yang sama seperti konsultan pajak. Mereka harus diwajibkan ujian sertifikasi, menyampaikan laporan tahunan kepada pemerintah, serta mengikuti Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan mempunyai kode etik,” ujarnya.

IKPI menilai bahwa perlakuan berbeda antara konsultan pajak dan pihak lain yang bekerja di bidang perpajakan ini justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam praktik perpajakan. Aturan tentang Konsultan Pajak sudah jelas yaitu pada PMK 175/PMK.03/2022, pada PMK ini membebankan konsultan pajak dari berbagai kewajiban profesional, mulai dari pelaporan, kode etik, hingga pengembangan kapasitas secara berkelanjutan, sementara pihak lain non-konsultan tidak ada pengaturan yang jelas pada hal keduanya bekerja pada bidang yang sama yaitu membantu wajib pajak untuk memenuhi hak dan/atau kewajiban perpajakannya.

“Jika dibiarkan seperti ini, konsultan pajak akan selalu berada di posisi tidak seimbang bahkan cenderung menjadikan profesi konsultan pajak sebagai profesi yang tidak menarik dibandingkan kuasa wajib pajak dari pihak lain. Kami kami harus ujian sertifikasi, diawasi, kami dikenai PPL, kami tunduk pada kode etik dan sanksi, kami di atur melalui peraturan Menteri keuangan sedangkan kuasa wajib pajak dari pihak lain tidak ada pengaturannya. Padahal mereka juga terlibat langsung dalam kegiatan perpajakan melalui kuasa wajib pajak. Ini sangat tidak adil. Untuk itu IKPI sangat mendukung pengaturan mengenai kuasa wajib pajak sesuai amanat UU HPP,” katanya.

Sebagai organisasi profesi yang menaungi lebih dari 7.000 konsultan pajak bersertifikat di seluruh Indonesia, IKPI meminta agar Kemenkeu segera menyusun regulasi yang memuat:

• Definisi dan kriteria kuasa wajib pajak,

• Kewajiban pelaporan dan pengembangan profesional berkelanjutan bagi seluruh penerima kuasa,

• Sanksi administratif dan pidana bagi pihak yang mengaku sebagai kuasa wajib pajak tanpa legitimasi,

• ⁠Kewajiban registrasi dalam sistem informasi resmi Kemenkeu seperti SIKoP bagi konsultan pajak.

“Regulasi ini bukan hanya untuk melindungi profesi wajib pajak, tapi lebih penting lagi untuk melindungi wajib pajak dan menjaga wibawa hukum sistem perpajakan kita. Semua pihak yang menjalankan fungsi strategis dalam sistem perpajakan harus tunduk pada aturan yang adil dan setara,” kata Vaudy.

Diketahui, pernyataan Vaudy ini mengacu kepada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dalam UU HPP yang berbunyi “Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,”

Lebih lanjut ia menyebutkan, pada Pasal 32 ayat (3) UU HPP mengatur bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pada penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU HPP menjelaskan mengenai seorang kuasa, yaitu orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 khususnya Pasal 51, pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak. Yaitu membedakan Kuasa Wajib Pajak yang terdiri dari Konsultan Pajak, Pihak Lain, atau Keluarga. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak.

Namun, pada prakteknya Wajib Pajak tidak dapat membedakan antara Kuasa Wajib Pajak dari Konsultan Pajak maupun Pihak Lain. Wajib Pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah konsultan pajak saja, namun UU HPP telah membedakan antara profesi Konsultan Pajak maupun Pihak Lain dalam membantu Wajib Pajak untuk memenuhi hak da/atau kewajibannya. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Tegaskan Idrus Efendi Bukan Konsultan Pajak Resmi: Masyarakat Diimbau Cek Lewat SIKoP Sebelum Gunakan Jasa KP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menanggapi pemberitaan Kompas.com berjudul “Produsernya Ditangkap, Film Ini Ternyata Dibiayai dari Hasil Penggelapan Rp 2,2 Miliar” yang tayang pada Minggu, 25 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, tersangka Idrus Efendi disebut sebagai “konsultan pajak” yang menggelapkan dana kliennya hingga Rp2,2 miliar untuk membiayai produksi film.

Menanggapi hal itu, Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono menegaskan bahwa Idrus Efendi bukan Konsultan Pajak (KP) resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. “Kami ingin meluruskan bahwa berdasarkan data yang kami miliki, yang bersumber dari Sistem Informasi Konsultan Pajak (SIKoP), nama yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai konsultan pajak. Ia bukan anggota IKPI dan tidak memiliki izin praktik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan,” kata Jemmi, Senin (26/5/2025).

Jemmi mengimbau masyarakat, khususnya para Wajib Pajak (WP), untuk tidak sembarangan menggunakan jasa pihak yang mengaku sebagai konsultan pajak. Menurutnya, hanya konsultan pajak resmi yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab profesional untuk mewakili, mendampingi, atau memberi nasihat kepada WP dalam urusan perpajakan.

“Jasa konsultan pajak adalah jasa kepercayaan. Konsultan pajak resmi harus melalui proses sertifikasi, memiliki izin praktik, dan wajib mengikuti pelatihan serta pembinaan secara berkala. Setiap pelanggaran kode etik bisa dikenai sanksi. Ini berbeda jauh dengan pihak-pihak yang hanya mengaku-ngaku,” jelasnya.

Untuk itu, Jemmi menekankan pentingnya melakukan pengecekan status KP melalui SIKoP (Sistem Informasi Konsultan Pajak) yang dikelola oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), Kementerian Keuangan. “Wajib Pajak bisa dengan mudah mengecek status seorang konsultan pajak melalui laman resmi https://sikop.pajak.go.id. Di sana tersedia data lengkap, termasuk tingkat sertifikasi dan nomor izin praktik,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Jemmi menjelaskan bahwa konsultan pajak terdaftar bukan hanya tunduk pada regulasi perpajakan, tetapi juga diawasi oleh organisasi profesi seperti IKPI. Setiap anggota wajib mematuhi kode etik, menjalani pembaruan pengetahuan secara berkala (continuous professional development), serta menjaga integritas dan profesionalisme dalam melayani klien.

“Profesi konsultan pajak bukan sekadar soal menghitung pajak atau mengisi formulir SPT. Ini menyangkut nasihat hukum dan kepatuhan pajak yang dapat berdampak signifikan pada risiko hukum maupun keuangan klien. Maka dari itu, menggunakan jasa konsultan pajak ilegal sama saja menaruh risiko besar atas nama pribadi atau perusahaan,” ujarnya.

IKPI juga mengingatkan media massa agar lebih berhati-hati dalam menyebut status hukum seseorang sebagai konsultan pajak. “Sebutan ‘konsultan pajak’ tidak boleh digunakan sembarangan. Ada standar profesional dan perizinan yang melekat. Memberi label kepada tersangka yang bukan KP bisa merugikan profesi secara keseluruhan,” kata Jemmi. (bl)

en_US