Belgia Bakal Tutup Separuh Kantor Pajak, Fokus pada Layanan Digital dan Efisiensi

IKPI, Jakarta: Pemerintah Belgia melalui Kementerian Keuangan mengumumkan rencana untuk menutup 22 dari total 43 kantor pajak yang tersebar di seluruh negeri pada tahun 2030. Langkah ini merupakan bagian dari strategi efisiensi pemerintahan De Wever yang menitikberatkan pada konsolidasi layanan publik dan modernisasi sistem administrasi.

Dalam pernyataannya, juru bicara Kemenkeu Francis Adyns menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengorbankan kualitas layanan kepada masyarakat. “Layanan pajak yang efektif tidak perlu tersebar di banyak lokasi,” ujarnya, seperti dikutip The Brussels Times, Jumat (25/7/2025).

Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa penutupan akan dilakukan secara bertahap hingga 2030. Kantor-kantor yang tetap beroperasi nantinya akan dipilih berdasarkan beberapa kriteria, termasuk kemudahan akses, kemampuan mengintegrasikan berbagai jenis pelayanan, serta efisiensi dalam penggunaan gedung dan sumber daya.

Langkah penyatuan ini, menurut Kemenkeu, dirancang untuk memperkuat kerja sama antardivisi, memangkas biaya operasional, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adaptif terhadap tuntutan zaman.

Digitalisasi Layanan Pajak Dorong Transformasi

Seiring dengan penurunan signifikan kunjungan fisik ke kantor pajak dalam beberapa tahun terakhir, Belgia memang telah mengarahkan fokus pada transformasi digital. Pelayanan daring menjadi tulang punggung reformasi ini, memungkinkan wajib pajak mengakses layanan secara lebih cepat dan fleksibel.

Meski demikian, pemerintah tetap mengakomodasi kebutuhan kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya terjangkau teknologi. “Bagi warga yang kesulitan dengan akses digital, bantuan tetap tersedia melalui layanan telepon, termasuk untuk urusan penting seperti pelaporan SPT,” tegas Adyns.

Rencana penutupan separuh kantor pajak ini menuai perhatian sejumlah pihak, terutama terkait potensi dampaknya terhadap pegawai dan masyarakat di wilayah pedesaan. Namun, Kementerian Keuangan menyatakan akan memastikan proses transisi berjalan lancar dengan komunikasi terbuka dan solusi alternatif bagi para pemangku kepentingan. (alf)

 

Pengurus IKPI se-Jatim Audiensi ke Kanwil DJP I: Dorong Sosialisasi Coretax dan Usulkan Dummy SPT Tahunan

IKPI, Pengda Jatim: Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah (Pengda) Jawa Timur bersama tiga Pengurus Cabang (Pengcab) Surabaya, Sidoarjo, dan Malang melakukan audiensi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Timur I, Samingun, di Surabaya, Kamis (24/7/2025).

Ketua IKPI Pengda Jatim Zeti Arina mengatakan kunjungan ini bertujuan silaturahim, mengucapkan selamat datang dan selamat bertugas di Kantor Wilayah Jawa Timur 1, memperkenalkan jajaran pengurus sekaligus membangun sinergi antara IKPI dengan otoritas pajak, khususnya dalam mendukung implementasi sistem Coretax, yang tahun ini mulai digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan.

“Kami ingin bersinergi dalam kegiatan sosialisasi bersama terkait aktivasi akun dan pengisian SPT melalui Coretax, ujar Zeti, Kamis (24/07/2025)

Enggan selaku ketua cabang Surabaya juga telah memaparkan kegiatan bersama dengan beberapa Kantor Pelayanan Pajak di Surabaya.

Ika selaku pengurus dan pengajar juga mengusulkan adanya dummy SPT Tahunan OP dan Badan sebagai alat bantu dalam edukasi masyarakat dan materi ajar di kampus. Dummy ini akan sangat membantu wajib pajak dan para konsultan pajak pemula dalam memahami alur pengisian SPT di platform digital terbaru tersebut. Usulan ini dinilai penting agar edukasi bisa berjalan lebih efektif, terutama bagi pengguna baru Coretax.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Kepala Kanwil DJP Jatim I Samingun menyambut baik rencana sosialisasi bersama tersebut. Ia menekankan pentingnya kegiatan ini dilakukan lebih awal, agar masyarakat memiliki waktu yang cukup memahami sistem sebelum batas pelaporan.

“Kalau terlalu mepet waktunya, kami khawatir pelaporan SPT jadi chaos karena banyak masyarakat yang belum paham aktivasi dan pengisian Coretax. Kami siap mendukung sosialisasi ini ke berbagai komunitas, asosiasi, hingga warga tingkat kecamatan,” ungkap Samingun yang saat itu didampingi tim Humas Kanwil.

Terkait waktu pelaksanaan, bu Yayuk selaku team humas menyampaikan bahwa sosialisasi untuk pelaporan SPT Tahunan melalui Coretax masih menunggu arahan resmi dari kantor pusat DJP yang dijadwalkan berlangsung Agustus mendatang. Namun, untuk klien konsultan yang tahun bukunya tidak mengikuti tahun kalender DJP dapat memberikan jadwal sosialisasi lebih cepat.

Audiensi ini juga dihadiri sejumlah pengurus daerah dan cabang, di antaranya dari Pengda Jatim: Eddy Tajib (Bendahara), Ika Fransisca (Keanggotaan), Vivi Violeta (PPL), dan David (Kemitraan Instansi).

Dari Cabang Surabaya: Enggan Nursanti (Ketua), Renny Anggraeni (Sekretaris), Niniek Helina Kurniawan (Bendahara), Kuswijanti Kawarno, Diana Herawati, Yenny Purnamasari, Wibowo, Andy Setiabudi, Ferry Vincentius, Heru Suryanto, Albert H. Suriawidjaja, dan Arief Budianto.

Sementara dari Cabang Malang hadir Nanang Hemanto (Humas), serta dari Cabang Sidoarjo hadir Ghafiki dan Haryoko dari Bidang Hukum dan Litbang Organisasi.

Audiensi ini diakhiri dengan komitmen kedua pihak untuk terus berkolaborasi mendukung edukasi perpajakan berbasis teknologi serta mendekatkan layanan pajak kepada masyarakat. (bl)

DJP Dorong Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun dan Sertifikat Digital di Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah gencar mengedukasi wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi akun serta registrasi kode otorisasi atau sertifikat digital dalam sistem inti administrasi perpajakan (Coretax). Imbauan ini disampaikan DJP melalui email blast yang dikirimkan secara massal kepada para wajib pajak.

Langkah ini merupakan bagian dari transformasi digital layanan perpajakan yang menekankan transparansi, efisiensi, dan kemudahan dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

Dalam email bertanggal Jumat (25/7/2025), DJP menyatakan bahwa aktivasi akun menjadi prasyarat penting untuk mengakses berbagai fitur dalam coretax system, termasuk pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 yang akan berlangsung pada awal 2026.

“Aktivasi akun ini juga dibutuhkan untuk menggunakan tanda tangan elektronik dalam seluruh proses administrasi perpajakan di sistem coretax,” tulis DJP dalam email tersebut.

DJP menjelaskan bahwa sertifikat digital berfungsi sebagai kunci otorisasi utama untuk layanan elektronik, seperti pelaporan SPT, pengajuan pemindahbukuan, hingga layanan lainnya yang sebelumnya memerlukan tatap muka langsung.

Wajib pajak dapat melakukan proses aktivasi dan registrasi tersebut melalui laman resmi: https://coretaxdjp.pajak.go.id. DJP menekankan pentingnya menyelesaikan proses ini lebih awal agar tidak terkendala saat masa pelaporan pajak tiba.

Adapun manfaat aktivasi akun dan sertifikat digital antara lain:

• Akses cepat dan aman ke layanan perpajakan digital,

• Proses administrasi yang lebih ringkas,

• Menghindari antrean fisik dan potensi kendala teknis saat tenggat waktu pelaporan.

Dalam email tersebut, DJP juga menyampaikan apresiasi kepada wajib pajak yang telah menyelesaikan aktivasi dan registrasi lebih awal.

Sebagai tambahan, DJP mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada terhadap modus penipuan yang mengatasnamakan implementasi coretax system. Wajib pajak diminta untuk hanya mengakses layanan melalui saluran resmi dan menghindari tautan mencurigakan.

Bagi wajib pajak yang membutuhkan bantuan, DJP menyediakan berbagai kanal informasi seperti laman panduan aktivasi akun dan panduan sertifikat digital, layanan Kring Pajak di 1500200, serta bantuan langsung di kantor pelayanan pajak terdekat. (alf)

 

IKPI Angkat Tantangan Administrasi Pajak 2025 Lewat Edukasi Virtual

IKPI, Jakarta: Dinamika perubahan sistem pelaporan pajak yang terus berkembang menjadi sorotan dalam diskusi mingguan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang digelar Kamis (24/7/2025) secara daring melalui Zoom. Diskusi bertema “Tantangan Administrasi Perpajakan di 2025” ini menghadirkan praktisi perpajakan, Michael yang juga merupakan anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan sebagai narasumber, dengan dipandu moderator Tuti Nuryati dari IKPI Cabang Kota Bekasi.

Diskusi terbuka ini sukses menarik perhatian 513 peserta dari berbagai kalangan, menandakan tingginya kepedulian terhadap isu teknis dan administratif perpajakan di era digital.

Dalam pemaparannya, Michael menggarisbawahi sejumlah tantangan utama yang dihadapi wajib pajak dan konsultan di tahun 2025, salah satunya adalah perubahan proses pelaporan melalui sistem Cortex yang menuntut ketelitian lebih tinggi.

“Kalau dulu kita bisa hitung, bayar, baru lapor. Sekarang wajib input dulu, submit, lalu aktivasi lewat kode otentikasi (KO). Setelah itu baru bisa lanjut ke pelaporan,” jelasnya.

Michael menekankan pentingnya penguasaan teknis administrasi pelaporan seperti pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) secara benar, lengkap, dan jelas, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang KUP. Jika salah input dan sudah disubmit, pengguna harus menunggu 7 hari agar sistem dapat mengembalikan ke posisi awal.

Lebih lanjut, ia juga menyinggung tantangan yang kerap muncul di lapangan, termasuk kasus-kasus keterlambatan pelaporan, kesalahan data, hingga permasalahan SP2DK. Ia membagikan tips praktis dalam menangani pemeriksaan, salah satunya dengan memastikan asal-usul data pajak didokumentasikan dengan baik.

“SPT itu bukan sekadar form, tapi alat untuk melaporkan apa yang kita peroleh dan pertanggungjawabkan. Harus lengkap, benar, jelas jangan sampai asal isi,” ujar Michael.

Dalam diskusi, Michael juga menyinggung peran penting konsultan pajak dalam menyampaikan edukasi terkini tentang peraturan seperti PER-11/PJ/2025 yang memperkenalkan perubahan besar pada sistem pelaporan SPT Masa dan Tahunan. Ia menyarankan agar para pelaku usaha dan WP (wajib pajak) rutin mengikuti perkembangan aturan terbaru karena sifat perpajakan yang rule-based dan dinamis.

Topik lain yang mencuat dalam diskusi adalah keberlanjutan insentif tarif final 0,5% bagi pelaku UMKM sesuai PMK 164/2023, serta ketentuan pembukuan dan audit laporan keuangan yang semakin menjadi sorotan seiring peningkatan integrasi data otoritas pajak dengan sistem perbankan.

Diskusi edukatif ini menjadi bukti nyata peran IKPI dalam mendorong literasi perpajakan yang lebih luas dan inklusif, khususnya dalam menghadapi transisi sistem perpajakan yang semakin digital dan kompleks. (bl)

 

 

Panitia Apresiasi 147 Peserta di Seminar IKPI Jakarta Pusat, Peserta Terbanyak Sepanjang Sejarah

IKPI, Jakarta: Ketua Panitia Seminar dan Rapat Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat, Kurnia Eka Putri, menyampaikan apresiasi atas tingginya antusiasme peserta dalam acara yang digelar di Hotel Ciputra, Jakarta Barat, Kamis (24/7/2025). Seminar bertema “Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025” ini mencatatkan rekor jumlah peserta terbanyak sepanjang sejarah penyelenggaraan seminar di lingkungan IKPI Jakarta Pusat, yakni 147 orang.

“Ini luar biasa. Biasanya peserta kami di bawah 100 orang. Tapi kali ini jumlahnya melampaui ekspektasi, dan ini membuktikan bahwa tema PER-11/PJ/2025 ini memang sedang hangat dibahas di kalangan konsultan pajak,” ujar Kurnia.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Ia menuturkan bahwa kesuksesan ini tak lepas dari strategi komunikasi yang dijalankan secara masif. Selain menggalang partisipasi aktif melalui grup internal IKPI, Kurnia juga memanfaatkan media sosial pribadi dan relasi profesionalnya untuk menjangkau peserta dari luar cabang.

Total peserta mencakup 147 orang, terdiri dari 8 peserta umum, 10 dari cabang IKPI lainnya, dan sisanya dari IKPI Jakarta Pusat. Sementara undangan yang hadir mencapai 16 orang, termasuk 6 perwakilan dari DJP dan Kanwil, 2 pengurus IKPI Pusat, serta 2 dari unsur Pengda.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menariknya, narasumber yang dihadirkan bukan hanya dari kalangan konsultan pajak, tetapi juga langsung dari pihak pembuat regulasi, yakni pejabat Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Wilayah.

“Kami ingin memberi ruang dialog langsung antara konsultan pajak dengan regulator. Ini penting agar pemahaman atas PER-11/PJ/2025 tidak lagi berada di area abu-abu,” kata Kurnia.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Ia berharap seminar ini mampu memberikan pemahaman yang lebih dalam dan praktis bagi para peserta, khususnya terkait ketentuan terbaru dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sesuai PER-11/PJ/2025.

“Semoga ke depan partisipasi dalam kegiatan seperti ini terus meningkat. Karena update regulasi dan diskusi langsung dengan otoritas sangat penting bagi para profesional pajak,” tutupnya.

Selain itu lanjut Kurnia, acara ini juga menjadi bagian dari program Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang menjadi kewajiban anggota IKPI demi menjaga kompetensi dan kredibilitas profesi konsultan pajak di tengah dinamika kebijakan perpajakan nasional. (bl)

Pajak Karbon Masih Tunggu Waktu Tepat, Kemenkeu Fokus Bangun Ekosistem Transisi Energi

IKPI, Jakarta: Pemerintah belum menetapkan kapan pajak karbon akan mulai diberlakukan, meski regulasinya telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sejak 2021. Kementerian Keuangan menilai, penerapan pajak tersebut harus menunggu kesiapan ekosistem transisi energi dan infrastruktur pasar karbon yang matang.

Direktur Strategi Perpajakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Pande Putu Oka Kusumawardani, menjelaskan bahwa pihaknya tengah fokus membangun landasan kebijakan yang solid sebelum memberlakukan pungutan berbasis emisi tersebut. Menurut dia, perdagangan karbon, mekanisme penetapan harga karbon (carbon pricing), serta regulasi pendukungnya masih terus dalam tahap pengembangan.

“Kami masih memperhatikan ekosistem yang carbon pricing-nya, kemudian juga pasar karbonnya. Itu masih dalam upaya untuk pengembangan. Kami masih melihat bagaimana kondisi perekonomian kita ke depannya,” ujar Pande kepada wartawan, Kamis (24/7/2025).

Pande menegaskan, penerapan pajak karbon harus selaras dengan peta jalan (roadmap) transisi energi hijau yang telah disusun pemerintah. Oleh sebab itu, penentuan waktu implementasi tidak bisa dipaksakan, tetapi harus berdasarkan kesiapan teknis maupun ekonomi.

“Target implementasinya kita masih melihat roadmap keselarasan tadi, sehingga terus kita perhatikan perkembangannya dan kita masuknya nanti sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Adapun, dalam UU HPP yang diteken pada 2021, pajak karbon seharusnya mulai berlaku pada April 2022. Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi kebijakan ini belum terlaksana. Pemerintah masih terus menyusun aturan pelaksana dan membentuk infrastruktur pasar karbon sebagai prasyarat utama.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, mendesak Kemenkeu agar segera menetapkan waktu penerapan pajak karbon. Hal itu ia sampaikan usai peluncuran perdagangan karbon internasional pada awal tahun ini.

“Saya harapkan dari Kementerian Keuangan, kami juga akan mendorong secara resmi kepada Bu Menteri Keuangan untuk segera mencermati, mempertimbangkan pengenaan pajak karbon,” kata Hanif, Senin (20/1/2025).

Hanif menilai pajak karbon dapat menjadi pemicu percepatan transaksi karbon, baik di pasar domestik maupun internasional. Terlebih, mayoritas investasi besar di sektor hijau Indonesia saat ini datang dari perusahaan multinasional yang siap mematuhi skema perdagangan karbon berstandar global.

Meski belum ada kepastian waktu, baik Kemenkeu maupun KLHK sama-sama sepakat bahwa instrumen fiskal ini akan menjadi alat penting dalam mendorong agenda pembangunan rendah emisi dan mempercepat peralihan menuju ekonomi hijau. (alf)

Berbagai Kalangan Sebut Tarif Trump Bebani Dompet Warga dan Perusahaan AS

IKPI, Jakarta: Kebijakan tarif yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semasa menjabat, kini terbukti lebih banyak membebani ekonomi domestik ketimbang menekan eksportir asing. Sejumlah studi terbaru dari bank investasi global, lembaga riset akademik, dan korporasi besar AS menyimpulkan satu hal: beban tarif impor mayoritas ditanggung oleh perusahaan dan konsumen Amerika sendiri.

Laporan tim ekonomi global dari Citi yang dirilis Selasa (22/7/2025) menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan AS harus menanggung sebagian besar bea masuk yang diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka bahkan memperingatkan bahwa margin keuntungan korporasi berpotensi tergerus lebih dalam seiring putaran tarif berikutnya yang tengah disiapkan.

Senada dengan itu, Yale Budget Lab dalam kajiannya bertanggal 14 Juli mengungkap bahwa bea masuk telah menaikkan harga barang rata-rata sebesar 2,1 persen dan menyebabkan penurunan daya beli rumah tangga sebesar 2.800 dolar AS per tahun. Dampak paling berat justru menimpa kelompok berpendapatan rendah, yang kehilangan daya beli hingga tiga kali lipat dibanding kelompok berpenghasilan tinggi, khususnya untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian.

Organisasi independen Tax Foundation turut memperkuat temuan tersebut. Mereka memperkirakan bahwa beban “pajak tarif” per rumah tangga AS mencapai 1.296 dolar AS, serta memprediksi kontraksi produk domestik bruto (PDB) AS sebesar 0,8 persen dalam 12 bulan ke depan.

Dari sisi korporasi, dampak tarif turut mengguncang lini bisnis raksasa-raksasa ritel dan manufaktur. Goldman Sachs, dalam laporannya tertanggal 3 Juli, menyatakan bahwa sekitar 70 persen dari beban tarif langsung dialihkan ke konsumen melalui kenaikan harga jual. Hal ini diamini oleh Walmart, yang pada 17 Juli secara terbuka mengumumkan penyesuaian harga retail sejumlah barang kebutuhan harian akibat pemberlakuan tarif baru. Bahkan, mereka mewaspadai bahwa perlengkapan sekolah untuk musim ajaran berikutnya bisa menjadi komoditas berikutnya yang terdampak.

Lebih lanjut, Wall Street Journal melaporkan pada 20 Juli bahwa Amazon secara diam-diam telah menaikkan harga produk murah seperti deodoran, minuman protein, dan perlengkapan hewan peliharaan.

Di sektor manufaktur, dampak bea masuk juga terasa signifikan. General Motors mengungkapkan bahwa kebijakan tarif telah menggerus laba kuartal kedua mereka sebesar 1 miliar dolar AS, dan memperkirakan potensi kerugian mencapai hingga 5 miliar dolar AS jika kebijakan tersebut berlanjut sepanjang tahun.

“Siapa yang akhirnya membayar tarif era Trump? Jawabannya jelas: perusahaan dan konsumen AS,” tulis Bloomberg dalam buletin Selasa sore. Mereka juga mencatat bahwa meski harga mobil belum naik signifikan dalam data inflasi terbaru, harga barang impor lain seperti mainan dan alat rumah tangga melonjak tajam indikasi bahwa beban tarif dialihkan ke pembeli akhir.

Budget Lab menyimpulkan bahwa tarif ini pada dasarnya adalah bentuk pajak domestik terselubung. “Alih-alih menjadi hukuman bagi negara asing, tarif justru berfungsi seperti pajak penjualan yang dibayarkan oleh rakyat Amerika sendiri,” ujar mereka. (alf)

 

 

 

Ekonom Sebut Reformasi Pajak dan Disiplin Belanja Kunci Cegah Defisit APBN Melebar

IKPI, Jakarta: Pemerintah didesak untuk segera memperkuat fondasi penerimaan negara guna mencegah risiko pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai langkah konkret dibutuhkan agar fiskal Indonesia tetap berkelanjutan di tengah ambisi besar program pemerintahan baru.

“Pelebaran defisit perlu dicegah karena akan membebani fiskal jangka panjang. Saat defisit dibiayai utang, maka negara harus menanggung bunga dan pokok utang di tahun-tahun mendatang. Ini adalah risiko keberlanjutan fiskal yang harus diantisipasi,” kata Achmad dalam keterangan di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Ia menyoroti potensi risiko fiskal yang muncul seiring realisasi pendapatan negara yang diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun. Sementara itu, utang negara telah menyentuh Rp10.269 triliun atau 40,19 persen dari PDB per 2024.

Menurut Achmad, meski angka ini masih di bawah ambang batas Maastricht Treaty sebesar 60 persen dari PDB, situasi Indonesia tidak bisa dibandingkan langsung dengan negara maju.

“Tax ratio kita masih stagnan di kisaran 9-10 persen. Negara-negara OECD bisa aman dengan utang 60 persen dari PDB karena tax ratio mereka di atas 25 persen. Kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” tegasnya.

Tiga Rekomendasi Strategis

Untuk memperbaiki posisi fiskal, Achmad merekomendasikan tiga strategi utama: ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta evaluasi menyeluruh terhadap insentif perpajakan.

Ia menyarankan agar pemerintah memperluas basis pajak, terutama dari sektor-sektor yang belum tergarap optimal, seperti ekonomi digital, profesi bebas, dan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Potensi pajak di sektor digital dan jasa profesional sangat besar, tapi selama ini kontribusinya belum maksimal,” ujarnya.

Selanjutnya, optimalisasi PNBP, khususnya dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batubara (minerba), juga dinilai krusial.

“PNBP dari SDA masih punya ruang besar untuk ditingkatkan melalui tata kelola yang lebih efisien dan transparan,” imbuhnya.

Tak kalah penting, ia menekankan perlunya evaluasi terhadap belanja perpajakan (tax expenditure) yang nilainya mencapai Rp372 triliun per tahun. Banyak insentif dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk lebih disiplin dalam pengelolaan belanja negara. Achmad menilai perlu dilakukan penataan ulang atas program-program yang tidak memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian.

“Belanja kementerian/lembaga yang bersifat seremonial, program-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung ke ekonomi rakyat, itu harus dipangkas atau bahkan dihapus,” kata dia.

Ia memberi contoh bahwa program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, harus didukung oleh penerimaan yang seimbang agar tidak menambah beban utang negara.

“MBG tahap awal saja butuh Rp71 triliun, dan bisa tembus Rp400 triliun jika diterapkan penuh. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini akan memperbesar tekanan fiskal,” katanya.

Achmad mengusulkan agar pemerintah dalam jangka menengah menurunkan target defisit menjadi di bawah 2 persen dari PDB sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan fiskal.

“Dengan strategi yang tepat, pemerintah bisa menjalankan program prioritas tanpa menambah beban utang, serta menjaga keberlanjutan pembangunan nasional ke depan,” pungkasnya. (alf)

 

Menteri Airlangga Klaim Diskon Tarif Trump Picu Investasi Rp369 Triliun AS ke Indonesia

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia mengumumkan komitmen investasi jumbo dari Amerika Serikat senilai total Rp369,9 triliun, meliputi sektor energi, teknologi, hingga kesehatan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut arus modal ini sebagai buah manis dari kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS.

Dalam konferensi pers Joint Statement Indonesia-AS di Jakarta, Kamis (24/7/2025), Airlangga mengungkapkan bahwa langkah Presiden AS Donald Trump yang menurunkan tarif impor produk Indonesia dari 32% menjadi 19% menjadi pemantik utama gelombang investasi dari lima raksasa perusahaan AS.

“Amerika Serikat tidak hanya menurunkan tarif, tetapi juga berkomitmen menanamkan modal dalam skala besar ke Indonesia,” tegas Airlangga.

Lima Raksasa AS Suntik Modal Jumbo

Dari total nilai investasi, kontribusi terbesar datang dari sektor energi. ExxonMobil tercatat menanamkan dana US\$10 miliar (sekitar Rp162,91 triliun) untuk proyek carbon capture storage (CCS).
Kemudian, Oracle mengalokasikan dana US\$6 miliar (Rp97,74 triliun) untuk pembangunan pusat data di Batam.

Sementara itu, Microsoft akan menyuntikkan US\$1,7 miliar (Rp27,69 triliun) demi pengembangan teknologi cloud dan kecerdasan buatan (AI). Disusul Amazon, yang memperkuat jaringan layanan AI dan komputasi awan dengan nilai investasi US\$5 miliar (Rp81,45 triliun).

Dari sektor kesehatan, GE Healthcare menjalin kerja sama dengan Kalbe untuk membangun pabrik pemindai CT Scan pertama di Indonesia. Fasilitas yang akan berlokasi di Jawa Barat ini ditargetkan menyerap investasi awal senilai Rp178 miliar.

Indonesia Jadi Episentrum Data Center Global

Airlangga juga menyoroti meningkatnya minat perusahaan digital global membangun pusat data di Indonesia. Hingga saat ini, terdapat 12 perusahaan asal AS yang telah berinvestasi atau sedang merancang pembangunan data center di berbagai wilayah Indonesia.

Daftar perusahaan tersebut antara lain:

AWS, Microsoft, EdgeConneX, Oracle – membangun infrastruktur fisik di Jawa Barat dan Batam.
Equinix, Digital Realty, Google Cloud – fokus pada kolokasi di Jakarta.
WowRack, Akamai, CloudFlare, Braze, Anaplan – memperluas jaringan di kota-kota strategis seperti Surabaya, Denpasar, dan Yogyakarta.

“Amerika melihat urgensi dan potensi besar sektor digital di Indonesia. Proyek-proyek ini mayoritas terintegrasi dengan Amazon Web Services (AWS),” ujar Airlangga.

Gelombang investasi ini, menurut pemerintah, mencerminkan kepercayaan internasional terhadap stabilitas ekonomi dan daya saing digital Indonesia. Apalagi, lonjakan kebutuhan data center dipicu oleh pertumbuhan e-commerce, sistem pembayaran digital, AI, hingga pengembangan teknologi pemerintah (govtech).

“Ekonomi digital kita sedang naik daun. Ini waktunya menjadikan Indonesia sebagai pusat digital regional,” pungkas Airlangga.(alf)

 

Aturan Baru PPh 21: Pegawai Tetap Wajib Tahu Skema Tarif Efektif Ini

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menyempurnakan sistem perpajakan dengan melakukan pembaruan terhadap ketentuan penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan terbaru ini membawa perubahan signifikan terhadap cara penghitungan pajak atas penghasilan pegawai tetap, khususnya untuk masa pajak selain masa pajak terakhir.

PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023, pemerintah memperkenalkan metode penghitungan baru dengan menggunakan tarif efektif rata-rata bulanan atau tarif efektif bulanan (TER). Skema ini berlaku bagi pegawai tetap dan diterapkan untuk masa pajak selain bulan Desember.

Tarif efektif bulanan ini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib pajak, yaitu:

• Kategori A (PTKP: TK/0) dengan 44 lapisan tarif,

• Kategori B (PTKP: K/0) dengan 40 lapisan tarif, dan

• Kategori C (PTKP: K/1 hingga K/3) dengan 41 lapisan tarif.

Masing-masing lapisan memiliki tarif yang berbeda, tergantung dari penghasilan bruto bulanan pegawai. Besaran pajak dihitung dengan cara mengalikan jumlah penghasilan bruto sebulan dengan tarif pada lapisan TER sesuai kategori PTKP pegawai tersebut.

Skema TER ini dinilai lebih praktis dan memberikan kepastian hukum bagi pemberi kerja dalam menghitung dan memotong pajak. Selain itu, sistem ini memudahkan proses administrasi dan mengurangi potensi kesalahan dalam penghitungan PPh 21.

Dengan adanya pembaruan ini, pemerintah berharap kepatuhan perpajakan semakin meningkat, sekaligus memperkuat sistem perpajakan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

 

 

 

en_US