Pelaporan SPT Kian Rinci di CoreTax: Ernawati Ungkap Perubahan Besar pada Data Harta, Piutang, dan Utang

IKPI, Jakarta: Sistem pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi memasuki babak baru dengan penerapan penuh aplikasi CoreTax pada tahun pajak 2025. Dalam edukasi perpajakan online yang diselenggarakan IKPI baru baru ini, Ernawati mengungkapkan bahwa sistem baru tersebut menghadirkan perubahan signifikan pada cara wajib pajak melaporkan harta, piutang, dan utang.

Ia menjelaskan bahwa perbedaan paling mencolok terlihat pada kewajiban pencantuman identitas lawan transaksi. Bila sebelumnya pengisian piutang cukup mencantumkan nama dan jumlah pinjaman, kini di CoreTax wajib pajak harus memasukkan NIK penerima pinjaman. 

“Begitu NIK diinput, sistem otomatis menarik data dan menampilkan identitas lengkap pihak yang berutang. Ini bagian dari integrasi informasi nasional,” paparnya.

Menurutnya, ketentuan baru ini membuat proses pelaporan lebih akurat sekaligus mencegah ketidaksesuaian data. Hal serupa berlaku pada data utang, terutama bila sumber pinjaman berasal dari lembaga keuangan. CoreTax mengharuskan wajib pajak mengisi identitas pemberi pinjaman secara detail. Selain itu, data SPT tahun sebelumnya otomatis ditampilkan untuk memudahkan pembaruan saldo utang tahun berjalan.

Perubahan besar lainnya hadir melalui fitur “Ikhtisar Harta”, yang sebelumnya tidak pernah ada dalam sistem DJP Online. Fitur ini mewajibkan wajib pajak mengisi harga pasar aset per 31 Desember, bukan hanya harga perolehan. “Misalnya punya apartemen atau kendaraan, wajib pajak harus memperkirakan nilai pasar terkini. Ini langkah baru untuk menyajikan profil kekayaan wajib pajak dengan lebih transparan,” jelas Ernawati.

Ia menjelaskan bahwa perubahan struktur harta kini mencakup kas, setara kas, piutang, investasi lengkap dengan sekuritas, alat transportasi, harta tidak bergerak, serta harta bergerak lainnya. Penambahan kategori dan kejelasan definisi ini, menurut Ernawati, diharapkan dapat mendorong pelaporan yang lebih rapi dan konsisten.

Tidak hanya itu, struktur data keluarga yang berpengaruh pada PTKP kini terhubung langsung ke fitur “Identitas Pajak Keluarga”. Wajib pajak wajib memperbarui status pernikahan atau jumlah anak sebelum menyiapkan SPT, karena PTKP otomatis akan dihitung berdasarkan data tersebut.

Ernawati menilai perubahan-perubahan ini bukan sekadar pengetatan, tetapi upaya memudahkan wajib pajak dalam jangka panjang. “Memang lebih detail, tapi justru ini membantu karena semua data tersistem dan mengurangi risiko kesalahan. Kalau bingung, kantor pajak sekarang rutin membuka sosialisasi CoreTax dan wajib pajak bisa mencoba langsung pendampingannya,” ujarnya.

Dengan hadirnya CoreTax, pelaporan SPT Tahun 2025 diperkirakan akan lebih terstruktur, lengkap, dan akurat. IKPI berharap wajib pajak mulai membiasakan diri dengan format baru agar tidak kesulitan pada masa pelaporan Maret 2026. (bl)

Sebanyak 31 Peserta Ramaikan GoBar KGI, Hendra Damanik: Bangun Keakraban Antar Anggota IKPI

IKPI, Jakarta: Ajang GoBar Part 1 yang digelar Komunitas Golfer IKPI (KGI) berlangsung meriah di Sentul Highlands Golf Club pada 19 November 2025. Sebanyak 31 peserta hadir dan ikut serta dalam kegiatan perdana ini, yang diinisiasi untuk menguatkan keakraban dan silaturahmi antar anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Ketua KGI, Hendra Damanik, menyampaikan bahwa GoBar bukan sekadar pertemuan olahraga, melainkan sarana untuk mempererat hubungan profesional yang selama ini hanya terjalin melalui aktivitas pekerjaan.

(Foto: Istimewa)

“Golf menjadi penghubung yang menyenangkan untuk mempererat silaturahmi. Melalui GoBar ini, kami ingin membangun keakraban yang lebih hangat antar anggota IKPI, karena interaksi personal akan semakin memperkuat kolaborasi profesional,” ujar Hendra.

Menurutnya, 31 peserta yang ambil bagian menunjukkan tingginya antusiasme anggota IKPI terhadap kegiatan berbasis komunitas. KGI pun menempatkan kegiatan ini sebagai ruang interaksi sehat di tengah tingginya tuntutan profesi konsultan pajak.

Hendra menambahkan bahwa GoBar Part 1 merupakan agenda pembuka dari rangkaian kegiatan golf yang dirancang berkelanjutan. Ke depan, KGI ingin menghadirkan ajang yang lebih besar dan kompetitif, tanpa meninggalkan semangat persahabatan.

(Foto: Istimewa)

“Tujuan utamanya tetap sama, yakni menjadikan KGI wadah yang menyatukan kita. Kita ingin semua anggota merasa nyaman, saling mendukung, dan merasa berada dalam satu keluarga besar,” ungkapnya.

Acara ditutup dengan gathering santai dan pembagian penghargaan simbolis kepada beberapa peserta, menegaskan bahwa suasana kebersamaan adalah esensi dari penyelenggaraan GoBar.

Dengan terselenggaranya GoBar Part 1, KGI memperkuat posisinya sebagai ruang olahraga sekaligus pemersatu antar anggota IKPI. Semangat kebersamaan inilah yang diharapkan terus hidup dalam setiap kegiatan komunitas ke depannya. (bl)

Edukasi Perpajakan: Ernawati  “Bedah” Kewajiban SPT OP pada CoreTax, hingga Harapan Revisi PTKP

IKPI, Jakarta: Kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi kembali menjadi sorotan utama dalam edukasi perpajakan yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Kamis, 13 November 2025. Dalam sesi yang berlangsung interaktif, narasumber Ernawati (Anggota IKPI Cabang Surabaya) memaparkan secara rinci aturan dasar, kewajiban pelaporan, serta mekanisme baru melalui platform CoreTax, yang mulai diberlakukan untuk tahun pajak 2025.

Di awal paparannya, Ernawati menegaskan bahwa ketentuan batas waktu pelaporan SPT tetap berpegang pada Undang-Undang KUP No. 28 Tahun 2007. “Untuk wajib pajak orang pribadi, pelaporan SPT tahunan paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak,” ujarnya. 

Ia menekankan bahwa kewajiban ini berlaku universal untuk seluruh pemilik NPWP, termasuk karyawan, wiraswasta, profesional, hingga penerima penghasilan pasif seperti sewa rumah atau apartemen.

Menurutnya, pelaporan tetap wajib meskipun penghasilan nihil, selama NPWP masih berstatus aktif. “Kecuali NPWP sudah berstatus non-efektif, wajib pajak tetap berkewajiban melapor,” tegasnya.

Ernawati juga memaparkan perubahan besar dalam sistem pelaporan. Bila sebelumnya wajib pajak harus memilih formulir tertentu (1770 SS, 1770 S, atau 1770) melalui DJP Online, kini hanya tersedia satu kanal pelaporan di CoreTax, yang secara otomatis menyesuaikan dengan profil wajib pajak. 

“Tidak ada lagi pilihan tiga formulir. Sistem akan memetakan sendiri jenis penghasilan wajib pajak,” jelasnya.

Ia kemudian mengulas tarif PPh progresif sesuai UU No. 7 Tahun 2021, mulai 5% hingga 35%, serta posisi PTKP yang masih menggunakan ketentuan tahun 2016. Ernawati menilai nilai PTKP telah tertinggal jauh dibanding perkembangan biaya hidup. 

“Wajib pajak sangat berharap ada penyesuaian PTKP. Sudah sembilan tahun tidak berubah dan kondisinya sudah tidak relevan dengan UMK saat ini,” tuturnya.

Sesi edukasi semakin menarik saat membahas PPh Final UMKM 0,5% berdasarkan PP 55/2022. Ia menjelaskan batas omzet Rp500 juta pertama yang tidak dipajaki, serta ketentuan masa penggunaan tujuh tahun untuk orang pribadi, empat tahun untuk CV, dan tiga tahun untuk PT. 

“Begitu omzet lewat Rp4,8 miliar setahun, wajib pajak tidak lagi bisa memakai skema UMKM. Tarif umum langsung berlaku,” kata Ernawati.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pemahaman tiga komponen utama SPT, seperti penghasilan, harta, dan utang. Tiga elemen inilah yang menjadi fondasi dalam penyusunan SPT. 

“Dengan memahami dasar-dasarnya, proses pelaporan SPT akan jauh lebih mudah. Sistem boleh berubah, tapi prinsip administrasinya tetap sama,” pungkasnya. (bl)

Milko Hutabarat: Di Era Coretax, SIT Jadi Benteng Risiko Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Transformasi sistem administrasi perpajakan menuju era digital melalui Coretax membuat pekerjaan konsultan pajak semakin kompleks dan penuh risiko. Dalam konteks tersebut, Surat Ikatan Tugas (SIT) menjadi instrumen penting yang harus dipahami dan diterapkan dengan benar oleh seluruh konsultan. Pesan ini disampaikan Milko Hutabarat dalam Bimtek “Kupas Tuntas SIT” yang diselenggarakan IKPI pada 14 November 2025 secara hybrid.

Acara ini menghadirkan Donny Eduardus Rindorindo, Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, sebagai narasumber teknis, dan dimoderatori oleh Angela R. Kusumaningtyas. Peserta dari berbagai wilayah Indonesia mengikuti kegiatan ini baik secara langsung maupun daring.

Milko menyoroti bahwa perkembangan regulasi, teknologi, dan sistem perpajakan yang semakin detail membuat konsultan pajak menghadapi risiko profesional yang jauh lebih besar dibanding era sebelumnya. Dalam situasi tersebut, konsultan harus memiliki perlindungan hukum yang jelas.

“Tugas konsultan pajak sekarang jauh lebih berat. Detail pekerjaan makin banyak, risikonya makin besar. SIT adalah benteng pertama kita untuk memastikan semuanya jelas sejak awal,” ujar Milko.

Ia menjelaskan bahwa tanpa SIT, konsultan tidak memiliki dasar untuk menolak permintaan pekerjaan di luar kesepakatan atau membuktikan bahwa suatu risiko bukan tanggung jawabnya.

Meski demikian, Milko menegaskan bahwa SIT bukan alat untuk “mengikat” klien atau sekadar memasang batasan. Menurutnya, perikatan yang sehat hanya dapat terjadi jika kedua pihak memulai hubungan dengan rasa percaya.

“Jangan dibalik. Bukan bikin perikatan dulu supaya klien tidak bisa ke mana-mana. Kita percaya dulu bahwa kita bisa bekerja sama, barulah dituangkan dalam perjanjian,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa SIT harus dibuat dengan itikad baik dan tidak boleh mengandung klausul yang merugikan klien maupun konsultan. Format SIT IKPI sudah mencerminkan keseimbangan tersebut melalui pengaturan hak dan kewajiban dari kedua pihak.

Milko kemudian menguraikan prinsip-prinsip hukum yang wajib ada dalam SIT, antara lain:

• Asas legalitas, yaitu isi SIT tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

• Asas kepastian hukum, di mana lingkup pekerjaan, produk jasa, dan batas tanggung jawab harus dijelaskan secara rinci.

• Asas hubungan pribadi perjanjian, yang menegaskan bahwa SIT hanya mengikat antara konsultan dan klien.

• Asas keseimbangan, yang memastikan hak dan kewajiban kedua pihak proporsional.

• Asas itikad baik, sebagai fondasi seluruh kontrak profesional.

Ia menggarisbawahi bahwa konsultan tidak boleh menjanjikan hasil yang berada di luar kewenangannya. “Misalnya menjamin hasil pemeriksaan atau SKP. Itu tidak boleh. Konsultan hanya dapat menjanjikan apa yang bisa dilaksanakan secara profesional,” katanya.

Format SIT IKPI

Format SIT yang dijelaskan lebih detail oleh Donny Rindorindo mencakup:

• ruang lingkup pekerjaan,

• jangka waktu,

• imbalan dan penagihan,

• mekanisme penyelesaian sengketa,

• klausul kerahasiaan (disusun berdasarkan ketentuan perundangan),

• force majeure,

• ketentuan perubahan perjanjian,

• cara komunikasi,

• hingga hukum dan bahasa yang digunakan.

Milko menegaskan bahwa format ini bersifat fleksibel, bukan ketentuan kaku yang harus diikuti pasal demi pasal. “Silakan modifikasi sesuai kebutuhan masing-masing kantor konsultan. Yang penting prinsip-prinsip hukumnya dipertahankan,” ujarnya. (bl)

AOTCA Nepal Selesai, Waketum IKPI Ceritakan Keseruan Berbagi Pengalaman dan Belajar di Dunia Internasional

IKPI, Kathmandu, Nepal: Wakil Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Nuryadin Rahman, membagikan kisah penuh warna seusai rangkaian pertemuan AOTCA Nepal 2025 berakhir pada Kamis (20/11/2025) malam waktu setempat. Tidak hanya memuat diskusi teknis perpajakan, acara ini menghadirkan pengalaman budaya, jejaring internasional, dan momen-momen yang menurutnya “tak tergantikan”.

Sejak hari pertama, agenda AOTCA (Asia-Oceania Tax Consultants’ Association) di Nepal memang padat. Serangkaian sesi pemaparan dari delegasi berbagai negara termasuk penyampaian materi oleh perwakilan IKPI seperti David Tjhai dan Ichwan Sukardi membuka ruang pertukaran praktik perpajakan yang berbeda-beda di kawasan Asia dan Oceania.

“Di AOTCA ini kita bertukar informasi tentang praktek perpajakan tiap negara. Rangkaian acaranya saling menyambung dan memberi banyak wawasan baru,” ujar Nuryadin, memberikan keterangan dari Kathmandu, Nepal, Jumat (21/11/0225).

(Foto: Istimewa)

Gala Dinner Meriah Lagu Tabola Bale Jadi Idola

Salah satu momen paling berkesan bagi delegasi Indonesia adalah Gala Dinner. Seperti tradisi AOTCA, setiap negara menampilkan budaya khas mereka. Tahun ini, IKPI memilih lagu Tabola Bale yang sedang viral bahkan di luar negeri.

“Begitu lagu Tabola Bale dimainkan, suasananya langsung pecah. Delegasi negara lain ikut bergabung menari, ikut dalam keceriaan kita. Pak Ruston pun semangat sekali kemarin,” kenang Nuryadin.

Baginya, malam puncak AOTCA bukan sekadar pesta, tetapi ruang dimana budaya, profesionalitas, dan persahabatan antarnegara bertemu dalam energi positif.

Melihat Langsung Gunung Himalaya 

Saat ditanya momen paling mengesankan selama di Nepal, Nuryadin menjawab tanpa ragu: melihat Himalaya dengan mata kepala sendiri.

“Selama ini kita cuma lihat Mount Everest di TV. Nah, di AOTCA ini kita bisa melihat langsung gunung dan lembah Himalaya. Alamnya indah sekali, itu pengalaman yang nggak bisa dibeli,” ungkapnya.

Baginya, AOTCA memberi nilai lebih karena peserta bukan hanya mendapatkan ilmu perpajakan, tetapi juga bisa mengenal langsung keunikan negara tuan rumah.

Menurut Nuryadin, keuntungan lain dari menghadiri AOTCA adalah interaksi lintas negara yang intens selama tiga hari penuh.

“Kita bertemu konsultan pajak dari berbagai negara. Bisa tukar kartu nama, ngobrol, bahkan melatih bahasa Inggris. Itu manfaat besar ikut AOTCA,” ujarnya.

Baginya, koneksi semacam inilah yang memperkuat peran konsultan pajak Indonesia di dunia internasional.

AOTCA Berikutnya: Hong Kong 2026, Malaysia 2027

Pada pertemuan awal, panitia resmi menetapkan tuan rumah selanjutnya: Hong Kong untuk AOTCA 2026 dan Malaysia untuk 2027.

Nuryadin mengimbau seluruh anggota IKPI mulai menabung dari sekarang. Jangan sampai kehabisan seat untuk Hong Kong. Ia meyakinkan bahwa gelaran tahun depan akan lebih besar dan lebih meriah.

Nuryadin menyerukan agar seluruh anggota IKPI bersiap sejak awal. “Walaupun masih awal, mari kita dukung AOTCA 2026 di Hong Kong. Presidennya masih Pak Ruston Tambunan, kita dukung penuh,” katanya.

Delegasi IKPI sendiri dijadwalkan kembali ke Jakarta malam ini melalui Bangkok. “Terbang jam 12 malam, transit dulu,” tutupnya.

Dengan berakhirnya AOTCA Nepal 2025, semangat kolaborasi, pertukaran ilmu, dan persahabatan antarnegara semakin menguat—membawa IKPI melangkah lebih percaya diri menuju panggung internasional berikutnya. (bl)

IKPI Tekankan Pentingnya Surat Ikatan Tugas sebagai Perlindungan Hukum Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menegaskan kembali urgensi Surat Ikatan Tugas (SIT) sebagai standar profesional yang wajib diterapkan seluruh konsultan pajak dalam menjalankan penugasannya. Penegasan ini disampaikan Milko Hutabarat, Wakil Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) “Kupas Tuntas Surat Ikatan Tugas” yang berlangsung hybrid dari Lantai 3 Gedung IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).

Acara yang dipandu oleh Angela R. Kusumaningtyas, Ketua Bidang Seni Departemen Keagamaan, Sosial, Seni dan Olahraga IKPI, serta menghadirkan Donny Eduardus Rindorindo Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembanagan Bisnis Anggota dan sebagai instruktur, diikuti lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah baik secara luring maupun melalui Zoom.

Dalam pengantarnya, Milko menekankan bahwa SIT bukanlah dokumen baru, tetapi merupakan bagian dari Standar Profesi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia yang seharusnya sudah melekat dalam praktik sehari-hari. Namun perkembangan profesi yang semakin kompleks membuat banyak konsultan harus kembali memahami signifikansinya.

“SIT adalah dokumen tertulis yang menjelaskan ruang lingkup penugasan, jangka waktu pekerjaan, imbalan, hak dan kewajiban para pihak, hingga batasan tanggung jawab. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi dasar hukum yang melindungi konsultan pajak dan klien,” ujar Milko.

Ia menceritakan pengalaman banyak konsultan yang kerap bekerja tanpa kontrak jelas karena terlalu mengandalkan hubungan personal. Akibatnya, ketika muncul ketidaksepakatan, tidak ada dasar tertulis yang dapat dijadikan rujukan.

Risiko Besar Bila SIT Tidak Dibuat

Milko memaparkan setidaknya empat risiko utama bila konsultan menjalankan tugas tanpa SIT:

• Ruang lingkup pekerjaan tidak jelas. Konsultan sering diminta mengerjakan tugas tambahan di luar kesepakatan awal, tetapi tidak ada dasar untuk meminta tambahan fee.

• Potensi penolakan pembayaran fee oleh klien. Tanpa dokumen tertulis, konsultan tidak memiliki bukti kesepakatan.

• Kuasa dapat ditolak otoritas pajak. Dalam urusan hukum seperti pemeriksaan atau pembuatan dokumen tindak pidana pajak (tipidok), keberadaan SIT menjadi krusial.

• Konsultan dapat dipersalahkan atas temuan pajak klien. Banyak klien tidak memahami detail peraturan, sehingga ketika timbul sengketa, konsultan menjadi pihak yang disalahkan.

“Kesepakatan lisan itu sah secara hukum, tetapi rawan multitafsir. SIT dibuat untuk mencegah risiko-risiko itu,” tegas Milko.

Format SIT yang dikembangkan Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota bersama akademisi telah disusun sedemikian rupa agar memenuhi unsur-unsur hukum perdata Indonesia. Klausul di dalamnya juga disaring dari berbagai undang-undang, seperti:

• UU ITE ( terkait komunikasi dan informasi),

• UU perlindungan data dan kerahasiaan,

• UU perpajakan dan ketentuan KUP.

“Kami menyerap banyak aspek hukum karena SIT harus memberikan kepastian hukum. Mungkin terlihat panjang, tapi itu demi keamanan kita. Konsultan bisa menyesuaikan isi SIT sesuai kebutuhan, tetapi prinsip-prinsip hukumnya tidak boleh hilang,” ungkap Milko.

Ia juga menekankan sejumlah asas penting dalam SIT, seperti asas keseimbangan hak dan kewajiban, itikad baik, legalitas, kepastian hukum, dan ruang lingkup perikatan yang hanya mengikat dua pihak.

Bimtek kemudian dilanjutkan dengan sesi teknis oleh Donny Eduardus Rindorindo yang menguraikan struktur lengkap SIT, termasuk contoh pasal dan ilustrasi kasus dari pengalaman konsultan pajak di lapangan. (bl)

IKPI Beberkan Tantangan Pajak Indonesia di Forum AOTCA Nepal 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal:  Ketua Departemen Hubungan Internasional Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), David Tjhai, memaparkan sejumlah tantangan besar yang masih menghambat efektivitas kebijakan perpajakan Indonesia dalam Technical Meeting Session 2 AOTCA 2025 di Kathmandu, Nepal, Kamis (20/11/2025). Ia menjadi salah satu pembicara dengan topik “Challenges in Tax Policy Implementation in Emerging Economies”.

David menegaskan bahwa Indonesia, sebagai bagian dari kelompok emerging economies, menghadapi tantangan struktural dan operasional yang serupa dengan negara berkembang lainnya. “Banyak faktor menggerus efektivitas penerimaan dan tingkat kepatuhan, mulai dari lemahnya institusi hingga tekanan persaingan pajak global,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Menurut David, sedikitnya enam masalah utama masih membayangi implementasi kebijakan perpajakan di negara berkembang, yakni:

• lemahnya kualitas institusi,

• korupsi dan minimnya transparansi,

• banyaknya pengecualian pajak,

• dominannya sektor informal,

• arus modal menuju tax haven, serta

• tekanan kompetisi tarif pajak antarnegara.

Struktur Penerimaan Pajak Masih Bertumpu pada Pihak Ketiga

David menjelaskan bahwa Indonesia masih sangat mengandalkan mekanisme pemungutan pihak ketiga dalam mengumpulkan penerimaan negara. Berdasarkan data APBN per 30 November 2024, komposisi penerimaan pajak didominasi PPN domestik (25,74%), PPh Badan (17,16%), dan kelompok pajak lainnya (17,15%). Adapun PPh Pasal 21 berkontribusi 13,23%, PPN impor 14,60%, pajak final 7,34%, PPh Pasal 22 impor 3,99%, sementara PPh Orang Pribadi hanya 0,79%.

“Ketergantungan yang besar pada pihak ketiga menjadi ciri kuat administrasi perpajakan Indonesia. Ini memberi keuntungan pada sisi kontrol, namun juga menuntut tata kelola yang jauh lebih disiplin,” jelasnya.

Selain itu, David juga menyoroti hasil reformasi organisasi DJP yang sejak 2002–2008 beralih ke sistem teritorial. Pada saat ini, KPP Madya dan LTO menyumbang 80–85% penerimaan nasional, sedangkan KPP Pratama hanya sekitar 15% dengan fokus memperluas basis perpajakan UMKM.

(Foto: Istimewa)

Terkait PPN, David menjelaskan bahwa UU HPP 2022 memperluas objek pajak dengan memasukkan sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya bebas PPN, seperti kebutuhan pokok, layanan medis, sosial, dan pendidikan. Namun banyak dari barang dan jasa tersebut kembali dikecualikan melalui Pasal 16B apabila dianggap strategis.

Ekonomi Bayangan dan Pajak Digital

Indonesia, kata David, masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait besarnya aktivitas ekonomi di luar sistem. “Ekonomi bayangan kita diperkirakan mencapai 20–30% PDB. Ini adalah tantangan klasik negara berkembang,” tegasnya.

UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar masih dikenakan PPh final 0,5% dengan durasi berbeda sesuai jenis entitas.

Untuk mengurangi celah dan memperluas basis pajak, pemerintah telah mengadopsi sejumlah kebijakan digital, antara lain PPN atas transaksi elektronik (PPN PMSE), pemotongan pajak platform digital seperti Tokopedia, Shopee, hingga TikTok, serta implementasi Auto Exchange of Information (AEoI) sejak 2017. Indonesia juga tengah mengikuti ketentuan OECD Pilar Dua dan melakukan evaluasi insentif pajak.

Ia menegaskan bahwa reformasi yang dijalankan Indonesia saat ini selaras dengan empat pilar Deklarasi Doha, yaitu modernisasi sistem pajak, peningkatan efisiensi, perluasan basis pajak, dan pemberantasan penghindaran pajak melalui kerja sama internasional.

Salah satu pilar modernisasi yang paling krusial adalah implementasi Coretax (CTAS). Namun, David mengingatkan bahwa sistem tersebut masih menghadapi tantangan teknis dan operasional.

“Integrasi data, kesiapan infrastruktur, hingga adaptasi pengguna masih menjadi pekerjaan besar. Ketika sistem belum optimal, akurasi data dan kepatuhan wajib pajak ikut terdampak,” katanya.

Di akhir paparannya, David menekankan bahwa keberhasilan reformasi perpajakan di Indonesia bukan hanya bergantung pada kebijakan, tetapi juga pada kualitas institusi, kolaborasi internasional, dan kemampuan menyeimbangkan antara daya saing ekonomi dan keadilan sistem pajak. (bl)

Tingkatkan Layanan dan Tata Kelola Organisasi, IKPI Siapkan Pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) tengah mempersiapkan langkah strategis berupa pemekaran dua cabang besarnya, yakni IKPI Cabang Jakarta Barat dan IKPI Cabang Surabaya. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Lilisen, menegaskan bahwa pemekaran ini merupakan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta memperkuat tata kelola organisasi di wilayah dengan jumlah anggota yang sangat besar.

Lilisen memaparkan bahwa kedua cabang tersebut kini telah memiliki anggota yang jauh melampaui batas minimal organisasi untuk melakukan pemekaran.

• Jakarta Barat: 869 anggota

• Surabaya: 675 anggota

“Dengan jumlah anggota sebesar ini, pelayanan organisasi harus mampu menjangkau lebih dekat, lebih cepat, dan lebih efektif. Pemekaran menjadi langkah logis agar pembinaan dan koordinasi dapat berjalan optimal,” ujar Lilisen, Kamis (20/11/2025).

Dasar Hukum

Rencana pemekaran didasarkan pada ketentuan resmi yang tertuang dalam Pasal 17 Ayat (3) Anggaran Dasar IKPI, yang mengatur mekanisme pemekaran cabang.

Syarat Pemekaran Cabang (Pasal 17 Ayat 3):

• Cabang induk memiliki minimal 200 anggota tetap

(Jakarta Barat dan Surabaya telah melampaui angka tersebut)

• Diusulkan oleh minimal 5 anggota tetap atau oleh Pengurus Pusat

• Mendapat persetujuan Rapat Pleno Pengurus Pusat

• Cabang baru berkedudukan di kota atau kabupaten yang sama

• Usulan pemekaran disampaikan secara tertulis untuk diproses dan diterbitkan Surat Keputusan

Lilisen memastikan bahwa seluruh syarat tersebut telah terpenuhi, sehingga proses kini memasuki fase kajian wilayah dan penyusunan rancangan struktur cabang baru.

Mantan ketua Cabang Pekanbaru ini juga menyoroti kondisi ekosistem perpajakan nasional yang semakin kompleks. Berdasarkan data DJP, terdapat:

• 352 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia

• 34 Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP dan KP2KP

Menurutnya, pemekaran cabang akan membantu IKPI memastikan pembinaan anggota dapat mengikuti dinamika layanan perpajakan yang terus berkembang.

IKPI menilai pemekaran sebagai langkah penting untuk:

• memperpendek rantai koordinasi,

• meningkatkan kualitas pendidikan berkelanjutan (continuing professional development),

• memperkuat penegakan etika profesi,

• meningkatkan respons organisasi terhadap kebutuhan anggota.

“Ini bukan hanya soal memecah cabang besar menjadi lebih kecil. Ini tentang menghadirkan layanan yang lebih dekat dan membangun tata kelola yang lebih sehat dan adaptif,” tegas Lilisen.

Saat ini kata Lilisen, rencana pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya sedang disiapkan untuk diajukan dalam Rapat Pleno Pengurus Pusat IKPI. Jika disetujui, kedua wilayah tersebut akan menjadi contoh pemekaran cabang terbesar dalam sejarah IKPI.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, memberikan dukungan penuh atas rencana pemekaran ini. Nuryadin menyebut langkah tersebut merupakan lanjutan dari peta jalan pengembangan organisasi yang sudah dirumuskan.

“Pemekaran cabang adalah proses natural ketika jumlah anggota tumbuh pesat. Ini bukan hanya pembagian wilayah, tetapi bagian dari strategi jangka panjang memperkuat fondasi organisasi,” ujar Nuryadin.

Ia menegaskan bahwa cabang-cabang besar seperti Jakarta Barat dan Surabaya memang telah lama disiapkan untuk pemekaran, mengingat tingginya intensitas kegiatan, kebutuhan layanan administratif, dan meningkatnya kompleksitas profesi di dua kota tersebut.

“Konsultan pajak di lapangan semakin membutuhkan dukungan organisasi yang cepat dan tepat. Dengan adanya cabang baru hasil pemekaran, pelayanan kepada anggota akan menjadi lebih responsif, program pendidikan dapat merata, dan penegakan etika profesi semakin optimal,” tambahnya.

Nuryadin juga menekankan bahwa pemekaran ini tidak hanya memperluas jangkauan IKPI, tetapi sekaligus meningkatkan kualitas tata kelola melalui pembagian beban kerja organisasi yang lebih seimbang. (bl)

IKPI Bawa Isu Etika Profesi dan Kebijakan Pajak di AOTCA 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan peran strategisnya dalam percaturan perpajakan internasional. Pada gelaran Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) International Tax Conference 2025, dua delegasi IKPI tampil sebagai pembicara dengan membawa dua isu utama: etika profesi dan tantangan implementasi kebijakan pajak di negara berkembang.

Konferensi yang berlangsung 18–21 November 2025 di The Soaltee Kathmandu ini dihadiri lebih dari 500 delegasi dari 30 negara di Asia, Oseania, dan Afrika. Dengan tema besar “Evolution of Tax Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals”, forum ini menjadi ruang bagi negara berkembang untuk berbagi pengalaman dalam memperkuat fondasi administrasi dan kebijakan perpajakan.

Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Ichwan Sukardi, yang tampil pada sesi Ethics and Professional Conduct, menyoroti pentingnya menjaga standar integritas di tengah pesatnya perubahan global. Ethics and Professional Conduct berlaku universal – sedangkan aturan perpajakan, umumnya berlaku domestic dan berbeda-beda tiap negara.

“Teknologi berubah, kebijakan berubah, tetapi etika tidak boleh ikut berubah. Integritas adalah fondasi profesi pajak. Tanpa itu, seluruh sistem bisa runtuh,” tegas Ichwan, Rabu (19/11/2025).

Ia menekankan bahwa negara berkembang menghadapi tekanan globalisasi, disrupsi digital, dan peningkatan kompleksitas transaksi. Kondisi tersebut membuat peran profesional pajak semakin krusial sebagai penjaga kredibilitas sistem perpajakan..

Selain etika, IKPI juga membawa isu penting mengenai implementasi kebijakan pajak. Melalui paparan David Tjhai, IKPI membahas bagaimana negara berkembang kerap berada di persimpangan antara kebutuhan peningkatan penerimaan dan kemampuan administrasi pajaknya.

David mengangkat berbagai hambatan yang sering muncul, seperti keterbatasan infrastruktur digital, resistensi wajib pajak, serta ketidaksinkronan antara kebijakan dan realitas ekonomi. Dalam paparannya, David menekankan perlunya harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta perlunya penguatan kapasitas aparatur pajak.

Selain dua materi yang dibawa IKPI, konferensi ini juga mengupas berbagai isu strategis seperti:
• evolusi sistem pajak di negara berkembang
• tantangan dalam implementasi kebijakan
• peran profesional pajak dalam memastikan kepatuhan global
• transformasi digital administrasi pajak
• Green Taxes (pajak lingkungan) dan kebijakan pembangunan berkelanjutan

Isu-isu tersebut menjadi relevan karena banyak negara anggota AOTCA menghadapi tantangan yang serupa.

Selain itu, Presiden AOTCA Ruston Tambunan, yang juga merupakan Ketua Umum IKPI periode 2022-2024 menegaskan pentingnya kerja sama antarnegara untuk menghadapi tantangan global. Ia mengingatkan bahwa AOTCA terus berkontribusi dalam pembahasan kebijakan internasional, termasuk pada isu Pillar 1 & 2 OECD.

Sementara, Presiden GTAP, Prof. Piergiorgio Valente, menambahkan bahwa transfer pricing kini menjadi isu paling kritis bagi negara berkembang. Ia juga mendorong pemanfaatan Advanced Pricing Agreement (APA) untuk mengurangi sengketa pajak internasional.

Sebagai penyelenggara, Nepal Tax Consultants’ Chamber (NCTC) memanfaatkan AOTCA 2025 untuk menampilkan pencapaian reformasi perpajakannya dan memperkuat posisi Nepal sebagai destinasi konferensi skala internasional.

Menurut Ichwan, kehadiran delegasi IKPI di sesi pembicara AOTCA 2025 menunjukkan posisi penting Indonesia dalam dialog perpajakan internasional. Dengan membawa isu fundamental seperti etika profesi dan kebijakan pajak, IKPI menegaskan komitmennya pada standar tinggi profesionalisme dan kontribusi aktif pada perkembangan perpajakan global. (bl)

Kupas Tuntas Penanggung Pajak, Humala Napitupulu: Surat Paksa Bisa Batal Demi Hukum

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan IKPI Pengda DKJ pada Rabu (19/11/2025) berlangsung dinamis ketika Humala Napitupulu memaparkan analisis mendalam mengenai batasan tanggung jawab penanggung pajak, khususnya terkait penerbitan surat paksa dan proses penagihan aktif.

Humala menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum pajak modern, surat paksa merupakan tindakan penagihan yang memiliki kekuatan eksekutorial setara putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Namun kekuatan tersebut tetap tunduk pada prinsip due process of law.

“Kalau wajib pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, tindakan penagihan tidak boleh dilakukan. Kalau surat paksa diterbitkan dalam kondisi itu, tindakan tersebut inkonstitusional dan surat paksanya batal demi hukum,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa kasus di lapangan di mana wajib pajak menerima surat paksa sementara proses keberatan masih berjalan. Menurut Humala, kondisi tersebut merugikan wajib pajak karena berdampak pada perhitungan daluarsa penagihan.

“Kalau surat paksa batal demi hukum, maka daluarsa dihitung kembali dari awal. Ibarat kilometer mobil di-reset,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, ia menekankan bahwa DJP memang memiliki hak melakukan penagihan aktif sepanjang wajib pajak tidak berada dalam proses keberatan atau banding. Namun setiap tindakan paksa wajib memenuhi tiga prinsip:

• Wajib pajak diberi tahu,

• Diberi kesempatan menyanggah, dan

• Disediakan mekanisme penyelesaian.

“Kalau tiga prinsip ini dilanggar, tindakan penagihan bisa dibatalkan,” jelasnya.

Humala juga menyinggung luasnya cakupan penanggung pajak dalam Pasal 32 dan 32A UU KUP yang memungkinkan tanggung jawab meluas hingga harta pribadi pengurus. Hal inilah yang menurutnya sering menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan batas kewenangan negara.

Isu lain yang menjadi perhatian Humala adalah kebutuhan perlindungan hukum dalam rezim penagihan modern. Ia mengingatkan bahwa banyak tindakan paksa seperti blokir rekening kini dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah, sehingga pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat.

Menanggapi pertanyaan soal penerapan restorative justice dalam perpajakan, Humala menilai pendekatan tersebut pernah dicoba namun belum sepenuhnya efektif. 

“Restorative justice menekankan pemulihan, bukan penghukuman. Tapi dalam perpajakan, kita tetap berhadapan dengan batas waktu penagihan yang kaku,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya memahami alur hukum penagihan agar penanggung pajak tidak dirugikan: “Kita harus paham dulu aturan dan batasannya. Baru kita bisa tahu apakah kita benar-benar harus bertanggung jawab atau tidak,” katanya. (bl)

en_US