Tingkatkan Layanan dan Tata Kelola Organisasi, IKPI Siapkan Pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) tengah mempersiapkan langkah strategis berupa pemekaran dua cabang besarnya, yakni IKPI Cabang Jakarta Barat dan IKPI Cabang Surabaya. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi IKPI, Lilisen, menegaskan bahwa pemekaran ini merupakan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta memperkuat tata kelola organisasi di wilayah dengan jumlah anggota yang sangat besar.

Lilisen memaparkan bahwa kedua cabang tersebut kini telah memiliki anggota yang jauh melampaui batas minimal organisasi untuk melakukan pemekaran.

• Jakarta Barat: 869 anggota

• Surabaya: 675 anggota

“Dengan jumlah anggota sebesar ini, pelayanan organisasi harus mampu menjangkau lebih dekat, lebih cepat, dan lebih efektif. Pemekaran menjadi langkah logis agar pembinaan dan koordinasi dapat berjalan optimal,” ujar Lilisen, Kamis (20/11/2025).

Dasar Hukum

Rencana pemekaran didasarkan pada ketentuan resmi yang tertuang dalam Pasal 17 Ayat (3) Anggaran Dasar IKPI, yang mengatur mekanisme pemekaran cabang.

Syarat Pemekaran Cabang (Pasal 17 Ayat 3):

• Cabang induk memiliki minimal 200 anggota tetap

(Jakarta Barat dan Surabaya telah melampaui angka tersebut)

• Diusulkan oleh minimal 5 anggota tetap atau oleh Pengurus Pusat

• Mendapat persetujuan Rapat Pleno Pengurus Pusat

• Cabang baru berkedudukan di kota atau kabupaten yang sama

• Usulan pemekaran disampaikan secara tertulis untuk diproses dan diterbitkan Surat Keputusan

Lilisen memastikan bahwa seluruh syarat tersebut telah terpenuhi, sehingga proses kini memasuki fase kajian wilayah dan penyusunan rancangan struktur cabang baru.

Mantan ketua Cabang Pekanbaru ini juga menyoroti kondisi ekosistem perpajakan nasional yang semakin kompleks. Berdasarkan data DJP, terdapat:

• 352 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia

• 34 Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP dan KP2KP

Menurutnya, pemekaran cabang akan membantu IKPI memastikan pembinaan anggota dapat mengikuti dinamika layanan perpajakan yang terus berkembang.

IKPI menilai pemekaran sebagai langkah penting untuk:

• memperpendek rantai koordinasi,

• meningkatkan kualitas pendidikan berkelanjutan (continuing professional development),

• memperkuat penegakan etika profesi,

• meningkatkan respons organisasi terhadap kebutuhan anggota.

“Ini bukan hanya soal memecah cabang besar menjadi lebih kecil. Ini tentang menghadirkan layanan yang lebih dekat dan membangun tata kelola yang lebih sehat dan adaptif,” tegas Lilisen.

Saat ini kata Lilisen, rencana pemekaran Cabang Jakarta Barat dan Surabaya sedang disiapkan untuk diajukan dalam Rapat Pleno Pengurus Pusat IKPI. Jika disetujui, kedua wilayah tersebut akan menjadi contoh pemekaran cabang terbesar dalam sejarah IKPI.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, memberikan dukungan penuh atas rencana pemekaran ini. Nuryadin menyebut langkah tersebut merupakan lanjutan dari peta jalan pengembangan organisasi yang sudah dirumuskan.

“Pemekaran cabang adalah proses natural ketika jumlah anggota tumbuh pesat. Ini bukan hanya pembagian wilayah, tetapi bagian dari strategi jangka panjang memperkuat fondasi organisasi,” ujar Nuryadin.

Ia menegaskan bahwa cabang-cabang besar seperti Jakarta Barat dan Surabaya memang telah lama disiapkan untuk pemekaran, mengingat tingginya intensitas kegiatan, kebutuhan layanan administratif, dan meningkatnya kompleksitas profesi di dua kota tersebut.

“Konsultan pajak di lapangan semakin membutuhkan dukungan organisasi yang cepat dan tepat. Dengan adanya cabang baru hasil pemekaran, pelayanan kepada anggota akan menjadi lebih responsif, program pendidikan dapat merata, dan penegakan etika profesi semakin optimal,” tambahnya.

Nuryadin juga menekankan bahwa pemekaran ini tidak hanya memperluas jangkauan IKPI, tetapi sekaligus meningkatkan kualitas tata kelola melalui pembagian beban kerja organisasi yang lebih seimbang. (bl)

IKPI Bawa Isu Etika Profesi dan Kebijakan Pajak di AOTCA 2025

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan peran strategisnya dalam percaturan perpajakan internasional. Pada gelaran Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) International Tax Conference 2025, dua delegasi IKPI tampil sebagai pembicara dengan membawa dua isu utama: etika profesi dan tantangan implementasi kebijakan pajak di negara berkembang.

Konferensi yang berlangsung 18–21 November 2025 di The Soaltee Kathmandu ini dihadiri lebih dari 500 delegasi dari 30 negara di Asia, Oseania, dan Afrika. Dengan tema besar “Evolution of Tax Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals”, forum ini menjadi ruang bagi negara berkembang untuk berbagi pengalaman dalam memperkuat fondasi administrasi dan kebijakan perpajakan.

Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Ichwan Sukardi, yang tampil pada sesi Ethics and Professional Conduct, menyoroti pentingnya menjaga standar integritas di tengah pesatnya perubahan global. Ethics and Professional Conduct berlaku universal – sedangkan aturan perpajakan, umumnya berlaku domestic dan berbeda-beda tiap negara.

“Teknologi berubah, kebijakan berubah, tetapi etika tidak boleh ikut berubah. Integritas adalah fondasi profesi pajak. Tanpa itu, seluruh sistem bisa runtuh,” tegas Ichwan, Rabu (19/11/2025).

Ia menekankan bahwa negara berkembang menghadapi tekanan globalisasi, disrupsi digital, dan peningkatan kompleksitas transaksi. Kondisi tersebut membuat peran profesional pajak semakin krusial sebagai penjaga kredibilitas sistem perpajakan..

Selain etika, IKPI juga membawa isu penting mengenai implementasi kebijakan pajak. Melalui paparan David Tjhai, IKPI membahas bagaimana negara berkembang kerap berada di persimpangan antara kebutuhan peningkatan penerimaan dan kemampuan administrasi pajaknya.

David mengangkat berbagai hambatan yang sering muncul, seperti keterbatasan infrastruktur digital, resistensi wajib pajak, serta ketidaksinkronan antara kebijakan dan realitas ekonomi. Dalam paparannya, David menekankan perlunya harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah, serta perlunya penguatan kapasitas aparatur pajak.

Selain dua materi yang dibawa IKPI, konferensi ini juga mengupas berbagai isu strategis seperti:
• evolusi sistem pajak di negara berkembang
• tantangan dalam implementasi kebijakan
• peran profesional pajak dalam memastikan kepatuhan global
• transformasi digital administrasi pajak
• Green Taxes (pajak lingkungan) dan kebijakan pembangunan berkelanjutan

Isu-isu tersebut menjadi relevan karena banyak negara anggota AOTCA menghadapi tantangan yang serupa.

Selain itu, Presiden AOTCA Ruston Tambunan, yang juga merupakan Ketua Umum IKPI periode 2022-2024 menegaskan pentingnya kerja sama antarnegara untuk menghadapi tantangan global. Ia mengingatkan bahwa AOTCA terus berkontribusi dalam pembahasan kebijakan internasional, termasuk pada isu Pillar 1 & 2 OECD.

Sementara, Presiden GTAP, Prof. Piergiorgio Valente, menambahkan bahwa transfer pricing kini menjadi isu paling kritis bagi negara berkembang. Ia juga mendorong pemanfaatan Advanced Pricing Agreement (APA) untuk mengurangi sengketa pajak internasional.

Sebagai penyelenggara, Nepal Tax Consultants’ Chamber (NCTC) memanfaatkan AOTCA 2025 untuk menampilkan pencapaian reformasi perpajakannya dan memperkuat posisi Nepal sebagai destinasi konferensi skala internasional.

Menurut Ichwan, kehadiran delegasi IKPI di sesi pembicara AOTCA 2025 menunjukkan posisi penting Indonesia dalam dialog perpajakan internasional. Dengan membawa isu fundamental seperti etika profesi dan kebijakan pajak, IKPI menegaskan komitmennya pada standar tinggi profesionalisme dan kontribusi aktif pada perkembangan perpajakan global. (bl)

Kupas Tuntas Penanggung Pajak, Humala Napitupulu: Surat Paksa Bisa Batal Demi Hukum

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan IKPI Pengda DKJ pada Rabu (19/11/2025) berlangsung dinamis ketika Humala Napitupulu memaparkan analisis mendalam mengenai batasan tanggung jawab penanggung pajak, khususnya terkait penerbitan surat paksa dan proses penagihan aktif.

Humala menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum pajak modern, surat paksa merupakan tindakan penagihan yang memiliki kekuatan eksekutorial setara putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Namun kekuatan tersebut tetap tunduk pada prinsip due process of law.

“Kalau wajib pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, tindakan penagihan tidak boleh dilakukan. Kalau surat paksa diterbitkan dalam kondisi itu, tindakan tersebut inkonstitusional dan surat paksanya batal demi hukum,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa kasus di lapangan di mana wajib pajak menerima surat paksa sementara proses keberatan masih berjalan. Menurut Humala, kondisi tersebut merugikan wajib pajak karena berdampak pada perhitungan daluarsa penagihan.

“Kalau surat paksa batal demi hukum, maka daluarsa dihitung kembali dari awal. Ibarat kilometer mobil di-reset,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, ia menekankan bahwa DJP memang memiliki hak melakukan penagihan aktif sepanjang wajib pajak tidak berada dalam proses keberatan atau banding. Namun setiap tindakan paksa wajib memenuhi tiga prinsip:

• Wajib pajak diberi tahu,

• Diberi kesempatan menyanggah, dan

• Disediakan mekanisme penyelesaian.

“Kalau tiga prinsip ini dilanggar, tindakan penagihan bisa dibatalkan,” jelasnya.

Humala juga menyinggung luasnya cakupan penanggung pajak dalam Pasal 32 dan 32A UU KUP yang memungkinkan tanggung jawab meluas hingga harta pribadi pengurus. Hal inilah yang menurutnya sering menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan batas kewenangan negara.

Isu lain yang menjadi perhatian Humala adalah kebutuhan perlindungan hukum dalam rezim penagihan modern. Ia mengingatkan bahwa banyak tindakan paksa seperti blokir rekening kini dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah, sehingga pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat.

Menanggapi pertanyaan soal penerapan restorative justice dalam perpajakan, Humala menilai pendekatan tersebut pernah dicoba namun belum sepenuhnya efektif. 

“Restorative justice menekankan pemulihan, bukan penghukuman. Tapi dalam perpajakan, kita tetap berhadapan dengan batas waktu penagihan yang kaku,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya memahami alur hukum penagihan agar penanggung pajak tidak dirugikan: “Kita harus paham dulu aturan dan batasannya. Baru kita bisa tahu apakah kita benar-benar harus bertanggung jawab atau tidak,” katanya. (bl)

DJP Perketat Pengawasan, Eks Pegawai Pajak Dilarang Layani Wajib Pajak Selama 5 Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengambil langkah tegas untuk menutup celah persekongkolan fraud antara pegawai pajak yang telah mengundurkan diri dengan konsultan maupun wajib pajak. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengumumkan adanya aturan baru yang secara khusus membatasi ruang gerak eks pegawai pajak agar tidak lagi bisa mengakses maupun memberikan layanan perpajakan setelah resign.

Bimo mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil setelah DJP menemukan pola persekongkolan fraud yang melibatkan pegawai pajak yang hendak atau telah resign. Mereka diduga bekerja sama dengan konsultan ataupun wajib pajak tertentu untuk mengakali ketentuan perpajakan, memanfaatkan data negara yang pernah mereka akses selama bekerja.

“Kami sudah siapkan sistem dan kerangka regulasi untuk itu. Kami akan kunci NIK dan NPWP yang bersangkutan di Coretax, sehingga tidak bisa lagi mereka melakukan pelayanan perpajakan ketika mereka resign,” ujar Bimo dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2025).

Aturan baru yang tengah disiapkan DJP mencakup dua langkah strategis:

1. Penguncian NIK dan NPWP eks pegawai di dalam sistem Coretax, sehingga mereka tidak dapat mengakses fitur atau layanan perpajakan apa pun.

2. Pemberlakuan masa tunggu (grace period) selama 5 tahun bagi pegawai yang resign sebelum dapat bekerja sebagai konsultan pajak, kuasa pajak, atau bagian perpajakan di perusahaan mana pun.

Menurut Bimo, selama ini belum ada kerangka aturan yang mengatur masa tunggu, padahal risiko konflik kepentingan dan hubungan istimewa dengan pihak ketiga sangat besar.

“Ini penting karena belum ada kerangka aturan itu sebelumnya. Mereka yang bekerja di DJP harus menjaga independensinya. Tidak boleh ada konflik of interest, apalagi hubungan-hubungan istimewa dengan intermediaries,” tegasnya.

Bimo menjelaskan bahwa masa tunggu lima tahun tersebut dirancang sesuai dengan umur validity data perpajakan yang kemungkinan masih tersimpan oleh pegawai dalam perangkat pribadi. DJP saat ini masih menghadapi tantangan untuk memusatkan seluruh data negara yang tersebar di perangkat kerja pegawai.

“Ada data-data yang masih bisa disimpan di stand alone laptop, tablet, maupun HP para pegawai. Maka itu data negara yang ada di mereka tidak akan bisa digunakan apabila mereka resign dalam jangka waktu lima tahun. Karena setelah lima tahun itu, data tersebut sudah kedaluwarsa,” jelasnya.

Upaya Menutup Celah Fraud

Bimo menegaskan bahwa aturan ini merupakan langkah preventif penting untuk memperkuat integritas lembaga serta menjaga kepercayaan publik terhadap DJP. Ia berharap kebijakan tersebut dapat mengakhiri praktik gelap yang melibatkan pegawai maupun mantan pegawai DJP.

“Ditengarai memang ada persekongkolan antara petugas pajak dengan konsultan yang tidak baik dan wajib pajak tertentu. Karena itu kami bertindak,” tegasnya.

Rancangan aturan ini tinggal menunggu finalisasi sebelum diterapkan secara nasional. DJP memastikan bahwa kebijakan tersebut akan menjadi fondasi baru dalam memperkuat tata kelola, transparansi, dan profesionalisme di lingkungan perpajakan Indonesia. (alf)

IKPI Perkuat Peran Global, 30 Delegasi Hadiri AOTCA International Tax Conference 2025 Nepal

IKPI, Kathmandu, Nepal: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali membuktikan posisinya sebagai organisasi profesi perpajakan yang aktif, modern, dan memiliki jejaring internasional yang kuat. Tahun ini, sebanyak 30 delegasi IKPI hadir di AOTCA International Tax Conference 2025 yang berlangsung pada 19–21 November di Kathmandu, Nepal.

Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, David Tjhai, menyebut keikutsertaan Indonesia dalam konferensi ini sebagai momentum penting untuk menguatkan kontribusi konsultan pajak Indonesia di tingkat global. “Partisipasi kita di forum AOTCA bukan hanya formalitas. Ini adalah ruang bagi Indonesia untuk ikut membentuk arah pembahasan isu-isu perpajakan internasional yang terus berkembang,” ujar David.

(Foto: Istimewa)

Dikatakan David, rangkaian konferensi dimulai dengan pengalaman yang tak terlupakan. Para delegasi sempat menikmati kehidupan khas Kathmandu yang penuh warna jalan-jalan sempit yang ramai, hiruk pikuk pasar tradisional, serta energi spiritual dari kuil-kuil bersejarah seperti Swayambhunath dan Pashupatinath.

Tidak hanya itu, delegasi juga melakukan perjalanan menuju kawasan Himalaya. Momen ketika rombongan menyaksikan panorama Gunung Everest dari kejauhan menjadi salah satu pengalaman paling berkesan. “Ketika berdiri di hadapan Himalaya, Anda merasa kecil sekaligus terinspirasi. Ini energi positif sebelum memasuki diskusi berat mengenai kebijakan pajak global,” ungkap David.

(Foto: Istimewa)

Isu Pajak Global yang Menjadi Sorotan

Konferensi AOTCA tahun ini membahas isu-isu strategis yang sangat relevan untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Beberapa topik yang menjadi sorotan antara lain:

• evolusi historis sistem perpajakan di negara-negara berkembang,

• tantangan implementasi kebijakan pajak di emerging economies,

• transformasi digital administrasi perpajakan dan potensi risikonya,

• peran konsultan pajak internasional dalam global tax compliance,

• serta penguatan etika dan profesionalisme konsultan pajak di situasi ekonomi yang dinamis.

(Foto: Istimewa)

Delegasi Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kerja sama, berjejaring dengan negara anggota AOTCA lainnya, dan bertukar praktik terbaik terkait reformasi pajak, digitalisasi administrasi, serta edukasi perpajakan.

Keistimewaan partisipasi Indonesia tahun ini kata David, adalah keterlibatan langsung dua perwakilan IKPI sebagai pembicara utama.

• David Tjhai mempresentasikan materi mengenai Challenges in Tax Policy Implementation in Emerging Economies (Indonesia). Dalam sesinya, David menjelaskan dinamika kebijakan pajak nasional, tantangan penerapan regulasi baru, serta bagaimana Indonesia menyesuaikan diri dengan standardisasi global seperti BEPS dan global minimum tax.

• Ichwan Sukardi Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, menyampaikan materi mengenai Ethical Responsibilities and Professional Conduct of Tax Consultants in Developing Economies, membahas pentingnya integritas konsultan pajak di tengah tuntutan perubahan ekonomi global.

(Foto: Istimewa)

Menurut David, undangan resmi untuk tampil sebagai pembicara merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap kapasitas intelektual dan profesionalisme IKPI. “Ini sinyal positif bahwa suara Indonesia diakui dan didengar dalam forum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, konferensi ini juga menjadi sarana penting bagi IKPI untuk memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral di bidang perpajakan. Selain mengikuti sesi pleno, delegasi Indonesia melakukan sejumlah pertemuan sampingan dengan perwakilan dari Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Malaysia untuk membahas peluang kolaborasi pelatihan, riset, serta pengembangan standar profesi.

David menegaskan bahwa peran IKPI di AOTCA telah berkembang dari sekadar peserta menjadi bagian dari pendorong agenda perpajakan global. “Kami ingin memastikan Indonesia tidak hanya menjadi penerima manfaat pengetahuan, tetapi juga menjadi penyumbang gagasan, pengalaman, dan inovasi dalam tata kelola pajak internasional,” katanya.

Dengan partisipasi yang kuat, pembelajaran yang kaya, serta kontribusi nyata melalui dua pembicara utama, IKPI berharap kehadiran delegasi Indonesia pada AOTCA International Tax Conference 2025 dapat memberikan dampak signifikan bagi penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia baik dari sisi kualitas layanan, integritas, maupun wawasan global. (bl)

Humala Napitupulu Tekankan Prinsip Keadilan dalam Penagihan Pajak, Sebut Kewajiban Itu Ada Batasnya

IKPI, Jakarta: Praktisi perpajakan yang juga merupakan anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Humala Napitupulu, menegaskan bahwa konsep penagihan pajak tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan, keseimbangan, dan batasan kemampuan wajib pajak. 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Perpajakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda DKJ bertema “Kedudukan dan Batasan Tanggung Jawab Penanggung Pajak”, di Aston Kartika Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025).

Humala membuka paparannya dengan tiga prinsip dasar yang menurutnya menjadi fondasi moral dalam memahami kewajiban pajak. “Di zaman saya, orang tua mengajarkan satu hal: utang harus dibayar. Tetapi kewajiban itu ada batasnya. Kita tidak mungkin bisa membayar utang kalau kita tidak paham atau tidak mampu,” ujarnya.

Menurutnya, pemahaman kedudukan dan batas tanggung jawab penanggung pajak adalah kunci untuk membaca aturan secara tepat. Ia menjelaskan bahwa kedudukan menentukan posisi pihak pertama, kedua, dan ketiga dalam struktur penagihan.

“Seperti utang pajak pada badan, tanggung jawab itu bisa mengalir ke pengurus. Badan adalah pihak pertama, pengurus adalah pihak terakhir,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menguraikan pentingnya memahami konsep renteng dan proporsionalitas dalam penagihan. Pada sistem renteng, tagihan cukup dibebankan kepada satu pihak. Namun dalam proporsionalitas, pungutan harus dilakukan berdasarkan porsi masing-masing penanggung pajak.

Humala juga menyoroti sejarah lambatnya reformasi penagihan pajak sejak era warisan hukum Belanda hingga terbitnya Undang-Undang Penagihan Pajak tahun 2000. Menurutnya, pembentukan surat paksa dengan kekuatan eksekutorial merupakan tonggak penting, namun tetap harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai.

“Pemerintah membutuhkan kekuatan penuh dalam penagihan. Tetapi kekuatan penuh itu harus berjalan seiring dengan perlindungan hukum, supaya adil dan berimbang,” imbuh Humala.

Ia menyampaikan tujuh poin penting UU PPSP yang wajib dipahami konsultan dan wajib pajak, mulai dari hak mendahului negara, cakupan penanggung pajak, hingga proses penyanderaan dan perlindungan OJK.

Humala mengajak peserta untuk mengkritisi aturan demi mencari bentuk keadilan yang tepat. “Upaya hukum harus jelas dan tersedia. Kalau kekuasaan terlalu besar, maka keseimbangan hilang. Keadilan harus tetap dijaga,” ujarnya. (bl)

Ketum IKPI Tekankan Perubahan Ekosistem Perpajakan, Sebut Reformasi Tak Bisa Hanya Dibebankan ke DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan bahwa reformasi perpajakan nasional tidak boleh terus-menerus dibebankan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurutnya, seluruh elemen dalam ekosistem perpajakan mulai dari wajib pajak, konsultan pajak, lembaga keuangan, hingga regulator harus berubah secara serempak agar penerimaan negara meningkat secara berkelanjutan.

Pernyataan Vaudy disampaikan dalam sambutannya pada Seminar Perpajakan IKPI Pengda DKJ yang digelar di Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Rabu (19/11/2025). 

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Vaudy menekankan bahwa struktur perpajakan Indonesia saat ini masih bertumpu berlebihan pada DJP, padahal rantai pemungutan pajak mencakup banyak pihak yang saling terkait.

“Kalau ekosistem tidak berubah, mustahil kita berharap perubahan hanya datang dari DJP. Kita berada di tengah-tengah antara otoritas dan wajib pajak. Ketika datanya tidak selaras, yang menjadi jembatan adalah profesi konsultan pajak,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa berbagai masalah seperti data yang tidak sinkron, transaksi tunai yang besar, hingga ekonomi bawah tanah (underground economy) tidak dapat dibereskan hanya dengan pengawasan DJP.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Perubahan harus menyeluruh. Mulai dari otoritas pajak, penyedia data, lembaga keuangan, wajib pajak, sampai konsultan pajak itu sendiri,” tegasnya.

Dalam paparannya, ia menyebut beberapa kebijakan yang sangat penting untuk mendorong reformasi ekosistem perpajakan, antara lain:

1. Pembatasan transaksi uang tunai

Menurutnya, tingginya transaksi uang kartal membuat pengawasan sulit dan membuka ruang penghindaran pajak. RUU pembatasan transaksi tunai sebenarnya telah lama dibahas, tetapi belum disahkan.

2. Redenominasi rupiah

Vaudy menilai redenominasi dapat menjadi momentum membersihkan peredaran uang tunai yang selama ini disembunyikan.

“Ketika redenominasi diberlakukan, uang tunai yang tidak pernah muncul ke permukaan terpaksa dimasukkan kembali ke sistem. Saat itu negara perlu menyiapkan fasilitas kebijakan, termasuk opsi pengampunan pajak,” jelasnya.

3. RUU Konsultan Pajak dan penguatan kompetensi kuasa wajib pajak

Ia juga menyambut positif langkah pemerintah yang kembali membuka ruang pembahasan RUU Konsultan Pajak setelah sekian lama menghilang dari Prolegnas.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Kami diundang Kemenkeu dan DPR untuk membahas RUU Konsultan Pajak. Ini sinyal baik, meski jalannya panjang.”

Vaudy menegaskan bahwa reformasi perpajakan tidak boleh lagi berjalan parsial. Ia menggarisbawahi bahwa kebijakan baru harus dibangun di atas niat politik yang kuat agar ekosistem perpajakan bergerak selaras.

“Underground economy harus dipaksa masuk sistem. Tanpa niat, tidak akan bergerak. Sementara penerimaan negara harus terus naik,” katanya. (bl)

Tiga Wakil IKPI Jejakkan Kaki di Himalaya Saat Hadiri AOTCA 2025 Nepal

IKPI, Kathmandu-Nepal: Tiga anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mencuri perhatian di tengah gelaran AOTCA International Conference 2025 yang berlangsung di Kathmandu, Nepal, pada 18–21 November 2025. Mereka bukan hanya hadir sebagai delegasi, tetapi juga menorehkan catatan spesial dengan menapakkan kaki di salah satu titik favorit para pendaki dunia: Annapurna Base Camp (4.130 mdpl), yang berada di jajaran megah Pegunungan Himalaya.

Ketua Bidang Olahraga, Departemen KKSO IKPI, bersama Andi M. Johan dari IKPI Cabang Jakarta Timur dan Umi Kulsum dari IKPI Cabang Kota Bekasi, sukses mencapai base camp ikonik tersebut. Pencapaian ini menjadi simbol semangat, daya juang, serta representasi bahwa konsultan pajak Indonesia mampu hadir dan dikenal di panggung global.

(Foto: Istimewa)

“Untuk menuju Annapurna Base Camp kami menggunakan helikopter dengan tujuan  untuk mengenalkan IKPI kepada dunia. Kehadiran di konferensi internasional saja belum cukup kami ingin membawa nama IKPI lebih tinggi, secara harfiah dan simbolis,” ujar Ketua Bidang Olahraga yang memimpin perjalanan tersebut, Selasa (18/11/2025).

Ia menegaskan, misi mereka bukan sekadar menapaki Himalaya, melainkan menunjukkan karakter IKPI yang aktif, dinamis, dan berani membuka ruang kolaborasi internasional. Perjalanan ini juga menjadi momentum untuk mempererat kekompakan antaranggota lintas cabang yang tergabung dalam delegasi.

“Ketinggian dan abadinya salju Himalaya mengibaratkan bahwa organisasi yang kuat harus berani menjejak medan baru,” tambahnya.

AOTCA 2025 sendiri dihadiri berbagai asosiasi konsultan pajak dari kawasan Asia-Oseania. IKPI hadir untuk memperluas jejaring, memperdalam pengetahuan perpajakan internasional, dan menguatkan posisi Indonesia dalam percakapan global mengenai profesi konsultan pajak.

(Foto: Istimewa)

Dengan capaian ini, IKPI bukan hanya hadir sebagai peserta tetapi juga membawa pulang cerita inspiratif yang menunjukkan bahwa organisasi profesi di Indonesia mampu memberikan warna dan energi baru di kancah internasional. (bl)

IKPI Dorong Paket Kebijakan Antimodus UMKM, Vaudy Starworld: “PPh Final 0,5% Harus Tepat Sasaran, Bukan Celah”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menegaskan perlunya pengetatan kebijakan dan penguatan sistem untuk menutup berbagai celah penghindaran pajak pada skema PPh Final 0,5% yang ditujukan bagi UMKM.

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menilai, praktik menahan omzet hingga pemecahan usaha menunjukkan bahwa fasilitas ini rawan disalahgunakan oleh pelaku usaha yang tidak lagi memenuhi kriteria UMKM.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat memberikan kuliah umum di sejumlah kampus di Indonesia, Vaudy konsisten menyampaikan bahwa fasilitas PPh Final 0,5% harus dilindungi dari penyalahgunaan agar tetap menjadi instrumen keberpihakan kepada UMKM sejati. “Fasilitas pajak ini tidak boleh menjadi celah. Kita harus memastikan bahwa penerima manfaatnya adalah usaha yang benar-benar masuk kategori UMKM,” kata Vaudy, Selasa (18/11/2025).

Tutup Ruang Gerak Modus Penghindaran

IKPI mengusulkan empat langkah kebijakan utama untuk mempersempit ruang manipulasi:
1. Mengurangi peredaran uang kartal agar transaksi lebih dapat ditelusuri dan mencegah penggelapan omzet.
2. Mengurangi transaksi tunai, dengan mendorong penggunaan instrumen digital yang meninggalkan jejak audit.
3. Memangkas underground economy, yang selama ini menjadi tempat berkembangnya aktivitas usaha tanpa kewajiban pajak.
4. Mencegah penghindaran tarif PPh Pasal 17 melalui modus bertahan di PPh Final 0,5% meski skala usaha sesungguhnya sudah melampaui batasan UMKM.

Vaudy menegaskan, tanpa perbaikan kebijakan tersebut, pemerintah akan selalu berada selangkah di belakang para pelaku penghindaran pajak. “Kita butuh kebijakan yang memaksa transparansi, bukan sekadar mengimbau,” ujarnya.

Selain reformasi kebijakan, IKPI menilai penguatan sistem perpajakan adalah elemen krusial agar modus seperti bouncing omzet dan firm splitting dapat dideteksi sejak dini. Beberapa poin sistem yang sering disampaikan Vaudy dalam forum-forum akademik meliputi:


• Integrasi data transaksi antara perbankan, e-commerce, POS, dan pembayaran digital.
• Risk engine otomatis yang mampu membaca pola mencurigakan, seperti omzet yang berhenti tepat sebelum ambang Rp4,8 miliar atau pembagian usaha keluarga.
• Pelaporan otomatis (auto-reporting) untuk mengurangi ruang manipulasi manual.
• Audit berbasis data analytics, sehingga pemeriksaan lebih tepat sasaran dan efisien.

Menurut Vaudy, pendekatan berbasis data adalah satu-satunya cara untuk menutup celah manipulasi di era ekonomi digital. “Semakin terintegrasi sistemnya, semakin kecil ruang untuk bermain angka,” ujarnya.

Selain itu, Vaudy menegaskan komitmen IKPI untuk terus mengawal keadilan pajak. Menurutnya, penguatan kebijakan dan sistem bukan bertujuan mempersulit pelaku UMKM, melainkan memastikan fasilitas fiskal benar-benar mendorong mereka naik kelas, bukan diselewengkan pihak yang lebih besar.

“UMKM harus didorong dengan fasilitas, tapi dengan integritas. Ketika fasilitas disalahgunakan, negara dirugikan dan pelaku UMKM yang patuh ikut terdampak,” katanya.

IKPI berharap pemerintah mempertimbangkan paket usulan ini dalam proses revisi aturan terkait PPh Final UMKM. Dengan kombinasi kebijakan dan teknologi, Vaudy meyakini Indonesia dapat membangun ekosistem perpajakan UMKM yang lebih jujur, kuat, dan berkelanjutan. (bl)

Roadshow Pendidikan Manado–Bitung: Ketum IKPI dan Jajaran Pengurus Beri Tiga Kuliah Umum dan Teken Empat MoU

IKPI, Manado: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memperkuat kiprah edukatifnya di dunia akademik melalui roadshow pendidikan ke Manado dan Bitung pada 13–14 November 2025. Dipimpin langsung oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, rombongan pengurus pusat menggelar tiga kuliah umum dan menandatangani empat nota kesepahaman (MoU) dengan berbagai perguruan tinggi di Sulawesi Utara.

Dalam roadshow ini, Ketua Umum didampingi dua pengurus pusat: Lilisen (Ketua Departemen Pengembangan Organisasi) dan Dr. Agustina Mappadang (Wakil Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal). Kehadiran mereka memperkuat pesan bahwa IKPI serius mendorong modernisasi perpajakan sekaligus regenerasi profesi konsultan pajak.

(Foto: Istimewa)

Mengusung tema utama “Membangun Ekosistem Perpajakan Berintegritas dan Digital Menuju Indonesia Emas 2045,” roadshow ini menghadirkan tiga subtopik utama:

1. Peranan Generasi Muda dalam Ekosistem Perpajakan Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045 oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld.

2. Digitalisasi Perpajakan: Coretax Membangun Sistem Pajak Digital yang Terpadu dan Adaptif oleh Dr. Agustina Mappadang.

3. Pengenalan Profesi Konsultan Pajak oleh Lilisen.

(Foto: Istimewa)

Ketiga materi ini menjadi rangkaian komprehensif yang membentangkan gambaran masa depan perpajakan Indonesia modern, berintegritas, adaptif terhadap teknologi, dan didukung profesional muda yang kompeten.

 Kuliah Umum dan MoU

Roadshow dimulai pada Kamis, 13 November 2025 pukul 14.00 WITA di FEB Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dengan kuliah umum dan penandatanganan MoU.

Agenda berlanjut pada Jumat, 14 November 2025 pukul 09.00 WITA di Politeknik Negeri Manado, kembali dengan dua agenda besar: kuliah umum dan MoU.

(Foto: Istimewa)

Kunjungan berikutnya berlangsung pukul 14.00 WITA di STIE Petra Bitung, di mana IKPI tidak hanya memberikan kuliah umum, tetapi juga menandatangani dua MoU sekaligus dengan STIE Petra Bitung, dan Universitas Khairun Ternate.

Total, IKPI menuntaskan empat MoU dalam satu rangkaian perjalanan, memperluas kerja sama strategis dengan dunia pendidikan dan membuka jalan regenerasi konsultan pajak di Indonesia timur.

(Foto: Istimewa)

Dihadiri Pengurus Daerah dan Cabang IKPI

Roadshow ini turut dihadiri oleh Wakil Ketua Pengurus Daerah IKPI Sulawesi, Maluku, dan Papua yakni Yuli Rawun dan Noldy Keintjem, serta Ketua IKPI Cabang Bitung Denny Ferly Makisanti, beserta pengurus dan anggota cabang lainnya.

Kehadiran mereka dinilai memperkuat sinergi antarlembaga dan memastikan kegiatan berjalan tertib, lancar, dan penuh antusiasme.

(Foto: Istimewa)

Apresiasi untuk Pengcab Manado dan Bitung

Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jajaran IKPI Cabang Manado dan IKPI Cabang Bitung yang telah melakukan koordinasi intensif dalam penyelenggaraan roadshow ini.

“Terima kasih kepada Pengcab Manado dan Pengcab Bitung atas koordinasi dan kerja kerasnya. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kita bergerak bersama untuk membangun masa depan perpajakan Indonesia yang lebih baik,” ujar Vaudy.

Ia menegaskan, roadshow Manado–Bitung menegaskan komitmen IKPI untuk menjadi mitra strategis dunia pendidikan, mendorong lahirnya tenaga profesional perpajakan yang berintegritas sekaligus adaptif terhadap transformasi digital, terutama dalam era Coretax.

(Foto: Istimewa)

Vaudy menilai bahwa generasi muda kampus hari ini adalah pilar ekosistem perpajakan Indonesia pada 10–20 tahun ke depan, dan karena itu perlu diberi ruang seluas-luasnya untuk memahami dunia perpajakan modern.

Hadir saat penandatanganan MoU:

FEB UNSRAT

  • Dekan, Dr. Victor P.K Lengkong
  • ⁠Wakil Dekan 1, Julio Rumokoy. PHd
  • ⁠Wakil Dekan, Maria Mangantar
  • ⁠Ketua Jurusan Akuntansi, Dr. Jessy Warongan
  • ⁠Koordinator Program Study S1 Akuntansi, Victorina Tirayoh
  • ⁠Koordinator program study PPAK, Dr. Jenny Morasa

Politeknik Negeri Manado

  • Direktur Dra. Mareyke Alelo, MBA
  • Ka. bagian humas & kerjasama : Tonny Alalinti, SE., M.Kom
  • Ketua jurusan, Raymond Rombot, SE., MSi
  • Ka. Prodi Ak. Perpajakan, Alpindos Towuela, SE MM Ak CA

Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) PETRA

  • Ketua jurusan, Ratna Taliupan, SE., MSi
  • Kaprodi Manajemen, Selly Mumu, SE, MM
  • ⁠Kaprodi Akuntansi, Regina Takakobi, SE, MA

Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) PETRA,

  • Ketua jurusan, Ratna Taliupan, SE., MSi
  • Kaprodi Manajemen, Selly Mumu, SE, MM
  • ⁠Kaprodi Akuntansi, Regina Takakobi, SE, MA

(bl)

en_US