Kanwil DJP Kalselteng Blokir 68 Rekening Penunggak Pajak 

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) kembali menunjukkan sikap tegas terhadap para penunggak pajak. Dalam langkah serentak yang mencerminkan ketegasan hukum fiskal, sebanyak 68 rekening milik Wajib Pajak (WP) diblokir pada Rabu (23/4/2025), dengan nilai tunggakan yang mencapai Rp32,8 miliar.

Aksi ini dilakukan oleh sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Kalselteng. Rinciannya, lima KPP di wilayah Kalimantan Selatan memblokir 14 rekening dengan total tunggakan Rp7,6 miliar, sementara empat KPP di Kalimantan Tengah menindak 54 rekening senilai Rp25,2 miliar.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa langkah ini diambil setelah berbagai upaya persuasif tidak membuahkan hasil. “Sebelum pemblokiran dilakukan, kami telah mengirimkan Surat Teguran hingga Surat Paksa melalui Jurusita Pajak. Kami juga memberikan waktu dan kesempatan agar WP melunasi kewajibannya secara sukarela,” ujarnya.

Syamsinar menambahkan bahwa pemblokiran rekening ditujukan agar tidak terjadi pengalihan aset yang bisa menghambat proses penagihan. “Tindakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023. Kami ingin memastikan bahwa aset para penunggak tetap utuh dan bisa digunakan untuk melunasi utang pajaknya,” jelasnya.

Meskipun rekening telah diblokir, WP masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan tunggakannya agar pemblokiran tidak berlanjut ke tahap penyitaan aset. “Tindakan ini bukan hanya soal penegakan aturan, tetapi juga memberi keadilan bagi WP yang selama ini taat membayar pajak,” pungkas Syamsinar.

Aksi pemblokiran massal ini menjadi sinyal kuat bahwa DJP tidak akan mentolerir penunggakan pajak yang merugikan negara, sekaligus menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak adalah tanggung jawab bersama demi pembangunan yang berkelanjutan. (alf)

 

Tax Amnesty Kembali Dibahas: Akademisi dan Praktisi UI Soroti Risiko Penurunan Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menggulirkan wacana tax amnesty lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Menanggapi hal itu, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) menggelar webinar, Kamis (8/5/2025) yang mempertemukan akademisi dan praktisi perpajakan untuk mengkaji urgensi dan risiko kebijakan tersebut.

Webinar bertajuk “Urgensi Tax Amnesty dalam Perspektif Teoritis dan International Best Practice” itu diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan. Pimpinan FIA UI, Teguh Kurniawan, mengingatkan bahwa kebijakan tax amnesty harus dipertimbangkan secara matang karena dapat menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang selama ini patuh. Ia menegaskan pentingnya transparansi, komunikasi publik, dan penegakan hukum yang berkelanjutan sebagai fondasi keberhasilan kebijakan ini.

“Tax amnesty bukan sekadar strategi jangka pendek untuk menggenjot penerimaan negara. Jika tidak disertai pembenahan sistem, kebijakan ini bisa melemahkan kepercayaan dan kepatuhan jangka panjang,” ujar Teguh.

Senada dengan Teguh, Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI Inayati menekankan perlunya evaluasi menyeluruh sebelum kebijakan serupa kembali digulirkan. “Pertanyaannya bukan hanya perlu atau tidak, tapi apa yang harus disiapkan agar kebijakan ini tidak kontra produktif terhadap kepatuhan pajak,” tegasnya.

Machfud Sidik, Dosen FIA UI, turut menyoroti efek negatif tax amnesty dari perspektif teori rational expectations. Ia memperingatkan bahwa pengulangan kebijakan tanpa reformasi nyata dapat mengikis insentif kepatuhan. “Jika masyarakat menganggap pemerintah akan terus memberi pengampunan, maka kepatuhan bisa turun drastis,” jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar FIA UI Haula Rosdiana menggarisbawahi pentingnya roadmap pasca-tax amnesty. “Kepatuhan tidak bisa dibeli lewat kebijakan sesaat. Pemerintah harus membangun sistem data, pengawasan, dan penegakan hukum yang konsisten,” kata Haula. Ia menambahkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan penurunan kepatuhan setelah kebijakan pengampunan dilaksanakan.

Direktur DDTC Fiscal Research and Advisory, Bawono Kristiaji, bahkan menyebut bahwa perluasan basis pajak bisa dilakukan tanpa tax amnesty. Ia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, keputusan untuk kembali memberikan pengampunan pajak perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Sebagai catatan, Indonesia telah beberapa kali menerapkan tax amnesty, mulai dari era Presiden Sukarno pada 1964, era Presiden Soeharto pada 1984, hingga kebijakan besar pada 2016 yang berhasil mengungkap harta sebesar Rp4.884 triliun. Namun, partisipasi dalam program serupa pada 2021–2022 jauh lebih rendah. (alf)

 

Kemenkeu Kehilangan Rp 90 Triliun Dividen BUMN, Siapkan Strategi Tambal Penerimaan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus bersiap menghadapi tantangan serius dalam menjaga stabilitas penerimaan negara. Pasalnya, mulai 2025, setoran dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebelumnya ditargetkan mencapai Rp 90 triliun tak lagi masuk ke kantong negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dividen tersebut kini akan disalurkan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah extra effort untuk menutupi kekosongan penerimaan dari dividen BUMN. Salah satu fokusnya adalah menggenjot penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA) serta optimalisasi PNBP dari Kementerian/Lembaga (K/L).

“Beberapa strategi extra effort dimaksudkan untuk memperkuat kepatuhan dan memperluas basis penerimaan,” ujar Suahasil dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (8/5/2025).

Upaya tersebut mencakup pengembangan Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar K/L (SIMBARA) dengan memperluas cakupan komoditas mineral, serta implementasi kebijakan baru terkait tarif royalti mineral dan batubara melalui PP 29/2025 yang mulai berlaku 26 April 2025.

Selain itu, Kemenkeu akan mendorong optimalisasi PNBP dari sejumlah instansi, antara lain Direktorat Jenderal Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Perhubungan, dan Kepolisian melalui pungutan atas plat nomor premium. Tidak ketinggalan, Kementerian Lingkungan Hidup juga akan terlibat dalam penegakan hukum di sektor lingkungan untuk menggali potensi PNBP non-SDA. Estimasi kontribusinya diperkirakan bisa mencapai Rp 1–2 triliun.

Namun demikian, Suahasil mengakui bahwa pendapatan dari langkah-langkah ini tidak akan langsung menutupi seluruh kekurangan akibat hilangnya dividen BUMN.

“Kami juga mendorong peningkatan kepatuhan dan kolaborasi lintas unit dalam Kemenkeu melalui joint program antara Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan pengelola PNBP. Tujuannya adalah mendorong keterhubungan data dan sinergi dalam mendorong rasio penerimaan negara,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menyatakan bahwa strategi yang disiapkan Kemenkeu penting, meskipun tak sepenuhnya bisa menggantikan hilangnya dividen.

“Upaya lain memang harus dilakukan, tapi harus diakui tidak ada yang bisa langsung menyamai kontribusi dividen BUMN. Jadi optimalisasi dari pajak dan sumber penerimaan lain menjadi krusial,” tegas Dolfie.

Dengan beragam strategi yang mulai dijalankan, Kemenkeu berharap tetap bisa menjaga momentum penerimaan negara dan memastikan pembiayaan APBN 2025 tetap solid. (alf)

 

Ribuan Wajib Pajak Ajukan Keringanan PPh 25, Sektor Perdagangan Paling Dominan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat lonjakan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 sepanjang tahun 2024. Hingga saat ini, sebanyak 3.794 wajib pajak telah mengajukan permohonan tersebut, dengan sektor perdagangan besar dan eceran menjadi kontributor terbanyak.

“Permohonan paling banyak berasal dari sektor perdagangan, baik besar maupun eceran,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangannya baru-baru ini.

Menurutnya, pengajuan pengurangan angsuran ini merupakan opsi legal bagi wajib pajak yang mengalami penurunan pendapatan atau kesulitan likuiditas, sehingga kesulitan memenuhi kewajiban angsuran PPh 25. Langkah ini diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000, yang memungkinkan pengurangan diberikan apabila estimasi pajak terutang tahun berjalan tidak melebihi 75% dari PPh terutang tahun sebelumnya.

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan tersebut setelah melewati tiga bulan pertama tahun pajak, dengan menyertakan proyeksi pendapatan serta perhitungan ulang kewajiban pajaknya untuk sisa tahun berjalan. Permohonan diajukan ke Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat mereka terdaftar.

Langkah ini menjadi salah satu bentuk respons fiskal yang memberi ruang napas bagi dunia usaha, terutama di tengah dinamika ekonomi yang masih fluktuatif. DJP pun mengimbau para pelaku usaha yang memenuhi syarat untuk memanfaatkan fasilitas ini secara bijak dan sesuai ketentuan yang berlaku.(alf)

 

Komisi XI DPR Dorong DJP Perluas Basis Pajak: Jangkau UMKM dan Ekonomi Digital

IKPI ,Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, mendorong Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghadirkan strategi yang lebih inovatif dan menyentuh akar persoalan dalam perluasan basis pajak nasional.

Dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (7/5/2025), Andreas menyampaikan harapannya agar DJP tidak lagi terpaku pada pola-pola lama yang belum menunjukkan hasil signifikan.

“Langkah-langkah yang disampaikan selama ini masih cenderung repetitif. Kita perlu melihat pendekatan baru yang benar-benar menyasar potensi pajak yang selama ini belum tergarap,” ujar Andreas.

Ia menilai perlu adanya program-program konkret yang dapat menjangkau kelompok masyarakat dan pelaku usaha di sektor-sektor yang selama ini belum terintegrasi dalam sistem perpajakan, seperti sektor informal, pelaku UMKM, dan ekonomi digital.

“Yang ditunggu publik adalah terobosan yang nyata dan terukur. DJP perlu menunjukkan program yang memperluas jangkauan penerimaan pajak secara menyeluruh dan berkelanjutan,” tambahnya.

Data Kementerian Keuangan mencatat, dari sekitar 210 juta penduduk usia kerja di Indonesia, hanya sekitar 19 juta yang tercatat aktif membayar pajak pada 2023. Angka tax ratio Indonesia juga masih relatif rendah, yakni 8,75% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN yang mencapai lebih dari 14%.

Ia menekankan, perluasan basis pajak bukan hanya menyangkut jumlah wajib pajak, tetapi juga soal membangun kesadaran, kepercayaan, dan rasa keadilan dalam sistem perpajakan. (alf)

 

DPR Minta DJP Lakukan Terobosan Atasi Stagnasi Rasio Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi XI DPR RI, Galih Kartasasmita, mengkritisi stagnasi rasio pajak nasional yang terus berada di bawah angka 10 persen. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks DPR RI, Rabu (7/5/2025), Galih menegaskan perlunya langkah konkret dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar Indonesia bisa keluar dari jebakan rasio pajak rendah.

“Coba lihat datanya dari tahun ke tahun, target penerimaan pajaknya tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan kurangnya komitmen untuk mendorong rasio pajak ke level yang lebih ideal,” ujar Galih.

Data Kementerian Keuangan mencatat, rasio pajak Indonesia pada 2023 hanya mencapai 8,75% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski ada sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya, angka tersebut masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand yang mencatat sekitar 17%, serta Filipina dan Vietnam di kisaran 14%–15%.

Galih menekankan bahwa stagnasi ini menjadi ancaman serius bagi kemandirian fiskal nasional. Pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara, termasuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Karena itu, menurutnya, pemerintah tidak boleh merasa puas dengan capaian yang ada saat ini.

Ia pun mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap strategi perpajakan yang berjalan, termasuk penyusunan target yang lebih ambisius namun tetap realistis. Apalagi, pemerintah tengah menjalankan sejumlah agenda reformasi perpajakan seperti integrasi NIK dengan NPWP, perbaikan administrasi perpajakan, dan upaya merangkul pelaku ekonomi digital.

“Reformasi yang sedang berlangsung ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat sistem perpajakan nasional dan mendorong rasio pajak menuju level yang lebih sehat dalam jangka menengah,” ujarnya. (alf)

 

 

 

Sebanyak 1.979 Peserta Lolos Verifikasi USKP 2025, Panitia Berikan Waktu Sanggah Hingga 8 Mei

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) secara resmi mengumumkan sebanyak 1.979 peserta dinyatakan lolos verifikasi administrasi untuk mengikuti Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode I Tahun 2025. Jumlah ini terdiri atas 1.409 peserta Tingkat A dan 570 peserta Tingkat B, sesuai dengan Pengumuman Nomor: PENG-3/KP3SKP/V/2025 yang diterbitkan pada Selasa (7/5/2025).

Ujian yang menjadi salah satu tahapan krusial untuk memperoleh sertifikasi sebagai konsultan pajak ini akan diselenggarakan secara serentak di 24 lokasi di seluruh Indonesia, mulai tanggal 26 hingga 28 Mei 2025. Lokasi pelaksanaan meliputi berbagai Balai Diklat Keuangan (BDK) di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar.

USKP sendiri terdiri dari tiga tingkat A, B, dan C dengan peserta yang lolos verifikasi kali ini terbagi ke dalam dua kategori, yaitu peserta mengulang untuk Tingkat A dan Tingkat B.

Tingkat A diperuntukkan bagi calon konsultan pajak pemula, sementara Tingkat B ditujukan untuk peserta yang telah memiliki sertifikat A dan ingin naik ke jenjang berikutnya.

Panitia menegaskan bahwa hanya peserta yang namanya tercantum dalam lampiran pengumuman yang dinyatakan lolos dan berhak mengikuti ujian. Bagi peserta yang merasa telah mendaftar tetapi namanya tidak tercantum, diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan paling lambat 8 Mei 2025 pukul 16.00 WIB. Sanggahan dikirimkan melalui email resmi panitia dengan menyertakan dokumen pendukung yang diperlukan.

Persiapan teknis ujian juga diperketat, dengan diwajibkannya peserta untuk mengikuti briefing online pada 21 Mei 2025, melalui tautan yang akan dikirimkan oleh panitia. Briefing ini bersifat wajib dan merupakan bagian dari pengenalan sistem serta tata tertib pelaksanaan ujian.

Selain itu, Panitia kembali mengingatkan bahwa ketidakhadiran peserta tanpa keterangan akan berakibat serius. Peserta yang absen tanpa alasan yang sah akan dikenakan penalti tidak diperkenankan mengikuti USKP selama tiga periode berturut-turut. Hal ini diberlakukan guna menjamin komitmen dan kedisiplinan calon konsultan pajak.

Sebagai bentuk dukungan terhadap peserta, Panitia telah menyediakan materi pembelajaran mandiri berupa video dan e-learning yang dapat diakses melalui laman resmi Kementerian Keuangan. Namun, materi ini bersifat suplemen dan bukan merupakan satu-satunya acuan belajar. Peserta tetap diharapkan mempelajari literatur perpajakan yang relevan dan terkini.

Ujian SKP mencakup berbagai topik penting di bidang perpajakan, mulai dari Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Akuntansi Pajak, hingga Kode Etik Profesi.

Ujian berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan dilakukan secara tertulis maupun berbasis komputer di beberapa lokasi tertentu.

Sekadar informasi, sertifikasi konsultan pajak merupakan syarat legalitas penting bagi siapa pun yang ingin menjalankan praktik sebagai konsultan pajak di Indonesia. Dengan tingginya jumlah peserta yang lolos verifikasi pada periode ini, persaingan dipastikan akan sangat ketat. (bl)

Pemerintah Genjot Deregulasi Fiskal, Restitusi Pajak Bakal Lebih Cepat dan Sederhana

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam mempercepat reformasi regulasi, khususnya di sektor fiskal. Kementerian Keuangan menyatakan akan menyederhanakan proses restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak, serta memangkas prosedur pemeriksaan pajak.

Langkah ini merupakan bagian dari strategi deregulasi yang tengah digalakkan guna memperkuat daya tahan ekonomi nasional, baik dari sisi dalam negeri maupun hubungan dagang internasional.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa tujuan deregulasi bukan hanya merespons tekanan dari luar negeri, tetapi didorong kebutuhan internal untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional.

“Kami menderegulasi hambatan non-tarif bukan semata karena dorongan Amerika Serikat, tetapi karena kebutuhan kita sendiri untuk bergerak lebih efisien,” kata Anggito dalam konferensi tahunan Fitch Ratings di Jakarta, Rabu (7/5/2025).

Di sektor perpajakan, Anggito menyebut pihaknya terus berkomunikasi dengan para wajib pajak demi mempercepat penyelesaian administrasi fiskal. “Kami sedang mempercepat penghapusan kredit pajak dan mempercepat proses pemeriksaan agar pelaku usaha tidak terbebani birokrasi yang rumit,” ujarnya.

Pemerintah juga menyiapkan berbagai insentif fiskal lainnya. Mulai dari penghapusan bea masuk untuk barang tertentu, hingga deregulasi di sektor perdagangan, kepabeanan, dan cukai. Kebijakan ini diharapkan bisa menekan defisit perdagangan yang telah menembus angka 80 miliar dolar AS.

“Kami tengah mencari titik keseimbangan, baik melalui pengendalian impor maupun mendorong investasi dari Amerika Serikat dan negara lainnya,” tambah Anggito.

Senada dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga telah menyampaikan rencana deregulasi fiskal. Menurutnya, penyederhanaan aturan sangat krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global.

“Kementerian Keuangan berkomitmen menjaga keuangan negara tetap sehat dan kredibel, sambil terus melakukan reformasi deregulasi dan debirokratisasi,” ucap Sri Mulyani dalam pernyataan pada April lalu.

Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto kepada jajaran ekonomi Kabinet Merah Putih. Prabowo meminta agar regulasi yang menghambat dunia usaha segera dievaluasi dan disederhanakan, sebagai bagian dari strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan tangguh menghadapi tantangan global.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berharap iklim usaha di Indonesia semakin kondusif, efisien, dan adaptif terhadap perubahan ekonomi dunia. Restitusi pajak yang lebih cepat hanyalah satu dari sekian banyak reformasi yang sedang digerakkan demi Indonesia yang lebih kompetitif. (alf)

 

Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global, Tetapi SPT GloBe Masih Tunggu Aturan Teknis

IKPI. Jakarta: Pemerintah Indonesia mengambil langkah penting dalam reformasi perpajakan global dengan mulai menerapkan pajak minimum global. Hal ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Regulasi ini mewajibkan perusahaan multinasional untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Global Anti-Base Erosion (GloBe), sebagai bagian dari upaya mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara.

Meski regulasi induk sudah resmi diluncurkan, aturan teknis pelaporan SPT GloBe masih dalam proses finalisasi. “Aturan turunan pajak minimum global sesuai PMK Nomor 136 Tahun 2024, termasuk teknis pelaporan SPT [GloBe] masih dalam pembahasan kami,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, Rabu (7/5/2025).

Mengacu pada ketentuan dalam PMK tersebut, kebijakan ini menyasar Wajib Pajak Badan yang menjadi bagian dari grup usaha multinasional dengan pendapatan konsolidasi global minimal 750 juta euro. Pemerintah menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.

Bila tarif efektif suatu entitas di bawah ambang tersebut, maka entitas tersebut wajib membayar top up tax untuk menutupi selisihnya paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Misalnya, kewajiban tambahan untuk tahun pajak 2025 harus dilunasi sebelum 31 Desember 2026.

Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pelaporan SPT GloBe wajib disampaikan dalam waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.

Sebagai bentuk adaptasi, pemerintah memberikan masa transisi lebih longgar pada tahun pertama implementasi, yakni pelaporan tahun pajak 2025 diberi batas waktu hingga 30 Juni 2027.

Adapun detail teknis seperti format formulir, mekanisme pengisian, tata cara pelaporan, dan prosedur pembayaran SPT GloBe akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak melalui regulasi lanjutan. (alf)

 

 

en_US