IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali menegaskan bahwa penerapan pajak karbon belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Meski instrumen ini diyakini mampu memperkuat pasar karbon dan mendorong perusahaan menurunkan emisi melalui pembelian kredit karbon, pemerintah menilai fondasi mekanisme pasar karbon nasional masih perlu diperkuat.
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu, menjelaskan bahwa saat ini pemerintah memilih memprioritaskan penguatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan pengembangan pasar karbon sukarela atau Voluntary Carbon Market (VCM). Langkah ini dinilai penting untuk membangun dinamika perdagangan karbon sebelum kebijakan berbasis kewajiban seperti pajak karbon atau Emission Trading Scheme (ETS) diterapkan secara penuh.
“Supaya Voluntary Carbon Market bisa jalan dulu. Setelah itu, baru kita mulai bicara Carbon Tax, ETS, atau instrumen kepatuhan lainnya,” kata Mari Elka seusai menghadiri Rapat Koordinasi Dewan Pengarah Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi GRK, Senin (8/12/2025).
Ia menekankan bahwa keputusan mengenai waktu penerapan pajak karbon sepenuhnya berada di ranah Kementerian Keuangan. Namun demikian, ia membuka peluang bahwa kebijakan tersebut tetap dapat diberlakukan di masa mendatang.
“Tidak menutup kemungkinan itu (pajak karbon) di kemudian hari. Tapi tampaknya kita mulai dengan ETS dulu, karena sektor perindustrian sudah menyiapkan rencana untuk menjalankan ETS,” ujarnya.
ETS sendiri merupakan mekanisme penetapan batas total emisi gas rumah kaca pada sektor industri tertentu. Perusahaan yang melebihi batas emisi wajib membeli izin tambahan dari perusahaan lain yang emisinya berada di bawah kuota. Kementerian Perindustrian tengah memfinalisasi regulasi mengenai batas emisi tersebut.
Selain ETS, pemerintah juga mempercepat pembangunan Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) yang ditargetkan rampung pada Maret 2026. SRUK akan menjadi tulang punggung pencatatan dan penilaian seluruh transaksi unit karbon di Indonesia.
“Makanya SRUK itu penting. Tanpa standar yang jelas dan dapat diakui secara nasional maupun internasional, perdagangan karbon kita akan sulit berkembang,” jelas Mari Elka.
SRUK merupakan sistem yang mengelola data dan informasi unit karbon dalam kerangka penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Setiap transaksi atau pergerakan unit karbon nantinya wajib tercatat dalam sistem tersebut sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
Dengan fokus pada NEK, ETS, dan SRUK, pemerintah berharap pasar karbon Indonesia dapat berjalan lebih solid sebelum kebijakan pajak karbon benar-benar diterapkan. (alf)