Aktivasi Coretax Tembus 7,7 Juta, DJP Perkuat Sistem Hadapi Lonjakan Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memacu transformasi layanan perpajakan berbasis digital melalui implementasi Coretax. Dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memaparkan perkembangan terkini, mulai dari tingkat aktivasi wajib pajak hingga kesiapan sistem menghadapi masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Hingga pertengahan Desember 2025, jumlah wajib pajak yang telah mengaktivasi akun Coretax mencapai 7,7 juta wajib pajak. Angka tersebut setara dengan 51,66 persen dari total 14,9 juta wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2024. Capaian ini dinilai sebagai fondasi penting menuju sistem administrasi pajak yang lebih terintegrasi.

Dari jumlah tersebut, Bimo merinci sebanyak 4,8 juta wajib pajak telah melangkah lebih jauh dengan membuat kode otorisasi atau sertifikat elektronik (KO/SE). Jumlah ini setara 32,38 persen dari total wajib pajak yang sudah mengaktifkan akun Coretax, sekaligus menjadi indikator kesiapan pengguna dalam memanfaatkan layanan digital DJP secara penuh.

Tak hanya fokus pada jumlah pengguna, DJP juga menaruh perhatian besar pada ketahanan sistem. Sejak November hingga Desember 2025, DJP telah menggelar dua tahap uji coba Coretax untuk memastikan stabilitas layanan saat periode puncak pelaporan SPT. Uji pertama dilakukan secara terbatas pada 25.000 pegawai DJP dan berjalan relatif baik meski sempat terjadi perlambatan di tahap awal.

Tahap kedua uji coba digelar pada 10 Desember 2025 dengan skala lebih luas, melibatkan sekitar 50.000 pegawai di seluruh lingkungan Kementerian Keuangan. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan, baik dari sisi kecepatan akses maupun kestabilan sistem dibandingkan pengujian sebelumnya.

“Harapannya, hingga batas akhir 31 Maret 2026 nanti, penyampaian SPT orang pribadi oleh sekitar 13 juta wajib pajak dapat berjalan lancar,” ujar Bimo optimistis. DJP menilai penguatan sistem sejak dini menjadi kunci untuk menghindari gangguan layanan di masa krusial.

Untuk mempercepat aktivasi, DJP juga menggandeng berbagai kementerian dan lembaga. Salah satunya melalui surat edaran Kementerian PANRB yang mewajibkan seluruh ASN, TNI, dan Polri segera mengaktivasi akun serta mendaftarkan kode otorisasi Coretax paling lambat 31 Desember 2025. Di luar itu, DJP turut mendorong partisipasi sukarela masyarakat dan menggandeng perusahaan besar agar mendorong karyawan serta mitra usahanya menggunakan Coretax.

Di sisi penerimaan negara, Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan pajak hingga November 2025 mencapai Rp1.634,43 triliun atau 78,7 persen dari target outlook sebesar Rp2.076,9 triliun. Meski demikian, secara tahunan penerimaan pajak neto masih mengalami tekanan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Beberapa komponen utama, seperti PPh Badan serta PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21, masih mencatatkan kontraksi. PPh Badan terealisasi Rp263,58 triliun atau turun 9,0 persen, sementara PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 mencapai Rp218,31 triliun atau terkontraksi 7,8 persen secara year-on-year.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM, hingga November 2025 realisasinya mencapai Rp660,77 triliun atau turun 6,6 persen. Meski masih negatif secara tahunan, tren bulanan menunjukkan perbaikan dibandingkan Oktober 2025. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazari berharap momentum transaksi ekonomi di akhir tahun mampu mendorong pertumbuhan PPN secara positif.

Berbeda dengan komponen lain, PPh Final, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 26 justru mencatatkan kinerja positif dengan realisasi Rp305,43 triliun atau tumbuh 1,4 persen. Selain itu, Pajak Lainnya menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi dengan kenaikan 21,5 persen dan realisasi Rp186,33 triliun. DJP pun optimistis, seiring penguatan sistem Coretax dan perbaikan aktivitas ekonomi, kinerja penerimaan pajak ke depan dapat semakin solid. (alf)

Penerimaan Pajak NTB Tembus Rp2,28 Triliun, Kakanwil DJP: Didorong Daya Beli dan Sektor Strategis

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga akhir Desember 2025 tercatat mencapai Rp2,28 triliun. Capaian tersebut setara 79,5 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, menunjukkan kinerja fiskal daerah yang tetap terjaga di tengah dinamika ekonomi nasional.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Nusa Tenggara Barat, Samon Jaya menjelaskan, sepanjang periode Januari–Desember 2025, sumber penerimaan terbesar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp1,41 triliun. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyumbang Rp865 miliar, mencerminkan aktivitas ekonomi dan konsumsi yang tetap bergerak.

Jika dilihat dari jenis pajaknya, PPN Dalam Negeri menjadi kontributor utama dengan porsi 33,44 persen. Disusul PPh Pasal 21 sebesar 20,17 persen dan PPh Badan 14,54 persen. Komposisi ini menggambarkan peran konsumsi domestik, kinerja dunia usaha, serta pendapatan tenaga kerja sebagai penopang penerimaan negara di NTB.

Khusus pada Desember 2025, penerimaan pajak menunjukkan akselerasi. PPN Dalam Negeri mencatatkan Rp72,49 miliar, PPh Pasal 21 sebesar Rp45,85 miliar, serta PPh Final Rp27,34 miliar. Penguatan penerimaan di bulan terakhir tahun ini turut dipengaruhi meningkatnya daya beli masyarakat menjelang penutupan tahun.

Dari sisi lapangan usaha, kontribusi terbesar datang dari sektor Administrasi Pemerintah yang mencapai 48,85 persen. Sektor Perdagangan menyusul dengan 15,16 persen, dan Jasa Keuangan sebesar 7 persen. Secara keseluruhan, ketiga sektor ini menyumbang lebih dari 71 persen total penerimaan pajak di NTB. “Komposisi ini menunjukkan sektor-sektor strategis masih menjadi tulang punggung penerimaan pajak daerah,” ujar Samon dalam keterangan pers, Senin (22/12/2025).

Di sisi lain, Samon mengingatkan wajib pajak untuk bersiap menyambut implementasi penuh Coretax DJP pada awal 2026. Wajib pajak diimbau segera melakukan pemadanan data, aktivasi akun, serta pembuatan dan validasi Kode Otorisasi (KO) agar proses administrasi perpajakan berjalan lancar.

Ketentuan ini sejalan dengan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 7 Tahun 2025 yang mewajibkan ASN, anggota TNI, dan Polri terdaftar dalam Coretax, mengaktifkan akun, serta memperoleh Kode Otorisasi DJP paling lambat 31 Desember 2025. Mulai Tahun Pajak 2025, penandatanganan SPT Tahunan juga dilakukan secara elektronik melalui sistem Coretax.

Untuk memastikan transisi berjalan optimal, seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di wilayah Nusa Tenggara membuka layanan tambahan pada akhir pekan, yakni Sabtu–Minggu 20–21 Desember 2025. Langkah ini ditujukan untuk membantu wajib pajak dalam proses aktivasi dan penyesuaian sistem.

“Pemerintah terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tetap solid, dengan APBN sebagai jangkar stabilitas sekaligus akselerator pertumbuhan. Tujuannya melindungi masyarakat dan memastikan program prioritas berjalan efektif,” tegas Samon.

Ke depan, Kanwil DJP Nusa Tenggara Barat menegaskan komitmennya untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan, pengawasan, dan edukasi perpajakan. Upaya tersebut diharapkan mampu memperkuat penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mendukung pembangunan berkelanjutan di Provinsi NTB. (alf)

Penerimaan Pajak DIY Baru 69,6 Persen, Kanwil DJP Pacu Optimalisasi di Penghujung 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga akhir November 2025 masih menghadapi tantangan. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak DIY mencatat realisasi penerimaan pajak baru mencapai 69,60 persen dari target tahun ini.

Berdasarkan data Kanwil DJP DIY, total penerimaan pajak hingga 30 November 2025 tercatat sebesar Rp4.820,78 miliar dari target Rp6.929,59 miliar. Capaian ini juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana penerimaan pajak DIY mencapai Rp5.959,59 miliar.

Kepala Kanwil DJP DIY, Erna Sulistyowati, menyampaikan bahwa masih terdapat jarak cukup besar untuk menutup target hingga akhir tahun. “Target kami Rp6,9 triliun, sementara realisasi baru Rp4,8 triliun. Artinya, masih ada sekitar 31 persen yang harus dikejar pada Desember ini,” ujar Erna dalam paparan Press Conference realisasi APBN di DIY di Gedung Treasury Learning Center, Selasa (23/12/2025).

Ia mengakui, meskipun secara umum penerimaan pajak masih tumbuh, kualitas pertumbuhan tersebut belum optimal. Tantangan penerimaan pajak tahun ini dinilai cukup berat, terutama dari beberapa jenis pajak utama yang realisasinya masih tertinggal.

Dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), realisasi baru mencapai Rp2.840,07 miliar atau 73,02 persen dari target Rp3.887,47 miliar. Sementara itu, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat Rp1.709,88 miliar atau baru 56,36 persen dari target Rp3.033,92 miliar.

Adapun penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) tercatat relatif kecil, yakni Rp99,78 juta atau 5,32 persen dari target Rp1,88 miliar. “PBB dan BPHTB memang tidak terlalu besar kontribusinya, dan ke depan struktur angkanya juga akan berubah,” jelas Erna.

Untuk jenis pajak lainnya, seperti bea materai, realisasi penerimaan hingga November baru mencapai sekitar 20 persen atau senilai Rp270,73 miliar. Secara keseluruhan, capaian penerimaan pajak DIY masih berada di bawah rata-rata nasional yang telah mencapai 74,62 persen.

Erna menjelaskan, rendahnya penerimaan pajak ini dipengaruhi sejumlah faktor. Di antaranya adalah pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak Cabang, serta kebijakan pemusatan pembayaran PPh Pasal 21, seperti untuk sertifikasi guru dan unit vertikal. Selain itu, kebijakan nasional terkait ketahanan pangan dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak daerah.

Faktor lain yang turut memengaruhi adalah perlambatan belanja infrastruktur dan belanja barang modal dibandingkan tahun sebelumnya. “Kalau belanja barang modal tidak terlalu besar, otomatis penerimaan pajaknya juga ikut rendah,” ujar Erna.

Meski demikian, Kanwil DJP DIY menegaskan komitmennya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak di bulan Desember. Berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi akan terus dilakukan agar target penerimaan pajak tahun 2025 dapat dikejar secara maksimal. (alf)

Pemutihan PKB Jambi 2025 Lampaui Target, Bukti Kesadaran Pajak Warga Meningkat

IKPI, Jakarta: Program pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Tahun 2025 yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jambi resmi ditutup pada Senin (22/12/2025). Hasilnya mencatatkan kinerja positif, lantaran realisasi penerimaan pajak berhasil melampaui target yang telah ditetapkan pemerintah daerah.

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Provinsi Jambi, Agus Pirngadi, mengungkapkan bahwa dari target awal Rp60 miliar, pendapatan yang terkumpul mencapai Rp64.179.144.000. Capaian tersebut menunjukkan efektivitas kebijakan relaksasi pajak yang dijalankan sepanjang 2025.

“Program pemutihan PKB resmi berakhir hari ini dan alhamdulillah realisasinya over target. Ini menjadi indikator bahwa kesadaran masyarakat Jambi dalam memenuhi kewajiban pajaknya semakin baik,” ujar Agus, Senin (22/12/2025).

Keberhasilan ini turut mendapat apresiasi dari Gubernur Jambi Al Haris. Ia menyampaikan terima kasih kepada masyarakat yang antusias memanfaatkan program pemutihan yang telah berlangsung sejak 22 Agustus 2025 tersebut.

Menurut Al Haris, kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak kendaraan bermotor memberikan dampak langsung terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana tersebut selanjutnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan dan peningkatan kualitas layanan publik.

“Pajak kendaraan bermotor memiliki peran strategis dalam memperkuat PAD. Dari sanalah pemerintah daerah bisa memperluas pembangunan infrastruktur dan pelayanan bagi masyarakat,” tegasnya.

Kesuksesan program ini tidak lepas dari berbagai insentif yang ditawarkan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan yang paling diminati adalah keringanan bagi kendaraan yang menunggak pajak lebih dari dua tahun, di mana pemilik hanya diwajibkan membayar pokok pajak dua tahun saja.

Selain itu, Pemprov Jambi juga membebaskan denda PKB, denda Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB II), serta denda Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ). Pemerintah bahkan memberikan potongan pokok pajak sebesar 5 persen untuk kendaraan roda dua dan 2,5 persen untuk kendaraan roda empat bagi wajib pajak yang membayar sebelum jatuh tempo.

Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa pemutihan PKB 2025 bersifat one-time opportunity. Kendaraan yang telah memanfaatkan program ini tidak dapat kembali mengikuti program serupa di masa mendatang, sehingga diharapkan mendorong kepatuhan pajak secara berkelanjutan.

Tak hanya fokus pada PKB, sepanjang 2025 Pemprov Jambi juga mulai mengoptimalkan penarikan Pajak Alat Berat (PAB). Langkah ini menjadi strategi tambahan untuk memperkuat PAD, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). (alf)

Pemprov DKI Bebaskan 100% PBB-P2 Sekolah Swasta, Anggaran Dialihkan untuk Mutu Pendidikan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil langkah progresif dengan membebaskan 100 persen Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi sekolah swasta di Ibu Kota. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 857 Tahun 2025 dan mulai berlaku pada tahun pajak mendatang.

Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Yustinus Prastowo, menilai kebijakan tersebut sebagai terobosan baru yang belum pernah dilakukan pada era kepemimpinan Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, maupun Anies Baswedan. Menurutnya, pembebasan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah daerah pada dunia pendidikan.

“Mulai tahun depan, kewajiban PBB-P2 bagi sekolah swasta dari jenjang SD hingga SMA dapat dikurangi hingga 100 persen,” ujar Prastowo di Jakarta, Senin (22/12/2025).

Ia menjelaskan, gagasan tersebut muncul setelah Pemprov DKI menelaah berbagai kebijakan yang berlaku serta menghimpun keluhan para pengelola sekolah swasta. Selama ini, beban PBB-P2 dinilai cukup besar dan berpengaruh pada ruang fiskal sekolah dalam mengelola operasional harian.

Dengan pembebasan pajak, anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk PBB-P2 diharapkan dapat dialihkan ke kebutuhan yang lebih mendesak, seperti peningkatan kualitas pembelajaran, kesejahteraan tenaga pendidik, hingga perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.

Prastowo berharap kebijakan ini mampu meringankan beban operasional sekolah swasta, menjaga keberlangsungan lembaga pendidikan non-negeri, sekaligus berkontribusi pada peningkatan akses dan mutu pendidikan di Jakarta.

“Kebijakan ini bukan sekadar soal pajak, tetapi soal keberpihakan. Negara tidak boleh mengambil dari mereka yang justru sedang menjalankan fungsi sosial paling mendasar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegasnya.

Berdasarkan Data Pendidikan DKI Jakarta, jumlah sekolah di provinsi ini mencapai lebih dari 10 ribu penyelenggara. Sekitar 80 persen atau sekitar delapan ribu sekolah di antaranya merupakan sekolah swasta dari jenjang PAUD hingga SMA sederajat. Dengan porsi yang dominan tersebut, kebijakan pembebasan PBB-P2 dinilai akan berdampak luas bagi ekosistem pendidikan di Ibu Kota. (alf)

Sinkronisasi Fiskal dan Pajak Pusat–Daerah Dinilai Kunci Perbaikan APBD

IKPI, Jakarta: Ketidaksinkronan antara desain fiskal pemerintah pusat dan kapasitas eksekusi di daerah dinilai menjadi salah satu penyebab utama lambatnya realisasi belanja APBD 2025. Kondisi ini berpotensi mengurangi efektivitas kebijakan pajak dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Banjaran Surya Indrastomo menilai, tingginya realisasi transfer pusat ke daerah hingga akhir November 2025 membuktikan bahwa pemerintah pusat telah menyediakan ruang fiskal yang memadai. Dengan TKD yang hampir menyentuh realisasi penuh, isu ketersediaan kas seharusnya tidak lagi menjadi hambatan utama.

Namun demikian, ia menilai masih terdapat kesenjangan antara instrumen fiskal yang disiapkan pusat yang sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak dengan kemampuan pemerintah daerah dalam mengeksekusi belanja secara tepat waktu dan berkualitas.

Kondisi tersebut menyebabkan transmisi fiskal ke perekonomian daerah tidak berjalan optimal. Padahal, belanja daerah berperan penting dalam memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, serta menjaga kesinambungan penerimaan negara.

Banjaran juga mencatat bahwa kebijakan efisiensi belanja pemerintah pusat pada awal 2025 turut memicu penyesuaian di daerah. Selain itu, pergantian kepala daerah pada tahun ini ikut memengaruhi ritme belanja akibat perubahan prioritas dan penyesuaian visi fiskal.

Faktor teknis seperti penerapan sistem e-katalog baru sejak awal 2025 juga dinilai memberi tantangan tambahan. Proses adaptasi sumber daya manusia dan petunjuk teknis pengadaan membuat sejumlah pemerintah daerah memilih bersikap lebih hati-hati.

Untuk sisa tahun anggaran 2025, Banjaran menyarankan percepatan belanja difokuskan pada pembayaran proyek yang sudah berjalan. Strategi ini dinilai lebih efektif dalam mendorong perputaran ekonomi dan menjaga momentum penerimaan pajak.

Sementara untuk tahun anggaran berikutnya, ia mendorong perbaikan struktural melalui perencanaan yang lebih matang sejak awal tahun, sinkronisasi pusat–daerah, serta pemberian insentif berbasis progres realisasi belanja. Dengan belanja yang lebih merata sepanjang tahun, kontribusi pajak terhadap pertumbuhan ekonomi dinilai akan lebih stabil dan berkelanjutan.

“Belanja daerah yang tepat waktu dan berkualitas akan memperkuat basis pajak. Di situlah kunci kesinambungan fiskal pusat dan daerah,” pungkasnya. (alf)

Belanja APBD Lambat Dinilai Tahan Dampak Pajak terhadap Ekonomi Daerah

IKPI, Jakarta: Lambatnya realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 dinilai berpotensi menahan dampak positif penerimaan pajak terhadap perekonomian daerah. Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada keterbatasan dana, melainkan pada efektivitas pengelolaan fiskal di tingkat pemerintah daerah.

Banjaran menjelaskan, berdasarkan data APBN KiTa edisi Desember 2025, realisasi transfer pusat ke daerah (TKD) hingga 30 November 2025 telah mencapai 91,5 persen dari pagu anggaran. Capaian tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah menyalurkan dana secara agresif dan tepat waktu.

Di sisi lain, data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan APBD hingga pertengahan Desember 2025 telah mencapai 82,93 persen. Namun realisasi belanja daerah masih tertahan di level 70,81 persen, sehingga terjadi kesenjangan antara penerimaan dan belanja.

Menurut Banjaran, kondisi ini berdampak langsung terhadap efektivitas pajak sebagai instrumen penggerak ekonomi. Pajak yang telah dipungut negara, baik dari pusat maupun daerah, idealnya segera dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah agar menciptakan multiplier effect.

Ketika belanja daerah tertahan, lanjutnya, dampak lanjutan terhadap konsumsi rumah tangga, investasi daerah, dan aktivitas usaha menjadi kurang optimal. Akibatnya, potensi penerimaan pajak lanjutan dari sektor riil juga ikut tertahan.

Banjaran juga menyoroti penurunan belanja modal secara tahunan yang tercatat dalam APBN KiTa. Penurunan ini mengindikasikan masih adanya hambatan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur di daerah.

Padahal, belanja modal memiliki keterkaitan erat dengan penerimaan pajak, terutama dari sektor konstruksi, perdagangan bahan bangunan, serta jasa pendukung lainnya. Ketika proyek tertunda, basis pajak di sektor-sektor tersebut ikut melemah.

“Belanja daerah yang lambat membuat pajak kehilangan daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Masalahnya bukan dana, tetapi eksekusi kebijakan di daerah,” tegas Banjaran. (alf)

Bloomberg Intelligence: Laju Ekonomi RI Diproyeksi Melambat Imbas Tekanan Tarif AS dan Sentimen Investor

IKPI, Jakarta: Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan menghadapi tantangan lanjutan pada kuartal-kuartal mendatang. Lembaga riset global Bloomberg Intelligence menilai tekanan eksternal dari kebijakan tarif Amerika Serikat, ditambah meningkatnya kehati-hatian investor terhadap arah kebijakan fiskal, mulai menggerus momentum pertumbuhan.

Dalam riset BE Primer yang dirilis Senin (22/12/2025), ekonom Bloomberg Intelligence Tamara Mast Henderson mengungkapkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia masih bergerak di kisaran tren historisnya, tanda-tanda perlambatan semakin terlihat. Sentimen pasar dinilai melemah seiring imbas tarif global yang kian terasa dan kekhawatiran atas pengelolaan fiskal.

“Kami memperkirakan perlambatan lanjutan pada kuartal-kuartal mendatang, dipengaruhi oleh melemahnya sentimen akibat tekanan tarif Amerika Serikat serta meningkatnya kehati-hatian investor terhadap kebijakan fiskal,” tulis Henderson dalam laporannya.

Data menunjukkan, pada kuartal III/2025 produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,04% secara tahunan. Angka ini memang melampaui ekspektasi pasar, namun melambat dibandingkan kuartal II/2025 yang mencatatkan pertumbuhan 5,12%. Perlambatan tersebut terutama berasal dari konsumsi rumah tangga yang mulai kehilangan tenaga.

Bloomberg Intelligence menyoroti bahwa belanja masyarakat selama ini menjadi penopang utama ekonomi nasional mulai tertekan oleh ketidakpastian global dan memburuknya sentimen. Kondisi ini membuat kontribusi konsumsi domestik terhadap pertumbuhan tidak sekuat periode sebelumnya.

Tekanan juga datang dari sisi investasi. Pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh 5,04% secara tahunan pada kuartal III/2025, merosot tajam dari 6,99% pada kuartal sebelumnya dan berada di bawah rata-rata pertumbuhan sejak 2008 yang berada di kisaran 5,2%. Menurut Henderson, perlambatan ini mencerminkan sikap investor yang semakin waspada di tengah tekanan tarif global dan ketidakpastian kebijakan fiskal.

Di tengah pelemahan konsumsi dan investasi, kinerja ekspor neto justru menunjukkan perbaikan dan memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan. Belanja pemerintah juga tercatat meningkat pada kuartal III/2025, seiring respons fiskal terhadap gelombang unjuk rasa yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia pada Agustus lalu.

Meski demikian, Bloomberg Intelligence menilai kombinasi melemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi membuat ruang akselerasi ekonomi menjadi semakin terbatas. Kondisi ini dinilai dapat menjadi tantangan serius bagi ambisi pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto di akhir masa jabatannya.

“Momentum mulai melemah,” tegas Henderson, menandai fase ekonomi Indonesia yang kian membutuhkan kebijakan yang mampu memulihkan kepercayaan dan menjaga daya dorong pertumbuhan. (alf)

Insentif Fiskal Dinilai Jadi Penentu Arah Pemulihan Industri Otomotif Nasional

IKPI, Jakarta: Pelaku industri otomotif menilai insentif fiskal masih memegang peranan strategis dalam menggerakkan kembali pasar kendaraan bermotor nasional yang belum sepenuhnya pulih. Di tengah permintaan yang belum menunjukkan tren pertumbuhan positif sepanjang tahun, dukungan kebijakan pemerintah dinilai krusial untuk menjaga kesinambungan produksi, penjualan, hingga stabilitas rantai pasok industri otomotif dari hulu ke hilir.

Marketing Director PT Toyota-Astra Motor, Jap Ernando Demily, menyampaikan bahwa insentif fiskal dapat berfungsi sebagai katalis pemulihan pasar. Ia mencontohkan kebijakan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada 2021 yang terbukti mampu mendongkrak penjualan mobil secara signifikan di tengah tekanan pascapandemi.

“Melihat kondisi saat ini, pasar masih belum tumbuh positif secara tahunan. Intervensi para pemangku kepentingan masih sangat dibutuhkan untuk mendorong produksi dalam negeri, sekaligus membangun industri otomotif secara komprehensif dari hulu ke hilir,” ujar Ernando dalam keterangan pers, Senin (22/12/2025).

Menurutnya, situasi pasar saat ini memiliki kemiripan dengan periode pemulihan pascapandemi, ketika permintaan belum sepenuhnya kembali dan industri memerlukan stimulus agar roda produksi kembali bergerak. Kebijakan yang tepat, lanjutnya, dapat menjaga kesinambungan produksi sekaligus memperkuat struktur rantai pasok industri otomotif nasional.

“Secara historis, insentif fiskal merupakan kebijakan penting untuk menstimulasi pertumbuhan pasar. Insentif PPnBM pada 2021 lalu berkontribusi besar dalam proses pemulihan pasar setelah terdampak Covid-19,” jelasnya.

Ernando juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap arah insentif yang telah berjalan, khususnya untuk kendaraan elektrifikasi. Ia menilai, insentif tidak semestinya hanya mengejar peningkatan penjualan jangka pendek, tetapi harus mampu memperkuat fondasi industri dalam jangka panjang.

“Kebijakan insentif, terutama pada model elektrifikasi yang ada saat ini, perlu dievaluasi bersama terkait dampaknya terhadap pasar secara keseluruhan. Harapannya, kebijakan tersebut bukan hanya berdampak pada penjualan, tetapi juga mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional secara berkelanjutan,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh pabrikan Jepang lainnya, Honda. Marketing Director PT Honda Prospect Motor, Yusak Billy, menilai insentif pemerintah dapat menjadi faktor penting yang membantu konsumen dalam mengambil keputusan pembelian, terutama ketika kondisi pasar melemah.

“Honda melihat insentif sebagai salah satu faktor yang dapat mendorong permintaan dan mempermudah keputusan pembelian kendaraan,” kata Billy.

Meski demikian, ia menilai target volume penjualan hingga satu juta unit tetap perlu dikaji secara realistis karena sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Dalam situasi tersebut, insentif pemerintah dinilai berperan menjaga momentum industri agar tidak semakin tertekan.

“Ke depan, kami yakin pemerintah memiliki pertimbangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan arah serta bentuk insentif yang paling tepat bagi industri otomotif nasional,” pungkasnya. (alf)

Kunjungan Lapangan KPP Badora Perkuat Pengawasan Kepatuhan Pajak di Karimun dan Batam

IKPI, Jakarta: Tim Kunjungan Kerja Lapangan dari Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) menuntaskan rangkaian verifikasi atas dua wajib pajak besar di Tanjung Balai Karimun dan Batam pada Agustus 2025. Langkah ini menjadi bagian dari upaya intensif Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menindaklanjuti Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK) untuk memastikan kepatuhan pelaporan perpajakan.

Kepala KPP Badora Natalius menegaskan, kunjungan lapangan merupakan instrumen penting pengawasan berbasis fakta. “Pelaksanaan kunjungan ini menegaskan peran DJP dalam fungsi pengawasan dan verifikasi data, memastikan kegiatan usaha yang dilaporkan selaras dengan kondisi faktual di lapangan,” ujarnya di ruang kerja KPP Badora, Jakarta baru baru ini.

Kunjungan pertama menyasar wajib pajak atas nama Agnes Chua Sey Ling, Direktur PT Kee Tee Sinergi, perusahaan produksi sarang burung walet yang terdaftar di KPP Tanjung Balai Karimun. Tim yang terdiri dari Account Representative Supriyati, Vera Novalin, Arief Eko Hutomo, dan Kusuma Indrajaya mendatangi alamat korespondensi yang tercatat pada sistem DJP. Di lokasi, ruko tersebut diketahui berfungsi sebagai toko kelontong, bukan kantor operasional perusahaan.

Verifikasi berlanjut ke dua titik kegiatan usaha walet di Jalan H. Arab dan Jalan Lubuk Semut, Karimun. Hasilnya, kedua lokasi tersebut tidak lagi menunjukkan aktivitas usaha aktif selama beberapa tahun terakhir. Ketidaksesuaian ini menjadi catatan penting dalam penilaian kepatuhan berbasis data lapangan.

Mewakili wajib pajak, konsultan pajak Suharmen menyatakan komitmen penyelesaian kewajiban. “Kami berkomitmen menindaklanjuti SP2DK melalui pembayaran dan pembetulan SPT Tahunan sesuai ketentuan,” ujarnya.

Kunjungan kedua dilakukan di Batam terhadap American Bureau of Shipping Indonesia (ABS Indonesia), bagian dari organisasi klasifikasi kapal global yang berdiri sejak 1862. Tim mendatangi kantor cabang di Menara Aria, Harbour Bay Downtown, serta lokasi galangan di PT Pax Ocean Batam, Tanjung Uncang, dan bertemu dengan perwakilan perusahaan, Hendra Satwika dan Aldino Syahrun Nurcahyono.

Dari pemaparan perusahaan, ABS Indonesia berfokus pada sektor maritim, lepas pantai, dan gas, dengan misi utama mendorong keselamatan jiwa, properti, dan lingkungan melalui standar teknis. Perusahaan menegaskan tidak memiliki galangan kapal sendiri dan untuk kepatuhan perpajakan menggunakan jasa PT Grant Thornton Strategic Consulting. (alf)

en_US