PNBP Mei 2025 Terkoreksi 5,9 Persen, SDA Migas Tertekan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga akhir Mei 2025 mencapai Rp188,7 triliun atau 36,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Namun, capaian tersebut mengalami penurunan 5,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar Rp119,5 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menjelaskan, kontraksi terjadi terutama pada tiga faktor utama: pola setoran bulanan yang cenderung melandai, penurunan harga komoditas, serta turunnya volume produksi sumber daya alam (SDA).

“PNBP kita mengalami koreksi 5,9 persen. Ini karena pola setoran yang menurun secara musiman, serta tekanan harga komoditi dan produksi SDA,” ujar Anggito dalam konferensi pers APBN KiTA, Rabu (18/6/2025).

PNBP Migas Paling Tertekan

Anggito memaparkan bahwa PNBP diklasifikasikan ke dalam empat jenis utama, yaitu SDA Migas, SDA Nonmigas, PNBP lainnya, dan Badan Layanan Umum (BLU). Dari keempat kelompok tersebut, SDA Migas menunjukkan penurunan paling tajam, hanya menyumbang Rp39,8 triliun atau 32,9 persen dari target tahunan.

Penurunan itu dipicu anjloknya harga minyak mentah Indonesia (ICP), dari rata-rata USD81 per barel pada akhir April 2024 menjadi hanya USD70,3 per barel pada periode yang sama tahun 2025. Dampaknya, penerimaan dari sektor PNBP migas dan PPh migas ikut terkoreksi signifikan.

Sementara itu, PNBP dari SDA Nonmigas juga ikut melemah. Hingga Mei 2025, realisasi tercatat Rp30,0 triliun, atau menurun 6,8 persen dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, penurunan terutama berasal dari sektor minerba yang produksinya anjlok dari 340,3 juta ton menjadi hanya 282,0 juta ton, turun 17,1 persen.

“Untuk sektor non-migas, penurunan didorong oleh menurunnya volume produksi, terutama dari minerba,” jelasnya.

BLU dan PNBP Lainnya Jadi Penopang 

Di tengah tekanan dari sektor SDA, penerimaan dari Badan Layanan Umum justru mencatat kinerja impresif. Realisasi BLU per Mei 2025 mencapai Rp32,3 triliun, dengan pertumbuhan 33,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan jasa layanan rumah sakit, pendidikan, dan telekomunikasi.

PNBP lainnya, yang mencakup pendapatan dari jasa transportasi, administrasi, penegakan hukum, dan DMO, turut mengalami pertumbuhan 5,6 persen. Total realisasi dari kategori ini mencapai Rp59,4 triliun dan menjadi penyumbang terbesar PNBP tahun berjalan.

Rincian Realisasi PNBP hingga Mei 2025:

• PNBP lainnya: Rp59,4 triliun (46,5% dari target)

• SDA Nonmigas: Rp46,3 triliun (47,7%)

• SDA Migas: Rp39,8 triliun (32,9%)

• BLU: Rp32,3 triliun (41,4%)

Tren Historis dan Tantangan Kedepan

Fluktuasi bulanan yang terjadi antara Maret hingga Mei disebut sejalan dengan pola historis PNBP dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Anggito menegaskan pentingnya antisipasi terhadap dinamika global, terutama volatilitas harga komoditas dan potensi penurunan permintaan pasar internasional.

“Meski saat ini beberapa sektor PNBP mengalami tekanan, pemerintah tetap optimistis menjaga tren positif penerimaan negara dengan mendorong sektor-sektor yang resilien,” pungkasnya. (alf)

 

Dirjen Pajak Pastikan Aturan Sedang Diproses, UMKM Masih Bisa Nikmati PPh Final 0,5 Persen 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memastikan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi, masih bisa menikmati tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen pada 2025, meskipun masa berlaku resmi insentif tersebut telah berakhir pada 2024.

Bimo mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah tengah menggodok revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang menjadi dasar hukum penerapan tarif PPh final untuk UMKM. “Perubahan PP 55 tahun 2022 untuk mengatur jangka waktu PPh final UMKM sedang dalam proses penyusunan,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (19/6/2025).

Bimo menegaskan, pelaku UMKM tetap diperbolehkan memanfaatkan tarif PPh final 0,5 persen selama masa transisi ini. “UMKM orang pribadi memang sudah habis 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final 0,5 persen per 2024. Tetapi masih tetap dapat membayar PPh final 0,5 persen tersebut di tahun 2025,” katanya.

Namun, ia mengakui bahwa perubahan regulasi tersebut belum rampung karena masih menunggu pembahasan lintas kementerian. “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” tambahnya.

Desakan IKPI

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang menyebabkan dilema bagi Wajib Pajak orang pribadi. Menurutnya, tanpa dasar hukum yang jelas, pelaporan dan pembayaran PPh masa Januari–Februari 2025 bisa menimbulkan risiko pajak.

“Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh final 0,5 persen. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka Wajib Pajak bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” tegas Vaudy dalam pernyataan tertulis pada 17 Maret 2025.

Ia mengingatkan bahwa wacana perpanjangan insentif ini bukan hal baru. Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, telah mengumumkan rencana perpanjangan fasilitas ini dalam paket stimulus ekonomi akhir tahun lalu.

Pasalanya, perpanjangan tersebut idealnya juga mengubah ketentuan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 yang membatasi masa berlaku PPh final 0,5 persen selama tujuh tahun.

Ia menegaskan, ketiadaan aturan hingga Maret 2025 telah menciptakan ketidakpastian yang cukup pelik. Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta yang sebelumnya dikecualikan dari kewajiban PPh berdasarkan UU HPP dan PP 55/2022, kini kebingungan menentukan kewajiban pajaknya: tetap menggunakan PPh final, beralih ke Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), atau menyelenggarakan pembukuan?

Ia juga menyoroti tenggat penyampaian pilihan penggunaan NPPN yang jatuh pada akhir Maret 2025, membuat situasi semakin kompleks.

“Kebingungan ini bisa berdampak pada kepatuhan dan penerimaan pajak negara,” kata Vaudy. (alf/bl)

 

 

Inflasi Terkendali, Mekeu Sebut Karena ada Penurunan Harga Pangan 

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa inflasi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang cukup terkendali, bahkan menunjukkan tren penurunan. Penjelasan ini disampaikan dalam konferensi pers rutin “APBN Kita” edisi Juni 2025 pada Selasa (17/6/2025).

Menurut Sri Mulyani, salah satu faktor utama di balik meredanya inflasi adalah turunnya harga bahan pangan, terutama yang masuk kategori volatile food atau harga pangan yang rentan bergejolak.

“Rendahnya inflasi kita disebabkan karena harga-harga yang biasanya bergejolak, yaitu makanan, mengalami deflasi karena adanya panen,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia menekankan bahwa pemerintah aktif menjaga keseimbangan harga agar penurunan ini tidak berdampak negatif terhadap petani. “Harga beberapa pangan memang turun, dan itu berdampak langsung pada inflasi. Namun kami juga menyiapkan dukungan anggaran agar stabilitas harga, terutama beras dan gabah, tetap terjaga,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa inflasi ke depan diperkirakan akan tetap terkendali, berkat sejumlah kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menekan harga-harga yang diatur negara (administered prices). Salah satunya melalui subsidi dan diskon untuk moda transportasi seperti tiket pesawat dan kereta api.

“Kita sudah menyiapkan kebijakan diskon untuk transportasi umum. Ini secara langsung akan menurunkan inflasi administered prices,” ujarnya.

Sri Mulyani juga memastikan bahwa inflasi inti, yang mencerminkan permintaan domestik, masih tumbuh sehat di level 2,4%. “Ini menandakan permintaan masih ada. Inflasi inti yang tumbuh 2,4% menunjukkan ada pertumbuhan natural. Sementara itu, inflasi secara keseluruhan (headline) berada di angka 1,6%,” katanya.

Ia pun menegaskan bahwa penurunan inflasi tidak serta-merta berarti daya beli masyarakat sedang melemah. “Jangan langsung disimpulkan inflasi turun karena daya beli yang lemah. Ini lebih karena dampak langsung dari kebijakan pemerintah dalam mengatur harga,” tutupnya. (alf)

 

RPMK Syaratkan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak Miliki SKK atau Izin KP 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun aturan baru yang bakal memperketat syarat menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Ketentuan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Sebagai Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, yang akan menggantikan PMK 184/2017.

Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas perwakilan hukum di Pengadilan Pajak sekaligus memberi perlindungan lebih bagi pencari keadilan. “Penyempurnaan ini dimaksudkan agar penyelesaian sengketa perpajakan bisa berjalan lebih efektif dan cepat,” ujar Sekretaris Pengganti Sekretariat Pengadilan Pajak, Roni Ziyardi Yasmi dalam forum meaningful participation RPMK, Kamis (19/6/2025).

Dua Syarat Tambahan Penentu Kompetensi

RPMK ini menegaskan bahwa pengetahuan dan keahlian perpajakan seorang kuasa hukum harus dibuktikan melalui salah satu dari dua cara: memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak (KP).

“SKK dan izin praktik itu sifatnya pilihan. Keduanya bisa menjadi dasar untuk menjadi kuasa hukum,” jelas Roni.

Untuk kuasa hukum di bidang kepabeanan dan cukai, dibutuhkan tambahan sertifikat keahlian khusus. Baik SKK maupun sertifikat keahlian kepabeanan akan diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu.

Selain itu, pengalaman kerja juga menjadi indikator penting. Seorang kuasa hukum harus pernah bekerja di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum selama dua tahun dalam lima tahun terakhir. Untuk bidang kepabeanan dan cukai, pengalaman di sektor tersebut juga wajib dibuktikan.

“Pengalaman itu harus didukung surat resmi dari instansi atau lembaga terkait. Harapannya, profesionalisme kuasa hukum makin terjamin,” ucap Roni.

Syarat Lain dan Pembagian Izin Bertingkat

RPMK ini juga memuat sejumlah persyaratan tambahan bagi calon kuasa hukum, di antaranya:

• Bukan anggota keluarga dekat, pegawai, atau pengampu pihak terkait;

• Lulusan sarjana atau diploma IV dari perguruan tinggi terakreditasi;

• Terdaftar sebagai wajib pajak dan taat pajak;

• Berperilaku baik dan tidak pernah dihukum pidana berat;

• Bukan ASN atau pejabat negara;

• Menjunjung kejujuran, integritas, dan keadilan;

• Bersedia membuat akun dan menggunakan sistem e-Tax Court.

Menariknya, RPMK ini juga memperkenalkan sistem leveling untuk kuasa hukum pajak, yakni tingkat A, B, dan C, yang didasarkan pada tingkat keahlian. Namun untuk kuasa hukum kepabeanan dan cukai, tidak ada pembagian tingkatan.

“Izin tingkat A itu semacam representasi brevet A. Jadi akan lebih terukur siapa menangani perkara di level apa,” kata Roni.

Izin Lama Masih Berlaku

Bagi kuasa hukum yang sudah mengajukan permohonan sebelum RPMK baru berlaku, pengajuan tetap akan diproses berdasarkan ketentuan lama, yakni PMK 184/2017. Izin yang sudah terbit pun dinyatakan masih sah hingga masa berlakunya habis.

Pada masa transisi, seluruh izin kuasa hukum pajak yang sudah terbit dianggap sebagai tingkat tertinggi, yakni level C. “Jadi semua kuasa hukum yang sudah berizin tetap bisa menangani seluruh jenis sengketa pajak,” tambah Roni.

RPMK juga memberikan kelonggaran jika SKK belum bisa diterbitkan BPPK. Dalam hal ini, pengetahuan dan keahlian perpajakan dapat dibuktikan melalui ijazah bidang fiskal, akuntansi, atau perpajakan, sertifikat brevet, atau pengalaman kerja di instansi pemerintah terkait.

Namun ada konsekuensi baru: jika dalam waktu 30 hari sejak PMK berlaku kuasa hukum belum membuat akun e-Tax Court, maka izin bisa dicabut.

Menuju Sistem Peradilan Pajak yang Lebih Modern

Dengan revisi aturan ini, Kemenkeu berharap ekosistem hukum di Pengadilan Pajak semakin profesional, terukur, dan akuntabel. Transformasi ini juga dianggap sejalan dengan digitalisasi sistem peradilan melalui e-Tax Court.

“Semangatnya bukan membatasi, tapi justru memperkuat perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam sengketa pajak,” pungkas Roni. (alf)

 

YFR Hermiyana Resmi Pimpin DJP Sulselbartra, Fokus Perkuat Sinergi dan Inovasi Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penyegaran kepemimpinan di Kantor Wilayah Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra). Per Selasa (17/6), tongkat estafet jabatan Kepala Kanwil DJP Sulselbartra resmi beralih dari Heri Kuswanto kepada YFR Hermiyana.

Dalam seremoni serah terima jabatan yang berlangsung di Kantor DJP Sulselbartra, Hermiyana menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran strategis DJP dalam menopang penerimaan negara dari sektor pajak. Ia menyadari, tantangan dalam menghimpun penerimaan di tengah dinamika ekonomi saat ini membutuhkan pendekatan yang kolaboratif dan adaptif.

“Kita perlu memperkuat sinergi dengan semua pemangku kepentingan dan memberikan pelayanan yang maksimal. DJP terbuka terhadap masukan dan harus mampu memberikan solusi atas setiap dinamika yang ada,” ujar Hermiyana, dikutip, Rabu (18/6/2025).

Menurutnya, optimalisasi hubungan dengan konsultan pajak akan menjadi salah satu strategi utama. Ia menilai, peran konsultan pajak sangat vital sebagai penghubung antara wajib pajak dan otoritas pajak dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Selain itu, Hermiyana menyatakan akan mendorong terobosan dalam layanan dan pengawasan. Inovasi dan efektivitas dalam penggalian potensi pajak akan menjadi kunci untuk mengejar target penerimaan negara.

Data DJP Sulselbartra mencatat, hingga April 2025 penerimaan pajak dari tiga wilayah yang menjadi cakupan kerja Kanwil tersebut tercatat sebesar Rp3,84 triliun mengalami penurunan 10,29% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Rinciannya, Sulawesi Selatan menyumbang kontribusi terbesar sebesar Rp2,85 triliun, diikuti Sulawesi Tenggara Rp892 miliar, dan Sulawesi Barat Rp95,73 miliar.

Dengan tantangan yang ada, Hermiyana berharap seluruh jajaran DJP di wilayahnya dapat bekerja secara solid, menjalin kemitraan yang kuat dengan pemangku kepentingan, dan menghadirkan reformasi layanan pajak yang semakin profesional dan modern. (alf)

 

Sri Mulyani Tegaskan Flat Tax Tak Adil untuk Rakyat Kecil

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan sistem pajak penghasilan satu tarif atau flat tax bukanlah jalan terbaik bagi Indonesia. Respons itu disampaikan menyusul saran dari ekonom senior Amerika Serikat, Arthur Laffer, dalam forum CNBC Indonesia Economic Update 2025 di Jakarta, kemarin.

Alih-alih mendukung, Sri Mulyani secara tegas menolak gagasan tersebut karena dinilai tak mencerminkan asas keadilan sosial di tengah masyarakat yang memiliki kesenjangan pendapatan cukup besar.

“Di Indonesia kita punya lima bracket tarif PPh. Coba bayangkan, yang penghasilannya UMR disamakan dengan yang miliaran rupiah per tahun, bayar pajaknya sama. Setuju nggak?” tanyanya kepada peserta forum. “Saya hampir yakin, semua tidak setuju.”

Saat ini, sistem pajak penghasilan Indonesia menerapkan tarif progresif mulai dari 5% hingga 35%, menyesuaikan dengan besaran penghasilan wajib pajak. Menurut Menkeu, struktur tarif progresif inilah yang menjaga prinsip keadilan dan distribusi ekonomi.

“Yang penghasilannya Rp60 juta setahun tak mungkin dikenai tarif yang sama dengan yang Rp5 miliar ke atas. Itu logika dasar keadilan,” ujarnya tegas.

Sri Mulyani juga menekankan bahwa kebijakan fiskal Indonesia memiliki pendekatan yang berbeda dari negara-negara maju. Sistem fiskal nasional dirancang tidak semata-mata untuk efisiensi ekonomi, tetapi juga berperan dalam fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi pendapatan.

“Ketika ekonomi melambat dan perusahaan rugi, otomatis penerimaan pajak turun. Tapi kita tetap harus belanja untuk bantuan sosial, infrastruktur, bahkan subsidi upah. Itulah fungsi countercyclical dari fiskal,” paparnya.

Di sisi lain, Arthur Laffer—tokoh yang dikenal luas karena Laffer Curve-nya—berpendapat bahwa sistem flat tax dengan tarif rendah dan basis yang luas adalah cara terbaik untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ia menilai sistem progresif cenderung “mendiskriminasi” orang-orang sukses.

“Saya tidak berbicara tentang kebijakan spesifik Indonesia. Tapi prinsipnya jelas: Anda butuh flat tax. Itu akan menciptakan sistem yang adil dan mendorong produktivitas,” ujar Laffer, yang pernah menjadi penasihat ekonomi Presiden Donald Trump.

Namun bagi Sri Mulyani, kebijakan pajak bukan semata urusan angka dan efisiensi. Ia menekankan bahwa Indonesia tidak bisa meniru begitu saja model negara lain, sebab konteks sosial, ekonomi, dan konstitusi setiap negara sangat berbeda.

“Pajak bukan hanya soal pungutan. Ini soal siapa yang dibantu dan siapa yang diminta berkontribusi lebih besar. Di situlah negara hadir,” pungkasnya.

Dengan penolakan ini, Sri Mulyani kembali meneguhkan posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial dalam setiap kebijakan fiskalnya bukan semata mengejar angka pertumbuhan ekonomi semu. (alf)

 

Ekonom Ingatkan Menaikkan Tarif Pajak Ciptakan Perlambatan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dalam menaikkan tarif pajak. Bukannya menambah pemasukan negara, kebijakan ini justru berisiko menciptakan masalah baru yang berujung pada penurunan penerimaan negara dan perlambatan ekonomi.

Peringatan tersebut disampaikan oleh ekonom senior asal Amerika Serikat, Arthur Betz Laffer, dalam acara Economic Update 2025 yang digelar Rabu, 18 Juni 2025.

Laffer, yang dikenal luas lewat teori Kurva Laffer, menilai bahwa penaikan tarif pajak sering kali menghasilkan efek sebaliknya dari yang diharapkan.

“Ketika tarif pajak dinaikkan 10 persen, pembuat kebijakan kerap berasumsi pendapatan juga akan naik 10 persen. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu,” kata Laffer.

Menurutnya, respons wajib pajak terhadap kenaikan tarif bisa sangat beragam, mulai dari mencari celah legal untuk menghindari pajak, mengurangi aktivitas usaha, hingga hengkang ke negara lain yang tarifnya lebih rendah. Akibatnya, basis pajak menyusut dan penerimaan negara justru bisa merosot.

“Mereka bisa berhenti bekerja, mengalihkan usahanya ke tempat lain, dan negara kehilangan potensi pendapatan,” tambahnya.

Laffer menekankan bahwa pendekatan ideal adalah menerapkan tarif pajak yang rendah, stabil, dan berbasis luas. Dengan begitu, beban pajak terbagi lebih merata tanpa menekan satu kelompok secara berlebihan.

“Pajak yang rendah, berbasis luas, dan tetap itulah resep utama agar sistem perpajakan tidak menjadi beban ekonomi,” ujar Laffer.

Namun ia juga mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif bisa berbeda-beda di tiap negara. Ada kalanya kenaikan tarif memang meningkatkan penerimaan, tapi dalam banyak kasus, data justru menunjukkan sebaliknya.

“Efek ekonomi dan efek akuntansi bekerja ke arah yang berlawanan. Kuncinya ada pada data dan konteksnya,” tegasnya.

Pandangan Laffer ini menjadi bahan refleksi penting di tengah tekanan fiskal yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, agar tidak gegabah menjadikan penaikan tarif sebagai jalan pintas dalam mengejar target penerimaan. (alf)

 

DJP – Satgassus Polri Kolaborasi Bongkar Shadow Economy di Sektor SDA

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menggandeng Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara dari Polri untuk memberantas aktivitas ekonomi tersembunyi atau shadow economy, khususnya yang merugikan negara dari sektor-sektor strategis. Kolaborasi ini menyasar aktivitas ekonomi ilegal yang kerap luput dari pengawasan dan pelaporan perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa sinergi antara DJP dan Satgassus difokuskan pada sektor berbasis sumber daya alam.

“Sektor yang menjadi perhatian utama adalah illegal fishing, illegal mining, dan illegal logging. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan kerugian besar bagi penerimaan negara,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Rabu (18/6/2025).

Tak hanya tiga sektor itu, DJP dan Satgassus juga akan menelusuri potensi aktivitas ekonomi ilegal lainnya yang diduga menjadi sumber kejahatan terorganisir dan pencucian uang.

Langkah konkret yang diambil meliputi penguatan pertukaran data, pemetaan potensi penerimaan yang belum tergarap, serta penegakan hukum berbasis intelijen dan analisis risiko.

“Pendekatannya menyeluruh, dari pencegahan hingga penindakan,” tegas Rosmauli.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto telah mengadakan pertemuan intensif dengan jajaran Satgassus, termasuk Ketua Herry Muryanto. Tim Satgassus, kecuali Wakil Ketua Novel Baswedan yang berhalangan hadir, menyambangi kantor DJP guna membahas strategi koordinatif pengamanan penerimaan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menanggapi inisiatif ini. Ia mengungkapkan bahwa keberadaan Satgassus bukanlah hal baru, melainkan revitalisasi dari upaya serupa yang pernah diluncurkan.

“Saya pernah hadir saat peluncuran sebelumnya. Ini inisiatif yang baik dan sejalan dengan upaya memperkuat APBN,” ujar Sri Mulyani.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa Satgassus ini bertugas mendampingi kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan, agar lebih optimal dalam menghimpun penerimaan negara. Tim ini terdiri dari mantan penyidik KPK yang dulu aktif dalam Satgassus Pencegahan Korupsi Polri.

Dengan pengalaman investigatif yang kuat, Satgassus di bawah kepemimpinan Herry Muryanto dan Novel Baswedan diharapkan mampu membongkar praktik-praktik ekonomi ilegal yang selama ini menjadi titik lemah pengawasan fiskal nasional.

Pemerintah optimistis kolaborasi ini akan menjadi salah satu kunci dalam mengamankan target penerimaan negara sekaligus mempersempit ruang gerak ekonomi gelap di Indonesia. (alf)

 

Dirjen Pajak Gandeng Satgassus Polri Amankan Penerimaan Negara, Fokus Pajaki Transaksi Digital

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas penerimaan negara melalui sinergi erat dengan Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri. Kolaborasi ini mencakup langkah-langkah strategis dari sisi pencegahan hingga penindakan terhadap potensi kebocoran pajak.

Dalam pertemuan yang digelar pada Senin sore (17/6/2025), Bimo mengundang seluruh anggota Satgassus kecuali Novel Baswedan ke kantor pusat Ditjen Pajak. Ia menyatakan bahwa pertemuan ini menjadi tonggak awal koordinasi lintas lembaga demi mengamankan setoran negara dari potensi pelanggaran perpajakan.

“Satgassus datang full team ke kantor kami, dan kami berkomitmen untuk bersinergi mengamankan penerimaan negara, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan,” ujar Bimo.

Bimo juga mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan strategi khusus untuk mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dalam rangka mendongkrak tax ratio nasional yang selama satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen.

Salah satu fokus utama adalah ekstensifikasi perpajakan lewat pengenaan pajak pada transaksi digital. Menurutnya, regulasi terkait sudah rampung dan siap diterapkan.

“Beberapa kerangka regulasi pemajakan transaksi digital sudah kami selesaikan. Ini menjadi langkah konkret kami untuk memperluas basis pajak,” jelasnya.

Sementara itu, dari sisi intensifikasi, Bimo menekankan pentingnya peningkatan layanan perpajakan. Ia menyebut sistem administrasi Coretax atau Cortex telah menunjukkan perkembangan positif. “Registrasi dan pembayaran melalui Cortex kini sudah stabil. Kami sedang menyempurnakan aspek pelaporan SPT dan pelayanan lainnya,” imbuhnya.

Langkah-langkah ini dinilai krusial untuk memastikan pencapaian target penerimaan negara 2025 dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional. (alf)

 

 

APBN Mei 2025 Kembali Defisit Rp21 Triliun, Penerimaan Pajak Masih Loyo

IKPI, Jakarta: Setelah sempat mencatatkan surplus di bulan April, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mengalami defisit pada Mei 2025 sebesar Rp21 triliun. Angka ini setara dengan 0,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan tekanan fiskal yang mulai terasa akibat lemahnya kinerja penerimaan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar di Kementerian Keuangan, Selasa (17/6/2025), menjelaskan bahwa total pendapatan negara hingga akhir Mei tercatat sebesar Rp995,3 triliun atau baru 33,1% dari target tahun 2025.

Di sisi lain, belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp694,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp322 triliun.

“Posisi defisit terjadi karena belanja negara lebih besar dari pendapatan. Ini juga mencerminkan tantangan dari sisi penerimaan, khususnya pajak,” ujar Sri Mulyani.

Pendapatan dari sektor pajak memang menunjukkan tren perlambatan. Hingga Mei, penerimaan pajak hanya terkumpul Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target tahunan senilai Rp2.189,2 triliun. Angka ini turun signifikan 11,28% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp760,38 triliun.

Sebelumnya, pada April 2025, APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun atau 0,02% dari PDB, mengakhiri tren defisit tiga bulan berturut-turut sejak awal tahun. Surplus tersebut sempat menjadi sinyal positif sebelum akhirnya defisit kembali terjadi di bulan berikutnya.

Meski demikian, Sri Mulyani mencatat adanya capaian positif dari sisi keseimbangan primer. Per Mei 2025, keseimbangan primer surplus sebesar Rp192,1 triliun, naik dari Rp184,2 triliun pada Mei tahun lalu dan Rp173,9 triliun pada April 2025.

Pemerintah sendiri telah merancang defisit fiskal 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Dengan realisasi defisit yang masih di bawah 5% dari target tahunan, pemerintah menganggap posisi fiskal masih cukup terjaga, meskipun tekanan penerimaan perlu diwaspadai, terutama dari sektor pajak. (alf)

 

 

en_US