IKPI Nilai Cooperative Compliance Jadi Arah Baru Reformasi Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menilai bahwa pergeseran menuju konsep cooperative compliance menjadi momentum besar dalam reformasi perpajakan nasional. Hal itu ia sampaikannya usai menghadiri Seminar Nasional FEB UI sekaligus peluncuran Tax Clinic FEB UI, Senin (17/11/2025).

“Saya hadir mewakili Ketua Umum, Vaudy Starworld yang berhalangan hadir, dan melihat langsung bahwa masa depan kepatuhan pajak bergerak ke arah kolaboratif, bukan lagi konfrontatif. Ini relevan bagi profesi konsultan pajak,” ujar Jemmi.

Seminar tersebut dibuka dengan keynote speech Dirjen Pajak, Bimo Wijayanto, yang menegaskan bahwa pendekatan enforcement tidak lagi efektif. Pendekatan keras terbukti tidak meningkatkan kepatuhan, justru memunculkan kecenderungan penghindaran. DJP kini mengarah pada model hubungan yang lebih terbuka, transparan, dan minim sengketa, seiring semakin lengkapnya bank data perpajakan.

(Foto: Istimewa)

Keynote kedua hadir dari Direktur P2PK, Erawati, yang memaparkan transformasi global administrasi pajak: dari proses manual menuju digital, hingga fase real-time data dan integrasi antar lembaga yang sudah diterapkan di negara seperti Australia, Spanyol, dan Estonia.

Jemmi menilai hal ini menjadi alarm agar profesi perpajakan Indonesia segera beradaptasi dan memanfaatkan peningkatan sistem seperti Coretax.

Terkait isi seminar, Jemmi menyoroti tiga materi utama yang dianggap sangat krusial.

Pertama, penjelasan dari Staf Ahli Kemenkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, mengenai Tax Control Framework (TCF) dan konsep Total Quality Assurance. TCF memiliki tujuh prinsip dan lima level maturitas, yang kelak menjadi standar penilaian wajib pajak dalam mendapatkan insentif negara. Banyak negara sudah menerapkannya, sehingga Indonesia harus bergerak ke arah yang sama. Menurut Jemmi, hal ini akan mengubah cara kerja konsultan pajak secara menyeluruh.

Kedua, paparan Darussalam, founder DDTC, yang menegaskan bahwa dunia perpajakan sedang bergeser dari confrontation compliance menjadi collaboration compliance. Sengketa harus dicegah sebelum masuk litigasi. 

Jemmi melihat poin ini sejalan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan efisiensi bagi wajib pajak.

Ketiga, materi dari Lury Sofyan, Kepala Bidang Perizinan dan Kepatuhan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya, yang membahas perubahan fundamental peran konsultan pajak. Ke depan, konsultan tidak cukup hanya mengisi administrasi SPT, tetapi harus menjadi compliance enablers yang mampu menilai risiko, melakukan review materiil, dan memastikan kepatuhan jangka panjang sebelum SPT masuk ke sistem. Jemmi menilai peran ini menjadi sangat strategis di era cooperative compliance.

Jemmi  menegaskan bahwa IKPI memandang seminar ini sebagai momentum strategis.

“IKPI siap mengawal transisi menuju cooperative compliance. Tax Clinic FEB UI menjadi ruang baru bagi edukasi perpajakan masyarakat dan kolaborasi antara akademisi, otoritas, dan profesi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa dengan ekosistem yang tepat, kepatuhan jangka panjang bisa dicapai tanpa harus selalu mengedepankan penindakan. (bl)

PNBP Rinjani Tembus Rp21,6 Miliar, Kontribusi Wisata Alam Makin Terasa ke Kas Negara

IKPI, Jakarta: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari aktivitas wisata di kawasan Rinjani mencapai Rp21,65 miliar hingga Oktober 2025. Angka tersebut dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sektor pariwisata alam terus memberikan kontribusi fiskal yang signifikan.

“Capaian PNBP ini menunjukkan tren positif,” ujar Kepala Balai TNGR Yarman di Mataram, Senin (17/11/2025). Ia menegaskan seluruh penerimaan itu langsung masuk ke kas negara sebagai pendapatan resmi pemerintah.

Menurut Yarman, kenaikan PNBP mengonfirmasi bahwa pengelolaan taman nasional dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan selama mekanisme pengawasan dan manajemen pengunjung terus diperkuat. “PNBP yang meningkat menjadi bukti bahwa wisata alam dapat menyumbang pendapatan negara sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem,” katanya.

Hingga Oktober 2025, jumlah pendaki yang menuju Gunung Rinjani mencapai 72.528 orang, sementara kunjungan ke destinasi non-pendakian tercatat 43.502 orang. “Kawasan TNGR terus menyedot perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara,” jelas Yarman.

Namun tingginya kunjungan membawa konsekuensi biaya dan beban pengelolaan lingkungan. Karena itu, TNGR kembali mendorong gerakan Go Rinjani Zero Waste agar wisatawan ikut berperan menjaga kebersihan area wisata.

Data sementara menunjukkan total sampah aktivitas pendakian mencapai 28.410,64 kilogram, sedangkan dari kegiatan non-pendakian sebanyak 989,22 kilogram. Seluruhnya merupakan sampah yang berhasil dibawa turun kembali, mayoritas berupa sampah anorganik.

Yarman mengimbau agar seluruh pengunjung terus berdisiplin menjaga kebersihan kawasan. “Dari Rinjani untuk Indonesia, mari dukung pariwisata berkelanjutan, bukan hanya indah dipandang, tapi juga memberi manfaat ekonomi dan menjaga alam,” ujarnya. (alf)

Proyek Kopdes Masuk APBN, Dampak ke Fiskal Diwarnai Sorotan

IKPI, Jakarta: Komitmen pemerintah membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dipastikan akan melibatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pembangunan fisik koperasi tersebut akan dijalankan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan dukungan pembiayaan dari bank-bank BUMN (Himbara).

Skemanya, Agrinas akan meminjam dana dari Himbara, sementara pemerintah menanggung pembayaran cicilan sekitar Rp40 triliun per tahun selama enam tahun. Dengan demikian, total dana APBN yang teralokasi untuk proyek ini mencapai sekitar Rp240 triliun.

Menurut Purbaya, skema penjaminan tersebut membuat risiko perbankan tetap terjaga. “Pinjamannya aman, perbankan tidak menghadapi risiko signifikan karena pembayaran dijamin APBN,” ujarnya, Minggu (16/11/2025). Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan pendanaan ini.

Diatur Inpres 17/2025

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan bahwa mekanisme pembiayaan proyek Kopdes/Kel telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Aturan tersebut memungkinkan pendanaan dari APBN, APBD, serta sumber sah lainnya.

“APBN tetap menjadi sumber utama. Skemanya lewat Himbara, lalu Himbara menyalurkan ke Agrinas,” tutur Ferry.

Setiap unit Kopdes/Kel Merah Putih memperoleh plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar yang digunakan untuk pembangunan gudang, gerai, serta modal kerja. Karena berstatus program strategis nasional, proses penilaian kredit oleh Himbara juga akan dipermudah.

Hingga saat ini, Agrinas tengah membangun 7.923 titik gerai dengan dukungan pembayaran muka sekitar Rp600 miliar. Pemerintah menargetkan pendataan lahan mencapai 40.000 titik pada November 2025 dan pembangunan fisik meningkat menjadi 40.000–50.000 titik pada akhir tahun.

Sorotan Terhadap Ruang Fiskal

Keterlibatan APBN dalam skema penjaminan pinjaman ini memunculkan perhatian terkait ruang fiskal pemerintah, mengingat komitmen Rp40 triliun per tahun akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Meski pemerintah menilai kapasitas APBN masih memadai, kalangan analis melihat perlunya pengelolaan fiskal yang hati-hati agar tidak mengurangi fleksibilitas belanja negara di sektor lain.

Sementara itu, pemerintah berharap pembangunan jaringan Kopdes/Kel dapat memperkuat ekonomi desa dan memperluas basis penerimaan negara dalam jangka panjang. Aktivitas usaha, distribusi, dan perdagangan di tingkat desa diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pajak seiring berkembangnya aktivitas ekonomi formal. (alf)

Warga Jakarta Kini Bisa Koreksi Data PBB-P2 Secara Online, Proses Lebih Cepat dan Transparan

IKPI, Jakarta: Wajib pajak di DKI Jakarta kini mendapat kemudahan baru dalam memperbaiki data Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI resmi menyediakan layanan pembetulan data PBB-P2 secara daring melalui situs pajakonline.jakarta.go.id, sehingga warga tak lagi harus antre di kantor pelayanan.

Sebagai identitas resmi, Nomor Objek Pajak (NOP) harus akurat karena menjadi dasar perhitungan pajak. Namun, kekeliruan data seperti perubahan kepemilikan, perbedaan luas bangunan, hingga kesalahan administrasi masih sering ditemui. Melalui sistem online ini, koreksi dapat dilakukan dengan lebih cepat, terbuka, dan praktis.

Koreksi data memastikan beban pajak sesuai kondisi lapangan. Informasi yang benar memberi kepastian hukum bagi pemilik properti dan menjaga transparansi penerimaan daerah agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat administrasi yang tidak tepat.

Syarat Administrasi

Wajib pajak perlu menyiapkan sejumlah dokumen pendukung, antara lain:

• Surat permohonan resmi.

• Identitas diri: KTP/KITAP untuk pribadi, atau NIB, NPWP badan, KTP pengurus, dan akta pendirian/perubahan untuk badan.

• Surat kuasa jika dikuasakan.

• Formulir SPOP/LSPOP yang sudah diisi.

• SPPT PBB-P2 terakhir.

• Bukti kepemilikan tanah (opsional): sertifikat, girik, surat kavling, atau dilengkapi Surat Pernyataan Penguasaan Fisik.

• Bukti peralihan hak jika ada.

• IMB atau PBG (opsional).

• Foto terbaru objek pajak.

• Bukti pelunasan PBB-P2 minimal lima tahun terakhir atau sejak awal kepemilikan.

Cara Pengajuan Secara Online

Prosesnya dapat dilakukan langsung dari ponsel:

1. Buka pajakonline.jakarta.go.id dan login.

2. Masuk ke menu Pelayanan.

3. Pilih PBB-P2 dan jenis pelayanan Pembetulan.

4. Tentukan sublayanan sesuai kebutuhan.

5. Unggah seluruh dokumen.

6. Setujui pernyataan dan simpan permohonan.

7. Cek statusnya secara berkala hingga selesai diverifikasi petugas.

Dengan sistem daring ini, wajib pajak tidak harus datang langsung ke kantor Bapenda. Seluruh proses dapat dipantau secara mandiri sehingga lebih efisien dan transparan.

Transformasi digital yang dilakukan Bapenda DKI menjadi langkah penting menuju layanan pajak daerah yang modern, akurat, dan ramah masyarakat. Kemudahan ini membantu warga menjaga ketepatan data sekaligus memperkuat keadilan fiskal di Jakarta. (alf)

Jepang Siapkan Regulasi Baru Kripto: Pajak Dipangkas, Masuk Rezim Insider Trading

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan Jepang (Financial Services Agency/FSA) tengah menyiapkan langkah besar yang berpotensi mengubah lanskap industri aset digital di negara tersebut. Regulator mempertimbangkan aturan baru yang akan menyetarakan aset kripto dengan produk keuangan lain mulai dari penerapan larangan insider trading hingga penurunan signifikan tarif pajaknya.

Mengutip laporan Asahi, Senin (17/11/2025), regulasi ini akan mencakup ratusan jenis mata uang kripto yang diperdagangkan di Jepang. Pemerintah ingin memastikan bahwa industri kripto berada dalam kerangka pengawasan yang jelas tanpa menghambat inovasi.

Dalam rancangan tersebut, aset kripto akan resmi masuk kategori produk keuangan yang tunduk pada aturan insider trading. Artinya, pemanfaatan informasi material yang belum dipublikasikan untuk meraih keuntungan pribadi akan dilarang sebagaimana berlaku di pasar saham.

Sebagai bagian dari pengetatan, bursa kripto diwajibkan mengungkapkan informasi penting secara lebih terbuka, termasuk risiko fluktuasi harga. Langkah ini diharapkan meningkatkan transparansi dan memperkuat perlindungan terhadap investor ritel.

Aturan baru juga akan memperbolehkan bank dan perusahaan asuransi menjual aset kripto melalui anak usaha sekuritas mereka. Pembukaan akses ini diproyeksikan memperluas penetrasi kripto di pasar Jepang, namun tetap berada dalam koridor pengawasan FSA.

Dari sisi perpajakan, FSA mengusulkan tarif pajak tetap sebesar 20% atas keuntungan dari transaksi kripto setara dengan pajak atas perdagangan saham. Kebijakan ini menjadi perubahan besar karena saat ini keuntungan kripto dikenakan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Penurunan tarif dianalisis dapat membuat posisi Jepang lebih kompetitif sebagai pusat perdagangan aset digital di Asia, sekaligus menarik minat investor global.

FSA menargetkan legislasi yang diperlukan dapat diajukan dan disahkan dalam sesi parlemen reguler tahun depan. Jika berhasil, Jepang akan memiliki kerangka regulasi kripto yang lebih modern, terstruktur, dan ramah pertumbuhan industri. (alf)

PPh Final UMKM Bisa Jadi Permanen, Purbaya Ingatkan: “Asal Nggak Ngibul-ngibul Soal Omzet!”

IKPI, Jakarta: Wacana tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% bagi UMKM tanpa batas waktu kembali mengemuka. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang kebijakan tersebut dibuat permanen, namun menegaskan ada satu syarat mutlak UMKM harus jujur soal omzet.

Dalam media briefing di Jakarta Pusat, Jumat (14/11/2025), Purbaya secara blak-blakan menyebut pemerintah tak keberatan mematenkan tarif superringan itu selama pelaku UMKM tidak memanipulasi omzet demi mendapatkan pajak murah.

“Sebetulnya kalau betul-betul mereka UMKM nggak ngibul-ngibul, harusnya sih nggak apa-apa dipermanenkan. Nanti kita lihat keadaannya seperti apa,” ujar Purbaya.

Menurutnya, pemerintah masih membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menilai perkembangan ekonomi serta efektivitas insentif yang sedang berjalan.

“Biar saya lihat dulu seperti apa implementasinya di lapangan,” tambahnya.

Saat ini, tarif PPh final UMKM 0,5% telah dipastikan berlaku hingga 2029. Kebijakan ini ditujukan untuk pelaku usaha dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Pemerintah ingin memberikan kepastian jangka panjang agar pelaku usaha dapat merencanakan bisnis dengan lebih tenang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak lagi diperpanjang “setahun-setahun”, melainkan langsung diberi horizon sampai 2029.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan dana Rp 2 triliun dalam APBN 2025 untuk mendukung insentif ini, dengan jumlah wajib pajak UMKM terdaftar mencapai 542.000.

“Kita memerlukan revisi PP. Tahun 2025 alokasinya sudah Rp 2 triliun. Wajib pajak yang terdaftar 542 ribu,” kata Airlangga.

Stimulus Jangka Panjang untuk UMKM

Kebijakan PPh final 0,5% diposisikan sebagai stimulus jangka panjang bagi UMKM, terutama untuk meringankan beban pajak dan mengurangi kerumitan administrasi. Pemerintah berharap insentif ini dapat menjaga napas UMKM agar tetap tumbuh dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Namun peluang menjadikannya permanen kini bergantung pada dua faktor: kondisi ekonomi ke depan dan yang tak kalah penting tingkat kepatuhan para pelaku UMKM sendiri.

Dengan nada setengah bercanda namun sarat pesan, Purbaya mengingatkan,

“Kalau UMKM jujur, ya pemerintah juga berani kasih tarif permanen.”

Insentif ini kini menjadi salah satu agenda besar dalam strategi pemerintah memperkuat pondasi ekonomi nasional melalui sektor usaha kecil yang menopang mayoritas aktivitas bisnis di Indonesia. (alf)

Penundaan Cukai Popok dan Tisu Dinilai Tepat, Indef Ingatkan Risiko Hilangnya Momentum Fiskal

IKPI, Jakarta: Kebijakan pemerintah menunda rencana pengenaan cukai terhadap popok dan tisu basah mendapat apresiasi sekaligus peringatan dari kalangan ekonom. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai keputusan tersebut tepat secara waktu, namun berisiko menghilangkan momentum perluasan penerimaan negara jika tidak dibarengi peta jalan yang jelas.

“Penundaan ini pada dasarnya tepat dari sisi timing karena daya beli masyarakat dan pemulihan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya solid,” ujarnya, Minggu (16/11/2025).

Menurut Rizal, target pertumbuhan ekonomi 6 persen dapat dijadikan ambang batas kebijakan sebelum pemerintah memberlakukan cukai baru agar tidak menimbulkan demand shock, terutama bagi keluarga muda dan pelaku UMKM yang tengah menanggung tekanan biaya hidup. Meski demikian, ia menegaskan ada konsekuensi fiskal yang tak bisa diabaikan.

“Risikonya adalah hilangnya momentum untuk memperluas basis penerimaan negara serta mendorong perubahan perilaku konsumsi,” katanya.

Rizal juga mengingatkan perlunya fase transisi yang nyata, mulai dari sosialisasi, insentif terhadap produk ramah lingkungan, hingga dukungan bagi UMKM produsen barang substitusi. Tanpa itu, penundaan dikhawatirkan menjadi pembatalan permanen dan gagal memberikan dorongan reformasi fiskal.

Ia menuturkan bahwa jika kelak cukai diberlakukan tanpa mitigasi, beban terbesar akan dirasakan keluarga muda dan kelompok berpenghasilan rendah karena popok dan tisu basah merupakan kebutuhan rumah tangga esensial. Desain tarif yang tidak hati-hati berpotensi menekan konsumsi kelompok menengah bawah dan memicu pergeseran ke produk murah yang tidak memenuhi standar.

Dari sisi industri, kebijakan cukai berpotensi menggerus margin produsen serta memicu peredaran barang substitusi yang tidak terjamin kualitasnya. Dari aspek keadilan fiskal, Rizal menilai kebijakan ini cenderung regresif lantaran beban paling besar ditanggung kelompok berpendapatan rendah.

Wacana ekstensifikasi cukai ini sebelumnya tercantum dalam PMK 70/2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029, yang membuka ruang penambahan Barang Kena Cukai (BKC) baru seperti popok sekali pakai, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah. Pemerintah juga mengkaji potensi cukai untuk produk plastik dan pangan olahan bernatrium sebagai strategi menambah penerimaan tanpa langsung menaikkan pajak utama.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa cukai popok dan tisu belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Ia menyebut pemerintah tetap memegang prinsip untuk tidak menambah beban pajak sebelum ekonomi benar-benar stabil.

“Sebelum ekonominya stabil, saya tidak akan menambah pajak tambahan dulu. Ketika ekonominya tumbuh 6 persen atau lebih, baru kita pikirkan pajak-pajak tambahan,” ujar Purbaya di Jakarta, Jumat (14/11/2025). (alf)

Analis Global Ingatkan Risiko Fiskal di Balik Percepatan Mandatori Biodiesel B50

IKPI, Jakarta: Percepatan rencana pemerintah untuk menerapkan mandatori biodiesel B50 menjadi sorotan para analis global. Di tengah ambisi memperkuat kemandirian energi, langkah menuju B50 dinilai dapat menimbulkan tekanan besar terhadap stabilitas fiskal, ekspor, dan industri sawit sebagai komoditas utama Indonesia.

Managing Director Glenauk Economics, Julian Conway McGill, dalam wawancara eksklusif di sela Indonesia Palm Oil Conference (POC) 2025 di BICC The Westin, Nusa Dua, menyebut transisi cepat dari B30 ke B40 dan kini menuju B50 telah menciptakan ekspektasi pasar yang tidak proporsional.

“Program biodiesel Indonesia terlalu berhasil,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).

Menurut McGill, keberhasilan itu membuat pasar mengasumsikan permintaan biodiesel akan terus melesat sehingga harga CPO bertahan tinggi, bahkan sebelum kebijakan benar-benar diterapkan. Padahal, kondisi ini terjadi saat harga solar global tengah rendah sehingga memperlebar spread CPO–solar, yang merupakan komponen biaya terbesar dalam produksi biodiesel.

Ia menilai pembiayaan B40 saja sudah berat—apalagi B50. Kenaikan levy ekspor dinilai hampir tak terhindarkan, namun kebijakan itu dapat menggerus daya saing ekspor serta menahan minat investor, terutama ketika produktivitas sawit Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Kompleksitas legalitas lahan dan tingginya pungutan disebut membuat investor enggan melakukan ekspansi.

“Tidak ada sektor pertanian bisa meningkatkan produktivitas jika harga terus ditekan oleh pajak,” tegasnya.

McGill juga mengingatkan potensi siklus risiko: produksi stagnan, konsumsi biodiesel meningkat, ekspor melemah, penerimaan levy menurun, dan pada akhirnya pungutan kembali naik. Siklus ini, katanya, sangat membebani negara pengimpor besar seperti India dan Pakistan. Sementara itu, Tiongkok dan Eropa menghadapi kelebihan pasokan kedelai serta regulasi yang makin ketat, membuat posisi sawit kian tertekan di pasar global.

Dari perspektif industri, McGill menilai kapasitas produksi biodiesel nasional belum sepenuhnya siap untuk memenuhi kebutuhan B50 sehingga investasi tambahan tetap diperlukan. Ia mengakui kemampuan teknis Indonesia sudah terbukti kuat—B10 yang dulu dianggap mustahil kini meningkat hingga B40. Namun, percepatan menuju B50 bukanlah keputusan yang tepat tanpa pertimbangan mendalam.

“Pertanyaannya bukan apakah Indonesia bisa, tetapi apakah ini saat yang tepat,” ujarnya.

Sebagai solusi, McGill mendorong penerapan mandatori fleksibel ala Brasil, di mana serapan biodiesel disesuaikan dengan fluktuasi harga CPO dan solar. Mekanisme ini dinilai dapat mengoptimalkan anggaran dan menjaga stabilitas industri.

“Dengan timing yang tepat, Indonesia bisa memperoleh empat kali lebih banyak biodiesel dengan biaya yang sama,” jelasnya. (alf)

Ekonomi 2026 Diprediksi Melesat, Menkeu Purbaya Tegaskan Kebijakan Fiskal Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan optimisme kuat terhadap prospek ekonomi Indonesia pada 2026. Ia meyakini pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan bisa menembus kisaran 6%, ditopang kebijakan pemerintah yang dinilai konsisten menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi.

Keyakinan itu disampaikan Purbaya di sela acara Run for Good Journalism, Minggu (16/11/2025). Menurutnya, dengan langkah fiskal yang terukur dan keberlanjutan kebijakan pemerintah, Indonesia tengah berada pada jalur yang benar.

“Saya perkirakan akan tumbuh lebih cepat lagi, mungkin di kisaran 6%. Kalau kebijakan yang sekarang dijalankan terus dengan baik, kita berada di arah yang benar,” ujarnya.

Tren Pertumbuhan Menguat Menjelang Akhir 2025

Untuk kuartal IV 2025, Purbaya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6–5,7%, meningkat dari realisasi kuartal III sebesar 5,04%. Ia menilai momentum pertumbuhan mulai kembali menguat setelah sebelumnya dikhawatirkan melambat.

“Tadinya akan turun ke bawah, tetapi kita sudah balik ke arah yang lebih cepat lagi,” katanya.

Menurut Purbaya, penguatan permintaan domestik dan stabilitas harga menjadi faktor penting yang membuat ekonomi kembali bergerak lebih lincah.

Di tengah proyeksi pertumbuhan yang menggembirakan, Purbaya menegaskan bahwa fondasi fiskal Indonesia tetap dijaga ketat. Pemerintah memastikan defisit APBN tetap berada di bawah batas 3% sesuai amanat undang-undang.

“Defisitnya masih aman, kita jaga di bawah 3%. Jadi enggak usah takut saya melanggar prinsip kehati-hatian pengelolaan fiskal,” tegasnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas, memastikan likuiditas, dan mendorong aktivitas ekonomi tanpa mengorbankan kesehatan APBN.

Luruskan Persepsi Soal Dana Rp200 Triliun di Perbankan

Purbaya juga menepis persepsi publik bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di perbankan sama dengan pencetakan uang baru. Ia memastikan dana tersebut bukan tambahan likuiditas yang bersumber dari pencetakan uang, melainkan penempatan sementara yang tetap sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah.

“Saya keluarin Rp200 triliun ke perbankan, itu enggak ada uang baru sebetulnya. Itu uangnya cuma dipinjam saja ke bank, masih punya saya. Jadi aman, masih kaya,” ujarnya berseloroh.

Purbaya menekankan bahwa optimisme pemerintah terhadap ekonomi 2026 bukan tanpa dasar. Deretan indikator pertumbuhan, stabilitas fiskal, hingga ruang kebijakan yang tetap terjaga menjadi alasan kuat untuk melihat masa depan ekonomi dengan percaya diri.

Namun, ia menegaskan bahwa seluruh kebijakan tetap dibingkai dalam prinsip kehati-hatian agar ruang fiskal Indonesia tetap sehat di tengah dinamika global. (alf)

Purbaya Tanggapi Permintaan Relaksasi Pajak untuk Media: “Pers Harus Kembali Tajam Mengkritik”

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka suara menanggapi usulan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) yang mendorong adanya relaksasi pajak bagi industri media melalui inisiatif “No Tax for Knowledge”. Usulan itu disampaikan Ketua Forum Pemred Retno Pinasti seusai acara Run for Good Journalism 2025 di Jakarta, Minggu (16/11/2025).

Purbaya mengatakan dirinya memahami kesulitan bisnis yang kini dialami media. Menurutnya, pemerintah mendengarkan aspirasi tersebut dan terbuka terhadap pembahasan lanjutan. Namun, ia menyelipkan pesan keras mengenai peran kritis pers dalam menjaga kehidupan ekonomi dan publik.

“Para pemred mengeluh bisnis jurnalisme lagi turun. Saya bilang, itu karena Anda kemarin-kemarin kurang banyak protes. Ketika ekonomi jatuh, Anda diam saja,” ujar Purbaya.

Ia menegaskan bahwa media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Karena itu, kritik yang konstruktif diperlukan agar ekonomi tidak kembali terperosok akibat kebijakan yang salah arah.

“Ke depan mesti kritik, kasih masukan, supaya ekonomi kita tidak jatuh lagi,” tegasnya.

Sebelumnya, Retno menjelaskan bahwa inisiatif “No Tax for Knowledge” didorong agar lembaga jurnalistik berkualitas bisa tetap bertahan di tengah tekanan finansial. Menurutnya, pengurangan beban pajak akan membantu media menjaga kualitas informasi dan edukasi bagi masyarakat.

Purbaya memastikan bahwa pemerintah mendengar aspirasi tersebut. Namun ia menegaskan bahwa keberpihakan terhadap industri media harus dibarengi dengan komitmen kuat pers untuk menjalankan fungsi kontrol sosial. (alf)

en_US