Amazon Tak Lagi Jadi Pemungut PPN Digital, DJP Jelaskan Alasannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi mencabut penunjukan Amazon Services Europe S.a.r.l sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Kebijakan ini mulai berlaku efektif sejak 3 November 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa pencabutan tersebut dilakukan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh.

Menurutnya, Amazon Services tidak lagi memenuhi syarat sebagai badan usaha yang wajib ditunjuk memungut PPN PMSE.

“Pencabutan status Amazon Services Europe S.a.r.l. sebagai pemungut PPN PMSE dilakukan karena yang bersangkutan tidak lagi memenuhi kriteria yang telah ditentukan,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025).

Ini Kriterianya

DJP menetapkan beberapa parameter dalam penunjukan pemungut PPN digital. Di antaranya:

• nilai transaksi pemanfaatan barang/jasa digital di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta per bulan; dan/atau

• jumlah trafik pengguna di Indonesia melampaui 12.000 pengakses dalam setahun atau 1.000 pengakses per bulan.

Jika kriteria tersebut tak lagi terpenuhi, perusahaan dapat dicabut penunjukannya — seperti yang terjadi pada Amazon Services Europe S.a.r.l.

Jumlah Pemungut Terus Bertambah

Hingga November 2025, DJP mencatat 254 perusahaan telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Terbaru, ada tiga nama yang bergabung:

• International Bureau of Fiscal Documentation

• Bespin Global

• OpenAI OpCo LLC

Dari total penunjukan tersebut, 215 entitas telah aktif memungut dan menyetor PPN dengan kontribusi kumulatif mencapai Rp34,54 triliun.

Setoran itu terdiri atas:

• Rp731,4 miliar (2020)

• Rp3,9 triliun (2021)

• Rp5,51 triliun (2022)

• Rp6,76 triliun (2023)

• Rp8,44 triliun (2024)

• Rp9,19 triliun sepanjang 2025

Sinyal Kuat dari Ekonomi Digital

Rosmauli menilai, masuknya perusahaan teknologi global termasuk yang bergerak di bidang kecerdasan buatan menunjukkan potensi ekonomi digital yang semakin besar bagi negara.

“Penunjukan pemungut PPN PMSE pada perusahaan yang bergerak di bidang artificial intelligence menunjukkan bahwa ekonomi digital semakin memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya dalam mendukung penerimaan negara,” kata dia.

Dengan langkah evaluasi berkala ini, DJP berharap mekanisme pemungutan PPN digital tetap adil, relevan, dan mampu menjaga level playing field antara pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri. (alf)

Aktivasi Coretax Capai 10,22 Juta Pengguna, DJP Minta Wajib Pajak Jangan Menunggu Akhir Batas Waktu

IKPI, Jakarta: Menjelang penutup 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan aktivasi akun Coretax. Hingga 30 Desember 2025 pukul 12.52 WIB, sistem perpajakan terpadu tersebut telah diaktifkan oleh 10,22 juta pengguna.

Sebagian besar merupakan wajib pajak orang pribadi dengan 9.332.720 akun. Di belakangnya, terdapat 805.607 akun milik wajib pajak badan. Aktivasi juga dilakukan oleh 88.208 instansi pemerintah, serta 221 penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

DJP menilai perkembangan ini menunjukkan semakin banyak wajib pajak yang mulai berpindah ke layanan digital untuk mengurus administrasi perpajakannya.

Coretax jadi pusat layanan pajak

Coretax dirancang sebagai sistem yang menyatukan berbagai proses pajak dalam satu platform. Melalui sistem ini, DJP berharap pelayanan menjadi lebih sederhana, transparan, dan mudah diawasi.

Mulai tahun pajak 2025, seluruh administrasi perpajakan diarahkan menggunakan Coretax yang terhubung dengan pajak.go.id — termasuk pelaporan SPT Tahunan 2025 yang akan disampaikan pada 2026.

• Wajib pajak orang pribadi: batas pelaporan sampai Maret 2026

• Wajib pajak badan: tenggat hingga April 2026

DJP mengingatkan, menunda aktivasi hingga mendekati batas akhir berisiko menimbulkan antrean dan kendala teknis.

Tiga hal yang harus disiapkan

Mengacu pada panduan resmi DJP, wajib pajak diminta menuntaskan tiga langkah berikut:

1. Aktivasi akun Coretax menggunakan NPWP, email, dan nomor ponsel yang terdaftar, lalu mengganti kata sandi serta membuat passphrase.

2. Membuat Kode Otorisasi DJP (KO DJP) yang berfungsi sebagai tanda tangan elektronik untuk dokumen pajak.

3. Memastikan KO DJP berstatus “VALID”, karena tanpa status tersebut dokumen belum dianggap sah secara digital.

Jika ketiga tahapan selesai, wajib pajak dapat mengakses layanan pajak secara terpusat dengan keamanan data yang lebih terjaga.

Bagi mereka yang masih kesulitan, DJP menyediakan bantuan melalui kantor pelayanan pajak, Kring Pajak, serta kanal resmi lain yang telah disiapkan. DJP mendorong wajib pajak melakukan aktivasi lebih awal agar lebih siap menghadapi masa pelaporan SPT pada 2026. (alf)

DJP Sampaikan Imbauan Aktivasi Akun Coretax dan Pembuatan KO/SE

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan imbauan kepada masyarakat terkait batas waktu aktivasi akun Coretax serta pembuatan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik (KO/SE). Imbauan ini disampaikan karena meningkatnya kunjungan masyarakat ke kantor pajak untuk keperluan tersebut.

Dalam Pengumuman Nomor PENG-54/PJ.09/2025, Senin 29 Desember 2025, DJP menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktivasi akun dan pembuatan KO/SE dapat dilakukan sebelum Wajib Pajak menggunakan layanan perpajakan berbasis Coretax. Langkah percepatan ini bertujuan menghindari penumpukan proses pada periode pelaporan SPT Tahunan  .

DJP menyebutkan, Wajib Pajak dapat melakukan aktivasi akun dan pembuatan KO/SE secara mandiri dengan mengikuti panduan resmi melalui situs pajak.go.id, akun media sosial DJP, serta tautan khusus di t.kemenkeu.go.id/akuncoretax  .

Bagi Wajib Pajak yang mengalami kendala teknis atau membutuhkan pendampingan khususnya karena adanya perubahan data DJP mengimbau agar pengaturan waktu kedatangan ke kantor pajak dilakukan secara bijak, sehingga pelayanan tetap berjalan lancar dan antrean dapat dikelola dengan baik  .

DJP menegaskan bahwa seluruh layanan perpajakan di kantor pajak tidak dipungut biaya. Masyarakat diminta tidak menggunakan jasa perantara atau calo, dan tetap waspada terhadap berbagai bentuk penipuan yang mengatasnamakan petugas pajak atau menjanjikan percepatan layanan dengan imbalan tertentu. (bl)

Asosiasi Tekstil Minta Pemerintah Perjuangkan Tarif Ekspor Lebih Ringan ke AS

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong pemerintah agar negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat (AS) tidak hanya menguntungkan komoditas berbasis sumber daya alam, tetapi juga memberi napas lega bagi industri garmen dan tekstil. Organisasi ini berharap tarif untuk sektor padat karya tersebut bisa ditekan hingga di bawah 19 persen, bahkan jika memungkinkan menjadi nol persen.

Pembahasan tarif resiprokal Indonesia–AS dikabarkan hampir selesai. Namun dalam rancangan yang beredar, fasilitas tarif nol persen hanya diberikan pada komoditas tropis, sedangkan produk manufaktur masih akan dikenakan bea masuk tinggi.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/12/2025) mengingatkan, pemerintah memiliki tanggung jawab menjaga keberlangsungan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja.

Menurutnya, jika hanya sektor agro yang mendapat perlindungan tarif, sementara industri padat karya tetap menanggung beban besar, tujuan pembangunan tidak akan tercapai secara merata.

Jemmy menilai momentum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat daya saing industri. Pasar AS yang selama ini menjadi tujuan ekspor utama tekstil nasional, kata dia, semestinya diperlakukan sebagai prioritas.

Bersaing di Tengah Biaya Produksi yang Mahal

API mencermati bahwa tarif AS untuk produk tekstil Indonesia saat ini setara 19 persen. Angka itu mirip dengan Kamboja, Malaysia, dan Thailand; sementara Vietnam berada di kisaran 20 persen, dan Laos serta Myanmar jauh lebih tinggi.

Walau kebijakan tarif resiprokal AS terlihat memberikan sedikit kelonggaran, faktanya pelaku usaha Indonesia masih menghadapi biaya lain yang tidak kecil: logistik yang mahal, harga energi yang tinggi, kenaikan upah, hingga bunga kredit perbankan.

Kondisi tersebut membuat biaya produksi nasional masih kalah kompetitif dibandingkan sejumlah negara pesaing di Asia.

Usulkan Skema Imbal Balik Kapas AS

Sebagai solusi, API mengajukan skema kerja sama: Indonesia meningkatkan impor kapas dari AS, lalu produk yang berbahan baku tersebut ketika diekspor kembali ke pasar AS memperoleh tarif preferensial.

Melalui skema ini, API berharap tarif ekspor untuk garmen dan tekstil bisa ditekan signifikan, sekaligus mendorong investasi, menjaga lapangan kerja, dan menambah penerimaan negara.

Jemmy menegaskan, perjuangan ini bukan semata-mata untuk kepentingan pelaku usaha, melainkan untuk memastikan jutaan pekerja di sektor tekstil tetap terlindungi. (alf)

MA Keluarkan PERMA 3/2025: Atur Lengkap Cara Menangani Perkara Pidana Pajak

IKPI, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) resmi menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2025 tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana perpajakan. Aturan ini diteken pada 10 Desember 2025 dan mulai berlaku 23 Desember 2025.

Kehadiran PERMA ini dimaksudkan untuk menyatukan pola penanganan perkara pajak pidana di seluruh pengadilan, menghindari perbedaan tafsir antar hakim, sekaligus memastikan kerugian negara bisa dipulihkan secara maksimal.

Siapa Bisa Dimintai Pertanggungjawaban?

PERMA 3/2025 menegaskan bahwa orang pribadi maupun korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban bila terlibat dalam tindak pidana pajak — baik karena sengaja maupun lalai.

Tanggung jawab pidana dapat dikenakan kepada:

• pihak yang menyuruh atau ikut melakukan,

• pihak yang membantu atau menganjurkan,

• serta pihak yang menikmati manfaat dari kejahatan pajak.

Untuk korporasi, tanggung jawab tidak hanya berhenti pada direksi. Pengendali, pemilik manfaat, hingga pihak yang tidak tercatat dalam struktur tetapi memiliki kendali nyata juga bisa dimintai pertanggungjawaban. Bahkan, korporasi tetap dapat diproses meski pengurusnya sudah berhenti, pailit, atau perusahaan dibubarkan. Penjatuhan hukuman dilakukan sesuai porsi peran masing-masing.

Administratif Tidak Jadi Tahap Wajib Sebelum Pidana

Salah satu poin penting dalam aturan ini adalah pemisahan yang tegas antara pelanggaran administratif dan pidana.

Artinya:

• pelanggaran kewajiban administrasi → diselesaikan secara administrasi,

• tindak pidana perpajakan → langsung diproses secara pidana.

Pemeriksaan bukti permulaan tidak dianggap tindakan paksa selama ada persetujuan pihak yang diperiksa. Namun bila wajib pajak menolak, pemeriksa dapat menyimpulkan sudah ada bukti permulaan yang cukup dan perkara dapat naik ke penyidikan.

Pemblokiran dan Penyitaan Aset Dipertegas

Penyidik diberi ruang untuk memblokir dan menyita aset dalam rangka pembuktian maupun pemulihan kerugian negara.

• Untuk pembuktian, penyitaan bisa dilakukan meskipun belum ada tersangka.

• Untuk pemulihan, penyitaan dilakukan setelah ada penetapan tersangka.

Langkah ini ditujukan agar aset terkait perkara tidak berpindah tangan atau hilang sebelum proses hukum selesai.

Masih Bisa Bayar Pajak Saat Proses Berjalan

Terdakwa tetap diperbolehkan melunasi pokok pajak dan sanksi administratif pada beberapa tahapan, mulai dari penyidikan hingga sebelum putusan dibacakan.

Namun, ketika hakim menyatakan bersalah, pidana denda tetap dijatuhkan, dan jumlahnya akan diperhitungkan dengan pembayaran yang sudah dilakukan.

Denda Tidak Bisa Diganti Kurungan

PERMA 3/2025 menegaskan bahwa denda dalam perkara pajak wajib dibayar dan tidak bisa diganti hukuman kurungan. Jika denda tidak dibayar dalam 1 bulan setelah putusan, jaksa dapat menyita dan melelang harta terpidana.

Aturan Transisi

Aturan-aturan lama MA terkait pidana pajak masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PERMA baru ini. Sementara perkara yang sudah berjalan tetap diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelumnya sampai berkekuatan hukum tetap. (alf)

Kadin DKI: Bea Cukai Soekarno-Hatta Jadi Penentu Kelancaran Ekspor-Impor

IKPI, Jaarta: Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta menilai peran Bea Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta kian strategis sebagai penggerak arus ekspor-impor nasional sekaligus penjaga kelancaran sistem logistik Indonesia.

Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi, menegaskan bahwa dunia usaha sangat bergantung pada kualitas pelayanan kepabeanan di pintu gerbang udara terbesar di Tanah Air tersebut.

“Bea Cukai Soekarno-Hatta memegang posisi krusial bagi pelaku ekspor dan impor yang membutuhkan kecepatan layanan, kepastian prosedur, serta kepatuhan terhadap regulasi,” ujarnya di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Diana, fungsi Bea Cukai di Soekarno-Hatta tidak hanya mengumpulkan penerimaan negara, tetapi juga menjadi fasilitator perdagangan dan pelindung industri. Peran itu dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan bisnis, baik yang menyasar pasar domestik maupun internasional.

Ia menambahkan, setiap langkah perbaikan layanan kepabeanan di bandara tersebut akan langsung berdampak pada rantai pasok, biaya logistik, hingga daya saing perusahaan.

Kadin DKI mencatat, meningkatnya volume perdagangan global, perubahan regulasi internasional, serta tuntutan efisiensi biaya dan waktu menjadi tantangan yang harus dijawab melalui sistem yang semakin andal dan konsisten.

“Penguatan teknologi, kepastian kebijakan, dan kolaborasi yang nyata antara pemerintah dan dunia usaha adalah kunci agar arus barang tetap lancar,” ujar Diana.

Instrumen Kedaulatan Ekonomi

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Bidang Transportasi, Logistik, dan Kepelabuhanan, Adrian Dwitomo, menekankan bahwa Bea Cukai tidak semestinya dipandang sebatas institusi administratif.

“Bea cukai adalah instrumen negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi. Tantangan kinerja harus dijawab lewat digitalisasi, perbaikan sistem, dan sinergi dengan pelaku usaha bukan dengan mengalihkan fungsi strategis ke pihak lain,” tegasnya.

Adrian menilai masih banyak pekerjaan yang perlu diprioritaskan, mulai dari penyempurnaan fasilitas kepabeanan, perlindungan industri nasional, peningkatan iklim investasi, hingga edukasi berkelanjutan bagi pelaku usaha mengenai aturan kepabeanan.

Dorong Layanan yang Lebih Efisien

Kadin DKI Jakarta menyatakan siap memperkuat kerja sama dengan pemerintah dan Bea Cukai melalui dialog rutin serta pemberian masukan dari dunia usaha.

Upaya tersebut diharapkan mampu menghadirkan layanan yang lebih efisien, transparan, dan berdaya saing sekaligus memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat perdagangan dan logistik nasional.

“Logistik yang kuat lahir dari kolaborasi, bukan saling menyalahkan. Ketika Bea Cukai solid dan didukung dunia usaha, ekonomi nasional akan bergerak lebih cepat,” kata Adrian. (alf)

Pajak Kripto Tembus Rp1,55 Triliun, Jadi Penopang Baru Penerimaan Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari transaksi aset kripto terus menunjukkan tren positif. Sejak pertama kali dipungut pada 2022 hingga akhir November 2025, totalnya sudah mencapai sekitar Rp1,55 triliun.

Angka tersebut memberi kontribusi sekitar 4,06% terhadap keseluruhan penerimaan pajak sektor ekonomi digital sejak 2020, yang kini telah menembus Rp44,55 triliun.

“Penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp1,81 triliun sampai dengan November 2025,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan resmi, Senin (29/12/2025).

Naik–turun, lalu melesat

Jika dirinci per tahun, penerimaan pajak kripto mencerminkan dinamika pasar aset digital:

• 2022 (tahun pertama pemungutan): Rp246,4 miliar

• 2023: turun menjadi Rp220,8 miliar

• 2024: melonjak ke Rp620,4 miliar

• 2025: kembali meningkat menjadi Rp719,6 miliar

Lompatan pada dua tahun terakhir menunjukkan aktivitas transaksi kripto yang kembali bergairah, seiring penyesuaian kebijakan dan membaiknya minat investor.

Payung hukum dan skema pungutan

Penguatan pajak kripto berawal dari PMK No. 68/PMK.03/2022, yang menjadi tonggak pertama pengenaan pajak atas transaksi aset digital tersebut.

Saat ini, penerimaan pajak kripto terdiri dari:

• PPh Pasal 22 Final: Rp730,41 miliar

• PPN Dalam Negeri: Rp819,94 miliar

Selanjutnya, pemerintah memperbarui kebijakan melalui PMK No. 50 Tahun 2025 sebagai tindak lanjut perubahan status aset kripto dalam UU P2SK, dari komoditas menjadi aset keuangan digital.

Melalui aturan baru tersebut, tarif PPh Pasal 22 Final ditetapkan 0,21% untuk transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, dan 1% untuk transaksi yang dilakukan lewat PPMSE luar negeri.

Konsisten memberi kontribusi

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebelumnya menyebut penerimaan pajak kripto rata-rata sudah berada di kisaran Rp500–600 miliar per tahun sejak kebijakan diberlakukan.

Menurutnya, tren tersebut menegaskan bahwa regulasi pajak kripto tidak hanya memperluas basis pajak, tetapi juga memberi kepastian bagi pelaku pasar.

“Dalam dua hingga tiga tahun sejak pengenalan, penerimaan terus tumbuh,” ujarnya.

Meski kontribusinya masih relatif kecil dibanding sektor lain, pajak kripto kini menjadi salah satu sumber baru penerimaan negara dari ekonomi digital.

Tantangannya ke depan adalah memastikan kepatuhan pelaku transaksi, sinkronisasi data dengan platform perdagangan, serta menjaga keseimbangan antara perlindungan investor dan keberlanjutan penerimaan negara. (alf)

Tiga Pemain Baru Masuk Daftar Pemungut PPN Digital, Total Penunjukan DJP Capai 254 Perusahaan

IKPI, Jakarta: Upaya pemerintah memperkuat penerimaan pajak di sektor digital kembali bertambah kuat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi menunjuk tiga perusahaan baru sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Ketiga perusahaan tersebut adalah:

• International Bureau of Fiscal Documentation

• Bespin Global

• OpenAI OpCo LLC

Dengan penunjukan ini, jumlah pemungut PPN PMSE yang terdaftar hingga November 2025 meningkat menjadi 254 perusahaan. Namun, DJP juga melakukan penataan data dengan mencabut penunjukan Amazon Services Europe S.a.r.l.

“Bersamaan dengan itu, pemerintah juga melakukan satu pencabutan data pemungut PPN PMSE,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Senin (29/12/2025).

Ekosistem Digital Kian Tertib Pajak

DJP menilai, bertambahnya penunjukan menunjukkan makin luasnya kepatuhan pelaku usaha digital global terhadap ketentuan perpajakan di Indonesia.

Dari seluruh pemungut yang telah ditunjuk, 215 perusahaan telah aktif memungut dan menyetor PPN PMSE. Hingga November 2025, total setoran mencapai Rp34,54 triliun, dengan tren meningkat setiap tahun.

Penambahan pemungut PPN PMSE ini juga berkontribusi pada total penerimaan pajak ekonomi digital yang menembus Rp44,55 triliun, termasuk pajak kripto, pajak fintech, dan pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Rosmauli menegaskan, kebijakan ini bukan semata menambah daftar perusahaan, tetapi memastikan aktivitas perdagangan digital di Indonesia berjalan adil dan setara dengan sektor konvensional.

“Realisasi penerimaan pajak digital yang mencapai Rp44,55 triliun mencerminkan semakin besarnya kontribusi ekonomi digital terhadap penerimaan negara,” ujarnya. (alf)

Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp 44,55 Triliun, Lampaui Setoran Tahun Lalu

IKPI, Jakarta: Kontribusi ekonomi digital terhadap kantong negara terus menanjak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan, hingga 30 November 2025, penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp 44,55 triliun jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi sepanjang 2024 yang sebesar Rp 32,32 triliun.

Lonjakan tersebut terutama ditopang oleh beberapa pos pajak. Penerimaan terbesar datang dari pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik (PPN PMSE) yang menembus Rp 34,54 triliun. Di bawahnya menyusul pajak atas aset kripto sebesar Rp 1,81 triliun, serta pajak fintech (peer to peer lending) yang mencapai Rp 4,27 triliun. Adapun pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) menyumbang tambahan Rp 3,94 triliun.

“Capaian ini menggambarkan kian besarnya peran ekonomi digital dalam menopang penerimaan negara,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan resmi, Senin (29/12/2025).

254 Perusahaan Jadi Pemungut PPN PMSE

Pemerintah hingga kini telah menunjuk 254 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE. Pada November 2025, tiga entitas kembali ditambahkan ke daftar, yakni International Bureau of Fiscal Documentation, Bespin Global, serta OpenAI OpCo, LLC. Di saat yang sama, penunjukan terhadap Amazon Services Europe S.a.r.l dicabut.

Dari seluruh pemungut yang telah ditetapkan, 215 perusahaan tercatat aktif memungut dan menyetor PPN PMSE. Total setoran sejak kebijakan ini berjalan mencapai Rp 34,54 triliun, dengan rincian:

• 2020: Rp 731,4 miliar

• 2021: Rp 3,9 triliun

• 2022: Rp 5,51 triliun

• 2023: Rp 6,76 triliun

• 2024: Rp 8,44 triliun

• 2025 (hingga November): Rp 9,19 triliun

Menurut Rosmauli, penunjukan pemungut dari perusahaan berbasis artificial intelligence (AI) menegaskan bahwa transformasi digital tidak hanya mendorong aktivitas ekonomi, tetapi juga memberi nilai tambah bagi penerimaan negara.

Pajak Kripto dan Fintech Terus Menguat

Di sisi lain, pajak dari transaksi aset kripto hingga November 2025 telah mengumpulkan Rp 1,81 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari:

• 2022: Rp 246,45 miliar

• 2023: Rp 220,83 miliar

• 2024: Rp 620,4 miliar

• 2025: Rp 719,61 miliar

Struktur penerimaannya terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 932,06 miliar, dan PPN Dalam Negeri sebesar Rp 875,23 miliar.

Pajak dari sektor fintech tidak kalah signifikan. Hingga November 2025, setoran pajak fintech membukukan Rp 4,27 triliun, terdiri atas:

• 2022: Rp 446,39 miliar

• 2023: Rp 1,11 triliun

• 2024: Rp 1,48 triliun

• 2025: Rp 1,24 triliun

Penerimaan tersebut mencakup PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman untuk WPDN dan BUT sebesar Rp 1,17 triliun, PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman untuk WPLN sebesar Rp 724,5 miliar, serta PPN Dalam Negeri dari setoran masa sebesar Rp 2,37 triliun.

Kontribusi Tambahan dari Pajak SIPP

Pelengkap lain berasal dari pajak yang dipungut lewat Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP), dengan realisasi Rp 3,94 triliun hingga November 2025. Angka tersebut berasal dari:

• 2022: Rp 402,38 miliar

• 2023: Rp 1,12 triliun

• 2024: Rp 1,33 triliun

• 2025: Rp 1,09 triliun

Struktur Pajak SIPP tersebut terdiri atas PPh Pasal 22 sebesar Rp 284,42 miliar dan PPN sebesar Rp 3,65 triliun.

Rangkaian capaian ini menunjukkan bahwa penguatan ekosistem digital mulai dari perdagangan daring, layanan keuangan berbasis teknologi, hingga aset kripto semakin memberi dampak nyata terhadap penerimaan negara. Ke depan, optimalisasi regulasi sekaligus peningkatan kepatuhan diharapkan dapat menjaga tren pertumbuhan tersebut tetap berkelanjutan. (alf)

Jepang Bakal Naikkan Pajak Turis Tiga Kali Lipat Mulai 2026

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang berencana menaikkan pajak yang dikenakan kepada seluruh wisatawan mancanegara mulai Juli 2026. Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus mengatasi tekanan fiskal yang terus meningkat.

Mengutip laporan sejumlah media Jepang, kebijakan tersebut nantinya juga akan dibarengi dengan rencana penambahan biaya pemeriksaan masuk pada periode berikutnya. Kebijakan ini mencuat seiring kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sanae Takahashi tengah menyiapkan anggaran terbesar dalam sejarah Jepang untuk tahun fiskal 2026, sementara beban utang nasional terus menanjak.

Saat ini, wisatawan yang keluar dari Jepang dikenakan pajak keberangkatan sebesar 1.000 yen per orang. Mulai 2026, jumlah itu diproyeksikan melonjak menjadi 3.000 yen, atau naik tiga kali lipat. Dengan kenaikan tersebut, pemerintah memperkirakan pemasukan bisa meningkat hingga 130 miliar yen pada tahun fiskal 2026–2027.

Pajak ini berlaku bagi semua penumpang berusia dua tahun ke atas yang meninggalkan Jepang melalui bandara maupun pelabuhan. Biaya akan otomatis masuk ke dalam harga tiket. Pengecualian hanya diberikan untuk awak kapal serta penumpang transit yang melanjutkan penerbangan dalam waktu 24 jam.

Pemerintah menegaskan, tambahan dana dari pajak turis akan diarahkan untuk membiayai berbagai kebutuhan sektor pariwisata: mulai dari peningkatan infrastruktur perjalanan, promosi destinasi di daerah, pengelolaan sampah di kawasan wisata, hingga upaya mengurangi kemacetan.

Di sisi lain, kebijakan ini juga dipandang sebagai cara Jepang menghadapi fenomena overtourism lonjakan kunjungan wisata yang kerap menimbulkan tekanan pada lingkungan, transportasi publik, dan warga setempat. (alf)

en_US