Dirjen Pajak Respons Fatwa MUI Soal PBB: Kebijakan Ada di Pemerintah Daerah

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, angkat bicara terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak atas bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dilakukan secara berulang. Menurutnya, kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat ini sudah berada sepenuhnya pada pemerintah daerah.

“PBB itu secara undang-undang sudah diserahkan ke daerah. Jadi soal kebijakan, tarif, kenaikan dasar, maupun pengenaan semuanya menjadi kewenangan daerah,” ujar Bimo saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Meski PBB berada di ranah pemda, Bimo memastikan pihaknya tidak menutup dialog dengan MUI. Ia menjelaskan, apa yang disoroti MUI lebih dekat dengan skema PBB-P2 atau PBB Perdesaan dan Perkotaan, bukan PBB sektor lainnya yang masih ditangani Direktorat Jenderal Pajak.

“Kami sebenarnya sudah berdiskusi sebelumnya dengan MUI. Nanti kita akan tabayun lagi karena yang dimaksud itu PBB-P2 — perdesaan, perkotaan, pemukiman — itu di daerah. Di DJP hanya PBB terkait kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan,” paparnya.

Fatwa MUI Soal Keadilan Pajak

Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan fatwa bertajuk Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang menjadi tempat tinggal tidak layak dikenai pajak berulang, terutama dalam konteks kenaikan PBB yang dinilai tidak proporsional hingga membuat masyarakat resah.

“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof Ni’am melalui situs resmi MUI.

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menambahkan, dalam perspektif hukum Islam, objek pajak seharusnya dikenakan terhadap harta yang produktif dan tidak tergolong kebutuhan pokok. Karena itu, pungutan terhadap sembako, rumah tinggal, serta tanah tempat dihuni dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan tujuan pajak.

Pemerintah dan MUI kini berada pada jalur dialog. DJP menegaskan dukungannya terhadap diskusi yang bertujuan menciptakan sistem pajak yang berkeadilan, seraya menekankan bahwa perubahan mekanisme dan tarif PBB membutuhkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemegang kewenangan.

Dengan meningkatnya sensitivitas publik terhadap kenaikan PBB, komunikasi regulatif antara pusat, daerah, dan lembaga keagamaan diperkirakan menjadi faktor penting untuk memastikan kebijakan perpajakan dapat diterima masyarakat tanpa menghilangkan fungsi penerimaan negara. (alf)

Kontribusi Pajak Sektor Pertambangan Turun ke 11,4%, DJP Soroti Tekanan di Subsektor Migas

IKPI, Jakarta: Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan perpajakan nasional mengalami penurunan pada Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyebutkan bahwa meski koreksinya tipis, pelemahan di sektor tersebut tetap menjadi perhatian pemerintah.

Bimo memaparkan bahwa penerimaan pajak dari sektor pertambangan per Oktober 2025 mencapai Rp205,7 triliun, turun 0,7% dibandingkan Rp207,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu membuat kontribusi sektor pertambangan melemah menjadi 11,4% terhadap total penerimaan pajak nasional.

“Kontribusi sektor pertambangan masih terbilang besar, namun memang mengalami penurunan ke angka 11,4%,” ujar Bimo, Senin (24/11/2025).

Migas Jadi Penyebab Terbesar

Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya subsektor minyak dan gas (migas). Kontribusi pajak subsektor tersebut terkoreksi 0,5% pada Oktober 2025. Dampaknya dipicu oleh penurunan harga minyak mentah dunia, di mana harga minyak jenis Brent turun sekitar 4%, sehingga memengaruhi kinerja perusahaan migas dan penerimaan pajaknya.

Selain itu, subsektor jasa penunjang pertambangan, nikel, dan batu bara juga mengalami perlambatan, meski tidak sedalam sektor migas. Di sisi lain, subsektor pertambangan nonmigas masih mampu tumbuh 2,2%, sehingga turut meredam penurunan secara keseluruhan.

Meski pertambangan melemah, kontribusi dari sektor ekonomi lainnya justru menunjukkan tren positif. Sektor pengolahan, yang menjadi penyumbang pajak terbesar secara nasional, tumbuh 2,3% hingga mencatatkan penerimaan Rp502,3 triliun per Oktober 2025. Sementara sektor aktivitas keuangan berhasil mencatatkan pertumbuhan 5,1% dengan nilai penerimaan mencapai Rp207,5 triliun.

Kenaikan dua sektor tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas penerimaan pajak di tengah perlambatan sektor pertambangan. (alf)

MUI Desak Evaluasi Pajak Progresif PKB dan PBB: Keadilan Wajib Pajak Harus Jadi Prioritas Negara

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa sistem perpajakan nasional harus diarahkan kembali pada prinsip keadilan dan kemampuan wajib pajak. Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan beban pajak progresif yang semakin tinggi telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan dapat menjauhkan sistem perpajakan dari tujuan kesejahteraan.

“MUI merekomendasikan agar beban perpajakan dikaji ulang, khususnya pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar,” ujar Asrorun dalam Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, pemerintah sering melakukan penyesuaian pajak tanpa analisis mendalam mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Ia menyoroti beberapa jenis pajak yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

“Kemendagri dan pemerintah daerah harus mengevaluasi aturan berbagai pajak yang sering kali dinaikkan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,” tegasnya.

Asrorun mengingatkan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat kepada negara, sehingga pemerintah harus memastikan bahwa wajib pajak tidak diperlakukan sebagai objek semata, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan.

Ia menambahkan, keadilan pajak bukan hanya soal tarif, tetapi juga penggunaan anggaran. Pemerintah diminta memperkuat pengelolaan kekayaan negara, dan memastikan penerimaan perpajakan kembali kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang nyata.

“Pemerintah harus mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak mafia pajak demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

MUI menekankan bahwa reformasi perpajakan bukan sekadar teknis fiskal, tetapi termasuk dimensi etika pengelolaan negara. Ketika kepercayaan publik terbangun melalui penggunaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran, kepatuhan pajak akan meningkat secara alami. (alf)

Pajak Daerah: MUI Tegaskan PBB dan Pajak Hunian Tak Boleh Bebani Kebutuhan Pokok

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pajak berkeadilan dalam Munas XI untuk menegaskan batasan moral dan etis dalam memungut pajak, terutama setelah banyak masyarakat mengeluhkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tagihan pajak hunian. Fatwa ini menjadi sinyal kuat agar kebijakan fiskal nasional tidak membebani kebutuhan pokok rakyat.

Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa pengenaan pajak tidak boleh dikenakan kepada sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Hal itu termasuk sembako, rumah tinggal, serta tanah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga.

“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang kita huni, tidak mencerminkan keadilan dan tujuan pajak,” kata Asrorun, pada Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dalam perspektif syariat Islam, pajak hanya dipungut dari pihak yang memiliki kemampuan finansial. Ia menambahkan bahwa kemampuan ini dapat dianalogikan dengan ketentuan nisab zakat, yakni kepemilikan kekayaan setara dengan 85 gram emas. Standar tersebut dinilai dapat menjadi rujukan filosofis ketika pemerintah menentukan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau kriteria objek pajak.

Ia menegaskan bahwa fatwa tersebut bukan dimaksudkan untuk mendorong penolakan pembayaran pajak, melainkan mengharapkan penyempurnaan tata kelola perpajakan agar tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan masyarakat dan konstitusi.

“Masyarakat tetap wajib menaati pembayaran pajak bila digunakan untuk kemaslahatan umum,” ujarnya.

Melalui fatwa ini, MUI mendesak pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berpotensi tidak berkeadilan. Ia menyebut perlunya penyelarasan antara regulasi fiskal dan nilai kemaslahatan, termasuk mekanisme perlindungan bagi masyarakat menengah ke bawah dari potensi beban pajak yang berlebihan.

Selain fatwa pajak berkeadilan, Munas XI juga menghasilkan beberapa fatwa lain, di antaranya ketentuan mengenai rekening bank dormant, status saldo pada kartu elektronik yang hilang atau rusak, pedoman pengelolaan sampah di perairan untuk kemaslahatan publik, serta fatwa mengenai manfaat asuransi kematian dalam Asuransi Jiwa Syariah.

Kelima fatwa tersebut memperlihatkan komitmen MUI untuk merespons isu-isu sosial kontemporer melalui perspektif syariat dan kemaslahatan publik. (alf)

Fatwa MUI: Zakat Dapat Jadi Pengurang Kewajiban Pajak Umat Islam

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa baru yang mempertegas hubungan antara kewajiban zakat dan sistem perpajakan nasional. Melalui keputusan yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025), MUI menetapkan bahwa zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak kepada negara.

“Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam.

Asrorun menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan terobosan dalam konsep perpajakan nasional. Menurutnya, umat Islam yang telah menjalankan kewajiban keagamaan melalui pembayaran zakat seharusnya mendapatkan pengakuan dalam sistem fiskal negara.

“Ini terobosan baru untuk menjamin keadilan partisipatif. Masyarakat Muslim yang sudah berkontribusi melalui zakat semestinya mendapatkan pengurangan ketika memenuhi kewajiban pajaknya,” jelasnya.

Dalam ajaran Islam, zakat merupakan kewajiban moral dan hukum bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat harta. Dana zakat disalurkan kepada pihak yang berhak (mustahik), seperti fakir, miskin, dan kelompok penerima lainnya sesuai syariat.

Melalui fatwa tersebut, nilai zakat yang dibayarkan umat Islam akan dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak, sehingga pembayaran zakat dan pajak tidak lagi dipandang sebagai beban ganda.

Rekomendasi untuk Pemerintah

MUI juga mengharapkan fatwa ini menjadi rujukan kebijakan bagi pemerintah, khususnya dalam penyempurnaan regulasi perpajakan agar selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Asrorun menilai, arah kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berorientasi pada peningkatan kemakmuran rakyat melalui optimalisasi Pasal 33 UUD 1945 sejalan dengan nilai dasar fatwa ini.

“Pajak harus didedikasikan untuk kesejahteraan, bukan menambah beban orang yang justru memerlukan bantuan. Semangatnya di situ,” tambahnya.

Fatwa ini diperkirakan berpotensi:

• meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat Muslim,

• mendorong optimalisasi penyaluran zakat melalui lembaga resmi,

• memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan nilai keagamaan.

Keputusan ini juga diyakini dapat menghindarkan persepsi tumpang tindih antara pembayaran pajak dan zakat, sekaligus membuka ruang dialog antara pemerintah, MUI, dan otoritas fiskal mengenai implementasi teknis pada regulasi perpajakan ke depan. (alf)

AS Siapkan Opsi Tarif Alternatif Jelang Putusan Mahkamah Agung

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Donald Trump tengah melakukan manuver penting di bidang perdagangan internasional dengan mempersiapkan sejumlah skema tarif alternatif apabila Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memutuskan mencabut kewenangan utama pemerintah dalam menerapkan tarif impor. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi agar kebijakan tarif tidak terhenti tiba-tiba dan tetap dapat diberlakukan untuk mengendalikan arus impor.

Menurut laporan Bloomberg dikutip, Minggu (23/11/2025), Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengkaji berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan sebagai pengganti, termasuk Section 301 dan Section 122 dalam Trade Act, yang memungkinkan presiden menetapkan tarif secara unilateral. Meski demikian, cakupan keduanya dinilai lebih sempit dan proses penerapannya lebih lambat dibanding skema berbasis International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang saat ini digunakan Trump.

“Kami berharap hasilnya baik, tetapi jika tidak, kami selalu menemukan cara,” ujar Presiden Trump pekan lalu, menegaskan bahwa kebijakan tarif tetap menjadi fondasi strategi ekonomi pemerintahannya.

Rencana cadangan ini memuncak setelah sejumlah hakim Mahkamah Agung dalam sidang dengar pendapat terbaru menunjukkan keraguan terhadap legalitas tarif global berbasis IEEPA. Situasi tersebut memunculkan prediksi adanya potensi putusan yang tidak berpihak kepada pemerintahan Trump.

Kendati begitu, Gedung Putih menahan diri untuk menjelaskan langkah teknis yang tengah disiapkan. Juru bicara pemerintah, Kush Desai, hanya menegaskan bahwa Trump menggunakan kewenangan tarif darurat yang diberikan Kongres dan pemerintah yakin akan menang.

“Pemerintahan selalu mencari cara untuk mengatasi defisit perdagangan barang AS dan menghidupkan kembali sektor manufaktur sebagai komponen penting bagi keamanan nasional,” ujar Desai.

Mahkamah Agung belum memastikan kapan putusan akan dibacakan. Putusan dapat mempertahankan kewenangan tarif, mencabutnya, atau hanya membataskannya sebagian—menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha maupun mitra dagang AS.

Tarif Efektif Tembus 14,4 Persen 

Bloomberg Economics memperkirakan tarif efektif atas impor AS saat ini mencapai 14,4 persen, dengan lebih dari separuhnya bersumber dari pungutan berbasis IEEPA. Jika IEEPA dibatalkan, sebagian besar tarif itu kemungkinan akan berpindah ke skema alternatif.

Sejumlah opsi cadangan bahkan sudah bergulir, termasuk investigasi Section 301 terhadap Brasil. Tarif Section 301 untuk sebagian barang impor China juga masih berlaku sejak masa jabatan pertama Trump, meski mekanisme ini umumnya membutuhkan proses investigasi mendalam sebelum dapat dijalankan.

Direktur National Economic Council Kevin Hassett menyatakan pemerintah memiliki banyak jalur untuk mempertahankan strategi tarif.

“Ada banyak cara agar kami dapat mengganti kebijakan yang berlaku dengan otoritas lain,” ujarnya.

Meskipun banyak pilihan tersedia, sebagian mekanisme memiliki keterbatasan. Section 122, misalnya, hanya memungkinkan tarif maksimal 15 persen selama 150 hari. Sementara Section 338 dalam Tariff Act secara teori dapat diterapkan, namun belum pernah digunakan dan diperkirakan akan memicu gugatan hukum baru jika dijalankan.

Mantan negosiator perdagangan Wendy Cutler bahkan menilai sejumlah kebijakan tarif terbaru Trump kemungkinan telah disiapkan sebagai rencana cadangan apabila IEEPA nantinya dinyatakan inkonstitusional.

Namun, perubahan tarif secara mendadak berisiko menimbulkan permasalahan administratif, termasuk kemungkinan pengembalian bea masuk yang telah dipungut.

“Jika tarif dibatalkan dan harus dihitung ulang, itu akan menjadi kekacauan besar,” ucap Scott Lincicome dari Cato Institute.

Ketidakpastian menjelang putusan Mahkamah Agung membuat pelaku usaha global bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan pengadaan impor. Negara-negara mitra dagang utama AS juga menunggu arah kebijakan baru, karena perubahan tarif diperkirakan akan memengaruhi rantai pasokan internasional. (alf)

Pemerintah Perkuat Kebijakan Fiskal Pro Rakyat untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi 2025

IKPI, Jakarta Barat: Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan komitmen pemerintah memperkuat kebijakan fiskal yang berpihak kepada masyarakat guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional pada akhir 2025. Arah kebijakan tersebut menjadi bagian dari evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Suahasil menjelaskan bahwa sejak awal tahun, Kementerian Keuangan melakukan penyisiran anggaran secara menyeluruh untuk memastikan belanja negara digunakan secara efektif. 

“Program-program yang prioritas kita biayai. Program-program yang tidak penting kita stop,” ujarnya, dikutip Minggu (23/11/2025). Dana hasil efisiensi kemudian dialihkan untuk membiayai sejumlah program prioritas baru seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai berjalan sejak 6 Januari, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Desa Merah Putih.

Menjelang penghujung tahun, pemerintah terus mempercepat realisasi belanja APBN sebesar Rp3.500 triliun agar dapat menjadi katalis ekonomi, meningkatkan aktivitas usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan. “Percepatan belanja ini akan menjadi salah satu katalis di perekonomian, mendorong kegiatan ekonomi, dan ini kita harapkan berkontribusi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan,” ujar Suahasil.

Selain itu, pemerintah menempatkan Rp200 triliun kas negara di perbankan dari sebelumnya berada di Bank Indonesia. Kebijakan ini bertujuan memperkuat likuiditas perbankan dan menurunkan suku bunga agar investasi semakin feasible dan aktivitas ekonomi semakin bergairah.

Suahasil menambahkan bahwa kebijakan fiskal juga berjalan seiring dengan perbaikan iklim investasi melalui reformasi struktural, kepastian hukum, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, kesehatan, dan infrastruktur. 

Ia menegaskan bahwa seluruh belanja APBN setara 14 persen dari PDB digunakan secara strategis untuk mendukung delapan program prioritas Presiden, termasuk hilirisasi industri sebagai kunci dalam menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (alf)

Aturan Turunan UU HPP & P2SK Dikebut, Pajak Karbon Jadi Sorotan Komisi XI

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI untuk memaparkan progres penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Penyusunan regulasi turunan ini menjadi krusial karena menentukan implementasi teknis dari agenda reformasi perpajakan dan sistem keuangan nasional.

Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa lima PP turunan UU HPP telah berlaku, sementara PP 55 Tahun 2022 tengah direvisi untuk menyesuaikan standar OECD, mengatur perlakuan atas biaya suap dan gratifikasi, serta memperjelas kriteria wajib pajak berperedaran bruto tertentu. Di saat bersamaan, DJP juga menyiapkan rancangan aturan pajak karbon yang perlu terintegrasi dengan roadmap lintas kementerian.

Sementara itu untuk UU P2SK, empat PP telah rampung, dan empat RPP lainnya sedang difinalisasi. Aturan tersebut mencakup penempatan dana LPS, penguatan lembaga keuangan mikro, literasi dan inklusi keuangan, serta pengelolaan aset dan liabilitas program pensiun — seluruhnya merupakan instrumen pembenahan arsitektur keuangan nasional.

Sorotan terbesar dalam diskusi datang dari isu pajak karbon. Komisi XI meminta percepatan roadmap mengingat pasar karbon nasional telah beroperasi sejak 2023. Menjawab itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Kacaribu, memastikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling progresif dalam pengurangan emisi global.

“Indonesia sangat on track mengurangi emisi gas rumah kaca. Kita bahkan memiliki surplus lebih dari seribu juta ton karbon kredit dan kini meminta negara lain ikut membayar kontribusi Indonesia,” ujar Febrio dikutip dari website Kemenkeu, Minggu (23/11/2025).

Ia menegaskan bahwa penerapan pajak karbon akan berjalan bertahap dan hati-hati agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi perekonomian nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Keuangan juga mengajukan 13 RPP untuk masuk Program Legislasi Pemerintah (Progsun) 2026, mulai dari penguatan tata kelola sektor keuangan, pembatasan kepemilikan asing, program penjaminan polis, pengembangan keuangan berkelanjutan, hingga pembentukan SPV dan Trustee.

Kemenkeu menegaskan komitmen mempercepat seluruh mandat regulasi melalui koordinasi erat dengan OJK, BI, dan LPS, serta akan menyampaikan laporan tertulis atas seluruh pertanyaan Komisi XI. Pemerintah berharap percepatan regulasi turunan ini mampu memperkuat sistem perpajakan sekaligus menjaga stabilitas dan daya saing keuangan nasional. (alf)

Pemprov DKI Minta Insentif Pajak Kendaraan Listrik 0% Dicabut, Potensi Pendapatan Hilang Rp2 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendorong Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar meninjau ulang kebijakan insentif pajak kendaraan listrik 0 persen. Usulan tersebut diajukan karena program pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk mobil dan motor listrik dinilai menyebabkan potensi pendapatan daerah hilang hingga Rp2 triliun.

Pemprov menilai, pendapatan dari sektor pajak kendaraan bermotor selama ini menjadi salah satu penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hilangnya pemasukan dari dua sektor pajak itu dianggap mempersempit ruang fiskal Pemprov DKI dalam menangani persoalan kota seperti kemacetan dan polusi.

Namun, meski usulan sudah disampaikan, Kemenkeu belum dapat menghapus insentif tersebut. Bukan karena penolakan, melainkan karena kebijakan tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang berarti perubahan hanya dapat dilakukan melalui revisi undang-undang.

“Kami sudah bertemu Dirjen Perimbangan Keuangan untuk membahas ini. Karena insentif kendaraan listrik mandat undang-undang, maka perubahan harus lewat revisi undang-undang. Sejauh ini masih cukup berat,” ujar Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Yustinus Prastowo, Minggu (23/11/2025).

Dengan kecilnya peluang untuk menghapus insentif dalam waktu dekat, Pemprov DKI kini menyiapkan alternatif solusi. Opsi yang paling memungkinkan yaitu meminta pemerintah pusat meningkatkan dana transfer ke daerah pada tahun anggaran berikutnya untuk mengompensasi hilangnya pendapatan dari pajak kendaraan listrik.

“Kalau pendapatan dari pajak kendaraan berkurang sementara kita harus mengatasi dampak macet, polusi, dan lainnya, dukungan dari pusat melalui dana transfer bisa menjadi kompensasi,” ujar Prastowo.

Meski begitu, Pemprov DKI tidak mengajukan besaran kebutuhan dana tambahan. Alasannya, beban fiskal akibat insentif kendaraan listrik bukan hanya dialami DKI Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lain di Indonesia.

“Kami tidak menyebut angka. Kami hanya menyampaikan situasinya dan menyerahkan perhitungan kepada pemerintah pusat. Cepat atau lambat, daerah lain juga pasti terdampak, terutama daerah dengan kapasitas fiskal yang kecil,” tambahnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Lusiana Herawati mengungkapkan bahwa kebijakan insentif pajak kendaraan listrik memang cukup signifikan terhadap penurunan pendapatan daerah. Hingga kini, tarif BBNKB dan PKB untuk kendaraan listrik masih ditetapkan 0 persen hingga akhir 2025.

Menurutnya, tanpa insentif tersebut, sektor kendaraan listrik berpotensi memberikan pemasukan besar bagi APBD. Namun, dengan berlakunya pembebasan pajak, penerimaan mengalami penurunan tajam.

Kebijakan insentif kendaraan listrik sejatinya diharapkan mendorong transisi menuju transportasi ramah lingkungan. Namun di sisi lain, pemerintah daerah menghadapi dilema karena berkurangnya sumber pendapatan yang selama ini menjadi tulang punggung keuangan daerah. (alf)

Pemerintah Pastikan Tak Ada APBN Keluar untuk Musnahkan Barang Impor Ilegal

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan proses pemusnahan barang impor ilegal tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan seluruh biaya pemusnahan sepenuhnya menjadi kewajiban importir yang melanggar aturan.

Budi menjelaskan, setiap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran akan langsung dikenai dua sanksi: penutupan usaha dan kewajiban memusnahkan seluruh barang yang disita. “Biaya pemusnahan itu tanggung jawab importir. Negara tidak mengeluarkan apa pun,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Dua perusahaan yang baru saja ditindak telah menjalankan ketentuan tersebut. Semua barang sitaan dimusnahkan secara bertahap dengan biaya internal perusahaan dan ditargetkan rampung pada akhir November 2025.

Budi juga meluruskan perbedaan kewenangan antara Kemendag dan Kementerian Keuangan terkait penanganan impor ilegal. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai biaya pemusnahan kontainer balpres ilegal sebesar Rp12 juta merujuk pada penanganan di level border, yang menjadi domain Bea Cukai di bawah Kemenkeu. Sementara Kemendag menangani penindakan post-border, yakni barang yang sudah berada di peredaran domestik.

Di sisi lain, Menkeu Purbaya tengah mengusulkan perubahan skema penanganan balpres ilegal agar tidak membebani APBN, termasuk opsi pencacahan ulang barang sitaan menjadi bahan baku industri tekstil dan sebagian didistribusikan kepada UMKM. Gagasan tersebut disebut telah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto dan melibatkan Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) serta koordinasi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman.

Dengan skema penindakan yang tegas dan pembiayaan sepenuhnya oleh pelaku, pemerintah memastikan penanganan impor ilegal tetap berjalan tanpa menggerus kas negara. (alf)

en_US