DJP Sita Aset Rp16,69 Miliar dari Terpidana Pajak di Yogyakarta

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah penegakan hukum terhadap pelanggaran perpajakan. Melalui Kantor Wilayah DJP Daerah Istimewa Yogyakarta, bersama Kejaksaan Agung RI, aparat pajak melaksanakan penyitaan terhadap berbagai aset milik terpidana pajak berinisial S, yang diwajibkan membayar denda sebesar dua kali pajak terutang senilai Rp16,69 miliar.

Tindakan tegas ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 842 PK/Pid.Sus/2025 tanggal 10 April 2025, yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana. Putusan tersebut memperkuat vonis Pengadilan Negeri Wates, yang menyatakan S bersalah karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan melalui PT VAI pada tahun pajak 2017.

“Setiap rupiah yang berhasil diamankan adalah bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga keuangan negara dan keadilan bagi masyarakat yang taat pajak,” ujar Dwi Hariyadi, Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan (PPIP) Kanwil DJP D.I. Yogyakarta, dalam keterangan resmi, Senin (27/10/2025).

Karena tidak melunasi denda dalam waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta kekayaan milik S disita dan akan dilelang untuk menutup kerugian negara.

Pelaksanaan sita eksekusi dilakukan oleh Kejaksaan dengan pendampingan dari Direktorat Penegakan Hukum DJP dan PPNS Kanwil DJP D.I. Yogyakarta. Aset yang disita meliputi beberapa kendaraan bermotor di Kabupaten Kulonprogo, lima bidang tanah dan bangunan di Kabupaten Karanganyar, serta sembilan bidang tanah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pada setiap lokasi tersebut telah dipasang papan penyitaan sebagai tanda resmi status barang sitaan negara.

Melalui langkah ini, DJP menegaskan komitmennya menjaga integritas sistem perpajakan sekaligus memberikan efek jera kepada pelanggar.

“Penegakan hukum ini menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga tanggung jawab hukum,” tegas Dwi.

DJP juga mengimbau seluruh wajib pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan lengkap, jelas, dan benar, serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan. (alf)

Rencana Menaikkan Pajak di Inggris Khawatirkan Picu Lonjakan Harga Pangan

IKPI, Jakarta: Rencana Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves untuk menaikkan pajak demi menyehatkan fiskal negara memantik kekhawatiran baru di kalangan pelaku usaha dan masyarakat. Para pengusaha ritel besar menilai kebijakan tersebut bisa menjadi bahan bakar baru bagi lonjakan harga pangan yang hingga kini belum sepenuhnya reda.

Melalui surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Reeves, sejumlah raksasa supermarket seperti Tesco, Asda, Sainsbury’s, dan Morrisons memperingatkan bahwa kenaikan pajak akan menekan kemampuan mereka dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.

“Rumah tangga pasti akan merasakan dampak dari potensi kenaikan pajak apa pun pada industri ini, seperti tarif bisnis yang lebih tinggi untuk supermarket,” tulis para eksekutif dalam surat tersebut, dikutip dari BBC, Senin (27/10/2025).

Dalam surat itu juga disebutkan, beban pajak yang lebih tinggi akan mempersempit ruang gerak bisnis untuk menekan biaya operasional. Alhasil, harga produk pangan di rak supermarket dikhawatirkan kembali merangkak naik, memperpanjang tekanan inflasi hingga 2026.

“Dengan beban yang sudah kami tanggung saat ini, termasuk dampak dari pajak sebelumnya, inflasi pangan kemungkinan besar akan terus berlanjut. Ini bukan hal yang kami harapkan berkepanjangan,” lanjut mereka.

Ironisnya, rencana Reeves muncul di tengah upaya Departemen Keuangan Inggris yang sedang mencari cara menekan inflasi, termasuk dengan memberi insentif pajak bagi pedagang daging, roti, dan toko kecil. Namun bagi pelaku ritel besar, kabar kenaikan pajak tetap menjadi sinyal bahaya bagi rantai pasok dan harga pangan nasional.

Langkah Reeves ini disebut-sebut menyusul proyeksi ekonomi yang suram, sementara sebelumnya pemerintah telah menaikkan pajak, termasuk iuran perusahaan dalam skema National Insurance Contribution. Padahal, Reeves sendiri tahun lalu sempat menyatakan tidak akan menaikkan pajak lagi. (alf)

Format Baru SPT Badan di Coretax: Daftar Pengurus dan Komisaris Kini Terisi Otomatis

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memodernisasi sistem pelaporan pajak badan dengan memperkenalkan format baru SPT Tahunan PPh Badan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Salah satu pembaruan yang cukup signifikan adalah pengisian daftar pengurus dan komisaris secara otomatis berdasarkan data yang tersimpan di sistem Coretax.

Jika sebelumnya pada era e-Form wajib pajak harus mengisi manual daftar susunan pengurus dan komisaris di Formulir 1771-V Bagian B, kini seluruh data tersebut telah berpindah ke Lampiran 2 Bagian A pada versi Coretax. Format baru ini juga menyatukan informasi pengurus dan komisaris dengan daftar pemegang saham atau pemilik modal, yang dulu dipisahkan dalam formulir berbeda.

Dalam penjelasan resmi PER-11/PJ/2025 disebutkan, daftar yang memuat nama, alamat, NPWP atau NIK, dan jabatan pengurus maupun komisaris akan ditarik otomatis dari data pihak terkait pada akun Coretax wajib pajak. Artinya, wajib pajak tidak bisa lagi menambahkan atau mengubah langsung melalui modul SPT, melainkan harus memperbarui profil perusahaan terlebih dahulu.

Untuk melakukan pemutakhiran, wajib pajak dapat masuk ke menu Profil Saya → Informasi Umum → Edit → Pihak Terkait, kemudian klik Tambah, pilih jenis orang terkait (direktur atau komisaris), lengkapi data seperti NPWP, jabatan, serta tanggal mulai dan berakhir masa jabatan. Setelah disimpan, data akan otomatis terintegrasi dalam SPT Tahunan PPh Badan.

DJP menegaskan, daftar susunan pengurus dan komisaris yang tercantum dalam Lampiran 2 Bagian A harus menggambarkan kondisi aktual pada akhir tahun pajak bersangkutan.

Langkah digitalisasi ini menjadi bagian dari upaya DJP menghadirkan pelaporan pajak yang lebih efisien, akurat, dan berbasis data tunggal di bawah sistem Coretax menjawab kebutuhan dunia usaha akan kemudahan sekaligus ketertiban administrasi perpajakan di era digital. (alf)

Kepada APINDO, Dedi Mulyadi Tegaskan Komitmen Keadilan Fiskal untuk Masyarakat

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat menggelar Forum Sinergi Dunia Usaha dengan Pemerintah Daerah di El Hotel Bandung, belum lama ini. Forum ini menjadi ruang dialog antara pelaku usaha dan pemerintah daerah untuk memperkuat sinergi pembangunan ekonomi yang berkeadilan.

Dalam forum tersebut, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa pemerintah daerah berkomitmen mendorong keadilan fiskal agar manfaat pajak benar-benar kembali kepada masyarakat, terutama di wilayah sekitar kawasan industri.

“Saya tidak mau lagi melihat pabrik membayar pajak triliunan, tetapi desa di sekitarnya tetap miskin, tidak punya air bersih, anak-anaknya tidak sekolah. Pajak itu harus kembali ke wilayah sumbernya,” tegas Dedi, Senin (27/10/2025).

Dedi menyampaikan, mulai tahun 2026, Pemprov Jabar akan menerapkan kebijakan distribusi pajak yang lebih adil dengan memetakan desa-desa di sekitar kawasan industri. Kebijakan ini diharapkan mampu menghapus ketimpangan antara pusat aktivitas ekonomi dan masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, Dedi menekankan pentingnya negara hadir dalam menyeimbangkan kepentingan investasi dan kesejahteraan rakyat. Ia mencontohkan perusahaan sektor air mineral, di mana pajak yang dibayarkan seharusnya dialokasikan untuk tiga hal: pembangunan infrastruktur air bersih dan pertanian, reboisasi hutan sebagai sumber air, serta perbaikan jalan di sekitar wilayah operasi perusahaan.

“Kalau tiga hal itu dilakukan, masyarakat akan merasakan manfaatnya. Itulah bukti negara hadir,” ujar Dedi.

Dalam kesempatan itu, Dedi juga menyoroti masih adanya perusahaan yang beroperasi di Jawa Barat namun membayar pajak di luar wilayah. Ia meminta perusahaan untuk berkontribusi langsung pada daerah tempat mereka beroperasi demi mewujudkan keadilan fiskal dan kemajuan daerah.

Gubernur yang dikenal responsif ini juga berdialog langsung dengan para pengusaha untuk menampung berbagai kendala yang dihadapi. Saat forum berlangsung, beberapa keluhan langsung ditindaklanjuti. Bahkan, Dedi tak segan menghubungi pejabat terkait untuk menyelesaikan masalah di tempat.

“Kalau ada perusahaan di Jabar yang izin PBG-nya tak kunjung keluar atau lahannya terlintasi jaringan listrik SUTET, segera sampaikan. Kita selesaikan konkret,” katanya.

Sementara itu, Ketua APINDO Jabar Ning Wahyu menyambut positif sikap terbuka Gubernur Jabar. Menurutnya, forum ini bukan hanya ajang silaturahmi, tetapi sarana membangun kepercayaan antara pemerintah daerah dan pelaku usaha.

“Melalui forum ini, aspirasi dan tantangan dunia usaha bisa disampaikan langsung, sekaligus mendengarkan gagasan dan komitmen Gubernur dalam menciptakan iklim usaha yang adil dan sehat,” ujar Ning.

Ning juga mengapresiasi langkah reformasi birokrasi perizinan dan digitalisasi rekrutmen tenaga kerja melalui aplikasi “Nyari Gawe” yang diluncurkan Pemprov Jabar. Aplikasi tersebut dinilai mempermudah masyarakat mencari pekerjaan sekaligus membantu pengusaha mendapatkan SDM berkualitas tanpa praktik percaloan. (alf)

Purbaya Klaim Keamanan Coretax Kini “A+”: Hacker Lokal Ikut Uji Ketahanan Sistem Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan sistem inti administrasi perpajakan atau Coretax kini jauh lebih tangguh dari sisi keamanan data. Ia menyebut, peningkatan besar-besaran telah dilakukan setelah sempat beredar kabar adanya kebocoran data beberapa waktu lalu.

“Kemarin kan ada data Coretax, ternyata dijual di luar ya, ada yang bolong gitu,” ungkap Purbaya, Senin (26/10/2025).

Menurutnya, pembenahan dilakukan secara mendetail dengan melibatkan para ahli terbaik dari dalam negeri. Sistem yang digarap dengan anggaran triliunan rupiah itu kini disebut memiliki tingkat keamanan hampir sempurna.

“Sekarang security-nya Coretax udah bagus sekali. Dulu saya bilang cybersecurity-nya 30 dari 100, sekarang udah 95 plus, nilainya A+,” tegasnya.

Purbaya mengaku memilih tim lokal terbaik, bukan hanya dari kalangan teknokrat pemerintah, tapi juga para ahli keamanan siber independen. Hasilnya, dalam waktu singkat Coretax berhasil naik kelas dari sistem yang dinilai “D” menjadi “A+”.

Tak tanggung-tanggung, Purbaya bahkan menggandeng para hacker etis asal Indonesia untuk menguji ketahanan sistem.

“Sekarang hampir pasti udah gak bisa lagi (ditembus). Kita juga panggil hacker kita yang jago-jago, orang Indonesia semua. Di dunia mereka ditakutin juga,” ujarnya sambil tersenyum.

Menurutnya, para “white-hat hacker” yang pernah menduduki peringkat dunia itu berhasil melakukan pengujian berlapis terhadap sistem Coretax, dan hasilnya memuaskan.

“Kita bayar, tapi hasilnya luar biasa. Mereka bantu saya ngetes, dan ternyata sistem kita sudah lumayan kuat,” tambahnya.

Dengan perbaikan ini, Purbaya berharap masyarakat, terutama wajib pajak, tak lagi cemas akan kebocoran data di sistem Coretax. Ia menegaskan, keamanan informasi pajak kini menjadi prioritas utama dalam reformasi digital perpajakan Indonesia.

“Keamanan data itu bukan sekadar teknologi, tapi juga soal kepercayaan publik. Dan itu yang sekarang kita jaga,” pungkasnya. (alf)

Guru Besar UI Tegaskan Prinsip Pajak Tak Boleh Jadi Pedang Bermata Dua

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, menegaskan bahwa penerapan prinsip substance over form dalam perpajakan tidak boleh berubah menjadi “pedang bermata dua” yang justru menimbulkan ketidakpastian dan menggerus kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas fiskus.

Pernyataan itu disampaikan Prof. Haula dalam Diskusi Panel Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar secara hybrid, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, prinsip substance over form sejatinya merupakan meta-rule of taxation aturan agung yang memastikan keadilan, kesetaraan, dan kejujuran dalam hubungan antara fiskus dan wajib pajak. Namun dalam praktik, prinsip itu kerap disalahartikan hingga menimbulkan ketegangan dan sengketa.

“Tujuan baik dari substance over form adalah menegakkan keadilan dan mencegah praktik rekayasa pajak. Tapi kalau digunakan tanpa dasar yang kuat, ia bisa jadi pedang bermata dua yang melukai rasa keadilan dan melemahkan kepercayaan wajib pajak,” ujar Haula.

Ia mengingatkan, negara harus berhati-hati agar tidak terlalu jauh ikut campur dalam urusan bisnis yang sah. Prinsip freedom of contract, kata Haula, harus tetap dihormati sepanjang tidak melanggar hukum.

“Selama perjanjian bisnis tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak boleh dipaksa diubah hanya karena tafsir fiskus yang terlalu progresif,” tegasnya.

Prof. Haula juga menyoroti perlunya keseimbangan antara pengamanan penerimaan negara dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Ia mengingatkan, lemahnya kepastian hukum hanya akan memperburuk tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance).

“Kalau trust wajib pajak melemah, maka compliance ikut runtuh. Itu efek domino yang harus dihindari,” ujarnya.

Ia juga mendorong agar penyusunan kebijakan perpajakan di Indonesia dilakukan secara demokratis dan deliberatif, melibatkan akademisi, praktisi, serta masyarakat luas. Dengan begitu, arah kebijakan pajak tidak hanya kuat secara yuridis, tetapi juga berakar pada keadilan dan rasionalitas.

“Substance over form bukan sekadar soal teks hukum, tapi soal moralitas pajak. Kalau kebijakan dibuat tergesa tanpa mendengar suara publik, maka yang muncul bukan keadilan, melainkan distorsi,” pungkasnya. (bl)

DPR Soroti Dana Mengendap di Kas Daerah, Misbakhun Minta Sinkronisasi Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyoroti masih tingginya dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, hingga akhir September 2025 jumlahnya mencapai Rp234 triliun.

“Rp234 triliun bukan angka kecil. Dana sebesar itu seharusnya bisa dimanfaatkan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat realisasi belanja daerah,” ujar Misbakhun di Jakarta, Sabtu (25/10/2025).

Menurut Misbakhun, angka tersebut menunjukkan masih adanya persoalan dalam pengelolaan fiskal di tingkat daerah. Ia menekankan perlunya sinkronisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah agar dana transfer ke daerah (TKD) dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

“Dana TKD itu dirancang sebagai motor penggerak ekonomi daerah. Kalau dikelola cepat dan tepat, dampaknya akan terasa langsung melalui pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, dan penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.

Politikus Partai Golkar itu mengingatkan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) sudah menegaskan pentingnya pengelolaan fiskal yang efisien, transparan, dan produktif. Karena itu, dana besar yang hanya mengendap di bank justru berpotensi menghambat laju ekonomi.

Meski begitu, Misbakhun menilai dana mengendap tidak sepenuhnya akibat kelalaian pemerintah daerah. Ia menilai perlu dilakukan evaluasi menyeluruh untuk menelusuri akar masalahnya. “Perlu ditelusuri apakah ini karena perencanaan APBD yang belum sinkron dengan APBN, aturan teknis yang terlambat, atau justru sikap kehati-hatian daerah dalam menjaga kas,” ujarnya.

Untuk itu, Misbakhun mendorong Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri memperkuat koordinasi serta pembinaan terhadap pelaksanaan APBD di seluruh daerah.

“Sinkronisasi kebijakan fiskal sangat penting. Jangan sampai dana besar yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru tidur di bank menjelang akhir tahun anggaran,” tegasnya.

Ia menambahkan, percepatan realisasi belanja daerah sangat dibutuhkan guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. “Setiap rupiah yang mengendap terlalu lama berarti kesempatan pembangunan yang tertunda,” pungkasnya. (alf)

Pelaporan SPT 2025 Dijamin Lebih Mudah, DJP Hadirkan Fitur “Prepopulated” di Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi (OP) untuk tahun pajak 2025 akan jauh lebih mudah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Inovasi ini berkat hadirnya fitur data pra-isi (prepopulated) dalam sistem Coretax, yang kini menjadi tulang punggung transformasi digital perpajakan nasional.

Melalui fitur ini, data penghasilan dan pajak yang telah dipotong atau disetor akan muncul otomatis di formulir SPT. Wajib pajak tak lagi perlu menginput manual data dari bukti potong atau setoran bulanan, karena sistem sudah menariknya langsung dari basis data DJP.

“Fitur prepopulated ini merupakan kemudahan paling signifikan dalam pelaporan SPT. Bagi wajib pajak karyawan, sistem Coretax akan otomatis menampilkan data penghasilan dan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dilaporkan oleh perusahaan,” jelas Penyuluh Pajak Agung Meliananda, dikutip dari laman resmi pajak.go.id, Minggu (26/10/2025).

Tak hanya untuk pegawai, kemudahan ini juga berlaku bagi pelaku usaha. Untuk UMKM yang menyetor PPh final setiap bulan, sistem Coretax akan secara otomatis merekap riwayat setoran tersebut selama satu tahun pajak. Dengan demikian, pelaku usaha tidak lagi perlu menelusuri catatan pembayaran secara manual.

“Data dari pemberi kerja untuk karyawan itu prepopulated, sedangkan untuk UMKM, data pembayaran pajak yang sudah dilakukan sebelumnya akan otomatis masuk ke sistem. Jadi enggak perlu diinput ulang,” tegas Agung.

Meski prosesnya makin sederhana, Agung mengingatkan bahwa wajib pajak tetap memiliki tanggung jawab untuk memverifikasi dan melengkapi data pribadi, seperti daftar harta, utang, serta penghasilan lain yang belum tercatat dalam sistem. Setelah memastikan semuanya akurat, barulah SPT bisa dilaporkan secara resmi.

Sementara itu, Penyuluh Pajak Anggita Rahayu mengimbau masyarakat untuk tidak menunggu hingga batas akhir pelaporan. Persiapan dini akan membuat proses semakin lancar.

“Mumpung masih ada waktu, disiapkan dulu datanya. Bisa juga pelajari tutorial di situs DJP supaya nanti ketika masa pelaporan tiba, enggak bingung dan bisa langsung lapor,” ujarnya.

Dengan fitur baru di Coretax ini, DJP optimistis pelaporan SPT 2025 akan lebih cepat, praktis, dan bebas dari kerumitan teknis. Langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, transparan, dan berorientasi pada kemudahan wajib pajak. (alf)

Dorong Transparansi, Pemkot Ambon Pasang Ratusan Alat Perekam Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Ambon, Maluku, melangkah makin jauh dalam mewujudkan tata kelola pajak yang transparan dan akuntabel. Melalui pemanfaatan teknologi digital, Pemkot Ambon kini dapat memantau transaksi wajib pajak secara real time tanpa harus menunggu laporan manual.

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Ambon, Ronald Lekransy, mengatakan inisiatif digitalisasi pajak ini merupakan bagian dari upaya memperkuat sistem keamanan siber sekaligus mendukung transformasi digital di lingkungan pemerintah kota.

“Pemanfaatan teknologi digital ini bukan hanya untuk pengawasan, tapi juga untuk memastikan setiap data wajib pajak tercatat secara akurat dan transparan,” ujar Ronald, Jumat (25/10/2025).

Menurut Ronald, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Ambon telah memasang 227 perangkat perekaman digital atau Online Transaction Monitoring (OTM) di berbagai titik strategis, termasuk hotel, restoran, dan tempat hiburan.

Dari total tersebut, terdapat 161 unit online POS, 50 unit Client Reader, dan 16 unit Interceptor Box yang semuanya terhubung langsung dengan sistem pusat di Pemkot Ambon.

Melalui teknologi OTM, seluruh transaksi wajib pajak kini dapat terekam secara otomatis dan dilaporkan langsung ke server pemerintah daerah. Dengan begitu, potensi kebocoran pajak bisa diminimalkan, sementara proses pengawasan menjadi lebih cepat dan efisien.

“Data dari perangkat ini langsung masuk ke command center Diskominfosandi. Dari sana, petugas bisa memantau aktivitas transaksi secara digital dan segera melakukan tindak lanjut bila ditemukan kejanggalan,” jelas Ronald.

Selain memperkuat pengawasan pajak, langkah ini juga menjadi bagian dari strategi transformasi digital Pemkot Ambon yang meliputi berbagai sektor layanan publik. Digitalisasi dipandang sebagai kunci untuk mendorong efisiensi birokrasi dan memperluas basis Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ronald menegaskan, penggunaan teknologi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan pemerintahan yang bersih dan transparan. “Transformasi digital ini adalah pondasi menuju kemandirian fiskal dan keberlanjutan pembangunan ekonomi Kota Ambon,” katanya. (alf)

Pengacara di Pakistan Gugat “Pajak Menstruasi”

IKPI, Jakarta: Seorang perempuan muda asal Pakistan, Mahnoor Omer, menjadi sorotan publik setelah berani menantang negaranya sendiri lewat sebuah petisi yang mengguncang: ia menuntut penghapusan “pajak menstruasi”beban fiskal yang selama ini membuat pembalut wanita menjadi barang mahal di Pakistan.

Mahnoor, seorang pengacara muda yang vokal memperjuangkan keadilan gender, mengajukan petisi tersebut pada September lalu. Ia menilai, kebijakan pajak yang dikenakan terhadap produk kebersihan perempuan bukan hanya tidak adil, tapi juga mencerminkan diskriminasi negara terhadap kebutuhan biologis setengah populasi rakyatnya.

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penjualan Pakistan Tahun 1990, pemerintah mengenakan pajak 18 persen untuk pembalut lokal, serta bea impor hingga 25 persen bagi produk dari luar negeri. Bahkan bahan baku pembuatan pembalut pun ikut dikenai pajak. Alhasil, menurut perhitungan UNICEF Pakistan, total beban pajak yang menempel pada produk kebersihan perempuan bisa mencapai 40 persen.

“Rasanya seperti perempuan melawan negara Pakistan,” ujar Mahnoor kepada media internasional dikutip, Minggu (26/10/2025) menggambarkan frustrasinya terhadap sistem yang seolah menghukum perempuan hanya karena mereka menstruasi.

Dampak kebijakan ini sangat nyata. Studi UNICEF dan WaterAid tahun 2024 menemukan, hanya 12 persen perempuan Pakistan yang menggunakan pembalut komersial. Sebagian besar lainnya terpaksa memakai kain bekas atau bahan seadanya — bukan karena pilihan, tetapi karena harga pembalut yang terlalu mahal.

Mahnoor mengaku, sejak kecil ia telah merasakan stigma dan tekanan sosial terkait menstruasi. “Saya biasa menyembunyikan pembalut di lengan seragam, seperti sedang menyelundupkan narkoba ke kamar mandi,” kenangnya getir. “Jika ada yang membicarakan menstruasi, guru akan menegur seolah itu hal memalukan.”

Meski lahir di keluarga kelas menengah di Rawalpindi, Mahnoor tetap merasakan betapa tabu dan mahalnya isu ini. Ia bahkan mengingat ucapan teman sekelasnya, bahwa ibunya menganggap pembalut sebagai “pemborosan uang.”

“Itu membuat saya sadar, jika keluarga menengah saja berpikir seperti itu, bayangkan betapa sulitnya perempuan dari keluarga miskin,” ujarnya.

Kini, harga satu bungkus pembalut bermerek di Pakistan mencapai 450 rupee (sekitar Rp26 ribu) untuk 10 lembar. Di negara dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp1,9 juta per bulan, harga tersebut setara dengan biaya makan satu keluarga beranggotakan empat orang dari kalangan berpenghasilan rendah.

Omer berharap, jika pajak 40 persen itu dihapus, perempuan di seluruh Pakistan bisa mengakses produk kebersihan dengan harga lebih manusiawi. “Menstruasi bukan kemewahan,” tegasnya. 

“Tidak seharusnya perempuan dihukum karena memiliki tubuh yang berfungsi sebagaimana mestinya.”

Dengan keberanian dan suaranya yang lantang, Mahnoor Omer kini menjadi simbol perlawanan perempuan muda Pakistan terhadap ketidakadilan yang terbungkus dalam aturan ekonomi. Sebuah perjuangan sederhana namun berani menuntut negara agar tak lagi menjadikan darah perempuan sebagai sumber pendapatan. (alf)

en_US