Purbya Sebut Defisit APBN 2025 Masih Terkendali di 2,35% PDB hingga November

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mencatat defisit sebesar Rp560,3 triliun atau setara 2,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 30 November 2025. Angka tersebut dinilai masih berada dalam koridor yang dirancang pemerintah.

“Defisit APBN tercatat Rp560,3 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB. Ini masih dalam batas yang terkelola dan sesuai dengan desain APBN kita,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Desember 2025 di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Dari sisi pendapatan, negara berhasil mengumpulkan Rp2.351,5 triliun atau 82,1 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2025 sebesar Rp2.865,5 triliun. Capaian ini menunjukkan kinerja penerimaan tetap bergerak meski dihadapkan pada dinamika ekonomi global.

Penerimaan perpajakan menjadi tulang punggung dengan realisasi Rp1.903,9 triliun atau 79,8 persen dari proyeksi Rp2.387,3 triliun. Di dalamnya, penerimaan pajak tercatat Rp1.634,4 triliun atau 78,7 persen dari proyeksi, sementara kepabeanan dan cukai mencapai Rp269,4 triliun atau 86,8 persen dari target.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menunjukkan kinerja relatif kuat dengan realisasi Rp444,9 triliun atau 93,2 persen dari proyeksi tahun ini.

Di sisi belanja, realisasi pengeluaran negara mencapai Rp2.911,8 triliun atau 82,5 persen dari proyeksi Rp3.527,5 triliun. Belanja pemerintah pusat (BPP) tercatat Rp2.116,2 triliun atau 79,5 persen dari pagu.

Rincian belanja menunjukkan belanja kementerian/lembaga (K/L) telah terserap Rp1.110,7 triliun atau 87,1 persen dari proyeksi, sedangkan belanja non-K/L terealisasi Rp1.005,5 triliun atau 72,5 persen. Adapun transfer ke daerah (TKD) mencapai Rp795,6 triliun atau 92,1 persen dari target.

Dengan komposisi tersebut, keseimbangan primer tercatat defisit Rp82,2 triliun. Indikator ini mencerminkan kemampuan negara mengelola kewajiban utang di luar pembayaran bunga.

“Keseimbangan primer Rp82,2 triliun mencerminkan APBN tetap prudent di tengah tantangan global,” tegas Purbaya, menegaskan bahwa pengelolaan fiskal hingga akhir November masih berada dalam jalur kehati-hatian pemerintah. (alf)

Setoran Pajak Capai Rp1.634,4 Triliun hingga November, Pemerintah Genjot Kinerja Akhir Tahun

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa penerimaan pajak hingga akhir November 2025 telah mencapai Rp1.634,4 triliun. Capaian tersebut setara dengan 78,7 persen dari proyeksi penerimaan pajak sepanjang tahun 2025 yang diperkirakan mencapai Rp2.076,9 triliun.

Meski demikian, proyeksi penerimaan pajak tahun ini tercatat lebih rendah dibandingkan target yang telah ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun. Kondisi ini mencerminkan tekanan yang masih dihadapi penerimaan negara di tengah dinamika ekonomi global dan domestik.

“Ini pasti teman-teman bertanya, pajak bagaimana sih,” ujar Purbaya saat menyampaikan keterangan dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (18/12/2025). Ia menegaskan bahwa pemerintah terus memantau perkembangan penerimaan pajak secara cermat hingga penghujung tahun.

Secara tahunan, kinerja penerimaan pajak hingga November 2025 juga tercatat lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada November 2024, setoran pajak berhasil dihimpun sebesar Rp1.688,6 triliun, dengan realisasi akhir tahun mencapai sekitar Rp1.931,6 triliun.

Purbaya mengakui perlambatan tersebut menjadi perhatian serius pemerintah. Menjelang bulan terakhir 2025, berbagai langkah perbaikan terus dilakukan untuk menjaga agar penerimaan pajak tidak melenceng jauh dari proyeksi yang telah ditetapkan.

Salah satu upaya utama yang ditempuh adalah pembenahan sistem administrasi perpajakan melalui penyempurnaan Coretax. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan akurasi data, memperlancar layanan, serta mendukung pengawasan kepatuhan wajib pajak secara lebih efektif.

“Coretax sudah diperbaiki dan saat ini berjalan dengan baik. Ke depan akan terus kita sempurnakan,” kata Purbaya. Pemerintah optimistis, perbaikan sistem dan penguatan administrasi pajak dapat menjadi fondasi penting untuk memperbaiki kinerja penerimaan negara, tidak hanya di sisa tahun 2025, tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya. (alf)

Bea Cukai Percepat Transformasi Digital, Djaka Budhi: Pengawasan Modern Kunci Tekan Penyelundupan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terus memperkuat transformasi digital kepabeanan sebagai upaya meningkatkan pengawasan sekaligus mempercepat layanan arus barang. Langkah ini ditegaskan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Letjen (Purn) Djaka Budhi Utama dalam Seminar Nasional Outlook Kepabeanan 2026 yang digelar Perhimpunan Ahli Kepabeanan Indonesia (PERAKI) di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea Cukai, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Djaka menyampaikan, penguatan teknologi menjadi fondasi penting dalam menjawab tantangan perdagangan global yang kian kompleks. Salah satu terobosan utama adalah pengoperasian alat pemindai peti kemas X-Ray yang dilengkapi Radiation Portal Monitor (RPM) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Teknologi RPM tersebut dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan memungkinkan petugas Bea Cukai mendeteksi isi kontainer sekaligus potensi kandungan radiasi tanpa harus membuka peti kemas. Menurut Djaka, sistem ini membuat proses pemeriksaan menjadi lebih cepat, akurat, dan aman.

“Dengan pemindai ini, keamanan meningkat, layanan menjadi lebih singkat, dan potensi pelanggaran dapat ditekan sejak dini,” ujar Djaka menegaskan manfaat langsung teknologi tersebut bagi dunia usaha dan negara.

Selain pemindai kontainer, Bea Cukai juga mengembangkan layanan digital Trade AI, sebuah aplikasi internal yang dirancang untuk meningkatkan ketepatan analisis impor. Sistem ini mampu mendeteksi lebih awal praktik under-invoicing, over-invoicing, hingga indikasi pencucian uang berbasis perdagangan.

Tak hanya itu, Bea Cukai memperkenalkan Self Service Report Mobile (SSR-Mobile), yakni fitur pelaporan mandiri yang dilengkapi teknologi geotagging, pencatatan real-time, serta integrasi kecerdasan artifisial untuk memantau aktivitas pemasukan dan pengeluaran barang di kawasan fasilitas kepabeanan.

Djaka mengungkapkan, alat pemindai RPM tidak hanya terpasang di Tanjung Priok, tetapi juga telah dioperasikan di Surabaya, Semarang, dan Medan. Sementara itu, pengembangan sistem Trade AI membutuhkan investasi teknologi informasi sekitar Rp45 miliar.

Menurut Djaka, apabila setiap pelabuhan utama dilengkapi dengan sistem pemindai dan analitik digital tersebut, ruang gerak aktivitas impor dan ekspor ilegal akan semakin menyempit. Ia menekankan bahwa transformasi digital di bidang kepabeanan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis.

“Kita harus menjaga kepercayaan publik, menjaga daya saing ekonomi nasional, dan memerangi penyelundupan dengan pendekatan yang lebih modern dan berbasis teknologi,” pungkas Djaka. (bl)

Temui Gubernur Khofifah, DJP Jawa Timur Perkuat Sinergi Pajak hingga Tingkat Desa

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur memperkuat sinergi perpajakan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui pertemuan bersama Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (15/12/2025) malam. Pertemuan ini menegaskan komitmen kolaborasi pemerintah pusat dan daerah hingga tingkat desa, khususnya dalam pengelolaan Dana Desa dan transformasi layanan perpajakan digital.  

Pertemuan tersebut membahas penguatan pemanfaatan data perpajakan, optimalisasi penerimaan pusat dan daerah, serta dukungan terhadap koperasi dan UMKM. DJP menilai kerja sama yang selama ini berjalan perlu diperkuat dan diformalkan agar memberi dampak berkelanjutan terhadap kemandirian fiskal.  

Plt. Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Kindy Rinaldy Syahrir, menegaskan kesiapan DJP mendampingi pemerintah daerah hingga ke tingkat desa.

(Foto: Istimewa)

“DJP berkomitmen untuk terus bersinergi dengan pemerintah daerah, termasuk sampai ke tingkat desa, agar pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kewajiban perpajakan dapat berjalan tertib, transparan, dan sesuai ketentuan,” ujar Kindy.  

Pendampingan tersebut meliputi pemenuhan kewajiban perpajakan dalam pengelolaan APBD dan APBDes, pemanfaatan Cash Management System (CMS) bersama perbankan Himbara, serta penguatan kepatuhan pajak atas Dana Desa di seluruh wilayah Jawa Timur.  

Gubernur Khofifah menjelaskan bahwa Dana Desa merupakan kewenangan pemerintah pusat, sementara peran pemerintah provinsi lebih difokuskan pada pembinaan dan penguatan koordinasi. Ia juga menyoroti perlunya penyederhanaan mekanisme perpajakan di tingkat desa.

“Perlu ada mekanisme yang lebih sederhana agar administrasi perpajakan tidak menjadi beban bagi pemerintah desa, termasuk wacana pemotongan pajak di muka,” kata Khofifah.  

Dalam pertemuan tersebut, Khofifah juga mengusulkan pembentukan forum lintas instansi sebagai wadah pembahasan terpadu persoalan perpajakan di Jawa Timur. Ia menekankan pentingnya pendampingan hukum melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang saat ini berjumlah 8.494 unit dan menjadi yang terbanyak di Indonesia.  

Dari sisi penguatan ekonomi desa, Gubernur Khofifah menyampaikan bahwa Jawa Timur telah membentuk 8.494 Koperasi Desa Kawasan Mandiri Pangan atau Koperasi Merah Putih. Selain itu, Jawa Timur juga menjadi provinsi dengan jumlah Desa Devisa terbanyak melalui pendampingan UMKM berorientasi ekspor.  

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I, Samingun, meminta dukungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mendorong percepatan aktivasi akun Coretax DJP.

“Dukungan pemerintah daerah sangat penting agar masyarakat dan pemangku kepentingan di Jawa Timur dapat segera beradaptasi dengan sistem Coretax, sehingga layanan perpajakan menjadi lebih mudah dan transparan,” ujar Samingun.  

Menutup pertemuan, Khofifah menegaskan bahwa koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci agar kebijakan perpajakan dapat dipahami dan dijalankan secara efektif hingga tingkat desa.

“Sinergi yang baik akan memastikan kebijakan perpajakan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Jawa Timur,” pungkasnya.  (alf)

Bea Cukai Ajak PERAKI Jadi Agen Perubahan, Dorong Kolaborasi Perkuat Transparansi Kepabeanan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengajak komunitas profesional kepabeanan untuk mengambil peran strategis sebagai agen perubahan. Ajakan itu disampaikan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama dalam Seminar Nasional Outlook Kepabeanan 2026 yang digelar oleh Perkumpulan Ahli Kepabeanan Indonesia (PERAKI) di Pusdiklat Bea Cukai, Kamis (18/12/2025).

Djaka menekankan, tantangan kepabeanan ke depan menuntut kolaborasi yang lebih erat antara otoritas dan para praktisi. Menurutnya, PERAKI memiliki posisi penting untuk menjadi jembatan penyampai pesan kebijakan sekaligus penggerak perubahan di lapangan. “Kami berharap PERAKI dapat menjadi agen perubahan dan turut menyampaikan pesan-pesan Bea Cukai, agar pengawalan kinerja institusi ini berjalan bersama-sama,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Djaka memaparkan langkah modernisasi yang tengah dan akan terus diperkuat DJBC, salah satunya penerapan Smart Logistics and Monitoring System (SSLM) di kawasan berikat. Sistem ini diharapkan mempermudah pengelola kawasan berikat dalam memantau arus barang secara real time dan terintegrasi.

Selain SSLM, Bea Cukai juga mengoptimalkan penggunaan alat pemindai peti kemas serta pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI). Kombinasi teknologi tersebut dinilai strategis untuk meningkatkan transparansi, memperkuat pengawasan, dan menjaga keamanan barang lintas batas, sekaligus menekan potensi penyimpangan.

Djaka menegaskan, modernisasi teknologi tidak akan efektif tanpa dukungan ekosistem. Karena itu, kolaborasi berkelanjutan dengan PERAKI menjadi krusial, baik dalam sosialisasi kebijakan, peningkatan kepatuhan, maupun pembentukan budaya kepabeanan yang berintegritas.

Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi publik yang konsisten agar masyarakat memahami arah transformasi Bea Cukai. Melalui peran aktif para ahli kepabeanan, pesan-pesan kebijakan diharapkan tersampaikan lebih utuh dan aplikatif kepada pelaku usaha.

“Kolaborasi yang erat dan terus-menerus ini diharapkan dapat menjawab harapan masyarakat. Pada akhirnya, citra Bea Cukai ke depan akan semakin baik karena didukung transparansi, profesionalisme, dan sinergi,” kata Djaka. (bl)

Kanwil DJP Sumbar–Jambi Amankan Rp583,56 Miliar dari Pengawasan dan Penegakan Hukum

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Barat dan Jambi berhasil mengamankan penerimaan negara sebesar Rp583,56 miliar sepanjang tahun 2025 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum perpajakan yang dijalankan secara terpadu dan berimbang.

Kepala Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, Arif Mahmudin Zuhri, menegaskan bahwa seluruh upaya tersebut berangkat dari penguatan kepatuhan dasar Wajib Pajak.

“Penegakan hukum perpajakan pada prinsipnya berangkat dari kepatuhan dasar Wajib Pajak, yaitu penyampaian Surat Pemberitahuan secara benar dan tepat waktu,” ujar Arif dalam keterangan resminya, Kamis (18/12/2025).

Hingga 15 Desember 2025, tingkat kepatuhan formal Wajib Pajak di wilayah Sumatera Barat dan Jambi tercatat sangat positif. SPT Tahunan telah mencapai 98,7 persen, SPT Masa PPN 99,5 persen, dan SPT Masa PPh Pasal 21 bahkan menembus 117,9 persen.

“Capaian ini menunjukkan kepatuhan pajak sukarela yang semakin membaik dan masih berpotensi meningkat hingga akhir tahun,” kata Arif.

Seiring dengan meningkatnya kepatuhan, DJP terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum perpajakan melalui mekanisme yang berjenjang, mulai dari pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, hingga penyidikan. Dari rangkaian upaya tersebut, kontribusi penerimaan yang berhasil diamankan mencapai Rp583,56 miliar.

Pada sektor pemeriksaan pajak, hingga 10 Desember 2025, penerimaan yang dihimpun mencapai Rp437 miliar. Pemeriksaan dilakukan oleh Unit Pemeriksa Pajak di tingkat kanwil dan kantor pelayanan pajak dengan mengedepankan akurasi dan kepatuhan prosedur.

“Pemeriksaan bukan semata-mata untuk mencari kekeliruan, tetapi memastikan keadilan pemenuhan kewajiban perpajakan berbasis data dan ketentuan,” tegas Arif.

Dalam rangka mendukung efektivitas pemeriksaan, sepanjang Januari hingga awal Desember 2025 telah diterbitkan 1.293 Surat Perintah Pemeriksaan dengan potensi awal Rp337,26 miliar. Pada periode yang sama, DJP menyelesaikan 1.365 Laporan Hasil Pemeriksaan yang menghasilkan 8.405 produk hukum perpajakan berupa surat ketetapan dan surat tagihan.

Di sisi penagihan, Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi juga mengintensifkan penagihan aktif sebagai bagian dari pengawasan dan penegakan hukum administrasi. Salah satunya dilakukan melalui pemblokiran serentak rekening penunggak pajak pada November 2025.

“Tindakan penagihan dilakukan setelah tahapan persuasif ditempuh dan tetap memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melunasi kewajibannya secara sukarela,” ujarnya.

Hingga pertengahan Desember 2025, penagihan aktif yang meliputi penerbitan Surat Paksa, tindakan sita, pencegahan, dan pemblokiran rekening berhasil membukukan penerimaan sebesar Rp142 miliar. DJP menilai langkah ini penting untuk menjaga kesetaraan perlakuan antara Wajib Pajak patuh dan tidak patuh.

Selain itu, penegakan hukum pidana perpajakan juga tetap dijalankan secara selektif dan proporsional. Sepanjang 2025, penyelesaian perkara pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan berhasil memulihkan kerugian negara sebesar Rp4,25 miliar.

“Penegakan hukum pidana tetap kami lakukan dengan mengedepankan kepastian hukum serta pemulihan kerugian negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Arif.

Ia menegaskan komitmen DJP untuk terus menghadirkan pengawasan dan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, dan humanis.

“Dengan semangat Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh, kami akan terus meningkatkan kualitas layanan, memperkuat pengawasan, dan menjaga kepercayaan publik,” pungkasnya.  (bl)

DJP Perpanjang Masa Aktif Kode Billing Jadi 14 Hari, Ini Alasannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memperpanjang masa aktif kode billing pajak guna memberikan kemudahan dan kepastian bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor PENG-4/PJ/2025 yang ditetapkan pada 17 Desember 2025  .

Melalui pengumuman tersebut, DJP memperpanjang masa aktif kode billing dari sebelumnya 7 x 24 jam (168 jam) menjadi 14 x 24 jam (336 jam) sejak kode billing diterbitkan. Kebijakan ini berlaku untuk seluruh kode billing yang dibuat sejak pengumuman tersebut diterbitkan.

Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, perpanjangan masa aktif kode billing merupakan bagian dari komitmen berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan sekaligus merespons berbagai masukan dari wajib pajak, khususnya terkait kendala dalam proses pembayaran dan penyetoran pajak.

Dalam praktiknya, DJP menilai bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah kondisi keadaan kahar (force majeure) kerap membuat pembayaran pajak tidak dapat dilakukan tepat waktu, meskipun wajib pajak telah memiliki kode billing yang sah.

Beberapa kondisi yang dikategorikan sebagai keadaan kahar antara lain gangguan infrastruktur jaringan, kompleksitas administrasi pembayaran yang melibatkan pihak ketiga, prosedur pembayaran lintas negara melalui jaringan perbankan internasional, hingga rangkaian hari libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang.

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2024, DJP memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan khusus apabila terjadi keadaan kahar. Perpanjangan masa aktif kode billing ini pun menjadi langkah antisipatif agar pembayaran pajak tidak gagal hanya karena kode billing kedaluwarsa.

Kebijakan ini dirancang untuk mendukung pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara lebih efektif, sekaligus menjaga kelancaran arus penerimaan negara.

Dengan masa aktif yang lebih panjang, wajib pajak diharapkan memiliki waktu yang lebih memadai untuk menyelesaikan proses pembayaran pajak, terutama dalam situasi administratif yang kompleks atau melibatkan sistem lintas negara.

DJP juga mengimbau agar pengumuman ini disebarluaskan secara luas, sehingga seluruh wajib pajak dapat memahami dan memanfaatkan kebijakan perpanjangan masa aktif kode billing tersebut secara optimal. (bl)

BI Tahan Suku Bunga, Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas di Tengah Tekanan Global dan Risiko Fiskal

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia kembali memilih bersikap hati-hati dengan menahan suku bunga acuan di tengah ketidakpastian global yang belum mereda dan meningkatnya sorotan terhadap kondisi fiskal domestik. Keputusan ini menegaskan fokus bank sentral untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan menghadapi tekanan berlapis dari faktor eksternal dan internal.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16–17 Desember 2025, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI-Rate di level 4,75%. Sejalan dengan itu, suku bunga Deposit Facility tetap di 3,75% dan Lending Facility dipertahankan sebesar 5,5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, keputusan tersebut konsisten dengan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter, khususnya nilai tukar rupiah, di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global yang masih membayangi.

Dikutip dari Kontan, Rabu (17/12/2025), ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menilai langkah BI ini mencerminkan kesadaran otoritas moneter terhadap tekanan yang sedang dihadapi rupiah. Menurutnya, selain faktor global, kondisi fiskal domestik turut memperberat beban nilai tukar, terutama terkait kebutuhan pembiayaan dan jatuh tempo utang hingga beberapa tahun ke depan.

Rizky juga menilai arus dana ke negara berkembang belum akan deras dalam waktu dekat. Meski bank sentral AS telah mulai memangkas suku bunga, tingginya harga emas serta daya tarik imbal hasil US Treasury membuat aliran modal global masih cenderung berhati-hati.

Pandangan senada disampaikan Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto. Ia menekankan bahwa penahanan suku bunga selama dua bulan terakhir bertujuan utama menjaga stabilitas moneter dan menahan volatilitas rupiah di tengah derasnya arus keluar modal. Dengan mempertahankan selisih imbal hasil obligasi Indonesia dan Amerika Serikat, daya tarik aset domestik diharapkan tetap terjaga.

Myrdal menambahkan, kebijakan tersebut diharapkan mampu meredam pergerakan dana asing jangka pendek sekaligus mengurangi kebutuhan penyesuaian nilai tukar yang terlalu tajam. Ia optimistis stabilitas rupiah hingga tahun depan masih relatif terjaga, ditopang surplus neraca dagang dan sikap BI yang semakin berhati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai peluang penguatan rupiah pada 2026 tetap terbuka meski bersifat bertahap dan terbatas. Menurutnya, potensi penurunan suku bunga bank sentral AS dapat menekan imbal hasil obligasi AS dan melemahkan dolar, sehingga membuka ruang kembalinya arus modal ke negara berkembang.

Namun demikian, Josua mengingatkan pasar akan tetap sensitif terhadap arah kebijakan fiskal dan moneter domestik. Kombinasi kebijakan yang dinilai terlalu longgar berisiko meningkatkan persepsi risiko dan menahan masuknya modal asing. Selain itu, normalisasi harga komoditas serta potensi pelebaran defisit transaksi berjalan juga membuat rupiah rentan bergejolak.

Presiden Komisaris HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, turut menilai rupiah masih menghadapi tantangan struktural untuk menguat signifikan. Risiko inflasi domestik yang tidak terduga serta ketidakpastian arah kebijakan The Fed berpotensi menjadi sumber volatilitas baru di pasar keuangan.

Meski demikian, para ekonom tersebut sepakat bahwa tren rupiah pada 2026 berpeluang mengarah ke apresiasi moderat. Proyeksi nilai tukar akhir 2026 berada di kisaran Rp16.000–Rp16.500 per dolar AS, dengan catatan stabilitas domestik terjaga dan sentimen global tetap kondusif. Penguatan yang lebih dalam dinilai hanya mungkin terjadi bila reformasi struktural berjalan efektif dan kredibilitas kebijakan ekonomi semakin meyakinkan. (alf)

Italia Ingatkan Risiko Fiskal Pemanfaatan Aset Beku Rusia untuk Ukraina

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia menyerukan sikap hati-hati terkait wacana pemanfaatan aset beku milik Rusia yang saat ini tengah dipertimbangkan oleh Uni Eropa. Roma menilai, langkah tersebut berpotensi membawa konsekuensi hukum dan keuangan serius, terutama bila aset itu digunakan untuk mendukung pembiayaan kebutuhan Ukraina.

Mengutip laporan Reuters, Rabu (17/12/2025), Italia menyampaikan kekhawatiran bahwa negara-negara anggota dapat dibebani klaim ganti rugi apabila Rusia berhasil memenangkan gugatan hukum atas kebijakan tersebut. Risiko itu dinilai dapat berdampak langsung pada stabilitas keuangan negara.

Italia juga menekankan pentingnya kajian komprehensif oleh Komisi Eropa. Menurut Roma, setiap opsi pendanaan yang memanfaatkan aset beku perlu diuji secara menyeluruh, baik dari sisi legalitas maupun implikasi fiskalnya, sebelum diambil keputusan final.

Dalam draf dokumen yang masih menunggu finalisasi, pemerintah Italia menyebutkan bahwa rencana tersebut akan dibahas dan dipungut suara di Parlemen Italia. Pemerintah berjanji memberi perhatian khusus terhadap dampak jangka pendek dan jangka panjang kebijakan itu terhadap keuangan publik.

Sikap waspada ini tak lepas dari posisi fiskal Italia yang sedang berupaya keluar dari prosedur pelanggaran defisit anggaran berlebihan yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Roma menilai, keputusan yang tergesa-gesa terkait aset beku Rusia justru berisiko memperburuk posisi fiskal negara pada tahun mendatang.

Sebagai alternatif, Italia mendorong negara-negara mitra untuk mengeksplorasi skema pendanaan lain bagi Ukraina. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pinjaman jembatan yang dijamin oleh dana Uni Eropa, sehingga risiko hukum dan keuangan dapat diminimalkan.

Saat ini, Uni Eropa memang tengah mempertimbangkan pemanfaatan aset bank sentral beku milik Rusia untuk mendukung pembiayaan kebutuhan militer dan sipil Ukraina. Namun, rencana tersebut menuai keberatan dari sejumlah negara anggota, termasuk Belgia.

Di sisi lain, Bank Sentral Rusia telah melayangkan gugatan hukum dan menuntut ganti rugi. Pemerintah Rusia menegaskan bahwa pemanfaatan aset beku tersebut merupakan tindakan ilegal dan menyatakan akan menempuh seluruh jalur yang tersedia untuk melindungi kepentingan nasionalnya. (alf)

Bantuan Bencana dari Luar Negeri Bisa Bebas PPN, DJP Tegaskan Syarat dan Prosedurnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan dari luar negeri yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana di Indonesia dapat memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Fasilitas tersebut diberikan sepanjang memenuhi persyaratan administratif dan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa salah satu syarat utama untuk mendapatkan fasilitas bebas PPN adalah adanya rekomendasi pembebasan bea masuk. Rekomendasi tersebut harus diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), atau gubernur setempat.

“Untuk memperoleh fasilitas ini diperlukan rekomendasi pembebasan bea masuk dari BNPB, BPBD, atau gubernur,” ujar Rosmauli, Rabu (17/12/2025)

Ia menambahkan, ketentuan pembebasan PPN atas bantuan dari luar negeri telah diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa fasilitas bebas PPN hanya dapat diberikan apabila penerima bantuan termasuk dalam kategori pihak tertentu.

Pihak tertentu yang dimaksud meliputi badan atau lembaga yang bergerak di bidang ibadah, amal, sosial, atau kebudayaan; pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; serta lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah yang menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Rosmauli juga menegaskan bahwa setiap barang yang masuk ke wilayah Indonesia, termasuk bantuan bencana, tetap wajib melalui prosedur pemeriksaan kepabeanan. Pemeriksaan tersebut merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pengawasan lalu lintas barang dari luar daerah pabean.

Menurutnya, mekanisme pengawasan ini bukan untuk menghambat penyaluran bantuan, melainkan untuk memastikan bantuan benar-benar digunakan sesuai tujuan kemanusiaan. Selain itu, pemeriksaan dilakukan guna menjamin barang yang masuk aman, layak digunakan, serta tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat.

“Pengawasan juga diperlukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan bantuan kemanusiaan, termasuk kemungkinan pengalihan barang untuk kepentingan di luar penanggulangan bencana,” jelasnya.

Penegasan DJP ini muncul di tengah keluhan sebagian diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Singapura, terkait pengiriman bantuan untuk korban banjir di Sumatera. Seorang diaspora bernama Fika mengungkapkan kekhawatirannya melalui unggahan di akun Instagram @ffawzia07.

Dalam unggahannya, Fika menuliskan bahwa bantuan dari diaspora berpotensi dikenakan pajak apabila bencana yang terjadi belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Unggahan tersebut ramai diperbincangkan dan memicu pertanyaan publik mengenai kebijakan perpajakan atas bantuan kemanusiaan dari luar negeri.

DJP pun menegaskan bahwa selama persyaratan dan mekanisme yang ditetapkan dipenuhi, bantuan kemanusiaan dari luar negeri tetap dapat memperoleh fasilitas perpajakan, sehingga proses penyalurannya diharapkan berjalan lancar dan tepat sasaran. (alf)

en_US