Fatwa MUI: Zakat Dapat Jadi Pengurang Kewajiban Pajak Umat Islam

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa baru yang mempertegas hubungan antara kewajiban zakat dan sistem perpajakan nasional. Melalui keputusan yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025), MUI menetapkan bahwa zakat yang telah dibayarkan umat Islam dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak kepada negara.

“Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam.

Asrorun menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan terobosan dalam konsep perpajakan nasional. Menurutnya, umat Islam yang telah menjalankan kewajiban keagamaan melalui pembayaran zakat seharusnya mendapatkan pengakuan dalam sistem fiskal negara.

“Ini terobosan baru untuk menjamin keadilan partisipatif. Masyarakat Muslim yang sudah berkontribusi melalui zakat semestinya mendapatkan pengurangan ketika memenuhi kewajiban pajaknya,” jelasnya.

Dalam ajaran Islam, zakat merupakan kewajiban moral dan hukum bagi umat Muslim yang telah memenuhi syarat harta. Dana zakat disalurkan kepada pihak yang berhak (mustahik), seperti fakir, miskin, dan kelompok penerima lainnya sesuai syariat.

Melalui fatwa tersebut, nilai zakat yang dibayarkan umat Islam akan dapat diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban pajak, sehingga pembayaran zakat dan pajak tidak lagi dipandang sebagai beban ganda.

Rekomendasi untuk Pemerintah

MUI juga mengharapkan fatwa ini menjadi rujukan kebijakan bagi pemerintah, khususnya dalam penyempurnaan regulasi perpajakan agar selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Asrorun menilai, arah kebijakan fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berorientasi pada peningkatan kemakmuran rakyat melalui optimalisasi Pasal 33 UUD 1945 sejalan dengan nilai dasar fatwa ini.

“Pajak harus didedikasikan untuk kesejahteraan, bukan menambah beban orang yang justru memerlukan bantuan. Semangatnya di situ,” tambahnya.

Fatwa ini diperkirakan berpotensi:

• meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat Muslim,

• mendorong optimalisasi penyaluran zakat melalui lembaga resmi,

• memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan nilai keagamaan.

Keputusan ini juga diyakini dapat menghindarkan persepsi tumpang tindih antara pembayaran pajak dan zakat, sekaligus membuka ruang dialog antara pemerintah, MUI, dan otoritas fiskal mengenai implementasi teknis pada regulasi perpajakan ke depan. (alf)

AS Siapkan Opsi Tarif Alternatif Jelang Putusan Mahkamah Agung

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Donald Trump tengah melakukan manuver penting di bidang perdagangan internasional dengan mempersiapkan sejumlah skema tarif alternatif apabila Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memutuskan mencabut kewenangan utama pemerintah dalam menerapkan tarif impor. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi agar kebijakan tarif tidak terhenti tiba-tiba dan tetap dapat diberlakukan untuk mengendalikan arus impor.

Menurut laporan Bloomberg dikutip, Minggu (23/11/2025), Departemen Perdagangan dan Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengkaji berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan sebagai pengganti, termasuk Section 301 dan Section 122 dalam Trade Act, yang memungkinkan presiden menetapkan tarif secara unilateral. Meski demikian, cakupan keduanya dinilai lebih sempit dan proses penerapannya lebih lambat dibanding skema berbasis International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang saat ini digunakan Trump.

“Kami berharap hasilnya baik, tetapi jika tidak, kami selalu menemukan cara,” ujar Presiden Trump pekan lalu, menegaskan bahwa kebijakan tarif tetap menjadi fondasi strategi ekonomi pemerintahannya.

Rencana cadangan ini memuncak setelah sejumlah hakim Mahkamah Agung dalam sidang dengar pendapat terbaru menunjukkan keraguan terhadap legalitas tarif global berbasis IEEPA. Situasi tersebut memunculkan prediksi adanya potensi putusan yang tidak berpihak kepada pemerintahan Trump.

Kendati begitu, Gedung Putih menahan diri untuk menjelaskan langkah teknis yang tengah disiapkan. Juru bicara pemerintah, Kush Desai, hanya menegaskan bahwa Trump menggunakan kewenangan tarif darurat yang diberikan Kongres dan pemerintah yakin akan menang.

“Pemerintahan selalu mencari cara untuk mengatasi defisit perdagangan barang AS dan menghidupkan kembali sektor manufaktur sebagai komponen penting bagi keamanan nasional,” ujar Desai.

Mahkamah Agung belum memastikan kapan putusan akan dibacakan. Putusan dapat mempertahankan kewenangan tarif, mencabutnya, atau hanya membataskannya sebagian—menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha maupun mitra dagang AS.

Tarif Efektif Tembus 14,4 Persen 

Bloomberg Economics memperkirakan tarif efektif atas impor AS saat ini mencapai 14,4 persen, dengan lebih dari separuhnya bersumber dari pungutan berbasis IEEPA. Jika IEEPA dibatalkan, sebagian besar tarif itu kemungkinan akan berpindah ke skema alternatif.

Sejumlah opsi cadangan bahkan sudah bergulir, termasuk investigasi Section 301 terhadap Brasil. Tarif Section 301 untuk sebagian barang impor China juga masih berlaku sejak masa jabatan pertama Trump, meski mekanisme ini umumnya membutuhkan proses investigasi mendalam sebelum dapat dijalankan.

Direktur National Economic Council Kevin Hassett menyatakan pemerintah memiliki banyak jalur untuk mempertahankan strategi tarif.

“Ada banyak cara agar kami dapat mengganti kebijakan yang berlaku dengan otoritas lain,” ujarnya.

Meskipun banyak pilihan tersedia, sebagian mekanisme memiliki keterbatasan. Section 122, misalnya, hanya memungkinkan tarif maksimal 15 persen selama 150 hari. Sementara Section 338 dalam Tariff Act secara teori dapat diterapkan, namun belum pernah digunakan dan diperkirakan akan memicu gugatan hukum baru jika dijalankan.

Mantan negosiator perdagangan Wendy Cutler bahkan menilai sejumlah kebijakan tarif terbaru Trump kemungkinan telah disiapkan sebagai rencana cadangan apabila IEEPA nantinya dinyatakan inkonstitusional.

Namun, perubahan tarif secara mendadak berisiko menimbulkan permasalahan administratif, termasuk kemungkinan pengembalian bea masuk yang telah dipungut.

“Jika tarif dibatalkan dan harus dihitung ulang, itu akan menjadi kekacauan besar,” ucap Scott Lincicome dari Cato Institute.

Ketidakpastian menjelang putusan Mahkamah Agung membuat pelaku usaha global bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan investasi dan pengadaan impor. Negara-negara mitra dagang utama AS juga menunggu arah kebijakan baru, karena perubahan tarif diperkirakan akan memengaruhi rantai pasokan internasional. (alf)

Pemerintah Perkuat Kebijakan Fiskal Pro Rakyat untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi 2025

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan komitmen pemerintah memperkuat kebijakan fiskal yang berpihak kepada masyarakat guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional pada akhir 2025. Arah kebijakan tersebut menjadi bagian dari evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Suahasil menjelaskan bahwa sejak awal tahun, Kementerian Keuangan melakukan penyisiran anggaran secara menyeluruh untuk memastikan belanja negara digunakan secara efektif. 

“Program-program yang prioritas kita biayai. Program-program yang tidak penting kita stop,” ujarnya, dikutip Minggu (23/11/2025). Dana hasil efisiensi kemudian dialihkan untuk membiayai sejumlah program prioritas baru seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai berjalan sejak 6 Januari, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Desa Merah Putih.

Menjelang penghujung tahun, pemerintah terus mempercepat realisasi belanja APBN sebesar Rp3.500 triliun agar dapat menjadi katalis ekonomi, meningkatkan aktivitas usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan. “Percepatan belanja ini akan menjadi salah satu katalis di perekonomian, mendorong kegiatan ekonomi, dan ini kita harapkan berkontribusi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, serta kesejahteraan,” ujar Suahasil.

Selain itu, pemerintah menempatkan Rp200 triliun kas negara di perbankan dari sebelumnya berada di Bank Indonesia. Kebijakan ini bertujuan memperkuat likuiditas perbankan dan menurunkan suku bunga agar investasi semakin feasible dan aktivitas ekonomi semakin bergairah.

Suahasil menambahkan bahwa kebijakan fiskal juga berjalan seiring dengan perbaikan iklim investasi melalui reformasi struktural, kepastian hukum, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, kesehatan, dan infrastruktur. 

Ia menegaskan bahwa seluruh belanja APBN setara 14 persen dari PDB digunakan secara strategis untuk mendukung delapan program prioritas Presiden, termasuk hilirisasi industri sebagai kunci dalam menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (alf)

Aturan Turunan UU HPP & P2SK Dikebut, Pajak Karbon Jadi Sorotan Komisi XI

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI untuk memaparkan progres penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Penyusunan regulasi turunan ini menjadi krusial karena menentukan implementasi teknis dari agenda reformasi perpajakan dan sistem keuangan nasional.

Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa lima PP turunan UU HPP telah berlaku, sementara PP 55 Tahun 2022 tengah direvisi untuk menyesuaikan standar OECD, mengatur perlakuan atas biaya suap dan gratifikasi, serta memperjelas kriteria wajib pajak berperedaran bruto tertentu. Di saat bersamaan, DJP juga menyiapkan rancangan aturan pajak karbon yang perlu terintegrasi dengan roadmap lintas kementerian.

Sementara itu untuk UU P2SK, empat PP telah rampung, dan empat RPP lainnya sedang difinalisasi. Aturan tersebut mencakup penempatan dana LPS, penguatan lembaga keuangan mikro, literasi dan inklusi keuangan, serta pengelolaan aset dan liabilitas program pensiun — seluruhnya merupakan instrumen pembenahan arsitektur keuangan nasional.

Sorotan terbesar dalam diskusi datang dari isu pajak karbon. Komisi XI meminta percepatan roadmap mengingat pasar karbon nasional telah beroperasi sejak 2023. Menjawab itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Kacaribu, memastikan posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling progresif dalam pengurangan emisi global.

“Indonesia sangat on track mengurangi emisi gas rumah kaca. Kita bahkan memiliki surplus lebih dari seribu juta ton karbon kredit dan kini meminta negara lain ikut membayar kontribusi Indonesia,” ujar Febrio dikutip dari website Kemenkeu, Minggu (23/11/2025).

Ia menegaskan bahwa penerapan pajak karbon akan berjalan bertahap dan hati-hati agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi perekonomian nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Kementerian Keuangan juga mengajukan 13 RPP untuk masuk Program Legislasi Pemerintah (Progsun) 2026, mulai dari penguatan tata kelola sektor keuangan, pembatasan kepemilikan asing, program penjaminan polis, pengembangan keuangan berkelanjutan, hingga pembentukan SPV dan Trustee.

Kemenkeu menegaskan komitmen mempercepat seluruh mandat regulasi melalui koordinasi erat dengan OJK, BI, dan LPS, serta akan menyampaikan laporan tertulis atas seluruh pertanyaan Komisi XI. Pemerintah berharap percepatan regulasi turunan ini mampu memperkuat sistem perpajakan sekaligus menjaga stabilitas dan daya saing keuangan nasional. (alf)

Pemprov DKI Minta Insentif Pajak Kendaraan Listrik 0% Dicabut, Potensi Pendapatan Hilang Rp2 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendorong Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar meninjau ulang kebijakan insentif pajak kendaraan listrik 0 persen. Usulan tersebut diajukan karena program pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk mobil dan motor listrik dinilai menyebabkan potensi pendapatan daerah hilang hingga Rp2 triliun.

Pemprov menilai, pendapatan dari sektor pajak kendaraan bermotor selama ini menjadi salah satu penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hilangnya pemasukan dari dua sektor pajak itu dianggap mempersempit ruang fiskal Pemprov DKI dalam menangani persoalan kota seperti kemacetan dan polusi.

Namun, meski usulan sudah disampaikan, Kemenkeu belum dapat menghapus insentif tersebut. Bukan karena penolakan, melainkan karena kebijakan tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang berarti perubahan hanya dapat dilakukan melalui revisi undang-undang.

“Kami sudah bertemu Dirjen Perimbangan Keuangan untuk membahas ini. Karena insentif kendaraan listrik mandat undang-undang, maka perubahan harus lewat revisi undang-undang. Sejauh ini masih cukup berat,” ujar Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Yustinus Prastowo, Minggu (23/11/2025).

Dengan kecilnya peluang untuk menghapus insentif dalam waktu dekat, Pemprov DKI kini menyiapkan alternatif solusi. Opsi yang paling memungkinkan yaitu meminta pemerintah pusat meningkatkan dana transfer ke daerah pada tahun anggaran berikutnya untuk mengompensasi hilangnya pendapatan dari pajak kendaraan listrik.

“Kalau pendapatan dari pajak kendaraan berkurang sementara kita harus mengatasi dampak macet, polusi, dan lainnya, dukungan dari pusat melalui dana transfer bisa menjadi kompensasi,” ujar Prastowo.

Meski begitu, Pemprov DKI tidak mengajukan besaran kebutuhan dana tambahan. Alasannya, beban fiskal akibat insentif kendaraan listrik bukan hanya dialami DKI Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lain di Indonesia.

“Kami tidak menyebut angka. Kami hanya menyampaikan situasinya dan menyerahkan perhitungan kepada pemerintah pusat. Cepat atau lambat, daerah lain juga pasti terdampak, terutama daerah dengan kapasitas fiskal yang kecil,” tambahnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Lusiana Herawati mengungkapkan bahwa kebijakan insentif pajak kendaraan listrik memang cukup signifikan terhadap penurunan pendapatan daerah. Hingga kini, tarif BBNKB dan PKB untuk kendaraan listrik masih ditetapkan 0 persen hingga akhir 2025.

Menurutnya, tanpa insentif tersebut, sektor kendaraan listrik berpotensi memberikan pemasukan besar bagi APBD. Namun, dengan berlakunya pembebasan pajak, penerimaan mengalami penurunan tajam.

Kebijakan insentif kendaraan listrik sejatinya diharapkan mendorong transisi menuju transportasi ramah lingkungan. Namun di sisi lain, pemerintah daerah menghadapi dilema karena berkurangnya sumber pendapatan yang selama ini menjadi tulang punggung keuangan daerah. (alf)

Pemerintah Pastikan Tak Ada APBN Keluar untuk Musnahkan Barang Impor Ilegal

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan proses pemusnahan barang impor ilegal tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan seluruh biaya pemusnahan sepenuhnya menjadi kewajiban importir yang melanggar aturan.

Budi menjelaskan, setiap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran akan langsung dikenai dua sanksi: penutupan usaha dan kewajiban memusnahkan seluruh barang yang disita. “Biaya pemusnahan itu tanggung jawab importir. Negara tidak mengeluarkan apa pun,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Dua perusahaan yang baru saja ditindak telah menjalankan ketentuan tersebut. Semua barang sitaan dimusnahkan secara bertahap dengan biaya internal perusahaan dan ditargetkan rampung pada akhir November 2025.

Budi juga meluruskan perbedaan kewenangan antara Kemendag dan Kementerian Keuangan terkait penanganan impor ilegal. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai biaya pemusnahan kontainer balpres ilegal sebesar Rp12 juta merujuk pada penanganan di level border, yang menjadi domain Bea Cukai di bawah Kemenkeu. Sementara Kemendag menangani penindakan post-border, yakni barang yang sudah berada di peredaran domestik.

Di sisi lain, Menkeu Purbaya tengah mengusulkan perubahan skema penanganan balpres ilegal agar tidak membebani APBN, termasuk opsi pencacahan ulang barang sitaan menjadi bahan baku industri tekstil dan sebagian didistribusikan kepada UMKM. Gagasan tersebut disebut telah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto dan melibatkan Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) serta koordinasi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman.

Dengan skema penindakan yang tegas dan pembiayaan sepenuhnya oleh pelaku, pemerintah memastikan penanganan impor ilegal tetap berjalan tanpa menggerus kas negara. (alf)

Komdigi Luruskan Isu Domain Palsu Coretax, Pastikan coretaxdjp.go.id Tidak Pernah Terdaftar

IKPI, Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bergerak cepat menepis isu liar soal dugaan situs Coretax palsu yang menggunakan domain go.id. Isu tersebut sebelumnya ramai dibahas di platform X, memunculkan kebingungan publik terkait keamanan domain pemerintah.

Direktorat Jenderal Teknologi Pemerintah Digital (TPD) Komdigi menegaskan bahwa informasi mengenai situs coretaxdjp.go.id adalah tidak benar dan menyesatkan. Mereka memastikan domain tersebut tidak terdaftar dalam sistem pengelolaan domain pemerintah dan tidak pernah menjadi bagian dari infrastruktur digital negara.

“Keamanan domain .go.id adalah prioritas kami. Setiap informasi yang tidak akurat perlu segera diluruskan agar masyarakat tidak dirugikan dan kepercayaan terhadap layanan digital pemerintah tetap terjaga,” tegas Direktur Jenderal Teknologi Pemerintah Digital, Mira Tayyiba, dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (22/11/2025).

TPD Komdigi juga mengungkapkan telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan informasi mengenai layanan Coretax tidak semakin menimbulkan kebingungan. Komdigi mengapresiasi respons cepat DJP dan mendorong penegasan ulang mengenai alamat resmi Coretax.

Komdigi menilai klarifikasi ini penting untuk menjaga kredibilitas domain pemerintah sebagai ruang digital yang aman dan bebas dari upaya penyesatan informasi.

Isu terkait domain palsu ini mencuat sepanjang pekan setelah sejumlah akun di X memperbincangkan keberadaan situs yang diklaim menyerupai layanan Coretax. Sebagian netizen bahkan mempertanyakan bagaimana sebuah situs yang diduga tidak resmi bisa menggunakan domain go.id.

Setelah dilakukan pengecekan, Komdigi memastikan coretaxdjp.go.id tidak ada dalam daftar domain pemerintah. Rujukan resmi mengenai layanan Coretax juga telah disampaikan oleh DJP melalui akun Instagram @ditjenpajakri, yaitu coretaxdjp.pajak.go.id sebagai alamat yang valid. (alf)

Menkeu Purbaya: Defisit APBN 2025 Terkendali, Penerimaan Pajak Masih Jadi Penopang Utama

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga akhir Oktober tercatat sebesar Rp 479,7 triliun, atau 2,02% dari PDB. Angka ini meningkat dibandingkan defisit bulan sebelumnya yang berada di level Rp 371,5 triliun atau 1,56% PDB per 30 September 2025.

Meski melebar secara bulanan, Purbaya menegaskan defisit masih jauh di bawah batas maksimal APBN 2025 yang ditetapkan 2,78% PDB. Ia menilai posisi tersebut menunjukkan ruang fiskal yang tetap terjaga.

“Ini mencerminkan komitmen pengelolaan defisit yang kuat untuk menjaga APBN tetap efektif,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi November 2025, Kamis (20/11/2025).

Penerimaan Pajak Mendorong Lonjakan Pendapatan Negara

Kinerja pendapatan negara terus membaik. Hingga Oktober, total pendapatan mencapai Rp 2.113,3 triliun atau 73,7% dari outlook, naik cukup signifikan dari Rp 1.863 triliun pada bulan sebelumnya.

Kenaikan ini ditopang oleh:

• Penerimaan pajak yang telah menyentuh Rp 1.708 triliun atau 71,6% dari outlook,

• PNBP yang mencapai Rp 402,4 triliun atau 84,3% dari outlook.

Menurut Purbaya, tren ini menunjukkan aktivitas ekonomi yang tetap solid serta dampak penguatan sistem administrasi perpajakan.

Di sisi lain, belanja negara hingga Oktober tercatat Rp 2.593 triliun atau 73,5% dari target. Penyerapan didorong percepatan berbagai program prioritas nasional.

Rinciannya:

• Belanja pemerintah pusat: Rp 1.879,9 triliun (70,6%),

• Transfer ke daerah: Rp 713,4 triliun (82,6%).

Purbaya mengungkapkan Kementerian Keuangan terus melakukan pemantauan mendalam atas pelaksanaan belanja K/L maupun penyaluran ke daerah untuk menjaga kualitas belanja tetap efektif.

Dengan perkembangan ini, pemerintah optimistis pengelolaan fiskal 2025 dapat terjaga sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global. (alf)

DPR Dorong Penyesuaian Kebijakan Pajak untuk Perkuat Industri Petrokimia Nasional

IKPI, Jakarta: Komisi VII DPR RI meminta pemerintah meninjau ulang berbagai kebijakan perpajakan yang selama ini dinilai belum sepenuhnya mendukung kemandirian bahan baku industri nasional. Dorongan ini disampaikan dalam kunjungan kerja spesifik ke PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Jumat (21/11/2025), di tengah upaya menekan ketergantungan impor bahan baku yang masih tinggi.

Pimpinan rombongan, Evita Nursanty, menegaskan bahwa industri petrokimia adalah fondasi sektor manufaktur nasional karena menyuplai bahan baku untuk tekstil, plastik, hingga industri konsumsi. Namun pasokan bahan baku dalam negeri belum mencukupi sehingga beban fiskal, termasuk tarif impor dan struktur insentif perpajakan, menjadi krusial dalam mendorong daya saing.

“Masalah utama industri kita adalah kekurangan bahan baku sehingga harus impor. Industri seperti LCI ini sangat strategis dan perlu dukungan fiskal yang tepat agar kapasitas produksi bisa terus meningkat,” ujar Evita.

Evita menyoroti ketimpangan perlakuan fiskal Indonesia dibanding negara-negara pesaing di kawasan. Ia menyebut Thailand, Singapura, dan Malaysia sudah menerapkan tarif impor nol untuk sejumlah bahan baku industri petrokimia, sementara Indonesia masih memberlakukan bea masuk tertentu yang dianggap mengurangi daya saing.

“Harapan industri adalah agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang sama. Jika tarif impor bahan baku seperti LPG bisa disesuaikan, beban biaya produksi dapat ditekan dan industri lebih kompetitif,” jelasnya.

Selain itu, Komisi VII turut mencatat keluhan soal keterbatasan fasilitas tax holiday. Dari 15 produk petrokimia yang dihasilkan LCI, baru 7 yang memperoleh insentif tersebut. DPR menilai perlu diperluas agar sejalan dengan investasi, kapasitas produksi, serta dampak ekonominya.

Vice President Director LCI, Jojok Hadrijanto, menyambut positif perhatian DPR terhadap isu perpajakan yang memengaruhi sektor petrokimia.

Menurutnya, terdapat tiga kebutuhan utama industri yang berkaitan langsung dengan kebijakan pajak dan fiskal:

1. Penyesuaian import duty untuk LPG sebagai bahan baku utama.

2. Dukungan fiskal bagi produk petrokimia nasional agar tidak kalah dari produk impor.

3. Perluasan insentif tax holiday untuk seluruh produk yang sudah beroperasi komersial.

“Semoga ini menjadi angin segar untuk industri kimia nasional. Kebijakan fiskal yang tepat akan sangat menentukan kelanjutan investasi,” katanya.

DPR Akan Bahas di Panja Daya Saing

Evita memastikan seluruh aspirasi terkait pajak dan fiskal akan dibahas dalam rapat lintas kementerian melalui Panitia Kerja Daya Saing. Ia menegaskan pembahasan ini penting agar kebijakan industri dan insentif perpajakan berjalan selaras.

“Karena ini sifatnya Panja Daya Saing, kita bisa memanggil berbagai kementerian untuk merumuskan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif,” tegasnya.

Komisi VII berharap penyesuaian kebijakan pajak dapat memperkuat struktur bahan baku dalam negeri, mengurangi impor, dan mendorong pertumbuhan industri petrokimia sebagai pilar utama ekonomi nasional. (alf)

Baru 21,6% WP Aktivasi Coretax, DJP Genjot Percepatan Jelang Wajib Pakai 2026

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait implementasi Coretax. Hingga 16 November 2025, baru 3,18 juta dari sekitar 14 juta wajib pajak (WP) terdaftar yang berhasil mengaktifkan akun di sistem perpajakan terbaru tersebut. Angka itu baru setara 21,6% dari target yang ditetapkan DJP.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa jumlah itu terdiri atas 599 ribu WP badan termasuk koperasi, serta 2,6 juta WP orang pribadi. Namun dari WP orang pribadi yang sudah aktivasi akun, baru 1,6 juta WP yang menuntaskan registrasi kode otorisasi dan tanda tangan digital—atau hanya 11,92% dari total WP terdaftar.

“Ini masih jauh dari ideal. Karena itu kami terus mendorong percepatan aktivasi,” ujar Bimo dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi November 2025, Sabtu (22/11/2025).

Bimo menyebut DJP terus menggandeng berbagai kementerian dan lembaga untuk memperluas jangkauan aktivasi Coretax, terutama menjelang penerapan wajib pelaporan SPT Tahunan 2025 melalui Coretax mulai tahun 2026.

“Salah satu yang sudah berjalan ialah kewajiban bagi ASN, TNI, dan Polri untuk mengaktivasi akun serta registrasi kode otorisasi paling lambat 31 Desember 2025,” jelasnya.

Instruksi tersebut dikeluarkan melalui kerja sama dengan Kementerian PAN-RB sebagai bagian dari percepatan transformasi digital perpajakan.

Di luar sektor aparatur negara, Bimo juga meminta masyarakat dan dunia usaha untuk segera menyelesaikan aktivasi secara sukarela.

“Kami mengimbau masyarakat, pembayar pajak yang baik, supaya segera mendaftarkan identitasnya di Coretax,” ujar Bimo.

Ia menambahkan, “Kami juga mengajak perusahaan dan pemberi kerja untuk mendorong pegawai di lingkungan masing-masing agar segera melakukan aktivasi.”

Cara Aktivasi Coretax

Mengutip panduan dari DJP, proses aktivasi akun Coretax dapat dilakukan secara mandiri melalui laman resmi. Berikut ringkasan tahapannya:

1. Aktivasi Akun Coretax

Syarat: Memiliki NPWP.

Tahapan:

• Buka laman Coretax → pilih Aktivasi Akun Wajib Pajak

• Masukkan NPWP → isi email & nomor ponsel yang terdaftar di DJP Online

• Verifikasi identitas → simpan → cek email untuk kata sandi sementara

• Login kembali → ganti kata sandi → buat passphrase

2. Membuat Kode Otorisasi DJP (KO DJP)

KO DJP berfungsi sebagai tanda tangan elektronik resmi.

Cara membuat:

• Login Coretax → Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik

• Isi data dan pilih penyedia sertifikat

• Masukkan ID penandatangan atau passphrase

• Kirim → unduh bukti penerbitan sertifikat digital

3. Validasi Kode Otorisasi

• Portal Saya → Profil Saya → Digital Certificate

• Pastikan status VALID (jika belum, klik Periksa Status)

• Jika berhasil, dokumen penerbitan KO DJP muncul di Dokumen Saya (alf)

en_US