Pemerintah Pastikan Tak Ada APBN Keluar untuk Musnahkan Barang Impor Ilegal

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan proses pemusnahan barang impor ilegal tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan seluruh biaya pemusnahan sepenuhnya menjadi kewajiban importir yang melanggar aturan.

Budi menjelaskan, setiap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran akan langsung dikenai dua sanksi: penutupan usaha dan kewajiban memusnahkan seluruh barang yang disita. “Biaya pemusnahan itu tanggung jawab importir. Negara tidak mengeluarkan apa pun,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Dua perusahaan yang baru saja ditindak telah menjalankan ketentuan tersebut. Semua barang sitaan dimusnahkan secara bertahap dengan biaya internal perusahaan dan ditargetkan rampung pada akhir November 2025.

Budi juga meluruskan perbedaan kewenangan antara Kemendag dan Kementerian Keuangan terkait penanganan impor ilegal. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai biaya pemusnahan kontainer balpres ilegal sebesar Rp12 juta merujuk pada penanganan di level border, yang menjadi domain Bea Cukai di bawah Kemenkeu. Sementara Kemendag menangani penindakan post-border, yakni barang yang sudah berada di peredaran domestik.

Di sisi lain, Menkeu Purbaya tengah mengusulkan perubahan skema penanganan balpres ilegal agar tidak membebani APBN, termasuk opsi pencacahan ulang barang sitaan menjadi bahan baku industri tekstil dan sebagian didistribusikan kepada UMKM. Gagasan tersebut disebut telah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto dan melibatkan Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) serta koordinasi dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman.

Dengan skema penindakan yang tegas dan pembiayaan sepenuhnya oleh pelaku, pemerintah memastikan penanganan impor ilegal tetap berjalan tanpa menggerus kas negara. (alf)

Komdigi Luruskan Isu Domain Palsu Coretax, Pastikan coretaxdjp.go.id Tidak Pernah Terdaftar

IKPI, Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bergerak cepat menepis isu liar soal dugaan situs Coretax palsu yang menggunakan domain go.id. Isu tersebut sebelumnya ramai dibahas di platform X, memunculkan kebingungan publik terkait keamanan domain pemerintah.

Direktorat Jenderal Teknologi Pemerintah Digital (TPD) Komdigi menegaskan bahwa informasi mengenai situs coretaxdjp.go.id adalah tidak benar dan menyesatkan. Mereka memastikan domain tersebut tidak terdaftar dalam sistem pengelolaan domain pemerintah dan tidak pernah menjadi bagian dari infrastruktur digital negara.

“Keamanan domain .go.id adalah prioritas kami. Setiap informasi yang tidak akurat perlu segera diluruskan agar masyarakat tidak dirugikan dan kepercayaan terhadap layanan digital pemerintah tetap terjaga,” tegas Direktur Jenderal Teknologi Pemerintah Digital, Mira Tayyiba, dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (22/11/2025).

TPD Komdigi juga mengungkapkan telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan informasi mengenai layanan Coretax tidak semakin menimbulkan kebingungan. Komdigi mengapresiasi respons cepat DJP dan mendorong penegasan ulang mengenai alamat resmi Coretax.

Komdigi menilai klarifikasi ini penting untuk menjaga kredibilitas domain pemerintah sebagai ruang digital yang aman dan bebas dari upaya penyesatan informasi.

Isu terkait domain palsu ini mencuat sepanjang pekan setelah sejumlah akun di X memperbincangkan keberadaan situs yang diklaim menyerupai layanan Coretax. Sebagian netizen bahkan mempertanyakan bagaimana sebuah situs yang diduga tidak resmi bisa menggunakan domain go.id.

Setelah dilakukan pengecekan, Komdigi memastikan coretaxdjp.go.id tidak ada dalam daftar domain pemerintah. Rujukan resmi mengenai layanan Coretax juga telah disampaikan oleh DJP melalui akun Instagram @ditjenpajakri, yaitu coretaxdjp.pajak.go.id sebagai alamat yang valid. (alf)

Menkeu Purbaya: Defisit APBN 2025 Terkendali, Penerimaan Pajak Masih Jadi Penopang Utama

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga akhir Oktober tercatat sebesar Rp 479,7 triliun, atau 2,02% dari PDB. Angka ini meningkat dibandingkan defisit bulan sebelumnya yang berada di level Rp 371,5 triliun atau 1,56% PDB per 30 September 2025.

Meski melebar secara bulanan, Purbaya menegaskan defisit masih jauh di bawah batas maksimal APBN 2025 yang ditetapkan 2,78% PDB. Ia menilai posisi tersebut menunjukkan ruang fiskal yang tetap terjaga.

“Ini mencerminkan komitmen pengelolaan defisit yang kuat untuk menjaga APBN tetap efektif,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi November 2025, Kamis (20/11/2025).

Penerimaan Pajak Mendorong Lonjakan Pendapatan Negara

Kinerja pendapatan negara terus membaik. Hingga Oktober, total pendapatan mencapai Rp 2.113,3 triliun atau 73,7% dari outlook, naik cukup signifikan dari Rp 1.863 triliun pada bulan sebelumnya.

Kenaikan ini ditopang oleh:

• Penerimaan pajak yang telah menyentuh Rp 1.708 triliun atau 71,6% dari outlook,

• PNBP yang mencapai Rp 402,4 triliun atau 84,3% dari outlook.

Menurut Purbaya, tren ini menunjukkan aktivitas ekonomi yang tetap solid serta dampak penguatan sistem administrasi perpajakan.

Di sisi lain, belanja negara hingga Oktober tercatat Rp 2.593 triliun atau 73,5% dari target. Penyerapan didorong percepatan berbagai program prioritas nasional.

Rinciannya:

• Belanja pemerintah pusat: Rp 1.879,9 triliun (70,6%),

• Transfer ke daerah: Rp 713,4 triliun (82,6%).

Purbaya mengungkapkan Kementerian Keuangan terus melakukan pemantauan mendalam atas pelaksanaan belanja K/L maupun penyaluran ke daerah untuk menjaga kualitas belanja tetap efektif.

Dengan perkembangan ini, pemerintah optimistis pengelolaan fiskal 2025 dapat terjaga sekaligus mendukung target pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global. (alf)

DPR Dorong Penyesuaian Kebijakan Pajak untuk Perkuat Industri Petrokimia Nasional

IKPI, Jakarta: Komisi VII DPR RI meminta pemerintah meninjau ulang berbagai kebijakan perpajakan yang selama ini dinilai belum sepenuhnya mendukung kemandirian bahan baku industri nasional. Dorongan ini disampaikan dalam kunjungan kerja spesifik ke PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Jumat (21/11/2025), di tengah upaya menekan ketergantungan impor bahan baku yang masih tinggi.

Pimpinan rombongan, Evita Nursanty, menegaskan bahwa industri petrokimia adalah fondasi sektor manufaktur nasional karena menyuplai bahan baku untuk tekstil, plastik, hingga industri konsumsi. Namun pasokan bahan baku dalam negeri belum mencukupi sehingga beban fiskal, termasuk tarif impor dan struktur insentif perpajakan, menjadi krusial dalam mendorong daya saing.

“Masalah utama industri kita adalah kekurangan bahan baku sehingga harus impor. Industri seperti LCI ini sangat strategis dan perlu dukungan fiskal yang tepat agar kapasitas produksi bisa terus meningkat,” ujar Evita.

Evita menyoroti ketimpangan perlakuan fiskal Indonesia dibanding negara-negara pesaing di kawasan. Ia menyebut Thailand, Singapura, dan Malaysia sudah menerapkan tarif impor nol untuk sejumlah bahan baku industri petrokimia, sementara Indonesia masih memberlakukan bea masuk tertentu yang dianggap mengurangi daya saing.

“Harapan industri adalah agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang sama. Jika tarif impor bahan baku seperti LPG bisa disesuaikan, beban biaya produksi dapat ditekan dan industri lebih kompetitif,” jelasnya.

Selain itu, Komisi VII turut mencatat keluhan soal keterbatasan fasilitas tax holiday. Dari 15 produk petrokimia yang dihasilkan LCI, baru 7 yang memperoleh insentif tersebut. DPR menilai perlu diperluas agar sejalan dengan investasi, kapasitas produksi, serta dampak ekonominya.

Vice President Director LCI, Jojok Hadrijanto, menyambut positif perhatian DPR terhadap isu perpajakan yang memengaruhi sektor petrokimia.

Menurutnya, terdapat tiga kebutuhan utama industri yang berkaitan langsung dengan kebijakan pajak dan fiskal:

1. Penyesuaian import duty untuk LPG sebagai bahan baku utama.

2. Dukungan fiskal bagi produk petrokimia nasional agar tidak kalah dari produk impor.

3. Perluasan insentif tax holiday untuk seluruh produk yang sudah beroperasi komersial.

“Semoga ini menjadi angin segar untuk industri kimia nasional. Kebijakan fiskal yang tepat akan sangat menentukan kelanjutan investasi,” katanya.

DPR Akan Bahas di Panja Daya Saing

Evita memastikan seluruh aspirasi terkait pajak dan fiskal akan dibahas dalam rapat lintas kementerian melalui Panitia Kerja Daya Saing. Ia menegaskan pembahasan ini penting agar kebijakan industri dan insentif perpajakan berjalan selaras.

“Karena ini sifatnya Panja Daya Saing, kita bisa memanggil berbagai kementerian untuk merumuskan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif,” tegasnya.

Komisi VII berharap penyesuaian kebijakan pajak dapat memperkuat struktur bahan baku dalam negeri, mengurangi impor, dan mendorong pertumbuhan industri petrokimia sebagai pilar utama ekonomi nasional. (alf)

Baru 21,6% WP Aktivasi Coretax, DJP Genjot Percepatan Jelang Wajib Pakai 2026

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih memiliki pekerjaan rumah besar terkait implementasi Coretax. Hingga 16 November 2025, baru 3,18 juta dari sekitar 14 juta wajib pajak (WP) terdaftar yang berhasil mengaktifkan akun di sistem perpajakan terbaru tersebut. Angka itu baru setara 21,6% dari target yang ditetapkan DJP.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa jumlah itu terdiri atas 599 ribu WP badan termasuk koperasi, serta 2,6 juta WP orang pribadi. Namun dari WP orang pribadi yang sudah aktivasi akun, baru 1,6 juta WP yang menuntaskan registrasi kode otorisasi dan tanda tangan digital—atau hanya 11,92% dari total WP terdaftar.

“Ini masih jauh dari ideal. Karena itu kami terus mendorong percepatan aktivasi,” ujar Bimo dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi November 2025, Sabtu (22/11/2025).

Bimo menyebut DJP terus menggandeng berbagai kementerian dan lembaga untuk memperluas jangkauan aktivasi Coretax, terutama menjelang penerapan wajib pelaporan SPT Tahunan 2025 melalui Coretax mulai tahun 2026.

“Salah satu yang sudah berjalan ialah kewajiban bagi ASN, TNI, dan Polri untuk mengaktivasi akun serta registrasi kode otorisasi paling lambat 31 Desember 2025,” jelasnya.

Instruksi tersebut dikeluarkan melalui kerja sama dengan Kementerian PAN-RB sebagai bagian dari percepatan transformasi digital perpajakan.

Di luar sektor aparatur negara, Bimo juga meminta masyarakat dan dunia usaha untuk segera menyelesaikan aktivasi secara sukarela.

“Kami mengimbau masyarakat, pembayar pajak yang baik, supaya segera mendaftarkan identitasnya di Coretax,” ujar Bimo.

Ia menambahkan, “Kami juga mengajak perusahaan dan pemberi kerja untuk mendorong pegawai di lingkungan masing-masing agar segera melakukan aktivasi.”

Cara Aktivasi Coretax

Mengutip panduan dari DJP, proses aktivasi akun Coretax dapat dilakukan secara mandiri melalui laman resmi. Berikut ringkasan tahapannya:

1. Aktivasi Akun Coretax

Syarat: Memiliki NPWP.

Tahapan:

• Buka laman Coretax → pilih Aktivasi Akun Wajib Pajak

• Masukkan NPWP → isi email & nomor ponsel yang terdaftar di DJP Online

• Verifikasi identitas → simpan → cek email untuk kata sandi sementara

• Login kembali → ganti kata sandi → buat passphrase

2. Membuat Kode Otorisasi DJP (KO DJP)

KO DJP berfungsi sebagai tanda tangan elektronik resmi.

Cara membuat:

• Login Coretax → Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik

• Isi data dan pilih penyedia sertifikat

• Masukkan ID penandatangan atau passphrase

• Kirim → unduh bukti penerbitan sertifikat digital

3. Validasi Kode Otorisasi

• Portal Saya → Profil Saya → Digital Certificate

• Pastikan status VALID (jika belum, klik Periksa Status)

• Jika berhasil, dokumen penerbitan KO DJP muncul di Dokumen Saya (alf)

Mendag Tegaskan Bayar Pajak Tak Akan Buat Impor Baju Bekas Jadi Legal

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso kembali menutup ruang kompromi bagi upaya melegalkan peredaran pakaian bekas impor. Ia menegaskan, sekalipun para pelaku usaha thrifting siap membayar pajak, larangan impor pakaian bekas tetap tidak akan dicabut.

Budi mengingatkan bahwa aturan ini sudah jelas tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 yang secara tegas memasukkan pakaian bekas sebagai barang yang dilarang diimpor. Menurutnya, tidak ada korelasi antara kesediaan membayar pajak dengan legalitas barang yang sejak awal sudah dilarang.

“Kalau membayar pajak jadi legal, itu nggak ada hubungannya. Aturannya jelas, barang itu memang dilarang,” ujarnya di kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Alasan Larangan: Bukan Soal Pajak, Tapi Kesehatan dan UMKM

Budi menjelaskan, pelarangan ini tidak pernah terkait dengan kepatuhan pajak pedagang. Pemerintah berpegang pada dua alasan utama: risiko kesehatan dari pakaian bekas impor yang tidak terjamin kebersihannya, serta perlindungan industri dalam negeri—terutama UMKM tekstil dan fesyen yang rentan tersisih oleh barang murah impor.

Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya seluruh barang bekas dilarang masuk ke Indonesia. Pengecualian hanya diberikan pada Barang Modal Tidak Baru (BMTB) seperti mesin industri tertentu yang memang dibutuhkan dan tetap melalui prosedur ketat.

“Ada pengecualian, tapi kriterianya jelas. Tidak bisa sembarangan,” tegasnya.

Kemendag juga memastikan pengawasan terus dilakukan di area post border, terutama pada titik importir dan distributor, untuk mencegah masuknya barang bekas ilegal.

Sikap Mendag sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sehari sebelumnya. Purbaya menolak tegas wacana legalisasi thrifting meskipun pedagang siap membayar pajak.

“Saya nggak peduli pedagangnya. Pokoknya kalau barang masuk ilegal, saya berhentiin,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Purbaya, membuka celah legalisasi justru berbahaya karena dapat memicu banjir barang impor ilegal yang akhirnya menindas pelaku usaha lokal. Pasar domestik, katanya, harus diisi produk yang memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional, bukan sebaliknya.

Dengan sikap dua kementerian yang sama keras, sinyal dari pemerintah jelas: impor pakaian bekas tetap dilarang, dan tidak ada opsi menjadikannya legal melalui pajak. (bl)

DJP Pastikan Insentif PPh Final 0,5% untuk Badan Tak Diperpanjang

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menutup pintu perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% bagi wajib pajak badan. Kebijakan ini diambil seiring rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan Pajak Penghasilan (PPh).

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa korporasi harus bersiap kembali ke mekanisme perhitungan pajak normal. “Wajib pajak badan sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh 0,5%. Mereka harus mulai menjalankan pembukuan untuk menghitung PPh terutang dengan tarif umum,” jelas Bimo dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis (20/11/2025).

Meskipun demikian, Bimo menyebut wajib pajak badan yang saat ini masih berada dalam masa pemanfaatan PPh Final UMKM tetap diperbolehkan melanjutkan hingga periode empat tahun yang ditetapkan. Namun, kesempatan untuk mengajukan permohonan baru resmi dihentikan.

“Mereka yang sudah berjalan masih bisa menggunakan sampai masa berlakunya habis. Tapi tidak ada lagi permohonan baru dari wajib pajak badan untuk insentif PPh Final 0,5%,” tegas Bimo. Ia menambahkan bahwa seluruh bentuk badan usaha mulai dari CV, PT, hingga firma tidak lagi dapat mengakses fasilitas tersebut.

Draf revisi PP 55/2022 diketahui telah selesai melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 24 Oktober 2025. Kini draf tersebut hanya menunggu penetapan resmi Presiden sebelum diberlakukan.

Bimo mengungkapkan bahwa keputusan ini juga didorong oleh temuan lapangan. DJP mendapati sejumlah wajib pajak badan tetap memanfaatkan tarif final 0,5% meski omzet usaha mereka telah melewati ambang batas Rp 4,8 miliar per tahun.

“Kami menemukan indikasi wajib pajak masih memanfaatkan PPh Final 0,5%, padahal secara ekonomi konsolidasi peredaran brutonya sudah melebihi threshold,” ujarnya.

Dengan kebijakan baru ini, pemerintah ingin memastikan insentif UMKM lebih tepat sasaran sekaligus mendorong kepatuhan pembukuan bagi badan usaha skala menengah yang seharusnya sudah masuk skema tarif normal. (alf)

DJP Sudah Kantongi Rp11,48 Triliun dari Pengemplang Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat kemajuan besar dalam upaya penagihan tunggakan pajak nasional. Hingga 19 November 2025, total Rp11,48 triliun berhasil dikumpulkan dari para pengemplang pajak angka yang disebut Dirjen Pajak Bimo Wijayanto sebagai bukti percepatan penagihan dalam beberapa pekan terakhir.

“Dalam minggu terakhir ini saja, dari Jumat pekan lalu sampai Rabu (19 November 2025), terjadi kenaikan sekitar Rp1,3 triliun. Jadi totalnya sudah mencapai Rp11,48 triliun,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi November 2025 di Jakarta, Kamis, (20/11/2025)

Pemerintah sebelumnya membidik potensi setoran sebesar Rp50–60 triliun dari 200 wajib pajak dengan tunggakan terbesar. Untuk tahun 2025 saja, target minimal yang ingin dicapai adalah Rp20 triliun. Capaian sementara tersebut dianggap sebagai sinyal positif bahwa target akhir tahun berada dalam jangkauan.

DJP memastikan seluruh kanal penagihan akan digerakkan maksimal hingga pergantian tahun. Selain penagihan langsung, otoritas pajak mempercepat penggalian potensi melalui konsolidasi data internal dan pertukaran informasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Data tersebut akan menjadi dasar finalisasi audit serta penyusunan rekomendasi penegakan hukum.

Dalam ranah hukum, DJP menegaskan akan menggunakan pendekatan multi-doors, yang memungkinkan penanganan satu kasus melalui berbagai aturan, termasuk tindak pidana perpajakan, korupsi, dan tindak pidana pencucian uang.

Memasuki 2026, DJP mulai mengonsolidasikan langkah strategis untuk menjaga stabilitas penerimaan. Salah satu fokus adalah memperkuat layanan elektronik dan meningkatkan pemanfaatan sistem berbasis Coretax, termasuk pengawasan pembayaran masa, kepatuhan tahun berjalan, hingga pemeriksaan atas tahun sebelumnya.

Bimo menegaskan bahwa intensifikasi dan ekstensifikasi akan bertumpu pada data yang lebih solid, sehingga tidak muncul kritik “berburu di kebun binatang”. “Kami akan mulai exercise perluasan basis pajak. Bisa melalui sistem elektronik atau transaksi digital lainnya, sesuai arahan pimpinan,” katanya.

Dengan kombinasi penagihan agresif, kolaborasi lintas-instansi, serta penguatan sistem administrasi perpajakan, pemerintah menargetkan 2026 sebagai tahun penguatan kepatuhan dan optimalisasi kontribusi perpajakan bagi APBN. (alf)

DJP Jateng I Sandera Penunggak Pajak Rp 25,7 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I bertindak tegas dengan menyandera (gijzeling) seorang wajib pajak berinisial SHB, yang menunggak pajak hingga Rp 25,71 miliar. Eksekusi ini dilakukan karena SHB tidak menunjukkan itikad baik untuk melunasi kewajibannya meski telah dilakukan proses penagihan sesuai prosedur.

SHB tercatat sebagai wajib pajak di KPP Madya Dua Semarang dengan total utang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sebesar Rp 25.471.351.451. Karena tidak kooperatif, Kanwil DJP Jateng I akhirnya menerapkan tindakan gijzeling atau pengekangan sementara kebebasan penanggung pajak di tempat tertentu sebagai alat penagihan terakhir.

Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I, Nurbaeti Munawaroh, menegaskan bahwa langkah ini sepenuhnya berlandaskan hukum.

“Penyanderaan kami lakukan sesuai UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000. Tindakan ini diambil karena wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip, Jumat (21/11/2025).

Nurbaeti menyebutkan, DJP tidak bermaksud bertindak sewenang-wenang. Namun penegakan hukum perlu dilakukan demi memastikan hak negara terpenuhi.

“Kami berharap langkah ini memberi efek jera, baik kepada wajib pajak yang disandera maupun wajib pajak lainnya. Tidak ada niat untuk berlaku zalim; kami hanya menjalankan aturan yang berlaku demi keadilan bagi negara dan masyarakat,” tegasnya.

DJP menjelaskan bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan kepada wajib pajak dengan utang minimal Rp 100 juta yang diragukan itikad baiknya. Wajib pajak dapat segera dibebaskan apabila telah melunasi seluruh utang dan biaya penagihan.

Kanwil DJP Jateng I kembali mengimbau masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar, lengkap, dan tepat waktu. Seluruh layanan pajak dipastikan tidak dipungut biaya. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui KPP terdekat, Kring Pajak 1500200, atau situs resmi pajak.go.id. (alf)

DJP Riau Resmikan 23 Tax Center di Kampus, Perluas Edukasi Pajak

IKPI, Jakarta: Kolaborasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan perguruan tinggi di Riau kian menguat. Sepanjang 2025, Kanwil DJP Riau telah membentuk 23 tax center di berbagai kampus guna memperluas edukasi dan inklusi perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Riau, Ardiyanto Basuki, menjelaskan bahwa sejumlah kerja sama baru telah ditandatangani, termasuk perpanjangan kemitraan dengan tax center yang sudah berjalan.

“Kampus untuk Riau sudah 23, artinya sudah ada 23 tax center juga,” ujarnya, Kamis (19/11/2025).

Ia menilai perguruan tinggi adalah mitra strategis DJP dalam menyampaikan informasi perpajakan kepada masyarakat. Layanan tax center, katanya, akan berjalan di kampus mitra dan dapat pula dilaksanakan di kantor pajak maupun lokasi lain agar jangkauannya makin luas.

Ardiyanto menyebut tax center sebagai wadah penting untuk menjadikan ilmu perpajakan lebih hidup tidak hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan dan diajarkan kembali oleh para dosen serta mahasiswa, termasuk relawan pajak yang aktif mengikuti program Renjani Gathering di Riau.

Rektor Universitas Pasir Pengaraian, Prof. Hardianto, mengapresiasi kontribusi DJP dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa melalui keberadaan tax center dan program edukasi.

“Kampus harus berdampak, dan kegiatan ini salah satu cara agar perguruan tinggi memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, turut memuji antusiasme peserta. Ia menyebut sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sebagai fondasi penting dalam membangun budaya sadar pajak yang modern dan transparan.

Rosmauli menyampaikan bahwa secara nasional terdapat sekitar 510 tax center, sementara jumlah relawan pajak mencapai 15.000 orang. Di Riau, relawan pajak yang kini berjumlah 226 ditargetkan meningkat menjadi 441 pada tahun depan.

Ia meyakini perluasan peran perguruan tinggi dalam edukasi pajak akan berdampak positif bagi penerimaan negara.

“Kami membutuhkan para rektor, dosen, mahasiswa, dan relawan pajak untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan,” tegasnya. (alf)

en_US