Pemerintah Siapkan Pungutan Ekspor Kelapa Bulat

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kelapa bulat, menyusul keluhan terkait kelangkaan pasokan di dalam negeri akibat meningkatnya ekspor komoditas tersebut. Kebijakan ini diharapkan tak hanya menjaga ketersediaan kelapa di pasar lokal, tetapi juga memperkuat instrumen fiskal negara melalui pengenaan beban ekspor.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, tingginya volume ekspor kelapa bulat telah menyebabkan pasokan dalam negeri menipis dan berdampak pada lonjakan harga. Untuk itu, pemerintah akan memberlakukan pungutan ekspor guna mengendalikan arus keluar komoditas ini.

“Sekarang banyak keluhan karena kelapa terlalu banyak diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri meningkat. Kita sudah bicara dengan pelaku industri dan memutuskan akan memakai instrumen pungutan ekspor,” kata Budi usai acara Harkornas 5K di TMII, Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025).

Meskipun bukan termasuk pajak dalam arti umum, pungutan ekspor ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Selain berfungsi sebagai alat pengendalian (regulatif), kebijakan ini juga memberikan tambahan pemasukan bagi kas negara dari sektor ekspor pertanian yang selama ini dinilai masih kurang tergarap.

“Dengan diberlakukannya pungutan ini, ekspor kelapa akan berkurang secara alami. Pasokan dalam negeri akan kembali seimbang, harga bisa stabil, dan negara pun mendapat manfaat fiskal dari pungutan tersebut,” ujar Budi.

Rencana ini telah mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga terkait, dan saat ini sedang difinalisasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaannya.

“Semua pihak sudah sepakat. Tinggal tunggu PMK dari Kementerian Keuangan. Mudah-mudahan segera keluar, karena urgensinya sudah sangat jelas,” tambahnya.

Langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah mencoba menyeimbangkan antara dorongan ekspor dan kebutuhan dalam negeri, sekaligus menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan.(alf)

 

Diskusi Panel IKPI Soroti Stagnasi Tax Ratio Nasional: Perlu Sinergi Pemerintah, Dunia Usaha, dan Konsultan Pajak

IKPI,Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar diskusi panel bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025). Diskusi ini menjadi forum terbuka lintas sektor yang menghadirkan berbagai sudut pandang dalam mengurai kompleksitas rendahnya rasio perpajakan Indonesia yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, dalam sambutannya menyampaikan bahwa tax ratio tidak bisa dilihat sebagai indikator tunggal yang mencerminkan kinerja otoritas pajak. Menurutnya, tax ratio sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan makroekonomi yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Tax ratio ini sangat dipengaruhi oleh banyak sebab. Penerimaan negara dari pajak dan bea cukai hanyalah satu sisi. Namun, pembaginya yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) dipengaruhi oleh konsumsi, investasi, ekspor-impor, dan kinerja pemerintah secara umum. Jadi tidak adil jika stagnasi tax ratio hanya dibebankan pada DJP,” kata Vaudy.

Ia menambahkan bahwa penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami bahwa tax ratio adalah tanggung jawab kolektif seluruh ekosistem pemerintahan, bukan hanya instansi perpajakan.
“Yang harus kita lihat adalah peran semua pihak dari kementerian ekonomi, kementerian investasi, pelaku usaha, sampai masyarakat wajib pajak. Karena tax ratio bukan hasil kerja satu-dua instansi, melainkan refleksi dari sinergi nasional,” tambahnya.

IKPI mengangkat topik ini berdasarkan keprihatinan atas pandangan lembaga internasional seperti Bank Dunia yang menilai tax ratio Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara sejenis. Oleh karena itu, IKPI mengajak para narasumber dari kalangan akademisi, pemerintah, hingga praktisi pajak untuk memberikan sudut pandang yang berimbang.

“Kami ingin diskusi ini bisa menjadi sumbangsih nyata dari komunitas konsultan pajak kepada negara. Kami juga hadirkan tokoh seperti Pak Ken Dwijugiasteadi (Direktur Jenderal Pajak 2015-2017), yang saat ini menjadi Anggota Kehormatan IKPI, bersama Pak Hadi Poernomo (Dirjen Pajak 2001-2006). Meski telah pensiun, pemikiran dan pengalaman mereka masih sangat relevan untuk tantangan fiskal hari ini,” ujar Vaudy.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) IKPI, Suwardi Hasan, memberikan pandangan tajam mengenai hambatan investasi sebagai salah satu penyebab rendahnya tax ratio.

“Kalau kita bicara investasi, kita harus jujur melihat realitas di lapangan. Belakangan ini kita dengar banyak keluhan dari asosiasi kawasan industri di Karawang, yang menyatakan bahwa potensi investasi triliunan rupiah batal masuk karena adanya gangguan kepastian hukum,” kata Suwardi.

Ia mengungkapkan bahwa praktik ormas yang meminta jatah proyek dari investor menjadi momok yang menakutkan bagi dunia usaha.
“Setiap ada pabrik baru yang mau dibangun, muncul permintaan dari ormas untuk dilibatkan dalam proyek, bukan dalam konteks kemitraan yang sehat, tetapi lebih seperti pemalakan. Ini menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif. Bagaimana kita mau dorong tax ratio kalau investasi saja terhambat?” lanjutnya.

Suwardi menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang juga oleh meningkatnya investasi selain konsumsi, sementara investasi justru melemah akibat ketidakpastian hukum dan gangguan kamtibmas.

“Kalau investasi meningkat, akan tercipta lapangan kerja baru. Mereka yang di-PHK bisa kembali bekerja, dan ini otomatis memperluas basis pajak. Dengan begitu, tax ratio juga bisa terdorong naik kembali, seperti harapan Presiden Prabowo yang menargetkan tax ratio di kisaran 12% dalam beberapa tahun ke depan,” ujarnya.

Selain membedah masalah struktural, Suwardi juga menyoroti peran penting konsultan pajak dalam sistem perpajakan Indonesia yang menganut mekanisme self-assessment. “Konsultan pajak itu perannya sebagai intermediary antara wajib pajak dan negara. Karena sistem kita tidak sederhana, peran kami membantu untuk meningkatkan kepatuhan WP. Kami di IKPI aktif melakukan sosialisasi dan edukasi, baik untuk UMKM, dunia usaha, maupun WP Orang Pribadi,” terang Suwardi.

Ia juga menekankan pentingnya mengubah paradigma masyarakat mengenai kewajiban membayar pajak. “Kami mendorong pergeseran cara pandang dari kewajiban menjadi hak. Membayar pajak adalah hak untuk berkontribusi kepada negara, hak untuk membela bangsa dalam pembangunan dari sisi fiskal. Ini bukan sekadar beban, tapi bentuk partisipasi warga negara,” ujarnya.

Lebih lanjut Vaudy mengungkapkan, IKPI juga aktif menjalin kerja sama dengan dunia akademik. Banyak mahasiswa dari berbagai universitas merujuk pada IKPI dalam penulisan karya ilmiah, sebagai bukti kontribusi asosiasi terhadap literasi pajak di tingkat pendidikan tinggi.

Diskusi panel ini diharapkan mampu memberikan pencerahan serta rekomendasi kebijakan yang lebih berimbang dalam upaya mendorong peningkatan tax ratio nasional secara berkelanjutan, tidak semata melalui penegakan, tetapi melalui reformasi menyeluruh yang mencakup iklim investasi, regulasi, serta edukasi wajib pajak. (bl)

Legalisasi Kasino: Antara Devisa dan Pajak, Pemerintah Diminta Belajar dari UEA dan Malaysia

IKPI, Jakarta: Wacana legalisasi kasino kembali mencuat ke permukaan, kali ini disuarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian serius terhadap kemungkinan membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, dengan merujuk pada pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia.

Menurut Hikmahanto, pemerintah harus membuka mata terhadap realitas perputaran uang dalam aktivitas perjudian, terutama judi online yang marak dilakukan secara ilegal. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa aliran dana judi online sangat besar, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar yang telah melegalkan kasino secara terbuka.

“Ada tiga hal penting yang perlu diasesmen pemerintah. Pertama, soal besarnya perputaran uang judi online di luar negeri. Kedua, soal realita bahwa masyarakat kita masih belum bisa melepaskan diri dari praktik judi, meskipun secara normatif dilarang. Dan ketiga, soal penegakan hukum, yang hingga kini lemah karena lokasinya berada di luar yurisdiksi kita,” ujar Hikmahanto, Sabtu (17/5/2025).

Ia menekankan bahwa legalisasi kasino bukan berarti melegalkan perjudian secara bebas. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengadopsi pendekatan seperti Malaysia atau Singapura yang hanya membuka kasino di kawasan tertentu dengan pengawasan ketat. “Di Singapura, warga negaranya sendiri harus memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke kasino. Pendekatan ini bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, pembukaan kasino di kawasan ekonomi khusus dapat menjadi sumber pemasukan baru melalui pungutan pajak dan retribusi. Hikmahanto mengusulkan agar dana yang diperoleh diarahkan untuk program-program pembangunan, namun tidak menyentuh sektor-sektor sensitif yang berkaitan dengan agama atau moralitas.

“Jika negara bisa mengatur dan menarik pajak dari aktivitas ini, mengapa tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat? Apalagi selama ini judi ilegal justru merajalela dan tidak menyumbang apa pun ke kas negara,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah toleransi terhadap perjudian terbatas, seperti melalui program Porkas dan SDSB pada era Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, pemasukan dari aktivitas tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum.

Hikmahanto menekankan pentingnya keberanian politik pemerintah untuk bersikap realistis dan solutif. “Uni Emirat Arab saja yang melarang judi bisa membuka kasino dalam kawasan khusus. Indonesia seharusnya juga bisa membuat kebijakan yang rasional, tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar bangsa. Yang penting, ilegalitas harus diberantas dan pajaknya dimanfaatkan sebaik mungkin,” tegasnya.

Dengan potensi devisa dan penerimaan pajak yang signifikan, legalisasi kasino di wilayah terbatas bisa menjadi solusi pragmatis, asalkan dilengkapi dengan pengawasan ketat, aturan yang jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif perjudian. (alf)

 

 

CSR dan Pajak

Beberapa waktu lalu penulis melakukan penjelajahan ke Majalengka lereng timur Gunung Ciremai. Penulis menapaki bukit-bukit di sana dan menelusuri sungai yang masih jernih. Penulis mampir dan melakukan observasi dibeberapa desa yang dilintasi penjelajahan.

Namun yang paling menarik dari desa-desa di sana adalah jalan-jalan yang mulus sampai kepelosok-pelosok. Sistem pengairan disana juga luar biasa menarik karena tertata dengan baik sehingga sawah di sana dipenuhi padi yang menguning juga ladang daun bawang yang menghijau, sangat sedap dipandang mata.

Ketika penulis bertanya rupanya, proyek jalan dan juga tata lingkungan yang indah dan apik dibangun oleh CSR salah satu institusi negara yang sangat peduli terhadap lingkungan dan alam. Angkat topi deh buat mereka karena memberikan banyak manfaat dengan membangun infrastruktur di desa terebut.

Sebenanya bagaimana sih, aspek pajak jika perusahaan melakukan CSR dalam bentuk lingkungan, penulis mencoba menyorotinya. Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur bahwa

“Perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib dilakukan Corporate Social Responsibility”. Kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk balas budi perusahaan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Pada prinsip CSR bisa menjadi Deductible Expenses (biaya yang dapat dibiayakan secara pajak), CSR yang Dikategorikan sebagai Deductible Expense 1) Biaya promosi dan penjualan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Agar dapat menjadi deductible expense, biaya promosi yang termasuk CSR ini harus memenuhi kriteria sebagaimana yang terdapat dalam PMK No.2/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, yaitu terdapat daftar nominatif. 2). Biaya pengolahan limbah. 3). Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. Biaya CSR berupa beasiswa, magang, dan pelatihan yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, maupun pihak lainnya dapat menjadi deductible expense dengan mempertimbangkan batas kewajaran.

Apabila terdapat indikasi tidak wajar, seperti adanya hubungan istimewa, maka atas biaya di luar batas wajar tersebut tidak diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. 4). Sumbangan yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 Tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Pada prinsipnya, CSR adalah biaya yang dapat diakui secara pajak. Semoga perusahaan-perusahaan menjadi tertarik dengan aktivitas CSR yang akan membantu masyarakat setempat dan tentunya akan memberikan amal kebaikan yang dicatat oleh Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa.

Diakhir tulisan ini penulis terkenang kata-kata almarhum Soe Hok Gie Pendiri Mapala Univesitas Indonesia “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan.

Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Ya kegiatan CSR adalah perwujudan dari kalimat tersebut.

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi penulis

 

 

 

Pajak Pesangon Naik tapi Setoran Pajak Turun: Apa yang Terjadi?

IKPI, Jakarta: Meski jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat tajam awal tahun ini, penerimaan pajak justru mengalami penurunan signifikan. Fenomena ini mengundang pertanyaan: mengapa setoran pajak turun di tengah potensi kenaikan penerimaan dari pajak pesangon?

Data Apindo mencatat hampir 74 ribu pekerja di-PHK sepanjang 1 Januari–10 Maret 2025. Jika tiap korban rata-rata menerima Rp100 juta pesangon, dan dikenakan pajak 5%, negara bisa mengantongi sekitar Rp370 miliar dari potongan pajak pesangon semata.

Namun, dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, penerimaan pajak Januari hanya mencapai Rp88,89 triliun—anjlok 41,86% dibandingkan periode sama tahun lalu. PPh Pasal 21, yang mencakup gaji dan pesangon karyawan, juga turun dari Rp28,3 triliun (Januari 2024) menjadi hanya Rp15,95 triliun tahun ini.

Ekonom CELIOS Nailul Huda menyebut PHK masif sebagai penyebab utama. “Ketika pendapatan masyarakat menurun, konsumsi juga turun. Itu berimbas langsung ke penerimaan PPh 21 dan PPN,” ujarnya baru-baru ini.

Situasi ini menunjukkan dilema: meski pajak pesangon bisa menambah kas negara, daya beli masyarakat tertekan akibat hilangnya pekerjaan dan tingginya potongan. Jika tak diatasi, penerimaan pajak berpotensi terus turun karena melemahnya ekonomi riil.

Pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan, tetap mengandalkan potensi penerimaan dari pesangon atau memberikan keringanan fiskal agar ekonomi masyarakat tetap bergerak. (alf)

Pajak Pesangon Korban PHK Diprotes, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Tarif Progresif

IKPI, Jakarta: Pengenaan pajak atas pesangon yang diterima korban pemutusan hubungan kerja (PHK) memicu protes dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja. Mereka menilai, sistem pajak progresif atas pesangon memperberat beban korban PHK yang tengah berjuang bertahan hidup tanpa pendapatan tetap.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengatakan bahwa potongan pajak pada uang pesangon, meski mengikuti aturan yang berlaku, sangat tidak berpihak pada kondisi pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan.

“Korban PHK itu butuh uang pesangon untuk bertahan hidup, bayar makan, listrik, hingga pendidikan anak. Ketika pesangon mereka dipotong pajak 5% atau bahkan 25%, itu sangat menyulitkan,” kata Mirah, Kamis (15/05/2025).

Ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi tarif pajak pesangon, terutama bagi mereka yang menerima di bawah Rp100 juta. “Harusnya dibebaskan dari pajak. Mereka sudah rutin bayar PPh selama bekerja, masa setelah di-PHK masih juga dikenakan pajak?”, ujarnya.

Dalam PMK Nomor 16/PMK.03/2010, pesangon memang dikenai PPh Pasal 21 final dengan tarif progresif: mulai dari 0% untuk penghasilan hingga Rp50 juta, dan bisa mencapai 25% bila di atas Rp500 juta.

Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengusulkan agar tarifnya disesuaikan dengan kondisi khusus korban PHK. “Sebaiknya tarifnya lebih ringan dibandingkan pajak penghasilan rutin karena ini bukan pendapatan reguler, melainkan kompensasi terakhir,” ujarnya, Jumat (16/05/2025). (alf)

Pemerintah Genjot Efektivitas Pajak sebagai Instrumen Stabilitas

IKPI, Jakarta: Di tengah ketidakpastian global yang masih membayangi perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia bersikap proaktif dengan merancang kebijakan strategis untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu instrumen yang kembali mendapat sorotan sebagai pilar penting stabilitas ekonomi adalah kebijakan perpajakan.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyampaikan bahwa kebijakan fiskal, termasuk perpajakan, akan menjadi tulang punggung dalam menjaga daya beli masyarakat, memperkuat pembiayaan sektor produktif, dan menopang belanja negara secara efisien.

“Efektivitas kebijakan pajak sangat krusial dalam konteks saat ini. Bukan hanya sebagai sumber pendapatan negara, tetapi juga sebagai alat distribusi dan stimulus yang bisa diarahkan secara presisi untuk menopang konsumsi dan investasi,” jelas Haryo dalam keterangan resminya, diterima Minggu (17/5/2025).

Sejalan dengan kebijakan jangka pendek yang difokuskan pada penguatan konsumsi rumah tangga dan peningkatan kemudahan berusaha, insentif perpajakan seperti pengurangan tarif PPh UMKM dan fasilitas tax holiday untuk sektor industri strategis kembali disorot sebagai langkah konkret mendukung pemulihan ekonomi.

Tak hanya itu, Pemerintah juga mempercepat proses digitalisasi administrasi perpajakan guna memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan kepatuhan. Implementasi sistem perpajakan berbasis data dan teknologi, seperti integrasi NIK-NPWP dan perluasan e-faktur, menjadi bagian dari transformasi struktural yang dijalankan secara paralel dengan kebijakan deregulasi investasi.

“Pajak bukan semata-mata kewajiban, tetapi instrumen kolaboratif antara negara dan pelaku usaha untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,” tambah Haryo.

Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tetap tumbuh sehat di atas 10% pada tahun 2025, ditopang oleh reformasi sistem perpajakan, peningkatan efektivitas pengawasan, dan sinergi antar-lembaga dalam pengumpulan data ekonomi.

Dengan kombinasi kebijakan fiskal adaptif dan strategi jangka menengah seperti hilirisasi industri, transisi energi, dan transformasi digital, Pemerintah optimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% masih dalam jangkauan, meski gejolak global belum sepenuhnya mereda. (alf)

 

 

 

 

 

PPh Final 0,5% untuk Pengalihan Real Estat ke KIK-DIRE

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengatur perlakuan pajak yang lebih kompetitif bagi pelaku usaha properti dan investor institusi melalui skema investasi pasar modal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan real estat ke Special Purpose Company (SPC) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema Dana Investasi Real Estat (DIRE) dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari nilai bruto pengalihan.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 201 dan Pasal 202 PMK 81/2024, dan secara khusus menyasar transaksi pengalihan aset properti dalam kerangka KIK tertentu, yakni Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat (DIRE). Skema ini dapat melibatkan atau tidak melibatkan SPC sebagai entitas khusus dalam struktur kepemilikan aset.

Dalam Pasal 202 disebutkan bahwa tarif PPh final sebesar 0,5% dikenakan atas jumlah bruto nilai pengalihan real estat, yang meliputi:

• Seluruh jumlah sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK, jika tidak terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut; atau

• Seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan SPC atau KIK.

Penjelasan ini menandakan pentingnya perhatian terhadap aspek transfer pricing dan penilaian kewajaran harga pengalihan aset, terutama ketika pihak pengalihan dan pihak penerima berada dalam satu grup usaha atau memiliki keterkaitan kepemilikan.

Ketidaksesuaian dengan nilai pasar dapat memicu koreksi fiskus, sehingga konsultan pajak perlu memastikan dokumentasi dan pembuktian arm’s length principle (ALP) dilakukan secara tepat.

Kebijakan ini sekaligus membuka ruang perencanaan pajak yang sah (tax planning) bagi korporasi properti dan investor besar. Dengan tarif PPh final yang relatif rendah dibandingkan skema pengalihan biasa, pemanfaatan struktur KIK-DIRE menjadi lebih menarik, apalagi jika digabungkan dengan potensi yield dari pengelolaan portofolio aset properti dalam skema investasi kolektif.

Skema DIRE sebelumnya dianggap belum tumbuh optimal di Indonesia karena tantangan regulasi dan insentif fiskal yang belum cukup menarik. Dengan hadirnya PMK 81/2024 ini, arah kebijakan pemerintah tampaknya makin mendukung pertumbuhan Real Estate Investment Trusts (REITs) versi lokal, dengan penekanan pada transparansi, likuiditas aset, dan efisiensi perpajakan. (alf)

 

KPK Dorong Pendanaan Partai Politik Dibiayai APBN 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, menyampaikan bahwa lembaganya mengusulkan kebijakan alokasi anggaran negara bagi partai politik sebagai strategi jangka panjang untuk mencegah praktik korupsi di sektor politik dan ekonomi.

Menurut Fitroh, tingginya biaya kontestasi politik di berbagai level, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilu presiden, mendorong calon pejabat mencari sokongan dana dari pihak tertentu. Hal ini kerap menimbulkan konflik kepentingan usai mereka terpilih.

“Kebutuhan dana yang besar dalam proses pencalonan membuat mereka bergantung pada pemodal. Akibatnya, setelah menjabat, timbal balik dalam bentuk akses proyek atau kebijakan pun kerap terjadi,” ujarnya pada Jumat (16/5/2025).

Fenomena ini, lanjut Fitroh, menciptakan celah korupsi dalam belanja negara, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa, serta proyek-proyek infrastruktur di berbagai kementerian dan lembaga.

Dengan mendanai partai politik secara resmi melalui APBN, KPK berharap dapat memutus mata rantai ketergantungan politik terhadap modal swasta dan sekaligus memperkuat akuntabilitas fiskal nasional.

Usulan ini menjadi sorotan dalam konteks reformasi pendanaan politik dan penguatan tata kelola anggaran negara, yang selama ini kerap dikaitkan dengan lemahnya transparansi dalam proyek pemerintah. (alf)

 

RUU Pajak Remitansi AS Ancam Dana Kiriman Diaspora: India dan Indonesia Berpotensi Terdampak

IKPI, Jakarta: Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) baru di Amerika Serikat memicu kekhawatiran luas di kalangan komunitas imigran. Pasalnya, usulan legislatif yang diajukan oleh Komite Ways and Means di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS itu berencana mengenakan pajak sebesar 5 persen terhadap setiap pengiriman uang ke luar negeri yang dilakukan oleh non-warga negara AS.

RUU bertajuk The One Big Beautiful Bill ini menyisipkan ketentuan pajak tersebut di halaman ke-327 dari total 389 halaman dokumen. Pajak ini akan berlaku bagi pemegang visa kerja seperti H-1B, pemilik green card yang belum berstatus warga negara, serta individu lain yang mengirim dana ke luar AS, termasuk untuk keperluan keluarga atau pendidikan.

Mengutip laporan The Times of India, kebijakan ini diperkirakan akan memukul keras diaspora India, komunitas terbesar penerima remitansi dari AS. Data Bank Sentral India menunjukkan, remitansi dari AS ke India mencapai 32 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2023–2024. Jika pajak 5 persen diterapkan, potensi dana sebesar 1,6 miliar dolar AS bisa terkikis setiap tahunnya dari kantong para pengirim.

Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada ambang batas minimum transaksi yang dibebaskan dari pungutan ini. Artinya, bahkan pengiriman uang dalam jumlah kecil pun akan ikut terpangkas pajak, kecuali pengirim telah berstatus sebagai verified US sender warga negara atau penduduk tetap AS yang telah terverifikasi.

Pemungutan pajak akan dilakukan langsung oleh penyedia jasa remitansi, seperti bank atau lembaga pengiriman uang. Namun, pengecualian hanya berlaku jika pengirim adalah warga negara AS dan penyedianya tergolong sebagai qualified remittance transfer provider.

Tak hanya India yang terdampak. Negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, juga berisiko terkena imbas. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, terdapat lebih dari 63 ribu Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di AS, sebagian besar bekerja di sektor energi, konstruksi, layanan perhotelan, serta pendidikan.

Dengan berlakunya aturan ini, uang kiriman ke tanah air dari diaspora Indonesia juga akan dikenai potongan 5 persen, kecuali pengirim telah resmi menjadi warga negara atau penduduk tetap AS.

RUU tersebut diperkirakan akan masuk tahap pemungutan suara di DPR AS pada akhir Mei 2025 dan berpotensi disahkan menjadi undang-undang paling lambat Juli. Para analis keuangan menyarankan agar imigran non-warga negara AS mempertimbangkan untuk mengirim dana dalam jumlah besar sebelum kebijakan baru ini berlaku.

Di tengah upaya berbagai negara mengandalkan remitansi sebagai sumber devisa penting, langkah AS ini dinilai dapat memperlambat aliran dana lintas negara dan menambah tekanan ekonomi bagi jutaan pekerja migran. Jika benar-benar diterapkan, dunia bisa menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap pengiriman uang internasional. (alf)

 

 

 

 

 

en_US