PPL IKPI Cabang Surabaya Banjir Peserta Non Anggota, Bukti Pendidikan di IKPI Semakin Dilirik

IKPI, Surabaya: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap IKPI Cabang Surabaya atas suksesnya penyelenggaraan kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) bertajuk “Bersiap Kuasai PER-11/2025: Paham dan Terapkan Ketentuan Terbaru”, Sabtu (21/6/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy menyoroti antusiasme luar biasa peserta, terutama dari kalangan non-anggota, yang mencapai 52 orang dari total 230 peserta. Ia menilai kehadiran peserta umum dalam jumlah signifikan mencerminkan meningkatnya kepercayaan publik terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh IKPI, peran strategis konsultan pajak, dan kredibilitas IKPI sebagai organisasi profesi.

“Ini adalah pencapaian yang luar biasa. Saya mengapresiasi langkah IKPI Surabaya yang tidak hanya fokus pada anggota, tapi juga berhasil menjangkau non-anggota dalam jumlah yang tidak sedikit,” ujar Vaudy, yang menyempatkan waktu untuk hadir pada kegiatan PPL di sela kunjungan pribadinya ke Surabaya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Lebih lanjut Vaudy mengungkapkan, dalam rangka menyambut HUT IKPI ke-60, asosiasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia ini juga mengadakan serangkaian kegiatan yang dikemas dengan semangat kolaborasi dan ekspansi.

“Banyak rangkaian kegiatan yang telah disusun oleh panitia HUT IKPI ke-60, diantaranya seminar nasional, donor darah, golf, dan cerdas cermat tingkat mahasiswa,” ujarnya.

Selain itu, Vaudy juga mendorong agar seluruh pengurus cabang menjadikan setiap momen kegiatan sebagai momentum untuk ajang memperluas jejaring, termasuk melalui penyelenggaraan kursus brevet dan PPL yang terbuka bagi peserta umum.

“Pengcab harus mampu menjadikan kegiatan brevet dan PPL sebagai media transformasi profesi, sekaligus etalase yang menarik bagi calon anggota baru,” ujarnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Ia juga menyebutkan adanya penambahan jumlah anggota kehormatan sebagai bagian dari strategi organisasi dalam memperkuat jejaring lintas sektor serta menjawab tantangan profesi di tengah perkembangan regulasi perpajakan yang dinamis.

PPL di Surabaya ini menekankan pemahaman mendalam atas PER-11/PJ/2025 yang baru diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Regulasi tersebut mengatur bentuk, isi, serta tata cara pengisian dan penyampaian SPT Masa PPN, yang penting dikuasai oleh para praktisi pajak.

Dengan semangat profesionalisme dan inklusivitas, ia menegaslan bahwa IKPI terus memperkuat perannya sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengawal kepatuhan dan penerimaan perpajakan nasional. (bl)

Sri Mulyani Tegaskan Perusahaan Rugi Tak Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Penegasan itu disampaikan sebagai tanggapan atas usulan ekonom senior Amerika Serikat, Arthur Laffer, yang mendorong penerapan sistem flat tax di Indonesia.

Dalam CNBC Economic Update 2025, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sistem perpajakan dan kebijakan fiskal Indonesia tunduk pada kerangka Undang-Undang Keuangan Negara. UU tersebut menetapkan tiga fungsi utama fiskal: stabilitas, distribusi, dan alokasi. “Mungkin ini berbeda. Kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi: stabilitas, distribusi, dan alokasi,” ujarnya, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, saat perekonomian melemah dan dunia usaha terpukul, pemerintah secara otomatis menurunkan beban pajak melalui mekanisme penghitungan berbasis laba. “Kalau pendapatan perusahaan kecil atau bahkan merugi, dia tidak bayar pajak. Jadi penerimaan pajak pasti turun,” jelasnya.

Meski demikian, belanja negara tidak ikut dipangkas. Sri Mulyani menekankan bahwa dalam kondisi krisis sekalipun, pemerintah tetap hadir lewat program bantuan sosial, subsidi upah, hingga perbaikan infrastruktur. “Kita pertahankan untuk bantuan sosial, untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk perbaikan jalan raya. Bahkan subsidi upah kita tambah,” katanya.

Tak hanya menjelaskan sistem fiskal Indonesia, Sri Mulyani juga secara terbuka mengkritik pendekatan ekonomi Arthur Laffer yang condong pada ideologi pasar bebas dan pengurangan peran negara. “Kalau tadi Pak Arthur bilang belanjanya harus dikontrol… ya mudah-mudahan beliau dengar. Bukan cuma saya yang dengar, kan?” ujarnya disambut tawa peserta forum.

Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki pendekatan berbeda yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam sistem itu, negara wajib hadir untuk kelompok rentan. “Saya bilang ke Pak Arthur, di Indonesia anak yatim dan anak terlantar itu wajib dipelihara negara. Mungkin beliau kaget dengarnya,” ucapnya.

Sri Mulyani juga menilai pemikiran Laffer lebih sejalan dengan mazhab neoliberal, yang kerap menolak intervensi negara. “Jelas beliau bukan Keynesian. Kalau di Indonesia istilahnya ya… neolib,” pungkasnya dengan nada santai.

Pernyataan tegas Sri Mulyani ini memperlihatkan perbedaan prinsipil antara kebijakan fiskal berbasis keadilan sosial seperti di Indonesia, dengan pendekatan pasar bebas ala Laffer. Dalam konteks Indonesia, negara tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung rakyat yang membutuhkan. (alf)

 

 

DJP, DJPK, dan Pemprov Jakarta Sinergikan Pemungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Komitmen memperkuat sinergi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah kembali ditegaskan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Pajak Daerah (PKS OP4D) di Balai Kota Jakarta, Jumat (20/6/2025).

Penandatanganan dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, Dirjen Perimbangan Keuangan Askolani, serta Gubernur Jakarta Pramono Anung.

Kolaborasi ini akan mencakup sejumlah ruang lingkup penting, seperti pertukaran data perpajakan, pengawasan bersama terhadap Wajib Pajak, hingga pendampingan administrasi dan teknis bagi pemerintah daerah.

“PKS ini bukan sekadar dokumen, melainkan tonggak penting menuju harmonisasi perpajakan pusat dan daerah. Ini juga cerminan nyata misi DJP untuk mendorong kesejahteraan masyarakat,” ujar Bimo Wijayanto.

Bimo menambahkan, sinergi ini menjadi bagian dari strategi memperkuat local taxing power, di mana daerah diberi ruang lebih luas dalam kewenangan pajak tanpa mengorbankan kemudahan berusaha. Ia menekankan pentingnya interkoneksi data dan digitalisasi sebagai landasan kerja sama yang efektif.

Senada dengan itu, Dirjen DJPK Askolani menyatakan bahwa transparansi dan keadilan dalam pemungutan pajak adalah prinsip utama dalam menciptakan ekonomi yang inklusif. “Kami percaya, langkah ini akan memperkuat penerimaan negara sekaligus membantu menurunkan angka kemiskinan,” tegasnya.

Gubernur Pramono Anung menegaskan bahwa Jakarta berkomitmen penuh untuk membuka ruang kolaborasi seluas-luasnya dalam pengelolaan pajak. “Transparansi adalah kunci. Kami ingin Jakarta menjadi model tata kelola pajak yang akuntabel dan partisipatif,” ujarnya.

PKS OP4D juga merupakan kelanjutan dari sinergi yang telah terjalin antara Pemprov Jakarta dan DJP. Sebelumnya, Pramono telah dikukuhkan sebagai Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) 2025 oleh Kanwil DJP Jakarta Barat. Penghargaan ini menjadi bentuk pengakuan atas komitmen sang gubernur dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak di ibu kota. (alf)

 

DPR: Pajak Jangan Dijadikan Alat Paksa Masyarakat Pindah ke Rumah Susun!

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyuarakan penolakannya terhadap wacana pengenaan pajak tinggi untuk rumah tapak di kawasan perkotaan. Ia menilai kebijakan ini sebagai pendekatan yang terlalu represif dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat maupun sektor properti nasional.

Pernyataan Irine muncul sebagai respons atas usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, yang menyebut perlunya menaikkan tarif pajak rumah tapak agar masyarakat terdorong beralih ke rumah susun. Irine menilai, langkah tersebut justru kontraproduktif dan bisa memicu efek domino.

“Perubahan kultur dari rumah tapak ke hunian vertikal, biarkan berjalan alamiah. Tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan menaikkan pajak hunian. Itu malah bisa menimbulkan efek domino,” ujar Irine, Sabtu (21/6/2025).

Menurutnya, pendekatan pemaksaan melalui beban pajak akan merusak tatanan pasar properti yang selama ini telah berkembang. Ia mengingatkan bahwa preferensi masyarakat terhadap rumah tapak masih tinggi, terutama di kalangan keluarga muda dan kelas menengah yang membutuhkan ruang lebih luas serta tingkat privasi yang lebih tinggi.

“Jangan sampai niat mengubah pola huni malah merusak ekosistem usaha properti yang sudah terbentuk,” tegas Irine.

Alih-alih menggunakan instrumen pajak sebagai paksaan, Irine mendorong pemerintah untuk fokus pada penyediaan kepastian regulasi dalam pengembangan sektor properti. Ia menekankan bahwa sektor ini merupakan salah satu pilar penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Sebelumnya, Fahri Hamzah mengusulkan agar rumah tapak di kota besar dikenakan tarif pajak tinggi demi mengatasi keterbatasan lahan dan mendorong masyarakat memilih hunian vertikal.

“Nanti yang bikin rumah landed pajaknya dinaikin saja sampai dia enggak bisa tinggal landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun,” ujar Fahri dalam sebuah kesempatan.

Wacana ini pun memicu kontroversi, dengan sebagian pihak menilai usulan tersebut berpotensi membebani masyarakat dan menimbulkan ketimpangan baru dalam akses terhadap hunian layak.

Debat mengenai hunian ideal di tengah keterbatasan lahan kota terus berlanjut. Namun, Irine menegaskan bahwa solusi jangka panjang tidak bisa hadir dalam bentuk tekanan fiskal semata. Pendekatan inklusif dan kebijakan yang merangkul kebutuhan masyarakat dinilai jauh lebih efektif dalam membentuk kultur hunian masa depan. (alf)

 

RPMK Kuasa Hukum Kembali ke Fitrah 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang akan menggantikan PMK Nomor 184/PMK.01/2017 tentang Kuasa Hukum dalam proses keberatan, banding, gugatan, dan peninjauan kembali di bidang perpajakan. Langkah ini merupakan turunan dari Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Namun, lebih dari sekadar regulasi administratif, RPMK ini menandai upaya penting mengembalikan peran Kuasa Hukum pada fitrahnya sebagai pihak profesional dan kredibel dalam mengawal keadilan pajak.

Salah satu terobosan paling signifikan dari RPMK ini adalah penekanan pada aspek legalitas dan keadilan. Jika sebelumnya ruang menjadi kuasa hukum terbuka lebar tanpa pengujian mendalam terhadap kompetensi di bidang pajak, maka kini diusulkan adanya kriteria yang lebih ketat dan berbasis bukti keahlian. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi para wajib pajak yang sedang mencari keadilan, karena perwakilan mereka akan ditangani oleh pihak yang memang memiliki kapasitas.

PMK 184/2017 dinilai terlalu longgar dalam menentukan siapa yang berhak menjadi kuasa hukum pajak. Asal memiliki surat kuasa dan memenuhi persyaratan administratif dasar, seseorang bisa mendampingi wajib pajak di pengadilan pajak, meskipun belum tentu memiliki kompetensi substantif di bidang perpajakan. Akibatnya, seperti jamur di musim hujan, muncul banyak kuasa hukum dadakan yang belum tentu profesional. RPMK ini menjadi filter penting untuk menjaga kualitas para pendamping wajib pajak.

Salah satu poin penting dalam RPMK adalah pengakuan terhadap Surat Keterangan Kompetensi (SKK) di bidang perpajakan dan sertifikat kepabeanan. SKK hanya dapat diterbitkan bagi mereka yang sudah mengantongi izin praktik konsultan pajak, sehingga secara otomatis memastikan bahwa para kuasa hukum memiliki fondasi keilmuan dan pengalaman yang memadai. Ini akan menciptakan standar profesionalisme baru yang lebih terukur dan kredibel.

Lex Specialis, Maka Harus Spesialis

Hukum pajak dikenal sebagai lex specialis, yaitu cabang hukum khusus yang memerlukan pemahaman mendalam dan berbeda dari hukum perdata atau administrasi umum. Dengan demikian, hanya mereka yang memang menekuni perpajakan secara spesifik yang layak menjadi kuasa hukum. RPMK ini mengembalikan semangat tersebut, di mana kualitas lebih diutamakan daripada sekadar kelengkapan formal.

Di era digital, administrasi yang rapi dan terstruktur bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga soal akuntabilitas. RPMK mewajibkan kuasa hukum memiliki catatan administrasi yang tertib, termasuk kewajiban pajaknya sendiri. Ini sekaligus menjadi contoh integritas pribadi yang akan tercermin dalam praktik profesionalnya. Bagaimana mungkin seseorang memperjuangkan hak wajib pajak lain jika kewajiban pajaknya sendiri tidak dipenuhi?

RPMK juga mengatur bahwa tingkatan izin kuasa hukum disesuaikan dengan tingkatan izin konsultan pajak. Hal ini menciptakan sinkronisasi yang penting antara otoritas hukum dan otoritas profesional, sekaligus membuka jalan untuk sistem klasifikasi dan spesialisasi yang lebih sehat dalam ekosistem perpajakan.

Membangun Ekosistem Perpajakan yang Sehat

Dengan lahirnya RPMK ini, diharapkan tercipta ekosistem perpajakan yang lebih sehat, adil, dan profesional. Para pencari keadilan akan merasa lebih aman karena didampingi oleh kuasa hukum yang benar-benar kompeten.

Sementara para kuasa hukum pun akan termotivasi untuk terus meningkatkan kapasitasnya sesuai jenjang dan spesialisasinya. RPMK ini bukan sekadar aturan baru, tetapi momentum untuk menata ulang fondasi profesi kuasa hukum pajak agar kembali ke fitrahnya: menegakkan keadilan dengan integritas dan kompetensi.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum IKPI dan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak

Andreas Budiman

Email:andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

IKPI Apresiasi Edukasi DJSPK Soal Peran Konsultan Pajak, Dorong Urgensi Undang-Undang KP

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi atas inisiatif Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPK), Kementerian Keuangan yang mengedukasi publik mengenai pentingnya peran Konsultan Pajak dalam mendampingi Wajib Pajak menjalankan kewajiban perpajakannya secara benar dan efisien.

Dalam unggahan media sosial resminya, DJSPK menyebut Konsultan Pajak sebagai tenaga ahli yang memahami seluk-beluk peraturan perpajakan dan siap membantu individu maupun badan usaha dalam mengurus Surat Pemberitahuan (SPT) atau proses restitusi pajak. Edukasi tersebut juga mencantumkan dasar hukum berupa PMK Nomor 111/PMK.03/2014 yang mengatur persyaratan, kode etik, hingga larangan praktik Konsultan Pajak.

Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyatakan bahwa pengakuan ini merupakan bentuk penguatan kepercayaan publik terhadap peran strategis Konsultan Pajak sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun kepatuhan sukarela.

“Kami mengapresiasi langkah DJSPK yang memberikan edukasi tepat kepada masyarakat. Konsultan Pajak hadir bukan hanya sebagai pendamping administratif, tapi juga mitra strategis negara dalam memperkuat sistem perpajakan,” ujar Vaudy, Jumat (20/6/2025).

Lebih lanjut, Vaudy menegaskan pentingnya regulasi yang lebih kuat dalam bentuk Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP), sebagai dasar hukum yang memberikan kepastian serta perlindungan, baik bagi Wajib Pajak maupun Konsultan Pajak itu sendiri.

Menurutnya, urgensi pembentukan undang-undang semakin kuat karena peran Kuasa Wajib Pajak, termasuk Konsultan Pajak, telah secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyebut bahwa Kuasa Wajib Pajak bisa berasal dari tiga kelompok: Konsultan Pajak, pihak lain (non-Konsultan Pajak), dan anggota keluarga.

Selain itu, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) juga mencantumkan Konsultan Pajak sebagai salah satu profesi pendukung sektor keuangan. Ini mengukuhkan bahwa peran Konsultan Pajak bukan hanya administratif, tetapi melekat pada ekosistem keuangan nasional.

“Jika peran Konsultan Pajak telah diakui dalam dua undang-undang penting negara, sudah selayaknya profesi ini memiliki undang-undang tersendiri yang mengatur secara menyeluruh, mulai dari standar profesi, kewenangan, tanggung jawab, hingga sanksi etik dan hukum,” jelas Vaudy.

Ia menambahkan, karena Konsultan Pajak adalah pihak yang secara langsung berhubungan dengan sumber penerimaan negara, pengaturannya melalui undang-undang akan memperkuat fondasi kepercayaan publik, meningkatkan profesionalisme, serta menghindari potensi penyimpangan dalam praktik.

“Sudah waktunya Kuasa Wajib Pajak, termasuk Konsultan Pajak, diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang tersendiri. Ini penting bukan hanya untuk kepastian hukum dan perlindungan profesi, tetapi juga sebagai bagian dari strategi besar mengamankan penerimaan negara,” tegasnya.

IKPI sendiri berkomitmen untuk terus mendorong penyusunan dan pembahasan RUU Konsultan Pajak sebagai bagian dari agenda reformasi perpajakan nasional yang inklusif, transparan, dan berorientasi jangka panjang. (bl)

 

DJP DIY dan Pemkab Gunungkidul Sepakat Perkuat Sinergi Pajak dan Layanan 

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menyatukan langkah memperkuat sinergi dalam meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas layanan perpajakan kepada masyarakat.

Sinergi ini menjadi salah satu agenda utama dalam kunjungan kerja Kepala Kanwil DJP DIY, Erna Sulistyowati, ke Kantor Bupati Gunungkidul di Wonosari, Kamis (19/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat mendorong optimalisasi layanan pajak melalui integrasi di Mal Pelayanan Publik (MPP), peningkatan kualitas SDM, serta penguatan pemanfaatan data perpajakan.

“Kami ingin memperkuat kerja sama agar pelaksanaan tugas kami menghimpun penerimaan bisa lebih optimal, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan dan edukasi perpajakan bagi masyarakat,” ujar Erna.

Menurutnya, layanan kolaboratif di MPP akan menghadirkan pendekatan yang lebih humanis, mendorong kepatuhan sukarela, dan mendekatkan pelayanan pajak ke masyarakat secara nyata. DJP DIY, lanjutnya, juga siap mendampingi Pemkab Gunungkidul dalam hal pelatihan dan bimbingan teknis, khususnya di bidang pemeriksaan dan penagihan pajak.

“Kami sanggup memberikan dukungan penuh, termasuk pelatihan teknis untuk mendukung kapasitas aparat pemda,” tegasnya.

Sementara itu, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih menyambut baik inisiatif tersebut dan menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah dan otoritas pajak dalam menjaga potensi penerimaan.

“Pajak adalah tulang punggung pembangunan nasional. Karena itu, kami akan segera memproses kehadiran layanan pajak di MPP Gunungkidul agar pelayanan kepada masyarakat semakin mudah dan efisien,” ujar Endah.

Namun ia mengakui bahwa masih ada kendala pada sisi pemahaman teknis perpajakan di lingkungan pemerintah daerah. “Sebagian besar SDM kami belum familiar dengan proses pemeriksaan pajak. Untuk itu, kami sangat membutuhkan bimbingan dari DJP,” tambahnya.

Pertemuan ini menandai langkah konkret menuju integrasi layanan publik yang lebih inklusif dan memperkuat sinergi fiskal antara pusat dan daerah. Ke depan, kolaborasi ini diharapkan menjadi model bagi daerah lain dalam memperluas jangkauan dan efektivitas pelayanan perpajakan di tingkat lokal. (alf)

 

PER-11/2025 Bagi Tiga Jenis SPT Masa PPN, Apa Bedanya?

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan pembaruan regulasi administratif perpajakan melalui terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Regulasi baru ini menyasar pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kini lebih terstruktur, sesuai dengan karakteristik pelaku usaha dan mekanisme pemungutan pajak.

PER-11/2025 secara garis besar mengatur bentuk, isi, tata cara pengisian, serta penyampaian SPT Masa PPN. Hal menarik dalam aturan ini adalah adanya klasifikasi tiga jenis SPT Masa PPN berdasarkan subjek pelaporannya. Hal ini diharapkan mampu mempermudah Wajib Pajak dalam menyampaikan kewajiban PPN sesuai dengan kondisi dan jenis kegiatan usaha mereka.

Tiga Jenis SPT Masa PPN Sesuai PER-11/2025

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b PER-11/2025, berikut adalah tiga jenis SPT Masa PPN yang dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP):

• SPT Masa PPN untuk PKP Umum

• SPT Masa PPN untuk PKP dengan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

• SPT Masa PPN untuk Pemungut PPN dan Pihak Lain yang Bukan PKP

Rincian Dokumen SPT Masa PPN

Dalam Lampiran J PER-11/2025, DJP merinci format dan kelengkapan formulir yang wajib disampaikan oleh masing-masing kategori pelapor.

1. SPT Masa PPN untuk PKP Umum

SPT ini mencakup sejumlah formulir sebagai berikut:

• Induk SPT

• Formulir A1 – Daftar Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)

• Formulir A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri

• Formulir B1 – Daftar Pajak Masukan atas Impor BKP dan JKP dari luar negeri

• Formulir B2 – Daftar Pajak Masukan dari pembelian dalam negeri

• Formulir B3 – Daftar Pajak Masukan Tidak Dikreditkan atau Mendapat Fasilitas

• Formulir C – Daftar PPN/PPnBM yang Dipungut oleh Pihak Lain

• Kelengkapan tambahan seperti hasil penghitungan kembali Pajak Masukan serta dokumen penyerahan kendaraan bermotor

2. SPT Masa PPN untuk PKP dengan Pedoman Penghitungan Pajak Masukan

Bagi PKP yang belum lama dikukuhkan atau memiliki omzet di bawah batas tertentu, DJP menyediakan skema pelaporan lebih sederhana. Berdasarkan Pasal 73 PER-11/2025, pelaporan mencakup:

• Induk SPT

• Formulir A1 dan A2

• Formulir B3

• Formulir C

• Dokumen tambahan terkait kendaraan bermotor

3. SPT Masa PPN untuk Pemungut dan Non-PKP

Kategori ini ditujukan bagi pihak seperti instansi pemerintah, BUMN, atau badan bukan PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Mereka wajib menyampaikan:

• Induk SPT

• Formulir L1 – PPN/PPnBM yang dipungut oleh pemungut selain PKP

• Formulir L2 – PPN/PPnBM yang dipungut oleh pihak lain

Akses Pelaporan Melalui Coretax

Seluruh pelaporan SPT Masa PPN yang diatur dalam PER-11/2025 kini telah terintegrasi dalam sistem Coretax DJP. Aplikasi ini mempermudah pengisian, verifikasi, dan pengiriman dokumen secara daring.

DJP berharap pembaruan ini bisa menjadi langkah maju menuju sistem perpajakan yang lebih transparan, adaptif, dan akomodatif terhadap dinamika kegiatan usaha di Indonesia. Wajib Pajak diimbau segera memahami ketentuan baru ini agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu dan sesuai aturan.

Untuk informasi teknis lebih lanjut, Wajib Pajak dapat mengakses salinan resmi PER-11/2025 melalui laman pajak.go.id atau berkonsultasi langsung dengan unit layanan DJP terdekat. (alf)

 

PBB Peringatkan Gagalnya Pajak Minimum Global akibat Penolakan Trump

IKPI, Jakarta: Upaya global untuk mewujudkan keadilan perpajakan internasional menghadapi tantangan serius setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi menarik dukungan dari kesepakatan pajak minimum global. Dalam World Investment Report 2025 yang dirilis pada Kamis (19/6), badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) mengungkapkan keprihatinan atas arah baru kebijakan AS yang berpotensi menggagalkan implementasi Pilar Dua OECD kerangka perpajakan global yang telah diadopsi oleh puluhan negara.

UNCTAD menyebut bahwa hingga saat ini, sedikitnya 49 negara, mayoritas negara-negara maju di Eropa, telah memasukkan ketentuan pajak minimum global ke dalam hukum nasional mereka. Pilar Dua, lebih dikenal dengan skema Global Anti-Base Erosion (GloBE), mewajibkan perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta untuk membayar tarif pajak efektif minimum sebesar 15% atas keuntungan di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi.

Namun, hasil pemilihan presiden AS tahun ini membawa dinamika baru. Kemenangan Trump dan kebijakannya untuk menghentikan partisipasi AS dalam Pilar Dua dinilai UNCTAD sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan keberlangsungan reformasi perpajakan internasional.

“Penarikan AS dari pembahasan Pilar Dua dan ancaman tindakan balasan terhadap negara-negara yang menerapkannya berpotensi mengubah arah reformasi perpajakan global yang tengah berlangsung,” tulis UNCTAD dalam laporannya dikutip, Jumat (20/6/2025).

Indonesia Tetap Jalan Terus

Di tengah gejolak global, Indonesia termasuk negara yang telah berkomitmen penuh terhadap penerapan pajak minimum global. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024, pemerintah Indonesia mengadopsi Pilar Dua dengan tiga instrumen utama: Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).

DMTT dan IIR telah berlaku sejak 1 Januari 2025, sementara UTPR akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2026. Langkah ini diambil untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan mencegah pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang menawarkan tarif pajak sangat rendah atau bahkan nihil.

Trump: “Kesepakatan Ini Hambat Kepentingan Amerika”

Satu hari setelah resmi menjabat untuk periode 2025–2029, Presiden Trump menerbitkan memorandum yang menegaskan penarikan Amerika Serikat dari Kesepakatan Pajak Global. Ia menyatakan bahwa komitmen pemerintah sebelumnya tidak sah tanpa pengesahan dari Kongres AS.

“Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat tidak memiliki kekuatan hukum tanpa tindakan legislatif oleh Kongres,” tegas Trump dalam keterangan di laman resmi Gedung Putih.

Lebih lanjut, ia memandang bahwa kesepakatan pajak global OECD membuka celah bagi negara lain untuk “memajaki penghasilan Amerika secara ekstrateritorial,” yang menurutnya merugikan kepentingan nasional dan menggerus daya saing ekonomi Negeri Paman Sam.

Sebagai respons, Trump memerintahkan Menteri Keuangan AS dan Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk melakukan investigasi terhadap kebijakan pajak di negara lain yang dianggap mendiskriminasi perusahaan asal AS. Ia juga meminta daftar tindakan balasan yang bisa diambil guna melindungi kepentingan korporasi dan pekerja AS dari “aturan pajak tidak adil.”

“Menteri Keuangan akan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden dalam 60 hari,” tulis memorandum tersebut.

Penolakan Amerika Serikat, sebagai ekonomi terbesar dunia, tentu menjadi pukulan bagi koalisi negara-negara yang selama ini mendorong sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Meski demikian, UNCTAD menilai bahwa implementasi Pilar Dua tetap memiliki prospek cerah jika komunitas global tetap bersatu dan mengedepankan prinsip keadilan pajak lintas batas. (alf)

 

 

Cegah Penghindar Pajak, Filipina Siap Terapkan Standar Global Pelaporan Kripto CARF pada 2028

IKPI, Jakarta: Pemerintah Filipina bersiap menerapkan langkah strategis untuk memperkuat pengawasan terhadap transaksi aset digital. Menteri Keuangan Ralph Recto mengumumkan bahwa Filipina akan sepenuhnya mengadopsi Crypto-Asset Reporting Framework (CARF) milik OECD pada tahun 2028, sebagai bagian dari upaya mencegah penghindaran pajak lintas negara dan membendung aliran dana gelap melalui aset kripto.

Dalam pernyataannya yang dikutip Inquirer, Recto menekankan pentingnya langkah ini di tengah makin meluasnya penggunaan mata uang digital dalam berbagai aktivitas ekonomi.

“Kita membutuhkan sistem yang lebih cepat dan lebih kuat untuk kolaborasi jika ingin mengalahkan penghindaran pajak dan transaksi gelap,” ujar Recto, Jumat (20/6/2025).

Lebih lanjut, Recto menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan seluruh transaksi kripto dikenai pajak secara adil. Ia menekankan bahwa tidak boleh ada aktivitas keuangan yang luput dari pengawasan hanya karena bersifat digital atau lintas batas.

Adopsi CARF akan menjadi tonggak penting bagi Filipina dalam menyelaraskan diri dengan standar internasional. Framework ini dirancang oleh OECD bersama negara-negara anggota G20, bertujuan meningkatkan transparansi transaksi kripto yang selama ini dikenal sulit dilacak karena tidak bergantung pada sistem keuangan konvensional.

Dengan CARF, negara-negara peserta akan secara otomatis bertukar data perpajakan setiap tahun, termasuk informasi pemilik aset, nilai transaksi, serta platform yang digunakan. Mekanisme ini diharapkan bisa mengungkap praktik penghindaran pajak yang memanfaatkan kerahasiaan dan fleksibilitas aset digital.

Filipina bergabung bersama gelombang negara-negara yang mulai serius membenahi regulasi kripto, tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai potensi risiko fiskal jika tidak diawasi secara ketat. (alf)

en_US