WPKT Kini Bisa Ajukan Pengembalian Pajak Tambahan Secara Terpisah

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali melakukan penyempurnaan layanan perpajakan melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 Tahun 2024. Salah satu poin penting dalam regulasi ini terdapat pada Pasal 8, yang memberikan kemudahan baru bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu (WPKT).

Dalam praktiknya, sering kali terjadi perbedaan jumlah kelebihan pembayaran pajak antara yang tercantum dalam permohonan awal dengan yang ditetapkan dalam SKPPKP (Surat Ketetapan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran). Atas kondisi ini, Pasal 8 memberikan solusi dengan mengatur bahwa WPKT dapat mengajukan kembali permohonan pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan.

Pengajuan Permohonan Tambahan Kini Lebih Fleksibel

Permohonan atas selisih ini dapat diajukan melalui surat tersendiri. Pemerintah membuka akses pengajuan secara elektronik melalui portal Wajib Pajak sebagai jalur utama. Namun, apabila jalur elektronik mengalami kendala atau tidak tersedia, Wajib Pajak tetap dapat menyampaikan permohonan melalui jalur alternatif, yaitu:

• Secara langsung ke kantor pelayanan pajak (KPP),

• Melalui pos,

• Atau menggunakan jasa ekspedisi atau kurir.

Pengiriman ini ditujukan ke KPP, kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan, atau tempat lain yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pemerintah juga menjamin bahwa proses tindak lanjut atas permohonan tambahan ini akan dilakukan dengan ketentuan yang sama (mutatis mutandis) seperti permohonan awal, sejak Wajib Pajak ditetapkan sebagai WPKT. Artinya, tidak ada perlakuan berbeda dalam hal prosedur, jangka waktu, maupun persyaratan administratif lainnya.

Langkah ini menunjukkan bahwa DJP tetap konsisten dalam memberikan perlakuan adil dan prosedural kepada seluruh Wajib Pajak yang memenuhi syarat sebagai WPKT.

Komitmen Pemerintah untuk Pelayanan yang Lebih Responsif

Ketentuan ini hadir sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang terus digulirkan pemerintah. Dengan memberikan ruang bagi pengajuan ulang atas selisih yang belum dikembalikan, WPKT kini memiliki kepastian dan kontrol lebih baik dalam mengelola hak restitusi mereka.

Tak hanya memberikan kemudahan, regulasi ini juga mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian restitusi, sekaligus mendorong kepatuhan sukarela dari pelaku usaha yang tertib administrasi.

Dengan demikian, PMK 119/2024 menjadi bukti konkret bahwa pemerintah terus berinovasi dalam membangun sistem perpajakan yang modern, efisien, dan pro-Wajib Pajak. (alf)

 

PMK 81/2024: Wajib Pajak yang Dapat Insentif Bisa Bayar Angsuran PPh Lebih Rendah

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus memperkuat insentif fiskal dengan mengatur ulang cara penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi wajib pajak penerima fasilitas perpajakan. Hal ini tercantum dalam Pasal 232 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, yang memberikan kepastian sekaligus kelonggaran bagi pelaku usaha.

Apa itu angsuran PPh Pasal 25?

Angsuran PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akhir tahun pajak. Biasanya dihitung dari penghasilan kena pajak tahun sebelumnya. Namun, dengan adanya insentif pajak, nilai angsurannya bisa diturunkan.

Siapa yang Diuntungkan?

PMK 81/2024 secara spesifik menyasar beberapa kelompok wajib pajak yang memperoleh fasilitas, antara lain:

1. Perusahaan Terbuka (Masuk Bursa)

Jika tahun sebelumnya mereka menikmati tarif PPh yang lebih rendah sesuai Pasal 17 ayat (2b) UU PPh, maka tarif itu boleh tetap digunakan dalam penghitungan angsuran tahun berjalan.

2. BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak Lainnya

Jika memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan neto, seperti:

Pasal 31A UU PPh (kegiatan tertentu yang mendorong ekspor, padat karya, dll.), Pasal 29A PP 94/2010 jo. PP 45/2019 (rugi fiskal masa lampau), atau Pasal 78 PP 40/2021 (pelaku usaha di Kawasan Ekonomi Khusus/KEK), maka dasar penghitungan angsuran PPh 25 adalah penghasilan neto setelah dikurangi insentif tersebut, bukan penghasilan kotor.

3. Wajib Pajak di Kawasan Khusus dan IKN

Bagi yang mendapat pembebasan atau pengurangan PPh Badan, misalnya berdasarkan:

Pasal 75 PP 40/2021 (KEK), atau Pasal 28–35 PP 12/2023 jo. PP 29/2024 (pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara), maka angsuran bulanannya juga harus memperhitungkan besarnya fasilitas tersebut sehingga angsurannya bisa lebih kecil, bahkan nol dalam beberapa kasus.

4. Wajib Pajak UMKM atau Skala Tertentu

Yang mendapat pengurangan tarif 50% dari Pasal 31E ayat (1) UU PPh, juga berhak menghitung angsuran dengan tarif khusus tersebut.

Mengapa Ini Penting?

PMK 81/2024 menjawab kebutuhan dunia usaha untuk mendapatkan kejelasan: fasilitas perpajakan tidak hanya berdampak saat pelaporan tahunan, tapi juga mengurangi beban bulanan melalui angsuran yang lebih rendah.

Kebijakan ini sekaligus menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak hanya memberi insentif “di atas kertas”, tapi juga mempermudah arus kas dan likuiditas perusahaan setiap bulan. (alf)

 

 

Sebanyak 22 Eselon I Kemenkeu Perkuat Arah Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkuat arah dan efektivitas kebijakan fiskal nasional melalui pembentukan tiga unit eselon I baru dan penataan ulang posisi pejabat Pimpinan Tinggi Madya. Sebanyak 22 pejabat eselon I kini menempati jabatan strategis di tengah restrukturisasi kelembagaan yang menjadi bagian dari transformasi besar Kemenkeu.

Langkah ini menjadi kelanjutan dari amanat Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024. Tujuannya jelas, untuk memperkuat fondasi fiskal yang adaptif, responsif, dan siap menghadapi tantangan ekonomi yang semakin dinamis.

Tiga Unit Baru

Restrukturisasi ini menghasilkan pembentukan tiga unit eselon I yang dirancang untuk memperkuat fungsi utama Kemenkeu:

• Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF). Bertugas merumuskan strategi kebijakan fiskal makro, sektoral, serta evaluasi pendapatan dan belanja negara secara terintegrasi. Unit ini memperluas cakupan peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang selama ini memimpin dalam analisis makrofiskal.

• Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK) . Hasil reposisi dari berbagai unit yang sebelumnya tersebar, seperti Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) dan P2PK. DJSPSK memperkuat pengawasan dan pengembangan sektor keuangan non-bank, termasuk asuransi dan jaminan sosial.

• Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BTIIK). Dibentuk untuk memimpin transformasi digital dan pengelolaan intelijen ekonomi. BTIIK juga menjadi pusat koordinasi inovasi teknologi dan manajemen perubahan di seluruh lini Kemenkeu.

Fokus pada Kinerja dan Sinergi Kebijakan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa perubahan ini bukan hanya soal struktur, melainkan bagian dari strategi kebijakan untuk mempercepat transformasi kelembagaan dan memperkuat peran Kemenkeu sebagai “Nagara Dana Rakca” penjaga keuangan negara.

“Kita tidak hanya ingin organisasi yang lengkap, tapi juga organisasi yang hidup dan mampu menghasilkan kebijakan yang kredibel serta akuntabel. Struktur ini harus bekerja untuk rakyat,” ujar Sri Mulyani.

Ia juga mengingatkan bahwa para pejabat yang menempati posisi baru harus bekerja dalam semangat sinergi dan nilai-nilai organisasi: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan.

Dengan 22 pejabat eselon I yang kini menempati posisi kunci di unit-unit lama maupun baru, Kemenkeu bersiap menyongsong tantangan fiskal jangka menengah mulai dari ketahanan penerimaan negara, efisiensi belanja, hingga transformasi digital dan tata kelola data.

Kemenkeu menegaskan bahwa reformasi ini tidak berhenti di pelantikan, tetapi akan terus bergulir melalui peningkatan kinerja, integrasi sistem, dan kolaborasi lintas sektor demi memastikan kebijakan fiskal berjalan efektif dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Daftar Eselon I Kemenkeu:

 

  1. Sekretaris Jenderal Heru Pambudi
  2. Inspektur Jenderal Awan Nurmawan Nuh
  3. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto
  4. Direktur Jenderal Anggaran Luky Alfirman
  5. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama
  6. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban
  7. Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti
  8. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Askolani
  9. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto
  10. Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Masyita Crystallin
  11. Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu
  12. Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan Suryo Utomo
  13. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Andin Hadiyanto
  14. Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi
  15. Staf Ahli Bidang Kepatuhan PajakYon Arsal
  16. Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wirasakti
  17. Staf Ahli Bidang Penerimaan Dwi Teguh Wibowo
  18. Staf Ahli Bidang PNBP M. Agus Rofiuidn
  19. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Sudarto
  20. Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono
  21. Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal Arief Wibisono
  22. Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan Rina Widiyani Wahyuningdyah. (alf)

 

Surplus APBN April 2025: Sinyal Pemulihan Pajak Usai Tiga Bulan Tertekan

IKPI, Jakarta: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia akhirnya mencatatkan surplus senilai Rp 4,3 triliun per akhir April 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan capaian ini sebagai titik balik setelah tiga bulan berturut-turut APBN mengalami defisit akibat tekanan penerimaan pajak.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/5/2025), Sri Mulyani menyebutkan bahwa surplus tersebut berasal dari pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, melampaui belanja negara sebesar Rp 806,2 triliun. “Postur APBN akhir April mencatatkan surplus. Ini terjadi setelah defisit (tiga bulan) karena penerimaan pajak mengalami beberapa shocked,” jelasnya.

Tekanan yang dimaksud antara lain berasal dari pemberlakuan tarif efektif rata-rata (TER) PPh Pasal 21 yang baru serta kebijakan relaksasi PPN domestik. Kombinasi keduanya sempat menekan laju penerimaan perpajakan pada kuartal pertama 2025 dan mendorong APBN masuk ke zona merah.

Namun, situasi mulai berbalik arah pada April. Penerimaan pajak menunjukkan pemulihan, sehingga menopang surplus anggaran. “Bulan April terjadi pembalikan, dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit, posisi sekarang per akhir April mengalami surplus Rp 4,3 triliun,” katanya.

Meski surplus yang tercatat baru setara 0,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), angka ini memberikan sinyal positif bahwa pengelolaan fiskal berada di jalur yang adaptif terhadap dinamika penerimaan negara. Sebagai catatan, UU APBN No. 62 Tahun 2024 menetapkan target defisit sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB sepanjang tahun ini.

“Posisi surplus April ini mencerminkan sekitar 0,7 persen dari total target defisit tahun 2025. Artinya, tekanan fiskal sedikit mereda, namun tetap harus dikelola dengan hati-hati mengingat volatilitas penerimaan pajak masih tinggi,” tegasnya. (alf)

 

 

 

 

Menguatkan Sinergi Fiskal, Ini Tugas Ditjen SPSK yang Dipimpin Masyita

IKPI, Jakarta: Dalam upaya memperkuat fondasi kebijakan fiskal dan ketahanan sektor keuangan nasional, Kementerian Keuangan resmi membentuk Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (Ditjen SPSK). Lembaga baru ini kini dipimpin oleh ekonom senior Masyita Crystallin yang ditunjuk sebagai Direktur Jenderal pertamanya.

Pembentukan Ditjen SPSK menjadi langkah strategis pemerintah dalam menghadapi tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, terutama di bidang keuangan. Ditjen SPSK akan berperan sebagai pengarah dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan, profesi keuangan, serta kerja sama internasional yang menyangkut stabilitas sistem keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa keberadaan Ditjen SPSK diharapkan mampu memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan keuangan negara. Ia menyoroti pentingnya lembaga ini dalam memastikan setiap kebijakan mampu menjawab tantangan masa kini maupun yang akan datang.

“Memastikan kebijakan-kebijakan fiskal dan keuangan negara mampu terus menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Menyiapkan sumber daya manusia dengan kualitas yang sesuai atau bahkan melampaui ekspektasi dan tantangan perekonomian, serta membangun struktur organisasi yang solid dan sinergis,” ujar Sri Mulyani saat pelatikan pejabat eselon 1 Kementerian Keuangan di Aula Mezzanine Kementerian Keuangan pada Jumat (23/5/2025).

Tugas Strategis Ditjen SPSK

Sebagai institusi baru, Ditjen SPSK mengemban sejumlah fungsi utama:

• Merumuskan dan melaksanakan kebijakan di sektor keuangan, profesi keuangan, dan kerja sama internasional.

• Menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang keuangan dan kerja sama internasional.

• Memfasilitasi kerja sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang menjadi garda depan dalam menjaga stabilitas keuangan nasional.

Pajak dan Sinergi Fiskal

Kehadiran Ditjen SPSK tak hanya memperkuat sektor keuangan, tapi juga berdampak langsung terhadap sektor perpajakan. Stabilitas keuangan yang terjaga akan menciptakan ruang fiskal yang lebih sehat dan meningkatkan efektivitas kebijakan perpajakan. Selain itu, pembenahan profesi keuangan dan kerja sama internasional di bawah koordinasi Ditjen SPSK berpotensi memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.

Sebagai ekonom yang dikenal dekat dengan isu fiskal dan makroekonomi, Masyita Crystallin membawa pengalaman dan jejaring global yang akan menjadi modal penting dalam menjalankan mandat lembaga ini. Ia menyatakan bahwa Ditjen SPSK akan bekerja secara kolaboratif lintas otoritas untuk memperkuat resilensi ekonomi Indonesia.

Dengan Ditjen SPSK sebagai pilar baru dalam struktur Kementerian Keuangan, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga kesinambungan fiskal, memperkuat reformasi sektor keuangan, dan menjawab tantangan ekonomi global secara terukur dan terintegrasi. (alf)

 

Dirjen Pajak Diberi Waktu Sebulan untuk Bedah Coretax

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, baru saja melantik Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak, menggantikan Suryo Utomo. Ia memberikan mandat khusus kepada Bimo untuk evaluasi mendalam terhadap sistem perpajakan Coretax yang masih mengalami kendala, meskipun saat ini sudah menunjukan kemajuan signifikan.

“Untuk memberikan penilaian yang adil, kami beri waktu satu bulan bagi Pak Bimo agar dapat melihat langsung ke dalam. Beliau perlu memahami data, fakta, dan realitas yang ada, tentu dengan perspektif segar sebagai Dirjen Pajak yang baru,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKiTA, di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Sri Mulyani juga menambahkan, Bimo nantinya akan menyampaikan keterangan resmi tersendiri. “Dengan ruang lingkup yang begitu luas, Dirjen Pajak memang biasanya akan menggelar press briefing khusus, baik soal Coretax maupun isu-isu strategis lainnya,” jelasnya.

Tak hanya Bimo, dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani turut melantik Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Meski Djaka akan segera menjalankan ibadah haji, ia tetap diminta untuk mulai mendalami isu-isu krusial di bidang kepabeanan dan cukai.

Menkeu menekankan pentingnya memberi ruang bagi kedua pejabat baru tersebut untuk menyerap seluruh dinamika tugas barunya sebelum mengambil langkah-langkah strategis. “Kami mohon masyarakat bersabar. Ini adalah fase orientasi yang krusial,” pungkasnya. (alf)

 

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan. Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan. Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT.

Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan.

Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT. Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pemikiran pribadi dari penulis

 

 

 

Dengan Pembekalan Praktis IKPI Dorong Anggota Untuk Siap Menjadi Konsultan Pajak Profesional

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Sistem Pendukung dan Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA) IKPI, Donny Rindorindo mengungkapkan bahwa seminar daring bertema “Tips & Cara Memulai Praktik Sebagai Konsultan Profesional” merupakan bagian dari program kerja departemennya yang berfokus pada pemberdayaan anggota.

Dalam paparannya, Donny menekankan bahwa banyak anggota IKPI yang memiliki latar belakang teknis yang kuat secara akademik namun masih memerlukan panduan praktis untuk memulai atau mengembangkan praktik sebagai konsultan pajak profesional.

“Program ini kami siapkan sebagai bentuk nyata dukungan IKPI terhadap anggotanya. Kami ingin setiap anggota, baik yang baru memulai maupun yang sudah berpraktik, memiliki kepercayaan diri dan pemahaman yang komprehensif dalam mengelola dan memberikan jasa konsultasi serta pelaporan pajak kepada kliennya,” jelas Donny.

IKPI terus menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggotanya melalui rangkaian pelatihan dan pembekalan komprehensif yang dibutuhkan. Pada Jumat (23/5/2025), IKPI menyelenggarakan seminar daring yang diikuti oleh hampir 500 anggota IKPI se-Indonesia, dengan menghadirkan Gandy Budhiman (narasumber), Ratri Widiyanti (moderator), dan Rizky Darma (host).

Acara ini menjadi ajang penting bagi para konsultan pajak, khususnya mereka yang ingin membuka atau tengah merintis dan mengembangkan praktiknya sebagai konsultan pajak, untuk mendapatkan wawasan praktis dari narasumber berpengalaman sekaligus dukungan langsung dari pengurus pusat.

Sementara itu, dalam sambutannya Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld menyampaikan pesan kuat mengenai pentingnya penguasaan soft skill dan kemampuan manajerial dalam mengelola praktik konsultan pajak secara profesional.

Meskipun tengah dalam perjalanan menuju Bandara Kualanamu usai menemui para pengurus Pengda Sumbagut dan Pengcab Medan di sela kegiatan pribadinya di Medan, Sumatera Utara, kemarin, namun Vaudy tetap menyempatkan diri untuk menyampaikan arahan strategis kepada seluruh peserta yang hadir secara daring.

“Kami di pengurus pusat, khususnya melalui Departemen Sistem Pendukung dan Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA), terus berupaya mengembangkan kapasitas anggota. Tidak cukup hanya menguasai aspek teknis perpajakan, tapi juga penting bagi konsultan pajak untuk memiliki kemampuan mengelola kantor dan membangun soft skill yang mumpuni,” tegas Vaudy.

Ia menambahkan bahwa program pembekalan ini akan digelar secara berkala setiap bulan dan akan mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh konsultan pajak untuk berkembang, mulai dari aspek teknis, strategi membangun jaringan klien, hingga pengembangan keterampilan interpersonal.

“Tujuan kami adalah menciptakan perangkat dan platform yang bisa membantu anggota menjadi konsultan pajak yang lebih baik dan profesional. Tidak hanya dari sisi ilmu, tapi juga dari sisi pengelolaan praktik dan daya saing,” lanjutnya.

Untuk memperkuat materi seminar, IKPI menghadirkan Gandhi Budiman, seorang motivator dan coach/trainer berpengalaman. Dengan gaya penyampaian yang inspiratif dan kaya pengalaman, Gandhi menyajikan berbagai kiat praktis, mulai dari cara membangun kredibilitas, menjaring klien, hingga bagaimana menghadapi tantangan dunia usaha secara profesional.

Seminar daring ini menegaskan posisi IKPI sebagai organisasi profesi yang tidak hanya menaungi, tetapi juga aktif memberdayakan dan mengembangkan anggotanya secara berkelanjutan. Dengan semangat kolaboratif dan program-program pembinaan soft skill yang terstruktur, IKPI menargetkan lahirnya konsultan pajak profesional yang berintegritas, berkompeten, dan mampu bersaing di era sekarang ini yang semakin menuntut kualitas dan profesionalisme tinggi.

“Untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya, kami sangat berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota, termasuk generasi milenial. Karena masa depan profesi konsultan pajak juga berada di tangan mereka,” kata Vaudy sambil menutup sambutannya dengan ucapan semangat dan harapan. (bl)

Impor Pangan Nihil, Penerimaan Bea Masuk Tergerus 1,9 Persen pada April 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan bea masuk mengalami penurunan sebesar 1,9 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) per April 2025. Pelemahan ini terutama disebabkan oleh tidak adanya aktivitas impor terhadap tiga komoditas strategis: beras, jagung, dan gula.

Dalam konferensi pers “APBN Kita” yang digelar Jumat (23/5/2025), Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa penurunan ini justru mencerminkan hal positif. Pasalnya, nihilnya impor tiga komoditas tersebut menunjukkan ketahanan pasokan domestik.

“Penurunan ini sebenarnya tidak signifikan karena tidak ada impor beras, jagung, dan gula. Jadi wajar tidak ada penerimaan bea masuk dari sana. Tapi ini hal yang positif,” kata Anggito di kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat.

Ia menambahkan, jika kontribusi dari ketiga komoditas pangan tersebut dikeluarkan dari perhitungan, maka kinerja bea masuk justru mencatatkan pertumbuhan. “Tanpa pengaruh beras, jagung, dan gula, penerimaan bea masuk kita naik 4,3 persen,” ujarnya.

Secara total, realisasi penerimaan bea masuk hingga April tercatat sebesar Rp15,4 triliun atau 29,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu, total penerimaan dari bea dan cukai secara keseluruhan mencapai Rp100 triliun atau naik 4,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Salah satu pendorong signifikan datang dari bea keluar yang melonjak tajam hingga 95,9 persen secara yoy, dengan capaian Rp11,3 triliun. Kenaikan ini dipicu oleh meroketnya harga ekspor crude palm oil (CPO).

Di sisi lain, penerimaan cukai tercatat sebesar Rp73,2 triliun atau sekitar 30 persen dari target tahun ini. Namun, sektor ini mengalami sedikit penurunan sebesar 1,4 persen dibandingkan dengan tahun lalu. (alf)

en_US