Dirjen Pajak Diberi Waktu Sebulan untuk Bedah Coretax

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, baru saja melantik Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak, menggantikan Suryo Utomo. Ia memberikan mandat khusus kepada Bimo untuk evaluasi mendalam terhadap sistem perpajakan Coretax yang masih mengalami kendala, meskipun saat ini sudah menunjukan kemajuan signifikan.

“Untuk memberikan penilaian yang adil, kami beri waktu satu bulan bagi Pak Bimo agar dapat melihat langsung ke dalam. Beliau perlu memahami data, fakta, dan realitas yang ada, tentu dengan perspektif segar sebagai Dirjen Pajak yang baru,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKiTA, di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Sri Mulyani juga menambahkan, Bimo nantinya akan menyampaikan keterangan resmi tersendiri. “Dengan ruang lingkup yang begitu luas, Dirjen Pajak memang biasanya akan menggelar press briefing khusus, baik soal Coretax maupun isu-isu strategis lainnya,” jelasnya.

Tak hanya Bimo, dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani turut melantik Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Meski Djaka akan segera menjalankan ibadah haji, ia tetap diminta untuk mulai mendalami isu-isu krusial di bidang kepabeanan dan cukai.

Menkeu menekankan pentingnya memberi ruang bagi kedua pejabat baru tersebut untuk menyerap seluruh dinamika tugas barunya sebelum mengambil langkah-langkah strategis. “Kami mohon masyarakat bersabar. Ini adalah fase orientasi yang krusial,” pungkasnya. (alf)

 

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan. Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan. Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT.

Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan.

Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT. Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pemikiran pribadi dari penulis

 

 

 

Dengan Pembekalan Praktis IKPI Dorong Anggota Untuk Siap Menjadi Konsultan Pajak Profesional

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Sistem Pendukung dan Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA) IKPI, Donny Rindorindo mengungkapkan bahwa seminar daring bertema “Tips & Cara Memulai Praktik Sebagai Konsultan Profesional” merupakan bagian dari program kerja departemennya yang berfokus pada pemberdayaan anggota.

Dalam paparannya, Donny menekankan bahwa banyak anggota IKPI yang memiliki latar belakang teknis yang kuat secara akademik namun masih memerlukan panduan praktis untuk memulai atau mengembangkan praktik sebagai konsultan pajak profesional.

“Program ini kami siapkan sebagai bentuk nyata dukungan IKPI terhadap anggotanya. Kami ingin setiap anggota, baik yang baru memulai maupun yang sudah berpraktik, memiliki kepercayaan diri dan pemahaman yang komprehensif dalam mengelola dan memberikan jasa konsultasi serta pelaporan pajak kepada kliennya,” jelas Donny.

IKPI terus menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggotanya melalui rangkaian pelatihan dan pembekalan komprehensif yang dibutuhkan. Pada Jumat (23/5/2025), IKPI menyelenggarakan seminar daring yang diikuti oleh hampir 500 anggota IKPI se-Indonesia, dengan menghadirkan Gandy Budhiman (narasumber), Ratri Widiyanti (moderator), dan Rizky Darma (host).

Acara ini menjadi ajang penting bagi para konsultan pajak, khususnya mereka yang ingin membuka atau tengah merintis dan mengembangkan praktiknya sebagai konsultan pajak, untuk mendapatkan wawasan praktis dari narasumber berpengalaman sekaligus dukungan langsung dari pengurus pusat.

Sementara itu, dalam sambutannya Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld menyampaikan pesan kuat mengenai pentingnya penguasaan soft skill dan kemampuan manajerial dalam mengelola praktik konsultan pajak secara profesional.

Meskipun tengah dalam perjalanan menuju Bandara Kualanamu usai menemui para pengurus Pengda Sumbagut dan Pengcab Medan di sela kegiatan pribadinya di Medan, Sumatera Utara, kemarin, namun Vaudy tetap menyempatkan diri untuk menyampaikan arahan strategis kepada seluruh peserta yang hadir secara daring.

“Kami di pengurus pusat, khususnya melalui Departemen Sistem Pendukung dan Pengembangan Bisnis Anggota (SPPBA), terus berupaya mengembangkan kapasitas anggota. Tidak cukup hanya menguasai aspek teknis perpajakan, tapi juga penting bagi konsultan pajak untuk memiliki kemampuan mengelola kantor dan membangun soft skill yang mumpuni,” tegas Vaudy.

Ia menambahkan bahwa program pembekalan ini akan digelar secara berkala setiap bulan dan akan mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh konsultan pajak untuk berkembang, mulai dari aspek teknis, strategi membangun jaringan klien, hingga pengembangan keterampilan interpersonal.

“Tujuan kami adalah menciptakan perangkat dan platform yang bisa membantu anggota menjadi konsultan pajak yang lebih baik dan profesional. Tidak hanya dari sisi ilmu, tapi juga dari sisi pengelolaan praktik dan daya saing,” lanjutnya.

Untuk memperkuat materi seminar, IKPI menghadirkan Gandhi Budiman, seorang motivator dan coach/trainer berpengalaman. Dengan gaya penyampaian yang inspiratif dan kaya pengalaman, Gandhi menyajikan berbagai kiat praktis, mulai dari cara membangun kredibilitas, menjaring klien, hingga bagaimana menghadapi tantangan dunia usaha secara profesional.

Seminar daring ini menegaskan posisi IKPI sebagai organisasi profesi yang tidak hanya menaungi, tetapi juga aktif memberdayakan dan mengembangkan anggotanya secara berkelanjutan. Dengan semangat kolaboratif dan program-program pembinaan soft skill yang terstruktur, IKPI menargetkan lahirnya konsultan pajak profesional yang berintegritas, berkompeten, dan mampu bersaing di era sekarang ini yang semakin menuntut kualitas dan profesionalisme tinggi.

“Untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya, kami sangat berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota, termasuk generasi milenial. Karena masa depan profesi konsultan pajak juga berada di tangan mereka,” kata Vaudy sambil menutup sambutannya dengan ucapan semangat dan harapan. (bl)

Impor Pangan Nihil, Penerimaan Bea Masuk Tergerus 1,9 Persen pada April 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan bea masuk mengalami penurunan sebesar 1,9 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) per April 2025. Pelemahan ini terutama disebabkan oleh tidak adanya aktivitas impor terhadap tiga komoditas strategis: beras, jagung, dan gula.

Dalam konferensi pers “APBN Kita” yang digelar Jumat (23/5/2025), Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa penurunan ini justru mencerminkan hal positif. Pasalnya, nihilnya impor tiga komoditas tersebut menunjukkan ketahanan pasokan domestik.

“Penurunan ini sebenarnya tidak signifikan karena tidak ada impor beras, jagung, dan gula. Jadi wajar tidak ada penerimaan bea masuk dari sana. Tapi ini hal yang positif,” kata Anggito di kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat.

Ia menambahkan, jika kontribusi dari ketiga komoditas pangan tersebut dikeluarkan dari perhitungan, maka kinerja bea masuk justru mencatatkan pertumbuhan. “Tanpa pengaruh beras, jagung, dan gula, penerimaan bea masuk kita naik 4,3 persen,” ujarnya.

Secara total, realisasi penerimaan bea masuk hingga April tercatat sebesar Rp15,4 triliun atau 29,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu, total penerimaan dari bea dan cukai secara keseluruhan mencapai Rp100 triliun atau naik 4,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Salah satu pendorong signifikan datang dari bea keluar yang melonjak tajam hingga 95,9 persen secara yoy, dengan capaian Rp11,3 triliun. Kenaikan ini dipicu oleh meroketnya harga ekspor crude palm oil (CPO).

Di sisi lain, penerimaan cukai tercatat sebesar Rp73,2 triliun atau sekitar 30 persen dari target tahun ini. Namun, sektor ini mengalami sedikit penurunan sebesar 1,4 persen dibandingkan dengan tahun lalu. (alf)

Penguatan Rupiah Dipicu Lolosnya RUU Pajak Trump

IKPI, Jakarta: Nilai tukar rupiah mencatat penguatan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dipicu oleh perkembangan politik fiskal di Washington. Pengamat mata uang dan Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menyebut pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemotongan Pajak oleh DPR AS sebagai faktor pendorong utama.

“RUU pajak yang diusung Presiden Donald Trump dan dijuluki ‘One Big Beautiful Bill’ berhasil lolos dengan dukungan tipis. Isinya mencakup pemangkasan pajak besar-besaran, peningkatan belanja militer dan keamanan perbatasan, serta pemotongan dana untuk energi hijau dan program sosial,” ujar Ibrahim dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Langkah tersebut, menurut Ibrahim, memberi sinyal ketidakpastian fiskal di AS. RUU ini memperpanjang pemotongan pajak dari tahun 2017 yang akan segera berakhir, namun juga diperkirakan akan menambah beban utang nasional sebesar 3,8 triliun dolar AS dalam satu dekade, berdasarkan data Congressional Budget Office.

“Pasar merespons negatif terhadap prospek peningkatan utang AS, terutama setelah Moody’s menurunkan peringkat kredit AS dari Aaa menjadi Aa1. Ketidakpastian ini memberi peluang bagi penguatan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah,” jelasnya.

Berdasarkan data perdagangan di Jakarta, rupiah ditutup menguat 110 poin atau 0,67 persen ke level Rp16.218 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.328 per dolar AS.

Kendati begitu, Ibrahim mengingatkan bahwa penguatan ini bisa bersifat sementara, tergantung pada dinamika lanjutan di Senat AS yang disebut-sebut masih mempertimbangkan revisi signifikan terhadap RUU tersebut. (alf)

 

 

Kepada Dirjen Pajak Menkeu Tekankan Pentingnya Kolaborasi untuk Kejar Target Tax Ratio 23 Persen

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan amanat strategis kepada Direktur Jenderal Pajak yang baru dilantik, Bimo Wijayanto, untuk mengakselerasi penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Dalam upacara pelantikan pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan, Jumat (23/5/2025), Sri Mulyani menekankan pentingnya kolaborasi dan terobosan guna menjawab tantangan fiskal ke depan.

“Peningkatan penerimaan negara bukan sekadar target angka, tapi merupakan refleksi dari tata kelola perpajakan yang transparan, pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak, serta kepastian hukum yang makin kuat,” ujar Sri Mulyani dalam pidatonya.

Instruksi ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan rasio perpajakan mencapai 23 persen terhadap PDB pada 2029 sebuah lonjakan signifikan dari posisi saat ini.

Sri Mulyani menyoroti tantangan utama dalam mencapai target tersebut, yakni rendahnya kepatuhan masyarakat dan pelaku usaha dalam membayar pajak. Ia mengingatkan bahwa ada paradoks di tengah publik yang perlu segera diatasi.

“Masyarakat ingin negara punya penerimaan lebih besar, tapi di sisi lain enggan untuk membayar pajak. Ini kontradiksi yang nyata dan harus ditangani dengan strategi yang bijak,” tegasnya.

Menurutnya, setiap rupiah yang dikumpulkan dari pajak harus mampu menjawab tantangan struktural ekonomi dan memberikan manfaat konkret bagi pembangunan.

Bimo Wijayanto, yang resmi menggantikan posisi Dirjen Pajak, sebelumnya dikenal sebagai sosok teknokrat dengan pengalaman di berbagai institusi strategis, termasuk Kemenko Marves dan Kantor Staf Presiden. Ia juga dikenal berperan dalam pendirian Center for Tax Analysis (CTA) di Kemenkeu.

Kini, dengan beban harapan di pundaknya, Bimo dihadapkan pada mandat besar untuk melakukan reformasi perpajakan yang bukan hanya teknokratis, tapi juga mampu membangun kepercayaan publik. (alf)

 

 

Suryo Utomo Pimpin Badan Teknologi, Informasi dan Intelijen Keuangan: Garda Depan Baru Kemenkeu Hadapi Kejahatan Finansial Digital

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi melantik Suryo Utomo sebagai Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan. Lembaga baru di bawah Kementerian Keuangan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024. Pelantikan berlangsung pada Jumat (23/5/2025), bersamaan dengan pelantikan pejabat eselon I lainnya.

Penunjukan Suryo Utomo yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak menandai langkah strategis Kemenkeu dalam memperkuat pertahanan keuangan negara di era digital.

“Itu adalah janji kontrak secara spiritual maupun secara kemanusiaan bahwa anda melakukan sesuai sumpah jabatan pada tanggung jawab baru yang diberikan oleh negara,” kata Sri Mulyani saat pelantikan di Gedung Djuanda Kemenkeu, Jumat (23/5/2025)

Lembaga Intelijen Keuangan Pertama di Kemenkeu

Lembaga ini merupakan unit baru yang dibentuk untuk menghadirkan pendekatan intelijen dalam pengelolaan keuangan negara. Lembaga ini memiliki mandat utama di lima bidang strategis: intelijen keuangan, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan data keuangan, monitoring dan evaluasi kinerja fiskal, serta pelaksanaan administrasi pendukung.

Menurut keterangan resmi Kemenkeu, lembaga ini akan menjadi motor penggerak dalam menganalisis risiko, mendeteksi potensi kejahatan keuangan, dan merancang kebijakan berbasis data yang presisi. Lebaga ini juga akan berperan penting dalam mengantisipasi ancaman siber terhadap sistem keuangan negara.

Transformasi Digital Keuangan Negara

Pembentukan ini tak lepas dari komitmen pemerintah untuk menjawab tantangan digitalisasi global. Melalui lebaga di bawah Kemenkeu kini memiliki organ khusus yang tidak hanya mengumpulkan dan mengelola data keuangan, tetapi juga mengolahnya menjadi informasi strategis untuk mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat.

Di tengah kompleksitas transaksi keuangan dan ancaman kejahatan siber, kita memerlukan unit kerja yang tanggap, analitis, dan berbasis teknologi. Lembaga ini akan menjadi garda depan.

Dari Pajak ke Intelijen Keuangan

Suryo Utomo dikenal sebagai arsitek sejumlah transformasi digital di Direktorat Jenderal Pajak, termasuk implementasi sistem perpajakan berbasis data yang memperkuat kepatuhan dan transparansi. Dengan pengalaman itu, ia dinilai tepat memimpin BIK dalam menjalankan fungsi barunya.

Langkah Awal, Sorotan Besar

Sebagai lembaga yang baru terbentuk pada 2024, keberadaan Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan. menjadi sorotan penting. Banyak pihak menanti gebrakan pertamanya, mulai dari penanganan data fiskal strategis hingga pelaporan intelijen keuangan yang mendalam.

Dengan dilantiknya Suryo Utomo, publik berharap lembaga tersebut segera menunjukkan peran signifikan dalam ekosistem kebijakan fiskal Indonesia. (bl)

 

Bimo Wijayanto Resmi Jabat Dirjen Pajak, Menkeu: Bisa Perkuat Tata Kelola Fiskal Nasional

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali menggulirkan penyegaran di level pimpinan tertinggi Kementerian Keuangan. Dalam pelantikan yang digelar Jumat (23/5/2025), ia resmi melantik Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak menggantikan pejabat sebelumnya. Pelantikan tersebut menjadi bagian dari reposisi strategis untuk memperkuat tata kelola fiskal nasional.

Bimo bukan sosok asing di lingkup kebijakan ekonomi. Ia merupakan pilihan langsung dari Presiden Prabowo Subianto yang menaruh perhatian besar pada reformasi sistem perpajakan. Seusai bertemu Presiden di Istana Negara, Bimo mengungkapkan bahwa ia diminta untuk membangun sistem pajak yang lebih kredibel, transparan, dan tangguh terhadap intervensi politik.

“Presiden menekankan pentingnya membenahi sistem perpajakan agar benar-benar dapat menopang pembangunan nasional. Reformasi yang holistik akan menjadi fokus saya ke depan,” ujar Bimo.

Latar belakang akademik Bimo terbilang solid. Lulusan SMA Taruna Nusantara ini menempuh studi Akuntansi di Universitas Gadjah Mada sebelum meraih gelar MBA di University of Queensland. Ia kemudian menyelesaikan doktoralnya di University of Canberra dan sempat menjalani program postdoctoral di Duke University, Amerika Serikat.

Dari sisi karier, Bimo memiliki rekam jejak lintas lembaga. Ia pernah berkiprah di Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Staf Presiden, serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Jabatan terakhirnya sebelum kembali ke Kemenkeu adalah sebagai Sekretaris Deputi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Penunjukan Bimo diyakini membawa harapan baru dalam penguatan penerimaan negara, terlebih di tengah tantangan global dan tuntutan domestik yang semakin kompleks. Perjalanan panjangnya di dunia kebijakan dan investasi memberikan bekal kuat untuk mengawal transformasi DJP menuju institusi yang modern dan berintegritas. (alf)

 

 

 

IKPI JAKSEL HELD ENGLISH CLUB FOR THE SECOND TIME

IKPI, Jakarta: IKPI Jaksel organized an English club activity for the second time. The English Club meeting IKPI Jakarta Selatan on May 16, 2025. The English club IKPI Jaksel webinar was hosted by Mr Putu Bagus Adi Wibawa as the moderator. Mr Ruston Tambunan as speaker, He is so excellent in international taxation also as AOTCA President. He is explanation about differences between permanent establishments and representative offices of foreign companies in Indonesia, focusing on their legal status and tax implications. Mr Ruston explained the principles of taxation for international businesses, including the concepts of source and residence jurisdiction, and discussed how tax treaties aim to prevent double taxation. The meeting also included a case study on digital services and an audit adjustment case involving a representative office, with participants engaging in discussions about best practices for mitigating permanent establishment risks and compliance strategies.

Mr.Ruston presented on the tax implications of non-sales representative offices as permanent establishments, explaining the principles of source jurisdiction and residence jurisdiction in taxation. He discussed how countries can tax individuals and enterprises based on these principles, and highlighted the potential for double taxation when both source and residence jurisdictions apply. Ruston also explained the differences between subsidiaries, permanent establishments, and representative offices, noting that while subsidiaries are subject to worldwide income taxation, permanent establishments are taxed only on income attributable to them. He concluded by discussing how tax treaties, such as the one between Indonesia and over 70 countries, aim to prevent double taxation and distribute taxing rights between countries.

Mr.Ruston explained the concept of “effectively connected” income in the context of permanent establishments (PEs) and tax treaties, particularly focusing on Article 7. He clarified that if income is directly or indirectly connected to a PE, it can be attributed to that PE under Article 7, even if it would otherwise be covered by other articles like article 11 (interest) or article 12 (royalties). Ruston also discussed the tax implications of representative offices in Indonesia, noting that while they are exempt from corporate income tax under Article 15, any activities exceeding auxiliary and preparatory functions could constitute a PE subject to tax. He emphasized the importance of strong evidence to prove that a representative office’s activities remain within the treaty’s exemptions.

Mr. Ruston discussed the tax implications of representative offices, explaining that while there is no specific regulation limiting the duration of a representative office, tax auditors often question long-term operations. He emphasized that the nature of activities, rather than duration, determines whether an office is considered a permanent establishment. Ruston also addressed concerns about employee numbers and commissions, noting that while there is no explicit limit on the number of employees, tax auditors may question offices with large staffs. He concluded by explaining that tax treaties and domestic laws govern the taxation of business profits, with rates subject to change.

The participants actively discussed the case study presented by the resource person. (fc)

Versi Indonesia

IKPI JAKSEL GELAR ENGLISH CLUB UNTUK KEDUA KALINYA.

IKPI, Jakarta: IKPI Jaksel kembali menyelenggarakan kegiatan English Club. Pertemuan English Club IKPI Jakarta Selatan pada 16 Mei 2025. Webinar English Club IKPI Jaksel dipandu oleh Putu Bagus Adi Wibawa sebagai moderator. Ruston Tambunan sebagai pembicara, Mereka sangat ahli dalam perpajakan internasional sekaligus sebagai Presiden AOTCA.

Mereka menjelaskan tentang perbedaan antara tempat usaha tetap dan kantor perwakilan perusahaan asing di Indonesia, dengan fokus pada status hukum dan implikasi pajaknya.

Ruston menjelaskan prinsip-prinsip perpajakan untuk bisnis internasional, termasuk konsep yurisdiksi sumber dan tempat tinggal, dan membahas bagaimana perjanjian pajak bertujuan untuk mencegah pajak berganda.

Pertemuan tersebut juga mencakup studi kasus tentang layanan digital dan kasus penyesuaian audit yang melibatkan kantor perwakilan, dengan para peserta terlibat dalam diskusi tentang praktik terbaik untuk mengurangi risiko tempat usaha tetap dan strategi kepatuhan.

Ruston memaparkan implikasi pajak dari kantor perwakilan nonpenjualan sebagai tempat usaha tetap, menjelaskan prinsip yurisdiksi sumber dan yurisdiksi tempat tinggal dalam perpajakan. Ia membahas bagaimana negara dapat mengenakan pajak kepada individu dan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip ini, dan menyoroti potensi pajak berganda ketika yurisdiksi sumber dan tempat tinggal berlaku.

Ruston juga menjelaskan perbedaan antara anak perusahaan, tempat usaha tetap, dan kantor perwakilan, dengan mencatat bahwa sementara anak perusahaan dikenakan pajak penghasilan di seluruh dunia, tempat usaha tetap hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dapat diatribusikan kepada mereka.

Ia menyimpulkan dengan membahas bagaimana perjanjian pajak, seperti yang berlaku antara Indonesia dan lebih dari 70 negara, bertujuan untuk mencegah pajak berganda dan mendistribusikan hak perpajakan antar negara.

Ruston menjelaskan konsep pendapatan yang “terhubung secara efektif” dalam konteks tempat usaha tetap (PE) dan perjanjian pajak, khususnya dengan fokus pada Pasal 7. Ia mengklarifikasi bahwa jika pendapatan secara langsung atau tidak langsung terhubung ke PE, pendapatan tersebut dapat diatribusikan ke PE tersebut berdasarkan Pasal 7, meskipun pendapatan tersebut akan tercakup oleh pasal lain seperti pasal 11 yaitu bunga atau pasal 12 yaitu royalti. Ruston juga membahas implikasi pajak dari kantor perwakilan di Indonesia, dengan mencatat bahwa meskipun kantor perwakilan dikecualikan dari pajak penghasilan badan berdasarkan Pasal 15, kegiatan apa pun yang melampaui fungsi pelengkap dan persiapan dapat menjadi subjek pajak BUT.

Ia menekankan pentingnya bukti kuat untuk membuktikan bahwa kegiatan kantor perwakilan tetap berada dalam pengecualian perjanjian tersebut.

Tn. Ruston membahas implikasi pajak dari kantor perwakilan, dengan menjelaskan bahwa meskipun tidak ada peraturan khusus yang membatasi durasi kantor perwakilan, pemeriksa pajak sering mempertanyakan operasi jangka panjang.

Ia menekankan bahwa sifat kegiatan, bukan durasi, menentukan apakah suatu kantor dianggap sebagai tempat usaha tetap. Ruston juga menanggapi kekhawatiran tentang jumlah karyawan dan komisi, dengan mencatat bahwa meskipun tidak ada batasan eksplisit pada jumlah karyawan, pemeriksa pajak dapat mempertanyakan kantor dengan staf yang besar. Ia menyimpulkan dengan menjelaskan bahwa perjanjian pajak dan undang-undang domestik mengatur perpajakan atas laba bisnis, dengan tarif yang dapat berubah.

Para peserta secara aktif membahas studi kasus yang disajikan oleh narasumber. (fc)

 

 

 

 

 

 

 

en_US