Bar dan Kelab Malam Dikenakan Pajak Hingga 75 Persen di Draft RUU DKJ

IKPI, Jakarta: Draf RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menaikkan tarif pajak hiburan hingga kelab malam menjadi maksimal 75 persen.

Hal itu tertuang dalam Pasal 41 bab XIX RUU DKJ berdasarkan naskah yang diterima CNNIndonesia.com dari Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi atau Awiek, Selasa (5/12).

“Tarif pajak jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 25 persen dan paling tinggi 75 persen,” demikian bunyi Pasal 42 ayat (1) huruf b.

Saat ini, besaran tarif mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan.

Dalam aturan itu, pajak hiburan, pajak diskotek, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan disc jockey (DJ) dan sejenisnya dipatok hanya 25 persen. Adapun pajak panti pijat, mandi uap, dan spa sebesar 35 persen.

Selain itu, draf beleid yang sama juga menaikkan tarif pajak jasa parkir.

“Tarif pajak jasa parkir ditetapkan paling tinggi 25 persen,” demikian bunyi Pasal 42 ayat (1) huruf a.

Besaran pajak ini naik. Sebab, jika mengacu pada peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir, besarannya hanya sebesar 20 persen.

DPR resmi mengesahkan RUU tentang DKJ menjadi beleid inisiatif DPR melalui Rapat Paripurna ke-10 Masa Persidangan II tahun 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, siang ini.

Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus yang memimpin rapat menyebut delapan fraksi setuju dengan catatan terkait RUU DKJ disahkan menjadi inisiatif DPR. Mereka yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP.

Dengan demikian, dari sembilan fraksi di parlemen, hanya PKS yang menolak. PKS salah satunya menyoroti dan menganggap DKI Jakarta masih layak menjadi Ibu Kota Indonesia. (bl)

Tahun 2024 Kemekeu Akan Permudah Penghitungan Pajak Karyawan

IKPI, Jakarta: Pajak karyawan pada 2024 bakal diubah metode perhitungannya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut skema pemotongan pajak penghasilan (PPh 21) menggunakan metode tarif efektif rata-rata (TER).

Direktur Jenderal Pajak, Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan rumus baru ini lebih sederhana dan mudah.

“Insyaallah tahun depan kita sudah mulai menggunakan metodologi pemotongan pemungutan PPh Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata, yang lebih simpel, lebih mudah dan lebih memberikan kepastian bagi si pemotong atau pemungut PPh pasal 21 itu sendiri,” kata Suryo dalam konferensi pers APBN Kita, seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (5/12/2023).

Kini, pihaknya tengah mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai alas hukumnya. Aturan teknis berupa peraturan menteri keuangan (PMK) juga tengah digodok.

“Untuk aturan pelaksanaannya PMK pun sudah kami siapkan dan insyaallah mulai masa Januari 2024 sekiranya semuanya dapat terlaksana dengan baik,” katanya.

Kehadiran tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 diharapkan tidak akan menimbulkan kurang bayar atau lebih bayar bagi wajib pajak yang dipotong. Pasalnya seluruh PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada setiap masa pajak sepanjang 1 tahun pajak akan diperhitungkan kembali pada akhir tahun.

Menurutnya, penghitungan PPh memang rumit dan kompleks karena adanya penerapan tarif pajak progresif, hingga ketentuan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Dengan skema hitung yang berlaku saat ini, DJP mencatat terdapat sekitar 400 skenario pemotongan PPh Pasal 21. Hal ini kerap kali membingungkan dan memberatkan wajib pajak maupun si pemotong.

Ia menjelaskan dengan metode baru ini akan kelihatan apakah ada kurang dibayar atau lebih dibayar, sehingga di laporan terakhirnya diharapkan tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran.

“Jumlah yang dibayarkan tidak berbeda dengan kondisi saat ini sebetulnya, hanya akan mempermudah cara kita melakukan pemotongan pemungutan yang dilakukan oleh pemberi kerja kepada karyawan atau bahkan kepada penerima penghasilan yang bukan pegawai,” ungkapnya. (bl)

UMP Buruh Naik, Siap-Siap Kena Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah provinsi di Indonesia telah melakukan pengumuman upah minimum kabupaten/kota atau UMK 2024 sejak akhir November 2023, tak terkecuali kab/kota di Jawa Barat yang terkenal dengan upah minimum tertinggi.

Meski Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat di angka Rp2.057.495 untuk 2024, namun terdapat enam wilayah tersebut yang memiliki gaji tinggi bahkan lebih dari DKI Jakarta yang sejumlah Rp5.067.381.

Mengacu Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ambang batas (threshold) pajak penghasilan (PPh) Rp54 juta per tahun atau setara dengan Rp4,5 juta per bulan.

Artinya, masyarakat yang memiliki penghasilan hingga Rp54 juta per tahun bebas dari PPh. Sementara PPh akan berlaku pada penghasilan di atas batas tersebut. Alhasil, para pekerja di kab/kota dengan UMK lebih dari Rp4,5 juta, wajib membayar pajak penghasilan setiap tahunnya.

Untuk periode 2024, tercatat terdapat kabupaten/kota yang memiliki UMK tertinggi secara nasional berada di Jawa Barat. Kota Bekasi tercatat memiliki UMK 2024 tertinggi, yakni senilai Rp5,34 juta, naik Rp185.181,8 atau 3,59% dibandingkan 2023.

Selanjutnya, UMK Kabupaten Karawang menempati posisi kedua UMK tertinggi di Jawa Barat dengan nominal Rp5,25 juta, naik Rp81.654,93 atau hanya 1,57% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai simulasi, A yang masih lajang dan tidak memiliki tanggungan, bekerja di Kota Bekasi dengan pendapatan Rp5,34 juta per bulan atau Rp64,12 juta per tahun. A terhitung bebas PPh untuk Rp54 juta penghasilannya sesuai Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dia akan dikenakan pajak atas selisih penghasilan dengan PTKP (Rp64,12 juta – Rp54 juta) sebesar Rp10,12 juta, yakni dengan tarif PPh 5%. Alhasil, pajak penghasilan yang ditanggung orang tersebut yakni 5% dari Rp10,12 juta atau Rp506.058 per tahun. Adapun, upah minimum di atas Rp4,5 juta bukan hanya berada di Jawa Barat, namun juga Banten dan Jawa Timur.

Berikut Daftar Kab/Kota dengan UMK 2024 yang kena PPh atau lebih dari Rp4,5 Juta

1. DKI Jakarta Rp5.067.381

2. Kota Bekasi Rp5.343.430

3. Kabupaten Karawang Rp5.257.834

4. Kabupaten Bekasi Rp5.219.263

5. Kota Depok Rp4.878.612

6. Kota Bogor Rp4.812.988

7. Kabupaten Bogor Rp4.579.541

8. Kota Surabaya Rp4.725.479

9. Kabupaten Gresik Rp4.642.031

10. Kabupaten Sidoarjo Rp4.638.582

11. Kabupaten Pasuruan Rp4.635.133

12. Kabupaten Mojokerto Rp4.624.787

13. Kota Cilegon Rp4.815.102,80

14. Kota Tangerang Rp4.760.289,54

15. Kota Tangerang Selatan Rp4.670.791

16. Kabupaten Tangerang Rp4.601.988

17. Kabupaten Serang Rp4.560.894,85

 

 

Karyawan di IKN Tidak Dipungut PPh 21

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyiapkan sejumlah insentif bagi masyarakat yang bersedia tinggal dan bekerja di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).

Salah satu insentif yang disiapkan adalah terkait pembebasan pajak penghasil (PPh) pasal 21.

Staf Ahli Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan berbagai insentif fiskal untuk menarik minat partisipasi pembangunan IKN.

Ketentuan “pemanis” itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, Dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha Di Ibu Kota Nusantara.

“Yang antara lain kalau terkait dengan fiskal memberikan aturan terkait PPh, PPN, dan kepabeanan,” kata dia, dalam diskusi virtual, seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (4/12/2023).

Lebih lanjut Yon menyebutkan, salah satu insentif perpajakan yang disiapkan ialah PPh pasal 21 ditanggung pemerintah.

 

Dengan demikian, karyawan yang bekerja di IKN dapat menerima gaji penuh tanpa potongan PPh.

“Kita usahakan mendatangkan keramaian atau crowd, makanya salah satu fasilitas yang kita berikan di antaranya adalah PPh pasal 21 yang ditanggung pemerintah,” ujarnya.

Insentif PPh pasal 21 ditanggung pemerintah itu akan diberikan untuk semua golongan karyawan. Yon bilang, semua golongan tingkat pendapatan akan mendapatkan insentif tersebut.

“Jadi intinya yang pindah ke sana bekerja di sana berdomisili di sana karyawannya pphnya ditanggung pemerintah,” katanya.

Dalam pelaksanaannya, ketentuan mengenai insentif PPh 21 akan dievaluasi secara berkala. Hal itu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagai informasi, PPh pasal 21 merupakan pajak pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi.

Adapun besaran potongan PPh pasal 21 ditentukan berdasarkan lapisan pendapatan orang pribadi, yakni mulai dari 5 persen untuk pendapatan di bawah Rp 60 juta per tahun hingga 35 persen untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun. (bl)

 

 

Investor di IKN Dapat Keringanan Pajak hingga 30 Tahun

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan sejumlah fasilitas perpajakan kepada investor Ibu Kota Nusantara (IKN). Salah satunya adalah pemberian tax holiday atau insentif pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti menuturkan tax holiday tersebut akan diberikan kepada investor yang menanamkan modalnya di IKN paling sedikit Rp 10 miliar. Sementara batas waktu paling lama dalam pemberian keringanan itu adalah maksimal 30 tahun.

“Tax holiday dengan batasan investasi Rp10 miliar untuk jangka waktu paling lama 30 tahun,” kata Dwi lewat keterangan tertulis, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (4/11/2023).

Dwi mengatakan keringanan perpajakan itu diberikan untuk sejumlah sektor yang memenuhi syarat. Aturan tersebut, kata dia, juga disesuaikan dengan kebutuhan IKN. “Atas beberapa sektor eligible dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan pengembangan dan pembangunan IKN,” tambahnya.

Secara lebih rinci, aturan mengenai tax holiday diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara.

Paragraf 2 PP itu dijelaskan dalam Paragraf 2 mengenai Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri. Pasal 28 menjelaskan mengenai 3 sektor yang bisa mendapatkan fasilitas ini, yakni infrastruktur dan layanan umum; bangkitan ekonomi; dan bidang usaha lainnya.

Sektor infrastruktur dan layanan umum mencakup pembangkit listrik. pembangunan dan pengoperasian Jalan tol, bandar udara, hingga fasilitas kesehatan dan lainnya.

Sementara sektor bangkitan ekonomi yang bakal mendapatkan tax holiday di antaranya pembangunan dan pengoperasian pusat perbelanjaan alias mall; penyediaan sarana wisata dan jasa akomodasi atau hotel berbintang; fasilitas meeting, incentive, convention dan exhibition; serta penyediaan SPBU atau pengisian daya baterai kendaraan listrik.

Terakhir, sektor usaha lainnya yang akan mendapatkan fasilitas tax holiday adalah budidaya pertanian dan perikanan perkotaan; industri bernilai tambah; industri perangkat keras dan perangkat lunak; jasa perdagangan dan lain sebagainya.

Pasal 29 Ayat (1) menjelaskan lebih lanjut bahwa Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan sebesar lOO% dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.

Dalam Pasal 29 juga dijelaskan bahwa sektor infrastruktur dan layanan umum bisa mendapatkan pengurangan pajak penghasilan badan selama 30 tahun apabila mulai berinvestasi pada periode 2023-2030; selama 25 tahun pajak untuk penanaman modal pada 2031-2035; dan 20 tahun pajak untuk penanaman modal 2036-2045.

Ketentuan serupa berlaku untuk bidang usaha bangkitan ekonomi, yakni 20 tahun untuk penanaman modal pada 2023-2030; 15 tahun untuk penanaman modal 2031-2035; dan 10 tahun untuk 2036-2045. Sementara pengurangan pajak untuk bidang usaha lainnya adalah 10 tahun untuk penanaman modal pada 2023-2030 dan 10 tahun pula untuk investasi pada 2031-2045.

Aturan tax holiday ini juga diterapkan kepada mereka yang melakukan penanaman modal di Financial Center IKN dengan sejumlah ketentuan dan syarat. Selain itu, tax holiday juga disediakan kepada perusahaan luar negeri yang bersedia memindahkan kantor pusat maupun kantor regionalnya ke Kalimantan Timur.

Meski menggiurkan, namun dalam PP tersebut pemerintah juga mengatur pencabutan terhadap pemberian tax holiday apabila para investor tak bisa memenuhi persyaratan, misalnya realisasi penanaman modal paling lambat 2 tahun setelah disetujui. (bl)

 

 

Pemajakan Dividen Tak Cerminkan Prinsip Kesetaraan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai pemajakan atas distribution of profit to shareholder (dividen) di Indonesia bukanlah objek pajak yang bersifat final (general principle). Alasannya, dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 UU Pajak Penghasilan dengan tarif 15 persen.

“Mengingat aturan yang demikian, pajak penghasilan Pasal 23 UU PPh atas dividen sebesar 15 persen tersebut merupakan ‘prepaid tax’ sehingga pada akhirnya pajak tersebut dapat dikreditkan dengan kewajiban pajak yang dihitung pada akhir tahun,” kata Arsono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2023).

Menurutnya, penerapan general principle atas penghasilan dividen sebagaimana yang demikian akan menciptakan “economic double taxations”.

Pertama, pengenaan pajak atas taxable profit pada level corporate. Kedua pengenaan pajak saat profit after taxes tersebut dibagikan sebagai dividen, dikenakan kembali pada level shareholders.

Untuk meminimalkan double taxes tersebut; maka dalam hal dividen tersebut dibagikan kepada badan (corporate) yang kemudian dikenal intercompany dividen, maka dividen tersebut diklasifikasi sebagai bukan objek pajak (lihat Pasal 4 ayat 3) huruf f UU Pajak Penghasilan)

Namun demikian, kata Arsono, dalam hal penghasilan berupa dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri (kemudian diperluas kepada koperasi sebagai wujud keberpihakan negara kepada koperasi), BUMN, BUMD. “Perseroan terbatas diperluas kepada BUMN dan BUMD dengan syarat shareholding pada perusahaan yang membayarkan dividen paling rendah 25% dari jumlah yang disetor, dan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa kemudian dengan pertimbangan kemudahan administrasi, atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (dalam negeri) merupakan objek pajak sebesar 10 persen, itulah pajak yang bersifat final.

Dalam situasi demikian kata Arsono, nantinya akan berujung pada hasil akhir yang berbeda. Artinya dalam hal penerima merupakan wajib pajak pribadi dalam negeri.

Dengan demikian terjadinya economic double taxation tidak bisa dihindarkan. (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

“Situasi dan pengaturan yang demikian merupakan perlakuan belum menggambarkan prinsip kesetaraan ‘unequal treatment’ meskipun penerima penghasilan dividen sangat bisa jadi berada pada situasi yang setara ‘comparable circumstance’ sehingga saya mengartikan pengaturan yang demikian belum memberikan kebebasan dalam berinvestasi ‘free movement of capital’ bagi business operator),” katanya.

Dia menegaskan, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pengaturan Pasal 4 ayat 3) huruf f) semakin diperluas yakni

dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;

dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak; atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kita mesti mengakui upaya meminimalkan terjadinya double taxation terus diupayakan sehingga system pemajakan atas distribution of profit to shareholder menjadi lebih efisien. Sesuatu yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, Arsono mengimbau bahwa pengaturan tersebut masih perlu lebih disempurnakan. Tujuannya, agar free movement of capital dapat terjamin sehingga cita cita ASEAN sebagai Epicentrum of Growth bisa terwujud. (bl)

Pemajakan Dividen Tak Cerminkan Prinsip Kesetaraan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai pemajakan atas distribution of profit to shareholder (dividen) di Indonesia bukanlah objek pajak yang bersifat final (general principle). Alasannya, dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 UU Pajak Penghasilan dengan tarif 15 persen.

“Mengingat aturan yang demikian, pajak penghasilan Pasal 23 UU PPh atas dividen sebesar 15 persen tersebut merupakan ‘prepaid tax’ sehingga pada akhirnya pajak tersebut dapat dikreditkan dengan kewajiban pajak yang dihitung pada akhir tahun,” kata Arsono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2023).

Menurutnya, penerapan general principle atas penghasilan dividen sebagaimana yang demikian akan menciptakan “economic double taxations”.

Pertama, pengenaan pajak atas taxable profit pada level corporate. Kedua pengenaan pajak saat profit after taxes tersebut dibagikan sebagai dividen, dikenakan kembali pada level shareholders.

Untuk meminimalkan double taxes tersebut; maka dalam hal dividen tersebut dibagikan kepada badan (corporate) yang kemudian dikenal intercompany dividen, maka dividen tersebut diklasifikasi sebagai bukan objek pajak (lihat Pasal 4 ayat 3) huruf f UU Pajak Penghasilan)

Namun demikian, kata Arsono, dalam hal penghasilan berupa dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri (kemudian diperluas kepada koperasi sebagai wujud keberpihakan negara kepada koperasi), BUMN, BUMD. “Perseroan terbatas diperluas kepada BUMN dan BUMD dengan syarat shareholding pada perusahaan yang membayarkan dividen paling rendah 25% dari jumlah yang disetor, dan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa kemudian dengan pertimbangan kemudahan administrasi, atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (dalam negeri) merupakan objek pajak sebesar 10 persen, itulah pajak yang bersifat final.

Dalam situasi demikian kata Arsono, nantinya akan berujung pada hasil akhir yang berbeda. Artinya dalam hal penerima merupakan wajib pajak pribadi dalam negeri.

Dengan demikian terjadinya economic double taxation tidak bisa dihindarkan. (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

“Situasi dan pengaturan yang demikian merupakan perlakuan belum menggambarkan prinsip kesetaraan ‘unequal treatment’ meskipun penerima penghasilan dividen sangat bisa jadi berada pada situasi yang setara ‘comparable circumstance’ sehingga saya mengartikan pengaturan yang demikian belum memberikan kebebasan dalam berinvestasi ‘free movement of capital’ bagi business operator),” katanya.

Dia menegaskan, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pengaturan Pasal 4 ayat 3) huruf f) semakin diperluas yakni

dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;

dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak; atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kita mesti mengakui upaya meminimalkan terjadinya double taxation terus diupayakan sehingga system pemajakan atas distribution of profit to shareholder menjadi lebih efisien. Sesuatu yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, Arsono mengimbau bahwa pengaturan tersebut masih perlu lebih disempurnakan. Tujuannya, agar free movement of capital dapat terjamin sehingga cita cita ASEAN sebagai Epicentrum of Growth bisa terwujud. (bl)

 

Pengusaha Bioskop Sebut UU HKPD Sudah Cukup Mengatur Batas Pungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengaku heran dengan wacana aturan baru standardisasi pajak bioskop. Pasalnya, aturan yang ada saat ini sudah baik.

Ketua GPBSI Djonny Syafruddin merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang baru disahkan Presiden Joko Widodo tahun lalu. Menurutnya, beleid tersebut sudah menjawab tuntutan pengusaha terkait pajak bioskop.

“Menurut saya yang sudah berlaku (UU HKPD), sudah bagus, mau apalagi? Iya, sudah pakai itu saja. Nanti jadi bingung (kalau ada aturan baru lagi),” kata Djonny seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (30/11/2023).

“Itu kan setinggi-tingginya 10 persen (pungutan pajak bioskop di UU HKPD). Semuanya kan nanti melalui peraturan daerah (aturan teknisnya). Karena uangnya buat (pemerintah) daerah, bukan pusat,” sambungnya.

Di UU HKPD, bioskop digolongkan sebagai aktivitas hiburan dan dikenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Pada Pasal 58 ayat (1) beleid tersebut, pajak PBJT ditetapkan paling tinggi 10 persen.

Sedangkan tarif PBJT dikenakan 40 persen hingga 75 persen untuk klasifikasi hiburan lain, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Terlepas dari kebingungan pengusaha, Djonny menceritakan awal mula mengapa muncul angka maksimal 10 persen. Menurutnya, itu adalah salah satu perjuangan GPBSI yang didengar Jokowi.

Sebelum ada UU HKPD, pajak bioskop diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Bioskop atau tontonan film masuk dalam pajak hiburan. Pasal 45 ayat (1) UU PDRD mengatur besaran tarif pajak maksimal 35 persen.

“Beberapa tahun lalu saya memang pernah ngomongnya agak keras, kira-kira 2 atau 3 tahun lalu. Saya bilang ke Pak Jokowi ‘NKRI harga mati’, saya gituin. Kalau betul NKRI, berarti semuanya (pajak bioskop) harus sama,” tuturnya.

“Saya kan pernah tinggal di negara federal, di Jerman Barat dulu 1970-an. Itu pajak dari Hamburg sampai ke Muenchen sama, jenisnya, subjek, dan objeknya. Di Indonesia enggak. Medan 30 persen, Palembang 20 persen, beda-beda lah. Jakarta 10 persen, itu saya yang berjuang waktu itu,” ungkapnya.

“Jadi beda-beda, saya bilang kenapa enggak disamakan? Objek dan subjeknya sama, film, ya sama dong. Keluarlah itu (UU HKPD), setinggi-tingginya 10 persen,” jelas Djonny.

Kalaupun pada akhirnya akan ada standardisasi pajak bioskop baru melalui peraturan presiden, Djonny berharap angkanya turun dari yang berlaku di UU HKPD. Meski ia ragu akan ada aturan baru soal besaran tarif pajak bioskop, karena UU HKPD pun baru efektif berlaku 2024.

Sebelumnya, rencana standardisasi pajak bioskop ini dibocorkan Menteri BUMN Erick Thohir. Ia menyampaikan dalam rapat yang dihadiri perwakilan Kemenko Marves, Kemendagri, Kemenparekraf, PT Produksi Film Negara (PFN), hingga aktor Indonesia.

Ucapan Erick tidak dalam kesatuan utuh. Ia hanya mengatakan Presiden Jokowi akan mengumumkan aturan yang pro-industri film nasional.

Setelah itu, video unggahan Instagram @erickthohir beralih kepada klip baru. Bagian inilah yang menyinggung soal standardisasi pajak bioskop di seluruh daerah Indonesia.

“Bahwa seluruh pungutan pajak, karcis bioskop itu sama di semua daerah. Nanti akan ditaruh satu fund untuk khusus film nasional,” kata Erick via akun Instagram resminya, Senin (27/11).

“Bahwa kemungkinan harus ada perpres yang bisa memayungi seluruh ekosistem yang kita bisa lakukan, baik dari segi perpajakan, perizinan, lalu juga pendanaan. Sehingga juga kita titik akhirnya bagaimana proses keuangan mesti clear and clean,” tandasnya. (bl)

Tersangka Pengemplang Pajak Rp 1,3 Miliar Diserahkan ke Kejaksaan

IKPI, Jakarta: Tim Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti tindak pidana perpajakan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Dia berinisial SLW melalui PT MSE.

SLW telah disangka dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) dan/atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut masa pajak Desember 2018 sampai Agustus 2019. Perbuatannya dinilai menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara lebih dari Rp 1,3 miliar.

“Atas perbuatan tersangka dalam kurun waktu Desember 2018 sampai Agustus 2019 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 1.359.380.881,” kata Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jakarta Pusat, Agustinus Dicky Haryadi, seperti dikutip dari Detik Finance, Jumat (31/11/2023).

Modus yang dilakukan SLW melalui PT MSE adalah melakukan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada para pelanggan. Atas transaksi tersebut, telah diterbitkan faktur pajak dan dilakukan pemungutan PPN-nya, namun PT MSE tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tidak melaporkan SPT Masa PPN dan/atau tidak menyetor PPN yang seharusnya dibayar ke kas negara.

Terhadap tersangka dapat dipersangkakan melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Berkat kerja sama antara Penegak Hukum Kanwil DJP Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, berkas perkara atas tersangka SLW sudah dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti (P-21) dan dilakukan penyerahan tersangka serta barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

“Keberhasilan Kanwil DJP Jakarta Pusat dalam menangani tindak pidana di bidang perpajakan merupakan wujud koordinasi yang baik antar aparat penegak hukum yang telah dilakukan oleh Kanwil DJP Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta,” tutur Agustinus.

Keberhasilan ini sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan yang akan memberikan peringatan bagi para pelaku lainnya. Dengan demikian penerimaan negara dapat diamankan demi tercapainya pemenuhan pembiayaan negara dalam APBN. (bl)

 

DJP Catat 82 Persen NIK Sudah Terintegrasi dengan NPWP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 20 November 2023 sudah terdata 59,38 juta pemilik nomor induk Kependudukan (NIK) yang terintegrasi dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Angka tersebut mencapai realisasi 82,44 persen dari total 72,04 juta Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Menurutnya, sejauh ini dari DJP senantiasa melakukan edukasi dan mengimbau kepada WP Orang Pribadi Dalam Negeri untuk memadankan NIK sebagai NPWP melalui situs pajak.go.id, agar lebih mudah dalam mengakses layanan perpajakan pada saat dilakukan diimplementasikan penuh nantinya.

Selain itu, pihaknya juga terus berkoordinasi dengan berbagai pihak yang akan memiliki interopabilitas dengan sistem informasi milik DJP, di antaranya adalah perbankan serta berbagai Kementerian dan Lembaga.

“Masing-masing pihak saat ini sedang melakukan penyesuaian sistem informasi yang mereka miliki, sehingga lebih mudah saat implementasi core tax dilaksanakan,” ujarnya.

Cara Validasi NIK Jadi NPWP

Simak cara validasi NIK melalui sistem DJP online:

Masuk ke laman DJP Online di https://djponline.pajak.go. id/account/login.

Lalu login ke laman DJP Online tersebut dengan memasukkan NPWP, beserta kata sandi, dan kode keamanan (captcha) yang tersedia.

Setelah berhasil login, masuk ke menu utama “Profil”.

Nanti dalam laman Profil tersebut akan menunjukkan status validitas data utama yang Anda miliki, apakah anda ‘Perlu Dimutakhirkan’ atau ‘Perlu Dikonfirmasi’. Status ini menandakan, bahwa Anda perlu melakukan validasi NIK.

Dalam halaman menu ‘Profil’ akan terdapat ‘Data Utama’ dan akan menemukan kolom NIK/NPWP (16 digit). Di dalam kolom tersebut, Anda harus memasukkan NIK yang berjumlah 16 digit.

Apabila sudah selesai klik ‘Validasi’.

Selanjutnya sistem akan mencoba melakukan validasi data dengan yang tercatat di Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Jika data valid, maka sistem akan menampilkan notifikasi informasi bahwa data telah ditemukan. Lalu, klik ‘Ok’ pada notifikasi itu.

Kemudian tekan tombol “Ubah Profil”.

Terkahir, Anda juga bisa melengkapi bagian data KLU dan anggota keluarga. Apabila telah selesai dan tervalidasi, maka Anda sudah dapat menggunakan NIK untuk melakukan login ke DJP Online.

Apabila tidak berhasil berikut caranya:

1.Masuk ke laman www.pajak.go.id

2.Klik login atau akses langsung ke djponline.pajak.go.id

3.Masukkan 15 digit NPWP

4.Gunakan kata sandi akun pajak yang dimiliki

5.Masukkan kode keamanan yang sesuai

6.Klik ikon baris tiga

7.Masuk menu profil dan pilih data profil

8.Masukkan 16 digit NIK sesuai KTP

9.Cek validitas data dengan klik tombol validasi

10.Klik ubah profil

11.Apabila berhasil, silakan keluar dan ulangi proses login menggunakan NIK

Jika data NIK sudah berhasil diinput, pengguna juga dapat memasukkan data diri antara lain nama lengkap, alamat, nomor ponsel yang masih aktif untuk urusan pajak dan lainnya. (bl)

en_US