Dirjen Pajak Sebut Ada 12 Juta Orang Belum Lakukan Pemadanan NIK

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah wajib pajak yang belum memadankan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masih sebanyak 12 juta orang hingga akhir 2023.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan, total data terbaru wajib pajak yang telah memadankan NIK dan NPWP baru sebanyak 59,88 juta orang, atau setara dengan 82,64% dari jumlah wajib pajak yang ada di sistem DJP sebanyak 72,46 juta.

“Sehingga sekarang masih ada yang belum padan betul-betul 12,5 jutaan,” kata Suryo saat konferensi pers APBN 2023 di kantor pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (2/1/2023).

Suryo merincikan, dari total wajib pajak yang telah memadankan NIK dan NPWP itu, 55,92 juta sudah dipadankan melalui sistem DJP, sisanya yang dipadankan sendiri oleh para wajib pajak sebanyak 3,95 juta.

Suryo pun mengimbau kepada masyarakat yang belum memadankan NIK dan NPWP untuk segera melakukannya melalui portal DJP Online, ataupun dapat ke kantor pelayanan pajak secara langsung maupun bisa secara virtual.

“Kami imbau juga ke masyarakat wajib pajak untuk terus yang belum memadankan tolong akses ke portal kami,” tegas Suryo.

Sebagai informasi, rencananya implementasi penuh NIK sebagai NPWP akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2024, namun akhirnya diundur menjadi 1 Juli 2024 karena menyesuaikan implementasi penggunaan sistem Core Tax Administration System (CTAS) DJP.

Jika hingga implementasi pemadanan NIK-NPWP tidak dilakukan, wajib pajak akan menghadapi berbagai konsekuensi, seperti sulit menggunakan layanan perpajakan secara digital hingga potongan pajak penghasilan pasal 21 berpotensi lebih besar, karena wajib pajak yang tidak melakukan pemadaman dianggap belum memiliki NPWP.

Dikutip dari website Kemenkeu Learning Center, bagi penerima penghasilan atau wajib pajak yang tidak punya NPWP, tarif PPh yang dikenakan lebih tinggi 20% dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.

Selain masalah kesulitan akses layanan perpajakan dan tarif PPh yang lebih tinggi, wajib pajak yang belum padankan NIK dengan NPWP juga akan mengalami kendala administrasi, di antaranya layanan perbankan.

Oleh karena itu, banyak perbankan yang meminta nasabahnya untuk melakukan pemadanan NIK dan NPWP. Salah satu, bank besar yakni Bank Central Asia (BCA) mengimbau nasabahnya untuk melakukan pemadanan.

“BCA menghimbau kepada seluruh nasabah untuk segera melakukan proses pemadanan NIK menjadi NPWP secara mandiri melalui situs djponline.pajak.go.id. Setelah melakukan pemadanan NIK menjadi NPWP, segera lakukan pemutakhiran data pendukung NPWP sebagai NIK,” tulis BCA dalam pengumumannya.

Himbauan yang sama dilakukan oleh berbagai bank, termasuk Bank Sinarmas dan OCBC NISP di laman situsnya. (bl)

 

Ditjen Pajak Pastikan Penerbitan PPh 21 Baru Tak akan Bebani Karyawan

IKPI, Jakarta: Tidak lama seteleh Jokowi meneken PPh 21 2023, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keungan, angkat bicara. Melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, disampaikan bahwa PPh 21 tidak akan memberikan beban baru kepada karyawan.

“Tidak ada penambahan beban pajak baru sehubungan dengan tarif efektif,” katanya seperti dikutip dari Antara, Rabu (3/1/2024).

Itu artinya, komponen pajak penghasilan yang dihitung masih sama. Hanya, pemerintah melakukannya dengan aturan TER. Sebagai informasi, tarif efektif bulanan sebagaimana dikategorikan berdasarkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan Wajib Pajak pada awal tahun pajak. Tarif tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni A, B, dan C. Kategori A diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status PTKP tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0), tidak kawin dengan tanggungan 1 orang (TK/1), dan kawin tanpa tanggungan (K/0).

Sementara Kategori B diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diperoleh penerima penghasilan dengan status (PTKP) tidak kawin dengan tanggungan 2 orang (TK/2), tidak kawin jumlah tanggungan 3 orang (TK/3), kawin dengan tanggungan 1 orang (K/1), dan kawin dengan tanggungan 2 orang (K/2).

Selanjutnya, kategori C diterapkan atas penghasilan bruto bulanan dengan status PTKP kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 orang (K/3).

Diketahui, Presiden RI, Joko Widodo, telah secara resmi meneken PPh 21 2024 pada akhir Desember 2023 lalu. Jokowi secara resmi meneken aturan terkait tarif efektif rata-rata (TER) untuk pajak bagi karyawan atau pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 tepatnya pada tanggal 29 Desember 2023 lalu.

Aturan ini sudah mulai berlaku per 1 Januari 2024. Itu artinya wajib pajak sudah dikenakan aturan ini sejak kemarin.

Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58/2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Aturan ini, berlaku untuk wajib pajak termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024,” sebagaimana tertulis dalam Pasal 5 beleid tersebut, dikutip Jumat (29/12/2023).

 

 

 

Jokowi Terbitkan Aturan Baru Tentang Potongan PPh 21, Ini Isinya!

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan aturan pajak baru. Khususnya yang berkaitan dengan pajak penghasilan (PPh) pasal 21.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi yang diundangkan tanggal 27 Desember 2023.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengungkapkan tujuan diterbitkannya PP tersebut untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang. PP tersebut mulai berlaku tanggal 1 Januari 2024.

 

“Kemudahan tersebut tercermin dari kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang. Sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh. Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (3/1/2024)

Dwi juga memastikan tidak ada tambahan beban pajak baru dengan penerapan tarif efektif. Wajib pajak justru akan dimudahkan ke depannya.

“Penerapan tarif efektif bulanan bagi Pegawai Tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain Masa Pajak Terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh seperti ketentuan saat ini. DJP sedang menyiapkan alat bantu yang akan membantu dalam memudahkan penghitungan PPh pasal 21, yang dapat diakses melalui DJPOnline mulai Bulan Januari 2024,” jelasnya.

Secara lebih rinci, PP tersebut akan diturunkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). “Selanjutnya pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini dalam proses penyusunan tahap akhir,” tegas Dwi. (bl)

 

Awal 2024 Pajak Rokok Elektrik Resmi Naik 10 Persen

IKPI, Jakarta: Produk-produk rokok elektrik seperti vape atau pod dikenakan pajak 10 persen mulai awal tahun 2024. Pajak ini menyusul diterbitkannya peraturan pajak rokok yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Pajak rokok elektrik sebesar 10 persen diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok.

“Tarif pajak rokok (baik rokok konvensional ataupun elektrik) ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok,” tulis aturan tersebut, seperti dikutip dari detikFinance, Selasa (2/1/2024).

Mulai awal tahu ini juga besaran tarif cukai rokok elektrik mengalami kenaikan rata-rata 15 persen setiap tahun. Kenaikan yang telah disampaikan Menkeu Sri Mulyani pada 2022 ini akan berlaku hingga 2027 mendatang.

“Hari ini juga diputuskan meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku setiap tahun naik 15 persen, selama lima tahun ke depan,” kata Sri Mulyani kala itu.

Seorang penjual vape di kawasan Bintara, Bekasi Barat, bernama Haris mengaku hingga saat ini produk-produk rokok elektrik yang dijajakannya belum mengalami kenaikan harga.

“Belum, (harga produk rokok elektrik) belum ada yang naik,” kata Haris kepada detikcom, Senin (1/1/2024).

Menurut Haris, kenaikan harga baru terjadi di tingkat produsen dan butuh waktu sampai harga-harga ini mengalami kenaikan di tingkat pedagang. Pasalnya, pengenaan pajak rokok elektrik dan kenaikan cukai baru mulai berlaku 1 Januari 2024.

“Kami kan kalau pedagang lewat rantai distribusi nih, dari produsen ke distributor ke agen baru ke retail, ya efeknya berantai lah. Terakhir kami penjual, tapi kami sudah tahu harga bakal naik,” jelasnya.

Ia pun mengaku khawatir jumlah pembeli akan mengalami penurunan usai pengenaan pajak dan kenaikan cukai. Sebab, produk rokok elektrik seperti vape atau pod tidak bisa dibeli ‘ketengan’ seperti produk rokok konvensional.

“Orang yang istilah kata sudah beralih ke rokok elektrik, nge-vape, bisa balik ke rokok konvensional lah. Karena misalnya dia (pembeli) cuma punya Rp 5 ribu nggak bisa pakai rokok elektrik kan, kalau rokok biasa tinggal beli sebatang (diketeng),” ungkapnya. (bl)

Tarif Potong PPh Pekerja Lajang dan Menikah Berbeda, Ini Penjelasannya!

IKPI, Jakarta: Skema penghitungan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) antara pekerja yang belum menikah dengan yang sudah menikah memiliki perbedaan. Hal ini sesuai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023.

PP tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2023, dan berlaku 1 Januari 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menjelaskan, penerapan aturan ini semata untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang bagi para wajib pajak. Sebab, tarif pemotongannya selain berdasarkan status perkawinan juga berbasiskan tarif efektif.

Dwi menjelaskan, sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh.

“Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” katanya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (2/1/2024).

Tarif efektif yang dulu pernah dikenalkan DJP dengan istilah tarif efektif rata-rata (TER), dibagi menjadi dua dalam PP ini. Pertama ialah tarif efektif bulanan, serta yang kedua ialah tarif efektif harian.

Untuk tarif efektif bulanan berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan. Untuk tarif efektif harian pemotongannya bagi penghasilan yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Penentuan tarif efektif bulanan dalam ketentuan ini telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau Penghasilan Tidak Kena Pajak yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Sedangkan penentuan tarif efektif harian dalam ketentuan ini telah mempertimbangkan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang seharusnya menjadi pengurang penghasilan bruto.

Penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penerapan tarif efektif bulanan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 2l yaitu penghasilan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam satu masa pajak.

Penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu penghasilan pegawai tidak tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.

Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.

Tarif efektif yang digunakan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan ini termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.

Sementara itu, untuk pengkategorian tarif pemotongan PPh Pasal 21 khusus tarif efektif bulanan, rinciannya sebagai berikut:

Kategori PPh Pasal 21:

Kategori A

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. Tidak kawin tanpa tanggungan

2. Tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang

3. atau Kawin tanpa tanggungan

Kategori B

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang;

2. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang;

3. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak I (satu) orang; atau

4. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang.

Kategori C

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang.

Besaran Tarif Efektif per Kategori:

Tarif Efektif Bulanan Kategori A

1. Penghasilan sampai dengan Rp 5,4 juta tarif pajak 0% atau tidak dikenakan pajak

2. Penghasilan di atas Rp 5,4 juta sampai Rp 5,65 juta dikenakan pajak 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 5,65 juta sampai Rp 5,95 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 5,95 juta sampai Rp 6,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 6,3 juta sampai Rp 6,75 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 6,75 juta sampai Rp 7,5 juta dikenakan pajak 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 7,5 juta sampai Rp 8,55 juta dikenakan pajak 1,5%

8. Penghasilan di atas Rp 8,55 juta sampai Rp 9,65 juta dikenakan pajak 1,75%

9. Penghasilan di atas Rp 9,65 juta sampai Rp 10,05 juta dikenakan pajak 2%

10. Penghasilan di atas Rp 10,05 juta sampai Rp 10,35 juta dikenakan pajak 2,25%

Tarik Efektif Bulanan Kategori B

1. Penghasilan sampai Rp 6,2 juta tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,2 juta sampai Rp 6,5 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,5 juta sampai Rp 6,85 juta dikenakan pajak Rp 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 6,85 juta sampai Rp 7,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,3 juta sampai Rp 9,2 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 9,2 juta sampai Rp 10,75 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Bulanan Kategori C

1. Penghasilan sampai dengan Rp 6,6 juta tidak dikenakan pajak atau 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,6 juta sampai Rp 6,95 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,95 juta sampai Rp 7,35 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 7,35 juta sampai Rp 7,8 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,8 juta sampai Rp 8,85 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 8,85 juta sampai Rp 9,8 juta dikenakan 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 9,8 juta sampai Rp 10,95 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Harian

1. Penghasilan dengan Rp 450 ribu per hari tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 450 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta sehari dikenakan pajak 0,5%

Berikut ini contoh penerapannya sebagaimana tercantum dalam PP 58/2023:

Tuan R bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT ABC. Selama 2024, gaji Tuan R sebesar Rp10.000.000,O0 (sepuluh juta rupiah) per bulan dan membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000,O0 (seratus ribu rupiah) per bulan. Tuan R berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan (Penghasilan Tidak Kena Pajak K/0), atau dengan artian masuk kategori A. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Berdasarkan status PTKP (K/O) dan jumlah penghasilan bruto sebulan Rp 10.000.000,0O (sepuluh juta rupiah), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan R untuk masa pajak Januari 2024 sampai November 2024 dilakukan dengan menggunakan tarif efektif Kategori A yaitu dengan tarif sebesar 2% (dua persen).

Besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 per bulan yang dipotong oleh PI ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Januari sampai November 2024 adalah sebesar Rp10.000.000,00 x 2% = Rp200.000,00.

Lalu, pada bulan Desember 2024, penghitungan besarnya pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Turan R dalam satu tahun pajak (Januari-Desember 2024) dilakukan dengan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dengan demikian Besaran PPh pasal 21 yang dipotong PT ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Desember 2024 sebagai berikut:

Gaji Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 120 juta setahun

Pengurangan terdiri dari biaya jabatan 5% x Rp 120 juta = Rp 6 juta, dan iuran pensiun Rp 100 ribu x 12 = Rp 1,2 juta, sehingga total pengurangnya Rp 7,2 juta.

Dengan demikian, total penghasilan neto setahunnya adalah sebesar Rp 112,8 juta. Lalu dikurangi dengan PTKP setahun Rp 58,5 juta, sehingga penghasilan kena pajak setahunnya menjadi Rp 54,3 juta.

Penghitungan pajak penghasilan pasal 21 setahunnya selanjutnya menggunakan rumus tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh x penghasilan kena pajak setahun. Jadi, 5% x Rp 54,3 juta = Rp 2.715,000

Sehingga total potongan pajak penghasilan pasal 21 khusus bulan Desember 2024 menjadi menggunakan rumus PPh Pasal 21 setahun – jumlah PPh Pasal 21 bulan Januari 2024 sampai dengan November 2024 yang telah dipotong. Jadi Rp 2.715.000 – (Rp 200.000 x 11) = Rp 515.000.

Tarif Pemotongan PPh Baru Berlaku, Ini Penghitungannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Resmi mengubah skema perhitungan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan atau gaji yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib pajak orang pribadi.

Aturan ini ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023. Aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu ia tetapkan pada 27 Desember 2023 dan berlaku mulai 1 Januari 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan, pengubahan skema itu dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak. Ia memastikan tak ada beban pajak baru dalam skema ini.

“Kemudahan tersebut tercermin dari kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (2/1/2024).

Dwi menjelaskan, sebelumnya untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh.

Sementara itu, dengan aturan baru dalam PP ini, penghitungan pajak terutang hanya dengan mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif. Tarif efektif ini sebelumnya telah diperkenalkan DJP dengan istilah tarif efektif rata-rata atau TER.

“Dengan PP ini, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif,” tutur Dwi.

Dalam skema tarif efektif itu, pemerintah bagi ke dalam dua kategori, pertama ialah tarif pemotongan PPh pasal 21 berdasarkan tarif efektif bulanan, dan kedua ialah tarif efektif harian. Tarif efektif bulanan dikategorikan berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan pada awal tahun pajak.

Dwi mengatakan, penerapan tarif efektif bulanan bagi Pegawai Tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain Masa Pajak Terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh seperti ketentuan saat ini.

“Tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif,” ucap Dwi Astuti.

Untuk mempermudah perhitungan PPh pasal 21 dengan tarif efektif itu, Ditjen Pajak juga tengah menyiapkan alat bantu. Alat perhitungan tarif pemotongan PPh pasal 21 orang pribadi itu nantinya dapat diakses melalui DJPOnline mulai bulan ini.

“Selanjutnya pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini dalam proses penyusunan tahap akhir,” tegas Dwi.

Untuk besaran tarif lebih jelas, berikut ini rincian dari ketetapan kategori penghasilan bulanan dan patokan besaran tarifnya:

Kategori PPh Pasal 21:

Kategori A

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. Tidak kawin tanpa tanggungan

2. Tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang

3. atau Kawin tanpa tanggungan

Kategori B

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang;

2. tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang;

3. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak I (satu) orang; atau

4. kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang.

Kategori C

Diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang.

Besaran Tarif Efektif per Kategori:

Tarif Efektif Bulanan Kategori A

1. Penghasilan sampai dengan Rp 5,4 juta tarif pajak 0% atau tidak dikenakan pajak

2. Penghasilan di atas Rp 5,4 juta sampai Rp 5,65 juta dikenakan pajak 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 5,65 juta sampai Rp 5,95 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 5,95 juta sampai Rp 6,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 6,3 juta sampai Rp 6,75 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 6,75 juta sampai Rp 7,5 juta dikenakan pajak 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 7,5 juta sampai Rp 8,55 juta dikenakan pajak 1,5%

8. Penghasilan di atas Rp 8,55 juta sampai Rp 9,65 juta dikenakan pajak 1,75%

9. Penghasilan di atas Rp 9,65 juta sampai Rp 10,05 juta dikenakan pajak 2%

10. Penghasilan di atas Rp 10,05 juta sampai Rp 10,35 juta dikenakan pajak 2,25%

Tarik Efektif Bulanan Kategori B

1. Penghasilan sampai Rp 6,2 juta tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,2 juta sampai Rp 6,5 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,5 juta sampai Rp 6,85 juta dikenakan pajak Rp 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 6,85 juta sampai Rp 7,3 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,3 juta sampai Rp 9,2 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 9,2 juta sampai Rp 10,75 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Bulanan Kategori C

1. Penghasilan sampai dengan Rp 6,6 juta tidak dikenakan pajak atau 0%

2. Penghasilan di atas Rp 6,6 juta sampai Rp 6,95 juta dikenakan 0,25%

3. Penghasilan di atas Rp 6,95 juta sampai Rp 7,35 juta dikenakan pajak 0,5%

4. Penghasilan di atas Rp 7,35 juta sampai Rp 7,8 juta dikenakan pajak 0,75%

5. Penghasilan di atas Rp 7,8 juta sampai Rp 8,85 juta dikenakan pajak 1%

6. Penghasilan di atas Rp 8,85 juta sampai Rp 9,8 juta dikenakan 1,25%

7. Penghasilan di atas Rp 9,8 juta sampai Rp 10,95 juta dikenakan 1,5%

Tarif Efektif Harian

1. Penghasilan dengan Rp 450 ribu per hari tidak dikenakan pajak alias 0%

2. Penghasilan di atas Rp 450 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta sehari dikenakan pajak 0,5%. (bl)

Singapura Naikkan Pajak Barang dan Jasa

IKPI, Jakarta: Masyarakat Singapura bakal menghadapi kenaikan pajak penjualan pada 2024. Pemerintah Singapura berusaha mengumpulkan pendapatan negara di tengah lonjakan belanja rumah tangga masyarakat.

Pajak barang dan jasa, termasuk untuk makanan dan berlian, bakal naik 1% menjadi 9% pada Senin, 1 Januari 2024. Diketahui Singapura telah menaikkan pajak dari sebelumnya 7% menjadi 8%.

Dikutip dari Reuters, Jumat (29/12/2023), terakhir kali Singapura menaikkan pajak tersebut 15 tahun lalu. Kenaikan pajak terjadi di tengah meningkatnya biaya hidup sehingga mendorong parlemen oposisi untuk menyuarakan penundaan.

Inflasi inti di Singapura melambat jadi 3,2% pada November, turun dibanding puncaknya pada Januari dan Februari 5,5%. Bank Sentral memperkirakan rata-rata inflasi Singapura 2024 berkisar antara 2,5-3,5%.

Sementara itu pemerintah Singapura menyebut perlu menaikkan pajak demi meningkatkan pendapatan negara. Apalagi Negeri Singa ini bersiap menghadapi lonjakan populasi lanjut usia dan potensi meningkatnya biaya kesehatan. Diperkirakan seperempat populasi dunia berusia 65 tahun ke atas pada 2030.

Pada Agustus lalu, Wakil Perdana Menteri Lawrence Wong mengatakan, penundaan kenaikan pajak barang dan jasa hanya akan menambah masalah di masa depan.

“Menunda kenaikan GST (Goods and Services Tax) hanya akan menambah banyak masalah di masa depan, membuat kita memiliki sedikit sumber daya untuk memenuhi kebutuhan fiskal yang semakin meningkat,” katanya.

Adapun pemerintah telah memberikan keringanan fiskal kepada rumah tangga dalam bentuk paket jaminan senilai lebih dari S$ 10 miliar (US$ 7,55 miliar), termasuk S$ 200 hingga S$ 800 yang disalurkan ke masyarakat bulan ini. (bl)

 

Ini Kata DJP Terkait Kasus Pajak Indra Charismiadji

IKPI, Jakarta; Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara soal kasus dugaan penggelapan pajak dan tindak pidana pencucian uang yang menimpa juru bicara (jubir) Tim Nasional Pemenangan (Timnas) Anies-Muhaimin, Indra Charismiadji (IC).

“Menanggapi pemberitaan yang beredar terkait penahanan Wajib Pajak (WP) ANBC alias IC dan IA selaku penanggung jawab PT LMIR (PT Luki Mandiri Indonesia Raya), dapat disampaikan bahwa hal ini bukan merupakan kasus yang baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, seperti dikutip dari Antaranews.com, Jumat (29/12/2023).

Berdasarkan data yang terdapat pada sistem administrasi DJP, PT LMIR tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan pada 2019.

DJP telah melakukan tahapan pengawasan berupa imbauan kepada WP dengan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) pada tanggal 25 Agustus 2021.

Namun, WP tidak menanggapi SP2DK tersebut, sehingga proses dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan bukti permulaan dimulai tanggal 23 Mei 2022.

Selama proses pemeriksaan bukti permulaan oleh Kanwil DJP Jakarta Timur, WP tidak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disertai pelunasan kekurangan jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (3) KUP.

Selain itu, juga ditemukan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU), sehingga pemeriksaan bukti permulaan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

DJP telah menyampaikan hak Wajib Pajak untuk memanfaatkan ketentuan Pasal 44B KUP yang mengatur bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk kepentingan penerimaan negara sepanjang Wajib Pajak melunasi utang pajak ditambah sanksi administrasi berupa denda, namun hal ini tetap tidak dimanfaatkan.

Proses selanjutnya adalah penyerahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 27 Desember 2023. Penanganan proses hukum selanjutnya menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU).

“DJP menghormati proses hukum yang berlaku serta berkomitmen untuk mendukung proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Dwi.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur menahan politikus Partai NasDem yang juga juru bicara Timnas Anies-Muhaimin (AMIN) Nurindra B Charismiadji karena dugaan penggelapan pajak.

Penangkapan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penahanan Tingkat Penuntutan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Nomor: PRINT-25 /M.1.13/Ft.2/12/2023 tanggal 27 Desember 2023.

Pelaksana Harian Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Timur Mahfuddin Cakra Saputra mengatakan Kejari Jakarta Timur bersama dengan Tim Jaksa Penuntut Umum Kejati DKI Jakarta menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) dari penyidik Kanwil DJP Jakarta Timur terkait dengan penyidikan perkara perpajakan dan TPPU tersangka Nurindra B Charismiadji dan Ike Andriani. (bl)

MTI Dorong Penerimaan Pajak Kendaraan Digunakan untuk Pembiayaan Transportasi Umum

IKPI, Jakarta: Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mendorong pemanfaatan 10 persen pendapatan pemerintah daerah dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) digunakan untuk pembiayaan sektor transportasi umum.

Ketua Umum MTI Tory Damantoro menerangkan, hal tersebut telah diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“MTI mendorong agar Kementerian Dalam Negeri itu membantu Kementerian Perhubungan untuk mengunci agar 10 persen itu bisa digunakan untuk pembiayaan angkutan umum,” kata Tory seperti dikutip dari Republika.co.id, Rabu (27/12/2023).

Blue Bird Dukung Penyediaan Transportasi Ramah Lingkungan di IKN

Menurut Tory, PP ini akan membuka ruang fiskal bagi pemerintah daerah untuk memperkuat komitmen pembiayaan pembangunan dan subsidi layanan angkutan umum perkotaan. “Sebagai gambaran, tahun lalu PKB itu sekitar Rp 180 triliun kalau 10 persennya untuk angkutan umum berarti ada Rp 18 triliun,” ujar Tory.

Lebih lanjut, dia menjelaskan beberapa daerah telah mengembangkan kebijakan pengalokasian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk pembiayaan sektor angkutan umum.

Salah satunya dilakukan oleh Pemerintah Kota dan DPRD Pekanbaru, dengan bantuan MTI Wilayah Riau, berhasil menyusun Peraturan Daerah (Perda) Angkutan Umum yang mengalokasikan anggaran APBD tahunan sebesar 5 persen untuk pembiayaan angkutan umum.

“Ini adalah kebijakan-kebijakan kreatif dan inovatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk terkait dengan pendanaan,” ujarnya.

Tory menilai pembangunan angkutan umum perkotaan penting dilakukan untuk mengatasi kebutuhan transportasi dari total 160 juta penduduk perkotaan sebagai dampak urbanisasi yang terus tumbuh pesat di Indonesia.

 

Sementara itu, Kementerian Perhubungan telah merencanakan peralihan pengelolaan program Buy The Service kepada Pemerintah Daerah di 11 kota untuk melanjutkan pengoperasian, pengelolaan, dan pendanaan program yang total anggarannya mencapai Rp 500 miliar per tahun.

Tahun 2023 ini juga Kementerian Perhubungan memulai program Indonesia Mass Transit Program (Mastran) yang akan membangun 2.000 kilometer rute angkutan bus di 5 kawasan perkotaan metropolitan untuk melayani 34 juta penduduk di Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

“MTI mengingatkan agar program ini, seperti halnya program yang lain-lainnya, harus dilengkapi dengan monitoring, evaluasi, dan sistem data yang baik sehingga Kementerian Perhubungan bisa melakukan pemantauan secara terus-menerus serta melihat perkembangan dan perbaikan kinerjanya,” kata Tory. (bl)

China Potong dan Tangguhkan Biaya Pajak UMKM

IKPI, Jakarta: Pengembalian pajak yang baru diterapkan, pemotongan dan penangguhan pajak serta biaya di China melampaui 1,81 triliun yuan (1 yuan = Rp2.168) atau sekitar 255 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.489) dalam 11 bulan pertama pada 2023, menurut data resmi, seperti dikutip dari Antaranews.com, Rabu (27/12/2023).

Administrasi Perpajakan Negara China menyebutkan lebih banyak dukungan diberikan kepada usaha kecil pada periode tersebut, dengan 61,8 persen dukungan pajak dan biaya yang diberikan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Sekitar 73,8 persen dari berbagai dukungan tersebut diberikan kepada pelaku usaha swasta, kata Administrasi Perpajakan Negara China.

Di antara semua sektor disebutkan industri manufaktur, industri grosir dan retail terkait tercatat menjadi yang paling diuntungkan dengan menerima 41,9 persen dari semua dukungan tersebut, menurut keterangan administrasi tersebut. (bl)

 

en_US