Anjloknya Harga Komoditas Tambang Buat Penerimaan Pajak Seret

IKPI, Jakarta: Penerimaan negara makin jeblok, hingga akhir kuartal I-2024 bahkan minus 4% pertumbuhannya dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan nilai dari Rp 646,7 triliun menjadi Rp 620 triliun.

Dipicu oleh penerimaan pajak yang turun 8,8% menjadi hanya Rp 393,9 triliun dari kuartal I-2023 sebesar Rp 431,9 triliun, dan penerimaan bea dan cukai turun 4,5% dari Rp 72,3 triliun menjadi Rp 69 triliun. Penerimaan negara bukan pajak atau PNBP jadi satu-satunya yang naik 10% dari Rp 142,5 triliun menjadi Rp 156,7 triliun.

Rendahnya penerimaan negara beberapa tahun terakhir membuat Presiden terpilih Prabowo Subianto ingin merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dalam pemerintahannya periode 2024-2029. Namun, apakah badan itu bisa meningkatkan penerimaan negara secara drastis?

Sejumlah ekonom menganggap, kehadiran badan itu tidak akan membuat penerimaan tiba-tiba membaik dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23% sesuai target Prabowo, dari yang saat ini hanya sebesar kisaran 10%.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusud Rendy Manilet mengatakan, ini karena permasalahan ekonomi Indonesia yang mampu menggeliatkan penerimaan negara bukan hanya disebabkan masih buruknya urusan administrasi pajak dan cukai, melainkan karena fundamental ekonomi Indonesia yang banyak ditopang harga komoditas.

“Kalau kita lihat penerimaan pajak terutama dalam dua tahun terakhir itu banyak diuntungkan dari faktor naiknya harga komoditas,” kata Yusuf seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (30/4/2024).

Kenaikan harga komoditas ini akhirnya berdampak terhadap setoran pajak atau bea cukai yang bisa dipungut oleh otoritas terkait. Sayangnya dalam satu tahun terakhir, ia mengatakan pergerakan harga komoditas mulai kembali kepada periode normalisasi, artinya harga komoditas tidak setinggi kondisi 2022. Ketika itu harga komunitas terdampak perubahan konflik geopolitik, seperti perang Ukraina dan Rusia.

Maka, Yusuf mengatakan, tak heran saat ini setoran penerimaan negara menjadi memble dibanding tahun sebelumnya, bahkan jauh lebih rendah dibanding kondisi 2022 dan 2021. Ia pun menekankan, yang dibutuhkan pemerintah saat ini ialah fokus memperbaiki struktur ekonomi tanah air, dari yang didominasi produksi sektor komoditas menjadi produksi sektor industri pengolahan.

“Menurut saya peningkatan penerimaan pajak itu tidak hanya dipengaruhi oleh perbaikan administrasi saja tetapi yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana pemerintah melakukan perubahan dari kondisi atau struktur perekonomian di Indonesia saat ini,” ucapnya.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, setoran pajak industri pengolahan penurunannya pada akhir kuartal I-2024 hanya sebesar 13,6% sedangkan pertambangan jatuh lebih dalam dengan minus 58,2% karena anjloknya kinerja sektor pertambangan batu bara dan bijih logam masing-masing minus 60,1% dan 17,8%.

RI Butuh Badan Penerimaan Negara?

Ekonom yang juga merupakan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, dengan data-data itu disimpulkan bahwa yang dibutuhan pemerintah saat ini ialah bukan dengan membuat badan baru yang memisahkan Ditjen Pajak dan Bea Cuka dari Kementerian Keuangan, melainkan mencari sumber penerimaan negara bukan pajak.

“Oleh karena itu pemerintah harus kreatif tidak hanya generate income dari pajak tapi dari bukan pajak,” ucap Esther.

Ia mengatakan sekalipun BPN nantinya dibentuk juga hanya akan membuat otoritasnya makin menguat di tengah gempuran keluhan masyarakat terhadap kedua instansi di dalamnya yang saat ini masih di dalam Kementerian Keuangan seperti Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai.

Menurutnya, terlihat bahwa kekuatan otoritasnya saat ini terbukti belum mampu memperkuat penerimaan negara secara optimal sebagaimana data penerimaan yang anjlok pada kuartal I-2024. “Jadi menurut saya BPN seharusnya tidak perlu ada,” tegasnya.

“Dan kalau kita bicara APBN maka ada sisi penerimaan sepertipajak dan bukan pajak serta sisi belanja negara. Seharusnya instansi yang mengurusi penerimaan dan belanja adalah satu instansi bukan terpisah,” ungkap Esther. (bl)

Dirjen Pajak Imbau Perusahaan Segera Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengimbau perusahaan untuk segera melaporkan surat pemberitahuan atau SPT tahunan, yang batas waktunya ditetapkan pada 30 April 2024.

“Kami mengimbau jangan sampai terlambat untuk menyampaikan SPT, khususnya PPh Badan yang jatuh temponya pada 30 April 2024 ini,” ujar Suryo dikutip dari Bisnis.com, Senin (29/4/2024).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat, sebanyak 13,68 juta wajib pajak telah melaporkan SPT hingga Kamis malam (25/4/2024), baik wajib pajak orang pribadi (OP) dan wajib pajak badan.

Suryo menjelaskan, jumlah penyampaian SPT Tahunan tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 6,4% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, sebanyak 12,85 juta SPT.

Dia merincikan, pertumbuhan terutama bersumber dari penyampaian SPT OP, yang mencapai 13,07 juta SPT, meningkat dari tahun lalu sebanyak 12,23 juta SPT.

Sementara itu, penyampaian SPT badan tercatat sebanyak 612.351 SPT, lebih rendah atau turun 1,2% dibandingkan dengan jumlah pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 619.838 SPT.

“Untuk wajib pajak badan, memang sampai semalam [25/4] masih mengalami pertumbuhan negatif di 1,2%, jadi masih ada kesempatan sampai 30 April ini untuk dapat menyampaikan [SPT],” kata Suryo.

Pada kesempatan sebelumnya, DJP Kemenkeu menyampaikan masih rendahnya kepatuhan pajak wajib pajak badan dikarenakan masa lapor yang belum rampung.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyampaikan tidak sedikit badan usaha yang mengajukan penundaan karena adanya perbedaan buku kas masing-masing.

“Perusahaan asing banyak tahun buku beda seperti Juli—Agustus jadi mereka belum selesai saat April, mereka baru akan melaporkan sesuai dengan tahun bukunya dan kami tenggat waktu 3 bulan. Terutama perusahaan besar, asing, yang cabangnya banyak,” kata dia.

Selain perbedaan tahun buku, Dwi menyebutkan sejumlah badan juga meminta penundaan karena laporan keuangannya belum selesai dan masih harus konsolidasi.

Untuk mengejar para badan usaha tersebut, kata dia, DJP terus mengingatkan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar wajib pajak badan menyampaikan SPT secara tepat waktu. (bl)

Ini Kata Sri Mulyani Terkait Viralnya Pajak Sepatu Impor

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait sepatu olahraga impor seharga Rp 10 juta yang dikenakan bea masuk Rp 31 juta. Persoalan itu disebut telah selesai dan barang sudah diterima pemiliknya.

Sri Mulyani mengatakan pada kasus itu ditemukan indikasi bahwa harga yang diberitahukan perusahaan jasa titipan (PJT) dalam hal ini DHL lebih rendah dari yang sebenarnya (under invoicing). Oleh karena itu, pihak Bea Cukai mengoreksi untuk keperluan penghitungan bea masuk dan pajaknya.

“Saudara Radhika Althaf mengeluhkan mengenai pengenaan bea masuk dan pajak. Sesudah diteliti, ternyata ditemukan bahwa persoalannya adalah pada nilai sepatu tersebut yang diberitahukan oleh perusahaan jasa titipan DHL, di mana nilai yang dilaporkan oleh DHL lebih rendah dari harga sebenarnya,” kata Sri Mulyani dalam penjelasannya yang diunggah di Instagram resminya, seperti dikutip dari Detik Finance, Minggu (28/4/2024).

Atas kesalahan tersebut, mengakibatkan pembayaran denda hingga membuat harga sepatu impor Rp 10 juta dikenakan bea masuk Rp 31 juta. Sri Mulyani menyebut denda itu dikenakan kepada DHL.

“Pembayaran denda itu dilakukan oleh perusahaan DHL, jadi bukan oleh saudara Radhika Althaf. Saat ini masalah ini sudah selesai. Sepatu tersebut telah diterima oleh penerima barang dan kewajiban kepabeanan telah diselesaikan,” ucap Sri Mulyani.

Atas kasus tersebut, Sri Mulyani meminta kepada Bea Cukai untuk terus meningkatkan perbaikan layanan dan proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan dari berbagai K/L yang harus dilaksanakan sesuai mandat undang-undang (UU).

“Saya minta kepada Bea Cukai untuk terus bekerjasama dengan para stakeholder karena saya sangat yakin bahwa di era digital ini banyak sekali masyarakat tentu akan memberikan masukan feedback dan itu sangat bermanfaat. Kami sangat menghargai dan berterima kasih atas berbagai masukan yang diberikan oleh masyarakat untuk memperbaiki Bea dan Cukai,” tutur Sri Mulyani.

Kronologi Kejadian

Sebelumnya, viral video seorang pria bernama Radhika Althaf protes dikenakan bea masuk Rp 31 juta untuk pembelian sepatu. Padahal sepatu olahraga impor yang dibelinya seharga Rp 10 jutaan.

“Halo bea cukai gue mau nanya sama kalian, kalian itu menetapkan bea masuk itu dasarnya apa ya? Gue kan baru beli sepatu harganya Rp 10,3 juta, shipping Rp 1,2 juta, total Rp 11,5 juta. Dan kalian tahu bea masuknya berapa? Rp 31.800.000. Itu perhitungan dari mana?,” tanya pria dalam video tersebut.

Melalui unggahan di akun X atau Twitter resminya, Bea Cukai menyebut jika bea masuk tersebut besar karena nilai CIF atas impor yang disampaikan oleh jasa kirim, dalam hal ini HDL tidak sesuai sehingga dikenakan denda.

CIF yang awalnya dilaporkan hanya US$ 35,37 atau Rp 562.736, setelah dilakukan pemeriksaan atas barang tersebut ternyata US$ 553,61 atau Rp 8.807.935.

Atas ketidaksesuaian tersebut, maka importir dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 Pasal 28 bagian kelima, Pasal 28 ayat 3.

Melalui PMK itu, ditetapkan denda melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

Dalam Pasal 6 PP 39/2019 tersebut, sanksi denda yang dikenakan mulai dari 100% hingga 1.000% dari total kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar yang terkena denda.

Rincian bea masuk dan pajak impor atas produk sepatu tersebut adalah bea masuk 30% Rp 2.643.000, PPN 11% Rp 1.259.544, dan PPh impor 20% Rp 2.290.000, dan Sanksi Administrasi Rp 24.736.000. Sehingga total tagihannya adalah Rp 30.928.544.

Nitizen Kembali Sorot Besarnya Gaji Pegawai Bea Cukai dan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai lagi-lagi ramai menjadi sorotan. Banyak netizen mengkritisi dua departemen di Bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini, salah satunya mengenai gaji para pegawai yang dinilai besar.

Seperti dikutip dari Detik.com pada Senin (29/4/2024). Awalnya Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengeluarkan cuitan mengenai kegiatannya mendampingi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Kantor Bea Cukai Soekarno Hatta, guna melakukan rapat koordinasi dengan pimpinan Dirjen Bea Cukai dan lainnya sekaligus melakukan pemantauan lapangan .

“Terima kasih untuk semua masukan, saran, komplain, dan banyak hal yang disampaikan. Semua itu menjadi masukan berharga dan bahan baku perbaikan menyeluruh,” tulis Yustinus, pada Minggu (28/4/2024).

“Penjelasan lengkap akan segera disampaikan Menteri Keuangan dan secara teknis akan ditindaklanjuti oleh DJBC secara kontinu,” tambahnya.

Seraya Prastowo juga menanyakan masukan kongkret kepada netizen untuk Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.

Ternyata cuitan itu memantik Netizen, di mana ada 406.500 yang melihat, 499 komentar dan 457 retweet yang dilakukan Netizen hingga pukul 11.01 WIB.

Twit yang dilontarkan Netizen pun beragam mulai dari kritik mengenai kinerja dan isu terkini perihal penyitaan dan denda pajak. Hingga mengenai gaji dari para pegawai dan pejabat pajak – bea cukai yang besar.

“Ada (masukan). THPnya pangkas aja semua. Enak aje udah gaji dan tunjangan gede, nindes pajak cukai dkk pake aturan tidak adil, korupsi belakang, yang disuruh mikir solusi tetap rakjel,” kata @rizkidwika.

“Kelebihan bayar pajak, bukannya dikembaliin malah di audit Salah penginputan ekspedisi yang kena denda buyer, mana barangnya dibongkar sembarangan. Ini kementrian apa sih ayeng bikin rusuh,” kata @profesor_saham.

“gaji gede…kesejahteraan di tingkatkan ternyata..tidak menjamin kinerja jadi bagus…waaasyuuu…tenan ,” kata @pramonoband.

“Ya kepala bea cukai selindo dibuktikan hartanya dlu dr mana baru bisa bersih. Ini intstitusi terkontaminasi koruptor udah ada contohnya kepalanya di makassar n yogya kok kaya adem ayem aja penyelesaiannya. Menteri nya tetap dicitrakan baik,” kata @viqhani.

Berikut rincian tukin PNS DJP berdasarkan Perpres 37/2015:

Eselon I:

Peringkat jabatan 27 Rp 117.375.000

Peringkat jabatan 26 Rp 99.720.000

Peringkat jabatan 25 Rp 95.602.000

Peringkat jabatan 24 Rp 84.604.000

Eselon II:

Peringkat jabatan 23 Rp 81.940.000

Peringkat jabatan 22 Rp 72.522.000

Peringkat jabatan 21 Rp 64.192.000

Peringkat jabatan 20 Rp 56.780.000

Eselon III ke bawah:

Peringkat jabatan 19 Rp 46.478.000

Peringkat jabatan 18 Rp 42.058.000 – 28.914.875

Peringkat jabatan 17 Rp 37.219.875 – 27.914.000

Peringkat jabatan 16 Rp 25.162.550 – 21.567.900

Peringkat jabatan 15 Rp 25.411.600 – 19.058.000

Peringkat jabatan 14 Rp 22.935.762 – 21.586.600

Peringkat jabatan 13 Rp 17.268.600 – 15.110.025

Peringkat jabatan 12 Rp 15.417.937 – 11.306.487

Peringkat jabatan 11 Rp 14.684.812 – 10.768.862

Peringkat jabatan 10 Rp 13.986.750 – 10.256.950

Peringkat jabatan 9 Rp 13.320.562 – 9.768.412

Peringkat jabatan 8 Rp 12.686.250 – 8.457.500

Peringkat jabatan 7 Rp 12.316.500 – 8.211.000

Peringkat jabatan 6 Rp 7.673.375

Peringkat jabatan 5 Rp 7.171.875

Peringkat jabatan 4 Rp 5.361.800

IKPI Sleman-UII Kolaborasi Beri Bimtek Pengisian SPT UMKM

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sleman bersama  Universitas Islam Indonesia (FBE UII) Prodi Akuntansi Perpajakan Sarjana Terapan Fakultas Bisnis dan Ekonomika berkolaborasi dalam memberikan bimbingan teknis (Bimtek) pengisian SPT PPh Badan UMKM 2023 di Atrium Rama Sleman City Hall, Rabu (24/4/2024).

Ketua IKPI Cabang Sleman Hersona Bangun mengatakan, keterlibatan para mahasiswa FBE UII dalam kegiatan tersebut memang merupakan dorongan dari pihak kampus.

(Foto: Dok IKPI Cabang Sleman)

“Ini untuk meningkatkan kemampuan komprehensif mahasiswa sesuai dengan keilmuan yang mereka dapat di kampus,” kata Hersona melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (27/4/2024).

Lebih lanjut Hersona mengungkapkan. Kolaborasi dengan mahasiswa ini juga merupakan bagian dari implementasi kerja sama yang telah ditandatangani antara IKPI dan FEB UII beberapa waktu lalu.

(Foto: Dok IKPI Cabang Sleman)

Menurut Hersona, ada sekitar 22 wajib pajak yang berasal dari pelaku UMKM dan orang pribadi yang mengikuti kegiatan ini dan 70 mahasiswa akuntansi sarjana terapan. Antusiasme peserta membuat anggota IKPI yang saat itu menjadi pembimbing pengisian SPT pun ikut bersemangat.

“Kita bimbing mereka untuk membuat laporan SPT yang benar dan pembukuan yang baik,” kata Hersona.

(Foto: Dok IKPI Cabang Sleman)

Hersona berharap, melalui kegiatan ini mampu meningkatkan pemahaman wajib pajak mengenai regulasi dan praktik perpajakannya sehingga mereka dapat menyampaikan SPT dengan benar, lengkap, dan jelas.

Ditanya adakah perbedaan bimtek tahun ini dengan sebelumnya, Hersona mengatakan bahwa kali ini kegiatan bimtek dilaksanakan di salah satu kantor pengurus IKPI dan saat ini IKPI Sleman sudah mampu melaksanakan kegiatan di tempat publik (mall) sehingga mampu menjangkau lebih banyak peserta dan mengenalkan IKPI ke khalayak umum

Dia meyakini bahwa kegiatan ini mampu mengubah perilaku wajib pajak. “Ada salah satu peserta kami yang baru saja membuat NPWP dan belum memahami kewajiban perpajakannya. Berkat kegiatan ini mereka bisa cukup mengerti akan kewajiban perpajakannya dan apa yang harus disiapkan guna penyusunan SPT Tahunan Badan,” katanya.

(bl)

 

 

 

DJP dan ATO Kolaborasi Pertukaran Informasi Cryptocurrency

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dan Kantor Pajak Australia (ATO) menandatangani Nota Kesepahaman untuk pengaturan pertukaran informasi cryptocurrency pada 22 April 2024 di Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

Pengaturan ini dirancang untuk meningkatkan deteksi aset yang mungkin memiliki kewajiban pajak di salah satu negara. Artinya, otoritas pajak dapat berbagi data dan informasi terkait aset kripto dengan lebih baik, serta bertukar pengetahuan untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan.

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama mengatakan MoU ini mencerminkan perlunya otoritas pajak untuk inovatif dan kolaboratif untuk mengimbangi perubahan global yang cepat dalam teknologi keuangan.

“Meskipun aset kripto relatif baru, kebutuhan untuk memastikan perpajakan yang adil tetap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan pendapatan bagi investasi publik yang penting di berbagai bidang seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan,” kata Mekar, seperti dikutip dari Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).

Asisten Komisaris ATO, Belinda Darling menegaskan pengaturan tersebut didasarkan pada hubungan yang kuat antara DJP dan ATO.

“Kemitraan antara DJP dan ATO sudah berjalan hampir dua dekade dan kini fokus pada penguatan sistem perpajakan di kedua negara dan meningkatkan kolaborasi kita dalam menghadapi tantangan global yang kompleks,” ujar Belinda.

ATO dan DJP telah berkolaborasi dalam berbagai prioritas DJP, termasuk modernisasi dan digitalisasi layanan wajib pajak melalui pembentukan asisten pajak virtual, dan penerapan pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa digital. ATO dan DJP terus bermitra dengan DJP terkait perpajakan internasional dan reformasi yang lebih luas.

Perjanjian terbaru ini menggarisbawahi komitmen bersama antara Indonesia dan Australia untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi lanskap keuangan yang terus berkembang, memastikan kerangka perpajakan yang adil dan berkelanjutan di era digital. (bl)

Penerimaan Pajak Hingga Akhir Maret 2024 Capai Rp 393 Triliun

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi penerimaan pajak per 31 Maret 2024 mencapai Rp393,91 triliun atau setara dengan 19,81 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

“Penerimaan pajak kita sampai akhir Maret mencapai Rp393,91 triliun. Ini artinya hampir 20 persen dalam satu kuartal,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari AntaraNews, Jumat (26/4/2024).

Menkeu menjelaskan penerimaan pajak mengalami perlambatan akibat penurunan signifikan harga komoditas pada tahun 2023, yang akibatnya baru dirasakan pada tahun ini.

Kendati begitu, penerimaan pajak bruto di luar restitusi tumbuh positif, yaitu sebesar 0,64 persen.

Hal itu utamanya terlihat pada perlambatan bruto pajak penghasilan (PPh) non migas dan penurunan PPh migas. Sementara kinerja bruto Pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) tumbuh positif sejalan dengan membaik aktivitas ekonomi.

Secara rinci, penerimaan PPh non migas tercatat sebesar Rp220,42 triliun atau setara dengan 20,73 persen dari target. Penerimaan ini tumbuh 0,10 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

PPN dan PPnBM terdata senilai Rp155,79 triliun atau 19,20 persen dari target, dengan pertumbuhan sebesar 2,57 persen yoy.

Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp3,17 triliun atau 8,39 persen dari target. Kinerja ini mengalami pertumbuhan sebesar 11,05 persen yoy.

Sementara realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat Rp14,53 triliun atau setara dengan 19,02 persen dari target. Berbeda dengan kinerja pajak lain yang tumbuh, kinerja PPh migas mengalami kontraksi sebesar 18,06 persen yoy.

Diketahui, Kementerian Keuangan telah mengumpulkan penerimaan negara sebesar Rp620,01 triliun atau setara dengan 22,1 persen dari target sebesar Rp2.802,3 triliun. Kinerja tersebut terkontraksi sebesar 4,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. (bl)

Ditjen Pajak Segera Pisah dari Kemenkeu

IKPI, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah merampungkan rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.

Dalam rencana kerja itu, Bappenas juga telah mencantumkan target rasio perpajakan atau tax ratio yang ditarik oleh Badan Otorita Penerimaan Negara yang menjadi program kerja Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Dikutip dari dokumen RKP 2025, Bappenas menyebut optimalisasi pendapatan negara diarahkan pada upaya perbaikan administrasi dan pemungutan pajak yang lebih efektif. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Upaya meningkatkan penerimaan perpajakan dilakukan untuk mencapai target rasio penerimaan perpajakan sebesar 10,0-12,0% dari Produk Domestik Bruto,” seperti dikutip dari dokumen RKP 2025, Selasa, (23/4/2024).

Target tax ratio itu rencananya akan dicapai melalui beberapa cara, di antaranya pembenahan kelembagaan perpajakan lewat pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara. Keberadaan badan tersebut dinilai akan meningkatkan tax ratio, sehingga APBN dapat menyediakan ruang belanja yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan guna mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.

Selain itu, target tax ratio juga akan dicapai melalui percepatan implementasi core tax system dengan mengoptimalkan pengelolaan data yang berbasis risiko dan interoperabilitas data. Tax ratio juga akan digenjot dengan mendorong sistem perpajakan lebih sesuai dengan struktur perekonomian.

Lalu, tax ratio akan dicapai dengan kegiatan ekstensifikasi pajak dan pengawasan atas Wajib Pajak High Wealth Individual, penegakan hukum yang berkeadilan melalui optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensic.

Terakhir target ini akan dicapai dengan penajaman insentif pajak yang tepat sasaran untuk mendorong sektor prioritas seperti pertanian, manufaktur, pariwisata, dan usaha mikro kecil dan menengah berkembang. (bl)

Viral TikTok, Beli Sepatu Impor Rp10 Juta Dipajaki Rp31 Juta

IKPI, Jakarta: Viral di media sosial keluhan salah satu pengguna TikTok yang harus membayar bea masuk Rp 31,8 juta untuk pembelian sepatu impor. Padahal, dinarasikan harga sepatu tersebut hanya Rp 10,3 juta.

“Halo Bea Cukai, gua mau tanya sama kalian. Kalian tuh netapin bea masuk tuh dasarnya apa ya? Gua kan baru beli sepatu, gua beli ini satu harganya Rp 10,3 juta. Shipping (pengiriman) Rp 1,2 juta, total Rp 11.500.000. Dan kalian tau bea masuknya berapa? Nih, Rp 31.800.000. Itu perhitungan dari mana?,” katanya seperti dikutip dari Detik.com Kamis (25/4/2024).

Pengunggah video menilai dengan asumsi harga sepatu Rp 10,3 juta maka bea masuk yang harus dibayar adalah Rp 5,8 juta. Hal ini berdasarkan perhitungan manual dan menggunakan aplikasi Mobile Beacukai.

“Ini kalo based on perhitungan gua, harusnya tuh gua bayar Rp 5,8 juta. Dan ini juga perhitungan yang gua pakai menggunakan aplikasi kalian nih, Mobile Beacukai, Rp 5,8 juta. Terus kalian netapin bea masuk atas gua itu dari mana perhitungannya? Sepatu gua Rp 10 juta kalian kenain Rp 30 juta. Ini nggak make sense banget,” tambahnya.

Menanggapi itu, akun X Bea Cukai @beacukaiRI memberikan penjelasan. Menurut Bea Cukai, perusahaan jasa kiriman yang digunakan dalam kasus ini adalah DHL, yang melaporkan CIF atau nilai pabean produk US$ 35,37 atau sekitar Rp 562.736. Informasi dari jasa kiriman tersebut digunakan oleh Bea Cukai untuk penetapan nilai barang.

Namun setelah dilakukan pemeriksaan, nilai pabean atas barang tersebut adalah US$ 553,61 atau Rp 8.807.935. Atas ketidaksesuaian tersebut dikenakanlah sanksi administrasi berupa denda, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3.

“Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atau nilai pabean atas barang tersebut adalah USD553.61 atau Rp8.807.935. Atas ketidaksesuaian tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3,” jelasnya.

“Dalam hal penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan karena kesalahan pemberitahuan nilai pabean dan arang kiriman merupakan hasil transaksi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf a, selain wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk, impor dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perhitungan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan,” demikian bunyi pasal yang dimaksud.

Selanjutnya, rincian bea masuk dan pajak impor atas produk sepatu tersebut adalah bea masuk 30% Rp 2.643.000, PPN 11% Rp 1.259.544, dan PPh impor 20% Rp 2.290.000, dan Sanksi Administrasi Rp 24.736.000. Sehingga total tagihannya adalah Rp 30.928.544.

“Besaran sanksi administrasi berupa denda dikenakan sesuai PP Nomor 39 Tahun 2019 pasal 6 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan,” terangnya.

Status pemeriksaan serta rincian tagihan dapat diakses secara terbuka dan real time oleh pemilik barang melalui beacukai.go.id/barangkiriman atau dengan menghubungi @bravobeacukai dan Kantor Pelayanan Bea Cukai yang menangani paket.

“Terkait pengenaan sanksi administrasi berupa denda, disarankan pemilik barang untuk berkonsultasi dengan jasa kiriman yang digunakan dalam hal ini DHL sebagai kuasa impor dari pemilik barang,” tutupnya.

DJP Sebut Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Masih Rendah

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu menggenjot kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan. Pasalnya, rasio kepatuhannya masih rendah.

DJP mencatat, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga 22 April 2024 mencapai 13,53 juta SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan oleh wajib pajak. Angka ini tumbuh 5,45% secara year on year.

Dari total tersebut, pelaporan SPT oleh wajib pajak orang pribadi non karyawan baru sebesar 1,14 juta. Sehingga, rasio kepatuhan kelompok ini baru mencapai 23,1% dari total 4,92 juta wajib pajak orang pribadi non karyawan.

“Perlu kami sampaikan bahwa rasio kepatuhan dihitung sampai dengan akhir tahun yaitu 31 Desember 2024,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (25/4/2024).

Selain itu, Dwi juga ingin meluruskan bahwa tidak ada istilah wajib pajak tajir dan tidak terdapat strategi pengawasan khusus yang dilakukan bagi wajib pajak non karyawan.

“Pengawasan kepatuhan dilakukan kepada wajib pajak dengan berbasis wajib pajak strategis dan kewilayahan. Salah satunya dengan pembentukan Komite Kepatuhan yang bertugas merencanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan peningkatan kepatuhan wajib pajak,” ucapnya.

Dwi menambahkan bahwa DJP juga telah mengembangkan proses bisnis compliance risk management (CRM) yang merupakan alat untuk memetakan tingkat risiko dan kepatuhan wajib pajak.

Melalui CRM, maka dapat dipetakan risiko kepatuhan wajib pajak apakah masuk kategori risiko rendah, sedang atau tinggi sehingga dari peta risiko ini dapat ditentukan treatment yang sesuai bagi wajib pajak bersangkutan, berupa edukasi dan pelayanan, pengawasan dan pemeriksaan, atau penegakan hukum.

Sementara itu, berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2022, rasio kepatuhan SPT Tahunan PPh untuk orang pribadi non karyawan adalah 69,11% atau sekitar 2,53 juta SPT dari total 3,67 juta wajib SPT. (bl)

id_ID