IKPI, Denpasar: Dalam audiensi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali, pada Jumat (14/2/2025), Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Bali Nusra membahas perpanjangan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022), yang memungkinkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tetap membayar pajak dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.
Perpanjangan ini diumumkan oleh pemerintah pada Desember 2024 sebagai upaya mendukung keberlangsungan UMKM di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, hingga kini, teknis implementasi perpanjangan tersebut masih menunggu regulasi lebih lanjut dari pemerintah.
IKPI Bali Nusra Meminta Kejelasan Teknis
Ketua IKPI Bali Nusra, I Kadek Agus Ardika, menyoroti perlunya kejelasan aturan teknis agar pelaku UMKM tidak mengalami kebingungan dalam menjalankan kewajiban pajaknya.
“Saat ini, pelaku UMKM masih bisa membayar pajak Januari 2025 dengan tarif 0,5% sesuai dengan pernyataan resmi pemerintah. Namun, kami berharap ada aturan teknis yang lebih jelas agar tidak terjadi kesalahan administrasi di kemudian hari,” ujar Agus Ardika dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/2/2025).
Ia menambahkan bahwa kepastian regulasi sangat penting bagi para pelaku usaha kecil agar mereka dapat merencanakan keuangan dengan lebih baik tanpa kekhawatiran terkait perubahan aturan yang tiba-tiba.
Dampak Perpanjangan PP 55/2022 bagi UMKM
Kebijakan perpanjangan tarif pajak 0,5% ini dinilai memberikan angin segar bagi UMKM, terutama di sektor yang masih dalam tahap pemulihan setelah terdampak pandemi. Dengan tarif pajak yang lebih ringan, diharapkan pelaku usaha kecil tetap dapat bertahan dan berkembang tanpa terbebani kewajiban pajak yang lebih tinggi.
Meski demikian, masih ada tantangan yang perlu dihadapi, terutama terkait sosialisasi dan pemahaman UMKM terhadap aturan yang berlaku. Oleh karena itu, IKPI mengimbau anggotanya untuk terus mengikuti perkembangan kebijakan ini dan memastikan bahwa UMKM mendapatkan informasi yang akurat terkait perpanjangan tarif pajak ini.
Pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan teknis guna memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan UMKM dapat tetap mematuhi kewajiban perpajakan mereka tanpa kendala administrasi.
Ke depan, IKPI Bali Nusra berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan otoritas pajak guna memastikan bahwa kebijakan perpajakan yang berlaku dapat berjalan dengan baik dan tidak menyulitkan pelaku usaha kecil di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.
Hadir pada pertemuan tersebut adalah Perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar acara “Partnership Gathering IKPI Tahun 2025” sebagai upaya untuk mempererat hubungan antar pemangku kepentingan dalam ekosistem perpajakan Indonesia.
Acara yang berlangsung di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025) dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), 206 asosiasi usaha dan asosiasi sektor keuangan serta para profesional di bidang perpajakan.
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar acara “Partnership Gathering IKPI Tahun 2025” sebagai upaya untuk mempererat hubungan antar pemangku kepentingan dalam ekosistem perpajakan Indonesia. Acara yang berlangsung di Royal Kuningan Hotel, Rabu (19/2/2025) dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), asosiasi usaha, serta para profesional di bidang perpajakan.
Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan dalam acara yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh IKPI. Ia berharap kegiatan ini dapat menjadi agenda tahunan yang rutin dilaksanakan.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/BayuLegianto)
Membangun Ekosistem Perpajakan yang Berkeadilan
Vaudy menegaskan bahwa ekosistem perpajakan Indonesia terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi, termasuk wajib pajak, pengusaha, pemerintah, asosiasi usaha dan profesi, serta konsultan pajak seperti IKPI. Interaksi antar elemen ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, efisien, dan adil.
Faktor-faktor yang memengaruhi ekosistem perpajakan antara lain kebijakan fiskal, sistem administrasi pajak, kepatuhan wajib pajak, serta dukungan dari berbagai pihak. Dengan membangun sistem yang baik, diharapkan penerimaan pajak negara dapat meningkat, kepatuhan pajak semakin tinggi, serta tax ratio dapat ditingkatkan.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
Dalam acara ini, IKPI juga menghadirkan narasumber dari Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan paparan mengenai tiga topik utama, yaitu implementasi coretax, pemeriksaan pajak, serta pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak. Vaudy menekankan pentingnya edukasi perpajakan dalam meningkatkan pemahaman wajib pajak terkait hak dan kewajiban mereka di tengah perubahan regulasi yang dinamis.
“Administrasi perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment, sehingga wajib pajak dituntut untuk memahami berbagai regulasi yang ada. Di sinilah peran tax intermediaries menjadi sangat penting dalam membantu meningkatkan kepatuhan pajak,” ujar Vaudy.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
Penandatanganan Kerja Sama Strategis
Selain sesi paparan, acara ini juga menjadi momen bersejarah dengan adanya penandatanganan kerja sama antara IKPI dengan beberapa pihak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), dan Alumni Penabur Indonesia (ALP). Ruang lingkup kerja sama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari edukasi perpajakan kepada masyarakat, konsultasi perpajakan, pelatihan, hingga publikasi karya ilmiah.
Kerja sama ini diharapkan dapat mendukung terbentuknya ekosistem perpajakan yang lebih baik, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mendorong peningkatan tax ratio di Indonesia.
Harapan ke Depan
Vaudy berharap melalui kolaborasi dan sinergi antara otoritas pajak, wajib pajak, konsultan pajak, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkeadilan.
“Dengan terciptanya ekosistem perpajakan yang prudent dan berkeadilan, kita dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, yang pada akhirnya akan meningkatkan tax ratio nasional,” ujarya. (bl)
IKPI, Jakarta: Setelah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 54/PJ/2025 pada 12 Februari 2025, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik kebijakan tersebut. Namun, IKPI juga mengajukan beberapa masukan agar pelaksanaan kebijakan ini lebih optimal dan tidak membebani Wajib Pajak (WP).
Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyampaikan bahwa meskipun kebijakan ini merupakan langkah solutif bagi WP yang mengalami kendala dalam menggunakan coretax system, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.
“Kami menghargai adanya alternatif dalam penerbitan Faktur Pajak, tetapi ada aspek teknis dan administratif yang harus diperbaiki agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Salah satu kendala yang disoroti adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Dengan KEP-54/PJ/2025 yang baru terbit pada 12 Februari, WP yang harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari memiliki waktu yang sangat terbatas. IKPI mengusulkan agar batas waktu diperpanjang hingga 25 bulan berikutnya untuk memberi kelonggaran bagi WP yang masih mengalami kendala teknis. IKPI juga meminta agar Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dapat berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025.
Menurut Pino, penutupan sistem e-Nofa per 1 Januari 2025 membuat banyak WP tidak sempat mengajukan NSFP sebelum kebijakan baru diterapkan. “Banyak WP yang tidak memiliki NSFP karena e-Nofa sudah ditutup, sementara di sisi lain mereka kesulitan mengunggah Faktur Pajak di coretax. Sebaiknya ada kebijakan transisi agar NSFP bisa berlaku surut untuk dua bulan pertama ini,” ujarnya.
Terkait implementasi kebijakan, IKPI menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas agar semua pihak memahami perubahan ini. Berdasarkan rilis DJP, penerbitan Faktur Pajak melalui e-Faktur Desktop tidak berlaku untuk beberapa kategori, seperti penjualan kepada turis asing, PPN Ditanggung Pemerintah, dan PKP yang baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2025. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan jika tidak disosialisasikan dengan baik.
Selain itu, IKPI menyoroti perlunya masa transisi yang cukup sebelum seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. “Jika nanti semua WP harus kembali menggunakan coretax, harus ada waktu transisi yang cukup agar mereka bisa menyesuaikan diri,” kata Pino.
IKPI juga meminta kejelasan apakah WP dapat menggunakan coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda. “Misalnya, apakah WP diperbolehkan menggunakan coretax untuk Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Jika tidak diperbolehkan, maka harus ada solusi agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaporan,” jelasnya.
Sebagai langkah perlindungan bagi WP, IKPI mengusulkan agar DJP menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak secara otomatis menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan akibat kendala coretax system. “Jika hal ini tidak bisa dihentikan, setidaknya perlu ada mekanisme yang mempercepat penghapusan STP akibat kendala teknis yang tidak disebabkan oleh kelalaian WP,” katanya.
IKPI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan ini agar kebijakan perpajakan semakin mendukung kepatuhan dan kemudahan bagi WP dalam menjalankan kewajibannya. (bl)
IKPI, Denpasar: Kendala dalam sistem Coretax menjadi salah satu topik utama dalam audiensi yang dilakukan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Bali Nusra dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Jumat (14/2/2025), para pengurus IKPI ini menyampaikan berbagai permasalahan teknis yang mereka hadapi akibat sistem yang masih belum sepenuhnya stabil.
Coretax merupakan bagian dari Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan melalui digitalisasi yang lebih terintegrasi, sehingga dapat mempermudah wajib pajak dalam melakukan kewajibannya serta memperkuat sistem administrasi perpajakan di Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, implementasi Coretax masih menghadapi sejumlah kendala yang menghambat proses administrasi pajak, baik bagi wajib pajak maupun konsultan pajak yang membantu mereka.
Kendala Teknis dan Hambatan Integrasi
Ketua IKPI Pengda Bali Nusra – I Kadek Agus Ardika, mengungkapkan bahwa berbagai laporan dari anggota IKPI menunjukkan bahwa masalah utama dalam sistem ini terletak pada proses integrasi dengan berbagai basis data pemerintah. “Coretax harus terhubung dengan berbagai sistem, seperti data dari Dukcapil dan Administrasi Hukum Umum (AHU). Sayangnya, sinkronisasi ini masih belum berjalan optimal, menyebabkan kendala dalam pelaporan dan administrasi pajak,” ujarnya dalam pertemuan tersebut.
Agus Ardika juga menjelaskan bahwa banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengakses sistem Coretax karena seringnya terjadi gangguan teknis, seperti lambatnya proses verifikasi data dan ketidaksesuaian informasi yang muncul dalam sistem. “Kami menerima banyak keluhan dari konsultan pajak dan wajib pajak terkait error pada sistem, seperti data yang tidak terbaca, kesalahan verifikasi, serta sistem yang tidak responsif pada jam-jam sibuk,” katanya.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Kanwil DJP Bali Darmawan, mengakui bahwa memang terdapat sejumlah kendala dalam implementasi sistem ini. “Kami memahami kesulitan yang dihadapi oleh wajib pajak dan konsultan pajak akibat masalah dalam sistem Coretax. DJP terus melakukan perbaikan secara bertahap agar sistem ini dapat berjalan lebih optimal,” ujarnya.
Darmawan menambahkan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan tim teknis dan pusat pengembangan sistem di DJP untuk mempercepat penyelesaian berbagai gangguan yang terjadi. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar dalam implementasi Coretax adalah memastikan bahwa sistem dapat berfungsi secara efisien tanpa mengganggu kelancaran proses administrasi pajak yang sedang berjalan.
Dampak terhadap Konsultan Pajak dan Wajib Pajak
Permasalahan dalam sistem Coretax tidak hanya berdampak pada wajib pajak, tetapi juga pada para konsultan pajak yang menjadi perantara utama dalam membantu pelaporan pajak. Agus Ardika menegaskan bahwa konsultan pajak memerlukan kejelasan dan solusi cepat atas permasalahan yang terjadi agar mereka dapat memberikan layanan yang maksimal kepada klien mereka.
“Kami mengharapkan adanya komunikasi yang lebih terbuka antara DJP dan para konsultan pajak terkait perkembangan sistem ini. Selain itu, perlu ada solusi konkret untuk mengatasi kendala yang masih berulang agar tidak mengganggu proses pelaporan pajak,” katanya.
Ia juga menyoroti perlunya pelatihan dan pendampingan yang lebih intensif bagi wajib pajak serta konsultan pajak agar mereka dapat memahami cara kerja sistem ini dengan lebih baik. “Banyak wajib pajak yang masih kesulitan dalam menggunakan sistem Coretax karena kurangnya sosialisasi dan pelatihan. DJP perlu meningkatkan upaya edukasi agar tidak terjadi kebingungan dalam implementasi sistem ini,” tambahnya.
Beberapa pengurus IKPI lainnya yang hadir dalam pertemuan tersebut juga menyampaikan keluhan mengenai dampak dari gangguan sistem ini terhadap kepatuhan pajak klien. “Kami terus mengajak klien membayar pajak tepat waktu, tetapi karena sistem sering bermasalah, kami justru kesulitan dalam mengakses layanan perpajakan. Ini bisa berdampak pada denda atau sanksi administratif yang sebenarnya bukan kesalahan kami,” ujar salah satu pengurus.
Meskipun terdapat berbagai kendala dalam implementasi Coretax, IKPI Bali Nusra tetap berharap bahwa sistem ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi administrasi perpajakan di Indonesia. Agus Ardika menegaskan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan DJP untuk memastikan kelancaran implementasi sistem ini dan mengawal setiap perbaikan yang dilakukan.
“DJP harus memastikan bahwa setiap perbaikan yang dilakukan benar-benar memberikan dampak positif bagi wajib pajak dan konsultan pajak. Kami berharap adanya solusi yang lebih cepat dan efektif sehingga implementasi Coretax dapat berjalan lebih baik di masa depan,” kata Agus Ardika.
Selain itu, DJP juga berjanji akan terus mengadakan sesi konsultasi dan sosialisasi kepada wajib pajak serta konsultan pajak agar mereka dapat memahami perkembangan terbaru terkait sistem ini. Dengan komunikasi yang lebih terbuka dan perbaikan yang terus dilakukan, diharapkan sistem Coretax dapat benar-benar menjadi solusi yang meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan di Indonesia.
Hadir pada pertemuan tersebut adalah perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:
IKPI, Denpasar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali Nusra mengadakan audiensi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali Darmawan untuk membahas implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 118 Tahun 2024 dan program Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi (PSA) 2025.
Dalam pertemuan pada Selasa (14/2/2025) di Denpasar, Ketua IKPI Pengda Bali Nusra, I Kadek Agus Ardika, menyoroti pentingnya sosialisasi yang lebih luas terkait regulasi baru ini. Menurutnya, PMK 118/2024 yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025 masih menyisakan sejumlah ketidakjelasan, terutama dalam ketentuan yang mengatur penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang memiliki tunggakan.
Salah satu poin krusial yang dibahas adalah Pasal 23 Ayat (6) dan (7) dalam PMK 118/2024, yang mengharuskan pembayaran dan pengajuan permohonan PSA dilakukan dalam bulan yang sama. Jika tidak, perhitungan proporsional yang diterapkan dapat berpotensi merugikan wajib pajak.
“Jika ada tunggakan pajak yang diajukan dalam PSA 2025, penghitungannya harus dilakukan ulang sesuai ketentuan baru. Ini perlu diperjelas agar wajib pajak tidak mengalami kesalahan administrasi,” ujar Agus Ardika.
Lebih lanjut, Agus Ardika menjelaskan bahwa dalam skema yang diatur oleh PMK 118/2024, wajib pajak yang membayar pokok pajak serta bunga sebesar 25% dari Surat Tagihan Pajak (STP) hingga 31 Desember 2024 berhak mendapatkan penghapusan sisa 75% dari nilai STP tersebut.
Namun, pengajuan permohonan PSA hanya dapat dilakukan hingga batas waktu 30 April 2025. Menurut Agus Ardika, masih banyak wajib pajak yang belum memahami sepenuhnya mekanisme dan persyaratan PSA 2025, sehingga berisiko kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan program ini.
Oleh karena itu, IKPI Bali Nusra meminta Kanwil DJP Bali untuk segera melakukan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat dan pelaku usaha, agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan aturan ini di lapangan.
Selain membahas PSA 2025, dalam audiensi ini IKPI Bali Nusra juga menyoroti beberapa tantangan lain yang dihadapi para konsultan pajak dan wajib pajak di wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Salah satunya adalah perlunya penyelarasan antara regulasi pusat dan implementasi di daerah, serta percepatan layanan administrasi perpajakan yang sering kali menjadi kendala dalam kepatuhan pajak.
Dengan adanya diskusi ini, IKPI Bali Nusra berharap Kanwil DJP Bali dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai aturan-aturan teknis dalam PMK 118/2024 serta memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar memberikan manfaat bagi wajib pajak tanpa menimbulkan beban administrasi yang berlebihan.
Hadir pada pertemuan tersebut adalah perwakilan Pengurus IKPI se-Bali Nusra:
IKPI, Jayapura: Bank Central Asia (BCA) menggelar gathering eksklusif untuk nasabah prioritas dan karyawan, dengan topik utama mengenai implementasi sistem Coretax. Acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada peserta terkait kebijakan perpajakan terbaru yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Untuk memperjelas informasi mengenai sistem ini, BCA meminta Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menghadirkan anggotanya sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Dalam kesempatan ini, Lidya Liemnarso, anggota IKPI yang berdomisili di Sorong, Papua Barat Daya menjadi perwakilan untuk menyampaikan berbagai aspek penting terkait Coretax, termasuk bagaimana pengusaha harus bersiap dalam menghadapi sistem baru ini.
Dalam sesi pemaparannya, Lidya menjelaskan bahwa sistem Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi pajak. Sistem ini dirancang untuk mempermudah pelaporan pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta meminimalkan risiko kesalahan dalam administrasi perpajakan.
Beberapa poin utama yang disampaikan dalam acara ini meliputi:
• Gambaran umum Coretax, termasuk fitur-fitur baru yang akan digunakan dalam sistem perpajakan ini.
• Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha, terutama dalam menyesuaikan administrasi pajak mereka dengan sistem terbaru.
• Mengklarifikasi kekhawatiran pengusaha terkait akses saldo rekening oleh pajak. Isu ini menjadi perhatian banyak pihak setelah beredar informasi bahwa DJP dapat mengakses saldo rekening pengusaha secara langsung melalui sistem Coretax. Narasumber menegaskan bahwa informasi tersebut tidak sepenuhnya benar dan menjelaskan mekanisme yang sebenarnya berlaku.
• Penjelasan mengenai bunga simpanan pengusaha yang dikabarkan dapat diakses oleh pajak. Banyak peserta yang mempertanyakan kebenaran isu ini, dan dalam sesi diskusi, dijelaskan bahwa pajak atas bunga simpanan tetap mengikuti ketentuan yang telah berlaku sebelumnya.
Antusiasme dan Respon Positif Peserta
Selama diskusi berlangsung, para peserta menunjukkan antusiasme tinggi dengan mengajukan berbagai pertanyaan terkait dampak sistem Coretax terhadap operasional bisnis mereka. Banyak peserta awalnya merasa khawatir dengan perubahan ini, namun setelah mendapatkan penjelasan dari IKPI, mereka menyatakan bahwa sistem ini ternyata lebih mudah dipahami dan sangat membantu dalam proses perpajakan.
Salah satu peserta, seorang pengusaha yang hadir dalam acara ini, mengungkapkan bahwa penjelasan dari IKPI sangat informatif dan memberikan kepastian bagi dunia usaha. Ia menilai bahwa transparansi dalam sistem ini justru dapat menguntungkan pengusaha dalam jangka panjang.
Acara yang berlangsung pada 7 Februari 2025 ini berjalan dengan lancar dan mendapat apresiasi dari peserta. Dengan adanya sosialisasi seperti ini, diharapkan nasabah dan pengusaha dapat lebih siap menghadapi implementasi Coretax tanpa kesalahpahaman.
BCA berkomitmen untuk terus memberikan informasi yang akurat dan relevan bagi nasabahnya, sementara IKPI Papua siap menjadi mitra dalam memberikan edukasi perpajakan yang lebih luas bagi dunia usaha di Papua. (bl)
IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan apresiasi atas terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) Nomor 54/PJ/2025 yang memberikan alternatif tambahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam pembuatan Faktur Pajak. Namun, dalam rangka efektivitas implementasi kebijakan ini, IKPI mengajukan sejumlah masukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyatakan bahwa kebijakan ini penting untuk memberikan solusi bagi PKP yang mengalami kesulitan dalam menggunakan aplikasi Coretax untuk pembuatan Faktur Pajak. “Kami mengapresiasi langkah DJP dalam menerbitkan KEP-54/PJ/2025 karena memberikan fleksibilitas tambahan bagi Wajib Pajak (WP) yang mengalami kendala teknis. Namun, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan agar kebijakan ini lebih efektif,” ujarnya di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Salah satu poin utama yang disoroti oleh IKPI adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Saat ini, WP harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari 2025. Dengan kebijakan baru ini yang berlaku sejak 12 Februari 2025, banyak WP yang belum memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, IKPI mengusulkan agar batas waktu pengunggahan diperpanjang hingga tanggal 25 bulan berikutnya.
Selain itu, IKPI juga menyoroti ketentuan terkait Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak berlaku surut. Menurut Pino, sejak 1 Januari 2025, sistem e-Nofa untuk permintaan NSFP telah ditutup. “Masih banyak WP yang kesulitan mengunggah Faktur Pajak melalui coretax, sementara mereka juga tidak sempat meminta NSFP sebelumnya. Sebaiknya ada kebijakan agar NSFP bisa berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025,” ujarnya.
IKPI juga menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas terkait KEP-54/PJ/2025 agar semua stakeholder memahami implementasi kebijakan ini. Apalagi, berdasarkan siaran pers yang pernah diterbitkan DJP, ada beberapa jenis Faktur Pajak yang tetap tidak dapat diterbitkan melalui e-Faktur Desktop, seperti Faktur Pajak dengan kode 060 (Penjualan kepada turis asing), kode 070 (PPN Ditanggung Pemerintah), Faktur Pajak dari PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN, serta Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah 1 Januari 2025.
Selain itu lanjut Pino, IKPI juga menyoroti perlunya masa transisi yang cukup jika nantinya seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. Selain itu, diperlukan kejelasan apakah PKP diperbolehkan menggunakan sistem coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda.
“Misalnya, apakah WP boleh menggunakan coretax untuk Masa Pajak Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Hal ini perlu diperjelas agar tidak ada kendala dalam pelaporan dan pertanggungjawaban,” kata Pino.
Lebih lanjut, IKPI mengusulkan penerbitan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak agar tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak, Bukti Potong, atau pembayaran pajak akibat penerapan coretax system. “Saat ini, sistem secara otomatis menerbitkan STP dalam kondisi tertentu. Jika hal ini tidak bisa dihentikan, maka sebaiknya ada kebijakan yang memungkinkan permohonan penghapusan STP berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a dan huruf c dapat dikabulkan,” ujarnya.
Ia berharap dengan adanya perbaikan dalam implementasi KEP-54/PJ/2025, sistem perpajakan Indonesia bisa semakin kondusif dan memberikan kepastian hukum bagi WP. “Kami berharap iklim perpajakan Indonesia semakin sehat demi kemandirian penerimaan pajak,” kata Pino. (bl)
IKPI, Surabaya: Dunia perpajakan di Indonesia terus berkembang, dan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks, pemahaman yang mendalam serta pembaruan pengetahuan sangatlah penting bagi para pelaku bisnis. Dalam rangka menjawab kebutuhan tersebut, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Jawa Timur bekerja sama dengan Junior Chamber International (JCI) Jawa Timur menggelar acara Tax Update dengan tema “Menghadapi Tantangan Perpajakan dengan Pengetahuan dan Pemahaman Terbaru untuk Kesuksesan Bisnis yang Berkelanjutan”.
Acara yang gelar Sabtu, (15/2/2025) di Ibis Surabaya City Center ini dihadiri lebih dari 100 peserta yang terdiri dari anggota JCI East Java dan peserta umum yang berasal dari berbagai sektor bisnis.
Ketua IKPI Pengda Jawa Timur Zeti Arina, dalam kesempatan itu menekankan pentingnya pembaruan pengetahuan perpajakan di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah. Ia juga menyampaikan bahwa tantangan perpajakan yang dihadapi oleh pelaku usaha saat ini semakin kompleks, mulai dari regulasi yang sering berubah hingga perkembangan teknologi yang memengaruhi cara pembayaran pajak dan pelaporan kewajiban pajak.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)
“Pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga suatu bagian yang integral dalam pengelolaan bisnis yang berkelanjutan. Dengan pemahaman yang baik tentang sistem perpajakan, kita tidak hanya bisa memenuhi kewajiban dengan tepat waktu, tetapi juga memaksimalkan potensi keuntungan melalui perencanaan pajak yang lebih efisien,” ujar Zeti dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/2/2025).
Zeti menjelaskan juga tentang berbagai perubahan kebijakan perpajakan yang relevan untuk dunia usaha, termasuk implementasi teknologi digital dalam sistem perpajakan yang memudahkan proses pelaporan dan pembayaran pajak. Ia juga membahas mengenai Tax Compliance dan bagaimana memastikan bisnis tetap patuh terhadap kewajiban perpajakan tanpa mengabaikan aspek efisiensi biaya.
Selain itu, pada kegiatan ini narasumber juga membahas strategi perencanaan pajak yang tepat bagi pelaku usaha, terutama di tengah kondisi perekonomian yang fluktuatif. Dengan demikian, pentingnya adaptasi terhadap regulasi perpajakan yang terus berkembang serta bagaimana mengelola risiko yang muncul akibat perubahan aturan perpajakan, seperti pajak digital dan perubahan tarif pajak.
Menurut Zeti, bahasan yang paling ditunggu-tunggu peserta yaitu tentang Coretax yang sekarang sedang menjadi perbicangan hangat di kalangan wajib pajak. Para peserta tentunya penasaran apa perbedaan antara sebelum dan sesudah coretax.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)
Dengan runtut mulai perbedaan form SPT tahunan sesudah dan sebelum Coretax, serta data-data apa saja yang harus diisi, misalnya tentang daftar harta yang setelah Coretax lebih detail antara lain nama harta nomor rekening bank, nomor sertifikat, lokasi tanah, bangunan dan lainnya.
kemudian terkait pengkreditan faktur pajak masukan kata Zeti, faktur di gunggung juga dibahas dengan segala risikonya bila wajib pajak salah membuat faktur dan cara mencegahnya. Tentunya setelah tau perbedaan dan implikasinya bagi wajib pajak selanjutnya merumuskan antisipasinya ke depan dengan cermat.
Sementara itu, narasumber lainnya Ali Yus Isman, menjelaskan antara lain pentingnya kerahasiaan perusahaan terkait dengan pembatasan akses yang tepat dari person in charge (PIC) perusahaan, jangan sampai justru PIC gak mau terlibat padahal seluruh data perusahaan tidak semua orang boleh tahu misalnya terkait kerahasiaan gaji.
Data PIC di Coretax termasuk nama ibu kandung nomor induk kependudukan akan bahaya bila jatuh ke orang yang berniat jahat dengan data rahasia tersebut. “Profile wajib pajak harus di update supaya tidak menimbulkan salah analisa dari sistem misalnya jenis bisnisnya keuntungannya kecil tetapi di profile KLU nya salah di bisnis yang rata-rata industrinya keuntungannya tinggi,” kata Ali.
Kendala Coretax dan Solusinya.
Lebih lanjut Zeti mengatakan, acara ini menyimpulkan bahwa pemahaman yang baik tentang sistem perpajakan sangat krusial untuk mencapai kesuksesan bisnis yang berkelanjutan. Dalam dunia yang terus berubah, di mana teknologi dan regulasi berkembang pesat, bisnis harus selalu siap beradaptasi untuk meminimalkan potensi risiko dan memaksimalkan potensi keuntungan, pengetahuan tentang pajak yang akurat dan up-to-date menjadi kunci dalam merancang strategi bisnis yang tidak hanya efisien, tetapi juga sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ia juga menyampaikan bahwa IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, berkomitmen untuk terus memberikan edukasi dan pemahaman kepada para profesional dan pelaku usaha mengenai peraturan perpajakan yang baru serta memberikan solusi untuk tantangan perpajakan yang dihadapi dunia usaha.
“Melalui acara seperti ini, kami berharap dapat memberikan wawasan baru yang tidak hanya berguna untuk para profesional pajak, tetapi juga untuk para pelaku usaha yang ingin memastikan bisnis mereka berjalan dengan mematuhi kewajiban pajak yang ada, serta meraih kesuksesan yang berkelanjutan,” kata Zeti.
Ia berharap acara Tax Update ini bisa terus menjadi wadah untuk memperbaharui pemahaman para peserta tentang isu perpajakan terkini dan bagaimana hal tersebut bisa diterapkan dalam strategi bisnis mereka. IKPI Pengda Jawa Timur berkomitmen untuk terus mengadakan acara serupa sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas SDM di bidang perpajakan yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Hadir pada kesempatan itu:
Pembicara Sesi Pemaparan Materi
Sesi 1 : Dra. M. Zeti Arina., SH., MM., BKP
Sesi 2 : Ali Yus Isman SE., MA., BKP
setelah istirahat siang ruangan dibagi menjadi 2 bagian untuk sesi tanya jawab supaya banyak pertanyaan yang bisa terjawab.
Pembicara Sesi Tanya Jawab Room 1 (Merah)
1. Ali Yus Isman SE., MA., BKP
2. Rino Kusuma Putra
Pembicara Sesi Tanya Jawab Room 2 (Kuning)
1. Arief Satrya Budianto
2. Ika Fransisca
3. Kaafii Rokhimah
peserta sangat antusias dan puas dengan jawaban dari para anggota IKPI yang memandu acara dengan bekal pengetahuan dan profesionalitasnya.
IKPI, Jambi: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) sukses menyelenggarakan seminar perpajakan bertajuk “Kupas Tuntas Coretax – Faktur Pajak, Unifikasi, PPh 21, Pembayaran dan Pelaporan” di Odua Weston Jambi Hotel, Kota Jambi, Minggu (16/2/2025). Acara ini berlangsung dari pukul 08.30 hingga 16.30 WIB dan dihadiri oleh 76 peserta, terdiri dari 11 anggota IKPI Jambi dan 65 peserta umum.
Ketua IKPI Sumbagsel Nurlena, mengungkapkan bahwa seminar ini cukup menarik perhatian karena diadakan pada hari libur, yang biasanya digunakan masyarakat untuk beristirahat bersama keluarga.
“Kami sempat ragu mengadakan seminar di hari libur, tetapi melihat antusiasme masyarakat dalam seminar serupa yang diadakan oleh Pengurus IKPI Cabang Jambi pada 9 Januari 2025, kami yakin peminatnya tetap tinggi,” ujarnya, melalui keterangan tertulis, Senin (17/2/2025).
(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumbagsel)
Seminar ini menghadirkan Lukman Nul Hakim sebagai narasumber utama. Ia merupakan pemateri yang sering mengisi PPL Pusat serta berbagai seminar di Pengda dan Cabang IKPI, khususnya terkait topik Coretax. Ia juva mengungkapkan, bahwa pemilihan waktu 16 Februari 2025 dilakukan berdasarkan ketersediaan narasumber, karena pada hari lain di bulan Februari, jadwalnya sudah penuh.
“Seluruh peserta mengikuti seminar dengan antusias dan aktif mengajukan berbagai pertanyaan teknis mengenai administrasi dan manajemen Coretax. Untuk meningkatkan semangat peserta, panitia juga menyediakan doorprize berupa 1 tumbler IKPI dan 3 payung IKPI bagi peserta yang beruntung,” ujarnya.
Dalam pelaksanaannya, seminar ini mendapat dukungan penuh dari pengurus IKPI Cabang Jambi yang membantu kelancaran acara. Keberhasilan seminar ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perkembangan kebijakan perpajakan, terutama terkait Coretax.
(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumbagsel)
Dengan adanya seminar ini, diharapkan para peserta, baik dari anggota IKPI maupun masyarakat umum, dapat memahami lebih dalam tentang sistem perpajakan terbaru dan menerapkannya dengan lebih baik dalam praktik sehari-hari. (bl)