IKPI Desak Pemerintah Tegaskan Batas Sertifikasi Pajak: Cegah Tumpang Tindih Akademik dan Profesi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyerukan perlunya ketegasan pemerintah dalam membedakan ranah sertifikasi konsultan pajak profesional dengan sertifikasi kompetensi pajak di dunia akademik.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menekankan bahwa ketidaktegasan kebijakan dan regulasi nantinya akan berisiko menimbulkan kebingungan publik dan kegaduhan di kalangan praktisi.

“Imbauan ini penting agar masyarakat paham bahwa sertifikasi konsultan pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan adalah untuk profesi independen yang bekerja secara profesional dan berintegritas. Ini sangat berbeda dengan sertifikasi di dunia akademik,” kata Jemmi, menanggapi isu tersebut langsung dari Negeri Tirai Bambu, Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, perbedaan signifikan tersebut tercermin dari:

• PMK No. 111/2014 jo PMK No. 172/2024

Dikhususkan bagi konsultan pajak profesional yang memberikan jasa perpajakan. Terdapat tiga tingkat sertifikasi:

• Tingkat A: Untuk Wajib Pajak orang pribadi.

• Tingkat B: Untuk WP orang pribadi dan badan, kecuali WP asing, BUT, dan WP dari negara mitra P3B.

• Tingkat C: Untuk seluruh WP orang pribadi dan badan tanpa batasan.

Persyaratan:

• Ijazah S1/D-IV di bidang perpajakan

• Lulus ujian sertifikasi

• Pengalaman di DJP menjadi pertimbangan tambahan

Pengaturan di Permendikbudristek No. 50 Tahun 2024

Belum diuraikan secara detail, namun diperkirakan lebih berfokus pada pengembangan kompetensi pajak mahasiswa dan akademisi. Tujuannya lebih kepada pembekalan awal, bukan pemberian izin praktik.

“Ini penting untuk dipilah. Jangan sampai sertifikasi akademik dianggap sama nilainya dengan sertifikasi profesi. Kalau rancu, praktisi bisa ricu,” ujar Jemmi.

IKPI juga mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memilah dan memisahkan kewenangan lembaga sertifikasi secara jelas. Hal ini dinilai penting agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai otoritas dan dampak hukum dari masing-masing jenis sertifikasi.

“Ke depan, regulasi harus menjamin kepastian hukum dan memperjelas siapa yang berwenang memberi sertifikasi untuk profesi dan siapa untuk akademik. Kalau tidak segera ditangani, ini bisa jadi masalah besar,” pungkasnya.

Dengan adanya pembeda, jelas akan terlihat keunggulan kompetensi secara profesional dan integritas secara etik yang tegas, Jemmi berharap ekosistem perpajakan Indonesia menjadi lebih sehat, tertib, dan tidak merugikan baik mahasiswa, akademisi, maupun konsultan pajak profesional. (bl)

Kuliah Umum: Ketum IKPI Sampaikan Masa Depan Konsultan Pajak di Era Digital

IKPI, Malang: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan kuliah umum di Universitas Gajayana (Uniga) Malang, Rabu (18/6/2025). Dihadapan ratusan mahasiswa ia menyampaikan “Ekosistem Perpajakan Indonesia dan Masa Depan Profesi Konsultan Pajak” .

Kegiatan ini disambut antusias oleh ratusan mahasiswa dan akademisi yang ingin mengenal lebih dekat peran krusial konsultan pajak di tengah dinamika perpajakan global dan nasional.

Dalam sesi ini, Vaudy memaparkan berbagai aspek strategis yang membentuk ekosistem perpajakan Indonesia.

(Foto: Istimewa)

Ia menggarisbawahi bahwa profesi konsultan pajak tak lagi sekadar pendamping wajib pajak, melainkan kini menjadi penghubung penting antara pengetahuan, kebijakan, dan teknologi.

“Profesi konsultan pajak adalah mitra strategis dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak. Sertifikasi dan izin praktik menjadi kunci profesionalisme dan legalitas,” ungkapnya.

Dijelaskannya, ada tiga tingkatan izin praktik yang mencakup WP orang pribadi, badan usaha, hingga entitas asing berdasarkan ketentuan terbaru dari Kementerian Keuangan.

Vaudy juga menjelaskan, tren penerimaan pajak menjadi indikator vital untuk membaca arah perkembangan profesi ini. Total penerimaan pajak nasional terus meningkat dari Rp1.716,8 triliun pada 2021 menjadi Rp1.988,9 triliun pada 2023 bahkan tahun 2025 menjadi lebih dari Rp.2.000 triliun. Pertumbuhan ini turut mencerminkan meningkatnya kebutuhan terhadap jasa profesional konsultan pajak di berbagai sektor, baik korporasi multinasional maupun UMKM.

Era Taxologist dan Digitalisasi Sistem Pajak

Pada kesempatan itu, Vaudy menyampaikan konsep “Taxologist” yang sudah berjalan di luar negeri, sebuah profesi hibrida yang memadukan keahlian perpajakan dengan keterampilan teknologi. Taxologist diproyeksikan menjadi ujung tombak dalam digitalisasi sistem perpajakan yang tengah berkembang di dunia.

“Perubahan lanskap global, transparansi data, dan ekonomi digital menuntut transformasi peran konsultan pajak dari sekadar penasihat menjadi inovator,” katanya, yang juga merujuk pada fenomena pertukaran data lintas negara serta teknologi otomasi pajak.

Peta Profesi Konsultan Pajak

Ia mengungkapkan, data per Juni 2025 menunjukkan bahwa dari lebih dari 86 juta wajib pajak orang pribadi dan badan, Indonesia baru memiliki 7.544 konsultan pajak. Ini menunjukkan bahwa peluang di bidang ini masih sangat terbuka, apalagi dengan adanya dukungan regulasi melalui UU P2SK yang mengakui konsultan pajak sebagai bagian dari profesi penunjang sektor keuangan.

Sebagai asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia, IKPI memiliki lebih dari 7.200 anggota aktif yang tersebar di 13 pengurus daerah dan 45 pengurus cabang.

Dalam kuliah umum ini, ia juga menyosialisasikan pentingnya Brevet dan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) sebagai syarat memasuki dunia praktik.

“Konsultan pajak hadir bukan hanya untuk perusahaan besar, tetapi juga untuk membantu UMKM dan individu memahami hak dan kewajiban perpajakan secara benar dan adil,” ujarnya.(bl)

IKPI Pengda Sulampapua Desak Kepastian Aturan dan Perbaikan Coretax

IKPI, Manado: Keresahan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kembali mencuat. Kali ini disuarakan langsung oleh Wakil Ketua Pengurus Daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampapua) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Yuli Rawun, dalam pertemuan dengan jajaran pejabat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Manado, Selasa, (17/6/2025).

Didampingi Wakil Sekretaris Mariza Partika dan anggota Meranti Baud, Yuli menyampaikan sejumlah persoalan serius terkait Coretax yang dirasakan sangat mengganggu kelancaran kewajiban perpajakan klien mereka.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sulampapua)

Pertama, Yuli menyoroti masalah kompensasi kelebihan bayar PPN masa Februari 2025 yang tidak muncul pada bulan berikutnya, bahkan sampai pelaporan SPT PPN saat ini (masa Mei) dalam sistem Coretax, meski telah dilaporkan sejak April 2025. “Lebih bayar yang sudah dilaporkan tidak tercermin kembali, ini membingungkan wajib pajak,” ungkap Yuli, Selasa (18/6/2025).

Kedua, untuk proses retur faktur pajak, Yuli menjelaskan bahwa nomor faktur retur yang seharusnya bisa diinput oleh wajib pajak tidak muncul dalam sistem, sehingga menyulitkan proses pembetulan.

Ketiga, faktur pajak (FP) masukan yang belum dikreditkan pada bulan berjalan tidak dapat dikreditkan di bulan berikutnya, padahal aturan memperbolehkan pengkreditan hingga tiga bulan.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sulampapua)

“FP masukan yang tidak dikreditkan bulan ini, seharusnya bisa dikreditkan di bulan berikutnya. Tapi tidak muncul lagi di CT bulan selanjutnya. Ini jelas merugikan,” tambahnya.

Selain soal teknis sistem, Yuli juga menyinggung belum terbitnya peraturan lanjutan terkait tarif PPh Final UMKM pasca berakhirnya masa berlaku PP 55 Tahun 2022. PP tersebut menetapkan tarif final 0,5% bagi pelaku usaha orang pribadi dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, namun hanya berlaku hingga akhir 2024.

“Pemerintah katanya mau perpanjang sampai 2025, tapi aturannya belum keluar juga sampai sekarang. UMKM jadi bingung, mau setor pakai tarif berapa?” ujar Yuli.

Menurutnya, jika UMKM dipaksa menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, beban pajaknya menjadi terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kemampuan pelaporan mereka.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Pengda Sulampapua, Mariza Partika, turut menambahkan kekhawatiran soal perlakuan pemeriksaan pajak yang tidak merata. Ia mempertanyakan mengapa wajib pajak yang sudah pernah diperiksa dan menyelesaikan kewajiban dengan SP2DK kembali dipanggil di akhir tahun untuk pemeriksaan yang sama.

“Padahal mereka sudah bayar dan selesai dengan AR (Account Representative), tapi tetap saja dapat surat pemeriksaan lagi. Ini menimbulkan ketidakpercayaan,” ujarnya.

Respons KPP Pratama Manado

Pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu dihadiri oleh Kepala KPP Pratama Manado, Udji Setiono, dan Kepala Seksi Waskon Strategis, James Hendra Wayong. Keduanya menyimak masukan dengan serius dan berjanji akan meneruskan keluhan kepada otoritas di tingkat pusat.

Dengan segala problematika yang ada, pertemuan tersebut menjadi momentum penting untuk mendorong perbaikan sistem pajak yang lebih adil, jelas, dan mudah dijangkau oleh UMKM sebagai motor utama penggerak ekonomi. (bl)

PPPK Resmi Bertransformasi Jadi Direktorat: Era Baru Pembinaan Konsultan Pajak Dimulai

IKPI, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) resmi bertransformasi menjadi Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan di bawah struktur baru Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengawasan Sektor Keuangan (DJSPSK). Pelantikan pejabat struktural yang dilangsungkan pada 13 Juni 2025 lalu menjadi tonggak penting penataan organisasi Kementerian Keuangan dalam menjawab tantangan pengawasan sektor keuangan yang kian kompleks.

Transformasi ini bukan sekadar perubahan nama. Status struktural PPPK yang sebelumnya berbentuk pusat kini ditingkatkan menjadi direktorat, selaras dengan penguatan peran dan fungsi pengawasan terhadap profesi keuangan, termasuk konsultan pajak. Artinya, tugas-tugas strategis seperti pembinaan, sertifikasi, hingga pengawasan etik konsultan pajak kini diemban oleh unit eselon II yang lebih kokoh secara kelembagaan.

Menariknya, meskipun terjadi peralihan struktur dan nomenklatur, sosok pemimpin tetap dipercayakan kepada orang yang sama. Dr. Erawati yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala PPPK, kini dilantik sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan. Hal ini menunjukkan kesinambungan kepemimpinan di tengah dinamika perubahan organisasi.

Perubahan ini juga diharapkan membawa semangat baru dalam membangun kredibilitas dan profesionalisme pelaku profesi keuangan, khususnya konsultan pajak, dalam ekosistem fiskal nasional.

Dengan rampungnya seluruh struktur DJSPSK, masyarakat kini menanti langkah-langkah strategis selanjutnya dari direktorat baru ini, termasuk sinergi dengan asosiasi profesi dan penegak hukum demi mewujudkan sektor keuangan yang sehat, kredibel, dan berintegritas. (bl)

Anggota Berperan Aktif Dalam Memilih Logo HUT ke-60

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengajak seluruh anggotanya untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan logo resmi perayaan tersebut. Voting terbuka hingga 17 Juni 2025 pukul 23.59 WIB dan dilakukan secara online melalui tautan resmi panitia.

Ketua Panitia HUT, Nuryadin Rahman, menyampaikan pentingnya partisipasi anggota dalam menentukan simbol visual yang akan merepresentasikan perjalanan panjang organisasi. “Partisipasi Bapak/Ibu sangat berarti bagi kesuksesan acara ini,” ujarnya dalam pengumuman resmi kepada seluruh anggota, Senin (16/6/2025).

Anggota diberi kesempatan untuk memilih hingga lima desain logo terbaik dari sejumlah karya yang telah dipilih. Setiap desain dapat dinilai dengan skala 1 sampai 5, di mana 1 berarti tidak menarik dan 5 berarti sangat menarik.

Namun, satu orang hanya dapat melakukan voting satu kali, dan jika memilih lebih dari lima desain, maka hanya lima pilihan pertama yang akan dihitung.

Lima desain dengan suara terbanyak akan masuk ke tahap penilaian akhir oleh dewan juri. Logo pemenang akan ditetapkan oleh juri secara final dan tidak dapat diganggu gugat.

Voting dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/VotingLogo_HUTIKPI60

IKPI berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota demi memilih logo terbaik yang akan menjadi wajah perayaan 60 tahun kontribusi organisasi di bidang perpajakan nasional. (bl)

IKPI Siap Sukseskan AOTCA International Conference 2025 di Nepal

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam AOTCA International Tax Conference 2025 yang akan diselenggarakan di Kathmandu, Nepal pada 18–21 November 2025. Konferensi internasional ini mengangkat tema “The Evolution of Taxation Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals.”

Pernyataan kesiapan tersebut disampaikan oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Tjhai Fung Njit.

Ia menegaskan bahwa IKPI akan mengambil peran aktif dalam konferensi, baik sebagai peserta maupun kontributor dalam berbagai forum diskusi dan sesi presentasi. Keterlibatan ini dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya meningkatkan kiprah organisasi di tingkat internasional.

“Partisipasi dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 merupakan wujud komitmen IKPI untuk tampil sebagai organisasi konsultan pajak yang adaptif terhadap perubahan global serta terbuka terhadap kolaborasi lintas negara,” ujar Tjhai Fung Njit.

Sebagai anggota aktif AOTCA, IKPI memandang konferensi ini sebagai ajang penting untuk:

  • Meningkatkan eksistensi IKPI di kancah internasional
  • Membangun jejaring global bagi para anggota
  • Mengadopsi praktik terbaik dalam tata kelola perpajakan
  • Mendorong transformasi IKPI menjadi organisasi konsultan pajak kelas dunia
  • Konferensi ini juga akan mengangkat isu-isu krusial seputar perpajakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terdapat lima topik utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu:

1. Sejarah Evolusi Sistem Perpajakan di Negara Berkembang, yang akan menyoroti transformasi hukum pajak dari masa ke masa, serta dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan pembentukan negara.

2. Tantangan Implementasi Kebijakan Pajak di Negara Berkembang, terkait isu-isu seperti penghindaran pajak, sektor informal yang besar, kapasitas administrasi yang terbatas, dan intervensi politik.

3. Peran dan Cakupan Konsultan Pajak dalam Kepatuhan Pajak Global, yang meliputi peran konsultan pajak dalam membantu pelaku bisnis memenuhi kewajiban lintas negara, seperti BEPS, CRS, dan FATCA, dll

4. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Administrasi Pajak, terkait penggunaan teknologi seperti e-filing, blockchain, dan analitik data dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem pajak.

5. Tanggung Jawab Etis dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Negara Berkembang, yang menggali tantangan etika, keseimbangan antara kepentingan klien dan tanggung jawab sosial, tax planning serta peran konsultan pajak dalam mendorong keadilan pajak.

IKPI mendorong seluruh anggotanya untuk ikut serta dalam konferensi ini sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas individu dan kolektif.

Menurut Tjhai Fung Njit, AOTCA 2025 tidak hanya menjadi ajang pembelajaran, tetapi juga panggung penting untuk menunjukkan kualitas profesional konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

“Kami ingin mendorong partisipasi aktif anggota dalam sesi-sesi yang bersifat substantif, sehingga mereka dapat membawa pulang pengetahuan baru, memperluas perspektif, dan menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, IKPI menilai forum internasional seperti AOTCA Conference memiliki dampak positif terhadap pembaruan wawasan dan praktik konsultan pajak nasional dalam menghadapi perubahan regulasi global yang semakin kompleks.

“Ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas perpajakan internasional, sekaligus mempertegas peran IKPI sebagai organisasi profesi yang mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya. (bl)

Apindo Soroti Kegentingan Fiskal, Tax Amnesty Diklaim Bisa Jadi Terobosan

IKPI, Jakarta: Ketua Komite Tetap Perpajakan Apindo, Ajib Hamdani, menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tekanan fiskal yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan rutin. Dalam diskusi panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” di Jakarta, Jumat (13/6), ia menyatakan perlunya langkah luar biasa seperti Tax Amnesty Jilid III sebagai solusi konkret.

Ajib menyoroti bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.180 triliun meningkat lebih dari 13% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Namun, capaian kuartal I baru menyentuh 14,7% dari target tahunan jauh di bawah ambang ideal 20%.

Jika tren ini terus berlanjut tanpa kebijakan strategis, Ajib memperkirakan potensi shortfall bisa mencapai Rp130 triliun di akhir tahun. “Kalau hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5,2% dan inflasi 2,5%, target itu sulit dicapai. Harus ada terobosan,” ujarnya.

Empat Tekanan Fiskal

Ajib memetakan empat tantangan utama yang membuat situasi fiskal semakin mendesak:

• Pertumbuhan ekonomi yang melambat (hanya 4,87% pada kuartal I-2025).

• Grey economy yang belum terjangkau sistem perpajakan, berpotensi hilangnya ratusan triliun rupiah.

• Beban utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada tahun ini.

• Implementasi sistem Cortex yang belum optimal, memicu gangguan cash flow pengusaha.

Ia juga menyinggung banyaknya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan yang membuat pelaku usaha berada dalam tekanan administrasi, di tengah sistem pelaporan pajak yang belum stabil.

Selain itu, dalam pandangan Ajib, Tax Amnesty Jilid III layak dipertimbangkan sebagai langkah strategis. Ia mengacu pada keberhasilan dua program sebelumnya yang berhasil menghimpun penerimaan total sekitar Rp184 triliun dan memperluas basis pajak nasional.

“Kalau dilakukan dengan tata kelola yang baik, tax amnesty bisa menjadi solusi yang adil dan inklusif, tanpa merugikan wajib pajak yang patuh,” tegasnya.

Ajib menekankan pentingnya mempercepat pembentukan otoritas penerimaan negara untuk menyatukan fungsi perpajakan dan bea cukai secara lebih efisien. Ia juga mendorong insentif fiskal bagi sektor-sektor strategis seperti properti, melalui skema REIT yang lebih fleksibel.

“Fungsi pajak bukan hanya mengejar target, tapi juga mengatur arah ekonomi. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan akan ikut naik,” ujarnya.(bl)

IKPI Ingatkan Tax Amnesty Jangan Jadi Agenda Politik, Perlu Jeda Waktu Ideal

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menggulirkan Tax Amnesty Jilid III menuai tanggapan serius dari kalangan profesional pajak. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, mengingatkan pentingnya mempertimbangkan waktu yang tepat sebelum kebijakan pengampunan pajak kembali diluncurkan.

Menurut Robert, keberhasilan program tax amnesty sangat dipengaruhi oleh jarak waktu antara satu program dengan program berikutnya. “Kalau waktunya terlalu dekat dengan amnesti sebelumnya, hasilnya cenderung tidak optimal. Tapi kalau diberi jeda 10 sampai 15 tahun, dampaknya bisa jauh lebih positif, baik dari sisi penerimaan maupun kepatuhan wajib pajak,” kata Robert di sela penyelenggaraan diskusi panel “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Ia mengacu pada pengalaman global dan literatur yang menunjukkan bahwa jarak waktu yang panjang memberi ruang bagi sistem perpajakan untuk berkembang dan membangun kepercayaan publik. Menurutnya, jika terlalu sering diberlakukan, tax amnesty justru berisiko menurunkan moral wajib pajak yang selama ini patuh.

“Jangan sampai wajib pajak yang sudah patuh merasa dikhianati karena pemerintah kembali memberi karpet merah bagi yang tidak patuh,” tegas Robert.

Selain aspek waktu, ia juga menekankan bahwa tujuan dari tax amnesty seharusnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, bukan sekadar menjadi proyek politik sesaat. “Kalau administrasi perpajakan kita sudah baik, data lengkap, dan sistem sudah terintegrasi, kenapa harus mengulang lagi? Jangan sampai ini hanya jadi produk politik atau pencitraan menjelang masa jabatan tertentu,” ujarnya.

Robert juga menyarankan agar rencana ini dikaji secara akademik dan menyeluruh, termasuk melihat tingkat kepatuhan saat ini dan efektivitas sistem pemungutan pajak yang sudah berjalan. Ia menilai, jika semua ekosistem perpajakan sudah tertata, maka urgensi tax amnesty perlu dipertanyakan.

“Kalau pun mau dilakukan, pastikan ini bukan karena alasan politik. Tapi karena memang sudah melalui analisis akademik yang matang, dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan kondisi wajib pajak yang benar-benar membutuhkan solusi,” tutupnya. (bl)

IKPI Tekankan Pentingnya Anggota Pahami Regulasi Terbaru

IKPI, Kota Tangerang: Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, menekankan pentingnya pemahaman anggota terhadap regulasi terbaru demi pelayanan profesional kepada klien serta menjaga integritas profesi konsultan pajak. Hal itu disampaikannya dalam acara Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar IKPI Cabang Kota Tangerang, Sabtu (14/6/2025).

Dalam sambutannya, Robert, yang mewakili Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan PPL yang mengangkat tema “Strategi Menghadapi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Sesuai PMK 15 Tahun 2025.”

“Atas nama Ketua Umum IKPI, Bapak Vaudy Starworld, saya menyampaikan salam hangat dan apresiasi kepada Pengurus Daerah Banten dan Cabang Kota Tangerang atas terselenggaranya kegiatan ini. Pengurus Pusat mendukung penuh kegiatan seperti ini di seluruh Indonesia,” ujar Robert.

Ia juga mengajak seluruh anggota untuk memanfaatkan kanal resmi IKPI sebagai wadah berbagi ilmu, termasuk menulis analisis terkait aturan perpajakan, bahkan cukup fokus pada satu pasal atau bab tertentu. “Tulisan-tulisan dari anggota adalah bentuk kontribusi intelektual untuk komunitas dan masyarakat luas,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menegaskan, menjelang HUT ke-60 IKPI, Robert juga mengimbau seluruh elemen organisasi turut menyukseskan perayaan tersebut sebagai momentum memperkuat kolaborasi dan eksistensi profesi konsultan pajak di Indonesia.

Diketahui, dalam seminar kali ini, anggota mendapatkan pembekalan mendalam terkait strategi menghadapi SP2DK secara efektif dan efisien agar tidak berlarut hingga tahap pemeriksaan formal. Selain itu, disoroti pula perbandingan ketentuan antara PMK 17/2013, PMK 18/2021, dan PMK 15/2025, khususnya menyangkut ruang lingkup pemeriksaan, standar, jangka waktu, hak dan kewajiban, serta ketentuan pelaksanaan dan pelaporan pemeriksaan.

“Saya berharap melalui PPL ini, seluruh anggota dapat memperkuat kompetensi dan meningkatkan kualitas layanan profesional kepada masyarakat, khususnya dalam menghadapi dinamika pemeriksaan pajak yang semakin kompleks,” kata Robert.

Acara ini menghadirkan narasumber utama Dr. Prianto Budi Saptono, pakar perpajakan yang dikenal luas karena kepakarannya dalam teori dan praktik pemeriksaan pajak. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Mantan Direktur di DJP Bongkar Fakta di Balik Tiga Kali Tax Amnesty

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Harry Gumelar, membongkar kisah dan dinamika pelaksanaan tiga gelombang tax amnesty yang pernah dijalankan Indonesia. Dalam paparannya, di acara diskusi panel IKPI bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan Jumat (13/6/2025).

Harry menyebut program pengampunan pajak pertama kali dicoba pada 2007 melalui kebijakan sunset policy, yang awalnya memang diniatkan sebagai tax amnesty. “2007 itu sebetulnya mau tax amnesty, tapi gagal di bagian penghapusan pidananya, akhirnya jadi sunset policy. Tapi justru itu yang paling sukses, karena tax ratio kita naik jadi 13,6%—tertinggi selama saya di DJP,” ungkapnya.

Harry yang terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan dan implementasi tax amnesty mengungkap bahwa tantangan terbesar DJP justru terletak pada kualitas dan pengelolaan data, bukan regulasi.

“Self-assessment enggak akan kuat kalau DJP enggak punya data dari pihak ketiga. Data kita banyak, tapi manajemennya lemah. Saya minta ke 78 instansi, hasilnya? Susah sekali. Data kendaraan bermotor aja kita cuma dapat sekali, itupun enggak jelas pemiliknya siapa,” ujarnya blak-blakan.

Menurutnya, jika pengelolaan data pajak berjalan baik, DJP seharusnya tidak perlu lagi mengandalkan tax amnesty sebagai instrumen penerimaan. Ia mencontohkan Australia yang cukup hanya dengan data properti, kendaraan, dan keuangan.

Lebih lanjut, Harry menyinggung dua program besar tax amnesty setelah itu: Tax Amnesty Jilid I (2016–2017) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Jilid II (2022). Ia mengkritisi bahwa pada jilid pertama, DJP gagal mencapai target penerimaan.

“Nilai harta yang diungkap Rp4.800 triliun, tapi uang tebusan cuma Rp114 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya cuma tercapai 69 persen. Padahal pidana dihapuskan,” jelasnya.

Sementara itu pada PPS, DJP menyatakan program itu bukan tax amnesty, tapi kenyataannya, kata Harry, fungsi utamanya tetap pengampunan. Bahkan, ia menyebut bahwa peserta PPS bisa “lolos” dari sanksi denda 200% jika mengungkap harta tersembunyi sebelum DJP mengetahuinya.

“Kalau DJP lebih tahu duluan, dendanya 200 persen. Tapi karena ada PPS, cukup bayar 18 persen. Itu artinya DJP kehilangan potensi penerimaan sampai 182 persen,” ujar Harry.

Yang lebih mengejutkan, Harry mengungkap mayoritas harta yang diungkap dalam PPS adalah uang tunai, mencapai Rp263 triliun. “Makanya jangan heran kalau kemarin ada mantan hakim punya Rp1 triliun di rumahnya,” sindirnya.

Di akhir paparannya, Harry mempertanyakan urgensi melanjutkan tax amnesty ke jilid III. Menurutnya, jika DJP belum mampu mengelola dan mengamankan data dengan baik, maka pengampunan pajak hanya akan jadi solusi jangka pendek yang berpotensi dimanfaatkan oleh para penghindar pajak.

“Kalau DJP mau adakan tax amnesty lagi, pastikan dulu datanya kuat, aman, dan DJP benar-benar lebih tahu duluan dari wajib pajak. Kalau enggak, jangan heran kalau ada lagi yang main ‘sandiwara PPS’,” pungkasnya. (bl)

id_ID