PPh Final 0,5% untuk Pengalihan Real Estat ke KIK-DIRE

IKPI, Jakarta: Pemerintah kembali mengatur perlakuan pajak yang lebih kompetitif bagi pelaku usaha properti dan investor institusi melalui skema investasi pasar modal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan real estat ke Special Purpose Company (SPC) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema Dana Investasi Real Estat (DIRE) dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari nilai bruto pengalihan.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 201 dan Pasal 202 PMK 81/2024, dan secara khusus menyasar transaksi pengalihan aset properti dalam kerangka KIK tertentu, yakni Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat (DIRE). Skema ini dapat melibatkan atau tidak melibatkan SPC sebagai entitas khusus dalam struktur kepemilikan aset.

Dalam Pasal 202 disebutkan bahwa tarif PPh final sebesar 0,5% dikenakan atas jumlah bruto nilai pengalihan real estat, yang meliputi:

• Seluruh jumlah sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK, jika tidak terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut; atau

• Seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh dalam hal terdapat hubungan istimewa antara Wajib Pajak dengan SPC atau KIK.

Penjelasan ini menandakan pentingnya perhatian terhadap aspek transfer pricing dan penilaian kewajaran harga pengalihan aset, terutama ketika pihak pengalihan dan pihak penerima berada dalam satu grup usaha atau memiliki keterkaitan kepemilikan.

Ketidaksesuaian dengan nilai pasar dapat memicu koreksi fiskus, sehingga konsultan pajak perlu memastikan dokumentasi dan pembuktian arm’s length principle (ALP) dilakukan secara tepat.

Kebijakan ini sekaligus membuka ruang perencanaan pajak yang sah (tax planning) bagi korporasi properti dan investor besar. Dengan tarif PPh final yang relatif rendah dibandingkan skema pengalihan biasa, pemanfaatan struktur KIK-DIRE menjadi lebih menarik, apalagi jika digabungkan dengan potensi yield dari pengelolaan portofolio aset properti dalam skema investasi kolektif.

Skema DIRE sebelumnya dianggap belum tumbuh optimal di Indonesia karena tantangan regulasi dan insentif fiskal yang belum cukup menarik. Dengan hadirnya PMK 81/2024 ini, arah kebijakan pemerintah tampaknya makin mendukung pertumbuhan Real Estate Investment Trusts (REITs) versi lokal, dengan penekanan pada transparansi, likuiditas aset, dan efisiensi perpajakan. (alf)

 

KPK Dorong Pendanaan Partai Politik Dibiayai APBN 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, menyampaikan bahwa lembaganya mengusulkan kebijakan alokasi anggaran negara bagi partai politik sebagai strategi jangka panjang untuk mencegah praktik korupsi di sektor politik dan ekonomi.

Menurut Fitroh, tingginya biaya kontestasi politik di berbagai level, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilu presiden, mendorong calon pejabat mencari sokongan dana dari pihak tertentu. Hal ini kerap menimbulkan konflik kepentingan usai mereka terpilih.

“Kebutuhan dana yang besar dalam proses pencalonan membuat mereka bergantung pada pemodal. Akibatnya, setelah menjabat, timbal balik dalam bentuk akses proyek atau kebijakan pun kerap terjadi,” ujarnya pada Jumat (16/5/2025).

Fenomena ini, lanjut Fitroh, menciptakan celah korupsi dalam belanja negara, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa, serta proyek-proyek infrastruktur di berbagai kementerian dan lembaga.

Dengan mendanai partai politik secara resmi melalui APBN, KPK berharap dapat memutus mata rantai ketergantungan politik terhadap modal swasta dan sekaligus memperkuat akuntabilitas fiskal nasional.

Usulan ini menjadi sorotan dalam konteks reformasi pendanaan politik dan penguatan tata kelola anggaran negara, yang selama ini kerap dikaitkan dengan lemahnya transparansi dalam proyek pemerintah. (alf)

 

RUU Pajak Remitansi AS Ancam Dana Kiriman Diaspora: India dan Indonesia Berpotensi Terdampak

IKPI, Jakarta: Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) baru di Amerika Serikat memicu kekhawatiran luas di kalangan komunitas imigran. Pasalnya, usulan legislatif yang diajukan oleh Komite Ways and Means di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS itu berencana mengenakan pajak sebesar 5 persen terhadap setiap pengiriman uang ke luar negeri yang dilakukan oleh non-warga negara AS.

RUU bertajuk The One Big Beautiful Bill ini menyisipkan ketentuan pajak tersebut di halaman ke-327 dari total 389 halaman dokumen. Pajak ini akan berlaku bagi pemegang visa kerja seperti H-1B, pemilik green card yang belum berstatus warga negara, serta individu lain yang mengirim dana ke luar AS, termasuk untuk keperluan keluarga atau pendidikan.

Mengutip laporan The Times of India, kebijakan ini diperkirakan akan memukul keras diaspora India, komunitas terbesar penerima remitansi dari AS. Data Bank Sentral India menunjukkan, remitansi dari AS ke India mencapai 32 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2023–2024. Jika pajak 5 persen diterapkan, potensi dana sebesar 1,6 miliar dolar AS bisa terkikis setiap tahunnya dari kantong para pengirim.

Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ada ambang batas minimum transaksi yang dibebaskan dari pungutan ini. Artinya, bahkan pengiriman uang dalam jumlah kecil pun akan ikut terpangkas pajak, kecuali pengirim telah berstatus sebagai verified US sender warga negara atau penduduk tetap AS yang telah terverifikasi.

Pemungutan pajak akan dilakukan langsung oleh penyedia jasa remitansi, seperti bank atau lembaga pengiriman uang. Namun, pengecualian hanya berlaku jika pengirim adalah warga negara AS dan penyedianya tergolong sebagai qualified remittance transfer provider.

Tak hanya India yang terdampak. Negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, juga berisiko terkena imbas. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, terdapat lebih dari 63 ribu Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di AS, sebagian besar bekerja di sektor energi, konstruksi, layanan perhotelan, serta pendidikan.

Dengan berlakunya aturan ini, uang kiriman ke tanah air dari diaspora Indonesia juga akan dikenai potongan 5 persen, kecuali pengirim telah resmi menjadi warga negara atau penduduk tetap AS.

RUU tersebut diperkirakan akan masuk tahap pemungutan suara di DPR AS pada akhir Mei 2025 dan berpotensi disahkan menjadi undang-undang paling lambat Juli. Para analis keuangan menyarankan agar imigran non-warga negara AS mempertimbangkan untuk mengirim dana dalam jumlah besar sebelum kebijakan baru ini berlaku.

Di tengah upaya berbagai negara mengandalkan remitansi sebagai sumber devisa penting, langkah AS ini dinilai dapat memperlambat aliran dana lintas negara dan menambah tekanan ekonomi bagi jutaan pekerja migran. Jika benar-benar diterapkan, dunia bisa menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap pengiriman uang internasional. (alf)

 

 

 

 

 

UMKM Beromzet Kecil di Malang Berpeluang Bebas Pajak, Ini Aturannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Malang tengah menyusun regulasi baru yang akan memberikan keringanan pajak bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya di sektor kuliner. Lewat revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023, pemerintah berencana membebaskan pajak bagi usaha yang beromzet di bawah Rp10 juta per bulan.

Draft revisi tersebut kini sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang. Jika disahkan, kebijakan ini akan mengubah ketentuan sebelumnya dalam Perda Nomor 8 Tahun 2019, yang menetapkan batasan omzet kena pajak mulai dari Rp5 juta per bulan.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto, menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mendukung pertumbuhan UMKM.

“Kami sedang melakukan verifikasi langsung ke lapangan guna memastikan data pelaku usaha kuliner yang penghasilannya di bawah Rp10 juta, agar mereka bisa dibebaskan dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu sektor makanan dan minuman (PBJT Mamin),” ujar Handi, dikutip, Sabtu (17/5/2025).

Namun, pengecualian pajak ini hanya berlaku bagi usaha yang belum mencapai omzet Rp10 juta per bulan. Sementara itu, bisnis makanan dan minuman yang sudah memiliki pendapatan di atas Rp10 juta dan menyediakan tempat duduk untuk pengunjung, akan tetap dikenakan pajak restoran sesuai ketentuan baru.

Langkah pendataan juga mencakup pelaku usaha kuliner malam hari, sebagai bagian dari evaluasi apakah usaha mereka termasuk dalam kategori objek pajak. Bapenda menegaskan bahwa isu mengenai rencana pemungutan pajak dari pedagang kecil tidak benar.

“Tidak ada niat menarik pajak dari usaha kecil. Justru, kami sedang menyusun regulasi agar mereka mendapatkan perlindungan,” tegas Handi.

Dengan regulasi ini, Pemkot Malang berharap UMKM dapat tumbuh lebih kuat tanpa terbebani pajak yang tidak proporsional terhadap skala usaha mereka. (alf)

 

 

 

 

Permohonan Pembetulan Pajak Bisa Langsung Ditolak Jika Tak Lengkap, PMK 118/2024 Tegaskan Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024 menetapkan ketentuan baru yang mempertegas tata cara pengajuan permohonan pembetulan dokumen perpajakan. Salah satu sorotan utama dalam peraturan ini adalah ketentuan pada Pasal 4, yang secara tegas menyatakan bahwa permohonan pembetulan yang tidak memenuhi syarat administratif tidak akan diproses lebih lanjut.

Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penelitian terhadap permohonan pembetulan yang diajukan oleh wajib pajak. Penelitian ini ditujukan untuk menilai apakah permohonan tersebut telah memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1), yang meliputi kelengkapan data, dokumen pendukung, serta kriteria administratif lainnya.

Apabila hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka sesuai ayat (2), permohonan pembetulan dinyatakan tidak dipertimbangkan. Dengan demikian, DJP tidak akan menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan atas permohonan tersebut.

Namun DJP tetap berkewajiban memberikan tanggapan resmi. Pada ayat (3) dijelaskan bahwa wajib pajak akan menerima surat pengembalian permohonan dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut.

Surat pengembalian ini menjadi bentuk resmi pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses karena tidak memenuhi ketentuan.

Menariknya, meskipun permohonan pertama tidak dipertimbangkan, aturan ini tetap membuka ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama, asalkan seluruh persyaratan telah dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1). Hal ini ditegaskan kembali dalam ayat (4).

Untuk menjamin keseragaman dan kepastian dalam proses administrasi, DJP juga menetapkan format surat pengembalian yang harus digunakan. Format tersebut telah dicantumkan dalam Lampiran Huruf A PMK 118 Tahun 2024, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan ini, sebagaimana disebutkan dalam ayat (5).

Dengan adanya ketentuan ini, pemerintah ingin mendorong kedisiplinan dalam administrasi perpajakan dan mengurangi permohonan yang tidak valid sejak awal. Wajib pajak diharapkan dapat lebih cermat dan teliti dalam menyiapkan dokumen serta memastikan bahwa setiap permohonan yang diajukan benar-benar sesuai dengan ketentuan formal yang berlaku. (alf)

Pegawai DJP Sulselbartra Dapat Pembekalan untuk Dorong Optimalisasi Penerimaan Pajak 2025

IKPI, Jakarta; Dalam rangka memperkuat strategi pencapaian target penerimaan pajak tahun 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara (Sulselbartra) menggelar kegiatan pembekalan pegawai yang menghadirkan dua tokoh nasional, yakni Menteri Hukum dan HAM periode 2004–2007 Prof. Hamid Awaludin dan Pangdam XIV/Hasanuddin Mayjen TNI Windiyatno.

Dalam paparannya, Sabtu (17/5), Prof. Hamid menyoroti tantangan krusial di bidang perpajakan, terutama menyangkut minimnya kesadaran masyarakat serta kerumitan birokrasi perpajakan. Ia mengajak jajaran DJP untuk mengubah pendekatan pelayanan agar lebih membangun kepercayaan publik.

“Kita perlu menggeser cara pandang masyarakat bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan kontribusi aktif untuk membangun negara. Pajak adalah tiket untuk menyuarakan aspirasi,” kata Hamid.

Ia mengangkat praktik negara-negara Skandinavia sebagai contoh. Meski tarif pajak tinggi, masyarakat tetap mendukung karena merasa pelayanan publik berjalan dengan baik. “Yang mereka lihat adalah transparansi dan hasil nyata dari uang yang mereka bayarkan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia mendorong DJP agar mengedepankan pendekatan humanis dalam melayani wajib pajak. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses restitusi bagi yang berhak, sebagai wujud pelayanan yang adil dan terpercaya.

Sementara itu, Mayjen TNI Windiyatno mengangkat pentingnya nilai-nilai kepemimpinan dalam mendukung kinerja organisasi. Menurutnya, pemimpin di instansi perpajakan harus hadir dan terlibat langsung dalam dinamika tim.

“Pemimpin sejati bukan yang hanya memberi perintah, tapi yang hadir bersama anak buahnya, memberi teladan dan solusi saat menghadapi tantangan,” ujar Windiyatno.

Ia juga menekankan integritas dan kerja sama sebagai fondasi tim yang tangguh. Menurutnya, budaya saling mendukung dan berbagi informasi harus terus dibangun agar tujuan organisasi tercapai secara kolektif.

Kepala Kanwil DJP Sulselbartra Heri Kuswanto menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya membangun sinergi lintas sektor dan memperkuat komitmen internal dalam mengelola penerimaan negara secara optimal.

“Dengan memadukan nilai-nilai disiplin, kepemimpinan yang adaptif, serta pelayanan yang mengedepankan kepercayaan publik, kami ingin memastikan bahwa setiap rupiah penerimaan tercatat dengan adil dan akuntabel,” ujar Heri.

Ia menegaskan, Kanwil DJP Sulselbartra berkomitmen menciptakan budaya kerja yang tangguh dan responsif, terutama dalam pengawasan dan penegakan hukum di bidang perpajakan. (alf)

 

 

 

Pemerintah Dorong Industri Ekspor Teknologi Tinggi Lewat Fasilitas Kawasan Berikat

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus memperkuat kebijakan strategis dalam mendorong pertumbuhan industri berorientasi ekspor melalui optimalisasi fasilitas kawasan berikat. Salah satu implementasi nyata dari kebijakan ini terlihat pada pengiriman perdana produk heat not burn oleh PT Genesis Technology Indonesia, yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Malang.

Pengiriman sebanyak 192 karton produk setengah jadi dengan berat total 1.265 kilogram ini bukan hanya sekadar aktivitas logistik industri, tetapi merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan prosedural yang dirancang pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri nasional di pasar global. Produk tersebut selanjutnya akan menjalani proses perakitan dan pengolahan akhir sebelum diekspor sebagai barang siap pakai.

Fasilitas kawasan berikat menjadi instrumen penting dalam kebijakan pemerintah untuk mendorong efisiensi industri dalam negeri. Melalui skema ini, perusahaan memperoleh manfaat seperti penangguhan bea masuk, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta kemudahan prosedur kepabeanan.

“Penguatan kebijakan kawasan berikat merupakan upaya pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain global dalam industri berteknologi tinggi,” ujar Bangun Permadi, Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai I Bea Cukai Malang, dalam keterangannya, Jumat (16/5/2025).

Pemerintah, lanjutnya, tidak hanya memberikan fasilitas, tetapi juga melakukan pendampingan aktif terhadap pelaku usaha agar insentif yang diberikan dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini sejalan dengan arahan nasional untuk mengakselerasi pertumbuhan industri manufaktur ekspor berbasis inovasi dan efisiensi produksi.

Regulasi yang mengatur pemberian fasilitas kawasan berikat tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.04/2021 serta Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor PER-9/BC/2021. Kedua regulasi ini menjadi payung hukum dalam pelaksanaan kebijakan yang mendukung integrasi industri, efisiensi logistik, dan peningkatan ekspor nasional.

Dengan pendekatan kebijakan yang terintegrasi, pemerintah berharap semakin banyak pelaku industri yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat sebagai bagian dari strategi bisnis ekspor jangka panjang. (alf)

DJP Genjot Rasio Pajak Lewat Tujuh Strategi Kunci: Fokus pada Kepatuhan Sukarela dan Reformasi Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah-langkah strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional yang sempat mengalami tren penurunan dalam lima tahun terakhir. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa lembaganya telah mengimplementasikan tujuh upaya komprehensif yang menyasar berbagai aspek sistem perpajakan.

“Upaya ini dirancang tidak hanya untuk memperbaiki rasio pajak, tapi juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih sehat dan berkeadilan,” kata Dwi, Sabtu (17/5/2025).

Langkah pertama adalah optimalisasi edukasi dan pelayanan, disertai pengawasan dan penegakan hukum. Menurut Dwi, peningkatan kesadaran pajak masyarakat menjadi pilar utama untuk mendorong voluntary compliance atau kepatuhan sukarela.

Langkah kedua, DJP memperkuat fungsi pengawasan melalui skema Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). “Kami menyesuaikan pendekatan pengawasan berdasarkan karakteristik Wajib Pajak, termasuk mereka yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif,” tutur Dwi. Keduanya kini diatur dalam SE-05/PJ/2025.

Ketiga, perluasan basis pajak terus dilakukan lewat intensifikasi dan ekstensifikasi, khususnya dengan menggali potensi sektor-sektor baru dan pelaku ekonomi digital.

Keempat, pemanfaatan teknologi menjadi andalan untuk mempermudah proses perpajakan serta meningkatkan akurasi data. DJP juga memperluas kolaborasi dengan instansi lain lewat program sinergi dan joint program lintas sektor.

Reformasi struktural juga tak luput dari perhatian. “Kelima, agenda Reformasi Perpajakan terus kami kawal, termasuk penyesuaian terhadap perkembangan kebijakan internasional,” tambah Dwi.

Insentif fiskal yang lebih selektif menjadi strategi keenam. DJP memastikan bahwa pemberian insentif perpajakan tetap sejalan dengan tujuan mendorong daya saing dan transformasi ekonomi.

Terakhir, DJP memperkuat kapabilitas organisasi dan SDM sebagai fondasi penting untuk menjawab tantangan global dan domestik.

Sebagai catatan, dalam rapat bersama Komisi XI DPR pada awal Mei lalu, anggota DPR Misbakhun menyoroti penurunan rasio pajak sejak 2020. Meskipun ekonomi tumbuh positif dari -2,97% pada 2020 menjadi 5,03% pada 2024, rasio pajak belum sepenuhnya mengimbangi, turun dari 10,41% (2022) menjadi 10,07% pada 2024. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

RUU Pajak Trump Ditolak Anggotanya Sendiri, Utang AS Terancam Membengkak

IKPI, Jakarta: Upaya Presiden Donald Trump untuk mendorong pemotongan pajak besar-besaran kembali terganjal, kali ini bukan oleh oposisi Demokrat, melainkan dari partainya sendiri. Dalam sebuah langkah mengejutkan, sekelompok anggota Partai Republik di Dewan Perwakilan Rakyat AS menolak rancangan undang-undang (RUU) pajak yang diajukan sang presiden, meski partai tersebut menguasai mayoritas di Kongres.

RUU yang diajukan Trump bertujuan memperpanjang pemotongan pajak yang pertama kali diberlakukan pada 2017, serta memperluas penghapusan pajak atas tip dan lembur, meningkatkan anggaran pertahanan, dan mendanai pengetatan perbatasan. Namun Komite Anggaran DPR, yang dikendalikan oleh Partai Republik, memblokir langkah tersebut dalam pemungutan suara pada Jumat waktu setempat.

Penolakan ini menjadi kekalahan politik langka bagi Trump. Melalui media sosial, ia sempat menyerukan agar anggota partainya “BERSATU mendukung” RUU tersebut dan menuding ada “PENCARI PANGGUNG” di tubuh GOP yang merusak solidaritas.

Lima dari 21 anggota Republik di komite tersebut memilih menolak, menuntut pemangkasan anggaran lebih dalam, termasuk pada program Medicaid untuk warga miskin dan penghapusan total insentif pajak energi hijau yang digagas Partai Demokrat.

Salah satu tokoh garis keras, Rep. Ralph Norman, membela keputusannya menolak RUU tersebut. “Kami tidak bisa terus menambah beban utang tanpa menyelesaikan akar masalahnya pengeluaran yang tak terkendali,” ujarnya dikutip dari Reuters, Sabtu (17/5/2025).

Kekhawatiran bukan hanya datang dari internal politik. Moody’s, satu-satunya lembaga pemeringkat besar yang masih mempertahankan rating AAA untuk AS, memperingatkan bahwa beban utang negara bisa melonjak ke 134% dari PDB pada 2035 jika tren fiskal saat ini terus berlanjut. Pada 2024, rasio tersebut masih 98%.

Analis independen menilai bahwa proposal Trump bisa menambah tekanan pada keuangan negara, yang kini telah menanggung utang lebih dari US$36,2 triliun.

Ketua Komite Anggaran, Jodey Arrington dari Texas, menyatakan akan mencoba kembali mengajukan RUU tersebut pada Minggu malam. Namun, dengan friksi yang semakin tajam di tubuh GOP, masa depan kebijakan fiskal andalan Trump kini tampak lebih tidak pasti dari sebelumnya. (alf)

 

Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat Strategi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Tren pelemahan kinerja perpajakan Indonesia kembali menjadi sorotan. Indikator tax buoyancy rasio yang menggambarkan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Data yang dihimpun memperlihatkan penurunan signifikan, dari posisi 1,94 pada 2021 menjadi hanya 0,71 pada tahun 2024. Bahkan, pada kuartal I tahun 2025, angkanya tercatat minus 3,71, mencerminkan bahwa setiap kenaikan 1% dalam PDB justru diikuti penurunan penerimaan pajak sebesar lebih dari tiga kali lipat.

Merespons kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan terus melakukan berbagai langkah untuk menjaga daya ungkit pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menekankan bahwa strategi perluasan basis pajak menjadi salah satu fokus utama.

“Kami terus mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, memanfaatkan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan, serta memperkuat kerja sama antarlembaga,” ujarnya, Jumat (16/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum perpajakan, reformasi struktural, dan harmonisasi kebijakan internasional menjadi bagian dari pendekatan komprehensif untuk meningkatkan rasio perpajakan.

Selain itu, pemberian insentif yang lebih tepat sasaran turut diupayakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mendorong pergeseran ekonomi ke arah bernilai tambah tinggi. “Penguatan kelembagaan dan SDM perpajakan juga kami dorong agar sejalan dengan dinamika ekonomi nasional,” kata Dwi.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebutkan bahwa tax buoyancy di bawah angka 1 menandakan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada PDB, yang berimbas pada menurunnya rasio pajak.

“Ketika nilai tax buoyancy di bawah satu, itu berarti efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan penerimaan negara menjadi lemah,” jelasnya. Ia menyoroti bahwa perlambatan ekonomi nasional menjadi faktor dominan yang menyebabkan turunnya daya dorong pajak terhadap PDB.

Sebagai contoh, ia merujuk pada kondisi 2024 ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yang menyebabkan tax buoyancy ikut terkoreksi dan rasio pajak merosot. “Jika ekonomi melambat, maka penambahan penerimaan pajak juga berkurang signifikan,” imbuhnya.

Menanggapi angka negatif pada kuartal I-2025, Fajry menilai hal itu belum bisa dijadikan indikator tahunan. Ia tetap optimistis akan terjadi perbaikan dalam sisa tahun berjalan, meskipun ia memperkirakan bahwa angka tax buoyancy sepanjang 2025 akan tetap berada di bawah satu.

Menurutnya, untuk memperbaiki kondisi ini, dibutuhkan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi yang langsung berdampak pada penerimaan pajak. Namun ia mengakui bahwa ruang fiskal yang terbatas membuat opsi kebijakan perlu diperluas.

“Dalam kondisi seperti ini, arah kebijakan moneter dan deregulasi menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan pemerintah,” pungkasnya. (alf)

 

id_ID