Aturan PPN Ditanggung Pemerintah untuk Pembelian Rumah hingga Rp 5 Miliar Sudah Terbit

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan aturan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pembelian rumah hingga Rp 5 miliar. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2025.

Berdasarkan aturan tersebut, insentif yang diberikan pemerintah dibatasi hingga Rp 2 miliar. Artinya, jika masyarakat membeli rumah dengan harga Rp 2 miliar atau kurang, maka PPN sepenuhnya (100%) akan ditanggung pemerintah. Namun, jika harga rumah melebihi Rp 2 miliar, misalnya Rp 5 miliar, maka insentif tetap diberikan untuk nilai maksimal Rp 2 miliar, sementara sisanya harus dibayar oleh pembeli.

Kebijakan ini berlaku dalam dua tahap. PPN DTP 100% akan berlaku mulai 1 Januari 2025 hingga 30 Juni 2025. Setelah periode tersebut, insentif dikurangi menjadi PPN DTP 50%.

Syarat dan Ketentuan

PMK Nomor 13 Tahun 2025 mengatur bahwa insentif ini hanya berlaku untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun dalam kondisi baru serta siap huni. Selain itu, setiap individu hanya bisa memanfaatkan fasilitas ini untuk pembelian satu unit rumah.

Sebagai informasi, pada Desember 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengumumkan bahwa kebijakan PPN DTP 100% akan dilanjutkan pada 2025 sebagai stimulus ekonomi. Kebijakan ini juga diambil sebagai langkah antisipatif menjelang kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.

“Pemerintah melanjutkan kembali PPN ditanggung pemerintah untuk properti sampai dengan Rp 5 miliar, dengan dasar pengenaan pajak Rp 2 miliar,” ujar Airlangga dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mendorong pertumbuhan sektor properti serta meningkatkan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi global. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 12/2025, Berikan Insentif Pajak Kendaraan Listrik

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 yang mengatur insentif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk pembelian kendaraan listrik.

Regulasi ini bertujuan untuk mendukung kebijakan kendaraan bermotor rendah emisi karbon dan memberikan dorongan bagi industri otomotif yang memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian nasional.

Dalam aturan ini, insentif PPN DTP diberikan untuk kendaraan listrik berbasis baterai (KBL) roda empat dan bus tertentu yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kriteria yang ditetapkan mencakup:

• Mobil dan bus listrik dengan TKDN minimal 40 persen mendapatkan insentif PPN DTP sebesar 10 persen dari harga jual.

• Bus listrik dengan TKDN 20–40 persen memperoleh insentif sebesar 5 persen dari harga jual.

Rincian kendaraan listrik yang berhak mendapatkan insentif akan ditentukan oleh Menteri Perindustrian.

Insentif PPnBM untuk Kendaraan Hibrida

Selain insentif untuk kendaraan listrik murni, pemerintah juga memberikan keringanan pajak untuk kendaraan berteknologi Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), termasuk mobil hibrida seperti Full Hybrid, Mild Hybrid, dan Plug-in Hybrid.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 yang telah diubah dengan PP Nomor 74 Tahun 2021, kendaraan hibrida yang memenuhi syarat akan mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen dari harga jual.

Persyaratan dan Periode Berlaku

Untuk memperoleh insentif ini, produsen kendaraan harus memiliki surat penetapan kendaraan rendah emisi karbon dari Kementerian Perindustrian. Daftar kendaraan yang memenuhi syarat akan disampaikan kepada Kementerian Keuangan sebagai dasar penerapan insentif.

Kebijakan ini berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025, dengan pemenuhan persyaratan dibuktikan melalui tanggal faktur pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Dengan diterbitkannya PMK 12/2025, diharapkan industri kendaraan listrik dan hibrida di Indonesia semakin berkembang serta mendorong percepatan transisi menuju mobilitas yang lebih ramah lingkungan. (alf)

Pekerja Bergaji di Bawah Rp 10 Juta Dibebaskan PPh 21, Ini Kriterianya

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan aturan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi pekerja di sektor padat karya dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan. Insentif ini berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah. Insentif tersebut merupakan bagian dari paket stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah guna menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional.

“Untuk menjaga keberlangsungan daya beli masyarakat dan menjalankan fungsi stabilisasi ekonomi dan sosial, telah ditetapkan paket stimulus ekonomi sebagai upaya pemerintah dalam menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat, antara lain dengan pemberian fasilitas fiskal berupa pajak ditanggung pemerintah,” demikian isi pertimbangan dalam aturan tersebut.

Sektor dan Pekerja yang Berhak Menerima Insentif

Berdasarkan Pasal 3 PMK 10/2025, insentif pajak ini diberikan kepada pekerja di sektor industri padat karya, termasuk:

• Industri alas kaki

• Industri tekstil dan pakaian jadi

• Industri furnitur

• Industri kulit dan barang dari kulit

Selain itu, perusahaan tempat mereka bekerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha yang tercantum dalam basis data administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.

Kriteria Pegawai yang Berhak

Berdasarkan aturan tersebut, insentif ini diberikan kepada pegawai tetap dan pegawai tidak tetap dengan kriteria tertentu.

A. Pegawai Tetap

• Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang telah terintegrasi dengan sistem administrasi perpajakan.

• Menerima gaji tidak lebih dari Rp 10 juta per bulan.

• Tidak menerima insentif PPh 21 lainnya dari pemerintah.

B. Pegawai Tidak Tetap

• Memiliki NPWP dan/atau NIK yang telah terintegrasi dengan sistem perpajakan.

• Menerima upah harian tidak lebih dari Rp 500.000 atau gaji bulanan maksimal Rp 10 juta.

• Tidak menerima insentif PPh 21 lainnya dari pemerintah.

Dampak Kebijakan

Pembebasan PPh 21 ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat, terutama pekerja di sektor padat karya yang terdampak kondisi ekonomi global. Selain itu, insentif ini juga bertujuan untuk memberikan kelonggaran bagi perusahaan dalam menjaga keberlanjutan bisnis mereka.

Dengan adanya kebijakan ini, pekerja yang memenuhi syarat akan menerima gaji secara penuh tanpa adanya pemotongan pajak penghasilan, sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka sepanjang tahun 2025. (alf)

Tingkatkan Kesadaran Pajak Kendaraan di Jawa Barat

IKPI, Jakarta: Sekitar 5 juta kendaraan di Jawa Barat terdata belum membayar pajak, sehingga memicu upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban pajak kendaraan. Sebagai langkah konkret, digelar operasi gabungan (Opsgab) yang menyasar kendaraan dengan status menunggak pajak.

Wilayah Bandung Raya menjadi sasaran pertama operasi ini, dengan Kabupaten Bandung sebagai lokasi utama yang dipilih. Operasi ini merupakan tindak lanjut dari pembahasan bersama tim Pembina Samsat untuk menurunkan angka kendaraan yang belum melakukan pembayaran pajak, serta mendorong masyarakat lebih memahami pentingnya kewajiban ini.

Opsgab pertama dilaksanakan di Jalan Terusan Kopo Katapang, Kabupaten Bandung. Sejumlah instansi terlibat dalam operasi ini, seperti Pusat Pengelolaan Pendapatan Daerah Wilayah (P3DW) Kabupaten Bandung II Soreang, Satlantas Polresta Bandung, Subdenpom III/5-1, serta PT. Jasa Raharja. Dalam operasi ini, 254 kendaraan terjaring, terdiri dari 156 motor dan 98 mobil. Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah kendaraan yang masih menunggak pajak.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat, Dedi Taufik, menjelaskan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menambah penerimaan pajak daerah sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kewajiban pembayaran pajak dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ). “Para pemilik kendaraan yang terjaring diberikan sosialisasi secara humanis. Beberapa dari mereka bahkan langsung membayar di tempat, karena kami sediakan layanan pembayaran,” kata Dedi.

Dedi juga menyebutkan bahwa Kabupaten Bandung menjadi salah satu wilayah dengan angka kendaraan yang menunggak cukup tinggi. Dari total 608.376 unit kendaraan di wilayah P3DW Kabupaten Bandung II Soreang, tercatat sebanyak 79.271 unit kendaraan masuk kategori Kendaraan Belum Melakukan Daftar Ulang (KBMDU) dan 138.113 unit lainnya masuk dalam kategori Kendaraan Tidak Melakukan Daftar Ulang (KTMDU).

“Upaya ini akan dilakukan secara bertahap dan simultan di berbagai wilayah. Misi besarnya adalah menekan angka kendaraan yang menunggak dan meningkatkan penerimaan pajak daerah, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor,” ungkap Dedi.

Sebagai kelanjutan dari operasi ini, opsgab akan dilaksanakan di Kota Cimahi untuk terus mendekatkan layanan kepada masyarakat dan memudahkan mereka dalam memenuhi kewajiban pajak.

Dedi menambahkan, pengelolaan pendapatan daerah sangat vital, karena pajak yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan daerah. “Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pajak kendaraan bermotor ini akan kembali untuk kesejahteraan bersama melalui program-program pembangunan,” pungkasnya. (alf)

Pelaporan SPT Tahunan Pajak 2025: Inovasi Coretax Permudah Pembuatan Bukti Potong

IKPI, Jakarta: Memasuki awal tahun 2025, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak kembali digelar. Bagi wajib pajak orang pribadi, batas waktu pelaporan SPT Tahunan adalah 31 Maret, sementara untuk badan usaha, jatuh pada 30 April.

Sebagai bagian dari proses pelaporan SPT, bukti potong pajak menjadi dokumen yang wajib dilampirkan. Untuk mempermudah wajib pajak dalam membuat bukti potong, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kini mengimplementasikan sistem administrasi pajak berbasis teknologi, yaitu Coretax. Dengan sistem ini, pembuatan bukti potong kini dapat dilakukan secara lebih efisien melalui platform digital tersebut.

Menurut Pembaruan Informasi Terkini dari DJP, yang tertuang dalam Surat Edaran KT-05/2025 tanggal 4 Februari 2025, terdapat tiga skema pembuatan bukti potong yang dapat dipilih oleh wajib pajak. Skema pertama adalah input manual atau *key in* untuk setiap bukti potong di dalam aplikasi Coretax. Skema kedua, bagi wajib pajak dengan jumlah penghasilan besar, adalah dengan mengunggah file *.XML pada akun wajib pajak pemberi penghasilan. Skema ketiga adalah melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).

Namun, DJP mengingatkan bahwa jika Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima penghasilan belum terdaftar dalam sistem Coretax, pembuatan bukti potong tetap dapat dilakukan menggunakan NIK tersebut. Sistem akan menggunakan NPWP sementara (temporary TIN) untuk proses tersebut. Namun, perlu diingat bahwa bukti potong yang dibuat menggunakan NPWP sementara tidak akan terkirim ke akun penerima penghasilan, sehingga tidak akan terisi otomatis (prepopulated) pada SPT Tahunan penerima penghasilan.

Oleh karena itu, DJP mengimbau kepada penerima penghasilan untuk segera mengaktifkan akun mereka di sistem Coretax agar bukti potong dapat langsung terintegrasi dalam pelaporan SPT Tahunan mereka.

Dengan implementasi Coretax, diharapkan proses pelaporan SPT menjadi lebih efisien dan transparan, memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.(alf)

DJP Imbau Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun di Coretax 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengingatkan para wajib pajak untuk segera mengaktivasi akun mereka di aplikasi Coretax DJP guna memastikan kelancaran dalam pelaporan pajak dan mempermudah proses administrasi perpajakan.

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, menjelaskan bahwa aktivasi akun di Coretax sangat penting agar bukti potong (bupot) pajak penghasilan (PPh) dapat otomatis terisi (prepopulated) dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan penerima penghasilan. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kesalahan atau keterlambatan dalam pelaporan pajak.

Jika Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima penghasilan belum terdaftar dalam sistem Coretax DJP, pembuatan bupot tetap bisa dilakukan dengan menggunakan NIK tersebut. Namun, untuk proses tersebut, sistem akan menghasilkan NPWP sementara (temporary TIN). Meskipun demikian, bupot yang dibuat dengan NPWP sementara ini tidak akan terkirim ke akun wajib pajak penerima penghasilan dan tidak akan otomatis terisi dalam SPT Tahunan.

Dwi mengimbau kepada penerima penghasilan untuk segera mengaktivasi akun di Coretax DJP agar bukti potong bisa ter-prepopulated pada SPT Tahunan mereka, sehingga pelaporan pajak berjalan lebih efisien.

Terkait dengan pembuatan bupot PPh di aplikasi Coretax DJP, Dwi memaparkan tiga skema yang dapat digunakan:

  1. Input manual (key in) untuk setiap bukti potong di Coretax DJP.
  2. Mengunggah file XML bagi wajib pajak dengan jumlah besar (massal).
  3. Melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).

Hingga 3 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, tercatat bahwa total bukti potong PPh yang diterbitkan untuk masa Januari 2025 mencapai 1.259.578 dokumen. Dari jumlah tersebut, 263.871 bukti potong berasal dari wajib pajak instansi pemerintah, yang terdiri dari:

  • 199.177 bukti potong PPh 21 untuk karyawan tetap,
  • 46.936 bukti potong PPh 21 untuk karyawan tidak tetap,
  • 17.758 bukti potong PPh unifikasi.

Sementara itu, wajib pajak pemotong PPh non-instansi pemerintah menerbitkan 995.707 bukti potong, yang rinciannya meliputi:

  • 528.976 bukti potong PPh 21 untuk karyawan tetap,
  • 99.559 bukti potong PPh 21 untuk karyawan tidak tetap,
  • 415 bukti potong PPh 26,
  • 366.757 bukti potong PPh unifikasi.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk memanfaatkan aplikasi Coretax DJP guna memperlancar proses pelaporan pajak dan administrasi perpajakan secara keseluruhan. (alf)

Komisi Eropa Berencana Bebaskan 80 Persen Perusahaan dari Pajak Karbon Perbatasan

IKPI, Jakarta: Komisi Eropa mengusulkan pembebasan sekitar 80 persen perusahaan dari pajak karbon perbatasan atau Carbon Border Tariff (CBT). Kebijakan ini dirancang untuk memastikan bahwa produk impor seperti semen dan baja tidak merugikan upaya pengurangan emisi negara-negara anggota Uni Eropa.

Uni Eropa berencana menerapkan CBT mulai 2026 sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi dan transisi ke ekonomi hijau. Namun, dalam pertemuan dengan komite Parlemen Eropa, Komisaris Iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, mengungkapkan bahwa analisis menunjukkan 97 persen emisi yang dikenakan pajak dalam skema CBT berasal dari hanya 20 persen perusahaan.

“Jadi, bukankah lebih baik untuk membebaskan sekitar 80 persennya itu dari beban kerja administratif? Menurut saya, itu akan baik,” ujar Hoekstra dalam rapat pada Kamis (6/2/2025), dikutip dari Reuters.

Ia menekankan bahwa perusahaan yang tidak berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon sebaiknya difokuskan pada bisnis inti mereka tanpa beban administratif yang berlebihan. Langkah ini sejalan dengan upaya Uni Eropa untuk menyederhanakan regulasi keuangan berkelanjutan.

Sebelumnya, para ahli keuangan Uni Eropa mengusulkan perubahan dalam aturan klasifikasi aktivitas keberlanjutan guna mengurangi beban pelaporan perusahaan hingga sepertiga.

Uni Eropa juga menghadapi tekanan dari negara-negara anggotanya, seperti Prancis, yang mendorong penyederhanaan aturan bisnis.

Selain itu, kebijakan deregulasi yang diusulkan Presiden AS, Donald Trump, menimbulkan kekhawatiran terkait daya saing Uni Eropa di pasar global.

Dengan langkah ini, Uni Eropa berharap dapat meningkatkan investasi hijau serta memastikan regulasi lingkungan yang lebih efektif tanpa membebani sektor industri secara berlebihan. (alf)

Realisasi PKM DJP Jakarta Khusus Capai Rp1,3 Triliun

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus berhasil mencapai realisasi Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) Penagihan sebesar Rp1,3 triliun pada tahun 2024, atau melebihi target dengan persentase 100,96%. Selain itu, realisasi lelang mencapai Rp1,2 miliar. Hal ini disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, Irawan, dalam acara penandatanganan Kesepakatan Bersama terkait Kegiatan Lelang Eksekusi Pajak Serentak antara Kantor Wilayah DJP se-Jakarta Raya dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta Kamis, (6/2/ 2024) di Aula Cakti Buddhi Bhakti Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan.

Irawan menjelaskan bahwa kesepakatan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dengan memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian tunggakan pajak melalui mekanisme lelang. “Kesepakatan ini akan mengurangi potensi penunggakan pajak di masa mendatang dan meningkatkan peluang aset terjual dengan banyaknya peserta yang berpartisipasi,” ujarnya.

Direktur Penegakan Hukum DJP, Eka Sila Kusna Jaya, menambahkan bahwa Kantor Wilayah DJP berperan aktif dalam optimalisasi penerimaan negara dengan memantau perkembangan Wajib Pajak yang memiliki tanda-tanda pailit serta melakukan pendampingan dalam pengajuan renvoi. “Kami terus berupaya memastikan bahwa setiap aset yang disita dapat dikelola secara optimal untuk mendukung penerimaan negara,” jelasnya.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Dr. Rudi Margono, S.H., M.Hum., memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas penagihan pajak. Ia menekankan pentingnya kerja sama dengan Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) di Kejaksaan Negeri serta pemahaman terhadap batasan penanganan penagihan yang terindikasi tindak pidana perpajakan.

Kesepakatan ini disambut positif oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Kepala Kantor Wilayah DJKN DKI Jakarta Arif Bintarto Yuwono, menyampaikan apresiasi atas sinergi yang terjalin antara Kantor Wilayah DJP se-Jakarta Raya dan DJKN. “Kami berharap kerja sama ini dapat terus ditingkatkan untuk mendukung optimalisasi penerimaan negara,” ucapnya.

Dalam paparannya, Arif juga mengumumkan rencana pelaksanaan Lelang Eksekusi Pajak Serentak pada Mei dan November 2025. “Kami meminta seluruh Kantor Wilayah DJP se-Jakarta Raya mempersiapkan kegiatan ini dengan baik, mulai dari administrasi, publikasi, sosialisasi, hingga identifikasi dan penilaian aset yang akan dilelang. Hal ini penting agar proses eksekusi pajak berjalan efektif dan penerimaan negara dapat dioptimalkan,” tuturnya.

Acara penandatanganan kesepakatan ini dihadiri oleh seluruh Kepala Kantor Wilayah DJP di DKI Jakarta, serta sejumlah pejabat tinggi lainnya, termasuk Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Dr. Rudi Margono. Kesepakatan ini diharapkan dapat menjadi langkah strategis dalam meningkatkan koordinasi dan efektivitas lelang barang sitaan secara serentak. (alf)

Bea Cukai Fasilitasi Impor Peralatan Konser Maroon 5 dengan Skema ATA Carnet

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memberikan kemudahan impor barang peralatan konser bagi grup band internasional Maroon 5 melalui skema ATA Carnet. Grup band asal Los Angeles, Amerika Serikat, ini baru saja menggelar konser spektakuler di Jakarta International Stadium (JIS) pada 1 Februari 2025.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo, menjelaskan bahwa ATA Carnet merupakan dokumen kepabeanan internasional yang memungkinkan impor dan ekspor barang sementara tanpa dikenakan bea masuk dan pajak impor. Fasilitas ini khusus diberikan untuk kegiatan tertentu, termasuk konser musik internasional.

“Fasilitas ini memungkinkan peralatan konser yang dibawa dari luar negeri dapat masuk dan keluar Indonesia secara lebih efisien,” ujar Budi dalam keterangan tertulis, Kamis (6/2/2025).

ATA Carnet telah diakui di 78 negara di seluruh dunia dan banyak dimanfaatkan dalam berbagai sektor, seperti pameran, produksi film, arsitektur, olahraga, seni pertunjukan, serta tur grup musik internasional. Dalam kasus konser Maroon 5, Bea Cukai tetap melakukan pemeriksaan fisik terhadap peralatan yang dibawa. Proses ini dilakukan oleh Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Soekarno-Hatta untuk memastikan kesesuaian dan keberadaan fisik barang, serta memastikan barang tersebut akan dikeluarkan kembali setelah acara selesai.

Pemanfaatan ATA Carnet ini menjadi bukti dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan event internasional di Indonesia. Dengan mekanisme ini, kelancaran logistik acara dapat lebih terjamin, sekaligus memudahkan penyelenggara untuk mengimpor peralatan tanpa beban biaya tambahan.

“Tentunya hal ini sangat mendukung pertumbuhan sektor kreatif serta mendorong perekonomian lokal melalui peningkatan kunjungan wisata,” ujar Budi.

Keberhasilan fasilitasi impor peralatan konser Maroon 5 diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku industri terhadap manfaat ATA Carnet. Mekanisme ini tidak hanya mempermudah proses bagi penyelenggara acara, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai destinasi utama untuk berbagai kegiatan internasional.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai ATA Carnet, masyarakat dapat mengunjungi laman resmi Bea Cukai melalui tautan berikut [https://www.beacukai.go.id/faq/ketentuan-ata-carnet.html](https://www.beacukai.go.id/faq/ketentuan-ata-carnet.html).

Dengan dukungan ini, Indonesia semakin menunjukkan komitmennya dalam menarik minat penyelenggara acara internasional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif dan pariwisata di tanah air. (alf)

Peringatan Keras! Pemkot Depok Pasang 15 Plang Penunggak PBB-P2

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, telah memasang 15 plang sebagai bentuk peringatan keras bagi wajib pajak yang menunggak pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pemasangan plang ini bertujuan agar para penunggak pajak segera menuntaskan kewajiban mereka, terutama bagi yang sudah lebih dari dua tahun belum membayar pajak.

Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Depok, Wahid Suryono, menjelaskan bahwa pemasangan plang dilakukan sebagai upaya agar para pelaku usaha dan wajib pajak segera memenuhi kewajiban perpajakannya. “Tugas kami memastikan pelaku usaha menunaikan kewajiban dalam membayar pajak. Sebagai bentuk peringatan keras, kami pasang plang penanda terhadap WP yang masih menunggak,” ujarnya, Kamis (6/2/2025).

Wahid mengungkapkan, dari 15 wajib pajak yang menunggak, terdapat potensi penerimaan pajak mencapai belasan miliar rupiah. Potensi ini bisa menjadi tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika para wajib pajak segera menyelesaikan kewajibannya. “Nilai pokok piutang rata-rata di atas Rp120 juta, ini belum dihitung denda. Jadi memang potensi penerimaannya cukup besar,” kata Wahid.

Sebelum memasang plang, BKD Kota Depok telah menempuh berbagai langkah, seperti menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) untuk mengingatkan wajib pajak. Jika tetap tidak dibayar, surat penagihan kemudian diterbitkan. “Jika WP tidak merespons setelah beberapa kali surat penagihan itu diterbitkan, kami akan segera melaporkan ke Kejaksaan Negeri Kota Depok, agar ada proses pemanggilan,” ungkap Wahid.

Meskipun beberapa wajib pajak telah ditemukan menunggak, Wahid memastikan bahwa hingga saat ini, tindakan yang diambil oleh BKD belum sampai pada tahap penyitaan. “Kami belum sampai pada tahap penyitaan. Karena beberapa WP juga sudah mencicil pembayaran pajak,” ujarnya.

Dengan langkah tegas ini, Pemerintah Kota Depok berharap dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB-P2, yang pada gilirannya dapat memperkuat pendapatan daerah.(bl)

id_ID