Mantan Staf Khusus Menkeu Jelaskan Potensi Skema Multitarif PPN dan Tantangan Implementasinya

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, mengungkapkan bahwa ide penerapan skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebenarnya telah dipertimbangkan sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sabtu (14/12 2024,) Prastowo menjelaskan bahwa konsep multitarif PPN, yang meniru sistem negara-negara maju dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adil.

Prastowo menjelaskan, ide ini muncul dalam upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Sebagai contoh, pembebasan PPN pada sektor kesehatan dianggap tidak sepenuhnya adil, mengingat banyak warga miskin yang berobat di fasilitas kesehatan dasar seperti Puskesmas, sementara warga kaya juga bisa memanfaatkan fasilitas tersebut untuk prosedur estetika seperti operasi plastik.

“Rela nggak, yang makan daging wagyu satu porsi Rp5 juta, dengan yang makan sate madura satu porsi Rp10.000, sama-sama nggak bayar pajak. Nggak rela kan? Maka dari itu, beras premium dan daging premium sebenarnya bisa dikenai PPN,” ujarnya.

Namun, Prastowo mengingatkan bahwa meskipun konsep ini sudah ada dalam rencana awal UU HPP, beberapa pakar berpendapat bahwa penerapan PPN multitarif seharusnya dilakukan secara bertahap, dengan administrasi yang lebih matang. Ia menyoroti ketidaksiapan hukum saat ini, mengingat penerapan PPN multitarif belum dijadikan dasar hukum yang jelas dalam perancangan UU HPP.

“Keputusannya waktu itu tidak perlu. Nah, kejadian sekarang. Giliran ada ribut-ribut 12%, mau nyantolin barang mewah di mana, nggak ada pasalnya,” ujar Prastowo.

Menurutnya, penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% dengan hanya mencakup barang mewah diperkirakan tidak akan signifikan, hanya sekitar Rp2 triliun.

Lebih lanjut, Prastowo menekankan bahwa meskipun UU HPP memiliki banyak keputusan positif, seperti pajak karbon dan pajak penghasilan untuk orang kaya, ketidaktegasan soal penerapan PPN multitarif menjadi salah satu kekurangan dalam perancangannya. Ia menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada kebijakan seperti PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) pada beberapa objek tertentu untuk membantu mengurangi beban masyarakat.

Prastowo juga menyampaikan bahwa perancangan UU HPP memberikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan, terutama dalam merumuskan proyeksi yang lebih realistis. Menurutnya, penerapan kebijakan kenaikan PPN yang begitu mendadak pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19 dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. (alf)

Perpanjangan PPh 0,5% untuk UMKM dan Kenaikan PPN Diumumkan Senin 16 Desember 2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan mengumumkan kebijakan baru yang berdampak pada sektor ekonomi, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pada Senin, (16 /12/2024) akan diumumkan perpanjangan periode pemanfaatan Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi UMKM.

Kebijakan ini akan diumumkan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pukul 10.00 WIB.

“Ya, ada pembahasan soal PPh 0,5%. Senin juga (akan diumumkan),” ujar Airlangga kepada media usai rapat terbatas dengan Menteri UMKM Maman Abdurrahman pada Jumat (13/12/2024).

Selain itu, Airlangga juga mengonfirmasi bahwa dalam pengumuman yang sama, pemerintah akan mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini, menurut Airlangga, merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi yang mencakup beberapa insentif dan kegiatan non-perpajakan.

Sebelumnya, Kementerian UMKM telah mengusulkan perpanjangan tarif PPh 0,5% untuk pelaku usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar. Kebijakan ini dianggap penting untuk meringankan beban pajak bagi UMKM yang masih dalam kategori usaha kecil dan mikro.

Saat ini, peraturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berdiskusi intens dengan Kementerian Keuangan untuk memperpanjang insentif pajak tersebut.

Setelah masa berlaku tarif PPh Final 0,5% berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat beralih ke Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Sementara itu, UMKM dengan omzet lebih dari Rp4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Perpanjangan kebijakan PPh 0,5% diharapkan dapat memberikan dorongan bagi UMKM untuk tetap berkembang di tengah tantangan ekonomi. Pemerintah juga memastikan bahwa perubahan terkait PPN dan kebijakan pajak lainnya akan diperkenalkan dalam paket kebijakan ekonomi yang lebih luas. (alf)

Perkuat Reformasi Perpajakan Disebut Kunci Tingkatkan Rasio Pajak RI

IKPI, Jakarta: Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengoptimalkan pendapatan negara, dengan rasio pajak yang masih rendah di angka 10%, tentu pemerintah harus bekerja keras merumuskan berbagai kebijakan guna mendongkrak rasio pajak.

Pasalnya, rasio pajak Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Kamboja yang mencatatkan rasio pajak sebesar 16,4% dan Thailand yang mencapai 14,3%.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Budi Mulya, menyoroti masalah ketimpangan ini. Dalam Seminar KAFEGAMA yang mengusung tema “Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju” pada Sabtu (14/12/2024), Budi mengungkapkan rendahnya rasio pajak ini menjadi penghambat utama dalam meningkatkan kemampuan negara untuk meningkatkan pengeluaran produktif yang diperlukan untuk mendanai berbagai program strategis di sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Menurut Budi, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, rasio pajak Indonesia harus ditingkatkan secara bertahap. Salah satu langkah yang dianggap krusial adalah memperkuat reformasi perpajakan, mulai dari perbaikan sistem administrasi pajak hingga meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan masyarakat dan dunia usaha.

“Penting bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan kita, baik dari sisi administrasi maupun kepatuhan. Semua pihak harus berkontribusi secara adil dan proporsional untuk pembangunan negara,” ujar Budi.

Selain itu, Budi juga menyoroti rendahnya rasio belanja pemerintah Indonesia yang saat ini masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Meski begitu, ia menegaskan bahwa yang lebih penting bukan hanya besarnya belanja pemerintah, melainkan juga kualitas belanja tersebut, untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dari program-program yang dijalankan.

Ia berharap dengan reformasi perpajakan yang lebih baik dan peningkatan kapasitas belanja negara, Indonesia dapat mencapai rasio pajak yang lebih tinggi. Hal ini diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat memperbaiki kinerja ekonomi secara keseluruhan dan mengurangi ketergantungan pada utang, serta memperkuat fondasi fiskal negara untuk menghadapi tantangan global. (alf)

Hanif Dhakiri: Kenaikan PPN Harus Memperhatikan Kemampuan Rakyat 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi XI DPR Hanif Dhakiri, mengungkapkan pandangannya mengenai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Menurut Hanif, penerapan kebijakan tersebut tidak bisa dipukul rata untuk seluruh masyarakat Indonesia, melainkan harus memperhitungkan kemampuan rakyat dalam membayar pajak.

“Dari sudut pandang saya, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi penerimaan negara saja, tapi yang lebih penting adalah kemampuan rakyat untuk membayar pajak,” ujar Hanif di Jakarta, Sabtu (14/15/2024).

Hanif menegaskan, meskipun ia sepakat dengan pentingnya pajak yang lebih tinggi, hal tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. “Pajak tinggi, setuju nggak? Setuju, selama masyarakat punya kemampuan untuk membayar. Kalau tidak, malah akan muncul ketidakstabilan sosial. Bukannya penerimaan negara naik, negara malah ribut,” ujarnya.

Menurutnya, penerapan PPN 12% yang tidak memperhatikan daya beli masyarakat bisa berisiko meningkatkan ketidakstabilan sosial. Dia menekankan pentingnya melakukan analisis mendalam sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan agar tidak justru menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Hanif juga menyoroti fakta bahwa daya beli masyarakat saat ini menurun, sementara pendapatan mereka stagnan atau bahkan menurun. “Daya beli masyarakat kita memang menurun, harga cenderung naik, sementara penghasilan stagnan atau cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun,” katanya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa penerapan PPN 12% dapat meningkatkan pendapatan negara hingga mencapai Rp 80 triliun. Namun, dia menilai lebih penting untuk memperhatikan aspek kemampuan masyarakat agar penerapan kebijakan ini tidak menambah beban ekonomi yang terlalu berat bagi rakyat. (alf)

Kementerian Koperasi Dukung Industri Tekstil dan Batik, Usulkan Perlindungan Hukum

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Koperasi dan UKM, Ferry Juliantono, menegaskan dukungannya terhadap industri tekstil Indonesia, terutama sektor batik, dengan menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi para perajin batik lokal. Dalam keterangan persnya, Ferry menyatakan bahwa pemerintah sangat fokus untuk melindungi industri garmen dalam negeri, yang kini dihadapkan dengan serangan produk impor, termasuk kain dan baju bekas serta batik printing dari luar negeri.

Ferry mengungkapkan bahwa hasil rapat di Bappenas menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) yang secara spesifik melindungi industri tekstil, yang mempermudah masuknya produk impor tanpa kendali. “Penting adanya payung hukum untuk melindungi industri tekstil lokal, khususnya batik,” ujarnya.

Sebagai langkah konkret, Kemenkop telah menyampaikan naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Industri Tekstil kepada Kementerian Perindustrian dan DPR, dengan harapan agar RUU tersebut segera dibahas dan disahkan. “Kami berharap agar RUU ini dapat segera menjadi payung hukum bagi industri tekstil dalam negeri,” lanjut Ferry.

Lebih lanjut, Ferry menekankan pentingnya evaluasi kebijakan impor, seperti kebijakan impor susu dengan bea masuk nol persen, yang dinilai merugikan industri dalam negeri. Kemenkop juga mengimbau agar kebijakan impor tekstil yang berdampak negatif terhadap koperasi perajin batik Indonesia dapat ditinjau kembali.

Dalam upaya untuk menanggulangi dampak negatif dari impor, Kemenkop mendukung pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Impor yang telah disetujui dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dengan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar. Ferry berharap komitmen tinggi dalam menangani isu ini agar industri lokal dapat terlindungi dari persaingan yang tidak adil.

Kementerian Koperasi juga memberikan dukungan kepada Koperasi Syarikat Dagang Kauman (SDK), yang diakui sebagai koperasi batik terbaik di wilayah Surakarta, Jawa Tengah. Ferry menyatakan bahwa semangat perjuangan yang kuat dari Koperasi SDK mengingatkan pada sejarah perjuangan serikat dagang Islam di awal abad 20. Dukungan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan industri batik lokal.

Dengan adanya upaya perlindungan hukum dan evaluasi kebijakan impor yang lebih ketat, Kemenkop bertekad untuk mendukung para perajin batik dan industri tekstil dalam negeri agar dapat bersaing secara sehat di pasar global. (alf)

Perbedaan Kebijakan Tarif PPN Indonesia dan Vietnam, Airlangga Sebut Tak Pengaruhi Daya Saing Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan terkait kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berbeda antara Indonesia dan Vietnam. Di tengah keputusan Indonesia untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025, Vietnam justru memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025.

Menurut Airlangga, kebijakan pajak setiap negara disesuaikan dengan kondisi ekonomi domestik yang berbeda. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan tarif PPN antara kedua negara, hal tersebut tidak akan memengaruhi daya saing Indonesia. Ia menegaskan bahwa tarif PPN 12% di Indonesia hanya berlaku untuk barang mewah, yang tidak akan mengganggu sektor lainnya.

“Perbedaan negara, perbedaan kebijakan,” ujar Airlangga dalam pernyataan resminya pada Jumat (13/12/2024). Ia juga menyebutkan bahwa lebih rinci mengenai kebijakan tarif PPN dan insentif fiskal serta non-fiskal yang menyertainya akan diumumkan pada Senin pekan depan.

Sementara itu, kebijakan Vietnam yang memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% diharapkan dapat merangsang konsumsi dan mendukung produksi serta bisnis. Langkah ini diputuskan setelah Majelis Nasional Vietnam menyetujui perpanjangan pengurangan pajak tersebut. Pengurangan tarif PPN di Vietnam diharapkan dapat menurunkan biaya barang dan jasa, yang akan membantu ekonomi negara tersebut yang masih berjuang pasca-pandemi.

Namun, keputusan ini juga diperkirakan akan menurunkan pendapatan anggaran negara Vietnam sekitar 26,1 triliun dong (Rp 16 triliun) pada paruh pertama tahun 2025. Meski demikian, hal ini diyakini akan berdampak positif pada sektor produksi dan bisnis yang dapat menghasilkan pendapatan untuk negara.

Perbedaan kebijakan fiskal antara Indonesia dan Vietnam ini mencerminkan bagaimana kedua negara menyesuaikan strategi ekonominya sesuai dengan tantangan dan prioritas domestik masing-masing. Indonesia memilih untuk menaikkan tarif PPN, sementara Vietnam memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan pengurangan pajak guna mendorong daya beli dan aktivitas ekonomi di tengah pemulihan pasca-pandemi. (alf)

Barang dan Jasa Ini Dikecualikan dari Kenaikan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun, pemerintah tetap memberikan pengecualian pada sejumlah barang dan jasa tertentu agar tidak membebani masyarakat, terutama di sektor-sektor yang vital bagi kehidupan sosial dan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN naik, beberapa barang dan jasa tetap akan dibebaskan dari pajak atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung sektor-sektor penting seperti kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, serta sektor sosial lainnya.

Barang dan Jasa yang Dikecualikan dari PPN:

1. Barang Pokok dan Kebutuhan Sehari-hari

Pemerintah memastikan bahwa bahan pangan seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, dan gula konsumsi tidak akan dikenakan PPN, guna menjaga harga tetap terjangkau bagi masyarakat.

2. Jasa Pendidikan

Jasa pendidikan, termasuk biaya sekolah dan pelatihan, juga dibebaskan dari PPN untuk mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat.

3. Jasa Kesehatan

Termasuk di dalamnya layanan kesehatan seperti pengobatan, vaksinasi, dan obat-obatan, yang bertujuan untuk meringankan beban biaya kesehatan bagi masyarakat.

4. Jasa Transportasi Umum

Transportasi umum, yang penting bagi mobilitas masyarakat, akan tetap bebas dari PPN untuk memastikan tarif yang terjangkau.

5. Jasa Tenaga Kerja

Layanan sosial dan jasa tenaga kerja yang disediakan oleh pemerintah juga akan dibebaskan dari PPN, mendukung kesejahteraan sosial masyarakat.

6. Jasa Keuangan dan Asuransi

Bidang keuangan dan asuransi, yang memberikan perlindungan finansial kepada masyarakat, juga akan mendapatkan pengecualian PPN.

7. Rumah Sederhana, Pemakaian Listrik, dan Air Minum

Kebutuhan dasar rumah tangga seperti rumah sederhana, penggunaan listrik, dan air minum akan bebas PPN, bertujuan untuk menjaga kestabilan biaya hidup.

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa PPN 12% hanya akan diterapkan pada barang-barang mewah yang umumnya dikonsumsi oleh kalangan dengan kemampuan ekonomi lebih. Daftar barang yang akan dikenakan tarif PPN baru ini masih dalam proses penyusunan dan akan diumumkan pada pekan depan.

Menteri Keuangan juga menegaskan bahwa meski tarif PPN mengalami kenaikan, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan kebijakan ini dengan mengedepankan asas keadilan. “Pelaksanaan UU harus tetap menjaga asas keadilan. Kami berusaha untuk terus menyempurnakan kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat,” kata Sri Mulyani di kantornya baru-baru ini.

Pemerintah berharap, dengan kebijakan ini, dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan sektor-sektor ekonomi yang krusial.

Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharapkan tetap bisa mengakses kebutuhan dasar dengan harga yang wajar, meskipun tarif PPN mengalami penyesuaian. Rencananya, Menteri Keuangan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengumumkan secara resmi rincian lebih lanjut terkait kebijakan PPN pada pekan depan. (alf)

Kenaikan HJE Rokok, Pemerintah Pesan 17 Juta Pita Cukai ke PERURI

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani, mengumumkan bahwa pemerintah akan mempertahankan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025, namun harga jual eceran (HJE) rokok dipastikan akan mengalami kenaikan. Kebijakan ini akan berlaku untuk rokok konvensional dan rokok elektrik, yang saat ini sedang dalam tahap harmonisasi melalui dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Askolani menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok serta pengaturan pasar yang lebih efektif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri rokok. Dua PMK tersebut diharapkan dapat diterapkan pada awal 2025, dengan rincian mengenai kenaikan HJE yang lebih jelas.

Meski CHT tidak mengalami kenaikan, pemerintah tetap berharap kebijakan ini dapat meminimalkan dampak negatif dari fenomena “down trading,” yaitu kecenderungan konsumen untuk beralih ke produk rokok dengan harga lebih murah. Hal ini menjadi perhatian utama pemerintah yang terus berupaya untuk mengendalikan konsumsi rokok sembari menjaga lapangan pekerjaan dalam industri tersebut.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa persiapan pita cukai baru untuk tahun 2025 telah rampung dikerjakan oleh Perum PERURI dan diperkirakan akan selesai pada bulan Desember ini. Proses persiapan pita cukai tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produksi rokok di awal tahun, dengan estimasi perusahaan rokok akan memesan sekitar 15 hingga 17 juta pita cukai pada Januari 2025.

“Kami berharap pita cukai ini dapat segera dipenuhi, dan kami akan memastikan bahwa jumlah pesanan yang dibutuhkan dapat kami penuhi sesuai ketentuan,” ujar Askolani di Kementerian Keuangan, baru-baru ini.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berkomitmen untuk menyeimbangkan pengendalian konsumsi rokok, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat. Diharapkan, kebijakan yang diterapkan pada 2025 ini dapat menciptakan dampak positif yang lebih besar di bidang sosial-ekonomi serta kesehatan. (alf)

Kemenkeu Rilis Kenaikan HJE Rokok yang Berlaku 1 Januari 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis harga jual eceran (HJE) rokok yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Meskipun tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengalami kenaikan, harga jual rokok di masyarakat tetap mengalami peningkatan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Dalam peraturan tersebut, harga jual eceran rokok akan mengalami kenaikan bervariasi sesuai dengan jenis dan golongan rokok. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau yang padat karya, dan mengoptimalkan penerimaan negara.

Beberapa poin utama harga jual eceran rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah sebagai berikut:

Sigaret Kretek Mesin (SKM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5,08%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.485/batang (naik 7,6%) dengan tarif cukai Rp 746/batang

Sigaret Putih Mesin (SPM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.495/batang (naik 4,8%) dengan tarif cukai Rp 1.336/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.565/batang (naik 6,8%) dengan tarif cukai Rp 794/batang

Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT)

• Golongan I: Harga jual eceran paling rendah Rp 1.555/batang sampai Rp 2.170/batang dengan tarif cukai Rp 378/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 995/batang (naik 15%) dengan tarif cukai Rp 223/batang

• Golongan III: Harga jual paling rendah Rp 860 (naik 18,6%) dengan tarif cukai Rp 122/batang

• Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)

• Harga jual eceran paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 950 dengan tarif cukai Rp 483/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 200 dengan tarif cukai Rp 25/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

Jenis Tembakau Iris (TIS) dan Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB)

• Harga jual paling rendah Rp 55-180 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

• Harga jual paling rendah Rp 290 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Jenis Cerutu (CRT)

• Harga jual paling rendah Rp 495 sampai Rp 5.500 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Kebijakan ini diperkirakan akan memberi dampak pada daya beli masyarakat terhadap produk tembakau, serta memperkuat upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.

Sementara itu, sektor industri tembakau yang masih padat karya diperkirakan akan tetap dapat mempertahankan daya saingnya dengan optimasi penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau. (alf)

Pajak Baru Meningkatkan Biaya Tahunan Kendaraan Bermotor

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan baru yang akan menambah beban biaya tahunan yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan bermotor. Dalam aturan baru tersebut, dua kolom rincian biaya pada STNK akan bertambah, yakni pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), yang diubah dengan adanya pajak tambahan.

Pajak baru ini menetapkan bahwa ada opsi PKB dan BBNKB sebesar 66 persen dari besaran pajak terutang. Artinya, jika saat ini kendaraan bermotor dikenakan PKB sebesar Rp1 juta, pemilik kendaraan akan dikenakan tambahan PKB sebesar Rp660 ribu. Dengan tambahan tersebut, total pajak kendaraan yang harus dibayar menjadi Rp1,6 juta.

Pajak baru ini harus dibayarkan oleh pemilik kendaraan bersamaan dengan penyetoran pajak kendaraan bermotor setiap tahunnya. Kebijakan ini diperkirakan akan memberikan dampak signifikan terhadap biaya operasional kendaraan bagi konsumen, mengingat besaran pajak yang harus dibayar akan terus meningkat.

Masyarakat diminta untuk mempersiapkan anggaran tambahan ini, seiring dengan diberlakukannya kebijakan tersebut pada tahun mendatang. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya pembayaran pajak yang tepat waktu. (alf)

id_ID