Efisiensi Anggaran Kementerian Berlanjut hingga 2026, 15 Pos Belanja Kena Pangkas

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memastikan kebijakan efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) tidak berhenti di tahun ini. Pemangkasan pos belanja akan berlanjut hingga 2026 sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 5 Agustus 2025.

Dalam beleid tersebut, efisiensi tak hanya berlaku untuk anggaran K/L, tetapi juga dana transfer ke daerah (TKD). Hasil penghematan akan dialokasikan untuk program prioritas Presiden yang koordinasinya berada di tangan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara.

“Efisiensi diarahkan untuk mendukung kegiatan prioritas Presiden sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegas Pasal 2 ayat (3) PMK 56/2025.

15 Pos Belanja Dipangkas

Ada 15 jenis belanja yang menjadi sasaran efisiensi pada tahun depan, di antaranya: alat tulis kantor, kegiatan seremonial, rapat dan seminar, kajian dan analisis, pelatihan, honor kegiatan, percetakan dan souvenir, sewa gedung atau kendaraan, lisensi aplikasi, jasa konsultan, bantuan pemerintah, pemeliharaan, perjalanan dinas, pembelian peralatan, dan pembangunan infrastruktur.

Daftar ini sejatinya tidak jauh berbeda dari ketentuan efisiensi tahun 2025 sebagaimana diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Bedanya, persentase pemangkasan untuk 2026 belum diumumkan.

Besaran efisiensi akan ditentukan langsung oleh Menteri Keuangan dan sifatnya final. Namun, pengaturan tetap mempertimbangkan target penerimaan pajak nasional. Setelah K/L menyusun usulan pemangkasan dan membawanya ke DPR, revisi anggaran yang disetujui akan diblokir dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

Pemblokiran bisa dicabut jika memenuhi tiga kriteria: untuk belanja pegawai dan operasional dasar, mendukung program prioritas Presiden, atau kegiatan yang berpotensi menambah penerimaan negara.

Dengan kebijakan ini, pemerintah menegaskan komitmen menjaga disiplin fiskal sambil memastikan anggaran lebih banyak mengalir ke program yang langsung berdampak pada masyarakat. (alf)

 

 

 

 

 

 

Transaksi Tembus Rp 50 Juta, Marketplace Wajib Pungut Pajak UMKM

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan aturan baru yang mewajibkan marketplace dengan nilai transaksi tertentu menjadi pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5 persen atas pedagang, termasuk pelaku UMKM. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2025 yang berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Berdasarkan regulasi tersebut, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak jika transaksi pemanfaatan jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam satu bulan. Selain itu, kriteria lainnya adalah jumlah pengakses dari Indonesia yang melampaui 12 ribu orang dalam 12 bulan atau 1.000 orang dalam sebulan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) Budi Primawan mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Dirjen Pajak pekan depan untuk membahas teknis pelaksanaan aturan ini. “Kami menyambut baik diskusi terbuka agar ada pemahaman bersama dan solusi yang konstruktif,” ujarnya, Jumat (8/8/2025).

Budi mengakui tujuan aturan ini, yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025, adalah memperkuat kepatuhan pajak di sektor perdagangan digital. Namun, ia menilai implementasinya cukup rumit karena menyentuh banyak aspek teknis dan operasional, terutama bagi UMKM.

IdEA meminta waktu transisi hingga satu tahun agar marketplace dapat membangun sistem yang memenuhi kewajiban baru, termasuk penyediaan kolom pernyataan omzet, mekanisme unggah dokumen bermeterai, pengarsipan digital yang aman, pelaporan rutin, hingga prosedur penanganan sengketa data antara DJP dan pelaku usaha.

“Kalau langsung diterapkan September 2025, itu terlalu cepat. Kami perlu waktu memahami, menguji coba, dan memastikan sistem berjalan optimal. Kami tetap berkomitmen patuh, tapi realistisnya baru siap dalam setahun,” jelas Budi dalam webinar bertajuk Era Baru atas E-Commerce yang digelar Tax Center Universitas Indonesia dan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI, 29 Juli 2025. (alf)

 

 

 

 

 

Kanwil LTO Gandeng BSI Tanamkan Gaya Hidup Frugal bagi Pegawai Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar (Kanwil LTO) bekerja sama dengan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk (BSI) menggelar In House Training (IHT) bertema “Gaya Hidup Frugal Biar Gak Ugal-ugalan” di Kantor Kanwil LTO. Kegiatan ini diikuti seluruh pegawai di lingkungan Kanwil LTO, meliputi KPP Pratama Wajib Pajak Besar Satu hingga Empat.

Kepala Bagian Umum Kanwil LTO, Nirmala Rustini, mengapresiasi sinergi dengan BSI yang dinilai sejalan dengan upaya menanamkan integritas dan kemampuan perencanaan keuangan yang sehat bagi pegawai pajak.

“Kita harus berintegritas, rajin menabung, dan berinvestasi untuk masa depan yang bahagia. Jangan sampai lupa diri,” kata Nirmala dalam keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (9/8/2025).

Ia menambahkan, pelatihan ini menjadi bagian dari pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI WBK) yang dijalankan secara berkelanjutan. Menurutnya, pengelolaan keuangan pribadi yang cermat akan membantu pegawai pajak menolak gratifikasi dan praktik KKN, sekaligus mempersiapkan masa pensiun yang tenang.

Manajer Area BSI Cabang Jakarta Thamrin, Wawan Purwantoro, mengungkapkan bahwa semakin banyak pegawai pajak menjadi nasabah BSI karena konsep perbankan syariah yang diusung.

“BSI kini berada di peringkat lima besar perbankan nasional dan sembilan besar perbankan syariah dunia. Kontribusi pajak dan zakat BSI pada 2024 mencapai Rp268,6 miliar. Bersama BSI, hidup jadi lebih berkah dan beruntung,” ujar Wawan.

Materi pelatihan disampaikan oleh Greget Kalla Buana, islamic finance specialist sekaligus influencer. Ia menjelaskan bahwa frugal living bukan sekadar hemat, melainkan gaya hidup yang mempertimbangkan kesadaran diri, skala prioritas, serta kualitas hidup.

“Frugal itu bukan pelit. Dengan hidup hemat, kita bisa menabung, menikmati hidup, menjaga kesehatan, dan terhindar dari godaan KKN,” tutur Kalla.

Lewat pelatihan ini, Kanwil LTO berharap seluruh pegawai mampu mengelola keuangan secara bijak, menjaga integritas, dan menerapkan gaya hidup frugal sebagai bagian dari budaya kerja yang berkelanjutan. (alf)

 

 

 

Pemilik Mobil Mewah di Malaysia Pilih Ditilang Daripada Bayar Pajak 

IKPI, Jakarta: Fenomena tak biasa tengah mencuat di Malaysia. Sejumlah pemilik mobil mewah seperti Bentley dan Porsche justru sengaja membiarkan pajak dan asuransi kendaraannya mati. Alasannya mengejutkan: mereka lebih memilih ditilang polisi karena denda pelanggarannya dianggap jauh lebih murah dibanding biaya pajak dan asuransi tahunan.

Praktik ini diungkap oleh pengacara senior Malaysia, Muhammad Hasif Hasan, dalam wawancara dengan Berita Harian, Jumat (8/8/2025).

Menurutnya, tindakan tersebut bukan karena kelalaian, melainkan keputusan yang disengaja dan diperhitungkan secara finansial. “Saya tanya langsung pada beberapa orang yang datang ke pengadilan sebagai terdakwa pelanggaran pajak kendaraan. Mereka bilang lebih untung bayar denda tilang saja,” kata Hasif.

Lebih Murah Kena Tilang

Hasif menuturkan, dalam salah satu kasus yang ia tangani, seorang pemilik Bentley Continental mengatakan bahwa mobilnya jarang dipakai dan hanya digunakan untuk keperluan promosi. Secara logika, membayar denda tilang RM 300 (sekitar Rp 1,1 juta) jauh lebih hemat dibanding harus membayar:

• Pajak jalan tahunan: > RM 5.000 (± Rp 19 juta)

• Asuransi wajib tahunan: > RM 10.000 (± Rp 38 juta)

“Total pengeluaran legal bisa menyentuh lebih dari RM 15.000 setahun, sedangkan denda hanya RM 300. Jadi bagi mereka, ini dianggap penghematan,” ujar Hasif.

Meski terlihat menguntungkan, Hasif memperingatkan bahwa praktik ini sangat membahayakan pengguna jalan lain. Mobil tanpa asuransi berarti jika terjadi kecelakaan, korban tidak bisa menuntut ganti rugi atau klaim asuransi apa pun.

“Kalau terjadi kecelakaan, semua biaya medis, hukum, hingga pengadilan harus ditanggung sendiri. Biaya jasa hukum saja bisa mencapai RM 40.000 (± Rp 153 juta),” jelasnya.

Hasif menekankan bahwa meskipun denda terlihat ringan, risiko sosial dan hukum dari praktik ini sangat besar. Bahkan, jika korban kecelakaan memenangkan gugatan, belum tentu kompensasi bisa benar-benar dibayarkan.

Fenomena ini menuai sorotan publik dan menjadi sinyal peringatan bagi otoritas terkait di Malaysia. Banyak pihak mendorong revisi terhadap sistem denda tilang yang dinilai terlalu ringan dan rentan disalahgunakan, terutama oleh kalangan mampu.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini menciptakan ketimpangan perlakuan hukum dan bisa menjadi preseden buruk bagi sistem transportasi dan keadilan,” tegas Hasif.

Keputusan pemilik mobil mewah untuk tidak membayar pajak dan asuransi demi menghindari biaya tinggi menunjukkan celah dalam sistem hukum lalu lintas Malaysia. Langkah penindakan tegas dan peninjauan ulang kebijakan denda menjadi hal mendesak agar keselamatan di jalan tetap terjamin dan hukum benar-benar ditegakkan secara adil. (alf)

 

Pendapatan Pajak DKI Jakarta Melonjak Rp6,1 Triliun

IKPI, Jakarta: Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta mencatat kinerja gemilang dalam pengumpulan pajak daerah sepanjang awal tahun 2025. Dalam periode 1 Januari hingga 14 Juli 2025, total penerimaan pajak daerah menembus angka Rp25,4 triliun, naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp19,2 triliun.

Kepala Kejati DKI Jakarta, Patris Yusrian Jaya, menyebutkan adanya kenaikan drastis sebesar Rp6,1 triliun atau setara 32,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ia menilai pencapaian ini merupakan buah dari kerja sama erat antara Kejati, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan sejumlah pihak terkait dalam satu wadah bernama Tim Terpadu.

“Sinergi yang dibangun dalam Tim Terpadu telah membawa hasil positif dalam mendorong penerimaan daerah yang lebih optimal. Prinsip akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme terus kami junjung tinggi,” ujar Patris di Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Tim Terpadu ini dibentuk melalui Keputusan Kepala Kejati DKI Jakarta Nomor KEP-131/M.1/Gs/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024. Patris menjelaskan, tim ini memiliki peran strategis dalam mengawal tata kelola penerimaan pajak daerah yang terukur, efisien, serta bebas dari potensi kebocoran.

“Fokus utama kami adalah mencegah kebocoran penerimaan, memperkuat sistem yang transparan, dan memastikan pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai prinsip good governance,” tegasnya.

Patris juga menegaskan bahwa hasil kerja Tim Terpadu telah memberi dampak langsung terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta tahun ini. Ia memastikan upaya pengawasan dan optimalisasi akan terus berlanjut sebagai bagian dari komitmen jangka panjang untuk memperkuat keuangan daerah. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Merosot Saat Ekonomi Melesat, Ini Penjelasan Yustinus Prastowo

IKPI, Jakarta: Di tengah kabar menggembirakan soal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menembus 5,12% pada kuartal II-2025, justru muncul paradoks dalam sektor fiskal. Penerimaan pajak tercatat mengalami penurunan sebesar 6,21% dibanding periode yang sama tahun lalu. Realisasi hingga semester I-2025 hanya mencapai Rp837,8 triliun, atau baru 38% dari target tahunan.

Pengamat perpajakan sekaligus mantan Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, memberikan penjelasan komprehensif mengenai kondisi ini. Dalam unggahan di akun media sosialnya, Jumat (8/8/2025), ia memaparkan enam faktor utama yang menyebabkan penerimaan pajak menurun meski ekonomi sedang tumbuh.

“BPS baru saja mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Q2 sebesar 5,12%. Harapan tentu menyembul di tengah berbagai tantangan. Tapi kenapa penerimaan pajak turun? Ada beberapa penjelasan menurut saya,” tulisnya di platform X, @prastow.

1. Efek Restitusi yang Tidak Berulang

Faktor pertama menurut Prastowo adalah besarnya restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak di awal tahun 2025. Jumlahnya signifikan, dan berbeda dengan tahun sebelumnya yang tidak mengalami beban serupa.

“Tentu ini berpengaruh pada penerimaan neto kita. Semester II-2025 mestinya restitusi akan melandai dan kembali normal,” ujarnya.

2. Perbedaan Pola Pencatatan

Penerimaan pajak sering kali tercatat berdasarkan waktu pelaporan, bukan waktu terjadinya aktivitas ekonomi. Misalnya, aktivitas ekonomi Mei yang dicatat BPS sebagai bagian dari kuartal II, baru tercermin dalam pembayaran pajak di bulan Juni atau kuartal III.

3. Batalnya Kenaikan PPN 12%

Kegagalan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% juga berdampak signifikan. Target tambahan sebesar Rp71 triliun akhirnya menguap, memperlebar jarak antara realisasi dan target penerimaan.

4. Stimulus dan Insentif Pajak

Pemerintah tetap menggulirkan berbagai insentif, termasuk keringanan pajak bagi sektor-sektor tertentu. Meskipun berdampak positif terhadap aktivitas ekonomi, insentif ini otomatis menurunkan penerimaan negara.

“Dalam menilai kinerja perpajakan, seyogianya juga memperhitungkan tax expenditure,” tegasnya.

5. Penyesuaian Sistem Coretax

Penerapan sistem administrasi perpajakan berbasis digital, Coretax, yang diluncurkan awal tahun, belum sepenuhnya berjalan optimal. Beberapa proses pembayaran tertunda akibat penyesuaian teknis.

“Hal ini berangsur normal dan mestinya stabil di semester II,” kata Prastowo.

6. Ketimpangan Kinerja Sektor

Terakhir, Prastowo menyoroti perbedaan kinerja antar sektor ekonomi. Ada sektor yang tumbuh pesat namun kontribusinya terhadap pajak belum maksimal. Selain itu, efisiensi belanja pemerintah di awal tahun turut memengaruhi basis pemungutan pajak.

Meski demikian, Prastowo tetap optimistis. Ia berharap tren pemulihan ekonomi akan mendorong peningkatan kinerja perpajakan ke depan.

“Semoga kinerja perekonomian konsisten membaik, penerimaan pajak lekas pulih, dan pemerintah dapat terus fokus menciptakan lapangan kerja, menjaga daya beli, serta pemerataan kesejahteraan,” pungkasnya. (alf)

 

Bupati Pati Minta Maaf, Siap Tinjau Ulang Kenaikan PBB-P2 hingga 250%

IKPI, Jakarta: Bupati Pati, Sudewo, akhirnya angkat bicara terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang belakangan menuai sorotan publik. Ia menyampaikan permintaan maaf atas kegaduhan yang terjadi, sekaligus membuka ruang untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang dinilai memberatkan masyarakat.

“Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas terjadinya kericuhan pada hari Selasa kemarin (5/8/2025),” ujar Sudewo dalam pernyataan resminya, dikutip Jumat (8/8/2025).

Sudewo, yang merupakan politisi Partai Gerindra, menegaskan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan kembali besaran tarif yang dianggap melambung tinggi. “Kalau ada yang menuntut supaya yang sampai 250% itu diturunkan, akan saya tinjau ulang,” ujarnya.

Namun demikian, ia membantah bahwa seluruh wajib pajak di Kabupaten Pati terkena kenaikan maksimal. Menurutnya, sebagian besar justru mengalami kenaikan di bawah 100%. “Jadi yang di bawah 100%, di bawah 50 persen, itu jauh lebih banyak,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sudewo mengklaim bahwa hampir setengah dari warga Pati telah melakukan pembayaran PBB berdasarkan ketetapan terbaru. “Yang sudah membayar hampir 50%,” katanya.

Menanggapi insiden yang sempat viral di media sosial terkait pemindahan dus air mineral dari posko warga oleh petugas, Sudewo menegaskan tidak ada unsur perampasan. “Kami tidak bermaksud melakukan perampasan barang-barang tersebut, sama sekali tidak. Hanya ingin memindahkan,” katanya.

Pernyataan Bupati ini menjadi langkah awal meredam kegelisahan warga yang menilai kebijakan tersebut tidak berpihak pada kondisi ekonomi masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Pati kini ditunggu keseriusannya dalam mengevaluasi kebijakan pajak yang telah memicu polemik ini. (alf)

 

 

 

 

 

DJP Serahkan Piagam Wajib Pajak kepada Tujuh Pelaku Teladan di Wilayah Jatim II

IKPI, Jakarta: Sebanyak tujuh wajib pajak dari wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Timur II menerima penghargaan Piagam Wajib Pajak, dalam acara bertajuk Rapat Gabungan dan Launching Piagam Wajib Pajak di Jawa Timur, yang digelar di Kota Malang, Kamis (7/8/2025).

Piagam diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebagai bentuk apresiasi kepada para wajib pajak yang dinilai telah menunjukkan komitmen luar biasa dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara transparan dan taat aturan.

“Penerima Piagam Wajib Pajak ini merupakan representasi dari teladan kepatuhan yang kami harapkan bisa menjadi inspirasi bagi yang lain,” ujar Bimo.

Diketahui, tujuh wajib pajak ini merupakan bagian dari total 20 wajib pajak terpilih dari tiga kantor wilayah DJP di Jawa Timur, yakni Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III. Para penerima berasal dari berbagai latar belakang pelaku usaha, korporasi, hingga asosiasi, yang dinilai aktif dan kooperatif dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

Turut hadir dalam kegiatan ini Kepala Kanwil DJP Jatim I Samingun, Kepala Kanwil DJP Jatim II Agustin Vita Avantin, dan Kepala Kanwil DJP Jatim III Untung Supardi, sebagai bentuk sinergi antarwilayah dalam mendukung implementasi Piagam Wajib Pajak.

Piagam Wajib Pajak sendiri merupakan dokumen resmi yang telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2025. Dokumen ini memuat secara eksplisit delapan hak dan delapan kewajiban wajib pajak, sebagai wujud reformasi pelayanan berbasis transparansi dan perlindungan hukum.

“Melalui piagam ini, negara hadir bukan hanya sebagai pemungut, tapi juga sebagai pelindung. Hak-hak wajib pajak dijamin dan dihormati sebagaimana mestinya,” tegas Bimo.

Delapan hak wajib pajak antara lain:

• Mendapat informasi dan edukasi,

• Pelayanan gratis sesuai ketentuan,

• Perlakuan adil dan setara,

• Membayar pajak sesuai dengan yang terutang,

• Hak menyelesaikan sengketa secara independen,

• Privasi data terjaga,

• Hak kuasa hukum,

• Menyampaikan laporan atau aduan pelanggaran.

Sementara delapan kewajiban wajib pajak mencakup pelaporan SPT secara benar, sikap kooperatif, penggunaan insentif secara tertib, pembukuan, hingga larangan gratifikasi kepada petugas pajak.

Bimo mengungkapkan, peluncuran piagam ini merupakan bagian dari transformasi kelembagaan DJP yang bertujuan membangun hubungan harmonis antara otoritas pajak dan masyarakat. Ia menekankan bahwa acara ini bukanlah akhir dari proses, melainkan langkah awal menuju sistem perpajakan yang lebih kolaboratif dan partisipatif.

“Piagam ini kami harapkan bisa menjadi milestone dalam perjalanan menuju iklim perpajakan yang lebih adil dan sehat. Saya ajak seluruh jajaran DJP menjadikannya panduan dalam pelayanan kepada masyarakat,” katanya.

Dengan peluncuran ini, DJP berharap terdapat relasi fiskal antara negara dan warga relasi yang bukan hanya soal kewajiban, namun juga soal penghormatan terhadap hak dan keterlibatan aktif dalam pembangunan bangsa. (alf)

 

 

DJP Kalselteng Sita 34 Aset Penunggak Pajak Senilai Rp2,83 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mengintensifkan penegakan hukum terhadap wajib pajak yang membandel. Terbaru, Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) menyita 34 aset milik penunggak pajak dengan total nilai taksiran mencapai Rp2,83 miliar.

“Sebanyak 34 aset disita dalam penindakan ini, terdiri dari berbagai jenis barang bergerak maupun tidak bergerak,” ungkap Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, saat konferensi pers di Banjarmasin, Rabu (6/8/2025).

Aset-aset tersebut merupakan milik 24 penanggung pajak yang memiliki total tunggakan mencapai Rp34,4 miliar. Langkah penyitaan ini, lanjut Syamsinar, dilakukan setelah DJP menempuh serangkaian upaya persuasif mulai dari imbauan, surat teguran, hingga surat paksa.

Jenis aset yang disita sangat beragam, mulai dari rekening tabungan dan giro, kendaraan bermotor, hingga tanah dan/atau bangunan yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Secara geografis, penyitaan paling banyak dilakukan di Kalimantan Selatan. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat menyita 22 aset dengan nilai taksiran mencapai Rp1,88 miliar. Sementara itu, KPP di Kalimantan Tengah menyita 12 aset dengan nilai sekitar Rp951 juta.

“Penyitaan ini adalah bentuk komitmen kami dalam menjalankan penegakan hukum perpajakan. Ini juga menjadi peringatan keras bagi wajib pajak lainnya untuk tidak mengabaikan kewajibannya,” tegas Syamsinar.

Ia menambahkan, langkah ini bukan semata untuk menindak, tetapi juga untuk mendorong penyelesaian tunggakan dan memastikan penerimaan negara tetap terjaga.

“Setiap rupiah yang berhasil diamankan akan sangat berarti bagi pembangunan nasional. Kami berharap tindakan ini memberi efek jera dan meningkatkan kesadaran pajak masyarakat,” pungkasnya.

Langkah tegas Kanwil DJP Kalselteng ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas sistem perpajakan dan memastikan keadilan fiskal diterapkan secara konsisten di seluruh penjuru negeri. (alf)

 

DJP Siap Cabut Penunjukan dan Putus Akses Marketplace yang Mangkir Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menunjukkan ketegasan dalam mengawasi kepatuhan pajak platform digital. Marketplace yang lalai menjalankan kewajiban sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 kini terancam bukan hanya sanksi administratif, tapi juga pemutusan akses secara teknis.

Ketentuan ini ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2025, yang memberi DJP wewenang mencabut penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22, baik atas permintaan platform itu sendiri maupun secara jabatan apabila tak lagi memenuhi syarat.

Namun, sikap DJP lebih tegas terhadap platform yang tetap ditunjuk tetapi tidak menjalankan kewajibannya. Setelah proses teguran sesuai regulasi, DJP dapat mengenakan sanksi administratif hingga pemutusan akses terhadap platform tersebut.

“Pihak yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perpajakan dapat dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran,” bunyi aturan dalam Diktum KETIGA beleid tersebut.

Langkah ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pelaku usaha digital, baik lokal seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, maupun global seperti Amazon dan Alibaba. Selama platform memenuhi kriteria tertentu salah satunya memiliki omzet di atas Rp600 juta per tahun maka mereka wajib menjalankan tugas sebagai pemungut PPh Pasal 22.

Penunjukan ini bukan status permanen. Jika trafik atau omzet turun di bawah batas yang ditetapkan, DJP dapat mengakhiri penunjukan tersebut. Namun jika kewajiban tetap diabaikan selama masa penunjukan, konsekuensinya bisa fatal.

Langkah ini sekaligus menunjukkan transformasi DJP dalam menyikapi dinamika ekonomi digital yang terus berkembang, serta upaya untuk menciptakan level playing field yang adil antara pelaku bisnis konvensional dan digital. (alf)

 

 

id_ID