Wajib Pajak Orang Pribadi Diminta Laporkan SPT Tahunan 2024 Sebelum 31 Maret 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan wajib pajak orang pribadi untuk melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk tahun pajak 2024 antara 1 Januari hingga 31 Maret 2025. Meskipun ada kebijakan baru mengenai sistem Coretax, pelaporan SPT tahunan bagi wajib pajak orang pribadi masih menggunakan sistem e-Filing yang sudah berlaku sebelumnya.

Coretax, yang saat ini masih difokuskan untuk wajib pajak badan, baru akan digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 dan seterusnya.

DJP melalui akun Instagram resminya pada Senin (20/1/2025) menyampaikan, “SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2024 dan pembetulan tahun-tahun sebelumnya masih menggunakan e-Filing. Lapor tahunan dengan Coretax akan berlaku untuk Tahun Pajak 2025 dan seterusnya.”

DJP mengimbau agar wajib pajak segera melakukan pelaporan untuk menghindari penumpukan pengisian SPT di akhir periode pelaporan. Berikut ini langkah-langkah yang dapat diikuti wajib pajak dalam mengisi SPT Tahunan secara online:

1. Akses DJP Online: Masuk ke laman resmi DJP Online, www.pajak.go.id, melalui handphone atau laptop.

2. Login: Masukkan NIK/NPWP, password, dan kode keamanan.

3. Pilih e-Filing: Klik menu lapor dan pilih e-filing, lalu buat SPT.

4. Pilih Formulir: Pilih formulir SPT yang sesuai, seperti 1770 atau 1770 S, berdasarkan penghasilan yang diterima.

5. Isi Data: Isi formulir SPT berdasarkan data penghasilan, harta, utang, serta status SPT Anda.

6. Status SPT: Setelah pengisian, status SPT akan muncul—apakah nihil, kurang bayar, atau lebih bayar. Sesuaikan pelaporan dengan status yang ditampilkan.

7. Verifikasi: Klik tombol setuju dan masukkan kode verifikasi yang dikirimkan melalui email atau nomor telepon.

8. Kirim SPT: Kirim SPT dan tunggu tanda terima elektronik yang akan dikirimkan ke email Anda.

Untuk melakukan pelaporan ini, wajib pajak juga perlu memastikan bahwa mereka telah memiliki Electronic Filing Identification Number (EFIN). EFIN adalah nomor identifikasi yang diterbitkan oleh DJP yang berfungsi sebagai identitas wajib pajak dalam melakukan transaksi elektronik dengan DJP.

Bagi wajib pajak yang belum memiliki EFIN, permohonan pembuatan EFIN dapat dilakukan secara online dengan mengirimkan email ke kantor pajak terdekat dengan melampirkan data dan dokumen pendukung, termasuk foto KTP dan NPWP. Jika wajib pajak lupa EFIN, mereka bisa mengajukan permohonan untuk mendapatkannya kembali melalui email yang terdaftar di DJP.

DJP juga mengingatkan bahwa apabila pelaporan dilakukan dengan tepat waktu, wajib pajak akan menghindari denda atau sanksi atas keterlambatan pelaporan.

Bagi wajib pajak yang memerlukan informasi lebih lanjut, DJP juga menyediakan layanan Kring Pajak di nomor 1500-200. (alf)

Indonesia Resmi Luncurkan Perdagangan Karbon Internasional di IDXCarbon

IKPI, Jakarta: Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) Senin (20/1/2025) resmi meluncurkan perdagangan karbon internasional untuk pertama kalinya dalam sejarah. Langkah ini bertujuan untuk menarik partisipasi global dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam perdagangan karbon dunia.

Peluncuran ini didasarkan pada kerangka hukum yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 21 Tahun 2022, yang mengatur mekanisme otorisasi perdagangan karbon ke pihak asing.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman, menyatakan bahwa peluncuran ini merupakan tonggak penting dalam upaya Indonesia mengatasi perubahan iklim.
“Hari ini merupakan momen bersejarah bagi Indonesia. Inisiatif perdagangan karbon internasional ini menandai langkah besar dalam menunjukkan kesediaan kita untuk berkontribusi secara signifikan terhadap pencapaian target iklim global,” ujar Iman dalam acara peluncuran di Gedung Bursa Efek Indonesia.

Sebelumnya, perdagangan karbon di Indonesia hanya berlangsung di pasar domestik. Namun, partisipasi dalam pasar tersebut masih terbatas. Pada tahun 2024, jumlah peserta yang terdaftar mencapai 104, meningkat drastis dari 16 peserta saat pertama kali diluncurkan pada 26 September 2023.
Capaian luar biasa lainnya adalah tercapainya volume perdagangan kumulatif sebesar 1 juta ton karbon.

Menurut Iman, keberhasilan ini didukung oleh kontribusi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI dan anak perusahaannya.
“Ketertarikan mereka dalam membeli unit karbon menyumbang sekitar 83% dari total volume perdagangan karbon,” tambahnya.

Peluncuran perdagangan karbon internasional ini diharapkan dapat mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca, sekaligus memberikan peluang ekonomi baru bagi pelaku usaha dan pemerintah. Dengan inisiatif ini, Indonesia menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung transisi menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan. (alf)

Luhut Minta Masyarakat Beri Waktu 4 Bulan untuk Optimalkan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan meminta masyarakat memberikan waktu tiga hingga empat bulan agar sistem Coretax yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat berjalan optimal.
“Jangan cepat-cepat kritik. Kasih waktu 3-4 bulan untuk ini bisa berjalan,” ujar Luhut dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 di Jakarta, baru-baru ini.

Ia menegaskan bahwa kritik masyarakat tetap penting, tetapi harus dilakukan secara konstruktif. Sistem baru ini, menurutnya, tidak terhindar dari kekurangan pada awal implementasi.
“Dalam satu bulan pertama, pastilah ada yang kurang sana-sini. Tapi, jangan buru-buru kritik,” tambah Luhut.
Sinergi dengan Kemenkeu
Luhut juga mengungkapkan telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai pengembangan dan integrasi sistem Coretax. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan administrasi perpajakan dengan layanan digital pemerintah (government technology atau govtech).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Coretax merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Selain itu, sistem ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak.
“Semua dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi, dan yang terpenting untuk membangun kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan,” ungkap Sri Mulyani.

Luhut menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk keberhasilan sistem ini. Selain memberikan masukan, masyarakat diharapkan memahami cara kerja Coretax dan mendukung implementasinya.

Sementara itu, Sri Mulyani memastikan bahwa DJP terus bekerja keras agar Coretax dapat dioperasikan secara optimal meskipun menghadapi berbagai tantangan.

“Kami menjaga aspek interoperabilitas agar koordinasi dan kolaborasi sistem pemerintahan berjalan baik, termasuk integrasi dengan data di sistem Coretax,” jelasnya.

Coretax diharapkan menjadi solusi untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih modern dan terintegrasi, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan reformasi perpajakan Indonesia. (alf)

Pemerintah Tegaskan Tak Ada Bansos Khusus Terkait Kenaikan PPN 12 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tidak akan memberikan bantuan sosial (bansos) khusus untuk merespons kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar, yang menegaskan bahwa kebijakan ini telah melalui seleksi dan pertimbangan matang.

“PPN tidak ada kaitannya dengan bansos khusus. Karena memang dari 11 persen naik menjadi 12 persen itu betul-betul sudah diseleksi ya,” kata Muhaimin dalam keterangannya baru-baru ini.

Ia menjelaskan, kenaikan PPN tersebut hanya berlaku untuk barang-barang mewah. Sementara kebutuhan dasar masyarakat, termasuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta pariwisata, tidak terdampak oleh kenaikan ini.

“UMKM dan sektor wisata yang berkaitan dengan hajat orang banyak tidak kena pajak 12 persen. Yang dikenakan hanya sektor-sektor barang mewah, berbagai barang di luar kebutuhan dasar,” ujarnya.

Muhaimin juga menambahkan bahwa pemerintah tetap memberikan keringanan dan kemudahan bagi pelaku UMKM untuk menjalankan usahanya. Kebijakan kenaikan PPN ini, menurutnya, telah dirancang untuk tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa membebani masyarakat kecil.

“Mana yang tidak boleh naik, mana yang naik, semuanya telah dipertimbangkan dengan matang agar ekonomi tetap tumbuh, melindungi, dan memfasilitasi. Uang tambahan dari kenaikan PPN ini akan digunakan untuk keperluan subsidi berbagai jenis kebutuhan,” jelasnya.

Rencana kenaikan PPN ini dijadwalkan mulai berlaku tahun depan. Pemerintah optimistis langkah ini dapat membantu meningkatkan pendapatan negara tanpa mengorbankan sektor yang berkaitan langsung dengan masyarakat luas. (alf)

 

Konsultan Pajak hingga Anggota Keluarga Bisa Jadi Kuasa dengan Kompetensi Tertentu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan mengenai hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Dalam keterangannya, kini Wajib Pajak dapat menunjuk pihak lain sebagai kuasa untuk membantu menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Siapa yang Dapat Menjadi Kuasa?

1. Konsultan Pajak

2. Pihak Lain dengan kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan.

3. Keluarga, termasuk istri, suami, anak kandung, anak tiri, dan cucu.

Adapun kuasa wajib memiliki kompetensi tertentu seperti jenjang pendidikan, sertifikat, atau pembinaan dari asosiasi atau Kementerian Keuangan, kecuali jika kuasa adalah anggota keluarga.

Selain itu, kuasa harus memiliki surat kuasa khusus dari pihak yang menunjuknya.

Hak Kuasa Wajib Pajak:

1. Mendapatkan layanan perpajakan tertentu sesuai surat kuasa.

2. Menandatangani Surat Pemberitahuan (SPT).

3. Memperoleh layanan konsultasi dan informasi terbaru terkait perpajakan.

Kewajiban Kuasa Wajib Pajak:

1. Mematuhi ketentuan perpajakan.

2. Menyerahkan surat kuasa khusus kepada pegawai DJP.

Namun, kuasa tidak dapat menjalankan tugas jika terbukti menghalangi pelaksanaan peraturan perpajakan atau tersangkut tindak pidana.

Adapun dasar hukum hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak sudah diatur dalam:

1. Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

2. Pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022.

Wajib Pajak juga dapat mengakses informasi resmi DJP melalui, portal DJP di www.pajak.go.id atau Kring Pajak di 1500200 dan email informasi@pajak.go.id. (alf)

Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global untuk Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global atau Global Minimum Tax (GMT) sebagai bagian dari kesepakatan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE) yang dirancang oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD. Langkah ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 dan mulai berlaku pada tahun pajak 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui tax haven sekaligus menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil. “Kesepakatan ini sangat positif dalam meningkatkan keadilan sistem perpajakan global,” ujar Febrio melalui keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (17/1/2025)

GMT akan berlaku bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro. Wajib pajak ini akan dikenakan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen.

Jika tarif pajak efektif yang dikenakan di negara tertentu kurang dari 15 persen, perusahaan tersebut diwajibkan membayar pajak tambahan (top up) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya. Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up harus diselesaikan paling lambat 31 Desember 2026.

Pemerintah memberikan waktu 15 bulan setelah tahun pajak berakhir untuk pelaporan GMT. Namun, khusus untuk tahun pertama penerapan, diberikan kelonggaran hingga 18 bulan. Artinya, untuk tahun pajak 2025, pelaporan pertama wajib disampaikan paling lambat 30 Juni 2027.

Ketentuan teknis mengenai formulir, tata cara pengisian, pembayaran, dan pelaporan surat pemberitahuan tahunan akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dukungan untuk Iklim Investasi

Febrio memastikan bahwa penerapan GMT tidak akan mengurangi daya saing investasi di Indonesia. Pemerintah akan memberikan insentif khusus, terutama bagi sektor-sektor yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menambahkan bahwa insentif alternatif dalam bentuk nonfiskal sedang dirancang untuk mengimbangi dampak penerapan GMT.

Saat ini, Indonesia bergabung dengan lebih dari 40 negara yang telah mengadopsi kebijakan ini, di mana mayoritas negara mulai menerapkannya pada tahun 2025. Langkah ini menjadi salah satu upaya Indonesia untuk beradaptasi dengan tren perpajakan global sekaligus mendukung integrasi ekonomi internasional yang lebih transparan. (alf)

Pengamat Nilai Kebijakan Tax Amnesty dan Family Office Tak Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, menyatakan bahwa kebijakan seperti Tax Amnesty dan Family Office sangat tidak berkeadilan. Alasannya, BPS baru saja mengumumkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi masyarakat meningkat.

Menurutnya, khususnya pajak penghasilan (PPh), seharusnya berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan—mengambil dari kelompok kaya untuk mendukung kelompok bawah. Namun, ia menilai bahwa dua kebijakan tersebut justru lebih menguntungkan kelompok superkaya.

“Family Office bisa menjadi alat bagi mereka untuk mengurangi beban pajaknya, sedangkan Tax Amnesty Jilid III menguntungkan wajib pajak yang tidak patuh,” kata Fajri di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Fajry juga menyoroti potensi dampak negatif kebijakan tersebut terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama Otoritas Pajak. Ia khawatir bahwa hal ini dapat merugikan Presiden Prabowo Subianto dalam merealisasikan janji-janji politiknya, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Ia menekankan bahwa kebijakan ini berisiko mengurangi penerimaan pajak dalam jangka panjang.

“Tax Amnesty Jilid III akan membuat wajib pajak semakin tidak patuh dalam jangka menengah-panjang. Sedangkan Family Office dapat berdampak pada penerimaan PPh Pasal 21, mengingat kontribusi tarif tertinggi mencapai 12,6% dari total penerimaan pajak,” kata Fajry.

Dalam pernyataannya, Fajry mengimbau Presiden Prabowo untuk mempertimbangkan kembali rencana penerapan kebijakan tersebut.

“Saya berharap Pak Prabowo menolak dua rencana tersebut demi keadilan sosial dan keberlanjutan penerimaan negara,” katanya. (alf)

Penerapan Aplikasi Coretax Resmi Dimulai, IKPI Soroti Kendala dan Berikan Masukan kepada DJP

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pino Siddharta, menyampaikan pandangannya terkait penerapan aplikasi Coretax yang resmi berjalan sejak 1 Januari 2025. Langkah ini dianggap sebagai upaya pamungkas pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi perpajakan yang modern, akurat, sistematis, dan terintegrasi, dengan mengacu pada single identification number.

Menurut Pino, Coretax memungkinkan administrasi perpajakan dilakukan secara real-time melalui sistem online yang terhubung langsung dengan server Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tanpa batasan waktu dan tempat.

Sekadar informasi, hingga kini data milik DJP sudah terhubung dengan 106 perbankan; 9 entitas lain di kementerian keuangan; 190 kementerian dan lembaga (K/L); 38 pemerintah provinsi; 98 pemerintah kota; 416 pemerintah kabupaten; serta 20 entitas lain, seperti badan usaha milik negara nonperbankan, perusahaan fintech, dan marketplace. Hal ini diharapkan mampu menyederhanakan proses administrasi perpajakan.

Lebih lanjut Pino mengatakan, meskipun sudah berjalan selama 16 hari, berbagai kendala teknis masih ditemui dalam penerapan sistem ini. “Beberapa masalah seperti server DJP yang error, menu yang belum dapat diakses, hingga data yang belum sinkron dengan data AHU Kemenkumham menjadi sumber kekhawatiran wajib pajak dan konsultan pajak. Walau DJP telah berupaya keras mengatasi masalah ini, situasi ini tetap menambah tekanan bagi kedua belah pihak,” ujar Pino di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Untuk mengurangi dampak tersebut, DJP telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak No. 1 Tahun 2025, yang memberikan masa transisi tiga bulan (1 Januari – 31 Maret 2025) terkait pembuatan faktur pajak, khususnya untuk barang non-mewah. Dalam masa ini, wajib pajak dapat memilih dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan, baik dengan tarif lama 11% maupun tarif baru 12%.

Namun, Pino mengusulkan langkah tambahan berupa penerapan masa kahar (force majeure) selama aplikasi Coretax belum sepenuhnya berfungsi dengan optimal. “Masa kahar ini diperlukan agar DJP membebaskan sanksi perpajakan akibat keterlambatan yang disebabkan oleh kendala aplikasi Coretax. Hal ini akan memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak yang sudah berusaha menjalankan kewajibannya,” jelasnya.

IKPI melalui departemen terkait telah mengumpulkan masukan dari anggotanya terkait implementasi Coretax. Hingga 13 Januari 2025, tercatat 34 permasalahan yang dihadapi wajib pajak dan konsultan pajak. Laporan tersebut telah disampaikan kepada DJP pada 14 Januari 2025 untuk ditindaklanjuti.

Pino menegaskan bahwa IKPI sebagai mitra strategis pemerintah akan terus mengawasi dan memberikan masukan demi kemajuan sistem perpajakan nasional. “Kami akan terus menyampaikan kendala yang dihadapi wajib pajak agar Coretax bisa menjadi sistem yang lebih baik dan mendukung penerimaan pajak dengan tetap menjunjung asas keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan administrasi,” ujarnya.

Langkah penerapan Coretax ini diharapkan dapat menjadi pondasi bagi modernisasi perpajakan Indonesia meskipun tantangan di awal implementasi tidak dapat dihindari. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan diimbau untuk terus bersinergi demi tercapainya sistem perpajakan yang lebih baik dan berkelanjutan. (bl)

Luhut Temukan Ratusan Pemuda untuk Bantu Pengembangan Sistem Perpajakan dan Cari Pengemplang Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan sudah menemukan 300 pemuda yang akan membantu pemerintah mengembangkan sistem perpajakan. Tujuannya untuk menelusuri para pengemplang pajak, yang dinilai selama ini telah merugikan negara.

Luhut mengungkapkan, bahwa pemerintah saat ini tengah mengembangkan GovTech atau sebuah sistem data terintegrasi yang mencakup seluruh kementerian/lembaga baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan data perpajakan.

“Saya sudah ketemu mereka, dan mereka siap membantu pemerintah mencari siapa yang nggak bayar pajak ini,” ujar Luhut, Rabu (15/1/2025).

Namun, ia menegaskan pentingnya pendekatan yang hati-hati dalam menelusuri para pengemplang pajak. Menurutnya, pemerintah tidak akan langsung memungut pajak dari semua wajib pajak tanpa pertimbangan matang.

“Kita mesti lihat baik-baik dan dengan kepala dingin melihat ini. Jangan nanti menimbulkan masalah pula. Bisa nggak kita nyari dulu, kita masuk dulu semua ke dalam, jangan terus semua langsung dipajakin,” jelasnya.

Luhut juga menyoroti peran Coretax, salah satu komponen utama dari GovTech yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Dengan implementasi sistem ini, ada potensi tambahan penerimaan negara hingga Rp1.500 triliun.

“World Bank bilang, kalau kalian bisa koleksi pajak di bawah ini dengan benar, kalian akan bisa mendapatkan 6,4 persen dari GDP kalian. Itu setara kira-kira Rp1.500 triliun,” kata Luhut.

Program ini diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memberdayakan generasi muda untuk berkontribusi secara langsung dalam pembangunan ekonomi nasional melalui inovasi teknologi. (alf)

Pemerintah Siapkan Insentif Nonfiskal untuk Imbangi Dampak Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji alternatif insentif guna menyeimbangkan dampak dari penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen. Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpengaruh terhadap mekanisme pembebasan pajak (tax holiday) di Indonesia.

“Kami sedang mengkaji insentif nonfiskal untuk diberikan kepada investor sebagai kompensasi atas dampak GMT. Hal ini penting untuk tetap menjaga daya tarik investasi di Indonesia,” ujar Rosan dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 di Jakarta, Rabu (15/1/2025).

BKPM berencana berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya untuk merumuskan kebijakan insentif alternatif yang efektif. “Kami sedang berdiskusi terkait bagaimana implikasi GMT terhadap kebijakan fiskal kita. Fokusnya adalah memberikan insentif dalam bentuk lain, bukan hanya tax holiday,” katanya.

Implikasi Pajak Minimum Global

GMT, yang disepakati dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), bertujuan mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan global di atas 750 juta euro, yang harus membayar pajak minimal 15 persen.

Jika pajak yang dibayar di suatu yurisdiksi di bawah 15 persen, negara asal perusahaan berhak memungut pajak tambahan (top-up tax). Contohnya, jika suatu perusahaan dikenai pajak 5 persen di Indonesia, negara asalnya dapat menambahkan 10 persen hingga mencapai tarif minimal.

Pengaruh pada Kebijakan Tax Holiday

Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) Badan saat ini sebesar 22 persen. Namun, dengan adanya GMT, pemerintah hanya dapat memberikan pembebasan pajak hingga 7 persen untuk memenuhi tarif minimum global.

Pemerintah tetap memperpanjang kebijakan tax holiday hingga 31 Desember 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan di sektor industri pionir mendapatkan pembebasan PPh Badan hingga 100 persen.

Namun, perusahaan multinasional yang memanfaatkan tax holiday tetap harus memenuhi ketentuan GMT. Bila tingkat pajak efektif yang dibayarkan di bawah 15 persen, perusahaan wajib membayar pajak tambahan minimum domestik.

Rosan menegaskan, insentif nonfiskal akan menjadi alternatif untuk menjaga iklim investasi. Insentif ini dapat berupa kemudahan perizinan, fasilitas infrastruktur, atau dukungan lainnya yang tidak melibatkan pengurangan pajak. “Kami memastikan bahwa Indonesia tetap kompetitif di mata investor meskipun ada kebijakan GMT,” tutupnya.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mempertahankan daya saing Indonesia sebagai destinasi investasi strategis di tengah perubahan kebijakan global. (alf)

id_ID