Kredit Pajak Masukan Kini Bisa Sampai 3 Masa Pajak, Wajib Perhatikan Validitas NPWP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan penyegaran aturan perpajakan melalui penerbitan PER-11/PJ/2025, yang membawa angin segar sekaligus penegasan administratif bagi para Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Salah satu fokus utama dari beleid ini adalah fleksibilitas baru dalam pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kini, PKP diberikan waktu hingga tiga masa pajak berikutnya untuk mengkreditkan pajak masukan, apabila belum sempat dikreditkan pada masa pajak yang sama.

Namun demikian, kelonggaran ini hanya berlaku jika pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau belum dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang atau jasa kena pajak.

Langkah ini diyakini akan membantu dunia usaha dalam mengelola administrasi PPN dengan lebih leluasa, tanpa kehilangan aspek kepatuhan fiskal.

Namun aturan ini juga memberikan penekanan baru terkait validitas Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dalam proses pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), NPWP yang tidak terdaftar atau tidak valid dalam sistem DJP akan dianggap tidak sah. Konsekuensinya, pengisian atau klaim terkait NPWP tersebut dapat berpotensi ditolak.

Selain itu, aturan ini juga menegaskan kembali aturan pembulatan konversi mata uang dalam formulir pajak berdenominasi dolar AS. Angka pecahan akan dibulatkan ke rupiah penuh dengan ketentuan: kurang dari Rp0,50 dibulatkan ke bawah, sedangkan Rp0,50 atau lebih dibulatkan ke atas.

Dengan hadirnya PER-11/PJ/2025, DJP mengharapkan peningkatan kepatuhan yang tetap memberikan ruang kemudahan bagi pelaku usaha dalam menyesuaikan kewajiban perpajakannya. Pelaku usaha dan konsultan pajak diimbau segera menyesuaikan proses administrasi agar tidak terkena sanksi akibat kesalahan teknis. (alf)

Penerimaan Pajak Seret, Pemerintah Bidik Orang Kaya

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak nasional hingga April 2025 masih menunjukkan tekanan berat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, realisasi penerimaan baru mencapai Rp557,10 triliun atau 25,4% dari target tahunan Rp2.189,3 triliun. Angka ini bahkan turun 10,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Ini menambah kekhawatiran setelah tahun 2024 lalu DJP mencatatkan shortfall pertama dalam tiga tahun terakhir, dengan total penerimaan hanya Rp1.932,4 triliun atau 97,2% dari target APBN.

Menanggapi tren negatif ini, pemerintah kini mengarahkan fokus pada kelompok wajib pajak orang pribadi berpenghasilan tinggi, khususnya mereka yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) 35%.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pengawasan terhadap kelompok elite ini diperketat. “Kami memastikan bahwa data yang dilaporkan wajib pajak sesuai dengan kondisi sebenarnya,” kata Yon, di Jakarta, baru-baru inj.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi DJP untuk memperkuat basis pajak dan mencegah praktik penghindaran pajak, terutama dari kalangan dengan kemampuan finansial tinggi. (alf)

 

Penerimaan Pajak Jakarta Barat Capai Rp25,42 Triliun, Dorong Optimisme Fiskal di Kuartal I-2025

IKPI, Jakarta: Kinerja fiskal di wilayah Jakarta Barat menunjukkan sinyal positif pada awal tahun ini. Hingga 30 April 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat sukses membukukan penerimaan neto sebesar Rp25,42 triliun, setara dengan 32,35% dari target tahunan. Angka ini mencerminkan pertumbuhan sebesar 6,16% dibandingkan periode yang sama pada 2024.

Kontribusi tertinggi masih datang dari Pajak Penghasilan (PPh) yang mencapai Rp14,42 triliun, tumbuh signifikan sebesar 11,81%. Namun demikian, tidak semua jenis pajak mengalami peningkatan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mengalami penyusutan sebesar 7,62%. Penurunan lebih tajam tercatat pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang turun hingga 28,41%. Meski begitu, kategori pajak lainnya justru melonjak dengan kontribusi Rp809,18 miliar.

Dari sisi sektor ekonomi, perdagangan mencatat posisi teratas sebagai kontributor terbesar dengan total penerimaan Rp11,35 triliun atau 44,65% dari total wilayah. Disusul oleh sektor industri pengolahan dengan Rp5,05 triliun (23,81%), transportasi dan pergudangan sebesar Rp1,72 triliun (6,80%), serta konstruksi sebesar Rp1,15 triliun (4,53%).

Kinerja tersebut mendapat sorotan dalam Konferensi Pers ALCo Regional DKI Jakarta yang digelar secara daring pada 27 Mei 2025. Kepala Kanwil DJPb DKI Jakarta, Mei Ling, menyampaikan bahwa pendapatan negara hingga April mencapai Rp557,35 triliun atau 31,05% dari target APBN, sementara belanja negara berada di angka Rp440,98 triliun. Hasilnya adalah surplus fiskal sebesar Rp116,37 triliun, menandai pengelolaan anggaran yang efisien dan akuntabel.

Sementara itu, Kepala Seksi Data dan Potensi Kanwil DJP Jakarta Timur, Dwi Krisnanto, menyatakan bahwa pemulihan penerimaan pajak secara bulanan terus berlanjut, terutama berkat dorongan dari PPh dan PPN. Secara agregat, seluruh Kanwil DJP di DKI Jakarta telah menghimpun penerimaan sebesar Rp421,87 triliun atau 75,73% dari total nasional. Rincian penerimaan antara lain berasal dari PPh Nonmigas (Rp206,02 triliun), PPN (Rp80,65 triliun), PPh Migas (Rp9,08 triliun), dan PBB serta pajak lainnya (Rp126,06 triliun).

Keberhasilan ini turut diperkuat oleh implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban mereka secara digital dan real-time.

Tak hanya dari sektor perpajakan, sinyal positif juga datang dari kinerja kepabeanan dan cukai. Kepala Bidang Perbendaharaan KPU Bea Cukai Tanjung Priok, Andi Hermawan, menyebutkan bahwa hingga April 2025, penerimaan dari sektor ini mencapai Rp6,78 triliun atau 25,86% dari target, tumbuh 2,77% dibandingkan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga menunjukkan performa impresif. Setiawan Suryowidodo, Kepala Seksi Hukum Bidang Kepatuhan Internal DJKN DKI Jakarta, melaporkan bahwa hingga April, PNBP telah mencapai Rp128,56 triliun atau 54,40% dari target, dengan dorongan utama dari sektor sumber daya alam.

Secara umum, perekonomian DKI Jakarta sepanjang kuartal I-2025 berjalan stabil. Inflasi terjaga dalam rentang sasaran, dan indikator makroekonomi lainnya menunjukkan ketahanan yang kuat di tengah dinamika global. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak Bali Tembus Rp5,13 Triliun hingga April 2025, Perdagangan dan Pariwisata Jadi Motor Utama

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali mencatat kinerja positif dalam empat bulan pertama 2025. Total penerimaan pajak di wilayah ini mencapai Rp5,13 triliun, tumbuh 10,21 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp4,6 triliun.

Kepala Kanwil DJP Bali, Darmawan, dalam keterangannya di Denpasar menjelaskan, sektor perdagangan besar dan eceran, termasuk reparasi serta perawatan kendaraan bermotor, menjadi penyumbang terbesar penerimaan dengan kontribusi mencapai Rp942,69 miliar atau 18,36 persen dari total.

“Pertumbuhan ini mencerminkan geliat ekonomi Bali yang terus membaik, khususnya dari aktivitas perdagangan dan sektor pariwisata yang kembali pulih pasca-pandemi,” ujar Darmawan, Rabu (28/5/2025).

Sektor pariwisata, yakni penyediaan akomodasi serta usaha makan dan minum, menempati posisi kedua dengan kontribusi Rp848,09 miliar atau 16,52 persen. Diikuti oleh sektor keuangan dan asuransi sebesar Rp734,40 miliar (14,31 persen), aktivitas profesional dan teknis Rp434,91 miliar (8,47 persen), serta industri pengolahan sebesar Rp398,04 miliar (7,75 persen). Sektor lainnya menyumbang total Rp1,77 triliun atau sekitar 34,58 persen dari keseluruhan penerimaan.

Darmawan juga mengungkapkan bahwa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Denpasar menjadi penopang terbesar dalam capaian ini dengan realisasi Rp2,7 triliun dari target tahunan Rp8,5 triliun.

Dari sisi jenis pajak, Pajak Penghasilan (PPh) mendominasi dengan nilai Rp3,7 triliun. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp1,12 triliun. Sisanya berasal dari jenis pajak lain yang berjumlah Rp264,16 miliar.

Meski pertumbuhan cukup menjanjikan, realisasi penerimaan baru menyentuh 28,54 persen dari target tahunan yang hampir menembus Rp18 triliun. Namun, optimisme tetap terjaga, didukung oleh meningkatnya kepatuhan wajib pajak.

Hingga Mei 2025, sebanyak 340.935 Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh telah dilaporkan. Jumlah ini terdiri atas 35.955 SPT dari badan usaha, 267.280 SPT dari pegawai, dan 37.700 SPT dari wajib pajak orang pribadi non-karyawan.

“Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, angka pelaporan SPT naik sekitar tiga persen. Ini menunjukkan kesadaran perpajakan masyarakat Bali juga mengalami peningkatan,” kata Darmawan. (alf)

 

 

DJP Ungkap Tantangan Awasi Pajak Influencer: Identitas Ganda Jadi Kendala

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan telah melakukan pengawasan hingga pemeriksaan terhadap para influencer dan content creator terkait kewajiban perpajakan mereka. Hal ini diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Hotel Ashley, Jakarta, pada Selasa (27/5/2025).

“Kalau ditanya apakah kami pernah melakukan pemeriksaan terhadap influencer, saya bisa pastikan itu sudah pernah dilakukan. Ada catatannya,” ujar Yon di hadapan peserta diskusi.

Namun, ia mengakui bahwa proses pengawasan tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kesulitan dalam mengidentifikasi secara spesifik para pelaku industri digital karena keterbatasan struktur data dan belum adanya klasifikasi usaha yang mengakomodasi profesi influencer secara tersendiri dalam sistem Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

“Seorang influencer bisa juga berstatus sebagai ASN atau karyawan swasta. Ketika profesi tumpang tindih, maka pemetaan datanya menjadi lebih rumit,” jelasnya.

Menurut Yon, DJP tidak secara khusus membidik nama-nama tertentu, melainkan bekerja berdasarkan data yang ditemukan dan dilakukan verifikasi apabila ditemukan ketidaksesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dengan informasi yang dimiliki otoritas pajak.

“Penindakannya bertahap. Kita mulai dari pendekatan lunak, verifikasi, klarifikasi, lalu bisa ke tindakan yang lebih tegas bila diperlukan,” imbuhnya.

Yon juga mengingatkan bahwa kewajiban pajak berlaku sama bagi semua profesi. “Apapun pekerjaannya mau influencer, PNS, karyawan, atau pengusaha kalau penghasilannya melewati batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka tetap wajib membayar pajak sesuai tarif yang berlaku,” tegasnya.

Sebagai catatan, kewajiban perpajakan bagi influencer bukan merupakan jenis pajak baru. Profesi ini digolongkan sebagai pekerjaan bebas dalam ketentuan Pajak Penghasilan (PPh), dan telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. (alf)

 

DJP Sederhanakan Pelaporan SPT dan e-Faktur Coretax Melalui PER-11/2025 

IKPI ,Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mengesahkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 pada 22 Mei 2025. Regulasi setebal 119 halaman ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, menyederhanakan administrasi, serta mendukung implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang tengah diperbarui.

Dalam konsiderannya, PER-11/2025 ditegaskan sebagai respon atas kebutuhan sistem pelaporan pajak yang lebih adaptif terhadap dinamika bisnis dan teknologi saat ini. Ketentuan lama dinilai belum memadai dalam menjawab tantangan pelaporan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan bea meterai.

PER-11/2025 menghadirkan pengaturan komprehensif seputar bentuk, isi, dan prosedur pengisian serta penyampaian berbagai jenis Surat Pemberitahuan (SPT), antara lain:

• SPT Masa PPh, mencakup:

• PPh Pasal 21/26;

• SPT Masa PPh Unifikasi;

• Laporan penerimaan negara dari usaha hulu migas.

• SPT Masa PPN, untuk:

• Pengusaha Kena Pajak (PKP);

• PKP dengan pedoman khusus pengkreditan pajak masukan;

• Pemungut PPN yang bukan PKP.

• SPT Masa Bea Meterai.

• SPT Tahunan PPh, termasuk:

• Wajib Pajak orang pribadi;

• Wajib Pajak badan, baik dalam rupiah maupun dolar AS, khususnya bagi entitas usaha hulu migas.

• Laporan Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 untuk bank, BUMN, BUMD, perusahaan terbuka, dan Wajib Pajak lainnya.

• Dokumen Lampiran SPT, termasuk format, jenis, dan sarana penyampaiannya.

• Prosedur Penyampaian dan Pengolahan SPT oleh DJP.

Seluruh SPT wajib memuat elemen dasar seperti jenis pajak, identitas dan NPWP Wajib Pajak, masa/tahun pajak, serta tanda tangan (manual atau elektronik) dari Wajib Pajak atau kuasanya.

Aturan Teknis Pembuatan e-Faktur

Selain pelaporan SPT, PER-11/2025 juga menegaskan ketentuan baru dalam penerbitan faktur pajak elektronik. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa faktur pajak wajib berbentuk dokumen elektronik dan dibuat melalui:

• Portal Wajib Pajak; atau

• Aplikasi lain yang terhubung langsung dengan sistem administrasi DJP.

Faktur tersebut harus mencantumkan tanda tangan elektronik.

Lebih lanjut, Pasal 44 b mengatur bahwa e-Faktur wajib diunggah ke DJP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah dibuat, menggunakan modul e-Faktur yang telah disediakan. Persetujuan dari DJP menjadi syarat sahnya faktur tersebut.

Transformasi Pajak Lewat Coretax

PER-11/2025 merupakan salah satu pilar penting dalam agenda transformasi digital DJP melalui Coretax. Dengan kejelasan aturan dan kemudahan teknis yang ditawarkan, pemerintah berharap pelaporan pajak makin efisien, akuntabel, dan terintegrasi.

Wajib Pajak baik individu, badan, maupun entitas usaha migas diimbau segera mempelajari dan menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini agar tidak terkendala dalam proses pelaporan pajak. (alf)

 

Norwegia Uji Coba Pemberian Potongan Pajak Kepada100 Ribu Pemuda Terpilih

IKPI, Jakarta: Pemerintah Norwegia akan memberikan fasilitas potongan pajak yang mencapai Rp 43,7 juta pertabun kepada 100 ribu pemuda terpilih. Langkah ini merupakan bagian dari eksperimen nasional untuk mengkaji pengaruh insentif pajak terhadap partisipasi tenaga kerja kaum muda.

Rencana ambisius ini akan menargetkan pekerja kelahiran antara tahun 1990 hingga 2005, dengan pemilihan dilakukan secara acak. Bila disetujui parlemen, mereka yang terpilih akan menikmati keringanan pajak hingga US$ 2.700 per tahun (sekitar Rp 43,7 juta) selama periode tiga hingga lima tahun.

Menurut laporan Reuters pada Rabu (28/5/2025), inisiatif ini diajukan oleh Menteri Keuangan Jens Stoltenberg bersama Menteri Tenaga Kerja Tonje Brenna. Tujuannya adalah menggali data empiris mengenai efektivitas pemotongan pajak dalam mendorong kaum muda untuk memasuki atau tetap berada di dunia kerja formal.

“Langkah ini akan memberi kita bukti konkret apakah pengurangan pajak benar-benar mendorong lebih banyak anak muda untuk bekerja, atau meningkatkan jam kerja mereka yang sudah bekerja,” ungkap Kementerian Keuangan dalam keterangannya.

Sebanyak 100 ribu pekerja muda akan menjadi bagian dari studi berskala nasional, sementara kelompok lainnya akan tetap membayar pajak seperti biasa. Perbandingan antara kedua kelompok ini diharapkan dapat memberikan wawasan mendalam bagi perumusan kebijakan ketenagakerjaan di masa mendatang.

Program ini diperkirakan menelan anggaran sekitar US$ 49 juta per tahun, atau hampir Rp 794 miliar. Meski demikian, biaya ini dinilai kecil jika dibandingkan dengan kekuatan fiskal Norwegia yang ditopang oleh dana kekayaan negara senilai US$ 1,8 triliun yang terbesar di dunia. Negara tersebut secara rutin menarik puluhan miliar dolar dari dana tersebut untuk membiayai kebijakan publik.

Selain menghadapi tekanan jaminan sosial yang meningkat, Norwegia juga tengah bergulat dengan kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor. Oleh karena itu, pemerintah gencar mencari solusi, termasuk melalui pelatihan kerja dan reformasi dukungan sosial.

Jika berhasil, program ini berpotensi menjadi model kebijakan baru untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam menarik partisipasi tenaga kerja muda. (alf)

 

 

Pemerintah Pertimbangkan Penerapan Pajak Kekayaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai membuka peluang untuk menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai upaya memperkuat penerimaan negara dan menciptakan keadilan sosial. Meski demikian, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa wacana tersebut masih membutuhkan proses panjang serta kajian mendalam sebelum dapat diimplementasikan.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menyampaikan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap pentingnya pajak kekayaan, namun penetapan jenis pajak baru memerlukan tahapan yang hati-hati dan tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa.

“Kita punya arah ke sana, tetapi pengenalan pajak baru bukan perkara sederhana. Butuh waktu, riset, dan tentu saja diskusi publik yang inklusif,” ujar Yon dalam sebuah diskusi bertajuk “Keadilan Pajak dan Reformasi Fiskal’ yang digelar di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Yon menegaskan bahwa regulasi pajak kekayaan nantinya harus melalui proses legislasi karena dikategorikan sebagai jenis pajak baru. Ini berarti pembahasan bersama DPR RI dan penyesuaian dalam Undang-Undang Perpajakan menjadi syarat mutlak.

“Kalau hari ini kita ingin kenakan pajak, lalu besok langsung bikin aturannya, tentu tidak bisa seperti itu. Kita butuh kajian cost-benefit analysis dan melihat beban pajak yang sudah ada,” tambahnya.

Isu pajak kekayaan sendiri terus menjadi sorotan dalam forum-forum internasional sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun di Indonesia, wacana ini masih berada dalam tahap eksplorasi dan diskursus publik.

Dalam forum yang sama, Yenti Nurhidayat dari Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) mendorong agar pemerintah tidak hanya mempertimbangkan, tetapi juga segera menindaklanjuti penerapan pajak kekayaan sebagai salah satu alternatif penyumbang penerimaan negara.

“Mereka yang berada di puncak piramida ekonomi menikmati berbagai fasilitas dan akses istimewa dari negara. Sudah saatnya kontribusi mereka juga diatur melalui skema pajak yang lebih adil,” kata Yenti.

Mengutip laporan yang dirilis oleh PRAKARSA dan FPBI, pajak kekayaan diusulkan dikenakan pada individu dengan aset bersih di atas US$ 10 juta atau sekitar Rp 155 miliar. Tarif yang diusulkan bersifat progresif, antara 1% hingga 2%, dengan cakupan aset yang luas, termasuk tabungan, saham, logam mulia, hingga warisan dan hibah.

Diperkirakan terdapat sekitar 4.600 orang Indonesia yang masuk dalam kategori wajib pajak kekayaan ini. Dengan estimasi tersebut, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan bisa mencapai Rp 54 triliun hingga Rp 155 triliun untuk satu kali pengenaan.

Langkah menuju penerapan pajak kekayaan ini menandai titik awal diskusi serius tentang keadilan fiskal di Indonesia. Pemerintah pun ditantang untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan dengan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan ekonomi nasional. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak DJP Jakarta Pusat Tembus Rp35,84 Triliun hingga April 2025

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Pusat menunjukkan kinerja impresif hingga 30 April 2025. Tercatat total penerimaan mencapai Rp35,84 triliun atau setara dengan 32,33% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp110,85 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, mengungkapkan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) mendominasi kontribusi penerimaan dengan angka Rp24,71 triliun atau 42,59% dari target. “Pertumbuhan penerimaan secara tahunan mencapai 7,26% dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Selain PPh, sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) turut menyumbang Rp7,81 triliun atau 15,05% dari target. Sementara itu, pos Pajak Lainnya mencatatkan capaian luar biasa sebesar Rp3,28 triliun, melampaui target sebesar Rp75,95 miliar setara dengan 4.323,84% dari target.

Eddi menjelaskan bahwa lonjakan pada Pajak Lainnya disebabkan oleh penerimaan signifikan dari jenis pajak tertentu yang sebelumnya ditargetkan konservatif. “Ini mencerminkan adanya aktivitas ekonomi tertentu yang melonjak tajam dan berhasil ditangkap sistem administrasi perpajakan,” imbuhnya.

Kontribusi terbesar terhadap penerimaan April 2025 berasal dari tiga sektor utama: perdagangan (Rp3,66 triliun), industri pengolahan (Rp1,89 triliun), dan jasa perusahaan (Rp1,65 triliun). Secara bulanan, penerimaan neto April melonjak 32,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertumbuhan pesat ini turut ditopang oleh peningkatan kinerja sistem Coretax yang semakin stabil. “Peningkatan performa layanan ini sangat membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,” kata Eddi.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak dari seluruh Kanwil DJP di Jakarta hingga akhir April 2025 mencapai Rp421,87 triliun atau 27,54% dari target nasional. Rinciannya meliputi PPh Non-Migas sebesar Rp206,02 triliun (23,83%), PPN sebesar Rp80,65 triliun (14,09%), PPh Migas sebesar Rp9,08 triliun (14,45%), serta PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp126,06 triliun atau 396,98% dari target.

Menariknya, dibandingkan dengan bulan Maret 2025, terjadi lonjakan penerimaan sebesar 210,76 persen pada April. Hal ini mencerminkan keberhasilan akselerasi pemungutan PPh dan PPN serta pengaruh positif dari reformasi sistem administrasi perpajakan melalui Coretax. (alf)

 

 

DJP Perbarui Batas Waktu Unggah e-Faktur Lewat PER-11/2025: Tak Lagi Tanggal 15!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memperpanjang batas waktu unggah faktur pajak elektronik (e-Faktur) berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025). Dalam aturan terbaru ini, pengusaha kena pajak (PKP) diberikan kelonggaran waktu hingga tanggal 20 bulan berikutnya untuk mengunggah e-Faktur, menggantikan batas sebelumnya yang jatuh pada tanggal 15 berdasarkan PER-03/PJ/2022 juncto PER-11/PJ/2022.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari penyesuaian implementasi sistem inti administrasi perpajakan (coretax system) yang tengah digalakkan DJP. Salah satu perubahan signifikan lainnya adalah penghapusan kewajiban permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP) sebelum pengunggahan e-Faktur. Kini, NSFP akan diberikan secara otomatis saat e-Faktur diunggah dan mendapat persetujuan dari DJP, selama unggahan dilakukan dalam rentang waktu yang ditentukan.

“Ini adalah bentuk penyederhanaan dan modernisasi proses administrasi perpajakan. Kami mendorong kepatuhan sekaligus memberikan ruang yang lebih rasional bagi PKP dalam mengelola pelaporan e-Faktur,” ujar seorang pejabat DJP yang tidak disebutkan namanya.

Ilustrasi Kasus

Ambil contoh kasus PT H, sebuah PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) pada 11 September 2025. Mereka membuat e-Faktur pada hari yang sama menggunakan modul e-Faktur dan mencantumkan tanggal faktur 11 September. Namun, pengunggahan baru dilakukan pada 14 Oktober 2025. Karena masih dalam batas waktu hingga 20 Oktober 2025, e-Faktur tersebut tetap disetujui DJP.

Sebaliknya, bila PT H baru mengunggah e-Faktur itu pada 21 Oktober 2025, maka DJP akan menolaknya. Alhasil, dokumen itu tidak dianggap sebagai faktur pajak yang sah.

Ketentuan Lama Masih Berlaku Terbatas

Meski aturan baru ini mulai berlaku, ketentuan dalam PER-03/PJ/2022 s.t.d.d. PER-11/PJ/2022 tetap diterapkan dalam konteks tertentu, terutama untuk PKP yang masih menggunakan e-Faktur client desktop atau host-to-host. Artinya, transisi ke sistem baru bersifat bertahap dan mempertimbangkan kesiapan teknologi para PKP.

Dengan diberlakukannya PER-11/2025, DJP berharap wajib pajak makin mudah dalam menjalankan kewajiban perpajakannya tanpa mengorbankan akurasi dan kepatuhan.(alf)

 

id_ID