DJP Bantah ada Pegawai Olahraga di Jam Kerja: Ini Kata Direktur P2Humas!

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membantah kabar yang menyebut ada pegawainya berolahraga di ruang kerja saat jam dinas ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan kunjungan ke Kantor Pusat DJP, Rabu (17/9/2025).

Direktur P2Humas DJP, Rosmauli, melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/10/2025) menegaskan bahwa kegiatan senam yang terlihat saat kunjungan tersebut berlangsung setelah jam kerja berakhir, tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB.

“Kegiatan itu dilakukan setelah jam kerja. Jadi tidak benar ada pegawai yang berolahraga di waktu dinas,” ujar Rosmauli.

Rosmauli menjelaskan, saat itu Menteri Keuangan berkunjung ke beberapa ruangan di kantor pusat DJP, termasuk aula salah satu gedung  tempat sejumlah pegawai wanita sedang melakukan senam. Turut mendampingi kunjungan tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, serta beberapa pejabat eselon lainnya.

Menurutnya, suasana saat itu justru berlangsung hangat. Menteri Keuangan sempat berbincang santai dengan para pegawai dan bahkan meladeni beberapa yang meminta swafoto bersama.

“Kalau kegiatan itu terjadi di jam kerja, tentu sudah langsung ditegur. Tapi faktanya, Pak Menteri justru berinteraksi dengan akrab dan bahkan berfoto bersama para pegawai,” jelasnya.

Rosmauli menambahkan, kegiatan olahraga ringan di lingkungan kantor adalah bagian dari upaya DJP mendorong kebugaran dan keseimbangan kerja, selama dilakukan di luar jam dinas atau sesuai aturan yang berlaku.

“Kami mendukung kegiatan positif pegawai, termasuk menjaga kesehatan. Namun disiplin dan etika kerja tetap prioritas,” tegasnya.

Sebelumnya, sempat beredar kabar di media sosial yang menyebut Menteri Keuangan mendapati pegawai DJP berolahraga di ruang kerja saat jam dinas. Kabar tersebut menuai berbagai tanggapan publik.

Namun klarifikasi resmi dari DJP memastikan bahwa tidak ada pelanggaran disiplin dalam peristiwa itu.

Rosmauli menegaskan bahwa DJP tetap berkomitmen menjaga profesionalisme aparatur dan membangun budaya kerja yang sehat, humanis, serta berintegritas. (bl)

Trump Ultimatum India: Hentikan Impor Minyak Rusia atau Siap Bayar Tarif Besar

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataan tegas terhadap India terkait pembelian minyak dari Rusia. Dalam pernyataan terbarunya di pesawat kepresidenan Air Force One, Minggu (19/10/2025), Trump menegaskan bahwa India akan tetap dikenakan tarif impor besar jika tak segera menghentikan transaksi energi dengan Moskow.

“Saya sudah berbicara dengan Perdana Menteri Modi, dan dia mengatakan tidak akan melanjutkan urusan minyak Rusia,” ujar Trump kepada wartawan, mengulang klaim yang sebelumnya juga ia sampaikan pekan lalu.

Namun, ketegangan meningkat setelah pemerintah India menyatakan tidak mengetahui adanya percakapan seperti yang diklaim Trump. Saat dikonfirmasi mengenai bantahan tersebut, presiden AS itu menanggapinya dengan nada menekan.

“Kalau mereka mau bilang begitu, ya silakan saja. Tapi mereka akan terus membayar tarif yang sangat besar, dan mereka tidak mau itu terjadi,” kata Trump dengan nada tajam.

Pernyataan keras itu memperkuat posisi Washington dalam menekan negara-negara yang masih menjalin kerja sama energi dengan Rusia, di tengah upaya Barat membatasi pendapatan Moskow dari ekspor minyak sebagai bentuk sanksi atas invasi ke Ukraina.

Sikap Trump kali ini juga menandai kembalinya gaya diplomasi konfrontatif ala “America First”, di mana tekanan ekonomi digunakan sebagai senjata politik untuk memaksa negara lain menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan AS.

Analis menilai, ancaman tarif terhadap India bisa memicu gesekan baru dalam hubungan dagang kedua negara. India sendiri selama ini menjadi salah satu pembeli terbesar minyak Rusia dengan harga diskon, yang membantu menekan inflasi domestik.

Jika ancaman tarif benar-benar diberlakukan, India menghadapi dilema sulit antara menjaga stabilitas ekonomi nasional atau mempertahankan hubungan strategis dengan Washington. (alf)

Shutdown AS Hambat Negosiasi, Airlangga Pastikan Tarif Impor Indonesia Rampung Desember

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan proses negosiasi tarif bea masuk produk-produk Indonesia ke Amerika Serikat tetap berjalan meski sempat tersendat akibat shutdown pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump. Pemerintah menargetkan kesepakatan final akan rampung pada akhir tahun ini.

“Negosiasi sedang berjalan dan kita terus membahas detailnya. Saat ini sudah masuk tahap legal drafting yang memang memerlukan waktu,” ujar Airlangga kepada wartawan usai membuka Program Pemagangan Nasional Lulusan Perguruan Tinggi Batch I di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Ia menegaskan, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen menyelesaikan pembahasan tersebut sesuai tenggat waktu. “Deadline-nya tahun ini, tepatnya bulan Desember,” kata Airlangga menambahkan.

Sebelumnya, Airlangga sempat menyampaikan bahwa negosiasi tarif sempat terhenti akibat dampak government shutdown di Amerika Serikat yang menghentikan sebagian aktivitas pemerintahan, termasuk proses diplomasi ekonomi.

“Dengan adanya shutdown di Amerika, kita juga ikut terdampak. Artinya, proses negosiasinya sementara terhenti,” ujarnya dalam konferensi pers perundingan ASEAN DEFA di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

Meski begitu, pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan situasi di Washington dan tetap menjalin komunikasi aktif dengan mitra dagang Negeri Paman Sam. “Kita monitor terus perkembangan di sana, begitu kondisi memungkinkan, pembahasan akan kita percepat,” tegasnya.

Airlangga menambahkan, penyelesaian negosiasi ini penting untuk menjaga daya saing ekspor Indonesia di pasar AS serta memastikan kepastian tarif bagi sejumlah komoditas unggulan nasional. Pemerintah berharap hasil akhir perundingan bisa memberikan keuntungan timbal balik bagi kedua negara.

Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah memperkuat hubungan dagang internasional di tengah dinamika ekonomi global yang masih penuh tantangan. (alf)

Forum Bakohumas Bahas Aktivasi dan Registrasi Akun Coretax

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat langkah menuju digitalisasi pelayanan perpajakan. Salah satu agenda pentingnya adalah penerapan sistem Coretax sebagai sarana utama pelaporan SPT Tahunan mulai tahun pajak 2025 yang dilaporkan pada 2026.

Sebagai bagian dari sosialisasi nasional, DJP menggelar Forum Tematik Bakohumas bertema “Penyebaran Informasi Terkait Kemudahan Pelaporan SPT Tahunan 2025 melalui Coretax” di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025). Kegiatan ini dihadiri lebih dari 190 pegawai kehumasan dari 68 kementerian dan lembaga.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menyampaikan bahwa forum ini bertujuan memberikan pemahaman menyeluruh mengenai aktivasi akun dan penggunaan kode otorisasi Coretax.

“Forum ini menjadi sarana sosialisasi sekaligus pendampingan agar para peserta memahami proses aktivasi akun dan otorisasi Coretax, yang akan diterapkan penuh mulai tahun 2026,” ujar Deni.

Melalui sistem Coretax, wajib pajak akan dapat mengakses seluruh layanan perpajakan secara terpadu, mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran. Sistem ini memungkinkan integrasi data otomatis sehingga proses administrasi menjadi lebih cepat, akurat, dan sesuai dengan profil wajib pajak.

Deni menjelaskan, sekitar 14 juta wajib pajak di Indonesia perlu melakukan aktivasi dan registrasi akun Coretax sebelum masa pelaporan dimulai pada 1 Januari 2026. “Dengan aktivasi lebih awal, wajib pajak dapat memastikan akses layanan berjalan lancar saat pelaporan SPT,” ujarnya.

DJP juga memastikan bahwa keamanan data menjadi prioritas utama. Coretax dilengkapi autentikasi berlapis dan fitur keamanan dua langkah (two-factor authentication) untuk memberikan perlindungan tambahan bagi pengguna.

Melalui forum ini, DJP berharap seluruh peserta dapat menjadi perpanjangan tangan dalam memperluas penyebaran informasi ke instansi dan masyarakat.

“Peran kehumasan sangat penting sebagai jembatan komunikasi publik. Aktivasi Coretax bukan hanya kewajiban administratif, tapi bagian dari transformasi besar menuju pelayanan pajak yang modern dan transparan,” pungkas Deni. (alf)

IKPI Ajak Anggota Galakkan Validasi Coretax hingga ke Klien

(Foto: DOK. Pribadi)

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengimbau seluruh anggotanya untuk mendukung penuh program validasi Coretax  yang tengah dijalankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menegaskan bahwa ajakan ini tidak hanya ditujukan kepada para konsultan pajak, tetapi juga kepada para klien atau wajib pajak yang mereka tangani.

“Validasi Coretax bukan hanya tanggung jawab konsultan pajak, tapi juga wajib pajak sebagai pengguna langsung sistem ini. Kami mengimbau anggota IKPI agar ikut menyampaikan pesan ini kepada seluruh klien mereka,” ujar Jemmi di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Menurut Jemmi, program validasi ini merupakan tahap penting dalam implementasi sistem perpajakan modern berbasis data yang terintegrasi. Dengan melakukan validasi, wajib pajak membantu memastikan bahwa seluruh data profil dan aktivitas perpajakan mereka tercatat secara akurat di sistem baru DJP.

“Validasi Coretax akan mempermudah pelayanan, mempercepat restitusi, dan meningkatkan akurasi data. Tapi manfaat itu baru terasa kalau semua pihak sudah melakukan validasi dengan benar,” jelasnya.

Ia menambahkan, IKPI sebagai mitra strategis DJP turut berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat dan dunia usaha agar siap menghadapi perubahan sistem administrasi pajak digital tersebut.

“Selama ini, banyak yang berpikir validasi cukup dilakukan oleh konsultan pajak. Padahal, wajib pajak sendiri juga harus memastikan datanya benar dan sesuai. Jadi, himbauan kami bukan hanya ke anggota, tapi juga agar anggota menghimbau klien-kliennya untuk melakukan validasi,” tegas Jemmi.

Selain itu, Jemmi juga mengingatkan pentingnya keakuratan data seperti NPWP, alamat, dan nomor kontak serta email aktif Wajib Pajak yang digunakan agar tidak menghambat akses layanan pajak. Ia berharap seluruh anggota IKPI dapat menjadi agen informasi yang aktif dalam menyukseskan penerapan Coretax di lapangan.

“Keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada partisipasi semua pihak. IKPI siap mendukung langkah pemerintah mewujudkan administrasi perpajakan yang lebih modern, efisien, dan transparan,” tutupnya. (bl)

Libur Akhir Tahun Makin Ringan! Pemerintah Tanggung Sebagian PPN Tiket Pesawat Ekonomi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan kabar gembira bagi masyarakat yang berencana bepergian saat libur Natal dan Tahun Baru. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2025, sebagian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas tiket pesawat kelas ekonomi resmi akan ditanggung oleh negara.

Kebijakan ini berlaku untuk pembelian tiket mulai 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026, dengan periode penerbangan antara 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026. Langkah ini menjadi bagian dari upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendorong pemulihan ekonomi dan pariwisata nasional menjelang puncak musim liburan.

Dalam aturan yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 15 Oktober 2025 itu, tarif PPN untuk jasa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi tetap sebesar 11%. Bedanya, beban pajak kini dibagi dua: 5% dibayar oleh penumpang, sementara 6% ditanggung pemerintah melalui skema Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP).

Artinya, masyarakat hanya perlu membayar sebagian kecil dari pajak yang biasanya dikenakan penuh pada tiket pesawat. Dengan skema ini, harga tiket diharapkan bisa lebih terjangkau tanpa menekan pendapatan maskapai penerbangan.

Pemerintah juga menegaskan bahwa maskapai penerbangan yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak atau dokumen tertentu (tiket), menyampaikan SPT Masa PPN, serta melaporkan transaksi PPN DTP secara elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Namun, bila maskapai tidak memenuhi ketentuan pelaporan, atau penjualan dilakukan di luar periode yang ditetapkan, maka fasilitas PPN DTP tidak berlaku. Dengan demikian, PPN akan dibebankan penuh kepada penumpang seperti biasa.

Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menurunkan beban biaya perjalanan masyarakat, tetapi juga menghidupkan kembali pergerakan wisata domestik. Pemerintah menilai momentum libur akhir tahun penting untuk menstimulasi sektor transportasi, perhotelan, hingga UMKM lokal yang sempat lesu.

Fokus penerintah adalah menjaga daya beli dan memastikan perputaran ekonomi tetap kuat menjelang akhir tahun.

Dengan insentif pajak ini, masyarakat bisa merencanakan libur akhir tahun tanpa terlalu khawatir soal harga tiket, sementara dunia usaha mendapat dorongan baru untuk bangkit.  (alf)

DJP Bantah ada Pegawai Olahraga di Jam Kerja: Ini Kata Direktur P2Humas!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membantah kabar yang menyebut ada pegawainya berolahraga di ruang kerja saat jam dinas ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan kunjungan ke Kantor Pusat DJP, Rabu (17/9/2025).

Direktur P2Humas DJP, Rosmauli, melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/10/2025) menegaskan bahwa kegiatan senam yang terlihat saat kunjungan tersebut berlangsung setelah jam kerja berakhir, tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB.

“Kegiatan itu dilakukan setelah jam kerja. Jadi tidak benar ada pegawai yang berolahraga di waktu dinas,” ujar Rosmauli.

Rosmauli menjelaskan, saat itu Menteri Keuangan berkunjung ke beberapa ruangan di kantor pusat DJP, termasuk aula salah satu gedung  tempat sejumlah pegawai wanita sedang melakukan senam. Turut mendampingi kunjungan tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, serta beberapa pejabat eselon lainnya.

Menurutnya, suasana saat itu justru berlangsung hangat. Menteri Keuangan sempat berbincang santai dengan para pegawai dan bahkan meladeni beberapa yang meminta swafoto bersama.

“Kalau kegiatan itu terjadi di jam kerja, tentu sudah langsung ditegur. Tapi faktanya, Pak Menteri justru berinteraksi dengan akrab dan bahkan berfoto bersama para pegawai,” jelasnya.

Rosmauli menambahkan, kegiatan olahraga ringan di lingkungan kantor adalah bagian dari upaya DJP mendorong kebugaran dan keseimbangan kerja, selama dilakukan di luar jam dinas atau sesuai aturan yang berlaku.

“Kami mendukung kegiatan positif pegawai, termasuk menjaga kesehatan. Namun disiplin dan etika kerja tetap prioritas,” tegasnya.

Sebelumnya, sempat beredar kabar di media sosial yang menyebut Menteri Keuangan mendapati pegawai DJP berolahraga di ruang kerja saat jam dinas. Kabar tersebut menuai berbagai tanggapan publik.

Namun klarifikasi resmi dari DJP memastikan bahwa tidak ada pelanggaran disiplin dalam peristiwa itu.

Rosmauli menegaskan bahwa DJP tetap berkomitmen menjaga profesionalisme aparatur dan membangun budaya kerja yang sehat, humanis, serta berintegritas. (bl)

Jepang Naikan Pajak WNA, dari Visa hingga Pajak Keberangkatan!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyiapkan langkah berani untuk memperkuat kas negara tanpa menambah beban rakyatnya sendiri. Kali ini, warga negara asing (WNA) menjadi sasaran penyesuaian fiskal besar-besaran—mulai dari kenaikan pajak keberangkatan di bandara, revisi biaya visa, hingga pengenalan sistem pra-penyaringan baru yang mirip dengan ESTA di Amerika Serikat.

Langkah ini diumumkan sebagai bagian dari reformasi fiskal jangka menengah yang bertujuan menyeimbangkan keuangan negara di tengah meningkatnya kebutuhan sosial dan pendidikan. Pemerintah menilai kontribusi ekonomi dari turis asing perlu diimbangi dengan tanggung jawab fiskal yang lebih proporsional.

Saat ini, setiap penumpang internasional yang meninggalkan Jepang wajib membayar departure tax sebesar 1.000 yen (sekitar Rp112 ribu). Namun, mulai tahun fiskal 2026, tarif tersebut akan naik signifikan agar sejalan dengan standar internasional—sekitar 3.300 yen (Rp372 ribu)—seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.

Kementerian Keuangan Jepang menyebut penyesuaian ini bukan sekadar upaya menaikkan pendapatan, tetapi juga untuk “membiayai layanan imigrasi dan infrastruktur wisata yang lebih baik” di tengah melonjaknya jumlah wisatawan pascapandemi.

Biaya Visa Naik Setelah 47 Tahun

Tak hanya pajak keberangkatan, biaya pengajuan visa Jepang juga akan naik untuk pertama kalinya sejak 1978. Saat ini, tarif visa hanya sekitar 3.000 yen (Rp338 ribu)—jauh lebih murah dibanding negara-negara Barat yang menetapkan antara 16.000 hingga 28.000 yen.

Penyesuaian tarif baru diharapkan bisa meningkatkan pemasukan negara sekaligus menyesuaikan dengan biaya administrasi yang terus meningkat. “Sudah hampir setengah abad tanpa perubahan. Saatnya sistem visa Jepang lebih mencerminkan kondisi ekonomi global,” ujar seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri dikutip dari Asahi Shimbun, Minggu (19/10/2025).

Kebijakan fiskal ini juga akan disertai penerapan sistem pra-penyaringan elektronik bernama Japan Electronic System for Travel Authorization (JESTA). Sistem ini akan mulai diberlakukan pada tahun fiskal 2028 dan dirancang untuk memperketat pengawasan terhadap wisatawan sebelum keberangkatan ke Jepang.

Wisatawan dari negara bebas visa tetap harus mengisi data perjalanan secara daring dan membayar biaya administrasi tambahan sebelum diizinkan masuk.

Dari kombinasi tiga kebijakan ini—kenaikan pajak keberangkatan, biaya visa, dan implementasi JESTA pemerintah memperkirakan tambahan pendapatan sekitar 300 miliar yen (Rp33 triliun) per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung kebijakan sosial seperti pendidikan gratis tingkat menengah atas dan subsidi energi.

Namun, sejumlah ekonom mengingatkan agar kebijakan fiskal ini tidak berbalik menjadi bumerang. Profesor Keuangan Publik Universitas Meiji, Hideaki Tanaka, menilai pemerintah harus berhati-hati agar kenaikan biaya tidak menurunkan minat wisatawan asing yang selama ini menjadi motor penting ekonomi Jepang.

“Keseimbangan fiskal itu penting, tetapi jika arus wisata menurun, efeknya bisa kontraproduktif. Jepang harus memastikan kebijakan ini tetap ramah bagi pengunjung,” ujar Tanaka.

Kenaikan pajak dan biaya bagi WNA ini menandai perubahan besar dalam strategi fiskal Jepang—dari sebelumnya berorientasi pada hospitality economy menuju kebijakan berbasis user pays principle. Pemerintah yakin, langkah ini akan menjaga keberlanjutan fiskal tanpa harus mengorbankan rakyat domestik.

Namun, tantangannya jelas: bagaimana Jepang bisa tetap menarik bagi wisatawan dan ekspatriat, sekaligus meningkatkan pendapatan negara dari sektor yang sama.

Jika berhasil, Jepang bisa menjadi contoh baru bagaimana negara maju menyeimbangkan antara daya tarik dan daya pungut dua sisi tajam dari kebijakan ekonomi modern. (alf)

Italia Akhiri “Surga Pajak” bagi Orang Kaya Asing

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia di bawah pimpinan Perdana Menteri Giorgia Meloni resmi mengakhiri masa keringanan pajak besar-besaran bagi warga asing berpenghasilan tinggi. Dalam rancangan Anggaran Negara 2026, pemerintah berencana menaikkan pajak tetap bagi pendatang kaya dari €200 ribu menjadi €300 ribu per tahun, lonjakan sekitar 50 persen yang menandai berakhirnya era “surga pajak” bagi kaum tajir internasional.

Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal besar yang tengah disiapkan untuk memperkuat penerimaan negara sekaligus menekan defisit tanpa menurunkan daya saing ekonomi. Langkah tersebut diumumkan menjelang pembahasan akhir anggaran di kabinet dan langsung menjadi sorotan dunia internasional, mengingat Italia selama ini dikenal ramah terhadap imigran kaya.

Skema pajak tetap bagi pendatang kaya pertama kali diperkenalkan pada 2017 untuk menarik investor individu, pebisnis global, hingga selebritas internasional agar bermukim di Italia. Mereka hanya dikenakan pajak tetap sebesar €200 ribu per tahun dan dibebaskan dari pajak atas penghasilan, hadiah, serta warisan dari luar negeri selama 15 tahun.

Namun, situasi fiskal yang kian menantang mendorong pemerintahan Meloni meninjau ulang kebijakan tersebut. “Langkah ini bagian dari revisi besar sistem perpajakan nasional agar kontribusi lebih merata dan adil,” ujar seorang pejabat pemerintah Italia yang dikutip Yahoo Finance, Minggu (19/10/2025).

Strategi Menjaga Fiskal Tetap Sehat

Menteri Keuangan Giancarlo Giorgetti menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar menaikkan tarif pajak, tetapi upaya menyeimbangkan daya tarik investasi asing dengan kebutuhan menjaga stabilitas anggaran negara.

“Pemerintah berupaya memastikan pertumbuhan ekonomi tetap berjalan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal,” katanya dalam pernyataan di Roma.

Selain kenaikan pajak bagi pendatang kaya, rancangan anggaran 2026 juga akan memuat peningkatan kontribusi dari sektor perbankan dan asuransi, dua sektor yang dianggap mampu menyumbang lebih besar pada pendapatan negara.

Sejumlah analis menilai langkah ini bisa memengaruhi daya tarik Italia bagi kalangan miliarder global. Namun, sebagian besar menganggap kenaikan tersebut masih wajar jika dibandingkan dengan kebijakan serupa di Prancis dan Spanyol.

“Ini bukan akhir dari daya tarik Italia, melainkan sinyal bahwa pemerintah ingin menegakkan keadilan fiskal tanpa kehilangan keunggulan kompetitif,” ujar Alessandro Bruni, ekonom dari UniCredit Bank Milan.

Kebijakan baru ini bahkan dinilai mampu memperkuat posisi fiskal Italia di mata lembaga pemeringkat internasional. DBRS Morningstar baru-baru ini menaikkan peringkat kredit Italia menjadi A (low) dengan prospek stabil, berkat langkah pemerintah yang dinilai disiplin dalam mengelola defisit.

Meski tarif pajak naik, Italia diyakini masih akan menjadi magnet bagi kalangan superkaya berkat gaya hidupnya yang khas, iklim yang nyaman, dan nilai budaya yang tinggi. Kota-kota seperti Milan, Roma, dan Florence tetap menawarkan kombinasi antara kemewahan hidup dan efisiensi pajak yang relatif menarik dibanding negara Eropa lainnya.

Dengan langkah ini, pemerintahan Giorgia Meloni ingin menegaskan bahwa Italia tidak lagi menjadi “tempat pelarian pajak”, tetapi negara yang menuntut kontribusi lebih adil dari mereka yang menikmati keistimewaan hidup di sana. (alf)

Daya Beli Belum Pulih, Penerimaan Pajak Tergerus di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo

(Foto: Istimewa)

IKPI, JAKARTA: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap berusia satu tahun pada Senin (20/10/2025). Selama periode pertama kepemimpinannya, duet ini terbilang agresif menggulirkan berbagai stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, berbagai kebijakan fiskal tersebut belum cukup kuat memulihkan tingkat konsumsi ke level pra-pandemi Covid-19.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2025 hanya mencapai 4,97% secara tahunan (year-on-year). Angka ini masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12%, serta lebih rendah dibandingkan rata-rata konsumsi sebelum pandemi yang kerap menembus 5,5% hingga 6%. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusi mencapai 54% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lemahnya konsumsi tentu berdampak langsung terhadap seretnya penerimaan negara, terutama dari sektor pajak konsumsi seperti PPN dan PPnBM.

Sejak awal 2025, pemerintah berupaya keras mengerek belanja masyarakat melalui berbagai stimulus. Di antaranya diskon tarif listrik 50% pada Januari–Februari, Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp300.000 per bulan bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, serta diskon transportasi umum dan tarif tol hingga 20%. Menjelang akhir tahun, pemerintah kembali meluncurkan paket stimulus lanjutan, termasuk pembebasan PPh Pasal 21 bagi pekerja bergaji di bawah Rp10 juta, khususnya di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Kebijakan ini menyasar lebih dari 550 ribu pekerja dan diharapkan menambah daya beli menjelang momen Natal dan Tahun Baru 2026.

Pemerintah juga menyiapkan program diskon besar-besaran pada akhir tahun, seperti potongan tarif kereta api 30%, angkutan laut 20%, dan tiket pesawat 12–14%. Tak hanya itu, sektor ritel dan e-commerce juga digerakkan melalui Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) Desember 2025 yang diperkirakan menambah transaksi hingga Rp35 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai langkah Prabowo–Gibran berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Menurutnya, stimulus yang diberikan kali ini lebih eksplisit dan bersifat jangka pendek untuk menjaga daya beli masyarakat. “Ini menjadi semacam bantalan ekonomi di luar program bansos rutin, agar konsumsi tetap bergerak di tengah tekanan global,” ujarnya, dikutip Minggu (19/10/2025).

Namun, roda ekonomi yang digerakkan dari sisi belanja ternyata belum sepenuhnya mengimbangi pelemahan dari sisi penerimaan pajak. Data Kementerian Keuangan mencatat hingga September 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp1.863,3 triliun, atau sekitar 65% dari target APBN sebesar Rp2.865,5 triliun. Realisasi itu bahkan turun 7,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dari sisi jenis pajak, PPN dan PPnBM mencatat penurunan paling tajam. Hingga September, realisasi penerimaan dua pos tersebut hanya mencapai Rp473,44 triliun, turun 13,2% dibandingkan tahun lalu. Penurunan ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih tertahan, dan pemulihan konsumsi belum benar-benar menguat meski berbagai stimulus sudah digelontorkan.

Di sisi lain, belanja negara terus tumbuh agresif. Hingga September 2025, realisasinya telah mencapai Rp2.234,8 triliun, atau sekitar 63,4% dari total pagu. Pemerintah berencana mempercepat penyerapan belanja pada kuartal terakhir tahun ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Namun, strategi ini berpotensi menekan keseimbangan fiskal karena defisit APBN bisa melebar melebihi outlook sebesar Rp662 triliun atau 2,7% terhadap PDB.

Pemerintahan Prabowo–Gibran kini menghadapi dilema yang tidak mudah: di satu sisi, masyarakat membutuhkan dukungan fiskal untuk menguatkan daya beli; di sisi lain, ruang penerimaan negara makin terbatas akibat seretnya kinerja pajak. Tantangan terbesar di tahun kedua pemerintahan ini adalah menyeimbangkan kebijakan stimulus dengan ketahanan fiskal, agar pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa mengorbankan stabilitas APBN. (alf)

id_ID