Guru Besar UI Kritisi Kebijakan Pajak Dividen yang Dinilai Tidak Adil

IKPI, Jalarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, mengkritisi kebijakan pembebasan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dividen. Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Haula menjelaskan bahwa selama ini penghasilan individu yang berasal dari dividen dibebaskan dari pajak. Aturan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, yang kembali dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP, dividen bebas pajak asalkan diinvestasikan kembali di Indonesia.

“Masalahnya, para orang kaya selama ini memanfaatkan celah tersebut,” ujar Haula. Ia mencontohkan bahwa jika dividen digunakan untuk membeli emas batangan, hal tersebut sudah dianggap sebagai investasi. “Berarti kan memang yang kaya ini akan semakin kaya,” lanjutnya.

Haula menyoroti bahwa investasi pada emas tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat luas karena tidak menggerakkan sektor riil. Akibatnya, investasi seperti ini tidak berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan.

Sebagai profesor perempuan pertama di bidang perpajakan di Indonesia, Haula menegaskan bahwa jika pemerintah ingin memperluas basis pajak, maka masyarakat berpenghasilan tinggi juga harus menjadi target pajak, bukan hanya kelas menengah ke bawah.

“Lihat dong, apakah wajib pajak yang super kaya itu sudah dipajaki secara proporsional sesuai dengan kemampuan ekonomisnya,” kata Haula.

Lebih lanjut, Haula juga mengkritisi wacana penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang belakangan disarankan oleh Bank Dunia dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Saat ini, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menyetor Pajak Penghasilan (PPh Badan).

Menurut Haula, tidak maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia bukan hanya terkait ambang batas PKP yang tinggi, melainkan juga karena banyaknya insentif pajak yang diberikan kepada pemilik modal, seperti tax holiday dan tax allowance. Ia menilai, dengan fokus pada penurunan ambang batas PKP, Bank Dunia dan OECD justru mengabaikan kelompok kaya yang berpotensi menyumbang pajak lebih besar.

“Secara administratif, menurunkan ambang batas PKP akan sangat sulit. Jika semakin banyak UMKM yang dikenai pajak, maka otoritas pajak juga harus siap melakukan edukasi. Sekarang coba dilakukan survei terhadap UMKM, berapa persen sih yang paham tentang akuntansi? Mungkin banyak yang bahkan tidak memahami konsep debit-kredit,” jelas Haula.

Haula pun khawatir kepatuhan pajak justru menurun jika ambang batas PKP diturunkan tanpa kesiapan yang memadai dari pihak pemerintah dan pelaku usaha kecil menengah. (alf)

 

Potongan Pajak THR dengan Skema TER Berpotensi Lebih Besar

IKPI, Jakarta: Pemerintah telah menetapkan regulasi terbaru terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 untuk tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur pemberian THR dan gaji ke-13 bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan. Sementara itu, untuk pegawai swasta, ketentuan pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.

Pemerintah menetapkan bahwa pendistribusian THR dimulai sejak pertengahan Maret dan harus selesai paling lambat tujuh hari sebelum Idulfitri.

Potongan Pajak PPh 21 pada THR Berpotensi Lebih Besar

Meskipun THR menjadi kabar baik bagi karyawan, terdapat aspek perpajakan yang perlu diperhatikan, yakni pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Tahun ini, potongan PPh 21 pada THR berpotensi lebih besar dibandingkan bulan-bulan biasa karena penerapan sistem Tarif Efektif Rata-Rata (TER).

Mekanisme TER diterapkan untuk mempermudah pemberi kerja dalam menghitung pajak penghasilan karyawan. TER berlaku pada pemotongan PPh Pasal 21 selama periode Januari hingga November, dengan cara mengalikan penghasilan bruto yang diterima karyawan dengan tarif yang telah ditetapkan berdasarkan jumlah tanggungan dan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Contoh Penghitungan PPh 21 dengan TER

Sebagai ilustrasi, pegawai X dengan gaji tetap Rp5.000.000 per bulan dan status PTKP TK/0, masuk dalam kategori A tarif TER.

• Pada bulan-bulan biasa, pegawai X tidak dikenakan pemotongan PPh 21 karena penghasilannya masih dalam batas PTKP.

• Namun, saat bulan pembayaran THR, di mana gaji dan THR diterima bersamaan, pajak tidak dihitung secara terpisah untuk gaji dan THR, melainkan berdasarkan total penghasilan yang diterima dalam bulan tersebut.

Jika pegawai X menerima THR sebesar satu kali gaji, maka total penghasilannya di bulan tersebut menjadi Rp10.000.000. Berdasarkan ketentuan TER, pegawai X dikenakan tarif 2 persen, sehingga pajak yang harus dibayarkan adalah Rp200.000.

Menghindari Potongan Pajak yang Terasa Berat

Belajar dari pengalaman tahun 2024, karyawan diharapkan lebih memahami efek penerapan TER terhadap gaji dan THR agar tidak terkejut dengan potongan pajak yang lebih besar pada bulan pembayaran THR. Pajak ini akan diperhitungkan kembali pada akhir tahun, sehingga kelebihan potongan yang terjadi di bulan pembayaran THR tidak akan menjadi beban tambahan.

Bagi karyawan yang ingin menghitung sendiri PPh Pasal 21 yang terutang, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan kalkulator pajak online yang dapat diakses melalui laman kalkulator.pajak.go.id.

Selain karyawan, pemberi kerja juga memiliki kewajiban untuk membuat bukti potong PPh Pasal 21 sesuai ketentuan Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 atas akumulasi gaji dan THR dalam satu masa pajak. Bukti potong ini harus disampaikan kepada pegawai agar mereka dapat melakukan pengecekan atas pemotongan pajak yang dikenakan.

Perlu diketahui, mulai Januari 2025, bukti potong PPh Pasal 21 tidak lagi menggunakan e-Bupot Pasal 21/26 di DJP Online, melainkan harus dibuat melalui sistem core tax DJP.

Dengan memahami mekanisme pemotongan pajak atas THR, karyawan dapat lebih siap menghadapi periode pembayaran THR tanpa kebingungan terkait potongan pajak yang lebih besar. Di sisi lain, pemberi kerja juga harus memastikan kepatuhan administrasi perpajakan agar proses pelaporan pajak berjalan lancar sesuai regulasi yang berlaku. (alf)

 

Carlo Ancelotti Akan Disidang Terkait Kasus Penggelapan Pajak

IKPI, Jakarta: Pelatih Real Madrid, Carlo Ancelotti, akan segera menjalani persidangan terkait dugaan kasus penggelapan pajak. Ancelotti didakwa oleh jaksa penuntut Spanyol atas tuduhan menggelapkan pajak senilai satu juta Euro. Kasus ini terjadi pada periode 2014-2015, saat Ancelotti baru saja mulai melatih Real Madrid.

Menurut laporan dari Independent, Ancelotti juga diduga menggunakan perusahaan cangkang untuk menyembunyikan pendapatan aslinya. Tuduhan ini mencuat pada Maret tahun lalu, dan kini telah memasuki tahap persidangan yang dijadwalkan berlangsung pada 2 April mendatang.

Jaksa penuntut menuntut hukuman penjara selama 4 tahun dan 9 bulan atas dua dakwaan yang dialamatkan kepada Ancelotti. Pelatih asal Italia itu pun bergabung dengan sejumlah nama besar Real Madrid yang sebelumnya pernah menghadapi kasus serupa, seperti Luka Modric dan Cristiano Ronaldo. Namun, dalam kasus mereka, sanksi yang dijatuhkan akhirnya ditangguhkan.

Ancelotti sebelumnya telah membantah semua tuduhan tersebut. Pelatih yang pernah menukangi klub-klub besar seperti AC Milan, Juventus, Chelsea, Paris Saint-Germain, Bayern Munich, Everton, dan Napoli itu mengklaim bahwa kasus ini seharusnya sudah selesai.

Ancelotti kini tengah menjalani periode kedua melatih Real Madrid sejak 2021. Sejauh ini, ia telah mempersembahkan 15 trofi, termasuk dua gelar LaLiga dan tiga trofi Liga Champions. Musim ini, Ancelotti masih berusaha membawa Los Blancos bersaing memperebutkan dua gelar tersebut, dengan Real Madrid yang masih berada di papan atas LaLiga dan sudah menembus perempat final Liga Champions. (alf)

 

 

Pengda Jabar Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan  hingga 30 Juni 2025

IKPI, Jakarta: Program pemutihan pajak kendaraan bermotor di Jawa Barat (Jabar) yang sebelumnya dijadwalkan berakhir pada 6 Juni kini resmi diperpanjang hingga 30 Juni 2025. Perpanjangan ini memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat untuk melunasi tunggakan pajak kendaraan tanpa dikenakan sanksi administratif.

“Hadiah Lebaran untuk warga Jabar diperpanjang sampai 30 Juni 2025,” tulis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat dalam pengumuman resmi melalui media sosial, Kamis (27/3/2025).

Sejak program ini dimulai pada 20 Maret lalu, pemutihan pajak kendaraan bermotor mendapat sambutan positif dari masyarakat. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah penerimaan pajak yang mencapai angka signifikan. Berdasarkan data terbaru, hingga Rabu, 26 Maret 2025, tercatat sebanyak 56.384 kendaraan bermotor telah membayar pajak dengan total penerimaan mencapai Rp23,21 miliar.

Namun, Bapenda Jabar juga mengingatkan bahwa layanan pembayaran pajak di Kantor Samsat akan ditutup sementara selama cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1446 H. Layanan tersebut akan libur mulai 28 Maret hingga 7 April, dan kembali beroperasi pada Selasa, 8 April. Meski demikian, pembayaran pajak kendaraan tahunan tetap dapat dilakukan secara online melalui aplikasi Sapawarga dan Signal.

Dengan perpanjangan ini, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan emas ini untuk melunasi pajak kendaraan mereka tanpa harus khawatir dengan denda administrasi. (alf)

 

 

EU-ASEAN Business Council Rekomendasikan Standar Pelabelan, Tolak Cukai Minuman Berpemanis

IKPI, Jalarta: EU-ASEAN Business Council merekomendasikan agar Indonesia menerapkan standar pelabelan di industri makanan dan minuman sebagai alternatif kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Langkah ini dinilai lebih efektif dalam membantu konsumen membuat pilihan sehat sekaligus mengurangi hambatan perdagangan di kawasan ASEAN.

Saat ini, regulasi pelabelan di negara-negara ASEAN masih beragam, seperti skema Nutri-Grade di Singapura dan Healthier Choice di Indonesia, Malaysia, serta Brunei. Perbedaan standar ini menyulitkan produsen dalam memasarkan produk secara regional. Harmonisasi pelabelan dinilai menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan pendekatan fiskal seperti cukai minuman berpemanis yang dianggap berisiko menambah beban kelompok berpenghasilan rendah.

Menanggapi hal ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 telah membuka peluang untuk menyusun regulasi terkait MBDK. Namun, pihaknya akan mempertimbangkan kondisi ekonomi sebelum menerapkan kebijakan tersebut.

“Tentunya masalah penerapan cukai MBDK harus melihat situasi ekonomi yang terjadi. Pertimbangannya banyak, tidak semata-mata target penerimaan, tetapi juga memperhatikan daya beli masyarakat serta kondisi industri makanan dan minuman,” ujar Nirwala, Jumat (28/3/2025).

Pengamat Ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pancasetia, Ros Nirwana, menilai bahwa penerapan sistem pelabelan yang lebih ketat dapat berdampak positif bagi investor asing yang berkomitmen pada kesehatan dan keberlanjutan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan cukai berisiko meningkatkan biaya hidup dan menurunkan daya saing produsen.

“Cukai bisa memengaruhi harga produk yang akhirnya berdampak pada konsumen dan penjualan industri secara keseluruhan. Bahkan, berpotensi meningkatkan penyelundupan dan pemalsuan produk,” jelas Ros.

Sementara itu, pelaku industri makanan dan minuman menolak wacana pengenaan cukai pada MBDK. Head of Strategic Marketing Nutrifood, Susana, menilai kebijakan tersebut dapat menurunkan penjualan dan memperburuk kondisi industri yang tengah menghadapi tantangan ekonomi.

“Jika harga naik, konsumen yang terpengaruh, penjualan bisa turun, dan itu berdampak negatif ke industri maupun perekonomian nasional,” ujar Susana.

Ia juga berharap pelaku industri dilibatkan dalam penentuan teknis kebijakan ini, termasuk penetapan batas kadar gula dan rincian regulasi yang akan diterapkan.

“Kami berharap ada kejelasan terkait tujuan kebijakan ini, apakah benar efektif dalam menurunkan kasus penyakit tidak menular (PTM) atau tidak,” tegasnya. (alf)

 

 

Banten Berlakukan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor, Berlaku 10 April – 30 Juni 2025

IKPI, Jakarta: Masyarakat Banten dapat memanfaatkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang akan berlaku mulai 10 April hingga 30 Juni 2025. Dalam program ini, warga hanya perlu membayar pajak kendaraan untuk tahun 2025, sementara denda dan tunggakan pajak sebelumnya akan dihapuskan.

“Insyaallah pemberlakuan kebijakan tersebut akan dilaksanakan mulai tanggal 10 April sampai 30 Juni. Syaratnya apa? Syaratnya adalah menyelesaikan pembayaran pajak di tahun 2025. Dan kemudian beban pajak tunggakan dan lain-lain itu kita putihkan,” ujar Gubernur Banten Andra Soni di Gedung Negara, Kota Serang, Kamis (27/3/2025).

Andra Soni berharap masyarakat memanfaatkan kesempatan ini agar terbebas dari tunggakan pajak yang membebani. Ia menyebut program ini sebagai kado bagi warga Banten menjelang Idul Fitri.

“Kita imbau kepada masyarakat bahwa kita kembali ke Fitri. Kita bukan tak ingin membayar pajak, tapi beban ekonomi dan sebagainya, pemerintah provinsi Banten memberikan insentif berupa penghapusan. Dan ini harus dimanfaatkan waktunya sampai 30 Juni 2025,” katanya.

“Mudah-mudahan ini bisa menjadi hadiah atau kado bagi masyarakat Banten menjelang Idul Fitri, dan kami ucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada masyarakat Banten,” tambahnya.

Program pemutihan ini diatur dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Banten Nomor 170 Tahun 2025 tentang Pembebasan Pokok dan/atau Sanksi Pajak Kendaraan Bermotor. Kepgub tersebut ditandatangani pada 27 Maret 2025. (alf)

 

 

Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia Masih di Bawah Target, Bank Dunia Soroti Kesenjangan

IKPI, Jakarta: Bank Dunia mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia masih jauh di bawah potensinya. Dalam laporan berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 17 Maret 2025, Bank Dunia mencatat bahwa rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya mencapai 9,1 persen pada tahun 2021. Angka ini termasuk yang terendah di dunia dan jauh di bawah negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Kamboja mencapai 18,0 persen, Malaysia 11,9 persen, Filipina 15,2 persen, Thailand 15,7 persen, dan Vietnam 14,7 persen.

Bank Dunia menyoroti bahwa kesenjangan penerimaan pajak di Indonesia sangat signifikan. Sepanjang 2016 hingga 2021, estimasi kesenjangan antara potensi dan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan mencapai 6,4 persen dari PDB, atau setara Rp 944 triliun.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pada periode yang sama, kesenjangan kepatuhan PPN atau selisih antara PPN yang seharusnya dibayarkan dengan yang terealisasi mencapai 43,9 persen. Jumlah tersebut setara dengan 2,6 persen dari PDB Indonesia atau senilai Rp 386 triliun.

Adapun untuk PPh Badan, rata-rata kesenjangan antara pajak yang seharusnya dibayar dengan yang terbayar mencapai 33 persen dari total kewajiban pajak PPh Badan atau setara 1,1 persen dari PDB. Secara nominal, Bank Dunia mencatat potensi penerimaan pajak yang hilang akibat ketidakpatuhan PPh Badan mencapai Rp 160 triliun per tahun.

Padahal, menurut laporan tersebut, PPN dan PPh Badan merupakan sumber utama penerimaan pajak dalam negeri. Pada 2021, kedua jenis pajak ini menyumbang sekitar 66 persen dari total penerimaan pajak, atau setara dengan sekitar 6 persen dari PDB.

Bank Dunia menilai bahwa rendahnya penerimaan pajak ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingkat kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, serta basis pajak yang sempit. Kondisi ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras untuk meningkatkan penerimaan pajak guna mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. (alf)

 

Kemenkeu Tegaskan Fasilitas di Kapal Wisata sebagai Objek Pajak  

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penegasan terkait pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebagai objek pajak daerah bagi kapal wisata. Hal ini disampaikan melalui surat resmi tertanggal 26 Maret 2025 yang ditujukan sebagai jawaban atas permohonan penjelasan dari Bupati Manggarai Barat.

Surat tersebut merupakan respons atas surat permohonan Bupati Manggarai Barat bernomor 970/BAPENDA/216/III/2025 tertanggal 15 Maret 2025. Surat Kemenkeu ditandatangani oleh Lydia Kurniawati Christyana, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mewakili Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Edi Endi, pejabat terkait, menjelaskan bahwa pungutan pajak ini telah memenuhi prinsip adanya objek dan subjek pajak sesuai dengan ketentuan PBJT. Aturan ini mencakup pajak atas makanan dan/atau minuman serta jasa perhotelan yang disediakan oleh kapal wisata. Dasar hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP KUPDRD).

“Prinsip pengenaan pajak ada objek, ada subjek,” tegas Edi Endi.

Dalam aturan ini, subjek pajak adalah wisatawan yang menggunakan layanan kapal wisata, sedangkan objek pajaknya meliputi kapal wisata yang menyediakan jasa perhotelan serta makanan dan minuman bagi penumpang.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak sektor pariwisata, khususnya bagi kapal-kapal wisata yang beroperasi di wilayahnya. (alf)

 

 

Menhan Imbau Pegawai Kemhan dan TNI Segera Laporkan SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengimbau seluruh pegawai Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan.

“Saya menghimbau kepada seluruh pegawai Kementerian Pertahanan dan anggota Tentara Nasional Indonesia untuk segera melaporkan SPT Tahunan sebelum batas waktu yang ditentukan,” ujar Sjafrie dalam video yang diunggah di akun YouTube Kementerian Pertahanan, Kamis (27/3/2025).

Sjafrie menegaskan bahwa pelaporan pajak adalah kewajiban bagi setiap warga negara karena pajak merupakan fondasi dari ketahanan negara.

“Hal ini merupakan tanggung jawab hukum warga negara Indonesia untuk membangun transparansi dukungan kita kepada negara bangsa Indonesia. Pajak yang kuat adalah fondasi pertahanan negara yang pokok,” jelasnya.

Sebagai informasi, batas akhir pelaporan SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi jatuh pada 31 Maret 2025. Oleh karena itu, wajib pajak dihimbau untuk segera mengisi SPT Tahunan secara online guna menghindari penumpukan di hari-hari terakhir.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan bahwa pelaporan SPT Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun 2024 yang akan disampaikan di awal 2025 masih akan menggunakan sistem lama melalui DJP Online.

Wajib pajak dapat mengakses layanan tersebut melalui laman https://djponline.pajak.go.id/. Wajib pajak bisa memanfaatkan fitur e-Form maupun e-Filing untuk pelaporan SPT mereka. Artinya, sistem baru bernama Coretax belum akan digunakan pada pelaporan tahun ini.

Cara Melaporkan SPT Tahunan Secara Online

Untuk memudahkan wajib pajak, berikut adalah langkah-langkah pengisian SPT Tahunan secara online:

• Kunjungi laman resmi DJP Online di www.pajak.go.id melalui ponsel atau laptop.

• Login dengan memasukkan nomor NIK/NPWP, password, dan kode keamanan.

• Klik menu “Lapor”, pilih “e-Filing”, lalu pilih “Buat SPT”.

• Pilih formulir SPT yang sesuai dengan penghasilan Anda, baik 1770 maupun 1770 S.

• Isi formulir berdasarkan tahun pajak dan status SPT, kemudian klik “Langkah Selanjutnya”.

• Isi data secara berurutan hingga tahap akhir, termasuk penghasilan final, harta yang dimiliki, serta daftar utang jika ada.

• Setelah semua data lengkap, akan muncul status SPT Anda (nihil, kurang bayar, atau lebih bayar). Isi SPT sesuai dengan status tersebut.

• Klik tombol “Setuju” dan tunggu kode verifikasi yang akan dikirimkan melalui email atau nomor telepon terdaftar.

• Masukkan kode verifikasi tersebut dan klik “Kirim SPT”.

• Anda akan menerima tanda terima elektronik SPT Tahunan yang dikirimkan ke email Anda.

Cara Mendapatkan EFIN Secara Online

Sebelum melaporkan SPT, wajib pajak harus memastikan telah memiliki Electronic Filing Identification Number (EFIN). Jika belum, berikut langkah-langkah mendapatkannya secara online:

• Kirim e-mail ke kantor pajak terdekat dengan subjek “Permintaan EFIN”.

• Dalam isi email, cantumkan data pendukung seperti nama lengkap, NPWP, NIK, nomor HP, dan alamat email aktif.

• Lampirkan juga foto/scan KTP asli, foto/scan NPWP asli, serta selfie sambil memegang KTP dan NPWP asli dengan wajah terlihat jelas.

• Kirimkan email tersebut dan tunggu hingga nomor EFIN dikirimkan ke alamat email Anda.

Masyarakat dihimbau untuk tidak menunda pelaporan SPT guna menghindari denda dan penumpukan di masa tenggat waktu. (alf)

 

Realisasi Pajak Kalimantan Barat Capai Rp1,1 Triliun Hingga Februari 2025

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Kalimantan Barat mencatat realisasi penerimaan pajak hingga 28 Februari 2025 mencapai Rp1,1 triliun. Angka ini setara dengan 10,39 persen dari target penerimaan pajak tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp11,23 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat hingga 28 Februari 2025 tembus Rp1,1 triliun atau 10,39 persen dari jumlah target penerimaan pajak Kanwil DJP Kalimantan Barat Tahun 2025 sebesar Rp11,23 triliun,” kata Kepala Seksi Dukungan Teknis Komputer Kanwil DJP Kalimantan Barat, Agus Setiawan, dalam Konferensi Pers APBN Kalimantan Barat, Kamis (27/3/2025).

Agus menjelaskan, penerimaan pajak tersebut berasal dari beberapa jenis pajak utama. Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas menyumbang Rp434,6 miliar, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tercatat sebesar Rp686 miliar. Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berkontribusi Rp1,8 miliar, dan pajak lainnya mencapai Rp44,8 miliar.

Dari sisi sektor usaha, lima sektor dominan memberikan kontribusi sebesar 81,47 persen terhadap total penerimaan pajak di Kalimantan Barat. Sisanya, sebesar 18,53 persen, berasal dari sektor lainnya.

“Adapun lima sektor dominan yakni Perdagangan Besar dan Eceran, Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Industri Pengolahan, Transportasi dan Pergudangan, serta Jasa Keuangan dan Asuransi dengan pertumbuhan positif dialami oleh sektor Perdagangan Besar dan Eceran dan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan,” jelas Agus.

Lebih lanjut, Agus optimistis bahwa kinerja penerimaan pajak di Kalimantan Barat akan terus meningkat sepanjang tahun 2025. Ia menegaskan bahwa pihaknya siap mencapai target kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan serta target penerimaan pajak yang telah ditetapkan.

“Kami optimis bahwa untuk tahun 2025 ini Kanwil DJP Kalimantan Barat akan kembali berhasil mencapai target kepatuhan pelaporan SPT Tahunan maupun target penerimaan pajak yang telah ditetapkan,” ujar Agus.

Dalam kesempatan tersebut, Agus juga mengimbau seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi di Kalimantan Barat untuk segera melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2024 sebelum batas waktu 31 Maret 2025.

“Kepada seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi di Kalimantan Barat, silakan melaporkan SPT Tahunannya secara online melalui e-Filing di djponline.pajak.go.id,” kata Agus.

Untuk mempermudah proses pelaporan, Agus menyarankan agar Wajib Pajak yang mengalami kendala segera berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama tempat mereka terdaftar.

“Apabila terdapat kendala, diharapkan untuk segera melakukan konsultasi ke Account Representative (AR) masing-masing di KPP Pratama terdaftar,” tambahnya.

Selain itu, bagi masyarakat yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai perpajakan dan layanan DJP, dapat mengakses laman resmi www.pajak.go.id atau menghubungi layanan Kring Pajak di 1500 200. (alf)

 

 

id_ID