DJP Luncurkan Simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperluas pemanfaatan sistem Coretax dengan merilis simulator SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (OP). Fitur uji coba ini melengkapi simulator SPT Tahunan PPh Badan yang lebih dulu diluncurkan, dan kini dapat diakses melalui laman yang sama: spt-simulasi.pajak.go.id.

Untuk masuk ke aplikasi, wajib pajak cukup menggunakan NIK serta password khusus: P@jakTumbuh1ndonesiaT@ngguh. Di dalamnya tersedia dua menu utama, yakni Surat Pemberitahuan dan Pembayaran, yang dapat digunakan untuk mensimulasikan proses pelaporan hingga pembayaran pajak.

Konsep SPT Dibuat Langsung oleh Wajib Pajak

Berbeda dengan simulator PPh Badan, penyusunan draft SPT PPh OP dilakukan langsung oleh wajib pajak. Pengguna perlu memilih “Buat Konsep SPT”, kemudian mengisi pilihan:

• Jenis SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

• Jenis Periode: SPT Tahunan

• Tahun Pajak: 2025

• Model SPT: Normal

Dengan mekanisme ini, wajib pajak dapat memahami alur pembuatan SPT sesuai rancangan Coretax yang nantinya akan berlaku penuh.

Proses Bisnis Menyerupai e-Filing, tetapi Lebih Terintegrasi

DJP menjelaskan bahwa proses bisnis SPT Tahunan PPh OP di Coretax disusun serupa dengan pelaporan melalui e-Filing. Namun, ada pembaruan signifikan: seluruh pertanyaan dan pernyataan transaksi kini ditempatkan di Induk SPT.

Jawaban wajib pajak akan otomatis menjadi pemicu (trigger) yang menentukan lampiran mana saja yang perlu diisi atau tidak. Pendekatan ini membuat proses pengisian lebih terarah dan meminimalkan kesalahan administratif.

Bukti Potong Terisi Otomatis

Salah satu fitur yang paling memudahkan adalah integrasi bukti potong. Sistem Coretax mampu mendeteksi secara otomatis bukti pemotongan PPh atas nama wajib pajak, lalu langsung melakukan prepopulated ke dalam perhitungan SPT.

Untuk tahap awal, simulator ini diperuntukkan khusus bagi wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan, yakni kategori karyawan.

Mengacu pada PER-11/PJ/2025, Tanpa Formulir 1770

Rancangan SPT Tahunan PPh OP di Coretax telah disesuaikan dengan ketentuan PER-11/PJ/2025. Artinya, formulir lama seperti 1770, 1770-S, dan 1770-SS tidak lagi digunakan dalam sistem baru ini.

Peluncuran simulator ini menjadi langkah lanjut DJP dalam memastikan wajib pajak memahami desain Coretax sebelum implementasi penuh. Dengan mekanisme yang semakin otomatis dan terintegrasi, pelaporan pajak diharapkan menjadi jauh lebih sederhana dan akurat. (alf)

Dirjen Pajak: Baru 21% Wajib Pajak Miliki Kode Otorisasi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan bahwa tingkat kelengkapan aktivasi layanan Coretax masih rendah, terutama terkait kode otorisasi yang menjadi syarat utama penggunaan tanda tangan elektronik.

Hingga November 2025, dari lebih dari 14 juta wajib pajak yang telah mengaktifkan akun Coretax, baru sekitar 21% atau 3 juta wajib pajak yang sudah memiliki kode otorisasi dan digital signature. Mayoritas pengguna Coretax masih didominasi wajib pajak orang pribadi, yakni sekitar 13 juta dari total populasi.

Bimo menegaskan bahwa aktivasi akun saja tidak cukup. Tanpa kode otorisasi, wajib pajak tidak dapat menggunakan layanan digital seperti penandatanganan SPT, penerbitan bukti potong, maupun layanan elektronik lainnya.

“Di tahap awal ini kami benar-benar meminta masyarakat untuk segera meregistrasikan akun Coretax dan memperoleh kode otorisasi,” ujar Bimo dalam program Tax Time di CNBC Indonesia TV, Selasa (18/11/2025).

Ia juga mengingatkan wajib pajak untuk melengkapi digital signature setelah mendapatkan kode otorisasi. Dua komponen tersebut akan menjadi kunci bagi seluruh aktivitas administrasi pajak berbasis digital yang disiapkan DJP.

“Segera aktivasi akun, buat kode otorisasi, dan lengkapi tanda tangan elektronik agar hak masyarakat atas layanan digital perpajakan bisa terpenuhi,” tegasnya.

DJP menargetkan adopsi penuh Coretax dapat mempercepat transformasi administrasi perpajakan dan meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat. (alf)

Pemerintah Kunci Celah Modus Penghindaran Pajak UMKM, Skema PPh 0,5% Terancam Revisi

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai mengetatkan pengawasan terhadap wajib pajak UMKM yang diduga memanfaatkan skema PPh final 0,5% secara tidak semestinya. Temuan terbaru menunjukkan adanya praktik menahan omzet (bouncing) agar tetap berada di bawah batas Rp4,8 miliar, serta pemecahan usaha (firm splitting) untuk mempertahankan tarif pajak yang lebih rendah.

“Ada beberapa praktik dari wajib pajak yang mendapat fasilitas PPh final 0,5% melakukan bouncing dan pemecahan usaha,” ujar Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).

Untuk menutup celah tersebut, pemerintah tengah menyiapkan revisi PP Nomor 55 Tahun 2022, khususnya perubahan Pasal 57 ayat 1 dan 2. Usulannya adalah menegaskan aturan pengecualian bagi wajib pajak yang menyalahgunakan skema, termasuk memasukkan ketentuan anti-avoidance rule agar pelaku manipulatif dapat dicoret dari fasilitas.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyebut pemerintah masih membuka peluang menjadikan tarif PPh final 0,5% sebagai kebijakan permanen. Namun, hal itu baru dapat dipertimbangkan jika pelaku UMKM tidak lagi memanipulasi omzet.

“Kalau betul-betul mereka UMKM, nggak ngibul-ngibul, harusnya sih nggak apa-apa dipermanenkan,” kata Purbaya dalam media briefing, Jumat (14/11/2025).

Pemerintah memastikan akan terus memantau praktik di lapangan dalam dua tahun ke depan sebelum memutuskan arah kebijakan final. Pendekatannya jelas: mendukung UMKM sejati sekaligus menutup ruang bagi penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara. (alf)

IKPI Nilai Cooperative Compliance Jadi Arah Baru Reformasi Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menilai bahwa pergeseran menuju konsep cooperative compliance menjadi momentum besar dalam reformasi perpajakan nasional. Hal itu ia sampaikannya usai menghadiri Seminar Nasional FEB UI sekaligus peluncuran Tax Clinic FEB UI, Senin (17/11/2025).

“Saya hadir mewakili Ketua Umum, Vaudy Starworld yang berhalangan hadir, dan melihat langsung bahwa masa depan kepatuhan pajak bergerak ke arah kolaboratif, bukan lagi konfrontatif. Ini relevan bagi profesi konsultan pajak,” ujar Jemmi.

Seminar tersebut dibuka dengan keynote speech Dirjen Pajak, Bimo Wijayanto, yang menegaskan bahwa pendekatan enforcement tidak lagi efektif. Pendekatan keras terbukti tidak meningkatkan kepatuhan, justru memunculkan kecenderungan penghindaran. DJP kini mengarah pada model hubungan yang lebih terbuka, transparan, dan minim sengketa, seiring semakin lengkapnya bank data perpajakan.

(Foto: Istimewa)

Keynote kedua hadir dari Direktur P2PK, Erawati, yang memaparkan transformasi global administrasi pajak: dari proses manual menuju digital, hingga fase real-time data dan integrasi antar lembaga yang sudah diterapkan di negara seperti Australia, Spanyol, dan Estonia.

Jemmi menilai hal ini menjadi alarm agar profesi perpajakan Indonesia segera beradaptasi dan memanfaatkan peningkatan sistem seperti Coretax.

Terkait isi seminar, Jemmi menyoroti tiga materi utama yang dianggap sangat krusial.

Pertama, penjelasan dari Staf Ahli Kemenkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi, mengenai Tax Control Framework (TCF) dan konsep Total Quality Assurance. TCF memiliki tujuh prinsip dan lima level maturitas, yang kelak menjadi standar penilaian wajib pajak dalam mendapatkan insentif negara. Banyak negara sudah menerapkannya, sehingga Indonesia harus bergerak ke arah yang sama. Menurut Jemmi, hal ini akan mengubah cara kerja konsultan pajak secara menyeluruh.

Kedua, paparan Darussalam, founder DDTC, yang menegaskan bahwa dunia perpajakan sedang bergeser dari confrontation compliance menjadi collaboration compliance. Sengketa harus dicegah sebelum masuk litigasi. 

Jemmi melihat poin ini sejalan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan efisiensi bagi wajib pajak.

Ketiga, materi dari Lury Sofyan, Kepala Bidang Perizinan dan Kepatuhan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya, yang membahas perubahan fundamental peran konsultan pajak. Ke depan, konsultan tidak cukup hanya mengisi administrasi SPT, tetapi harus menjadi compliance enablers yang mampu menilai risiko, melakukan review materiil, dan memastikan kepatuhan jangka panjang sebelum SPT masuk ke sistem. Jemmi menilai peran ini menjadi sangat strategis di era cooperative compliance.

Jemmi  menegaskan bahwa IKPI memandang seminar ini sebagai momentum strategis.

“IKPI siap mengawal transisi menuju cooperative compliance. Tax Clinic FEB UI menjadi ruang baru bagi edukasi perpajakan masyarakat dan kolaborasi antara akademisi, otoritas, dan profesi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa dengan ekosistem yang tepat, kepatuhan jangka panjang bisa dicapai tanpa harus selalu mengedepankan penindakan. (bl)

PNBP Rinjani Tembus Rp21,6 Miliar, Kontribusi Wisata Alam Makin Terasa ke Kas Negara

IKPI, Jakarta: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari aktivitas wisata di kawasan Rinjani mencapai Rp21,65 miliar hingga Oktober 2025. Angka tersebut dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sektor pariwisata alam terus memberikan kontribusi fiskal yang signifikan.

“Capaian PNBP ini menunjukkan tren positif,” ujar Kepala Balai TNGR Yarman di Mataram, Senin (17/11/2025). Ia menegaskan seluruh penerimaan itu langsung masuk ke kas negara sebagai pendapatan resmi pemerintah.

Menurut Yarman, kenaikan PNBP mengonfirmasi bahwa pengelolaan taman nasional dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan selama mekanisme pengawasan dan manajemen pengunjung terus diperkuat. “PNBP yang meningkat menjadi bukti bahwa wisata alam dapat menyumbang pendapatan negara sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem,” katanya.

Hingga Oktober 2025, jumlah pendaki yang menuju Gunung Rinjani mencapai 72.528 orang, sementara kunjungan ke destinasi non-pendakian tercatat 43.502 orang. “Kawasan TNGR terus menyedot perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara,” jelas Yarman.

Namun tingginya kunjungan membawa konsekuensi biaya dan beban pengelolaan lingkungan. Karena itu, TNGR kembali mendorong gerakan Go Rinjani Zero Waste agar wisatawan ikut berperan menjaga kebersihan area wisata.

Data sementara menunjukkan total sampah aktivitas pendakian mencapai 28.410,64 kilogram, sedangkan dari kegiatan non-pendakian sebanyak 989,22 kilogram. Seluruhnya merupakan sampah yang berhasil dibawa turun kembali, mayoritas berupa sampah anorganik.

Yarman mengimbau agar seluruh pengunjung terus berdisiplin menjaga kebersihan kawasan. “Dari Rinjani untuk Indonesia, mari dukung pariwisata berkelanjutan, bukan hanya indah dipandang, tapi juga memberi manfaat ekonomi dan menjaga alam,” ujarnya. (alf)

Proyek Kopdes Masuk APBN, Dampak ke Fiskal Diwarnai Sorotan

IKPI, Jakarta: Komitmen pemerintah membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dipastikan akan melibatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pembangunan fisik koperasi tersebut akan dijalankan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan dukungan pembiayaan dari bank-bank BUMN (Himbara).

Skemanya, Agrinas akan meminjam dana dari Himbara, sementara pemerintah menanggung pembayaran cicilan sekitar Rp40 triliun per tahun selama enam tahun. Dengan demikian, total dana APBN yang teralokasi untuk proyek ini mencapai sekitar Rp240 triliun.

Menurut Purbaya, skema penjaminan tersebut membuat risiko perbankan tetap terjaga. “Pinjamannya aman, perbankan tidak menghadapi risiko signifikan karena pembayaran dijamin APBN,” ujarnya, Minggu (16/11/2025). Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan pendanaan ini.

Diatur Inpres 17/2025

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan bahwa mekanisme pembiayaan proyek Kopdes/Kel telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Aturan tersebut memungkinkan pendanaan dari APBN, APBD, serta sumber sah lainnya.

“APBN tetap menjadi sumber utama. Skemanya lewat Himbara, lalu Himbara menyalurkan ke Agrinas,” tutur Ferry.

Setiap unit Kopdes/Kel Merah Putih memperoleh plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar yang digunakan untuk pembangunan gudang, gerai, serta modal kerja. Karena berstatus program strategis nasional, proses penilaian kredit oleh Himbara juga akan dipermudah.

Hingga saat ini, Agrinas tengah membangun 7.923 titik gerai dengan dukungan pembayaran muka sekitar Rp600 miliar. Pemerintah menargetkan pendataan lahan mencapai 40.000 titik pada November 2025 dan pembangunan fisik meningkat menjadi 40.000–50.000 titik pada akhir tahun.

Sorotan Terhadap Ruang Fiskal

Keterlibatan APBN dalam skema penjaminan pinjaman ini memunculkan perhatian terkait ruang fiskal pemerintah, mengingat komitmen Rp40 triliun per tahun akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Meski pemerintah menilai kapasitas APBN masih memadai, kalangan analis melihat perlunya pengelolaan fiskal yang hati-hati agar tidak mengurangi fleksibilitas belanja negara di sektor lain.

Sementara itu, pemerintah berharap pembangunan jaringan Kopdes/Kel dapat memperkuat ekonomi desa dan memperluas basis penerimaan negara dalam jangka panjang. Aktivitas usaha, distribusi, dan perdagangan di tingkat desa diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pajak seiring berkembangnya aktivitas ekonomi formal. (alf)

Warga Jakarta Kini Bisa Koreksi Data PBB-P2 Secara Online, Proses Lebih Cepat dan Transparan

IKPI, Jakarta: Wajib pajak di DKI Jakarta kini mendapat kemudahan baru dalam memperbaiki data Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI resmi menyediakan layanan pembetulan data PBB-P2 secara daring melalui situs pajakonline.jakarta.go.id, sehingga warga tak lagi harus antre di kantor pelayanan.

Sebagai identitas resmi, Nomor Objek Pajak (NOP) harus akurat karena menjadi dasar perhitungan pajak. Namun, kekeliruan data seperti perubahan kepemilikan, perbedaan luas bangunan, hingga kesalahan administrasi masih sering ditemui. Melalui sistem online ini, koreksi dapat dilakukan dengan lebih cepat, terbuka, dan praktis.

Koreksi data memastikan beban pajak sesuai kondisi lapangan. Informasi yang benar memberi kepastian hukum bagi pemilik properti dan menjaga transparansi penerimaan daerah agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat administrasi yang tidak tepat.

Syarat Administrasi

Wajib pajak perlu menyiapkan sejumlah dokumen pendukung, antara lain:

• Surat permohonan resmi.

• Identitas diri: KTP/KITAP untuk pribadi, atau NIB, NPWP badan, KTP pengurus, dan akta pendirian/perubahan untuk badan.

• Surat kuasa jika dikuasakan.

• Formulir SPOP/LSPOP yang sudah diisi.

• SPPT PBB-P2 terakhir.

• Bukti kepemilikan tanah (opsional): sertifikat, girik, surat kavling, atau dilengkapi Surat Pernyataan Penguasaan Fisik.

• Bukti peralihan hak jika ada.

• IMB atau PBG (opsional).

• Foto terbaru objek pajak.

• Bukti pelunasan PBB-P2 minimal lima tahun terakhir atau sejak awal kepemilikan.

Cara Pengajuan Secara Online

Prosesnya dapat dilakukan langsung dari ponsel:

1. Buka pajakonline.jakarta.go.id dan login.

2. Masuk ke menu Pelayanan.

3. Pilih PBB-P2 dan jenis pelayanan Pembetulan.

4. Tentukan sublayanan sesuai kebutuhan.

5. Unggah seluruh dokumen.

6. Setujui pernyataan dan simpan permohonan.

7. Cek statusnya secara berkala hingga selesai diverifikasi petugas.

Dengan sistem daring ini, wajib pajak tidak harus datang langsung ke kantor Bapenda. Seluruh proses dapat dipantau secara mandiri sehingga lebih efisien dan transparan.

Transformasi digital yang dilakukan Bapenda DKI menjadi langkah penting menuju layanan pajak daerah yang modern, akurat, dan ramah masyarakat. Kemudahan ini membantu warga menjaga ketepatan data sekaligus memperkuat keadilan fiskal di Jakarta. (alf)

Jepang Siapkan Regulasi Baru Kripto: Pajak Dipangkas, Masuk Rezim Insider Trading

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan Jepang (Financial Services Agency/FSA) tengah menyiapkan langkah besar yang berpotensi mengubah lanskap industri aset digital di negara tersebut. Regulator mempertimbangkan aturan baru yang akan menyetarakan aset kripto dengan produk keuangan lain mulai dari penerapan larangan insider trading hingga penurunan signifikan tarif pajaknya.

Mengutip laporan Asahi, Senin (17/11/2025), regulasi ini akan mencakup ratusan jenis mata uang kripto yang diperdagangkan di Jepang. Pemerintah ingin memastikan bahwa industri kripto berada dalam kerangka pengawasan yang jelas tanpa menghambat inovasi.

Dalam rancangan tersebut, aset kripto akan resmi masuk kategori produk keuangan yang tunduk pada aturan insider trading. Artinya, pemanfaatan informasi material yang belum dipublikasikan untuk meraih keuntungan pribadi akan dilarang sebagaimana berlaku di pasar saham.

Sebagai bagian dari pengetatan, bursa kripto diwajibkan mengungkapkan informasi penting secara lebih terbuka, termasuk risiko fluktuasi harga. Langkah ini diharapkan meningkatkan transparansi dan memperkuat perlindungan terhadap investor ritel.

Aturan baru juga akan memperbolehkan bank dan perusahaan asuransi menjual aset kripto melalui anak usaha sekuritas mereka. Pembukaan akses ini diproyeksikan memperluas penetrasi kripto di pasar Jepang, namun tetap berada dalam koridor pengawasan FSA.

Dari sisi perpajakan, FSA mengusulkan tarif pajak tetap sebesar 20% atas keuntungan dari transaksi kripto setara dengan pajak atas perdagangan saham. Kebijakan ini menjadi perubahan besar karena saat ini keuntungan kripto dikenakan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Penurunan tarif dianalisis dapat membuat posisi Jepang lebih kompetitif sebagai pusat perdagangan aset digital di Asia, sekaligus menarik minat investor global.

FSA menargetkan legislasi yang diperlukan dapat diajukan dan disahkan dalam sesi parlemen reguler tahun depan. Jika berhasil, Jepang akan memiliki kerangka regulasi kripto yang lebih modern, terstruktur, dan ramah pertumbuhan industri. (alf)

PPh Final UMKM Bisa Jadi Permanen, Purbaya Ingatkan: “Asal Nggak Ngibul-ngibul Soal Omzet!”

IKPI, Jakarta: Wacana tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% bagi UMKM tanpa batas waktu kembali mengemuka. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka peluang kebijakan tersebut dibuat permanen, namun menegaskan ada satu syarat mutlak UMKM harus jujur soal omzet.

Dalam media briefing di Jakarta Pusat, Jumat (14/11/2025), Purbaya secara blak-blakan menyebut pemerintah tak keberatan mematenkan tarif superringan itu selama pelaku UMKM tidak memanipulasi omzet demi mendapatkan pajak murah.

“Sebetulnya kalau betul-betul mereka UMKM nggak ngibul-ngibul, harusnya sih nggak apa-apa dipermanenkan. Nanti kita lihat keadaannya seperti apa,” ujar Purbaya.

Menurutnya, pemerintah masih membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menilai perkembangan ekonomi serta efektivitas insentif yang sedang berjalan.

“Biar saya lihat dulu seperti apa implementasinya di lapangan,” tambahnya.

Saat ini, tarif PPh final UMKM 0,5% telah dipastikan berlaku hingga 2029. Kebijakan ini ditujukan untuk pelaku usaha dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Pemerintah ingin memberikan kepastian jangka panjang agar pelaku usaha dapat merencanakan bisnis dengan lebih tenang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak lagi diperpanjang “setahun-setahun”, melainkan langsung diberi horizon sampai 2029.

Airlangga juga menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan dana Rp 2 triliun dalam APBN 2025 untuk mendukung insentif ini, dengan jumlah wajib pajak UMKM terdaftar mencapai 542.000.

“Kita memerlukan revisi PP. Tahun 2025 alokasinya sudah Rp 2 triliun. Wajib pajak yang terdaftar 542 ribu,” kata Airlangga.

Stimulus Jangka Panjang untuk UMKM

Kebijakan PPh final 0,5% diposisikan sebagai stimulus jangka panjang bagi UMKM, terutama untuk meringankan beban pajak dan mengurangi kerumitan administrasi. Pemerintah berharap insentif ini dapat menjaga napas UMKM agar tetap tumbuh dan meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Namun peluang menjadikannya permanen kini bergantung pada dua faktor: kondisi ekonomi ke depan dan yang tak kalah penting tingkat kepatuhan para pelaku UMKM sendiri.

Dengan nada setengah bercanda namun sarat pesan, Purbaya mengingatkan,

“Kalau UMKM jujur, ya pemerintah juga berani kasih tarif permanen.”

Insentif ini kini menjadi salah satu agenda besar dalam strategi pemerintah memperkuat pondasi ekonomi nasional melalui sektor usaha kecil yang menopang mayoritas aktivitas bisnis di Indonesia. (alf)

Penundaan Cukai Popok dan Tisu Dinilai Tepat, Indef Ingatkan Risiko Hilangnya Momentum Fiskal

IKPI, Jakarta: Kebijakan pemerintah menunda rencana pengenaan cukai terhadap popok dan tisu basah mendapat apresiasi sekaligus peringatan dari kalangan ekonom. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai keputusan tersebut tepat secara waktu, namun berisiko menghilangkan momentum perluasan penerimaan negara jika tidak dibarengi peta jalan yang jelas.

“Penundaan ini pada dasarnya tepat dari sisi timing karena daya beli masyarakat dan pemulihan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya solid,” ujarnya, Minggu (16/11/2025).

Menurut Rizal, target pertumbuhan ekonomi 6 persen dapat dijadikan ambang batas kebijakan sebelum pemerintah memberlakukan cukai baru agar tidak menimbulkan demand shock, terutama bagi keluarga muda dan pelaku UMKM yang tengah menanggung tekanan biaya hidup. Meski demikian, ia menegaskan ada konsekuensi fiskal yang tak bisa diabaikan.

“Risikonya adalah hilangnya momentum untuk memperluas basis penerimaan negara serta mendorong perubahan perilaku konsumsi,” katanya.

Rizal juga mengingatkan perlunya fase transisi yang nyata, mulai dari sosialisasi, insentif terhadap produk ramah lingkungan, hingga dukungan bagi UMKM produsen barang substitusi. Tanpa itu, penundaan dikhawatirkan menjadi pembatalan permanen dan gagal memberikan dorongan reformasi fiskal.

Ia menuturkan bahwa jika kelak cukai diberlakukan tanpa mitigasi, beban terbesar akan dirasakan keluarga muda dan kelompok berpenghasilan rendah karena popok dan tisu basah merupakan kebutuhan rumah tangga esensial. Desain tarif yang tidak hati-hati berpotensi menekan konsumsi kelompok menengah bawah dan memicu pergeseran ke produk murah yang tidak memenuhi standar.

Dari sisi industri, kebijakan cukai berpotensi menggerus margin produsen serta memicu peredaran barang substitusi yang tidak terjamin kualitasnya. Dari aspek keadilan fiskal, Rizal menilai kebijakan ini cenderung regresif lantaran beban paling besar ditanggung kelompok berpendapatan rendah.

Wacana ekstensifikasi cukai ini sebelumnya tercantum dalam PMK 70/2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029, yang membuka ruang penambahan Barang Kena Cukai (BKC) baru seperti popok sekali pakai, alat makan dan minum sekali pakai, serta tisu basah. Pemerintah juga mengkaji potensi cukai untuk produk plastik dan pangan olahan bernatrium sebagai strategi menambah penerimaan tanpa langsung menaikkan pajak utama.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa cukai popok dan tisu belum akan diterapkan dalam waktu dekat. Ia menyebut pemerintah tetap memegang prinsip untuk tidak menambah beban pajak sebelum ekonomi benar-benar stabil.

“Sebelum ekonominya stabil, saya tidak akan menambah pajak tambahan dulu. Ketika ekonominya tumbuh 6 persen atau lebih, baru kita pikirkan pajak-pajak tambahan,” ujar Purbaya di Jakarta, Jumat (14/11/2025). (alf)

id_ID