Pemerintah Siapkan Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyusun regulasi teknis guna memperpanjang masa berlaku insentif tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga akhir tahun ini. Insentif ini semula dijadwalkan berakhir pada 2025 sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang terakhir diubah lewat PP 55 Tahun 2022.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, memastikan bahwa meskipun aturan perpanjangan masih digodok, pelaku UMKM tetap diperbolehkan menggunakan tarif PPh final 0,5% sepanjang tahun 2025.

“PP-nya sedang dalam proses, tetapi selama penyusunan itu berlangsung, pelaku UMKM tetap bisa menikmati tarif 0,5%,” ujar Febrio dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kemenkeu, Jumat (2/5/2025).

Ia menekankan bahwa kelonggaran ini diberikan agar operasional UMKM tidak terganggu dan dapat tetap berjalan stabil di tengah tantangan ekonomi. “Kita ingin UMKM tetap bisa beraktivitas tanpa terhambat beban perpajakan yang berat,” lanjutnya.

Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, juga mengonfirmasi adanya kesepahaman awal dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kelanjutan insentif pajak tersebut. “Pembicaraan teknis sudah berlangsung dan kami punya semangat yang sama untuk membantu UMKM,” ujar Maman.

Menurutnya, keberlanjutan insentif fiskal ini menjadi salah satu strategi pemerintah dalam menopang daya tahan UMKM yang saat ini masih menghadapi tekanan ekonomi. Meski begitu, ia menyebutkan bahwa detail kebijakan belum dapat diumumkan karena belum ada pertemuan resmi lanjutan dengan Kemenkeu.

Dengan diperpanjangnya masa berlaku tarif PPh final 0,5%, pelaku UMKM dapat sedikit bernafas lega di tengah ketidakpastian ekonomi global. Pemerintah pun berkomitmen untuk terus menghadirkan kebijakan yang berpihak pada sektor usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. (alf)

 

Prabowo Janjikan Reformasi Pajak Berkeadilan: “Yang Gajinya Besar, Pajaknya Besar”

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk mewujudkan sistem perpajakan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh Internasional di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025), Prabowo menyatakan bahwa penegakan hukum perpajakan akan menjadi fokus utama pemerintahannya.

“Saya akan pelajari kembali sistem perpajakan kita. Kita harus pastikan undang-undang berjalan dengan benar,” kata Prabowo di hadapan ribuan buruh yang hadir.

Ia menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Menurutnya, masyarakat dengan penghasilan rendah tidak seharusnya terbebani pajak yang berat. Sebaliknya, mereka yang berpenghasilan tinggi harus menunaikan kewajiban pajak secara proporsional.

“Yang penghasilannya besar, ya bayar pajak besar. Kalau penghasilan kecil, jangan dipaksa. Kalau pun ada, cukup ringan, dibayar sedikit demi sedikit,” tegas Prabowo, yang disambut riuh peserta aksi.

Lebih lanjut, Presiden juga mengumumkan rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Lembaga ini akan bertugas mengkaji kondisi para pekerja serta memberikan rekomendasi kepada Presiden terkait regulasi yang perlu diperbaiki demi perlindungan buruh.

“Kalau ada undang-undang atau aturan yang merugikan pekerja, dewan ini akan bantu saya meninjaunya dan kita akan perbaiki,” ujarnya.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya membangun sistem fiskal yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga berpihak pada keadilan sosial. (alf)

 

Pendapatan Pajak Ekonomi Digital Tembus Rp 34,91 Triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan dalam penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital yang mencapai Rp 34,91 triliun hingga akhir Maret 2025. Angka ini menunjukkan potensi besar yang dimiliki sektor digital dalam menyumbang pemasukan negara.

Penerimaan ini berasal dari beberapa sumber, dengan kontribusi terbesar datang dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp 27,48 triliun. Pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, dan sebanyak 190 di antaranya telah aktif menyetor pajak sejak 2020.

“Langkah ini diambil untuk menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha digital dan konvensional,” ujar Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/5/2025).

DJP juga mencatat penerimaan dari pajak kripto sebesar Rp 1,2 triliun, dengan dominasi PPN dalam negeri dan PPh 22 dari transaksi di platform penukaran aset kripto. Sementara itu, sektor financial technology (fintech) melalui skema peer-to-peer lending menyumbang Rp 3,28 triliun. Pendapatan ini mencakup pemotongan atas bunga pinjaman, baik dari entitas dalam maupun luar negeri.

Tak ketinggalan, pajak yang dihimpun melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) ikut berkontribusi sebesar Rp 2,94 triliun. Pajak SIPP terdiri dari kombinasi antara PPh dan PPN atas transaksi pengadaan barang dan jasa.

DJP menegaskan komitmennya untuk terus menggali potensi pajak dari aktivitas digital lainnya, seiring semakin berkembangnya teknologi dan pola konsumsi masyarakat. Pemerintah juga berencana memperluas cakupan penunjukan pelaku usaha digital luar negeri sebagai pemungut PPN. (alf)

 

Jumlah Pelaporan SPT Tahunan 2025 Capai 14,06 Juta, Naik Dibanding Tahun Lalu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 1 Mei 2025 pukul 07.59 WIB, sebanyak 14,06 juta wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari total tersebut, sebanyak 13 juta SPT berasal dari wajib pajak orang pribadi, sedangkan 1,06 juta SPT berasal dari wajib pajak badan.

Sebagai perbandingan, pada 30 April 2024 lalu, DJP mencatat sekitar 13,45 juta SPT Tahunan telah dilaporkan, yang terdiri dari 12,6 juta SPT orang pribadi dan 850 ribu SPT badan. Artinya, tahun ini terdapat kenaikan sebesar 610 ribu pelaporan, atau naik sekitar 4,5% secara keseluruhan.

“Kami mengapresiasi partisipasi masyarakat yang semakin meningkat dalam menyampaikan kewajiban perpajakan. Ini menunjukkan kesadaran pajak yang terus membaik,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Jumat (2/5/2025).

DJP juga mengimbau bagi yang belum menyampaikan SPT agar tetap memenuhi kewajibannya meskipun telah melewati batas waktu, guna menghindari sanksi yang berlaku. (alf)

 

Ribuan Perusahaan Ajukan Penundaan Lapor SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sebanyak 2.477 wajib pajak badan telah mengajukan permohonan perpanjangan waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Permintaan tersebut diajukan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menegaskan bahwa perpanjangan waktu pelaporan memang dimungkinkan dalam regulasi perpajakan Indonesia. “Boleh, menurut undang-undang wajib pajak untuk melakukan penundaan dengan menyampaikan SPT sementara,” ujar Suryo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Penundaan ini bukan berarti wajib pajak terbebas dari kewajiban melapor. Suryo menjelaskan bahwa perusahaan tetap harus menyampaikan SPT sementara dan menyertakan permohonan penundaan secara resmi. Dalam dokumen sementara itu, wajib pajak juga tetap harus membayar kekurangan pajak yang terlaporkan.

Merujuk Pasal 3 ayat 4 UU KUP, perpanjangan waktu pelaporan dapat diberikan hingga dua bulan dari batas akhir pelaporan, yaitu paling lambat 30 Juni 2025. Permohonan ini diperuntukkan bagi perusahaan yang memiliki alasan kuat sehingga tidak dapat menyampaikan SPT tepat waktu.

Langkah ini memberikan ruang bagi dunia usaha untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara lebih fleksibel, tanpa melanggar aturan yang ada. Namun, DJP mengingatkan agar seluruh proses penundaan dilakukan secara tertib administrasi. (alf)

 

 

Sanksi Telat Lapor SPT PPN Maret 2025 Dihapus Sementara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan kabar baik bagi para pelaku usaha dan wajib pajak. Dalam rangka mendukung transisi sistem administrasi pajak menuju core tax system, pemerintah resmi memberikan pembebasan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan dan pembayaran SPT Masa PPN untuk periode Maret 2025.

Melalui akun resmi @kring_pajak, DJP menyampaikan bahwa wajib pajak masih memiliki waktu hingga 10 Mei 2025 untuk menyampaikan laporan SPT Masa PPN tanpa dikenai sanksi keterlambatan. Keputusan ini mengacu pada KEP-67/PJ/2025 dan bertujuan memberi ruang adaptasi atas penerapan sistem pajak yang baru.

“Penghapusan sanksi dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Bila STP sudah terbit sebelum keputusan berlaku, maka sanksi akan dihapus secara jabatan,” tulis DJP dalam keterangan resminya, Rabu (30/4/2025).

Selain itu, DJP menegaskan bahwa batas akhir penyetoran PPN yang terutang untuk Masa Pajak Maret 2025 adalah 30 April 2025. Meski demikian, bagi wajib pajak yang belum sempat menyetor atau melapor tepat waktu karena kendala teknis sistem, mereka tetap mendapat perlindungan dari sanksi.

Kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen Ditjen Pajak dalam mendampingi transformasi digital sistem perpajakan nasional, sekaligus memberikan keadilan bagi wajib pajak yang terdampak gangguan teknis. (alf)

 

 

 

Wamenkeu Klaim Penerimaan Pajak Maret 2025 Melesat

IKPI, Jakarta: Pemerintah mencatat angin segar dalam penerimaan pajak nasional. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengumumkan bahwa penerimaan pajak bruto pada Maret 2025 berhasil tumbuh positif, membalik tren kontraksi yang sempat terjadi dalam dua bulan sebelumnya.

“Penerimaan di bulan Maret mengalami rebound. Ini adalah pembalikan arah yang penting, perlu digarisbawahi,” tegas Anggito dalam konferensi pers APBN Kita edisi April, Rabu (30/04/2025).

Angka penerimaan pajak bruto hingga akhir Maret tercatat mencapai Rp467 triliun, dengan pertumbuhan tahunan (year-on-year) sebesar 7,6%. Sementara itu, penerimaan neto—yakni setelah dikurangi restitusi—juga masih tumbuh positif di angka 3,5%.

Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja sejumlah jenis pajak utama. PPh Pasal 21 tumbuh 3,3% dibanding tahun sebelumnya, didorong oleh meningkatnya pendapatan pegawai serta penurunan jumlah wajib pajak yang mengajukan kompensasi kelebihan bayar. Di sisi lain, penerimaan dari PPN dalam negeri melonjak 8%, mencerminkan daya beli masyarakat yang tetap solid.

Sektor korporasi pun memberikan kontribusi signifikan. PPh 25 dari Wajib Pajak Badan menunjukkan pertumbuhan yang sejalan dengan profitabilitas perusahaan, khususnya di sektor pertambangan dan industri pengolahan. Realisasi PPN impor pun mencatat kinerja yang sehat.

Wamenkeu Anggito menyoroti tiga sektor utama yang menjadi motor penggerak penerimaan pajak bulan ini: pertambangan, industri pengolahan, dan jasa keuangan. Pertumbuhan sektor pertambangan dipacu oleh kinerja subsektor bijih logam, sementara industri pengolahan tetap stabil seiring indeks PMI yang terus berada di zona ekspansi. Adapun sektor jasa keuangan terus menunjukkan performa jangka panjang yang solid.

“Kalau kita lihat dari data secara menyeluruh, tren kenaikannya sudah mulai terlihat. Bahkan, rata-rata penerimaan pajak di empat bulan pertama tahun ini menunjukkan kenaikan nominal yang cukup meyakinkan,” tutup Anggito. (alf)

 

 

Industri Kelapa Terjepit Pajak, Perlakuan Pajak Eksportir dan Pelaku Dalam Negeri Berbeda

IKPI, Jakarta: Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan kekhawatiran atas ketimpangan perlakuan pajak antara eksportir kelapa dan pelaku industri dalam negeri. Dalam pertemuan dengan Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) di Jakarta, Rabu (30/4/2025), terungkap bahwa pelaku industri lokal harus membayar pajak saat membeli kelapa dari petani, sementara eksportir justru dibebaskan dari pungutan serupa.

“Ini jelas tidak adil. Industri dalam negeri terkena PPh Pasal 22 ketika membeli bahan baku kelapa, sementara eksportir bisa melepas kelapa bulat ke luar negeri tanpa pungutan apa pun,” ujar Agus dalam keterangannya, Kamis (1/5/2025).

Indonesia yang termasuk dalam lima besar negara penghasil kelapa dunia justru belum memiliki kebijakan tata niaga bahan baku kelapa yang mendukung keberlanjutan industri lokal. Ketidakseimbangan ini memicu lonjakan ekspor kelapa bulat yang pada akhirnya memicu kelangkaan di dalam negeri.

Dampaknya tak hanya dirasakan industri besar, tetapi juga oleh rumah tangga dan pelaku usaha kecil menengah (IKM) yang membutuhkan sekitar dua miliar butir kelapa per tahun. Ketimpangan ini menyebabkan harga kelapa melambung tinggi di pasar tradisional dan mengganggu pasokan bagi industri pengolahan.

Menperin juga menyoroti bagaimana negara pesaing seperti Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka sudah menerapkan kebijakan protektif seperti larangan ekspor bahan baku untuk menjaga nilai tambah domestik. Sementara Indonesia justru membiarkan bahan mentah mengalir keluar tanpa batas.

“Padahal, 85 persen dari total ekspor kelapa kita senilai USD 2 miliar tahun lalu berasal dari produk olahan. Jika rantai pasok terganggu, kita bukan hanya kehilangan devisa, tapi juga mengancam 21 ribu tenaga kerja di sektor ini,” tegas Agus.

Industri hilir kelapa Indonesia yang selama ini dikenal kuat di pasar global termasuk minyak kelapa, nata de coco, arang aktif, hingga konsentrat air kelapa kini terancam kehilangan posisi jika negara lain mulai mengolah bahan baku Indonesia dan menjualnya kembali dalam bentuk produk jadi.

Agus berharap pemerintah segera merumuskan kebijakan pajak dan tata niaga kelapa yang mendukung industri dalam negeri, demi menjaga daya saing, lapangan kerja, dan keberlanjutan industri kelapa nasional. (alf)

 

 

Liverpool Kenakan Retribusi Menginap Rp44 Ribu Per Malam

IKPI, Mulai Juni 2025, para wisatawan yang berkunjung ke Liverpool harus merogoh kocek sedikit lebih dalam. Kota yang dikenal sebagai rumah bagi The Beatles dan klub sepak bola ternama Liverpool FC ini akan mulai mengenakan retribusi menginap sebesar 2 pound sterling (sekitar Rp44.000) per malam bagi setiap tamu hotel.

Langkah ini menjadikan Liverpool sebagai kota kedua di Inggris setelah Manchester yang menerapkan skema mirip “pajak turis”, meskipun secara hukum Inggris belum mengizinkan pemerintah lokal memungut pajak semacam itu. Skema ini diadopsi melalui sistem Business Improvement District (BID) yang difokuskan pada sektor pariwisata dan akomodasi.

Retribusi ini merupakan hasil pemungutan suara yang dilakukan oleh organisasi Akomodasi BID, yang mewakili 83 hotel di kota pelabuhan tersebut. Diharapkan, pungutan baru ini mampu mengumpulkan dana hingga 9,2 juta pound sterling dalam dua tahun. Sekitar 6,7 juta pound dari jumlah itu akan disalurkan untuk mendukung kegiatan yang memperkuat ekonomi wisata lokal mulai dari promosi destinasi hingga penyelenggaraan konferensi dan acara berskala besar.

CEO Liverpool BID Company, Bill Addy, menyebut retribusi ini bukan semata-mata biaya tambahan bagi wisatawan, tetapi investasi jangka panjang bagi kota. “Dengan retribusi ini, kita bisa membangun ekonomi pengunjung yang berkelanjutan. Dana yang terkumpul akan memperkuat promosi dan infrastruktur pariwisata Liverpool,” ujarnya.

Uniknya, retribusi tersebut tidak dibayarkan oleh hotel, melainkan dialihkan kepada tamu sebagai bagian dari biaya menginap yang ditagihkan saat check-in atau check-out. Sistem ini memungkinkan hotel tetap menjaga keberlanjutan layanan sambil ikut berkontribusi pada pengembangan kota.

Dengan keberhasilan Liverpool FC menjuarai Liga Primer Inggris akhir pekan lalu, diperkirakan antusiasme wisata ke kota ini akan meningkat dan retribusi baru ini pun mulai berjalan pada saat yang tepat. (alf)

 

 

Program Pemutihan Pajak Banten Tembus Rp237 Miliar

IKPI, JAKARTA: Program pemutihan pajak kendaraan yang diluncurkan Pemerintah Provinsi Banten mencetak capaian impresif. Hingga 29 April 2025, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banten mencatat penerimaan mencapai Rp237,59 miliar dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Plt. Kepala Bapenda Banten, Deden Apriandhi, menyebutkan lonjakan pendapatan ini berkat antusiasme masyarakat yang memanfaatkan kebijakan penghapusan denda pajak.

“Alhamdulillah, sampai 29 April kemarin, pendapatan sudah menyentuh Rp237 miliar lebih. Ini berkat dukungan penuh masyarakat dan inisiatif Gubernur serta Wakil Gubernur,” ujarnya di Kota Serang, Rabu (30/4/2025).

Dari total penerimaan tersebut, kendaraan roda empat memberikan kontribusi tertinggi dengan Rp175 miliar, sementara roda dua menyumbang Rp61 miliar. Wilayah dengan capaian tertinggi antara lain Samsat Kelapa Dua (Rp34,74 miliar), Ciputat (Rp33,09 miliar), dan Cikokol (Rp32,81 miliar).

“Secara keseluruhan, kontribusi wilayah Samsat sangat merata, tapi tiga besar ini mendominasi karena padatnya jumlah kendaraan,” tambah Deden.

Selain mendongkrak penerimaan, program ini juga berhasil menggerakkan kembali para penunggak pajak. Dari sekitar 2,3 juta unit kendaraan yang tercatat menunggak, sebanyak 200 ribu unit telah melakukan pelunasan sekitar 10 persen dari total tunggakan.

Dari angka tersebut, 29 ribu merupakan kendaraan roda empat, dan 131 ribu lainnya roda dua. “Artinya program ini tidak hanya efektif dari sisi pendapatan, tapi juga dari aspek kepatuhan wajib pajak,” ujar Deden.

Untuk mengatasi lonjakan pengunjung di berbagai titik layanan Samsat, Bapenda bekerja sama dengan Dinas Perhubungan daerah guna mengatur arus lalu lintas dan kenyamanan layanan. Jam operasional dibatasi dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, namun proses input data tetap dilanjutkan hingga malam hari.

Meski terdapat kekurangan blanko STNK di beberapa wilayah, Deden memastikan hal itu tidak akan memengaruhi hak wajib pajak. “Surat permohonan pengisian sudah diajukan, dan ini ranahnya kepolisian,” ujarnya.

Menariknya, meskipun program ini tidak diberi target khusus oleh pimpinan daerah, hasilnya tetap signifikan. Bapenda menggencarkan sosialisasi melalui Bapenda kabupaten/kota dan turut menyampaikan informasi saat distribusi tagihan PBB ke masyarakat.

Secara rinci, PKB menyumbang Rp157,23 miliar, sementara BBNKB tercatat Rp80,36 miliar. Untuk PKB, roda empat menyumbang Rp122,12 miliar dan roda dua Rp35,10 miliar. Adapun BBNKB dari roda empat menyentuh Rp53,61 miliar, dan roda dua Rp26,74 miliar. Angka ini belum termasuk rekonsiliasi penerimaan dari e-Samsat pada 29 April, sehingga masih berpotensi bertambah. (alf)

 

 

id_ID