
IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan deretan insentif dan keringanan pajak yang telah digulirkan sepanjang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Langkah tersebut, kata Bimo, merupakan bagian dari strategi menjaga daya beli masyarakat sekaligus menopang kinerja dunia usaha di tengah transisi ekonomi global.
“Berbagai insentif, keringanan, dan fasilitas pajak sudah kami gulirkan untuk membantu masyarakat dan pelaku bisnis,” ujar Bimo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Insentif Pajak dari Rumah Hingga UMKM
Bimo merinci, program insentif mencakup PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi karyawan di sektor padat karya, PPN DTP untuk rumah tapak dan rumah susun, serta diskon PPN kendaraan listrik dan hybrid. Pemerintah juga menanggung PPN tiket pesawat untuk mendorong mobilitas wisatawan.
Bagi pelaku usaha kecil, pemerintah mempertahankan pembebasan PPh UMKM untuk omzet hingga Rp500 juta, dan tarif PPh Final 0,5% untuk omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, berlaku sampai 2029.
Bimo menegaskan bahwa berbagai stimulus tersebut telah memberi efek positif pada aktivitas ekonomi nasional. Realisasi penerimaan pajak bruto hingga September 2025 mencapai Rp1.619,2 triliun, naik dari Rp1.588,21 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Meski secara neto (setelah restitusi) sempat tertekan turun dari Rp1.354,86 triliun menjadi Rp1.295,28 triliun, tren bulanan menunjukkan perbaikan.
“Secara month-to-month, pertumbuhan penerimaan neto tetap positif. Artinya, aktivitas ekonomi masih bergerak naik,” ujar Bimo.
Hampir semua jenis pajak mencatatkan pertumbuhan.
• PPh 21 naik 1,7% menjadi Rp195 triliun.
• PPh Badan tumbuh signifikan dari Rp287,3 triliun menjadi Rp309,7 triliun, didorong peningkatan profit sektor pertanian, energi, dan tambang logam.
• PPN Impor melesat dari Rp198,9 triliun menjadi Rp229,8 triliun.
Sementara itu, PPN Dalam Negeri masih tertekan dari Rp505,2 triliun menjadi Rp497,2 triliun akibat penurunan konsumsi di beberapa sektor perdagangan.
Dari sisi sektor usaha, industri pengolahan tetap menjadi penyumbang terbesar dengan setoran naik dari Rp443,8 triliun menjadi Rp452,3 triliun. Pertumbuhan juga terlihat pada sektor keuangan (naik ke Rp190,3 triliun) dan pertambangan (menjadi Rp185,8 triliun).
Namun, perdagangan masih menjadi titik lemah, turun ke Rp370,9 triliun akibat lesunya penjualan mobil dan perdagangan besar.
Bimo menambahkan, data perpajakan kini mulai digunakan sebagai indikator untuk memetakan kinerja ekonomi sektoral.
“Kinerja penerimaan pajak bisa menjadi cermin arah ekonomi nasional. Seberapa efektif pemungutan dan pengecualian pajak di setiap sektor akan terlihat dari data ini,” jelasnya. (alf)