Mulai 2026, Bea Keluar Batu Bara Berlaku Lagi, Negara Bidik Tambahan Rp20 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan kebijakan pengenaan bea keluar atas komoditas batu bara akan kembali diberlakukan mulai Januari 2026. Kebijakan ini disiapkan seiring langkah serupa yang telah lebih dulu diterapkan pada komoditas emas sebagai bagian dari penguatan penerimaan negara.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, meski aturan bea keluar batu bara masih dalam tahap finalisasi, implementasinya tidak akan mundur dari awal tahun depan. “Tapi Januari langsung berlaku,” ujarnya usai menghadiri agenda di Istana Negara, Jakarta, Senin malam (15/12/2025).

Untuk batu bara, pemerintah menyiapkan tarif bea keluar pada kisaran 1% hingga 5%. Dari kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan tambahan setoran penerimaan negara sekitar Rp20 triliun sepanjang 2026. Angka ini diharapkan menjadi penopang fiskal di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat.

Menurut Purbaya, pengenaan kembali bea keluar batu bara sekaligus mengoreksi kebijakan masa lalu. Ia menilai, penghapusan bea keluar melalui Undang-Undang Cipta Kerja justru membuat negara seolah memberi subsidi tidak langsung kepada industri batu bara. “Kita balik ke status awal. Jangan sampai negara malah mensubsidi industri batu bara,” tegasnya.

Sementara itu, untuk komoditas emas, ketentuan bea keluar telah diatur secara rinci melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan tersebut ditandatangani pada 17 November 2025, diundangkan pada 9 Desember 2025, dan mulai berlaku setelah 14 hari sejak diundangkan.

Dalam beleid tersebut, tarif bea keluar emas ditetapkan secara berjenjang berdasarkan Harga Referensi Emas dan jenis produk yang diekspor. Jika harga referensi berada di kisaran US$2.800 hingga di bawah US$3.200 per troy ounce, tarif bea keluar dikenakan antara 7,5% hingga 12,5%.

Adapun ketika harga referensi menembus US$3.200 per troy ounce, tarif bea keluar meningkat ke rentang 10% sampai 15%, tergantung pada bentuk emas yang diekspor. Untuk emas dore baik dalam bentuk bongkah, ingot, batang tuangan, maupun bentuk sejenis tarif dipatok pada level tertinggi, yakni 12,5% hingga 15%.

Sementara itu, emas atau paduan emas non-dore dalam bentuk granules dikenakan tarif 10% hingga 12,5%. Untuk emas non-dore berbentuk bongkah, ingot, cast bars, maupun minted bars, tarifnya lebih rendah, yakni 7,5% hingga 10%. (alf)

Penerimaan Pajak Tertekan, Purbaya Pastikan Defisit APBN Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengakui kinerja penerimaan negara hingga akhir 2025 masih berada di bawah sasaran yang ditetapkan. Tekanan tersebut tercermin dari proyeksi penerimaan pajak dalam outlook laporan semester yang hanya mencapai Rp2.076,9 triliun, lebih rendah dari target awal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Meski demikian, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan defisit APBN 2025 dipastikan tidak akan melebar melampaui proyeksi semester I, yakni 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, berbagai langkah penguatan penerimaan dan pengendalian belanja terus diintensifkan pada dua bulan terakhir tahun anggaran.

“Masih ada berbagai upaya yang dilakukan di sisa waktu tahun ini. Tekanan memang ada, tetapi defisit tidak akan melebar secara signifikan,” ujarnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).

Ia menekankan, posisi defisit APBN 2025 tetap dijaga berada di bawah ambang batas maksimal 3 persen PDB sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan pengelolaan yang disiplin, pemerintah menilai ruang fiskal masih berada dalam kondisi aman meski penerimaan menghadapi tantangan berat.

Pengawasan terhadap kas negara, lanjutnya, dilakukan secara intensif oleh Kementerian Keuangan. Pemantauan bahkan dilakukan hampir setiap hari untuk memastikan strategi pengendalian fiskal berjalan sesuai rencana dan risiko dapat diminimalkan sejak dini.

Berdasarkan APBN 2025, target awal penerimaan pajak dipatok sebesar Rp2.189,31 triliun. Namun hingga akhir Oktober 2025, realisasi baru mencapai Rp1.459,02 triliun atau sekitar 70,2 persen dari target. Artinya, pemerintah masih membutuhkan tambahan penerimaan sekitar Rp617,9 triliun hingga tutup buku tahun anggaran.

Pemerintah juga mengakui belum dapat memastikan besaran pasti shortfall penerimaan pajak hingga pertengahan Desember 2025. Pergerakan angka penerimaan dinilai masih dinamis seiring berjalannya sisa waktu tahun anggaran dan aktivitas ekonomi yang fluktuatif.

“Angkanya masih bergerak. Tekanannya cukup terasa, tapi tetap kita jaga agar berada di level yang aman,” katanya.

Ke depan, pemerintah berencana melakukan pembenahan menyeluruh dalam pengelolaan perpajakan. Evaluasi kebijakan, penguatan basis pajak, hingga perbaikan tata kelola akan menjadi fokus agar penerimaan negara lebih berkelanjutan pada tahun anggaran berikutnya. (alf)

Pengawasan Pajak Diperkuat, DJP Panggil Wajib Pajak Konglomerat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memperkuat langkah pengawasan kepatuhan pajak dengan memanggil sejumlah wajib pajak konglomerat atau High Wealth Individual (HWI). Pemanggilan ini dilakukan untuk menyesuaikan data yang disampaikan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dengan data pembanding yang telah dimiliki pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, langkah tersebut merupakan bagian dari pengawasan rutin DJP yang mengedepankan komunikasi dan pendekatan persuasif. Menurutnya, klarifikasi langsung menjadi sarana penting untuk memastikan kesesuaian pelaporan pajak dengan kondisi sebenarnya.

“Pemanggilan ini dilakukan dalam konteks konsultasi dan komunikasi kepatuhan. Kami memiliki sejumlah data yang selama ini mungkin belum terkomunikasikan secara optimal dengan wajib pajak,” ujar Bimo, Selasa (16/12/2025).

Bimo mengungkapkan, DJP kini mengantongi sumber data yang semakin beragam dan komprehensif, termasuk informasi mengenai beneficial owner. Data tersebut menjadi landasan untuk melakukan pembandingan dan analisis kepatuhan wajib pajak secara lebih akurat.

Meski demikian, ia menilai masih terdapat anggapan di sebagian kalangan wajib pajak bahwa otoritas pajak tidak memiliki akses terhadap data tertentu. Persepsi tersebut kerap berujung pada tidak dilaporkannya seluruh informasi dalam SPT Tahunan. “Padahal saat ini kami memiliki basis data yang sangat kuat untuk melakukan benchmarking kepatuhan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Bimo menyoroti adanya tantangan fiskal ketika pelaporan pajak kelompok berpenghasilan tinggi belum sepenuhnya mencerminkan kemampuan ekonominya. Kondisi ini, menurutnya, perlu disikapi melalui pengawasan yang adil dan konsisten agar fungsi pajak sebagai instrumen pemerataan dapat berjalan optimal.

Ia menegaskan, penguatan pengawasan kepatuhan pajak sejalan dengan peran kebijakan fiskal sebagai penyeimbang ketimpangan sosial dan ekonomi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. (alf)

DJP Tegaskan Tak Ada Ijon Pajak, Optimalkan Strategi Kejar Penerimaan 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis isu adanya praktik ijon pajak untuk mengejar penerimaan negara tahun 2025. DJP menegaskan, seluruh proses pemungutan dan pengamanan penerimaan pajak dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa menyalahi prinsip profesionalisme dan akuntabilitas.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa otoritas pajak tidak pernah meminta wajib pajak menyetorkan kewajiban yang sejatinya baru terutang pada tahun berikutnya. Menurutnya, seluruh mekanisme pengumpulan pajak berjalan dalam koridor hukum yang berlaku.

“Seluruh proses dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip profesionalisme,” ujar Rosmauli, Selasa (16/12/2025).

Ia menjelaskan, hingga akhir tahun DJP akan terus mengintensifkan strategi penerimaan melalui berbagai langkah yang telah dirancang. Upaya tersebut antara lain penguatan pengawasan pembayaran masa (PPM), pengawasan kepatuhan material (PKM), perluasan basis pajak lewat ekstensifikasi dan intensifikasi, serta optimalisasi pemanfaatan sistem Coretax untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan.

Isu ijon pajak sebelumnya mencuat setelah David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk, mengungkapkan adanya informasi yang beredar di kalangan pelaku usaha mengenai kemungkinan langkah-langkah luar biasa guna menutup potensi kekurangan penerimaan pajak tahun berjalan.

“Kalau pajak yang kita khawatir sebenarnya bisa saja dilakukan upaya-upaya terobosan seperti dulu, ada ijon. Saya dengar-dengar katanya ada pembicaraan ke arah sana,” ujar David dalam diskusi media di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

Kekhawatiran tersebut muncul di tengah capaian penerimaan pajak yang hingga 31 Oktober 2025 baru mencapai Rp1.459 triliun, atau sekitar 70,2 persen dari outlook Laporan Semester I-2025 sebesar Rp2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu yang terbatas, target tersebut dinilai cukup menantang untuk dikejar.

David juga menyoroti tekanan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diperkirakan ikut terbatas, seiring tren penurunan harga komoditas global. Kondisi ini membuat ruang fiskal pemerintah semakin sempit menjelang akhir tahun anggaran.

Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa realisasi penerimaan pajak 2025 berpotensi berada di bawah target awal, sejalan dengan perlambatan ekonomi nasional. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Financial Forum 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.

“Pajak kita, karena ekonominya melambat, ya di bawah target semula,” ujar Purbaya.

Meski demikian, pemerintah memastikan pengelolaan fiskal tetap terkendali. Purbaya menegaskan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan dijaga tetap di bawah 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

“Pengendalian terus kami lakukan agar defisit tidak melampaui 3 persen. Itu komitmen yang tidak akan kami langgar,” tegasnya. (alf)

Ajukan PK Pajak Kini Wajib Dokumen Digital, Ini Aturan Barunya

IKPI, Jakarta: Proses pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan Pajak kini ada perubahan. Mulai 15 Desember 2025, pemohon PK wajib melengkapi berkas dengan dokumen digital, seiring berlakunya ketentuan administrasi terbaru yang ditetapkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor 1467A/PAN/HK2.7/SK/XII/2025 tertanggal 1 Desember 2025, yang mengatur petunjuk pelaksanaan administrasi PK putusan Pengadilan Pajak melalui sistem elektronik atau e-Tax Court.

Penyesuaian tersebut dilakukan untuk memastikan kelancaran proses, meningkatkan kepastian hukum, serta menjaga kualitas layanan administrasi perkara pajak yang diajukan ke Mahkamah Agung. Dengan sistem yang semakin terdigitalisasi, diharapkan tidak lagi terjadi keterlambatan akibat ketidaklengkapan berkas.

Dalam aturan baru ini, setiap permohonan PK sebagaimana diatur dalam KEP-01/PP/2020 wajib dilampiri dokumen elektronik yang disimpan dalam media CD atau flashdisk. Lampiran digital ini menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari berkas fisik permohonan PK.

Adapun dokumen digital yang wajib disertakan meliputi:

• Akta PK dalam format PDF, berupa hasil pemindaian berwarna dari akta yang telah ditandatangani.

• Memori PK atau Kontra Memori PK dalam format PDF, berupa scan berwarna dari dokumen asli.

• Memori PK atau Kontra Memori PK dalam format .doc atau .docx, menggantikan ketentuan lama yang menggunakan format .rtf.

Perubahan format ini dinilai lebih adaptif dengan kebutuhan sistem peradilan elektronik dan memudahkan proses unggah serta verifikasi dokumen pada platform e-Tax Court.

Mahkamah Agung berharap, dengan penyesuaian ini, proses administrasi PK atas putusan Pengadilan Pajak dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan terstandar. Para pihak yang berperkara termasuk wajib pajak dan kuasa hukumnya diimbau untuk mencermati dan mematuhi ketentuan baru agar proses PK tidak terkendala secara administratif. (bl)

Kajian PPN 2026 Masih Dinamis, Menkeu Tunggu Arah Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah belum mengunci arah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, keputusan penyesuaian tarif PPN masih menunggu hasil kajian yang mempertimbangkan kondisi dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Berbicara di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Purbaya menyampaikan bahwa pemerintah tidak ingin mengambil langkah spekulatif sebelum memperoleh gambaran ekonomi yang benar-benar konkret. Menurutnya, ruang kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh performa pertumbuhan ekonomi dalam periode berjalan.

Ia menjelaskan, bila pertumbuhan ekonomi mampu melampaui 6 persen, pemerintah akan memiliki fleksibilitas yang lebih luas untuk mengelola PPN. Dalam skenario tersebut, opsi kebijakan bisa terbuka ke berbagai arah—baik penyesuaian naik maupun turun—tanpa harus bersandar pada asumsi semata.

“Ketika pertumbuhan kuat, ruang pengolahan kebijakan juga ada. PPN bisa disesuaikan sesuai kebutuhan ekonomi, bukan sekadar menebak,” ujar Purbaya, Senin (15/12/2025).

Meski demikian, pemerintah tetap mencermati konsekuensi fiskal dari setiap opsi. Purbaya mengingatkan bahwa penurunan tarif PPN memiliki implikasi besar terhadap penerimaan negara, dengan potensi kehilangan sekitar Rp70 triliun untuk setiap penurunan 1 persen tarif. Karena itu, kehati-hatian menjadi kunci dalam meramu kebijakan.

Untuk jangka pendek, fokus Kementerian Keuangan diarahkan pada penguatan sistem penerimaan, baik dari pajak maupun bea dan cukai. Purbaya menyebut perbaikan sistem ini akan dipantau hingga setidaknya triwulan II-2026 guna memastikan kapasitas riil penerimaan negara.

Evaluasi awal direncanakan dilakukan pada akhir kuartal I-2026. Dari sana, pemerintah akan menghitung potensi penerimaan yang sesungguhnya, menilai celah fiskal yang ada, serta menakar dampak kebijakan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi. Rencana tersebut, kata Purbaya, sudah tersusun jelas di atas kertas, tinggal menunggu momentum eksekusi yang tepat.

Di sisi lain, pemerintah juga memberi sinyal keberlanjutan stimulus untuk menjaga daya beli dan mendorong sektor-sektor strategis. Salah satunya melalui perpanjangan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100 persen untuk pembelian properti, yang kini berlaku hingga 31 Desember 2027.

Kebijakan ini diharapkan menopang kelas menengah sekaligus menggerakkan sektor properti yang memiliki efek berganda besar terhadap perekonomian. Dengan estimasi pemanfaatan sekitar 40 ribu unit properti per tahun, pemerintah berharap insentif tersebut menjadi penyangga pertumbuhan sambil menunggu arah ekonomi yang lebih pasti sebelum memutuskan kebijakan PPN 2026. (alf)

Target Ekonomi 8 Persen 2030, Pemerintah Andalkan Pajak sebagai Pengungkit Investasi

IKPI, Jakarta: Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% pada 2030 dinilai tak bisa dilepaskan dari peran strategis kebijakan perpajakan. Di tengah ekonomi global yang masih penuh tekanan, pemerintah menempatkan pajak bukan sekadar sebagai sumber penerimaan negara, tetapi sebagai instrumen utama untuk mendorong investasi, produktivitas, dan transformasi ekonomi.

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menegaskan, untuk mengejar target pertumbuhan tersebut Indonesia membutuhkan investasi sekitar US$815 miliar atau setara Rp13.560 triliun–Rp13.565 triliun dalam lima tahun ke depan. Kebutuhan investasi jumbo ini, menurutnya, mustahil tercapai tanpa dukungan kebijakan fiskal dan perpajakan yang kompetitif.

Rosan, yang juga menjabat sebagai CEO Danantara Indonesia, menekankan bahwa struktur pertumbuhan ekonomi ke depan harus bergeser. Ketergantungan pada konsumsi domestik dinilai tidak lagi memadai untuk mendorong lompatan pertumbuhan hingga 8%.

“Kami mendorong reformasi fiskal dan perpajakan yang berdaya saing. Pajak harus ditempatkan sebagai instrumen insentif untuk mendorong inovasi, investasi berkualitas, serta mempercepat transisi hijau,” ujar Rosan dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/12/2025).

Dalam konteks pajak, pemerintah mengarahkan kebijakan insentif secara lebih selektif, terutama bagi sektor-sektor yang mampu meningkatkan produktivitas nasional, mendorong alih teknologi, serta memperkuat rantai nilai industri dalam negeri. Skema pajak yang tepat sasaran diharapkan mampu menarik investasi jangka panjang, bukan sekadar modal spekulatif.

Di sisi lain, penguatan penerimaan negara juga menjadi kunci keberlanjutan fiskal. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, pengelolaan penerimaan pajak dan kepabeanan tetap dipercayakan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.

Purbaya menilai, dibanding membentuk lembaga baru, reformasi internal di DJP dan DJBC justru lebih mendesak. Fokus diarahkan pada perbaikan tata kelola, peningkatan integritas pegawai, serta optimalisasi sistem administrasi perpajakan untuk menutup celah kebocoran penerimaan.

Langkah reformasi tersebut diharapkan menciptakan keseimbangan antara fungsi pajak sebagai alat penghimpun penerimaan negara dan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Pajak yang adil, efisien, dan berdaya saing diyakini mampu menciptakan iklim usaha yang sehat sekaligus memperkuat kapasitas fiskal negara. (alf)

Prabowo Minta Laporan Pajak dan Bea Cukai Jelang Nataru, Menkeu Tegaskan Pembenahan Serius

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menerima laporan terkini kondisi perekonomian nasional, termasuk pembenahan kinerja perpajakan dan kepabeanan, dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Laporan tersebut disampaikan dalam pertemuan terbatas yang digelar di kediaman pribadi Presiden di Hambalang, Jawa Barat, Minggu malam (14/12/2025).

Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menjelaskan, pertemuan itu berlangsung setelah Presiden meninjau sejumlah lokasi terdampak bencana. Dalam rapat tersebut, Presiden memanggil beberapa menteri untuk membahas dua agenda utama, yakni percepatan penanganan bencana serta kesiapan pemerintah menghadapi periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Dalam konteks Nataru, Presiden memberi perhatian khusus pada stabilitas ketahanan pangan dan pengendalian harga kebutuhan pokok. Di sela pembahasan itu, Prabowo juga meminta pemutakhiran informasi terkait kondisi ekonomi nasional, termasuk kinerja penerimaan negara dari sektor pajak dan bea cukai.

“Perkembangan stabilitas ketahanan pangan dan harga kebutuhan pokok menjadi perhatian utama. Selain itu, turut dibahas perkembangan terkini perekonomian di Tanah Air, termasuk bea cukai dan pajak,” ujar Teddy, dikutip dari unggahan akun Instagram @sekretariat.kabinet, Senin (15/12/2025).

Presiden juga mengarahkan agar pemerintah menyiapkan berbagai insentif guna mendukung kelancaran mobilitas masyarakat selama libur akhir tahun. Insentif tersebut antara lain berupa diskon tarif tol, tiket pesawat, kereta api, kapal laut, hingga optimalisasi fasilitas publik di berbagai daerah.

Sementara itu, terkait penanganan bencana, Prabowo meminta percepatan pembangunan hunian sementara dan hunian tetap bagi seluruh korban bencana di Sumatra. Ia juga menginstruksikan penambahan alat berat, truk air minum, pasokan air bersih, serta toilet portabel, terutama di wilayah dengan dampak terparah. “Presiden ingin Menteri Pekerjaan Umum memastikan seluruh pengungsi mendapatkan kebutuhan dasar tersebut,” tambah Teddy.

Di luar rapat Hambalang, perhatian publik juga tertuju pada pernyataan tegas Purbaya terkait pembenahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Menkeu menegaskan bahwa ancaman pembekuan lembaga hingga merumahkan sekitar 16 ribu pegawai bukanlah perintah pribadinya, melainkan arahan dari atasan jika kinerja tidak membaik dalam waktu satu tahun.

“Kalau tidak bisa dibenahi dalam setahun, 16 ribu pegawai bisa dirumahkan. Itu bukan perintah saya, tapi dari pimpinan di atas,” kata Purbaya dalam sebuah dialog interaktif di Jakarta, Kamis (11/12). Dalam sistem pemerintahan Indonesia, menteri keuangan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Purbaya menegaskan, ultimatum tersebut dimaksudkan sebagai dorongan keras agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai benar-benar berbenah. Ia bahkan menyebut opsi meniru langkah era Presiden RI ke-2 Soeharto yang pernah melibatkan perusahaan Swiss, Société Générale de Surveillance, untuk menjalankan fungsi kepabeanan.

Menurut Purbaya, kebocoran masih kerap terjadi dalam pelayanan dan pengawasan ekspor-impor, sebagaimana ia temukan saat inspeksi mendadak di sejumlah pelabuhan. Karena itu, ia menargetkan dalam satu tahun ke depan pengawasan bea cukai harus jauh lebih ketat, terutama untuk menekan masuknya barang ilegal dari China.

Pernyataan tersebut mendapat respons dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama. Ia menyatakan optimistis institusinya mampu menuntaskan pembenahan internal hingga 2026. “Kami harus optimistis. Kalau tidak, tentu tidak ada yang ingin pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujarnya usai kegiatan pemusnahan barang kena cukai ilegal di Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Djaka menambahkan, langkah awal perbaikan akan difokuskan pada perubahan kultur kerja, penguatan pengawasan di pelabuhan dan bandara, serta peningkatan kualitas layanan publik. Ia berharap citra negatif Bea Cukai perlahan dapat dihapus dengan dukungan masyarakat. “Kami ingin membuktikan bahwa Bea Cukai bisa bekerja lebih bersih dan profesional,” pungkasnya. (alf)

Penyidikan Pajak Meningkat, DJP Catat Lonjakan Pengungkapan Sukarela pada 2024

IKPI, Jakarta: Upaya penegakan hukum perpajakan sepanjang 2024 menunjukkan intensitas yang kian menguat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat telah menerbitkan 244 surat perintah penyidikan terkait tindak pidana di bidang perpajakan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 214 surat perintah, menandakan pengawasan dan penindakan yang semakin masif.

Tak hanya dari sisi penindakan, tren kepatuhan juga menunjukkan pergeseran positif. Dalam proses penyelesaian berkas penyidikan, sebanyak 132 wajib pajak memilih melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP. Jumlah tersebut melonjak tajam dibandingkan 2023 yang hanya mencatat 44 wajib pajak, mencerminkan meningkatnya kesadaran untuk menyelesaikan persoalan pajak secara kooperatif.

Meski demikian, dari sisi kelengkapan berkas, jumlah perkara yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (status P-21) tercatat 86 berkas, menurun dari 112 berkas pada 2023. Di sisi lain, pemanfaatan Pasal 44B UU KUP untuk penghentian penyidikan mengalami sedikit kenaikan, dengan 26 berkas dihentikan, dibandingkan 23 berkas pada tahun sebelumnya.

DJP juga mencatat nilai kerugian pada pendapatan negara dalam tahap penyelesaian berkas penyidikan sepanjang 2024 mencapai Rp71,29 miliar. Angka ini turun signifikan dibandingkan 2023 yang mencapai Rp766,42 miliar, sebagaimana tercantum dalam Laporan Tahunan DJP 2024, dikutip Senin (15/12/2025).

Pada tahap persidangan, sebanyak 47 berkas perkara telah memperoleh vonis pengadilan. Total kerugian negara dari perkara-perkara tersebut tercatat Rp73,55 miliar, disertai penjatuhan pidana denda yang mencapai Rp150,20 miliar. Selain itu, upaya pemulihan kerugian negara juga ditempuh melalui penyitaan aset. Sepanjang 2024, DJP melakukan 68 kegiatan penyitaan dengan nilai aset mencapai Rp995,13 miliar.

Berdasarkan evaluasi atas 86 berkas perkara berstatus P-21 dan 26 kasus penyidikan yang dihentikan melalui Pasal 44B UU KUP, modus operandi yang paling dominan adalah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak benar. Secara rinci, modus tindak pidana perpajakan sepanjang 2024 meliputi:

Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya: 43 kasus Menyampaikan SPT tidak benar: 59 kasus Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut: 52 kasus Tidak menyampaikan SPT: 41 kasus Tindak pidana pencucian uang dan korporasi: 1 kasus Tidak mendaftarkan NPWP/PKP dan menyalahgunakan NPWP/PKP: 2 kasus Turut serta dalam tindak pidana di bidang perpajakan: 2 kasus

Capaian ini menunjukkan bahwa strategi DJP tidak hanya menitikberatkan pada penindakan, tetapi juga mendorong kepatuhan melalui mekanisme pengungkapan sukarela. Ke depan, kombinasi antara penegakan hukum yang tegas dan pendekatan persuasif diharapkan mampu memperkuat kepatuhan pajak sekaligus menjaga penerimaan negara secara berkelanjutan. (alf)

DJP Perketat Penagihan, Pencairan Piutang Pajak 2024 Tembus Rp14,71 Triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus mengintensifkan upaya penagihan piutang pajak sepanjang 2024. Langkah ini tercermin dari meningkatnya nilai pencairan piutang pajak sekaligus tingginya frekuensi tindakan penagihan dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan data resmi Direktorat Jenderal Pajak dalam Laporan Tahunan DJP 2024, total pencairan piutang pajak melalui berbagai tindakan penagihan pada 2024 mencapai Rp14,71 triliun. Angka ini meningkat dari realisasi 2023 yang sebesar Rp13,72 triliun. Dari sisi intensitas, DJP mencatat frekuensi penagihan sebanyak 2,82 juta kali, naik tipis dibandingkan 2,80 juta kali pada tahun sebelumnya.

“DJP melakukan tindakan penagihan atas pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak,” demikian penegasan DJP dalam laporan tersebut, dikutip Senin (15/12/2025). Penagihan dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga kepatuhan sekaligus mengamankan penerimaan negara.

Serangkaian langkah penagihan diterapkan secara berjenjang, mulai dari penerbitan surat teguran dan peringatan, penagihan seketika dan sekaligus, penyampaian surat paksa, hingga tindakan lanjutan seperti pencegahan, penyitaan, penyanderaan (gijzeling), serta penjualan barang sitaan.

Dari sisi nilai, pencairan piutang pajak terbesar pada 2024 berasal dari penyampaian surat paksa yang mencapai Rp6,6 miliar. Capaian ini meningkat dibandingkan 2023 yang tercatat Rp5,58 miliar, menandakan efektivitas instrumen penagihan tersebut dalam mendorong pelunasan utang pajak.

Kontribusi terbesar kedua berasal dari surat teguran kepada wajib pajak dengan piutang pajak, dengan nilai pencairan Rp5,91 miliar. Meski masih signifikan, angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan realisasi 2023 yang mencapai Rp6,03 miliar.

Sementara itu, pencairan piutang dari hasil penjualan barang sitaan pada 2024 tercatat Rp734,11 miliar, turun tipis dibandingkan 2023 yang mencapai Rp792,25 miliar. Penurunan ini mengindikasikan berkurangnya optimalisasi dari jalur lelang aset sitaan.

Di sisi lain, pemblokiran rekening wajib pajak di perbankan justru menunjukkan lonjakan tajam. Sepanjang 2024, tindakan ini menghasilkan pencairan piutang pajak sebesar Rp722,49 miliar, melonjak signifikan dari Rp313,82 miliar pada 2023.

Adapun pencairan melalui Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) tercatat Rp683,44 miliar pada 2024, lebih rendah dibandingkan capaian 2023 yang mencapai Rp936,67 miliar. Penurunan ini menunjukkan adanya pergeseran efektivitas antarinstrumen penagihan.

Menariknya, DJP tidak melakukan tindakan penyanderaan wajib pajak atau penanggung pajak (gijzeling) sepanjang 2024. Berbeda dengan tahun sebelumnya, instrumen penagihan paling keras tersebut tidak digunakan sama sekali, menandakan pendekatan penagihan yang lebih selektif.

Secara keseluruhan, peningkatan pencairan piutang pajak pada 2024 menegaskan komitmen DJP dalam memperkuat penegakan hukum perpajakan. Melalui kombinasi intensitas penagihan dan optimalisasi instrumen yang tersedia, DJP berupaya memastikan kewajiban pajak dipenuhi sekaligus menjaga keberlanjutan penerimaan negara. (alf)

id_ID