China Siapkan Kebijakan Fiskal Lebih Agresif pada 2026, Dorong Konsumsi dan Inovasi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan China menyatakan akan menempuh kebijakan fiskal yang lebih proaktif pada 2026 guna menjaga momentum pemulihan ekonomi. Fokus utama diarahkan pada penguatan permintaan dalam negeri, percepatan inovasi teknologi, serta perluasan jaring pengaman sosial bagi masyarakat.

Pernyataan tersebut disampaikan setelah pertemuan dua hari yang membahas arah kebijakan ekonomi tahun depan. Di tengah tuntutan mitra dagang agar China tidak terlalu bergantung pada ekspor, Beijing kini berupaya memulihkan kepercayaan domestik yang sempat tertekan oleh krisis properti berkepanjangan.

Pemerintah menegaskan akan mendorong konsumsi serta memperluas investasi pada sektor-sektor produktif baru. Pengembangan kualitas sumber daya manusia disebut menjadi salah satu prioritas, seiring upaya menciptakan “mesin pertumbuhan” baru melalui riset dan inovasi.

Pada aspek sosial, otoritas berencana memperkuat sistem jaminan sosial, termasuk peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan. Agenda lain mencakup integrasi pembangunan kota dan desa, serta percepatan transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.

Sejumlah analis memperkirakan, China akan tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% pada 2026. Untuk mencapai sasaran tersebut, ruang kebijakan fiskal dan moneter diperkirakan masih akan dimanfaatkan guna meredam tekanan deflasi dan menjaga aktivitas ekonomi.

Sebelumnya, para pemimpin China telah menggarisbawahi komitmen untuk mempertahankan kebijakan fiskal yang proaktif, dengan harapan konsumsi dan investasi dapat terus terjaga dan menopang laju pertumbuhan. (alf)

APBN 2026 Ditargetkan Capai Rp3.153 Triliun, Pemerintah Diingatkan Tidak Hanya Mengandalkan Kenaikan Pajak

IKPI, Jakarta: Target penerimaan negara dalam APBN 2026 dipatok tinggi. Pemerintah menyiapkan proyeksi pendapatan hingga Rp3.153,6 triliun, angka yang menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede bukan perkara mudah untuk dicapai.

Josua menilai, postur tersebut menunjukkan ambisi besar pemerintah namun pada saat yang sama menuntut strategi yang lebih matang. Sebab, sebagian besar tambahan penerimaan masih diarahkan dari sektor perpajakan.

Berdasarkan riset Permata Institute for Economic Research (PIER), pemerintah berharap lonjakan penerimaan terutama datang dari PPN dan PPh melalui berbagai langkah optimalisasi. Hanya saja, Josua mengingatkan pengalaman pada 2025: penerimaan pajak bersih terbukti bisa melemah ketika harga komoditas menurun, restitusi meningkat, dan aturan administrasi berubah.

“Pendekatan yang lebih sehat adalah memperluas basis pajak dan memperbaiki kepatuhan, bukan sekadar menekan wajib pajak yang selama ini sudah patuh,” jelasnya.

Rencana pemerintah memperluas jangkauan perpajakan lewat Coretax, memetakan potensi dari ekonomi bayangan, hingga menggunakan AI dinilai berada di jalur yang benar. Namun, Josua menekankan bahwa keberhasilan akan sangat bergantung pada:

• kualitas dan kelengkapan data,

• integrasi antar-sistem,

• serta kemampuan menekan kebocoran penerimaan.

Ia juga mengingatkan, perubahan sistem yang besar hampir selalu menimbulkan risiko gangguan layanan pada tahap awal. Karena itu, masa transisi, pendampingan wajib pajak, serta tata kelola data lintas instansi harus disiapkan dengan serius agar kepatuhan meningkat tanpa menambah beban administrasi.

Pengawasan tak boleh tertinggal

Dalam dokumen APBN Kita, disebutkan bahwa pemanfaatan teknologi di sektor kepabeanan dapat memunculkan tantangan baru, seperti praktik undervaluasi. Bagi Josua, pelajaran ini relevan untuk pajak: jika pengawasan lambat, teknologi justru berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban.

Karena itu, aturan baru di bidang pajak dan cukai, menurutnya, perlu menjaga keseimbangan memperlebar basis dan menutup celah, tetapi tetap menjaga iklim usaha serta daya beli kelompok menengah.

PNBP, minerba, dan risiko rokok ilegal

Di luar pajak, penerimaan negara bukan pajak juga diproyeksikan meningkat. APBN Kita mencatat tambahan PNBP minerba seiring penyesuaian tarif lewat PP No. 19/2025. Kebijakan ini dipandang membantu fiskal, namun tetap membutuhkan konsistensi agar minat investasi, khususnya di hilirisasi, tidak tersendat.

Sementara pada sektor cukai, Josua menilai ancaman rokok ilegal perlu terus diwaspadai. Kebocoran dari peredaran produk tanpa pita cukai bukan hanya mengurangi penerimaan, tetapi juga mengacaukan tujuan kebijakan kesehatan.

“Operasi besar terhadap rokok ilegal menunjukkan bahwa penegakan hukum merupakan fondasi keberhasilan kebijakan cukai,” ujarnya. (alf)

Turki Siapkan Kenaikan Pajak Moderat demi Jaga Laju Disinflasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah Turki tengah menyiapkan skema kenaikan pajak secara bertahap pada bahan bakar serta sejumlah barang dan jasa utama mulai 2026. Kebijakan ini dirancang sebagai bagian dari langkah fiskal untuk mendukung program disinflasi yang sedang ditempuh bank sentral.

Menurut sumber yang mengetahui pembahasan kebijakan tersebut, penyesuaian pajak akan diselaraskan dengan sasaran inflasi nasional sehingga tidak menimbulkan tekanan besar terhadap daya beli masyarakat. Pemerintah berharap pendekatan ini mampu menopang stabilitas harga sekaligus menjaga kesinambungan pemulihan ekonomi.

Penyesuaian Pajak Bahan Bakar Ikut Target Inflasi

Salah satu fokus kebijakan adalah penyesuaian tarif pajak atas bensin dan solar. Untuk 2026, kenaikan akan mengacu pada target inflasi bank sentral, yakni sekitar 16 persen pada akhir tahun.

Langkah ini berbeda dari mekanisme sebelumnya yang biasanya mengikuti perkembangan inflasi harga produsen selama enam bulan. Dengan formula baru, kenaikan pajak diperkirakan lebih rendah dibanding standar reguler sehingga dampaknya ke harga konsumen bisa ditekan.

Pendekatan serupa pernah diterapkan pada awal 2025, ketika pemerintah memilih menahan besaran kenaikan pajak bahan bakar guna meredam lonjakan harga. Komoditas energi sendiri menjadi komponen penting yang diawasi pasar karena pengaruhnya yang luas terhadap inflasi.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan dan Perbendaharaan Mehmet Simsek, berbagai tarif pajak dan biaya ke depan akan didasarkan pada inflasi yang ditargetkan, bukan pada tingkat penilaian ulang sebesar 25,5 persen. Kebijakan ini dinilai sejalan dengan strategi bank sentral untuk menurunkan tekanan harga secara bertahap.

Diperluas ke Sektor Energi dan Konsumsi

Rencana penyesuaian tidak hanya menyasar bahan bakar. Pemerintah juga menyiapkan kebijakan pada administered prices harga yang ditetapkan atau dipengaruhi otoritas mencakup produk tembakau, minuman beralkohol, serta sektor energi.

Langkah tersebut mencerminkan dukungan fiskal terhadap target inflasi 16 persen pada akhir 2026. Sejumlah analis memperkirakan inflasi konsumen Turki masih berada di kisaran 30 persen pada akhir tahun ini, sebelum berangsur melandai ke sekitar 25 persen dalam setahun berikutnya.

Dengan penyesuaian pajak yang lebih moderat, pemerintah berharap tekanan harga tambahan dapat dihindari. Hingga kini, pembahasan kebijakan masih berlangsung secara internal dan Kementerian Keuangan belum menyampaikan keterangan resmi.

Sinyal Positif ke Pasar

Rencana kenaikan pajak yang terkendali juga dinilai memberi sinyal positif ke pelaku pasar. Respons itu tercermin dari penguatan harga obligasi pemerintah berbasis lira setelah informasi kebijakan beredar, menandakan meningkatnya keyakinan terhadap koordinasi fiskal dan moneter.

Selama ini, pajak khusus konsumsi untuk bensin dan solar biasanya disesuaikan dua kali setahun mengikuti inflasi harga produsen kumulatif. Namun untuk 2026, pemerintah memilih kembali pada pendekatan yang lebih hati-hati seperti pada awal 2025 agar proses penurunan inflasi tetap terjaga tanpa memicu lonjakan biaya energi. (alf)

Airlangga Pastikan Produk Tekstil Tak Masuk Daftar Bebas Tarif AS

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan produk tekstil Indonesia tidak akan memperoleh fasilitas bebas tarif dalam skema kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat. Pemerintah, kata dia, hanya mengusulkan komoditas tertentu untuk dibebaskan dari bea masuk yang saat ini mencapai sekitar 19 persen.

Airlangga menjelaskan, komoditas yang diprioritaskan dalam negosiasi bukan berasal dari sektor manufaktur. “Yang difokuskan adalah produk berbasis sumber daya alam. Untuk manufaktur, dalam tanda petik, tidak termasuk,” ujar Airlangga di Jakarta, Jumat (26/12/2025).

Ia menuturkan, sebagian daftar komoditas yang mendapat keringanan tarif telah pernah tercantum dalam executive order pemerintah AS. Namun untuk Indonesia, terdapat tambahan komoditas yang dinilai strategis dan berpotensi memperkuat ekspor nasional.

Kelapa sawit menjadi salah satu produk yang diusulkan, disusul komoditas pertanian lain seperti kopi, teh, dan kakao. Pemerintah menilai komoditas tersebut memiliki rantai nilai kuat dan kontribusi signifikan terhadap devisa.

Dalam proses perundingan, pihak AS juga menyampaikan minat untuk memperoleh akses terhadap mineral kritis Indonesia. Airlangga menyebut sudah ada komunikasi antara pihak Indonesia dengan lembaga ekspor dan perusahaan AS yang bergerak di sektor mineral. “Pembicaraan sudah berlangsung, dan pemerintah menyiapkan mekanisme sesuai kebijakan yang ada,” katanya.

Akses mineral itu dipandang sebagai bagian dari tawar-menawar dalam memperdalam kerja sama, sekaligus menjaga kepastian pasokan bahan baku strategis bagi industri di kedua negara.

Pemerintah menargetkan dokumen Agreement on Reciprocal Tariff (ART) dapat ditandatangani Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump pada akhir Januari 2026. Airlangga menyampaikan, pada prinsipnya kedua pihak sudah menyepakati substansi utama kesepakatan tersebut.

Dengan terealisasinya ART, pemerintah berharap daya saing ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat meningkat, meski produk tekstil tidak termasuk dalam daftar komoditas bebas tarif. (alf)

Beban Bunga Utang Membengkak, Indef Sebut Ruang Fiskal Pemerintah Makin Terhimpit

IKPI, Jakarta: Beban bunga utang pemerintah kembali menjadi sorotan. Porsinya yang kian besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai berpotensi mempersempit ruang fiskal Indonesia dalam jangka panjang.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai tren tersebut mengkhawatirkan karena pembayaran bunga kini menyerap bagian signifikan dari pendapatan negara.

Dalam APBN 2025, alokasi pembayaran bunga utang tercatat telah menembus Rp 500 triliun. Nilai itu mendekati 20 persen dari total belanja pemerintah pusat dan sekitar 15 persen dari penerimaan negara.

“Ini menunjukkan bahwa porsi ruang fiskal semakin banyak dialokasikan untuk membayar kewajiban masa lalu, bukan untuk belanja yang mendorong produktivitas seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur,” ujar Rizal, Sabtu (27/12/2025).

Menurutnya, kondisi tersebut menandakan rigiditas anggaran makin tinggi, sementara kualitas belanja negara justru tergerus. Dari sisi ekonomi politik fiskal, situasi ini berisiko karena mengurangi kemampuan pemerintah merespons kebutuhan pembangunan dan gejolak ekonomi.

Rizal menekankan perlunya strategi komprehensif untuk menekan ketergantungan pada utang berbunga tinggi. Langkah pertama, kata dia, adalah memperkuat penerimaan negara secara berkelanjutan, terutama dari sektor perpajakan bukan hanya melalui intensifikasi sesaat, melainkan lewat reformasi basis pajak dan peningkatan kepatuhan.

Di sisi lain, pemerintah juga dinilai perlu mengoptimalkan manajemen utang. Ini mencakup memperpanjang tenor, menurunkan risiko pembiayaan kembali (refinancing), dan memperbesar porsi pembiayaan berbiaya lebih murah, sehingga tekanan bunga dapat menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Tidak kalah penting, sambung Rizal, setiap penambahan utang harus dibarengi perbaikan kualitas belanja. “Utang seyogianya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan biaya bunganya. Jika tidak, beban bunga bisa menjadi jebakan fiskal yang menghambat pembangunan jangka panjang,” tegasnya.

Pandangan serupa juga disampaikan Bank Dunia. Dalam laporan “Fondasi Digital untuk Pertumbuhan” edisi Desember 2025, lembaga tersebut mencatat bahwa pembayaran bunga masih menyerap porsi besar dari pendapatan pemerintah, meskipun biaya pinjaman secara umum berhasil ditekan. Hingga Oktober 2025, rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan mencapai 20,5 persen.

Tekanan fiskal turut tercermin dari pelebaran defisit anggaran. Bank Dunia mencatat, defisit meningkat dari 1,4 persen terhadap PDB pada Oktober 2024 menjadi 2,0 persen terhadap PDB pada Oktober 2025.

Di tengah dinamika tersebut, para ekonom mengingatkan perlunya kombinasi kebijakan fiskal yang hati-hati, disiplin, dan konsisten agar beban bunga tidak berubah menjadi rem bagi agenda pembangunan nasional. (alf)

Realisasi Pajak di Ternate Tembus 100,76%, Wali Kota Sampaikan Apresiasi

IKPI, Jakarta: Realisasi pajak daerah Kota Ternate sepanjang 2025 berhasil menembus target. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD), capaian penerimaan mencapai 100,76 persen, atau senilai Rp100.530.667.129. Angka itu melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp99,768 miliar.

Wali Kota Ternate, Dr. H. M. Tauhid Soleman, menyampaikan apresiasi kepada masyarakat dan pelaku usaha yang telah disiplin menunaikan kewajiban perpajakan. Menurutnya, kepatuhan wajib pajak menjadi fondasi penting bagi kekuatan fiskal daerah.

“Terima kasih kepada seluruh wajib pajak yang telah berkontribusi. Capaian ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat semakin baik,” ujar Tauhid baru baru ini. 

Ia menjelaskan, berbagai jenis pungutan daerah mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), reklame, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hingga pajak jasa perhotelan, makanan dan minuman, parkir, hiburan, serta penerangan jalan secara umum mencatat kinerja positif dan mendukung tercapainya target.

Tauhid menegaskan, sebagai kota yang tidak memiliki sektor pertambangan, Ternate mengandalkan aktivitas perdagangan dan jasa. Karena itu, penerimaan dari pajak daerah memiliki peran strategis untuk membiayai pembangunan.

“Dana yang dihimpun kembali ke masyarakat dalam bentuk perbaikan infrastruktur, peningkatan layanan publik, pendidikan, kesehatan, dan program sosial,” tuturnya.

Wali kota dua periode itu berharap kemitraan antara pemerintah dan para wajib pajak dapat terus terjaga. Dengan penerimaan yang semakin kuat, program pembangunan diharapkan berjalan lebih optimal dan merata.

Di tengah capaian positif tersebut, Tauhid juga mengingatkan adanya tantangan pada 2026, ketika pemerintah daerah harus menghadapi potensi pengurangan dana transfer dari pusat. Kondisi ini mendorong Pemkot Ternate untuk semakin serius mengoptimalkan pajak daerah dan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

“Kita akan bekerja lebih kreatif agar penerimaan daerah tetap terjaga, terutama dari sektor perdagangan dan jasa,” pungkasnya. (alf)

Sebanyak 7 Juta Wajib Pajak Belum Aktivasi Coretax, DJP Ingatkan Pentingnya Segera Beralih

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat untuk segera melakukan aktivasi akun pada sistem Coretax. Pasalnya, seluruh administrasi perpajakan termasuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2025 nantinya wajib dilakukan melalui platform baru tersebut. Batas waktu penyampaian SPT tetap jatuh pada 31 Maret 2026.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa hingga saat ini jumlah wajib pajak yang telah mengaktifkan akun Coretax baru mencapai sekitar 7,7 juta, atau setara 51,66 persen dari total wajib pajak yang seharusnya menggunakan sistem tersebut. Artinya, masih ada kurang lebih tujuh juta wajib pajak yang belum beralih.

“Wajib pajak yang sudah aktivasi akun sejumlah 7,7 juta dengan persentase 51,66%,” ujar Bimo baru baru ini.

Lebih lanjut, Bimo mencatat bahwa baru sekitar 4,8 juta wajib pajak atau 32,38 persen yang telah membuat kode otorisasi sekaligus sertifikat elektronik sebagai sarana tanda tangan digital dalam sistem Coretax.

Bimo menjelaskan, uji coba perdana Coretax yang dilakukan pada November 2025 melibatkan sekitar 25 ribu pegawai DJP. Meski sempat terjadi keterlambatan proses pada tahap awal, keseluruhan simulasi berjalan terkendali. Uji coba lanjutan juga menunjukkan peningkatan performa sistem, sehingga DJP optimistis Coretax mampu menopang pelaporan SPT pada periode berikutnya.

Menurut DJP, transisi ini menjadi langkah penting untuk menghadirkan layanan perpajakan yang lebih modern, terintegrasi, dan efisien. Sistem baru diharapkan dapat mengurangi kendala administratif yang selama ini kerap dihadapi wajib pajak.

Cara Aktivasi Akun Coretax

Berdasarkan panduan DJP, wajib pajak yang sudah memiliki akun DJP Online dan NPWP 16 digit dapat mengikuti langkah berikut untuk aktivasi akun Coretax:

1. Akses laman Coretax DJP dan pilih menu “Aktivasi Akun Wajib Pajak”.

2. Centang pernyataan bahwa wajib pajak telah terdaftar.

3. Masukkan NPWP lalu klik “Cari”.

4. Isikan alamat email dan nomor ponsel yang terdaftar di DJP Online. Jika ada perubahan, wajib pajak perlu menghubungi Kring Pajak atau mendatangi kantor pajak terdekat.

5. Lakukan verifikasi identitas.

6. Setujui pernyataan yang ditampilkan.

7. Simpan data dan cek email untuk mendapatkan kata sandi sementara.

8. Login pertama kali menggunakan kata sandi tersebut dan ikuti panduan selanjutnya hingga proses selesai.

Cara Mengajukan Kode Otorisasi / Tanda Tangan Digital

Untuk menandatangani dokumen pada Coretax, termasuk SPT Tahunan, wajib pajak perlu memiliki kode otorisasi (sertifikat digital). Prosedurnya sebagai berikut:

1. Masuk ke akun Coretax, pilih Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik.

2. Pilih jenis sertifikat digital “Kode Otorisasi DJP”.

3. Buat passphrase sebagai kode otorisasi.

4. Setujui pernyataan, kemudian simpan.

5. Cek status pada menu Portal Saya → Profil Saya → Nomor Identifikasi Eksternal → Digital Certificate.

6. Jika status masih invalid, klik Periksa Status, lalu ulangi hingga berhasil.

7. Ketika status berubah menjadi valid, kode otorisasi siap digunakan untuk pelaporan SPT dan dokumen lain.

Dengan dukungan fitur yang semakin lengkap, DJP berharap proses peralihan ke Coretax berjalan mulus. Masyarakat diimbau tidak menunda aktivasi agar pelaporan SPT 2025 tahun depan dapat dilakukan lebih mudah dan tanpa hambatan. (alf)

China Resmi Kenakan Tarif Susu Uni Eropa, Sinyal Perlindungan Industri dan Balasan Dagang

IKPI, Jakarta: China mulai memberlakukan tarif impor baru terhadap berbagai produk susu asal Uni Eropa (UE) sejak Selasa, 24 Desember 2025. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah tegas Beijing untuk menopang industri sapi perah domestik yang tengah terjepit oleh kelebihan pasokan dan permintaan yang melemah.

Yifan Li, Head of Dairy Asia di StoneX, mengungkapkan bahwa bisnis susu di China telah lama berada di zona merah. “Industri susu kita sudah menanggung kerugian selama empat tahun. Produksi yang berlebihan menjadi pendorong utama lahirnya kebijakan tarif ini,” ujarnya. Menurutnya, tekanan semakin terasa setelah subsidi pemerintah ikut dipangkas seiring perlambatan ekonomi pada 2025.

Tarif baru tersebut menyasar impor susu dan krim tanpa pemanis, serta keju segar dan olahan dari UE, dengan besaran antara 21,9% hingga 42,7%. Langkah ini dinilai tidak berdiri sendiri, melainkan juga berkaitan dengan keputusan UE sebelumnya yang mengenakan tarif pada kendaraan listrik asal China sehingga dibaca sebagai bentuk respons dagang.

Sebagai produsen susu terbesar ketiga dunia, China menghadapi paradoks. Produksi naik tajam, menembus lebih dari 40 juta ton pada 2023 dari sekitar 30 juta ton pada 2017. Namun konsumsi justru menyusut menjadi 12,6 kilogram per kapita pada 2024, dipengaruhi penurunan angka kelahiran dan perubahan pola konsumsi. Akibatnya, harga susu kerap jatuh di bawah biaya produksi sekitar 3,02 yuan per kilogram, membuat banyak peternak menyerah dan menjual ternaknya.

Analis Beijing Orient Agribusiness Consultants, Lian Yabing, memperkirakan lebih dari 90% peternak saat ini merugi. Namun, ia melihat ruang peluang bagi perusahaan besar seperti Yili dan Mengniu, yang agresif memperluas produksi krim, mentega, dan keju. Pergeseran ke produk bernilai tambah misalnya krim untuk minuman milk tea mendorong industri mengejar margin yang lebih tinggi. Kini, sedikitnya 40 produsen lokal terjun ke segmen krim dan mentega, jumlah yang meningkat pesat dibanding beberapa tahun lalu.

Dimensi politik juga kuat terasa. Tarif tertinggi, 42,7%, dikenakan pada FrieslandCampina dari Belanda, sementara sekitar 60 perusahaan lain termasuk Arla Foods dari Denmark mendapat tarif mendekati 30%. Kedua negara tersebut dikenal vokal mendukung kebijakan tarif UE terhadap mobil listrik China. Hubungan dengan Belanda bahkan memanas setelah pemerintahnya mengambil alih perusahaan chip Nexperia dari pemilik China pada September lalu.

Di sisi lain, Beijing sempat menunjukkan gestur berbeda terhadap UE ketika menurunkan tarif sementara untuk impor produk babi. Kebijakan itu dipandang sebagai angin segar bagi Spanyol, yang dinilai lebih lentur dalam pendekatan diplomatik terhadap China.

Bagi Beijing, tarif susu ini bukan sekadar angka pada lembar kebijakan. Ia menjadi pesan bahwa perlindungan terhadap sektor domestik dan penegasan posisi dalam perang tarif global berjalan beriringan dengan konsekuensi yang akan terus dipantau oleh peternak, pelaku industri, dan mitra dagang internasional. (alf)

PNBP Bertambah Rp 6,62 Triliun, Pemerintah Bidik Perbaikan Defisit APBN

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan dana yang dikumpulkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan diserahkan ke Kejaksaan Agung akan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nilainya mencapai Rp 6,62 triliun.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai tambahan penerimaan ini memberi ruang napas bagi pengelolaan fiskal, terutama saat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 masih cukup lebar.

Defisit APBN tahun depan diperkirakan sekitar Rp 662 triliun atau 2,78 persen PDB. Hingga November, realisasi defisit sudah berada di Rp 560,3 triliun atau 2,35 persen PDB.

Purbaya menegaskan dana yang baru diterima tersebut akan diarahkan terlebih dulu untuk memperbaiki posisi keuangan negara.

Ia menambahkan, sebagian dana tetap bisa dialokasikan untuk mendukung program pembangunan, namun desain pemanfaatannya akan disesuaikan setelah pemerintah melakukan perhitungan lebih detail.

Dari total Rp 6,62 triliun tersebut:

• Rp 2,34 triliun berasal dari denda administratif pelanggaran kehutanan yang diproses Satgas PKH.

• Rp 4,28 triliun berasal dari uang rampasan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung.

Penyerahan dana dilakukan secara resmi dan turut disaksikan Presiden Prabowo Subianto.

Selain penyetoran dana, Satgas PKH juga menyerahkan kembali 896.969 hektare kawasan hutan pada tahap kelima.

Dalam waktu sekitar sepuluh bulan, Satgas menyebut telah menguasai kembali 4,08 juta hektare lahan perkebunan di kawasan hutan jauh di atas target awal dengan nilai indikasi lebih dari Rp 150 triliun.

Dari luas tersebut:

• 2,48 juta hektare sudah dikembalikan ke kementerian teknis,

• 1,70 juta hektare lahan sawit dialokasikan untuk PT Agrinas Palma Nusantara,

• 688.427 hektare ditetapkan sebagai kawasan konservasi,

• 81.793 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo disiapkan untuk direstorasi.

Masuknya dana ini dinilai penting bukan hanya sebagai pemasukan negara, tetapi juga sebagai bukti penegakan aturan pengelolaan hutan. Dengan dicatat sebagai PNBP, pemerintah memperoleh tambahan bantalan untuk menekan defisit sekaligus memperkuat kredibilitas kebijakan fiskal. (alf)

PNBP Ruang Laut Melonjak, KKP Catat Realisasi 155% dari Target

IKPi, Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat kinerja positif dari sektor penataan ruang laut. Hingga 22 Desember 2025, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari persetujuan pemanfaatan ruang laut menembus Rp775,60 miliar, atau setara 155,12 persen dari target yang ditetapkan.

Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut (PRL) KKP, Kartika Listriana, menyebut capaian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan penataan ruang laut tidak hanya menghadirkan kepastian hukum, tetapi juga berkontribusi nyata pada penerimaan negara.

“PNBP dari sektor penataan ruang laut setiap tahun menunjukkan tren peningkatan. Hingga 22 Desember 2025 nilainya mencapai Rp775,60 miliar,” ujar Kartika dalam konferensi pers Capaian Kinerja DJPRL di Jakarta, baru baru ini.

Kinerja Melebihi Target di Berbagai Indikator

Kartika memaparkan, sejumlah indikator kinerja Direktorat Jenderal PRL pada 2025 berhasil melampaui target, antara lain:

• Penataan ruang laut kewenangan pusat tercapai 122,23%

• Zonasi pesisir kewenangan daerah tercapai 100%

• PNBP Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) mencapai 155,12%

• Indeks kepatuhan pengendalian ruang laut berada di level 114,71%

• Efektivitas penyelenggaraan penataan ruang laut tercapai 100%

Menurut Kartika, KKPRL kini menjadi instrumen perizinan utama yang memastikan kegiatan ekonomi di laut berjalan tertib sekaligus menjaga ekosistem.

Sejak pemberlakuannya, tercatat 3.484 permohonan KKPRL yang masuk melalui OSS dan E-Sea. Tren penerbitan izin meningkat sejak 2022, dan pada 2025 saja telah terbit 773 KKPRL berupa persetujuan maupun konfirmasi.

Tata Ruang Terintegrasi Semakin Luas

KKP mencatat hingga kini terdapat 25 provinsi yang sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terintegrasi, termasuk Maluku, Papua Selatan, dan Sumatera Barat. Sementara 11 provinsi masih dalam proses integrasi, satu provinsi menyusun materi teknis, dan satu provinsi tidak memiliki wilayah laut.

Sejumlah pendampingan teknis juga dilakukan, mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, hingga Kalimantan. Di sisi lain, penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN) terus berlanjut, termasuk pembaruan dokumen KSN Aceh dan Selat Sunda.

Kaltim Jadi Proyek Percontohan “Karbon Biru”

Salah satu program prioritas tahun ini adalah penyusunan dokumen zonasi KSN Karbon Biru Perairan Derawan di Kalimantan Timur, yang didorong menjadi percontohan nasional. Inisiatif ini diharapkan memperkuat perlindungan ekosistem sekaligus mendukung agenda pembangunan rendah karbon.

Pengawasan dan Kepatuhan Diperketat

Pengawasan terhadap pelaku usaha di ruang laut turut diperkuat. Dari 138 subjek hukum yang dinilai:

• 51% dinyatakan taat,

• 36% taat dengan catatan, dan

• 13% masih tidak taat.

Laporan tahunan melalui sistem e-SEA juga meningkat dengan 2.008 laporan yang seluruhnya telah dinilai. KKP melakukan penilaian realisasi tata ruang di 10 lokasi dan memberikan insentif kepada 71 pihak yang patuh.

Selain itu, peningkatan kapasitas dilakukan melalui pelatihan bagi 100 peserta dan sosialisasi penataan ruang laut di berbagai wilayah pesisir.

“Melalui pembinaan ini, KKP memastikan perencanaan ruang laut berjalan terintegrasi, berbasis data, dan berkelanjutan,” tegas Kartika.

Bukan Sekadar Izin, Tapi Instrumen Fiskal Negara

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menekankan bahwa penataan ruang laut tidak hanya menjadi alat pengendalian aktivitas ekonomi, namun juga bagian penting dalam memperkuat arsitektur fiskal negara melalui PNBP, sambil tetap menjaga keberlanjutan ekosistem.

Dengan pencapaian yang melampaui target, sektor kelautan kembali membuktikan potensinya sebagai sumber penerimaan negara yang strategis tanpa mengorbankan kelestarian laut Indonesia. (alf)

id_ID