DJP Sumut I Sita Aset Rp32 Miliar Milik WP Nakal, Penegakan Hukum Pajak Makin Tegas

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara I menunjukkan taringnya dalam menegakkan hukum pajak. Kali ini, mereka menyita aset bernilai fantastis tanah dan bangunan senilai Rp32 miliar milik seorang wajib pajak (WP) yang diduga kuat melakukan pelanggaran berat di bidang perpajakan.

Langkah penyitaan ini dilakukan setelah memperoleh restu dari Ketua Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Prosesnya merupakan bagian dari penyidikan atas dugaan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39A huruf (a) jo. Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang telah diperbarui melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Sumut I, Arridel Mindra, menegaskan bahwa penyitaan ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan wujud nyata komitmen negara dalam menjaga integritas sistem perpajakan.

“Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga bagian dari pemulihan kerugian negara sesuai Pasal 44 ayat (2) huruf j UU KUP. Kami ingin pastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan transparan,” tegas Arridel dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (21/5/2025).

Ia menambahkan, penegakan hukum di bidang perpajakan bukan semata-mata untuk menimbulkan efek jera, melainkan juga menjaga keberlangsungan sistem perpajakan yang adil bagi seluruh warga negara.

DJP Sumut I juga mengimbau masyarakat untuk semakin taat dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Pajak, kata Arridel, adalah fondasi utama pembiayaan pembangunan nasional, mulai dari sektor pendidikan hingga layanan kesehatan.

“Kami mengajak seluruh wajib pajak untuk tidak ragu berkonsultasi ke kantor pajak jika menemui kendala. Kepatuhan Anda adalah kontribusi langsung bagi kemajuan bangsa,” tambahnya.

Meski demikian, DJP masih menutup rapat identitas wajib pajak yang disita asetnya, termasuk rincian usaha yang dijalankan. Namun, pesan yang ingin disampaikan jelas: pelanggaran pajak bukanlah pelanggaran sepele. (alf)

 

 

 

 

 

BBNKB Dihapus, Beli Mobil dan Motor Bekas Kini Lebih Untung!

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi masyarakat yang berencana membeli mobil atau motor bekas. Pemerintah resmi menghapus bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) untuk transaksi kepemilikan kedua dan seterusnya. Kebijakan ini secara efektif mulai berlaku sejak Januari lalu dan memberikan angin segar bagi para pemburu kendaraan bekas.

Kebijakan tersebut mengacu pada Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Dalam aturan ini ditegaskan bahwa BBNKB hanya dikenakan pada penyerahan pertama kendaraan, yakni dari dealer kepada konsumen awal.

Artinya, transaksi jual beli kendaraan bekas yang merupakan penyerahan kedua atau lebih tidak lagi dikenai biaya BBNKB. Langkah ini diyakini akan mendorong transparansi kepemilikan dan menstimulasi pasar kendaraan bekas yang selama ini menjadi pilihan utama masyarakat.

Meski BBNKB dihapus untuk kendaraan bekas, pemilik tetap diwajibkan membayar beberapa biaya lain seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), biaya administrasi STNK, hingga penerbitan BPKB.

Meskipun tidak wajib, balik nama kendaraan bekas tetap disarankan. Selain menjamin keabsahan kepemilikan, proses balik nama mempermudah urusan administratif di kemudian hari, seperti pengurusan pajak, perpanjangan STNK, hingga klaim asuransi.

Dengan hilangnya beban BBNKB, konsumen kini memiliki alasan lebih kuat untuk memilih kendaraan bekas secara legal dan aman. Tak hanya irit, tapi juga lebih terlindungi. (alf)

 

Tersangka Pengemplang Pajak Lunasi Kewajiban, Kanwil DJP Jateng II Hentikan Penyidikan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Tengah II resmi menghentikan proses penyidikan terhadap SSN, tersangka kasus pidana perpajakan dari PT IDS. Keputusan ini diambil setelah SSN melunasi seluruh kewajiban perpajakan, termasuk pokok pajak dan sanksi administratif yang dikenakan.

Kasus ini mencuat saat SSN diketahui tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut, tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam prosesnya, penyidik menemukan bukti kuat bahwa unsur pidana telah terpenuhi.

Ketua Tim Penyidik, Muhammad Saifulloh Al Mahdi, menyampaikan bahwa penghentian penyidikan dilakukan berdasarkan pemulihan penuh terhadap kerugian negara.

“Tersangka telah menunjukkan iktikad baik dengan mengakui perbuatannya dan melunasi seluruh kewajiban perpajakan. Karena itu, penyidikan kami hentikan sesuai ketentuan yang berlaku,” ungkap Saifulloh dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis (22/5/2025).

Langkah ini bukan semata bentuk penyelesaian administratif, tetapi juga bagian dari implementasi prinsip ultimum remedium menjadikan hukum pidana sebagai jalan terakhir dalam penegakan perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Jateng II, Etty Rachmiyanthi, menjelaskan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil koordinasi lintas lembaga, mulai dari DJP, Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, hingga Direktorat Penegakan Hukum DJP Pusat.

“Ini mencerminkan kolaborasi kuat antarlembaga dalam memastikan kerugian negara dipulihkan tanpa mengabaikan keadilan,” ujarnya.

Etty juga menekankan bahwa penghentian penyidikan dilakukan dengan mengacu pada Pasal 44B UU KUP, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan proses hukum pidana perpajakan atas permintaan Menteri Keuangan, asalkan seluruh kewajiban perpajakan telah dipenuhi.

Ia berharap pendekatan ini tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga menjadi pengingat bagi seluruh Wajib Pajak untuk menjalankan kewajibannya secara patuh dan bertanggung jawab.

“Penegakan hukum yang tegas, namun berkeadilan seperti ini, adalah upaya DJP untuk membangun sistem perpajakan yang sehat dan berintegritas,” kata Etty. (alf)

 

Kabar Baik! Warga Jakarta Bisa Dapat Pembebasan Pajak PBB, Begini Syarat dan Cara Cek NIK-nya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menetapkan insentif baru untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 281 Tahun 2025 dan mulai berlaku sejak 8 April 2025.

Langkah ini diambil sebagai bentuk kepedulian terhadap warga yang membutuhkan keringanan pajak, serta demi mewujudkan sistem perpajakan yang adil. Salah satu insentif paling menarik adalah pembebasan pokok PBB-P2 bagi warga tertentu.

“Pemprov DKI memberikan pembebasan pokok PBB-P2 sebagai wujud keadilan fiskal dan upaya meringankan beban masyarakat,” tulis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta melalui laman resminya, dikutip Rabu (21/5/2025).

Siapa Saja yang Bisa Dapat Pembebasan PBB-P2?

Tak semua warga bisa mendapatkan insentif ini. Berikut syaratnya:

• Harus wajib pajak orang pribadi.

• Objek pajak berupa rumah tapak dengan NJOP maksimal Rp2 miliar, atau rumah susun dengan NJOP maksimal Rp650 juta.

• Jika punya lebih dari satu objek, hanya satu yang mendapat pembebasan, yaitu yang NJOP-nya paling tinggi.

• Wajib memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).

NIK Harus Sudah Tervalidasi

Agar permohonan pembebasan bisa diproses, NIK yang dimiliki wajib sudah tervalidasi di sistem Pajak Online Jakarta. Berikut langkah-langkah mengeceknya:

• Masukkan NIK dan pastikan sesuai dengan nama di SPPT PBB-P2.

• Sistem akan mengecek otomatis apakah data tersebut sudah valid karena terhubung langsung ke database kependudukan.

• Nama dan urutan harus cocok persis antara NIK dan data SPPT.

• Jika nama pada SPPT milik wajib pajak yang sudah meninggal, maka harus dilakukan proses mutasi atau balik nama terlebih dahulu.

Kalau NIK Belum Tervalidasi, Apa yang Harus Dilakukan?

Jika saat dicek ternyata NIK belum tervalidasi di sistem Pajak Online, masyarakat bisa melakukan validasi secara mandiri melalui situs resmi Pajak Online Jakarta. Gunakan menu layanan “Pemutakhiran NIK” untuk memperbarui data.

Dengan adanya kebijakan ini, warga Jakarta diharapkan bisa lebih ringan menjalani kewajiban perpajakan, sekaligus mendapat kejelasan dan kemudahan dalam proses administrasi. (alf)

 

Hashim Sebut Rasio Penerimaan RI Jeblok, Pemerintah Siap Kejar Pajak Tanpa Naikkan Tarif

IKPI, Jakarta: Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan tantangan besar yang tengah dihadapi Indonesia: rendahnya rasio penerimaan negara. Dalam forum DBS Asian Insights Conference di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (21/5/2025), Hashim menyebut angka penerimaan Indonesia saat ini hanya 12,1 persen dari PDB, tertinggal jauh dibanding negara tetangga.

“Ini salah satu yang terendah di dunia. Bahkan Pakistan, yang punya rasio 8 persen, kini mengalami kebangkrutan,” kata Hashim.

Presiden Prabowo Subianto, menurut Hashim, menjadikan perbaikan rasio ini sebagai prioritas fiskal nasional. Target awalnya ambisius: mengejar capaian Kamboja yang telah mencapai rasio 18 persen, bahkan mengarah ke Vietnam yang sudah tembus 23 persen.

Namun, Hashim menegaskan tidak akan ada kenaikan tarif pajak. “Ketika saya bicara soal menaikkan penerimaan, orang langsung berpikir tarif pajak mau dinaikkan. Tidak! Kami tidak akan menaikkan pajak, tapi kami akan menjaring lebih banyak wajib pajak yang selama ini belum tersentuh,” tegasnya.

Strategi pemerintah akan mengandalkan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan sistem informasi digital, untuk mempersempit celah kebocoran penerimaan. AI disebut bakal dimanfaatkan untuk memantau aktivitas ekonomi digital, termasuk pajak elektronik, penyalahgunaan subsidi BBM, hingga praktik gelap seperti judi online dan transaksi kripto ilegal.

Langkah ini, lanjut Hashim, bukan hanya soal mengisi kas negara, tetapi menjadi “game changer” yang menentukan arah pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.

Di sisi lain, ia menyinggung potensi pemberian insentif pajak seperti yang dilakukan Singapura, yang telah menurunkan tarif PPh Badan menjadi 17 persen. Di Indonesia sendiri, tarif tersebut masih berada di angka 22 persen.

Isu peningkatan penerimaan negara juga disebut sejalan dengan rencana Presiden Prabowo untuk melakukan rotasi kepemimpinan di Direktorat Jenderal Pajak. Nama Bimo Wijayanto, alumnus Taruna Nusantara, dikabarkan kuat menjadi calon pengganti Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak berikutnya. (alf)

 

Menkeu Isyaratkan Efisiensi Anggaran Berlanjut di Tahun 2026 

IKPI, Jakarta : Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengisyaratkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak akan berhenti pada 2025, melainkan terus dilanjutkan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2026. Hal ini disampaikan usai menghadiri Rapat Paripurna DPR RI ke-18 di Kompleks Parlemen, Selasa (20/5/2025).

“Kami masih akan terus memonitor berbagai langkah-langkah efisiensi, dan tentu nanti penyusunan APBN 2026 menggunakan seluruh evaluasi tahun ini yang sudah dilakukan,” ujar Sri Mulyani.

Menurut Menkeu, masih ada waktu sekitar dua bulan untuk menuntaskan laporan efisiensi anggaran dari kementerian dan lembaga (K/L). Kementerian Keuangan pun tengah meninjau kondisi makroekonomi sebagai dasar dalam merumuskan postur fiskal 2026 yang tetap menjaga keseimbangan antara keberlanjutan fiskal dan perlindungan terhadap masyarakat serta dunia usaha.

Postur anggaran 2026 akan dirancang selaras dengan delapan program prioritas nasional yang dirumuskan dalam Astacita Presiden terpilih Prabowo Subianto. Delapan program tersebut mencakup ketahanan pangan, ketahanan energi, program Makan Bergizi Gratis (MBG), pendidikan, kesehatan, pemberdayaan desa dan UMKM, pertahanan semesta, serta akselerasi investasi dan perdagangan global.

“APBN adalah instrumen yang memiliki keterbatasan, tapi harus diarahkan pada sektor-sektor strategis yang membutuhkan afirmasi anggaran,” tegasnya.

Pemerintah menargetkan defisit APBN 2026 pada kisaran 2,48% hingga 2,53% dari produk domestik bruto (PDB), relatif sama dengan target defisit tahun ini sebesar 2,53%. Sementara itu, pendapatan negara ditargetkan pada kisaran 11,71% hingga 12,22% dari PDB dan belanja negara antara 14,19% hingga 14,75% dari PDB.

Secara rinci, untuk sektor pendidikan dialokasikan anggaran antara Rp727 triliun hingga Rp761 triliun, sedangkan sektor kesehatan memperoleh alokasi Rp181 triliun hingga Rp228 triliun.

Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran telah rampung per 7 Maret lalu, dengan penghematan belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah senilai Rp50,59 triliun. Menyusul hal tersebut, Kemenkeu mulai mencairkan anggaran yang sebelumnya diblokir sebesar Rp86,6 triliun untuk 99 K/L.

Kini, Menkeu tengah meminta restu kepada Presiden Prabowo untuk melakukan relokasi anggaran, agar alokasi belanja kementerian bisa lebih tajam dan tepat sasaran sesuai dengan agenda prioritas nasional ke depan. (alf)

 

Kemenkeu Klarifikasi Isu Penurunan Rasio Pendapatan Negara di RAPBN 2026

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menegaskan bahwa rasio pendapatan negara dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026 tidak serta-merta lebih rendah dibanding target dalam APBN 2025. Penurunan yang terlihat, menurut Kemenkeu, lebih mencerminkan proses proyeksi awal yang belum final, bukan sinyal pelemahan penerimaan negara.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menyebut bahwa penilaian terhadap rasio pendapatan negara harus menunggu terbitnya laporan semester 2025. “Outlook 2025 masih berjalan dan belum kami laporkan secara resmi. Biasanya ini dilakukan pertengahan tahun untuk memberikan gambaran proyeksi akhir tahun,” kata Febrio, Rabu (21/5/2025).

Ia menekankan bahwa penyusunan RAPBN 2026 tetap berpedoman pada optimisme pertumbuhan dan strategi fiskal yang adaptif terhadap dinamika global. “Kebijakan yang kami siapkan akan diarahkan untuk menjaga tren kenaikan pendapatan negara. Jadi ini bukan berarti menurun, tapi disesuaikan dengan data yang akan lebih lengkap nanti,” jelasnya.

Febrio juga menuturkan bahwa pembahasan lanjutan mengenai angka pasti rasio pendapatan negara 2026 akan melibatkan proses dialog intensif antara pemerintah dan DPR, khususnya melalui Komisi XI dan Badan Anggaran. “Proses ini masih panjang, dan tentu akan banyak variabel yang dibahas bersama DPR untuk merumuskan kebijakan yang realistis namun tetap progresif,” ujarnya.

Setelah KEM-PPKF disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Selasa (20/5) dalam Rapat Paripurna ke-18 DPR RI, tanggapan fraksi-fraksi dijadwalkan akan mulai dikumpulkan pekan depan. Pembahasan lebih mendalam akan dilakukan mulai awal Juli dalam rapat-rapat kerja.

Dalam pidatonya, Sri Mulyani memaparkan bahwa target pendapatan negara pada 2026 berada pada kisaran 11,71%–12,22% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedikit di bawah target tahun 2025 yang mencapai 12,36%. Sementara itu, belanja negara diproyeksikan sebesar 14,19%–14,75% dari PDB, turun tipis dibanding tahun ini yang mencapai 14,89%.

Dengan demikian, defisit fiskal 2026 diperkirakan berada dalam rentang 2,48%–2,53% dari PDB—relatif stabil jika dibandingkan dengan target defisit tahun ini yang sebesar 2,53%.

Meski menghadapi berbagai tantangan, pemerintah memastikan semangat untuk menjaga keberlanjutan fiskal tetap tinggi. “Kondisi global boleh menantang, tapi semangat kita tetap sama: memastikan kebijakan fiskal bekerja optimal demi pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Febrio. (alf)

 

 

 

 

IKPI Dorong Penguatan Kemitraan Strategis dan Ekosistem Perpajakan yang Lebih Modern dengan DJP

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru menggantikan Suryo Utomo. Penunjukan ini dinilai menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional sekaligus membuka ruang dialog dan kemitraan strategis yang lebih luas antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan pemangku kepentingan, khususnya profesi konsultan pajak.

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono, menyampaikan bahwa tantangan fiskal saat ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis yakni bagaimana membangun hubungan yang lebih elastis, responsif, dan berbasis kepercayaan antara otoritas pajak dan masyarakat, termasuk pelaku profesi perpajakan.

“Penunjukan Pak Bimo menjadi sinyal positif untuk masa depan perpajakan Indonesia. IKPI berharap kepemimpinan baru ini membuka ruang kemitraan yang lebih strategis, di mana Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya menjadi regulator, tetapi juga mitra transformasi yang mampu memberdayakan profesi konsultan pajak dalam menghadapi tantangan digital, memperluas basis kepatuhan sukarela, dan memperkuat literasi perpajakan masyarakat,” ujar Jemmi, Kamis (22/5/2025).

Lebih lanjut, Jemmi menekankan bahwa IKPI siap berperan aktif dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih elastis, praktis, dan ekonomis, sesuai dengan arah reformasi yang terus digaungkan pemerintah.

Dalam pandangan IKPI, kata Jemmi, digitalisasi perpajakan dan agenda modernisasi hanya dapat berhasil bila disertai dengan penguatan dialog antara DJP dan profesi konsultan pajak, yang selama ini menjadi jembatan penting antara negara dan wajib pajak.

“Konsultan pajak bukan hanya mitra teknis, tetapi juga mitra strategis. Di era modernisasi fiskal, kami berharap DJP dapat lebih terbuka terhadap masukan-masukan profesional dan menjadikan kolaborasi ini sebagai bagian dari strategi nasional dalam meningkatkan rasio pajak, kepatuhan, dan efisiensi sistem,” ujarnya.

Menurut Jemmi, dengan ekosistem perpajakan yang lebih kuat dan kolaboratif, maka arah menuju sektor keuangan yang kokoh, mandiri, dan modern bisa lebih cepat terwujud. Ia menegaskan bahwa IKPI siap mendukung penuh agenda Dirjen Pajak baru melalui program edukasi, asistensi teknis, dan penguatan tata kelola profesi yang akuntabel.

“Sudah waktunya kita menempatkan kemitraan DJP dan IKPI pada level yang lebih strategis—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pilar penting dalam mendesain kebijakan yang tepat sasaran, implementatif, dan berkelanjutan,” kata Jemmi.

Penunjukan Bimo Wijayanto diharapkan tidak hanya membawa angin segar dalam manajemen DJP, tetapi juga menjadi titik tolak bagi transformasi hubungan antara negara dan para pelaku sektor perpajakan. IKPI menegaskan komitmennya untuk terus hadir sebagai mitra kritis sekaligus konstruktif dalam membangun sistem perpajakan Indonesia yang berintegritas dan adaptif terhadap perubahan zaman. (bl)

Kanwil DJP Jakarta Pusat Raih Bronze Winner di Makaravox UI PR Awards 2025

IKPI. Jakarta: Inovasi Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat kembali menuai pengakuan. Program pemberdayaan UMKM bertajuk Meet the Market (MTM) berhasil meraih Bronze Winner dalam ajang Makaravox UI PR Awards 2025, yang digelar oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia pada Selasa (20/5/2025).

Dikutip dari Instagram @pajakjakartapusat, program MTM merupakan kolaborasi strategis antara Kanwil DJP Jakarta Pusat dan PKN STAN yang menyasar pelaku UMKM binaan melalui pelatihan intensif sekaligus fasilitasi akses nyata ke pasar. Inisiatif ini dinilai sukses menghadirkan dampak konkret bagi pengembangan ekonomi lokal.

Ajang Makaravox UI PR Awards dikenal sebagai barometer prestisius di dunia kehumasan, dengan dewan juri yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Sari Soegondo (Ketua Umum APPRI), Gus Ipang Wahid (Ipang Wahid Stratejik), dan Arif Mujahidin (Corporate Communications Director Danone Indonesia). MTM mencuri perhatian dalam kategori “PR Program” karena pendekatannya yang kolaboratif dan berbasis solusi.

Penghargaan ini menegaskan posisi DJP tidak hanya sebagai institusi fiskal, tetapi juga agen perubahan sosial melalui program kehumasan dan pemberdayaan yang berdampak nyata. (alf)

 

 

Guru Besar UI Desak Presiden Segera Bentuk Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Stagnasi rasio pajak Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Membedah Stagnasi Tax Ratio Indonesia: Masalah Struktural, Teknis, atau Ekonomi?”, Senin (19/5/2025), Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI, Prof. Haula Rosdiana, menyampaikan desakan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara.

“Sudah saatnya kita jujur melihat persoalan tata kelola perpajakan. Teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak terus didorong berada di garis depan, padahal secara struktural dan kelembagaan mereka belum diberi ruang gerak yang cukup. Kita butuh lembaga yang benar-benar agile, mampu beradaptasi dengan cepat di tengah perubahan,” ujar Haula dalam paparannya.

Haula menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara bukan sekadar janji kampanye, melainkan kebutuhan strategis untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pendapatan negara.

Menurutnya, lembaga ini tidak hanya menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), melainkan menjadi bagian dari transformasi kelembagaan secara menyeluruh.

Ia menyoroti bahwa reformasi perpajakan yang sudah berjalan sejak 1983 dan proyek modernisasi sistem seperti Coretax belum menunjukkan hasil signifikan terhadap peningkatan tax ratio. “IT itu hanya komponen kecil. Transformasi kelembagaan jauh lebih mendasar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haula menjelaskan bahwa Badan Penerimaan Negara nantinya akan mengintegrasikan seluruh sumber penerimaan, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Anggaran. (bl)

 

id_ID