Penerimaan Pajak Bali Tumbuh Dua Digit, Sektor Pariwisata Jadi Pendorong Utama

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di Bali terus menunjukkan daya tahannya di tengah pemulihan ekonomi daerah. Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali mencatat realisasi penerimaan sebesar Rp13,07 triliun hingga Oktober 2025, atau 72,68% dari target Rp17,99 triliun. Capaian tersebut tumbuh 10,32% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, menandakan geliat aktivitas ekonomi yang semakin stabil.

Kepala Kanwil DJP Bali Darmawan menjelaskan bahwa pertumbuhan ini tidak lepas dari penguatan koordinasi seluruh kantor pelayanan pajak di wilayah Bali. Dari delapan KPP yang berperan mengadministrasikan penerimaan, KPP Madya Denpasar mencatat kontribusi terbesar dengan Rp6,48 triliun, ditopang aktivitas wajib pajak korporasi berskala besar dan menengah.

Di sisi jenis pajak, PPh masih menjadi tulang punggung penerimaan dengan capaian Rp8,92 triliun, sedangkan PPN dan PPnBM menyusul sebesar Rp3,56 triliun. Struktur tersebut menunjukkan pulihnya mobilitas usaha, peningkatan konsumsi, serta intensifikasi transaksi lintas sektor yang semakin merata.

Pariwisata Kembali Bergeliat

Pertumbuhan paling menonjol berasal dari sektor penyediaan akomodasi dan makan minum, yang melonjak 28,28% dibanding tahun sebelumnya. Menurut Darmawan, tren ini mencerminkan akselerasi pemulihan pariwisata Bali sepanjang 2025, seiring meningkatnya arus wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sektor lain yang ikut menopang penerimaan antara lain:

• Perdagangan besar & eceran: Rp2,48 triliun (18,98%)

• Aktivitas keuangan & asuransi: Rp1,67 triliun (12,76%)

• Administrasi pemerintahan & jaminan sosial: Rp1,34 triliun (10,28%)

Sementara dalam kelompok “sektor lainnya”, real estat memberikan kontribusi Rp742,83 miliar dan aktivitas profesional, ilmiah, dan teknis sebesar Rp614,89 miliar, keduanya tumbuh dua digit. Kombinasi ini mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi Bali kian menyebar ke sektor pendukung seperti properti, konsultansi, dan layanan berbasis keahlian.

Insentif dan Digitalisasi Jadi Penopang

Untuk menjaga momentum pertumbuhan, DJP Bali mendorong pemanfaatan insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi sektor tertentu seperti pariwisata, sebagaimana diatur dalam PMK No. 72/2025. Insentif yang berlaku Oktober–Desember 2025 ini diharapkan meningkatkan daya beli pekerja dan mendorong perputaran ekonomi lokal.

Di sisi administrasi, Darmawan menegaskan pentingnya aktivasi akun Coretax dan pembuatan Kode Otorisasi sebagai syarat pelaporan SPT Tahunan 2025. Modernisasi digital ini menjadi strategi DJP untuk meningkatkan transparansi dan kepatuhan wajib pajak.

“Partisipasi aktif wajib pajak berperan penting dalam mendukung pembangunan nasional,” ujar Darmawan dalam taklimat media APBN Kita Regional Bali di Denpasar, Kamis (27/11/2025). Ia menegaskan DJP Bali akan terus memperkuat layanan, memastikan kebijakan insentif berjalan efektif, dan mendukung transisi menuju ekosistem perpajakan digital.

Dengan tren ekonomi yang masih positif, kinerja penerimaan pajak Bali hingga akhir 2025 diperkirakan sangat bergantung pada daya beli wisatawan, aktivitas perdagangan, dan tingkat kepatuhan wajib pajak di era Coretax. (alf)

Perketat Kepatuhan Pajak Tambang, DJP–Ditjen Minerba Satukan Sistem Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM resmi mengambil langkah besar dalam pengawasan perpajakan sektor pertambangan. Melalui integrasi data antara aplikasi Minerba-one dan sistem inti perpajakan Coretax DJP, pemerintah menegaskan komitmennya untuk memastikan seluruh pelaku usaha tambang memenuhi kewajiban perpajakannya secara transparan dan terukur.

Kebijakan ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam Sosialisasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dihadiri sekitar 1.800 perusahaan tambang di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Rabu (26/11/2025). Bimo menegaskan bahwa penguatan basis data melalui pertukaran informasi antarinstansi merupakan pilar penting dalam meningkatkan akurasi pengawasan.

“Kami memperkuat basis data perpajakan melalui integrasi sistem. Minerba-one yang terhubung ke Coretax memungkinkan data dimanfaatkan secara optimal untuk menghimpun penerimaan negara,” ujar Bimo di hadapan para pelaku usaha.

Salah satu konsekuensi langsung dari integrasi ini adalah pengetatan persyaratan administrasi RKAB. DJP dan Ditjen Minerba telah sepakat menjadikan status pelunasan pajak—tax clearance—sebagai dokumen wajib dalam proses pengajuan maupun perpanjangan RKAB.

“Bapak Ibu perlu mempersiapkan diri. Mulai tahun depan, perpanjangan RKAB akan mensyaratkan tax clearance sebagai bagian dari kelengkapan administrasi,” tegas Bimo.

Langkah ini dianggap strategis mengingat sektor minerba menyumbang 20%–25% dari total penerimaan negara. Pertumbuhan jumlah wajib pajak di sektor tersebut terus meningkat sekitar 3% setiap tahun dan mencapai 7.128 entitas pada 2025.

Penerimaan negara dari subsektor mineral logam pun mencatat lonjakan signifikan: dari Rp4 triliun pada 2016 menjadi Rp45 triliun pada 2024—naik lebih dari sepuluh kali lipat. Dengan integrasi data yang semakin rapat, pemerintah berharap momentum positif ini dapat terus terjaga sekaligus menutup ruang bagi praktik ketidakpatuhan.

Integrasi Minerba-one dan Coretax menjadi salah satu tonggak digitalisasi tata kelola pertambangan Indonesia, sekaligus sinyal bahwa pemerintah semakin serius menertibkan kepatuhan pajak melalui teknologi. (alf)

Purbaya Bongkar Modus Nakal Bea Cukai, Pembekuan Instansi Jadi Wacana Serius

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menyoroti berbagai penyimpangan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ia menyebut sejumlah temuan menunjukkan bahwa reformasi mendalam di institusi tersebut tak lagi bisa ditunda bahkan wacana pembekuan Bea Cukai sempat muncul dalam pembahasan internal pemerintah.

Di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/11/2025), Purbaya secara terbuka mengungkap sederet modus yang dilakukan oknum-oknum nakal. Mulai dari praktik under-invoicing yakni pencantuman nilai barang lebih rendah dari sebenarnya hingga lolosnya barang ilegal yang seharusnya terdeteksi di pintu masuk maupun keluar Indonesia.

“Orang menuduh Bea Cukai main macam-macam karena ada under-invoicing, ada ekspor yang nilainya lebih rendah, juga barang-barang ilegal masuk yang tidak ketahuan,” tegas Purbaya.

Selisih Data Perdagangan Jadi Alarm Keras

Tak berhenti di situ, Purbaya menyinggung praktik penyelundupan yang memanfaatkan negara ketiga demi menyamarkan data ekspor-impor. Ia mencontohkan selisih signifikan antara data ekspor China ke Indonesia dan data impor yang dicatat Indonesia.

Ada dugaan sejumlah barang transit ke negara lain seperti Singapura sebelum akhirnya masuk ke Indonesia, sehingga angka perdagangan tampak berbeda di sistem resmi. Oknum Bea Cukai disebut-sebut terseret dalam modus ini.

“Kalau hanya melihat satu data di UN Comtrade, memang tidak pas. Tapi kalau diteliti alurnya dari China ke Singapura lalu ke Indonesia, barulah terlihat cocok,” jelasnya.

Reformasi Total atau Dibekukan

Munculnya wacana pembekuan Bea Cukai, kata Purbaya, bukan lantaran dirinya memendam kekesalan terhadap institusi tersebut. Namun skala masalah yang ditemukan membuat pemerintah harus mempertimbangkan langkah drastis, termasuk opsi mengalihkan fungsi pemeriksaan barang ke pihak swasta—seperti pada era Orde Baru apabila reformasi internal tidak menunjukkan hasil.

“Saya tidak kesal dengan Bea Cukai. Tapi kita perlu solusi cepat dan perbaikan menyeluruh,” tegasnya.

Meski begitu, Purbaya melihat diskursus ini justru menjadi pemacu bagi jajaran Bea Cukai untuk bekerja lebih bersih. Ia mengungkapkan bahwa tim internalnya kini bergerak agresif mempercepat pengembangan perangkat lunak dan sistem pengawasan.

“Dengan adanya wacana itu, staf Bea Cukai semakin semangat. Software-nya juga berkembang cepat. Saya yakin kita bisa menjalankan program di Bea Cukai dengan lebih bersih tanpa harus menyerahkannya ke pihak lain,” tutupnya.

Berbagai temuan tersebut membuat pemerintah menempatkan pembenahan Bea Cukai sebagai prioritas utama. Namun apakah langkah drastis seperti pembekuan benar-benar diperlukan, kini bergantung pada seberapa jauh reformasi internal bisa berjalan efektif dalam waktu dekat. (alf)

Mantan Pegawai Pajak Dilarang Jadi Konsultan, Bimo Wijayanto: Minimal Lima Tahun Setelah Pensiun

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan kebijakan baru yang melarang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi konsultan pajak selama minimal lima tahun setelah pensiun atau mengundurkan diri. Langkah ini diambil untuk menutup celah penyalahgunaan data negara yang masih melekat pada para eks pegawai.

Bimo menjelaskan, pegawai DJP memiliki akses luas terhadap informasi perpajakan yang bersifat rahasia dan dilindungi undang-undang. Data itu tidak hanya tersimpan dalam perangkat resmi kantor, tetapi juga berpotensi tinggal di ponsel, laptop, hingga memori para pegawai. “Di HP, di tablet, di kepala, di laptop, di kantor tuh ada komputer stand alone berisi data negara yang rahasia,” ujar Bimo dalam media gathering di Denpasar, Bali, Selasa (25/11/2025).

Ia mengaku khawatir informasi tersebut disalahgunakan jika mantan pegawai langsung terjun menjadi konsultan pajak. Karena itu, masa tunggu lima tahun dianggap sebagai langkah pencegahan yang wajar demi menjaga integritas institusi. “Ini terkait conflict of interest. Ada konsekuensi pidana kalau data itu disalahgunakan. Karena itu ada masa tunggu, selama lima tahun masa kedaluwarsanya,” jelasnya.

Kebijakan tersebut juga lahir dari temuan Bimo terkait pelanggaran etik di internal DJP. Dalam wawancara sebelumnya dengan CNBC Indonesia, ia menyebut adanya praktik persekongkolan antara pegawai DJP, konsultan pajak, dan wajib pajak. Modus itu biasanya dilakukan pegawai yang hendak resign dan kemudian bergabung dengan pihak tertentu untuk memanfaatkan data negara sebagai celah fraud.

Bimo menegaskan bahwa larangan ini bukan pembatasan hak, melainkan langkah perlindungan agar kerahasiaan data tetap terjaga dan potensi benturan kepentingan dapat dicegah. “Kami tidak ingin data negara disalahgunakan. Ini untuk menjaga integritas kita bersama,” tegasnya. (alf)

DJP Jatim II Siapkan Wajib Pajak Hadapi Era Coretax 2026, Waspada Penipuan dan Pastikan Aktivasi Akun

IKPI, Jakarta: Perubahan besar dalam sistem administrasi perpajakan menjadi salah satu sorotan utama dalam Forum Konsultasi Publik (FKP) yang diselenggarakan Kanwil DJP Jawa Timur II pada 26 November 2025. Dalam forum tersebut, Plt. Kakanwil DJP Jatim II, Kindy Rinaldy Syahrir, menegaskan bahwa mulai tahun pajak 2025 yang dilaporkan pada 2026, pelaporan SPT Tahunan akan sepenuhnya beralih ke sistem Coretax, menggantikan DJP Online.

Karena itu, wajib pajak diminta melakukan aktivasi Akun Coretax dan membuat Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik, yang nantinya digunakan untuk seluruh proses pelaporan dan layanan digital DJP.

Penyuluh Pajak Agus Saptomo memberikan sosialisasi teknis terkait proses aktivasi, fitur utama Coretax, serta langkah-langkah pelaporan SPT di sistem baru tersebut. Sosialisasi ini bertujuan meminimalkan kendala saat masa pelaporan SPT, terutama bagi institusi pendidikan, organisasi besar, dan pelaku usaha yang hadir dalam forum.

Selain persiapan teknis, Plt. Kakanwil juga menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap penipuan yang mengatasnamakan DJP. Modus penipuan yang marak meliputi permintaan data pribadi, iming-iming pengembalian pajak, hingga penyampaian informasi melalui nomor atau kanal tidak resmi.

“Seluruh layanan DJP hanya dilakukan melalui saluran resmi. Jika menerima informasi mencurigakan, masyarakat wajib mengonfirmasi ke KPP atau Kring Pajak,” tegas Kindy.

DJP Jatim II juga mengingatkan bahwa apabila wajib pajak menemukan indikasi pelanggaran layanan, laporan dapat disampaikan melalui kanal resmi Inspektorat Jenderal Kemenkeu, seperti situs WISE, nomor 021-134, WhatsApp 0815-99-6666-2, email pengaduan.itjen@kemenkeu.go.id, atau melalui Inspektorat Bidang Investigasi dengan menyertakan unsur 4W+1H.

Forum ini dihadiri 20 instansi, termasuk KPP Pratama Madya Sidoarjo dan KPP Madya Gresik, yang turut menyampaikan perspektif mengenai kebutuhan layanan di daerah masing-masing. Sesi diskusi berlangsung interaktif, menyoroti tantangan implementasi Coretax, perlunya literasi digital layanan pajak, serta harapan simplifikasi aturan agar tidak menimbulkan perbedaan tafsir.

Melalui FKP 2025, Kanwil DJP Jatim II memantapkan komitmen mendukung transisi menuju sistem perpajakan digital yang lebih modern, terintegrasi, dan berorientasi pada kenyamanan wajib pajak. Implementasi penuh Coretax diharapkan menjadi tonggak penting menuju layanan perpajakan yang lebih aman, mudah, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. (alf)

Tim Transisi Mulai Susun Regulasi dan Integrasi Sistem Jelang Alih Kelola Pengadilan Pajak

IKPI, Jakarta: Pembentukan Tim Transisi menjadi langkah kunci dalam memastikan kelancaran pengalihan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung pada awal 2027. Tim ini, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan, memiliki tugas kompleks untuk mempersiapkan seluruh aspek organisasi agar perpindahan besar ini tidak mengganggu pelayanan publik kepada para pencari keadilan.

Dalam paparan RPerpres oleh Tim Transisi Sekretariat Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan pada, Jumat (28/11/2025), disebutkan bahwa tugas Tim Transisi meliputi identifikasi kebutuhan kelembagaan, penyesuaian regulasi, pengalihan SDM, aset, serta penataan administrasi perkara. Mereka juga bertanggung jawab mengoordinasikan berbagai pihak terkait, termasuk internal Kemenkeu, Mahkamah Agung, dan kementerian/lembaga lain yang memiliki hubungan dengan sistem peradilan pajak.

Aspek SDM menjadi salah satu isu paling krusial dalam proses ini. Hakim sudah dipastikan akan beralih status sepenuhnya ke Mahkamah Agung, namun mekanisme untuk pegawai non-hakim membutuhkan skema yang lebih kompleks. Skema penugasan lima tahun dirancang untuk mengurangi risiko demotivasi pegawai sekaligus memastikan mereka tetap memiliki kepastian hak dan karier selama masa transisi  .

Sementara itu, dari sisi aset dan keuangan, Tim Transisi harus memastikan seluruh BMN yang digunakan Pengadilan Pajak mulai dari gedung, perabot, jaringan, hingga perangkat TI berpindah dengan mekanisme yang sesuai regulasi. Proses likuidasi satuan kerja di bawah Kemenkeu dijadwalkan berlangsung hingga akhir 2026 sebelum aset sepenuhnya tercatat di bawah Mahkamah Agung.

Tantangan lain adalah memastikan sistem e-Tax Court tetap berjalan stabil selama masa transisi. Aplikasi ini merupakan sentral dari layanan peradilan modern, sehingga kelanjutan operasionalnya tidak boleh terganggu. Setelah pengalihan, domain dan pengelolaan sistem akan berpindah ke MA, namun berbagai infrastruktur pendukung tetap menggunakan perangkat milik Kemenkeu sampai MA siap menyediakan perangkat baru.

Selain aspek teknis, Tim Transisi juga berperan menjaga agar perubahan struktur tidak mengganggu fokus hakim dan pegawai pada pelayanan publik. Dalam paparan, disebutkan bahwa menjaga kondisi pegawai tetap tenang dan tidak merasa dirugikan menjadi faktor penting bagi keberhasilan transisi. Keberhasilan pengalihan sangat bergantung pada stabilitas internal dan kelancaran komunikasi antarinstansi.

Persiapan administratif juga menjadi bagian penting dari tugas Tim Transisi. Pengalihan arsip perkara, dokumen, dan sistem pelacakan perkara harus dilakukan secara terstruktur untuk memastikan sejarah kasus tidak hilang dan layanan pengadilan tetap berjalan tanpa hambatan. Ini termasuk integrasi proses dengan DJP dan DJBC yang selama ini menjadi sumber utama data sengketa pajak.

Dengan segala tanggung jawab yang diemban, Tim Transisi menjadi tulang punggung dari proses perubahan besar ini. Jika seluruh persiapan berjalan sesuai rencana, alih kelola pada 2027 tidak hanya menjadi perpindahan administratif, tetapi juga momentum penting untuk meningkatkan independensi, efisiensi, dan kualitas peradilan pajak Indonesia. (bl)

Mulai 2027 Pembinaan Pengadilan Pajak Resmi Beralih ke Mahkamah Agung

IKPI, Jakarta: Indonesia akan memasuki fase penting dalam reformasi sistem peradilan pajak. Mulai 1 Januari 2027, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung. Perubahan besar ini merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang menegaskan bahwa pembinaan Pengadilan Pajak harus berada di bawah kekuasaan kehakiman agar tetap sejalan dengan prinsip independensi lembaga peradilan  .

Dikutip dari data yang dikeluarkan Tim Transisi Sekretariat Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan pada, Jumat (28/11/2025), Pengalihan ini menjadi momen bersejarah karena untuk pertama kalinya sejak berdirinya Pengadilan Pajak pada tahun 2002, struktur pembinaannya tidak lagi berada pada otoritas eksekutif. Dalam rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang sedang disiapkan, mekanisme alih kelola ini dijelaskan secara rinci, termasuk tahapan persiapan dan pelaksanaan yang terbagi menjadi dua fase besar.

Tahap persiapan berlangsung hingga 31 Desember 2026. Pada fase ini, pemerintah mengidentifikasi kebutuhan organisasi, memastikan sinkronisasi regulasi, serta menyiapkan perangkat dan sistem yang akan digunakan setelah Pengadilan Pajak resmi masuk ke lingkungan Mahkamah Agung. Proses ini juga melibatkan koordinasi lintas lembaga untuk menghindari gangguan pada layanan peradilan pajak selama masa transisi.

Memasuki tahap pelaksanaan pada awal 2027, sejumlah perubahan signifikan mulai diterapkan. Hakim Pengadilan Pajak dialihkan menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dengan hak dan kedudukan setara hakim di lingkungan peradilan TUN. Dalam paparan disebutkan bahwa jumlah hakim aktif saat ini adalah 68 orang, dengan mayoritas berada pada kelompok usia 50–59 tahun menandakan perlunya strategi regenerasi jangka panjang.

Sementara itu, pegawai non-hakim akan dipindahkan melalui mekanisme penugasan untuk jangka waktu maksimal lima tahun. Mereka akan menjalankan kewajiban manajemen SDM Kemenkeu, tetapi bekerja di bawah struktur Mahkamah Agung. Selama masa penugasan ini, pegawai tetap membawa hak-hak keuangan sesuai ketentuan Kementerian Keuangan, ditambah kemungkinan menerima uang makan dan lembur dari MA  .

Aspek aset negara juga menjadi bagian penting dalam pengalihan. Seluruh BMN, baik yang berwujud maupun yang berupa aplikasi dan sistem TI, akan dialihkan melalui transfer antarkementerian. Beberapa aplikasi inti seperti e-Tax Court dan 17 aplikasi turunannya tetap akan digunakan oleh Pengadilan Pajak di bawah MA. Domain aplikasi pun akan berubah dari kemenkeu.go.id menjadi mahkamahagung.go.id, menandai masuknya sistem Peradilan Pajak dalam ekosistem digital MA.

Perubahan besar ini juga membawa harapan baru. Dengan berada di bawah Mahkamah Agung, independensi peradilan pajak diharapkan semakin kuat, sementara penyelesaian sengketa nonyuridis tetap akan ditangani di ranah administratif oleh Kementerian Keuangan. Koordinasi lintas lembaga tetap dipertahankan agar layanan penanganan sengketa tetap cepat, sederhana, dan mudah diakses.

Pengalihan ini bukan sekadar perpindahan administrasi, melainkan sebuah langkah reformasi struktural untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pajak. Dengan persiapan matang dan transisi yang terencana, 2027 akan menjadi titik penting bagi masa depan penyelenggaraan keadilan di bidang perpajakan Indonesia. (bl)

Transformasi Pengadilan Pajak Picu Penurunan Tunggakan dan Lonjakan Kinerja Putusan

IKPI, Jakarta: Transformasi menyeluruh yang dijalankan Pengadilan Pajak sejak tahun 2020 kini mulai menunjukkan hasil yang semakin nyata. Lembaga yang menangani sengketa perpajakan nasional ini terus melakukan berbagai pembaruan, bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari aspek tata kelola, budaya kerja, hingga transparansi proses persidangan. Hasilnya, indikator kinerja penyelesaian sengketa mulai bergerak ke arah yang jauh lebih positif.

Dikutip dari data yang dikeluarkan Tim Transisi Sekretariat Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan pada, Jumat (28/11/2025),  salah satu pilar terpenting dari transformasi ini adalah pengembangan e-Tax Court, sistem persidangan elektronik yang memungkinkan berbagai proses berjalan secara digital. Bukan hanya pendaftaran perkara, tetapi juga pengiriman dokumen, pemanggilan, hingga persidangan dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka. Implementasi ini menjadi krusial terutama untuk menghadapi peningkatan kompleksitas sengketa yang terjadi setiap tahun. Data menunjukkan bahwa progres pemanfaatan e-Filing dan pengiriman berkas melalui e-Tax Court terus meningkat secara konsisten sejak 2019  .

Inovasi lain yang tak kalah penting adalah percepatan penerbitan izin kuasa hukum, yang kini dapat selesai dalam waktu rata-rata hanya 2,8 hari turun drastis dari sebelumnya yang bisa mencapai tujuh hari. Percepatan ini berdampak langsung terhadap kelancaran proses persidangan, karena kesiapan kuasa hukum merupakan faktor utama yang menentukan cepat atau lambatnya penanganan sengketa.

Pengadilan Pajak juga memperkuat transparansi dengan mempublikasikan salinan putusan secara daring. Hingga Oktober 2025, jumlah unggahan salinan putusan telah melampaui 87.000 dokumen, menandai peningkatan signifikan dalam keterbukaan informasi. Langkah ini turut mendukung kepercayaan publik dan memperluas akses bagi praktisi hukum, akademisi, maupun wajib pajak untuk memahami pola dan kualitas putusan Pengadilan Pajak.

Dari sisi statistik, hasil transformasi mulai terlihat jelas pada tren penyelesaian sengketa. Produksi putusan meningkat, sementara jumlah berkas yang masuk dan saldo tunggakan justru menunjukkan penurunan. Dalam paparan, grafik menunjukkan pergerakan yang stabil menuju efisiensi jumlah penyelesaian perkara selalu bergerak lebih cepat dibandingkan penumpukan perkara, menghasilkan saldo akhir sengketa yang terus menyusut setiap tahun.

Penguatan tata kelola juga dilakukan melalui penerapan manajemen kinerja, termasuk performance agreement bagi hakim. Mekanisme ini menghadirkan pengukuran yang lebih terstruktur, sekaligus mendorong terciptanya budaya profesionalisme dalam penanganan perkara. Selain itu, integrasi data dengan DJP, DJBC, serta interoperabilitas sistem semakin mempercepat analisis dan pemeriksaan berkas perkara.

Secara eksternal, Pengadilan Pajak memperluas akses publik melalui penyelenggaraan live streaming persidangan sejak 2024. Kehadiran siaran langsung ini tidak hanya memperkuat transparansi, tetapi juga menjadi sarana edukasi bagi masyarakat mengenai proses peradilan pajak yang selama ini dianggap rumit dan kurang familiar.

Dengan berbagai langkah transformasi yang terus berjalan, Pengadilan Pajak kini memasuki fase baru sebagai lembaga peradilan modern yang mengedepankan efektivitas, transparansi, dan kemudahan layanan. Seluruh perubahan ini menjadi fondasi kuat untuk menghadapi alih pembinaan ke Mahkamah Agung pada 2027 dan memastikan layanan kepada pencari keadilan tetap optimal. (bl)

Dicecar DPR, Purbaya Jelaskan Kenapa Pajak Merosot!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi XI DPR RI terkait kinerja penerimaan pajak yang merosot pada 2025. Dalam rapat kerja yang berlangsung Kamis (27/11/2025), Purbaya berulang kali dicecar mengenai anjloknya realisasi pajak hingga Oktober tahun ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.459 triliun, atau 70,2% dari target Rp 2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu satu bulan, capaian tersebut dianggap jauh dari memadai untuk mengejar kekurangan yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Menjawab deretan pertanyaan anggota dewan, Purbaya menjelaskan bahwa pelemahan ekonomi pada awal tahun menjadi penyebab utama merosotnya penerimaan negara. Kondisi tersebut membuat banyak perusahaan bergerak lebih hati-hati, bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.

“Waktu itu lagi susah. Kalau businessman lagi susah, dipajaki ribut pasti. Uangnya juga nggak ada, orang lagi rugi,” tegas Purbaya saat merespons tekanan anggota Komisi XI, Kamis (27/11/2025).

Menurutnya, situasi tersebut membuat pemerintah tidak bisa memaksakan pemungutan pajak secara agresif karena justru akan memperburuk keadaan pelaku usaha.

Enggan Tekan Wajib Pajak 

Purbaya mengakui bahwa realisasi penerimaan negara masih tertinggal dari target. Namun ia menolak mengambil langkah-langkah yang bisa menambah beban masyarakat maupun pengusaha.

“Ekonominya masih susah, apa mau kita tekan masyarakat kita? Pengusaha kita? Kita pasti hancur,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa menjaga daya tahan ekonomi lebih penting daripada memaksakan penambahan pajak di tengah situasi yang belum stabil.

Di tengah rapat, Purbaya sempat melontarkan candaan soal kemungkinan menaikkan pajak bagi anggota DPR sebagai cara cepat menambah penerimaan.

“Kalau bisa kita hajar (penerimaan), terutama anggota DPR pajaknya kita naikin ya? Hahaha… saya digebuk nanti,” ucapnya.

Menurut Purbaya, langkah-langkah ekstrem seperti itu tidak tepat diterapkan sekarang karena kondisi ekonomi belum mendukung.

Purbaya menegaskan pemerintah memilih fokus pada pemulihan ekonomi nasional. Jika pertumbuhan ekonomi kembali menguat ke kisaran 6%, barulah pemerintah akan mempertimbangkan kembali pajak-pajak yang selama ini ditunda.

“Kalau sudah 6%, nanti baru kita kenakan pajak-pajak tadi. Kalau orang lebih gampang cari kerja dan agak makmur, dipajaki juga tidak akan marah-marah lagi seperti kemarin ketika ekonomi jatuh,” tutupnya. (alf)

Compliance Gap Pajak RI Tembus Rp 548 Triliun, DJP Siapkan Strategi Pembenahan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa tingkat kesenjangan kepatuhan (compliance gap) pajak di Indonesia masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Mengacu pada kalkulasi Bank Dunia, rata-rata potensi penerimaan pajak yang tidak tergali pada periode 2016–2021 mencapai Rp 548 triliun, setara 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa angka tersebut mencerminkan besarnya potensi ketidakpatuhan yang terjadi, mulai dari penghindaran pajak, ketidakpatuhan administratif, hingga praktik penggelapan.

“Compliance gap ini sebesar 3,7% atau Rp 548 triliun. Hal ini mencerminkan potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak, dan juga penggelapan pajak,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Jumlah tersebut tercatat lebih tinggi daripada policy gap, yakni potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan fiskal seperti insentif, tarif khusus, atau pengecualian pajak. Nilainya mencapai Rp 396 triliun, atau sekitar 2,7% dari PDB. Menurut Bimo, policy gap merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mendukung sektor tertentu, tetapi tetap menimbulkan implikasi terhadap ruang penerimaan negara.

Untuk meminimalkan compliance gap, DJP telah menyiapkan pendekatan komprehensif yang mencakup penegakan hukum tertarget dan penguatan manajemen risiko kepatuhan (compliance risk management). Dengan cara ini, wajib pajak berisiko tinggi bisa diprioritaskan, sementara wajib pajak patuh tidak perlu dibebani pemeriksaan yang tidak relevan.

Di sisi lain, DJP juga memperluas strategi edukasi dan soft engagement untuk mengurangi ketidakpatuhan yang bersumber dari kurangnya pemahaman. Upaya digitalisasi turut dipercepat melalui e-Faktur, e-Bukti Potong, e-Filing, implementasi sistem Coretax, pemadanan NIK–NPWP, pembentukan single profile, serta pemanfaatan data internasional lewat Automatic Exchange of Information (AEOI).

Bimo menegaskan bahwa peningkatan kepatuhan merupakan kunci memperkuat basis perpajakan nasional dan memastikan keberlanjutan pembiayaan negara di masa mendatang. (alf)

id_ID