DJP Percepat Modernisasi Pembayaran Pajak, Siapkan Kanal QRIS Terintegrasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memacu transformasi digital dengan mempercepat pengembangan kanal pembayaran pajak berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Langkah ini diambil sebagai respons atas hasil evaluasi Tax Administration Diagnostic Assessment Tool (TADAT) 2023, yang menilai perlunya peningkatan signifikan pada aspek pembayaran elektronik.

Menurut Laporan Tahunan DJP 2024, yang dipublikasikan pada Senin (1/12/2025), DJP telah menyelesaikan kajian awal pengembangan kanal QRIS pada sistem legacy. Kajian tersebut menjadi landasan bagi rencana jangka panjang menghadirkan kanal pembayaran modern yang sepenuhnya terintegrasi dengan proses bisnis penyetoran pajak.

Dalam laporan itu dijelaskan, pengembangan kanal QRIS dirancang untuk menghadirkan proses pembayaran yang lebih sederhana, cepat, dan seamless, sejalan dengan kebutuhan masyarakat di era layanan digital. Integrasi ini juga diharapkan mampu mengatasi kendala pada sistem pembayaran konvensional, sekaligus memperluas opsi pembayaran bagi wajib pajak.

DJP menargetkan kehadiran kanal QRIS tidak hanya memudahkan wajib pajak, tetapi juga meningkatkan skor Indonesia pada indikator pembayaran elektronik dalam penilaian TADAT mendatang.

Implementasi QRIS diyakini akan memperkuat kualitas layanan administrasi perpajakan dan mendukung percepatan penerimaan negara melalui sistem pembayaran yang lebih efisien.

“Implementasi kanal QRIS diharapkan menjadikan pengalaman pembayaran pajak semakin praktis, efisien, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital saat ini, sekaligus meningkatkan penilaian pada indikator pembayaran elektronik,” tulis DJP dalam laporannya. (alf)

Deklarasi Belém: Sejumlah Negara Berpendapatan Rendah Desak Pajak Emisi pada Produksi Daging

IKPI, Jakarta: Sejumlah negara berpendapatan rendah, termasuk Nigeria, Fiji, Uganda, Chad, Papua Nugini, dan Liberia, resmi menandatangani Deklarasi Belém, sebuah seruan global untuk menerapkan penetapan harga emisi gas rumah kaca (GRK) pada sistem pertanian dan pangan, khususnya produksi daging industri di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Deklarasi ini mendesak ekonomi besar dunia mulai dari Komisi Uni Eropa, 30 negara anggota OECD, hingga China untuk segera memperkenalkan mekanisme harga emisi GRK pada industri daging dan produk turunannya. Langkah tersebut dinilai penting untuk mengurangi ketimpangan iklim antara negara kaya dan negara berkembang.

Inisiatif ini digagas oleh TAPP Coalition. Dilansir dari Down to Earth, Senin (1/12/2025), Direktur sekaligus pendirinya, Jeroom Remmers, menyatakan bahwa tujuh negara Afrika yang ikut menandatangani mewakili sekitar 30 persen populasi benua tersebut. Ia menambahkan, deklarasi ini juga mencakup 21 negara pulau kecil di Pasifik yang kini berada di garis depan ancaman kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global.

Ketimpangan Konsumsi dan Beban Perubahan Iklim

Negara-negara berkembang menegaskan bahwa konsumsi daging berlebih di negara maju menimbulkan emisi GRK tinggi, sementara mereka yang menanggung dampak harian dari perubahan iklim. Jika negara berpenghasilan tinggi tidak bersedia menurunkan emisi sektor peternakan secara sukarela, maka mereka harus membayar kerusakan iklim melalui mekanisme harga emisi.

Para penandatangan juga mendorong penerapan asas pencemar membayar, di mana setidaknya 20 persen pendapatan dari kebijakan penetapan harga emisi disalurkan ke Dana Kerugian dan Kerusakan untuk membantu negara-negara rentan.

Sektor pertanian dan pangan saat ini menyumbang sekitar sepertiga emisi GRK global, dengan produksi ternak sebagai penyumbang terbesar. Jejak karbon daging sapi mencapai 70 kg GRK per kg, babi 12 kg, ayam 9,9 kg, jauh lebih tinggi dibandingkan sumber protein nabati seperti legume (2 kg) dan kacang-kacangan (0,4 kg).

Kesenjangan konsumsi daging pun masih lebar: rata-rata negara OECD mencapai 71,4 kg/kapita/tahun, China 61,98 kg, sementara negara berkembang hanya 26,6 kg. FAO memproyeksikan jumlah ternak global akan meningkat lebih dari 50 persen pada 2050, sebuah tren yang bertolak belakang dengan target Net Zero Emissions.

Produksi ternak juga menyerap 80 persen penggunaan lahan global, sehingga penerapan harga emisi pada daging dan produk susu di negara maju diyakini dapat mengurangi emisi sekaligus membuka peluang pemulihan lahan menjadi kawasan yang mampu menyerap karbon secara alami.

Deklarasi Belém menjadi seruan kuat dari negara-negara rentan agar negara kaya segera mengambil langkah konkret dalam pembenahan sistem pangan global demi keadilan iklim dan keberlanjutan bumi. (alf)

Kemenekraf Matangkan Reformasi PPh Royalti Penulis, Dorong Ekosistem Literasi Lebih Ramah Kreator

IKPI, Jakarta: Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) mulai mempercepat proses rekonstruksi kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas royalti penulis. Langkah ini ditempuh sebagai respons atas berbagai keluhan terkait kerumitan aturan perpajakan yang selama ini dirasakan para penulis, penerbit, hingga pelaku industri buku lainnya. Pemerintah menilai penyederhanaan skema perpajakan merupakan elemen kunci untuk memperkuat ekosistem literasi nasional.

Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenekraf, Agustini Rahayu, menegaskan bahwa penulis adalah aktor fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya Indonesia. Karena itu, kata dia, kebijakan perpajakan yang mengatur mereka harus adil, sederhana, dan tidak menghambat kreativitas.

“Penulis adalah fondasi utama perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Kebijakan yang menaungi mereka harus adil dan memudahkan, bukan membatasi,” ujar Agustini, Senin (1/12/2025).

Ia menambahkan, penyederhanaan aturan perpajakan sangat penting agar penulis bisa fokus berkarya tanpa terbebani kerumitan administrasi.

Sementara itu, Direktur Penerbitan dan Fotografi Kemenparekraf, Iman Santoso, mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan kini memasuki tahap penting. Tahun ini, pemerintah menargetkan selesainya naskah akademik sebagai fondasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada 2026.

“Kami berharap kebijakan yang nantinya ditetapkan dapat memberikan manfaat nyata dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku di subsektor ini,” ujarnya.

Saat ini, royalti penulis dikenakan PPh melalui skema Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Namun, skema tersebut dinilai kurang sesuai dengan karakter kerja penulis yang bersifat kreatif dan mandiri. Selain itu, NPPN dianggap menambah beban administratif yang tidak sebanding dengan pola pendapatan penulis yang cenderung fluktuatif.

Guru Besar Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, menilai industri literasi seharusnya diperlakukan dengan prinsip perpajakan yang sederhana dan efisien. Ia menekankan bahwa pengetahuan tidak selayaknya dibebani pajak yang rumit.

“Jika kita berbicara mengenai industri literasi, seharusnya prinsipnya adalah No Tax on Knowledge,” tegas Haula.

Dari sisi pelaku industri, penulis senior Asma Nadia menyambut baik keseriusan pemerintah memproses penyederhanaan aturan tersebut. Ia menyebut perjuangan untuk mendorong revisi kebijakan perpajakan bagi penulis sudah berlangsung sekitar tujuh tahun.

“Kami benar-benar berterima kasih atas kesungguhan pemerintah dalam mengupayakan perubahan. Bertahan sebagai penulis tidak mudah, dan kebijakan yang lebih ramah tentu sangat berarti,” ujarnya. (alf)

DJP dan Ditjen Minerba Wajibkan Tax Clearance dalam Pengajuan RKAB, 1.800 Pengusaha Tambang Disosialisasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM mewajibkan pemenuhan komitmen pelunasan pajak sebagai syarat tambahan dalam pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kebijakan ini disampaikan dalam sosialisasi hybrid kepada sekitar 1.800 pengusaha tambang.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, mulai periode perpanjangan tahun mendatang, dokumen RKAB harus disertai bukti tax clearance. Ketentuan baru ini menjadi bagian dari penyelarasan administrasi antara DJP dan Ditjen Minerba.

“Bapak Ibu silakan mempersiapkan diri. Mulai perpanjangan tahun berikutnya, RKAB akan mensyaratkan kewajiban tax clearance,” ujar Bimo dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025)

RKAB merupakan laporan tahunan yang wajib disusun perusahaan tambang, mencakup aspek pengusahaan, teknis, hingga lingkungan. Kewajiban ini diatur dalam Permen ESDM Nomor 17/2025. Perusahaan yang tidak menyampaikan RKAB dilarang menjalankan kegiatan pertambangan.

Dengan memasukkan aspek perpajakan sebagai syarat, pemerintah ingin memastikan kepatuhan fiskal berjalan seiring dengan kepatuhan perizinan tambang.

Integrasi Data melalui Coretax dan Minerba-One

Bimo menjelaskan bahwa DJP terus memperkuat basis data melalui integrasi informasi antarinstansi, termasuk sinkronisasi sistem Coretax DJP dengan aplikasi Minerba-One milik Kementerian ESDM. Integrasi ini diharapkan mampu memberikan gambaran lebih komprehensif untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor minerba.

“Ini adalah upaya bersama mengelola kekayaan negara. Pemerintah sebagai regulator dan wajib pajak sebagai pelaku ekonomi harus sejalan,” ujarnya.

Ia kembali menekankan arahan Presiden agar kebijakan fiskal dan tata kelola sumber daya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, dengan semangat gotong royong dalam membangun ekonomi nasional.

Populasi Wajib Pajak dan Penerimaan Minerba Terus Meningkat

Berdasarkan data internal DJP, jumlah wajib pajak di sektor pertambangan minerba menunjukkan tren kenaikan rata-rata 3% per tahun dalam lima tahun terakhir. Dari 6.321 wajib pajak pada 2021, jumlahnya naik menjadi 7.128 pada 2025.

Sementara itu, penerimaan pajak dari sektor pertambangan mineral logam melonjak signifikan—dari Rp4 triliun pada 2016 menjadi Rp45 triliun pada 2024, atau meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Pada sektor batubara, penerimaan mengalami fluktuasi mengikuti pergerakan harga komoditas global.

“Kami tidak bisa berdiri sendiri tanpa kontribusi dari Bapak Ibu pelaku usaha minerba yang menyumbang 20–25% penerimaan negara,” tutup Bimo.

Kebijakan integrasi data dan syarat tax clearance untuk RKAB ini diharapkan dapat memperkuat kepatuhan pajak sekaligus meningkatkan transparansi pengelolaan sektor pertambangan di Indonesia. (alf)

DPRD Kabupaten Malang Tuntaskan Penyempurnaan Aturan Pajak dan Retribusi

IKPI, Jakarta: Panitia Khusus (Pansus) Pajak dan Retribusi Daerah DPRD Kabupaten Malang resmi menuntaskan penyempurnaan regulasi perpajakan yang akan mulai berlaku pada 2026. Penyempurnaan ini dilakukan untuk menata mekanisme penarikan pajak dan retribusi yang selama ini dinilai belum optimal dan masih menyisakan ketidakjelasan di lapangan.

Ketua Pansus, Zulham Akhmad Mubarrok, menyampaikan bahwa salah satu pembaruan paling krusial adalah pengaturan ulang pajak air tanah. Selama ini, komponen tersebut tidak diatur secara detail sehingga pelaksanaannya kerap berbeda antara satu wilayah dan lainnya.

“Komponen pajak yang selama ini tidak detail kini kami atur secara jelas. Pajak air tanah berlaku bagi seluruh pengguna, kecuali kebutuhan rumah tangga serta kegiatan sosial-keagamaan,” ujar Zulham.

Ia menegaskan, lembaga pendidikan non-profit seperti pesantren juga masuk kategori yang dikecualikan. Menurutnya, aturan ini perlu dicantumkan secara eksplisit dalam peraturan turunan Bupati agar tidak terjadi kekeliruan proses penarikan pajak di lapangan.

“Selama lembaga tersebut benar-benar non-profit, seperti pesantren, mereka tidak wajib membayar pajak air tanah. Selama ini karena tidak diatur secara jelas, ada yang ditarik dan ada yang tidak,” jelas anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Malang itu.

Industri Wajib Tertib Pajak Air Tanah

Zulham menekankan bahwa air tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat pulih dengan cepat. Untuk itu, penggunaan air tanah pada sektor industri akan dikenai tarif berbeda berdasarkan tingkat risiko—tinggi, sedang, atau rendah.

“Perusahaan harus tertib pajak air tanah. Selama ini pengelolaan oleh karyawan sering tidak dilaporkan sehingga tidak tercatat sebagai kewajiban pajak,” tegasnya.

Dalam aturan baru, perusahaan yang tidak melaporkan penggunaan atau pengelolaan air tanah juga akan dikenai sanksi dan denda. Ia mendorong Pemkab Malang memperkuat regulasi tersebut dalam Peraturan Daerah (Perda) yang akan diberlakukan tahun depan.

Genset Besar Mulai Dipajaki, Parkir Juga Dimaksimalkan

Selain air tanah, DPRD Kabupaten Malang juga menyisipkan ketentuan baru terkait penggunaan generator atau genset berskala besar di perusahaan. Selama ini, sektor tersebut tidak pernah tersentuh kewajiban pajak.

“Tahun depan pajak dan retribusi kami maksimalkan, termasuk perusahaan yang menggunakan generator besar. Itu nanti dikenai pajak tiga persen,” kata Zulham.

Sistem penarikan pajak akan dilakukan melalui aplikasi SiPanji, yang akan menerbitkan identitas wajib pajak, nilai kewajiban, dan rekening resmi untuk proses pembayaran.

“Melalui SiPanji akan dikeluarkan identitas wajib pajak dan rekening penarikannya. Setelah itu baru ditarik sesuai standar yang ditetapkan Bapenda,” tambahnya.

Dengan selesainya penyempurnaan aturan ini, DPRD Kabupaten Malang berharap mekanisme penarikan pajak dan retribusi menjadi lebih tertib, transparan, dan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah secara signifikan mulai tahun 2026. (alf)

MUI dan Dirjen Pajak Sepakat Bentuk Task Force, Bahas Fatwa Pajak Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh menerima kunjungan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, dalam sebuah pertemuan yang membahas implementasi skema pajak berkeadilan dan penyampaian Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut sebelumnya disahkan dalam Musyawarah Nasional XI pada 22 November 2025 sebagai respons atas keresahan masyarakat mengenai kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap tidak proporsional.

Pertemuan yang berlangsung di Kantor MUI pada Jumat (28/11/2025) sore. Baik MUI maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa pajak merupakan alat krusial untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena itu, prinsip keadilan harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan perpajakan.

Dalam forum tersebut, kedua pihak menyepakati pembentukan task force yang akan menindaklanjuti Fatwa Pajak Berkeadilan. Tim ini akan mengkaji berbagai aspek sistem perpajakan nasional, termasuk dorongan agar pemungutan pajak lebih proporsional terhadap pihak yang menguasai kekayaan besar.

Turut hadir dalam diskusi itu Sekjen MUI Amirsyah Tambunan, Ketua Bidang Komdigi Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Hukum Wahidudin Adams, serta sejumlah pimpinan Komisi Fatwa MUI seperti Prof Abdurrahman Dahlan dan KH Miftahul Huda. Dari pihak DJP hadir Sekretaris DJP Sigit Danang Joyo, Direktur P2Humas Rosmauli, Direktur KITSD Belis Siswanto, Direktur TPB Imam Arifin, dan Direktur Peraturan Perpajakan II Heri Kuswanto.

Isi Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan

Fatwa MUI menetapkan beberapa pedoman hukum terkait kewajiban pajak dalam perspektif syariah:

Ketentuan Hukum

1. Negara berkewajiban mengelola kekayaan untuk kemakmuran rakyat.

2. Pemungutan pajak diperbolehkan apabila kekayaan negara tidak mencukupi, dengan syarat:

• a. Pajak penghasilan hanya dikenakan pada warga negara dengan kemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal (85 gram emas).

• b. Objek pajak terbatas pada harta produktif atau kebutuhan sekunder/tersier.

• c. Pajak digunakan untuk kepentingan publik dan kelompok yang membutuhkan.

• d. Penetapan pajak harus adil.

• e. Pengelolaan pajak wajib amanah dan transparan.

3. Pajak yang dibayarkan merupakan amanah rakyat yang harus dikelola pemerintah secara jujur dan akuntabel.

4. Kebutuhan primer tidak boleh dikenakan pajak berulang.

5. Sembako tidak boleh dikenakan pajak.

6. Rumah hunian non-komersial tidak boleh dikenakan PBB berulang.

7. Warga negara wajib menaati aturan pajak yang sesuai prinsip keadilan dalam syariah.

8. Pemungutan pajak yang bertentangan dengan prinsip tersebut dihukumi haram.

9. Zakat menjadi pengurang kewajiban pajak.

Rekomendasi Fatwa

MUI juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan sistem pajak nasional:

1. Beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak, termasuk evaluasi pajak progresif yang dinilai memberatkan.

2. Pemerintah diminta mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dan memberantas mafia pajak.

3. Pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali peraturan perpajakan yang dinilai tidak adil.

4. Pemda bersama Kemendagri diminta mengevaluasi kebijakan PBB, PPN, PPh, PKB, dan pajak waris yang kerap dinaikkan tanpa mempertimbangkan keadilan masyarakat.

5. Pemerintah berkewajiban mengelola pajak secara amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

6. Masyarakat perlu taat membayar pajak selama digunakan untuk kemaslahatan umum. (alf)

INDEF Peringatkan Risiko Fiskal Jangka Panjang dari Proyek Kereta Cepat Whoosh

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengingatkan pemerintah mengenai meningkatnya risiko fiskal jangka panjang dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Menurutnya, skala utang yang membiayai proyek tersebut kini menuntut perhitungan ulang yang lebih realistis agar tidak membebani keuangan negara di masa depan.

Esther menyebut total pembiayaan proyek telah menembus lebih dari Rp116 triliun, dengan cost overrun sekitar Rp19 triliun. Kondisi ini, ditambah performa okupansi penumpang yang belum stabil, membuat kemampuan proyek untuk mengembalikan kewajibannya kian berat.

Saat ini, tingkat okupansi Whoosh tercatat sekitar 60% dari kapasitas maksimal 36.000 penumpang per hari. Dengan tren tersebut, potensi periode pengembalian investasi menjadi sangat panjang.

“Dengan kondisi ini, payback period dapat mencapai lebih dari 100 tahun jika okupansi di bawah 50%,” kata Esther, dikutip Minggu (30/11/2025).

Sejumlah kajian memperkirakan periode pengembalian investasi Whoosh berada di kisaran 38 hingga 40 tahun, tetapi dengan asumsi okupansi penuh dan pola penggunaan yang stabil. Kenyataannya, ujar Esther, masyarakat masih memiliki banyak pilihan moda transportasi yang lebih terjangkau, seperti kendaraan pribadi, travel, hingga kereta reguler, sehingga tingkat permintaan Whoosh belum optimal.

Esther juga menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kesanggupan pemerintah menangani kewajiban utang KCJB. Ia menekankan bahwa kesanggupan tersebut tidak selalu berarti menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, terdapat empat opsi pembiayaan yang dapat dipertimbangkan:

APBN sebagai pilihan terakhir, dukungan pendanaan melalui Danantara, penerbitan obligasi, atau skema kerja sama pemerintah dan swasta.

Namun, ia menegaskan bahwa setiap opsi tetap memiliki konsekuensi fiskal.

“Jika sebagian beban dialihkan ke APBN, alokasi anggaran untuk program lain pasti berkurang. Itu harus dihitung secara cermat dampaknya,” ucapnya.

Selain itu, Esther menyoroti potensi tekanan terhadap kinerja PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas KCJB. Menurutnya, beban utang yang besar bisa memengaruhi kemampuan perusahaan dalam menjaga kualitas layanan jika tidak disertai pengelolaan keuangan yang disiplin.

Menutup pandangannya, Esther menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Ia meminta pemerintah memastikan adanya perencanaan yang matang, kajian kelayakan yang menyeluruh, serta pelibatan publik sebelum mengambil keputusan investasi jangka panjang. Hal ini penting agar proyek tidak berujung menjadi beban fiskal berkepanjangan bagi negara. (alf)

Trump Guncang Kebijakan Fiskal AS: Wacana Hapus PPh dan Bagikan Dividen dari Tarif Impor

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu perdebatan besar setelah menyampaikan keinginannya untuk menghapus Pajak Penghasilan (PPh) dalam beberapa tahun ke depan. Berbicara melalui panggilan video kepada anggota militer AS pada perayaan Thanksgiving, Trump menegaskan keyakinannya bahwa penerimaan tarif impor cukup untuk menggantikan pendapatan negara dari PPh.

“Dalam beberapa tahun ke depan, saya pikir kita akan memangkas secara substansial dan mungkin benar-benar menghapus pajak penghasilan. Bisa hampir sepenuhnya dihapus, karena uang yang kita terima akan sangat besar,” ujarnya, Sabtu (28/11/2025).

Ini bukan pertama kalinya Trump menghubungkan tarif impor dengan rencana penghapusan PPh. Pada April lalu, ia menyampaikan bahwa penerimaan tarif dapat mengurangi beban pajak warga AS, khususnya mereka yang berpenghasilan di bawah 200.000 dolar AS per tahun. Trump berpendapat bahwa tarif merupakan sumber kekayaan nasional yang paling efektif, bahkan mengklaim bahwa penerimaan tarif mampu melunasi utang nasional sekaligus memulihkan kejayaan ekonomi AS.

Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump meningkatkan bea masuk terhadap hampir semua produk impor dengan kisaran 10–50 persen, tergantung negara asal. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan federal dan mendorong masyarakat membeli produk buatan AS. Namun, efektivitas dan dampaknya terhadap perekonomian global terus menjadi sorotan.

Indonesia turut merasakan pengaruh dari kebijakan tersebut. Tarif impor produk Indonesia di pasar AS kini berada di sekitar 19 persen, turun dari sebelumnya 32 persen. Penyesuaian itu dicapai melalui komunikasi langsung antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Trump. Pemerintah Indonesia saat ini masih berupaya menegosiasikan tarif nol persen untuk sejumlah komoditas penting yang tidak diproduksi di AS.

Di tengah kebijakan tarif yang agresif, Trump juga melontarkan gagasan baru berupa pemberian dividen sebesar 2.000 dolar AS per orang, kecuali bagi individu berpenghasilan tinggi. Menurutnya, dana itu berasal dari penerimaan tarif yang telah mencapai triliunan dolar AS. Ia bahkan menilai pendapatan tersebut cukup untuk mulai melunasi utang nasional AS yang mencapai 37 triliun dolar AS.

“Dividen setidaknya 2.000 dolar AS per orang akan dibayarkan kepada semua orang,” tulisnya.

Meski demikian, rencana Trump tak lepas dari tantangan hukum. Mahkamah Agung baru-baru ini mempertanyakan legalitas sejumlah tarif yang diberlakukan pemerintahannya. Jika tarif tersebut dibatalkan, pemerintah AS berpotensi harus mengembalikan lebih dari 100 miliar dolar AS kepada importir, sebuah risiko besar bagi keberlanjutan rencana fiskal Trump.

Wacana penghapusan PPh dan pembagian dividen ini menempatkan Trump kembali di pusat perhatian. Namun, apakah ide tersebut dapat dijalankan secara realistis atau hanya menjadi bagian dari strategi politik, publik AS masih menunggu langkah konkret berikutnya. (alf)

DJP Gelar Sosialisasi Pajak Sawit, Purbaya: Industri Ini Tetap Jadi Tulang Punggung Ekonomi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggelar Sosialisasi Kewajiban Perpajakan di Sektor Produk Kelapa Sawit dan Turunannya pada Jumat, (28/11/ 2025) di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP. Acara ini diikuti sekitar 200 pelaku usaha yang mewakili 137 Wajib Pajak strategis di industri sawit, salah satu sektor yang selama ini menopang perekonomian nasional.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa hadir membuka acara dan langsung menyampaikan apresiasi kepada para pelaku usaha yang hadir. Ia menekankan bahwa kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan Pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus memperkuat penerimaan negara.

“Terima kasih kepada para peserta yang sudah hadir. Sebenarnya saya tidak dijadwalkan hadir, ini mendadak. Kata Pak Bimo tadi, kalau Pak Menteri datang semoga pendapatan pajaknya bisa meningkat banyak,” ujar Purbaya dalam sambutannya.

Purbaya juga menyinggung operasi gabungan Kemenkeu–Polri pada awal November 2025 yang berhasil mengungkap praktik penyelundupan produk turunan CPO. Ia menegaskan bahwa operasi tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan, tetapi untuk memastikan kegiatan usaha berjalan sesuai aturan.

“Kalau ada kesulitan atau masalah apa pun, laporkan ke saya. Kita bereskan. Yang jelas, kita ingin industri sawit ini tetap menjadi tulang punggung industri Indonesia,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa Pemerintah berkomitmen membangun iklim usaha yang sehat dan berkeadilan. Kebijakan fiskal, kata Purbaya, diarahkan agar memberikan manfaat optimal bagi pelaku usaha sekaligus menjaga kontribusi mereka terhadap penerimaan negara.

“Teman-teman dunia usaha, mohon kerja samanya demi kelancaran kita semua dan untuk memaksimalkan kontribusi Anda bagi negara ini,” tutup Purbaya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan perkembangan terkini mengenai pengawasan industri sawit. Merespons temuan modus pelanggaran ekspor yang baru terungkap, DJP telah mengidentifikasi sejumlah dugaan ketidaksesuaian lain seperti praktik under-invoicing serta penggunaan faktur fiktif/TBTS.

“Dalam kesempatan sosialisasi ini, kami mengimbau Bapak-Ibu untuk segera melakukan pembenahan secara sukarela sebelum DJP melakukan langkah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terindikasi tidak patuh,” ujar Bimo.

Ia menegaskan bahwa Pemerintah terus memperkuat tata kelola sektor sawit agar semakin transparan, akuntabel, dan berkelanjutan, sehingga dapat mempertahankan daya saing Indonesia di pasar global.

“Mari jadikan momentum ini sebagai langkah nyata untuk meningkatkan kepatuhan dan memperkuat penerimaan negara,” pungkasnya. (alf)

Purbaya Setuju Kuota Subsidi LPG Ditambah Jelang Nataru, Pastikan Tidak Bebani APBN 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan rencana penambahan kuota subsidi LPG jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) tidak akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Penegasan ini disampaikan usai pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan, dikutip Sabtu (29/11/2025).

Menurut Purbaya, usulan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia masih berada dalam batas fiskal yang aman. Penurunan harga gas dunia menjadi faktor utama yang membuat tambahan volume subsidi tidak menambah beban anggaran.

“Subsidi LPG dari sisi volume mungkin akan meningkat saat Nataru. Tapi karena harga global sedang turun, meskipun kita penuhi, tidak akan melebihi pagu 2025,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa penambahan kuota tersebut hanya berlaku untuk periode akhir tahun ini. Untuk tahun anggaran 2026, pemerintah akan kembali melakukan evaluasi berdasarkan dinamika harga energi global.

“Nanti kita lihat lagi. Kan belum lewat. Mestinya cukup dengan anggaran yang ada,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah menambah kuota LPG bersubsidi untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi pada libur Nataru 2025/2026. Keputusan tersebut dibahas dalam rapat bersama Menteri Keuangan dan Kepala BUMN Doni Oskaria.

“Kami memastikan pasokan energi aman selama libur akhir tahun. Dalam rapat itu disepakati kenaikan volume LPG dari sekitar 8,2 juta metrik ton menjadi sekitar 8,4–8,5 juta metrik ton,” ujar Bahlil.

Ia memastikan tidak ada hambatan maupun potensi kelangkaan LPG bersubsidi pada periode liburan mendatang. “Semua sudah clear. Pasokan aman,” tegasnya.

Dengan penambahan kuota ini, pemerintah berharap konsumsi rumah tangga selama masa liburan dapat terlayani tanpa gangguan, sekaligus menjaga stabilitas harga dan ketersediaan energi nasional. (alf)

id_ID