Dicecar DPR, Purbaya Jelaskan Kenapa Pajak Merosot!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi XI DPR RI terkait kinerja penerimaan pajak yang merosot pada 2025. Dalam rapat kerja yang berlangsung Kamis (27/11/2025), Purbaya berulang kali dicecar mengenai anjloknya realisasi pajak hingga Oktober tahun ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.459 triliun, atau 70,2% dari target Rp 2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu satu bulan, capaian tersebut dianggap jauh dari memadai untuk mengejar kekurangan yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Menjawab deretan pertanyaan anggota dewan, Purbaya menjelaskan bahwa pelemahan ekonomi pada awal tahun menjadi penyebab utama merosotnya penerimaan negara. Kondisi tersebut membuat banyak perusahaan bergerak lebih hati-hati, bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.

“Waktu itu lagi susah. Kalau businessman lagi susah, dipajaki ribut pasti. Uangnya juga nggak ada, orang lagi rugi,” tegas Purbaya saat merespons tekanan anggota Komisi XI, Kamis (27/11/2025).

Menurutnya, situasi tersebut membuat pemerintah tidak bisa memaksakan pemungutan pajak secara agresif karena justru akan memperburuk keadaan pelaku usaha.

Enggan Tekan Wajib Pajak 

Purbaya mengakui bahwa realisasi penerimaan negara masih tertinggal dari target. Namun ia menolak mengambil langkah-langkah yang bisa menambah beban masyarakat maupun pengusaha.

“Ekonominya masih susah, apa mau kita tekan masyarakat kita? Pengusaha kita? Kita pasti hancur,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa menjaga daya tahan ekonomi lebih penting daripada memaksakan penambahan pajak di tengah situasi yang belum stabil.

Di tengah rapat, Purbaya sempat melontarkan candaan soal kemungkinan menaikkan pajak bagi anggota DPR sebagai cara cepat menambah penerimaan.

“Kalau bisa kita hajar (penerimaan), terutama anggota DPR pajaknya kita naikin ya? Hahaha… saya digebuk nanti,” ucapnya.

Menurut Purbaya, langkah-langkah ekstrem seperti itu tidak tepat diterapkan sekarang karena kondisi ekonomi belum mendukung.

Purbaya menegaskan pemerintah memilih fokus pada pemulihan ekonomi nasional. Jika pertumbuhan ekonomi kembali menguat ke kisaran 6%, barulah pemerintah akan mempertimbangkan kembali pajak-pajak yang selama ini ditunda.

“Kalau sudah 6%, nanti baru kita kenakan pajak-pajak tadi. Kalau orang lebih gampang cari kerja dan agak makmur, dipajaki juga tidak akan marah-marah lagi seperti kemarin ketika ekonomi jatuh,” tutupnya. (alf)

Compliance Gap Pajak RI Tembus Rp 548 Triliun, DJP Siapkan Strategi Pembenahan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa tingkat kesenjangan kepatuhan (compliance gap) pajak di Indonesia masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Mengacu pada kalkulasi Bank Dunia, rata-rata potensi penerimaan pajak yang tidak tergali pada periode 2016–2021 mencapai Rp 548 triliun, setara 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa angka tersebut mencerminkan besarnya potensi ketidakpatuhan yang terjadi, mulai dari penghindaran pajak, ketidakpatuhan administratif, hingga praktik penggelapan.

“Compliance gap ini sebesar 3,7% atau Rp 548 triliun. Hal ini mencerminkan potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak, dan juga penggelapan pajak,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Jumlah tersebut tercatat lebih tinggi daripada policy gap, yakni potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan fiskal seperti insentif, tarif khusus, atau pengecualian pajak. Nilainya mencapai Rp 396 triliun, atau sekitar 2,7% dari PDB. Menurut Bimo, policy gap merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mendukung sektor tertentu, tetapi tetap menimbulkan implikasi terhadap ruang penerimaan negara.

Untuk meminimalkan compliance gap, DJP telah menyiapkan pendekatan komprehensif yang mencakup penegakan hukum tertarget dan penguatan manajemen risiko kepatuhan (compliance risk management). Dengan cara ini, wajib pajak berisiko tinggi bisa diprioritaskan, sementara wajib pajak patuh tidak perlu dibebani pemeriksaan yang tidak relevan.

Di sisi lain, DJP juga memperluas strategi edukasi dan soft engagement untuk mengurangi ketidakpatuhan yang bersumber dari kurangnya pemahaman. Upaya digitalisasi turut dipercepat melalui e-Faktur, e-Bukti Potong, e-Filing, implementasi sistem Coretax, pemadanan NIK–NPWP, pembentukan single profile, serta pemanfaatan data internasional lewat Automatic Exchange of Information (AEOI).

Bimo menegaskan bahwa peningkatan kepatuhan merupakan kunci memperkuat basis perpajakan nasional dan memastikan keberlanjutan pembiayaan negara di masa mendatang. (alf)

Mendag Tegas Tolak Kuota Impor Pakaian Bekas: Pemerintah Tak Mau Buka Celah Pajak untuk Barang Ilegal

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan pemerintah tidak akan membuka skema kuota maupun legalisasi terbatas untuk impor pakaian bekas (thrifting). Selain karena statusnya yang jelas-jelas ilegal, pemerintah menilai pemberian kuota akan menciptakan distorsi besar, termasuk dalam aspek perpajakan dan penerimaan negara.

“Ya namanya ilegal, ya ilegal,” tegas Budi di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2025). Ia menambahkan, barang bekas impor tidak dapat diubah statusnya menjadi legal hanya karena alasan tingginya permintaan pasar.

Pernyataan itu disampaikan setelah Kemendag merampungkan pemusnahan 19.391 bal pakaian bekas impor ilegal di Bandung. Operasi pemusnahan dilakukan bertahap hingga akhir November sebagai bagian dari penegakan hukum serta menjaga ekosistem industri tekstil dan penerimaan perpajakan dari sektor pakaian baru.

Di balik larangan impor pakaian bekas, pemerintah juga mempertimbangkan risiko hilangnya potensi penerimaan pajak. Industri tekstil dan garmen dalam negeri, yang menyumbang pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, hingga bea masuk dari bahan baku, dinilai bisa tergerus jika pasar dibanjiri barang preloved impor ilegal berharga murah.

Barang thrifting sendiri masuk tanpa mekanisme fiskal apa pun, mulai dari bea masuk, PPN impor, hingga pungutan lainnya. Budi menilai, membuka kuota impor untuk barang bekas akan membuat pengawasan perpajakan sulit dilakukan dan berpotensi menurunkan kepatuhan di sektor perdagangan.

“Kalau dibuka kuota, bagaimana memastikan kepatuhan fiskalnya? Barang bekas itu tidak pernah punya standar nilai pabean yang jelas,” ujar seorang pejabat Kemendag yang mendampingi Budi.

Pedagang Thrifting Klaim Siap Taat Aturan Pajak 

Sementara itu, pedagang pakaian bekas Pasar Senen tetap berharap ruang kompromi. Perwakilan pedagang, Rifai Silalahi, menyebut ekosistem thrifting telah melibatkan sekitar 7,5 juta orang di berbagai daerah. Ia menilai legalisasi akan membuka peluang penerimaan pajak baru bila pemerintah mau mengatur alur impornya.

“Kalau legalisasi tidak memungkinkan, kami hanya berharap ada skema lartas dengan kuota. Pelaku usaha siap ikut aturan dan kewajiban fiskal,” kata Rifai dalam audiensi dengan BAM DPR RI, Rabu (19/11/2025).

Menurut Rifai, pengenaan pajak atas impor pakaian bekas justru berpotensi menjadi sumber penerimaan tambahan apabila pemerintah menyediakan kerangka hukum yang pasti.

Namun bagi Kemendag, risiko terhadap industri nasional dan potensi penyalahgunaan lebih besar dibanding potensi pajaknya. Pemerintah menilai legalisasi atau kuota justru akan menciptakan loophole bagi masuknya barang-barang ilegal dalam volume lebih besar.

“Kalau dibuka sedikit saja, nanti semua masuk lewat pintu itu,” kata Budi menegaskan.

Dengan sikap ini, pemerintah memastikan larangan impor pakaian bekas tetap berlaku tanpa pengecualian. Polemik antara potensi pajak yang bisa dipungut dan kewajiban melindungi industri tekstil dalam negeri pun diperkirakan masih menjadi perdebatan panjang di tengah terus berkembangnya pasar thrifting di Indonesia. (alf)

Kanwil DJP Jawa Timur II Gelar FKP 2025, Fokus Penyerapan Aspirasi dan Penguatan Layanan Publik

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II menggelar Forum Konsultasi Publik (FKP) 2025 di Aula Mojopahit, Gedung Kanwil DJP Jawa Timur II, Rabu (26/11/2025). Forum ini kembali menjadi wadah dialog terbuka antara otoritas pajak dan pemangku kepentingan dari berbagai sektor demi meningkatkan kualitas layanan perpajakan di wilayah Jatim II.

Acara dipimpin oleh Plt. Kepala Kanwil DJP Jatim II, Kindy Rinaldy Syahrir, didampingi para Kepala Bidang dan Kepala Bagian. Turut hadir Kepala KPP Pratama Madya Sidoarjo, Heru Pamungkas, serta jajaran KPP Madya Gresik yang dipimpin langsung Agung Sumaryawan. Secara keseluruhan, forum melibatkan 20 instansi, mulai dari penyelenggara layanan publik, pelaku usaha, perguruan tinggi, asosiasi profesi, pemerintah daerah, hingga media massa.

Dalam sambutannya, Kindy menegaskan bahwa FKP bukan sekadar agenda rutin, melainkan instrumen penting untuk menjaga kualitas pelayanan DJP agar tetap selaras dengan dinamika kebutuhan masyarakat.

“Kami ingin mendengar langsung suara para pengguna layanan. Masukan dari masyarakat adalah dasar bagi DJP dalam membangun layanan yang lebih baik dan responsif,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip, Kamis (27/11/2025).

Pada kesempatan tersebut, peserta menyampaikan berbagai masukan, termasuk soal kemudahan aktivasi akun, penyederhanaan ketentuan administrasi perpajakan, dan kebutuhan informasi detail terkait fitur-fitur pada sistem layanan terbaru.

Pejabat Kanwil DJP Jatim II menanggapi seluruh masukan secara langsung. Usulan strategis yang muncul akan diteruskan kepada Kantor Pusat sebagai bahan perbaikan kebijakan maupun pengembangan layanan.

Salah satu agenda penting dalam forum adalah penandatanganan Berita Acara Pelaksanaan FKP oleh perwakilan peserta dan jajaran Kanwil DJP Jatim II sebagai bentuk komitmen bersama meningkatkan kualitas layanan perpajakan.

FKP 2025 kembali menegaskan bahwa peningkatan kualitas layanan pajak hanya dapat tercapai melalui kolaborasi kuat antara pemerintah dan masyarakat. Tingginya antusiasme peserta menunjukkan bahwa wadah seperti ini berperan besar dalam memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan. (alf)

Musim Pelaporan SPT 2026 Segera Dibuka, DJP Imbau Wajib Pajak Percepat Aktivasi Coretax

IKPI, Jakarta: Tahun 2026 tinggal menghitung minggu. Memasuki tahun baru, jutaan wajib pajak bersiap menghadapi musim pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang resmi dimulai pada 1 Januari 2026. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pelaporan SPT Tahunan 2025 akan sepenuhnya menggunakan sistem administrasi perpajakan terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni Coretax.

Sistem Coretax dirancang untuk mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan dalam satu platform—mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, hingga penagihan. Transformasi ini menjadi tonggak penting digitalisasi layanan pajak Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa tingkat aktivasi akun Coretax masih jauh dari harapan. Hingga 20 November 2025, baru sekitar 3,1 juta wajib pajak orang pribadi yang berhasil mendaftar dan memperoleh Kode Otorisasi DJP (KO DJP).

Padahal, DJP mencatat terdapat 14,78 juta wajib pajak pribadi dan badan terdaftar sepanjang 2025. Artinya, masih ada lebih dari 11 juta wajib pajak yang belum menyelesaikan proses aktivasi.

“Kalau kita lihat dari yang sudah aktivasi, persentase yang telah registrasi kode otorisasi atau sertifikat elektronik baru sekitar 12,45%,” ujar Bimo dalam Media Gathering di Kanwil DJP Bali, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, banyak wajib pajak yang telah membuat akun Coretax tetapi belum melanjutkan proses hingga memperoleh KO DJP—komponen penting yang dibutuhkan untuk menandatangani dokumen digital dalam sistem.

Bimo menegaskan bahwa DJP tidak memberikan tenggat khusus bagi wajib pajak untuk mengaktifkan Coretax. Namun, ia mengingatkan pentingnya menyelesaikan aktivasi sebelum batas akhir pelaporan SPT Tahunan pada Maret 2026 agar tidak terkena denda akibat keterlambatan pelaporan.

“Tenggat ini kami kembalikan ke wajib pajak. Prinsip self-assessment mengharuskan wajib pajak segera aktivasi Coretax begitu membutuhkan layanan, seperti klarifikasi bukti potong atau faktur pajak,” tegasnya.

Cara Mudah Aktivasi Coretax

DJP memastikan proses aktivasi akun Coretax dapat dilakukan dengan cepat. Berikut tahapannya:

1. Aktivasi Akun Coretax

Syarat utama: memiliki NPWP aktif.

Langkah-langkah:

1. Akses laman resmi Coretax DJP dan pilih Aktivasi Akun Wajib Pajak.

2. Konfirmasi bahwa wajib pajak telah terdaftar.

3. Masukkan NPWP, klik Cari.

4. Isi email dan nomor ponsel sesuai data di DJP Online.

5. Lakukan verifikasi identitas.

6. Simpan data.

7. Periksa email untuk menerima kata sandi sementara dari domain resmi @pajak.go.id.

8. Login kembali untuk mengganti kata sandi dan membuat passphrase.

2. Mengajukan Kode Otorisasi (KO DJP)

KO DJP berfungsi sebagai tanda tangan elektronik resmi.

Langkah-langkah:

1. Login ke Coretax.

2. Masuk ke Portal Saya → Permintaan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik.

3. Isi data sertifikat digital dan pilih penyedia sertifikat.

4. Masukkan ID Penandatangan atau buat passphrase.

5. Kirim permohonan.

6. Jika berhasil, muncul notifikasi bahwa sertifikat digital telah dibuat.

7. Unduh bukti penerbitan sertifikat.

3. Validasi Kode Otorisasi

1. Buka Portal Saya → Profil Saya.

2. Pilih Nomor Identifikasi Eksternal → Digital Certificate.

3. Pastikan status sudah VALID.

4. Jika belum, klik Periksa Status.

5. Setelah valid, klik Menghasilkan untuk menerima dokumen penerbitan KO DJP.

Dengan seluruh tahapan tersebut, wajib pajak dapat memastikan akun dan KO DJP telah aktif sehingga proses pelaporan SPT Tahunan pada awal 2026 dapat dilakukan dengan lancar.

Transformasi melalui Coretax merupakan langkah besar dalam modernisasi administrasi perpajakan Indonesia. DJP berharap seluruh wajib pajak segera beradaptasi agar manfaat sistem baru ini dapat dirasakan bersama—mulai dari efisiensi pelaporan hingga peningkatan kualitas layanan.

Dengan waktu tersisa lima minggu menuju 2026, DJP mengingatkan bahwa aktivasi lebih awal akan memudahkan wajib pajak saat memasuki puncak musim pelaporan SPT nanti. (alf)

DJP Siapkan Serah Terima Coretax Tahun 2026, Audit Berlapis Pastikan Sistem Siap Dioperasikan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan proses serah terima sistem perpajakan Coretax dari konsorsium LG CNS–Qualysoft akan dilakukan pada tahun 2026. Saat ini, sistem tengah memasuki tahap krusial berupa latency period atau masa penjaminan, di mana seluruh fitur dan arsitektur teknologi tidak boleh dimodifikasi hingga evaluasi menyeluruh selesai dilakukan.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa masa latensi merupakan fase jeda ketika sistem dipersiapkan untuk migrasi jaringan dan diuji secara ketat di lingkungan internal DJP. Seluruh proses bisnis hingga area pelayanan menjadi ruang uji untuk memastikan Coretax bekerja stabil dan sesuai kebutuhan lembaga.

“Pada masa latensi ini, sistem dites di area pelayanan dan proses bisnis kami. Kami melakukan clearing atas berbagai hal dan akan ada audit deliverables yang bersifat sangat governance oleh pihak independen,” kata Bimo dalam Media Gathering di Kanwil DJP Bali, Rabu (26/11/2025).

Audit Berlapis 

Untuk memastikan sistem memenuhi seluruh kewajiban kontraktual, DJP menunjuk perusahaan konsultan internasional Deloitte sebagai auditor independen. Deloitte akan menguji kesesuaian seluruh deliverables yang disepakati dalam kontrak antara pemerintah dan LG CNS–Qualysoft.

Tak hanya itu, DJP juga menggandeng lembaga independen kedua, yang berasal dari lingkungan perguruan tinggi, untuk melakukan audit dari sisi teknologi informasi. Audit ini mencakup rigiditas dan fleksibilitas sistem, keamanan data, serta kedaulatan teknologi.

“Mulai minggu depan, lembaga independen dari universitas akan mengaudit aspek IT—prosesnya, rigiditas sistem, fleksibilitas, keamanan, hingga kedaulatan data,” jelas Bimo.

Selain audit teknis, DJP juga akan meminta pendapat hukum sebagai bagian dari legal due diligence sebelum proses serah terima dilakukan. Di internal DJP sendiri, telah dibentuk tim khusus yang bertugas mempersiapkan langkah-langkah penyempurnaan sistem setelah Coretax sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah.

Bimo menegaskan bahwa DJP telah menyiapkan berbagai algoritma pengembangan, sehingga sistem dapat segera ditingkatkan begitu proses serah terima selesai.

“Setelah masuk ke kami, Coretax akan langsung kami kembangkan lebih lanjut. Harapannya, sistem ini mampu memberikan dukungan yang lebih baik untuk proses bisnis dan pelayanan kepada wajib pajak,” ujar Bimo. (alf)

Restitusi Pajak Melonjak 36,4%, Dirjen Pajak Ungkap Modus “Penunggang Gelap”

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan nilai restitusi pajak hingga Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, restitusi meningkat 36,4% dibanding tahun sebelumnya, mencapai Rp 340,52 triliun.

Menurut Bimo, tren ini tidak sepenuhnya terjadi karena situasi ekonomi yang wajar. Ia menyebut adanya pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan celah kebijakan dengan menciptakan profil usaha tidak sesuai dengan aktivitas bisnis sebenarnya.

“Kita telusuri, ternyata ada modus yang tidak berdasarkan transaksi sesungguhnya—fiktif semacam itu. Ini sedang kita dalami lebih jauh,” ujar Bimo dalam Media Gathering di Kanwil DJP Bali, Selasa (25/11/2025).

Bimo menuturkan, peningkatan restitusi juga dipengaruhi oleh penurunan tajam harga komoditas, terutama batu bara. Pada periode “commodity boom” 2022–2023, banyak perusahaan membayar pajak lebih tinggi karena harga jual sedang berada di puncaknya. Ketika harga turun di tahun berikutnya, perusahaan mengalami kelebihan bayar sehingga mengajukan restitusi.

“Akhirnya panen restitusi saat periode berikutnya harga komoditas tidak sebagus sebelumnya. Volatilitas harga menjadi penyebab utama,” jelasnya.

Selain faktor ekonomi, kebijakan perpajakan juga berperan besar. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, batu bara dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak (BKP). Kebijakan tersebut membuka ruang bagi wajib pajak untuk mengkreditkan pajak masukan, sehingga meningkatkan potensi restitusi.

“Ketika batu bara menjadi BKP, wajib pajak bisa mengkreditkan pajak masukannya. Itu juga membuat kami harus meningkatkan audit karena risikonya bertambah,” tambah Bimo. (alf)

BI Tegaskan Desain Uang Redenominasi yang Beredar di Medsos Adalah Hoaks

IKPI, Jakarta: Beredarnya unggahan di media sosial yang menampilkan gambar uang kertas rupiah dengan desain baru kembali memicu perbincangan publik. Dalam narasi yang menyertai unggahan tersebut, disebutkan bahwa gambar itu merupakan hasil redenominasi rupiah yang diklaim akan diluncurkan pada 2026. Bank Indonesia (BI) dengan tegas membantah informasi tersebut dan memastikan bahwa seluruh konten itu adalah hoaks.

Melalui pernyataan resmi di akun Instagram @bank_indonesia pada Minggu (23/11/2025), BI menjelaskan bahwa video dan gambar yang beredar tidak memiliki dasar dan tidak berasal dari kebijakan resmi bank sentral.

“Setelah ramai soal wacana redenominasi rupiah, muncul berbagai video yang menyatakan BI telah mengeluarkan rupiah versi redenominasi dan akan diluncurkan pada tahun 2026 mendatang. Dapat dipastikan informasi dalam video tersebut adalah hoaks,” tulis BI.

Redenominasi Bukan Prioritas Saat Ini

Terkait ramainya kembali isu penyederhanaan nominal rupiah, BI menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah menjaga stabilitas ekonomi nasional, memastikan inflasi tetap terkendali, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.

Menurut BI, setiap rencana redenominasi membutuhkan kajian mendalam dan tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa.

BI menjelaskan bahwa proses redenominasi harus mempertimbangkan sejumlah aspek fundamental seperti stabilitas politik, kondisi ekonomi dan sosial, serta kesiapan teknis.

“Pelaksanaan redenominasi tentunya harus dilakukan dengan mempertimbangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial, serta persiapan teknis seperti hukum, logistik, dan teknologi,” tulis BI.

Lebih lanjut, BI menekankan bahwa komunikasi publik juga harus dilakukan secara matang, melibatkan koordinasi antar lembaga, dan bertahap agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

Bank Indonesia mengimbau masyarakat untuk tidak mudah mempercayai atau menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya, terlebih terkait isu-isu sensitif seperti kebijakan moneter. BI mengingatkan agar publik selalu melakukan verifikasi melalui kanal resmi seperti situs web, media sosial terverifikasi, maupun pernyataan pers resmi. (alf)

BRIN Turun Tangan Kajia Redenominasi Rupiah, Mulai Diskusi Awal dengan Presiden Prabowo

IKPI, Jakarta: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memastikan siap terlibat dalam kajian strategis mengenai redenominasi atau penyederhanaan nilai rupiah. Kebijakan yang berpotensi memangkas tiga nol dalam harga barang dan uang rupiah itu disebut akan diperdalam melalui riset sebelum pemerintah mengambil keputusan.

Kesiapan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala BRIN Arif Satria usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat. Arif menegaskan bahwa lembaganya akan memberikan rekomendasi kebijakan berbasis riset apabila pemerintah memprioritaskan isu redenominasi.

“Ya tentu. Segala isu strategis yang menjadi concern pemerintah, Insyaallah BRIN siap memberikan kontribusi berupa rekomendasi kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan,” ujar Arif kepada wartawan, Senin (24/11/2025).

Kedatangan Arif ke Istana terjadi tak lama setelah Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga terlihat memasuki kompleks Istana. Arif tidak menampik adanya kemungkinan pembahasan awal mengenai redenominasi dalam pertemuannya dengan Presiden.

“Ya hari ini kita mengawali diskusi dengan Pak Presiden,” ucapnya.

Makan Waktu Enam Tahun

Sebelumnya, Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan waktu cukup panjang untuk menjalankan redenominasi secara penuh. Ia memperkirakan seluruh tahapan dapat memakan waktu 5–6 tahun sejak Undang-Undang (UU) Redenominasi disahkan.

Tahapan itu dimulai dari penerbitan UU Perubahan Harga Rupiah sebagai landasan utama. Tanpa payung hukum tersebut, seluruh proses tidak dapat berjalan.

“Dari sejak UU sampai selesai, kira-kira butuh 5–6 tahun,” kata Perry dalam rapat dengan Komite IV DPD RI, Senin (17/11/2025).

Setelah UU diterbitkan, pemerintah perlu menyiapkan aturan transparansi harga. Regulasi ini penting untuk menjaga kejelasan harga barang dan memastikan masyarakat tidak salah memahami bahwa redenominasi tidak mengubah nilai barang.

“Harus ada peraturan mengenai transparansi harga. Ini sangat penting agar masyarakat tidak bingung selama transisi,” jelas Perry.

Tahap berikutnya adalah penyusunan desain sekaligus pencetakan uang baru oleh Bank Indonesia. Setelah itu, barulah masuk ke masa transisi ketika uang lama dan uang baru beredar bersamaan.

“Itu harus berjalan beriringan. Bisa beli kopi pakai uang lama, bisa pakai uang baru, harganya sama,” imbuh Perry.

Dengan BRIN dan BI mulai membuka ruang diskusi, isu redenominasi kembali mengemuka di tengah upaya pemerintah memperkuat stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik terhadap rupiah. Meski begitu, keputusan final masih menunggu kesiapan regulasi dan kesepakatan politik di tingkat pemerintah pusat.

BRIN memastikan pihaknya siap mendukung dengan kajian ilmiah yang mendalam, sementara BI telah memaparkan peta jalan teknis yang perlu ditempuh. Apabila proses ini benar-benar berjalan, Indonesia memasuki era baru pencatatan harga, di mana Rp1.000 dapat berubah menjadi Rp1, tanpa mengubah daya beli masyarakat. (alf)

Kerja Sama Lintas Negara, DJP Kunci Celah Pelarian Kejahatan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperkuat strategi pemberantasan kejahatan perpajakan melalui perluasan kerja sama internasional. Langkah ini diambil untuk menutup celah pelarian para pelaku tax crime yang kerap memanfaatkan yurisdiksi luar negeri untuk menghindari penegakan hukum.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa DJP telah menjajaki kolaborasi dengan tujuh negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Australia. Sinergi ini mendorong pertukaran pengetahuan, teknologi, serta pengalaman penyidikan guna mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan pajak.

“Ini tentunya menghindari negara-negara yang menjadi tempat pelarian bagi pelaku tax criminal. Jadi area mereka untuk lari makin sempit karena kita sudah bekerja sama,” ujar Bimo dalam media gathering di Bali, Rabu (26/11/2025).

Korea Selatan, Singapura, dan Thailand menjadi rujukan penting bagi Indonesia dalam pengembangan kemampuan deteksi otomatis. Ketiga negara tersebut telah memanfaatkan algoritma, machine learning, dan pemetaan risiko untuk mengidentifikasi gejala tax evasion maupun tax avoidance sejak dini.

DJP berencana mengintegrasikan kemampuan serupa ke dalam Coretax, sistem inti perpajakan nasional. Coretax akan dibekali kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis data terstruktur dan tidak terstruktur, mendeteksi transaksi mencurigakan, hingga memberikan flagging atas ketidakwajaran sebelum masuk tahap pemeriksaan atau penyidikan.

Selain teknologi, DJP juga membangun kolaborasi tematik dengan beberapa negara.

• Malaysia menjadi mitra utama dalam pertukaran informasi mengenai penanganan wajib pajak grup, khususnya perusahaan kelapa sawit yang memiliki rantai usaha panjang dan kerap melibatkan lintas yurisdiksi.

• Australia, melalui Australian Taxation Office (ATO), memperkuat kerja sama dalam penanganan kasus transfer pricing, mengingat pengalaman Australia yang panjang dalam membongkar skema penggerusan basis pajak lintas negara.

Dengan perluasan jejaring internasional ini, DJP menegaskan komitmennya menutup setiap peluang pelaku kejahatan pajak untuk bersembunyi di negara lain. Kolaborasi lintas negara diyakini dapat meningkatkan efektivitas penindakan sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam sistem perpajakan global.

“Dengan semakin banyak negara yang bekerja sama, celah pelarian makin kecil. Kita bergerak bersama untuk menutup ruang gerak para pelaku kejahatan pajak,” tegas Bimo. (alf)

id_ID