Piagam Hak Wajib Pajak: yang Ditunggu Sudah Datang

(Foto: DOK. Pribadi)

Sebuah gebrakan besar dilakukan oleh DJP saat peringatan Hari Pajak, 14 Juli 2025. Melalui nakhodanya yang baru, Bimo Wijayanto, DJP menghadirkan ketengah-tengah masyarakat Piagam Hak-Hak Wajib Pajak atau dikenal dengan Taxpayer’s Charter. Bagaimana tidak, sejak reformasi perpajakan yang terjadi di pertengahan dekade 80-an, baru kali ini akhirnya Wajib Pajak memiliki Piagam Hak-HakWajib Pajak. 

Berarti hampir 40 tahunan menunggu, akihrnya piagam tersebut terbit. Sebagai catatan, negara tetangga kita, Australia telah sejak 1997 memiliki piagam ini. India telah memberlakukannya sejak 2020, dan Inggris pada tahun 2009.

Bukan berarti tanpa ada piagam tersebut, hak-hak Wajib Pajak tidak diakui. Peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia telah mengakui keberadaan hak-hak Wajib Pajak sejak semula di dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan, dengan adanya UU No. 7 HPP saat ini, keberadaan hak-hak Wajib Pajak semakin diakui, khususnya dalam hal Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

Hanya saja, hak-hak Wajib Pajak tersebut tidak termuat di dalam satu panduan umum yang dapat menjadi pegangan bagi para Wajib Pajak. Hak-hak tersebut tersebar di dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, Bab V dari UU KUP, khususnya Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 27. Masing-masing mengatur hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan, keberatan, dan banding. 

Pasal-pasal ini, memuat hak Wajib Pajak hak untuk mengambil posisi yang berbeda dengan posisi DJP dan menegaskan haknya untuk menyampaikan pandangannya atas posisi tersebut (the rights to be heard atau audi et alteram partem). Contoh lain dari hak Wajib Pajak yaitu menerima kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur di dalam Pasal 17, 17B, 17C, dan 17D (hak restitusi).

Piagam Hak-Hak Wajib Pajak yang secara resmi terbit berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 13/PJ/2025 tentang Piagam Hak Wajib Pajak (Taxpayer’s Charter) ini memuat secara ringkas rangkuman seluruh hak-hak Wajib Pajak yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan. Fungsi penerbitan menurut DJP ini tidak lain adalah menegaskan basic values relasi antara negara dan warga negara. Tentunya yang disasar adalah kepercayaan masyarakat.

Tujuan tersebut selaras dengan praktik internasional yang berlaku. IMF dan OECD juga mendorong negara-negara untuk segera memiliki Taxpayer’s Rights Charter. Tujuannya adalah membangun kepercayaan masyarakat kepada negara, khususnya institusi pemungut pajak. Melalui piagam ini, Wajib Pajak tidak lagi dianggap sebagai objek, melainkan sebagai subjek, mitra dalam pemungutan pajak. 

Diharapkan terdapat perubahan yang fundamental untuk kemudian mengokohkan Wajib Pajak dalam keseharian relasi dengan DJP. Cara yang dilakoni tentunya berbasis pelayanan dan menggeser perlakuan menakut-nakuti Wajib Pajak yang memaksa untuk patuh (fear-based compliance). Piagam ini memberikan dasar-dasar nilai berupa kepercayaan,  keadilan, dan kepastian hukum kepada masyarakat. Atas hal ini diharapkan Wajib Pajak secara sukarela, sadar, dan bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya.

Tidak hanya kepada Wajib Pajak, piagam ini juga berguna ke dalam institusi DJP selaku pemungut pajak. Wajib Pajak yang memiliki kesadaran tinggi dalam melakukan kewajiban perpajakannya jelas memudahkan DJP dalam melakukan pekerjaannya. 

Selain itu, Piagam ini juga menjadi alat akuntabilitas bagi publik untuk memantau integritas DJP dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari, artinya reformasi birokrasi di dalam tubuh DJP yang saat ini berjalan dapat bergulir lebih cepat dan efektif dengan adanya piagam ini. Bentley bahkan mencatat bahwa Piagam ini menjadi bagian penting dalam proses reformasi institusi penerimaan pajak.

Namun demikian, keberadaan Piagam Hak-Hak Wajib Pajak tidak tanpa catatan. Perlu sangat diperhatikan bahwa piagam tersebut sangat membutuhkan jaminan penegakkan yang tegak sebenar-benarnya. Piagam tersebut tidak lagi terkesan deklaratif, dan administratif tetapi enforcable. Terdapat daya hukum dan mekanisme yang efektif dalam menjamin jalannya piagam tersebut. 

Cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu penerapan sanksi dari internal DJP sekaligus pemberian remedy bagi Wajib Pajak yang haknya terlanggar. Pihak eksternal juga dapat membuatkan scoring card (kartu penilaian) terhadap penegakkan piagam tersebut. 

Hal ini penting guna menghadirkan kelebihan-kelebihan piagam tersebut secara nyata ditengah-tengah masyakarat yang kemudian mendorong tercapainya tujuan dari deklarasi itu sendiri. Dengan demikian, piagam tersebut tidak menjadi janji melainkan jaminan penegakkan hak-hak Wajib Pajak.

Penulis adalah Anggota Departemen FGD IKPI 

Anggi Moses Tambunan, S.Sos., M.H., LLM. Int. Tax, BKP., ADIT, 

Email: anggi@abidetaxconsulting.com

Disclaimer: Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

Aktivasi Akun Coretax: Kunci Transformasi Pajak Digital Indonesia

(Foto: DOK. Pribadi)

Transformasi digital di sektor perpajakan Indonesia mengalami lompatan besar sejak 1 Januari 2025 dengan diberlakukannya Coretax, sistem inti administrasi perpajakan terbaru yang mengintegrasikan seluruh proses administrasi mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan dalam satu platform terpadu. Kebijakan strategis ini menandai berakhirnya ketergantungan pada sistem lama yang selama ini bersifat parsial dan terpisah, seperti DJP Online, e-Faktur, dan e-Billing. Coretax dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan perpajakan melalui pemanfaatan teknologi terkini serta algoritma otomatisasi yang lebih canggih (DJP, 2025).

Namun, di balik revolusi ini, terdapat satu langkah yang kerap terlupakan oleh sebagian wajib pajak, padahal memiliki arti krusial dalam memastikan kelancaran proses administrasi: aktivasi akun Coretax. Aktivasi akun bukan sekadar prosedur teknis atau kewajiban administratif semata, melainkan fondasi utama yang menentukan akses wajib pajak terhadap seluruh fitur layanan baru seperti pelaporan SPT Masa dan Tahunan, pembuatan bukti potong PPh 21/26, permohonan restitusi, dan pembetulan data profil perpajakan (PMK No. 81 Tahun 2024). Tanpa aktivasi, wajib pajak dapat kehilangan akses penting yang berpotensi mengganggu kepatuhan dan menimbulkan risiko sanksi administrasi.

Salah satu keunggulan utama Coretax adalah pendekatan berbasis profil dan aktivitas bisnis, yang memungkinkan integrasi data secara menyeluruh dan rekonsiliasi yang lebih efektif antara data historis dan transaksi terkini. Dengan kata lain, aktivasi akun menjadi proses awal yang menghubungkan data lama dari berbagai sistem perpajakan terdahulu ke dalam satu basis data terpadu, mencegah terjadinya inkonsistensi data dan kesalahan identitas yang selama ini menjadi kendala administrasi (DJP, 2025).

Selain itu, Coretax memberikan manfaat signifikan berupa pencatatan dan pemantauan pelaporan secara real time, notifikasi otomatis untuk setiap aktivitas perpajakan, serta percepatan proses restitusi tanpa perlu wajib pajak melakukan kunjungan langsung ke kantor pajak. Bagi konsultan pajak, sistem ini memudahkan dalam memberikan advis yang akurat dan cepat berdasarkan data yang terintegrasi dan valid (DJP, 2025).

Kendati demikian, proses transformasi ini juga menghadirkan tantangan, mulai dari hambatan teknis saat aktivasi akun hingga kesiapan sumber daya manusia di tingkat perusahaan dan kantor konsultan pajak. Masih terdapat wajib pajak dan staf keuangan yang belum familiar dengan fitur baru dan prosedur verifikasi digital. Oleh karena itu, dukungan konsultan pajak menjadi sangat penting sebagai penghubung antara wajib pajak dan sistem Coretax, membantu aktivasi, memeriksa ulang data, dan memastikan integrasi internal berjalan lancar (DJP, 2025).

Transformasi digital administrasi pajak bukan fenomena lokal semata. Negara-negara maju seperti Australia, Singapura, dan Korea Selatan telah lebih dulu mengadopsi sistem serupa dan menunjukkan peningkatan kepatuhan pajak hingga 40%, serta penurunan kesalahan pelaporan secara drastis. Indonesia dengan Coretax berada di jalur yang sama, memperkuat tata kelola fiskal nasional dengan cara yang lebih efisien, transparan, dan responsif terhadap dinamika ekonomi digital global (Bank Dunia dan DJP, 2025).

Sebagai penutup, aktivasi akun Coretax bukan hanya kewajiban administratif, melainkan langkah strategis utama guna menghadapi era baru perpajakan nasional yang serba digital. Wajib pajak yang segera beradaptasi dan mengaktifkan akunnya akan menikmati kemudahan, efisiensi, dan kepastian administrasi yang jauh lebih baik. Sebaliknya, yang menunda akan menghadapi risiko teknis, potensi sanksi, dan tantangan kepatuhan yang semakin kompleks. Reformasi pajak digital melalui Coretax adalah keniscayaan; kesiapan setiap individu dan lembaga menentukan keberhasilannya.

Referensi:

• Direktorat Jenderal Pajak. “Dari Layar Lebar Menuju Era Perpajakan Digital.” 2025.  

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).  

• Panduan Aktivasi Akun Coretax DJP, 2025.  

• Digitalisasi Pajak di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Pajakku, 2025.  

• Bank Dunia dan DJP, Proyeksi Efisiensi Penerimaan Pajak dengan Coretax, 2025.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Mendorong Kepatuhan Pajak UMKM di Era Digital  

Di Indonesia, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering disebut sebagai “urat nadi” perekonomian. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%, dengan jumlah unit usaha lebih dari 65 juta. Tidak hanya itu, UMKM juga menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Artinya, keberadaan UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, dalam konteks perpajakan, UMKM masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Meski jumlahnya masif, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak belum sebanding dengan perannya dalam perekonomian. Di sinilah tantangan sekaligus peluang hadir: bagaimana mendorong kepatuhan pajak UMKM di tengah arus digitalisasi yang kian masif.

Banyak pelaku UMKM yang belum memahami kewajiban perpajakan secara utuh. Pajak sering dipersepsikan sebagai beban tambahan, bukan kewajiban hukum yang sekaligus berfungsi sosial. Sejak terbitnya PP 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Final untuk UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet, pemerintah sebenarnya sudah berupaya menyederhanakan mekanisme pemajakan.

Namun, peraturan ini juga membatasi jangka waktu penggunaan tarif final (3 tahun untuk badan berbentuk PT, 4 tahun untuk CV/Firma, dan 7 tahun untuk orang pribadi). Setelah jangka waktu berakhir, UMKM wajib beralih ke sistem pembukuan dengan tarif normal. Transisi inilah yang sering membuat UMKM “tergelincir” dalam kepatuhan.

Meski Ditjen Pajak (DJP) sudah meluncurkan berbagai inovasi seperti e-Billing, e-Filing, dan e-Form, tidak semua pelaku UMKM melek digital. Bagi sebagian pengusaha kecil, mengisi laporan SPT secara daring bisa jadi lebih menakutkan dibanding mengurus operasional bisnis sehari-hari.

Dan sebagian pelaku UMKM merasa pajak yang mereka bayarkan tidak memberikan manfaat langsung. Padahal, infrastruktur jalan, subsidi energi, hingga program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi, sebagian besar dibiayai dari pajak. Kurangnya narasi publik membuat hubungan antara pajak dan UMKM terasa renggang.

Transformasi digital di bidang perpajakan sebenarnya membuka ruang baru. Layanan Coretax Administration System, yang kini sedang diimplementasikan secara bertahap oleh DJP, diharapkan mampu menyederhanakan administrasi perpajakan, meningkatkan integrasi data, serta mempermudah wajib pajak termasuk UMKM.

Selain itu, kehadiran aplikasi pembukuan sederhana berbasis mobile (misalnya SiApik dari OJK atau software akuntansi lokal) memberi kemudahan bagi UMKM untuk mencatat transaksi. Jika pencatatan rapi, maka pelaporan pajak otomatis lebih mudah.

Di sisi lain, digitalisasi juga melahirkan ekosistem baru. UMKM yang berjualan melalui marketplace, e-commerce, atau menggunakan layanan payment gateway, secara tidak langsung mulai “tercatat” dalam sistem formal. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang Pajak atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) misalnya, mempertegas posisi pajak dalam ekonomi digital. Bagi UMKM, kondisi ini bisa dilihat sebagai peluang. Digitalisasi memaksa usaha kecil untuk lebih tertib administrasi, dan pada saat yang sama membuka pintu bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan yang lebih tepat sasaran.

Strategi Mendorong Kepatuhan

1.       Edukasi yang Membumi

Materi sosialisasi pajak sering kali masih terlalu teknis. Padahal, pelaku UMKM butuh penjelasan sederhana dan langsung pada inti. Misalnya: “Omzet Rp10 juta sebulan, maka pajak finalnya Rp50 ribu.” Narasi praktis seperti ini lebih mudah dipahami dibanding paparan panjang yang penuh pasal.

2.       Pendampingan dan Kolaborasi

DJP tidak bisa berjalan sendiri. Peran konsultan pajak, asosiasi profesi, hingga komunitas UMKM sangat penting untuk menjadi jembatan komunikasi. Pendampingan dari hulu ke hilir—dari pencatatan sederhana hingga penyusunan SPT—akan membuat UMKM merasa didukung, bukan sekadar ditagih kewajiban.

3.       Insentif Pajak yang Tepat

Insentif seperti pengurangan tarif, pembebasan sementara, atau kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM patuh bisa menjadi “wortel” yang efektif. Contoh nyata adalah insentif PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku di masa pandemi melalui PMK 44/PMK.03/2020. Program ini terbukti membantu cashflow UMKM sekaligus mendorong kepatuhan pelaporan.

4.       Teknologi yang Ramah UMKM

Tidak semua UMKM membutuhkan aplikasi canggih. Aplikasi ringan, gratis, dan bisa diakses lewat ponsel jauh lebih ramah. DJP bisa menggandeng startup lokal untuk menciptakan solusi sederhana yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha kecil.

5.       Membangun Kepercayaan

Kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan sanksi. Ia tumbuh dari rasa percaya. Transparansi penggunaan pajak, publikasi proyek pembangunan yang didanai pajak, hingga program afirmasi khusus UMKM bisa menjadi cara efektif menumbuhkan kepercayaan.

Ke depan, kepatuhan pajak UMKM akan sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu kemudahan sistem dan kepercayaan publik. Sistem yang sederhana dan digital-friendly akan menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost). Sementara, kepercayaan yang kuat akan mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Jika dua hal ini berjalan beriringan, kita bisa membayangkan dampak besarnya.

Dari 65 juta UMKM, katakanlah 50% rutin melaporkan dan membayar pajak dengan omzet rata-rata Rp300 juta setahun. Dengan tarif 0,5%, potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun mencapai Rp97,5 triliun. Angka yang bukan main-main, setara hampir 20% dari target penerimaan PPh Non-Migas di beberapa tahun terakhir.

Mendorong kepatuhan pajak UMKM di era digital bukan sekadar soal menambah penerimaan negara. Ini adalah bagian dari membangun budaya baru, budaya tertib administrasi, gotong royong modern, dan kepercayaan antara negara dan warganya. UMKM tumbuh karena ekosistem yang sehat, di antaranya infrastruktur, akses keuangan, dan kebijakan afirmatif. Semua itu dibiayai oleh pajak. Sebaliknya, negara butuh kontribusi UMKM untuk memperkuat fondasi fiskal. Keduanya saling membutuhkan.

Oleh karena itu, kepatuhan pajak UMKM di era digital harus dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi sosial. Investasi yang akan memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, sekaligus memastikan bahwa pertumbuhan yang kita capai bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Potensi Rp85 Triliun Batubara Menguap

PADA triwulan I tahun 2025 telah terjadi lonjakan restitusi pajak senilai Rp 144,38 triliun, dengan restitusi PPN senilai Rp 113,29 triliun. Dalam pemberitaan media nasional diberitakan ”Restitusi Pajak Batubara Menggunung, DJP Siapkan Solusi Baru”. Lonjakan restitusi terutama dari sektor komoditas. Muncul pertanyaan, mengapa restitusi PPN dari perusahaan tambang batubara meningkat di tahun 2025 dan penerimaan negara menguap? Ekspor batubara Indonesia pada semester I tahun 2025 sebesar 238 juta ton dan total produksi sebanyak 357,6 juta ton.

Dengan demikian persentase ekspor batubara semester I tahun 2025 adalah 66,6%. Tidak ada data resmi besarnya nilai restitusi PPN batubara. Bila sebagian besar restitusi PPN berasal dari perusahaan batubara, maka diperkirakan lebih dari 50% restitusi berasal dari perusahaan batubara. Dengan volume penjualan lokal sebesar 33,4%, maka potensi PPN Masukan batubara adalah mencapai Rp 85 triliun (Restitusi(Rp113.29T * 50%) + PPN Keluaran/PPN dipungut dari penjualan lokal (Rp113.29T * 50% : 66,6% * 33.4%)). Kita tunggu data resmi nilai PPN Masukan dan restitusi PPN batubara.

Pada aturan lama UU PPN sejak pertama kali diberlakukan 1 Juli 1984, barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya diperlakukan sebagai ”bukan objek PPN”. Sesuai aturan lama, maka Rp85 triliun PPN yang dibayar oleh perusahaan tambang kepada supplier atas pembelian barang atau jasa untuk kegiatan tambang tidak dapat direstitusi atau dikreditkan. PPN tersebut menjadi biaya produksi dan mengurangi laba usaha tambang, sehingga penerimaan negara langsung bertambah Rp 85 triliun.

Dengan aturan baru sejak 1 April 2022, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), hasil tambang tersebut diubah menjadi ”objek PPN”. Perubahan ini berdampak Rp85 triliun PPN Masukan pada perusahaan tambang menjadi ”dapat dikreditkan”. Karena penjualan lokal batubara hanya 33,4%, maka tentu PPN Masukan lebih besar dibandingkan dengan PPN Keluaran sehingga perusahaan tambang berhak untuk restitusi PPN.

Berikut ilustrasi PPN Masukan Tidak Dapat Dikreditkan Versus PPN Masukan Dapat Dikreditkan dan dampak penerimaan negara:

Ilustrasi menunjukkan, total penerimaan negara turun Rp 85 triliun. PPN Keluaran penjualan lokal batubara lebih kecil dari jumlah PPN Masukan batubara karena ekspor batubara dikenai PPN dengan tarif 0%. Fenomena ini yang menjelaskan penyebab maraknya restitusi PPN batubara dan menguapnya potensi penerimaan negara dari PPN.

Perspektif keadilan menurut penulis, filosofi aturan lama bahwa ”hasil tambang yang diambil dari sumbernya” ”bukan objek PPN” adalah karena hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya masih mempunyai nilai ekonomis sesuai kondisi awal dan belum diproses lebih lanjut menjadi produk yang baru/mempunyai pertambahan nilai yang lebih tinggi.

Keadilan yang ingin dicapai dalam aturan baru/UU HPP tidak sepenuhnya tepat, karena harus melihat juga sisi keadilan yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mengatur ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tentu lebih adil bila ”PPN Masukan” perusahaan tambang ”tidak dapat dikreditkan” seperti aturan lama sebelum UU HPP. Hal ini tidak melanggar filosofi pengenaan PPN.

Disamping itu perusahaan tambang telah memperoleh fasilitas negara untuk mengambil hasil tambang tanpa adanya beban biaya bahan baku. Maka sudah sepatutnya tambang harus memberikan keadilan yang berpihak pada optimalisasi penerimaan negara.

Kesimpulan dan Saran

Guna mencegah terulang menguapnya PPN batubara dan hasil tambang lainnya dengan potensi Rp 85 triliun, dipandang perlu untuk kembali ke aturan lama, yaitu hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya diperlakukan sebagai ”bukan objek PPN”. Hal ini agar penerimaan negara dari PPN akan bertambah sebesar ”PPN Masukan tidak dapat dikreditkan” yang dibayar perusahaan tambang.

Namun demi keadilan dan kepastian hukum, usulan ini juga perlu diimbangi jaminan konsistensi dari otoritas pajak dalam menafsirkan hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya sebagai ”bukan objek PPN”. Bila terjadi multitafsir dari pemeriksa sebagaimana yang pernah terjadi dan menjadi sengketa pajak, akan menjadi alasan bagi perusahaan batubara mengajukan hasil tambang kembali sebagai ”objek PPN”, yang sesuai mekanisme pengkreditan PPN justru berimplikasi menguapnya Penerimaan PPN.

Kebijakan ini bukan hanya soal teknis fiskal melainkan sebagai wujud komitmen konstitusional untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam benar-benar digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.

Penulis adalah Anggota IKPI, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, Advokat, dan Lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Arifin Halim

Email: ar.halim58@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Rabu, 24 September 2025 – 19:40 WIB dengan judul “Potensi Rp85 Triliun PPN Batubara Menguap”. Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/1624479/18/potensi-rp85-triliun-ppn-batubara-menguap-1758715792

Kenaikan PBB P-2 : Tantangan Penerimaan Pajak Bagi Daerah

Beberapa waktu yang lalu terjadi kericuhan dalam aksi yang menuntut bupati Pati mundur dari jabatannya yang menyebabkan polisi dan warga terluka.Selain itu kantor bupati dan Gedung DPRD Pati juga menga;ami kerusakan. Penyebab terjadinya kericuhan adalah Keputusan bupati Pati untuk menaikkan  PBB P-2 menjadi 250%.Ternyata daerah lain seperti Jombang,Banyuwangi ,dan Cirebon juga menaikkan PBB P-2 dengan rata-rata kenaikan di atas 100%. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kewenangan propinsi,kabupaten,dan kota untuk menentukan  PBB P-2 ?

Daerah Tidak  Mandiri Sepenuhnya Dalam Menentukan PBB P-2

Kewenangan daerah di dalam menentukan PBB P-2 telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah (HKPD).Namun kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berada di daerah . Hal tersebut tercermin di dalam beberapa pasal di dalam  aturan UU HKPD yaitu:

  1. Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi ,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan paling lama tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.Untuk Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah di tingkat kabupaten/kota yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dengan DPRD kabupaten/kota,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur,Memteri dalam negeri ,dan Menteri keuangan paling lama 3 hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
  2. Untuk rancangan Perda tingkat provinsi,Menteri dalam negeri akan menguji kesesuaian rancangan perda dengan ketentuan di dalam UU HKPD ,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional.Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan Menteri dalam negeri dengan Menteri keuangan  disampaikan Menteri dalam negeri kepada gubernur paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan peraturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan . Sedangkan untuk rancangan Perda di tingkat kabupaten/kota ,gubernur akan menguji kesesuaian rancangan perda tersebut dengan ketentuan di dalam UU HKPD,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan juga melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan gubernur dengan Menteri keuangan disampaikan kepada bupati/walikota paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan perturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan
  3. Atas rancangan Perda yang telah mendapatkan persetujuan dan telah ditetapkan gubernur/bupati/walikota menjadi Perda harus disampaikan kembali kepada Menteri dalam negeri dan Menteri keuangan paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan untuk dievaluasi.

Cara Mengamankan Pendapatan Dari Pajak Daerah

Dari uraian di atas ,dapat diketahui betapa terbatasnya kewenangan daerah dalam menentukan pajak daerahnya karena masih ada intervensi dari pemerintah pusat.Namun di sisi yang lain,pemerintah pusat ingin memastikan kebijakan fiskal di daerah tidak bertentangan dengan kebijakan fiskal nasional.Hal ini bisa saja berdampak pada pencapaian penerimaan pajak daerah yang tidak optimal.

Ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan daerah untuk mengamankan pendapatan daerahnya. Pertama, daerah dapat mengadakan dan memperluas jenis insentif pajak PBB P-2 yang meliputi pembebasan pokok sampai dengan jumlah tertentu.pengurangan pokok,keringanan pokok,,dan pembebasan sanksi administratif.Tujuannya agar beban pajak yang ditanggung masyarakat lebih adil ,proporsional,dan meningkatkan kepatuhan untuk membayar PBB P-2.

Kedua, pemerintah harus lebih mengawasi secara ketat mengenai  peraturan daerah di bawahnya.Untuk tingkat pusat dan provinsi,  pengawasan berjalan relatif baik.Namun untuk tingkat  kabupaten/kota ,pengawasan oleh  provinsi tidak berjalan optimal. Kasus kejadian di Pati merefleksikan hal tersebut.Provinsi perlu menyusun acuan indeks penetapan PBB P-2 yang berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat di kabupaten/kota. indeks tersebut akan menjadi acuan bagi kabupaten/kota untuk menetapkan PBB P-2 dan penetapan PBB P-2  tidak boleh melewati indeks tersebut.

Ketiga, pemerintah daerah dengan anggaran pendapatan daerah yang terbatas,dapat menyatukan program anggaran daerahnya dengan program anggaran daerah yang ditentukan pusat.Hal tersebut bisa dilakukan dengan menyinkronkan program pembangunan prioritas di daerah yang dibiayai pendapatan asli daerah,dana alokasi umum “earmarked”,dan dana alokasi umum “blockgrant”.Walaupun ada pemotongan transfer ke daerah oleh pusat,namun dengan kebijakan tersebut diharapakan tidak akan mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Keempat, daerah harus menekan kebocoran anggarannya dan melakukan penghematan.Berdasarkan “executive summary” dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tentang pemaparan efisiensi APBD berdasarkan Inpres 1/2025,diketahui mayoritas dana alokasi umum”blockgrant” digunakan untuk membiayai gaji ASN di daerahnya.Sudah saatnya daerah memikirkan agar menerapkan tunjangan gaji ASN berdasarkan kinerja pelayanan birokrasi ke masyarakat umum. Semoga dangan keempat cara tersebut , akselerasi pertumbuhan ,dan penguatan kesejahteraan rakyat di daerah bisa cepat terwujud untuk mendukung Visi Indonesia Emas 2045.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Cunyah Tantan

Email:cunyah_tantan@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pajak Waris: Antara Kebijakan Fiskal dan Beban Psiko-Sosial

Ketika orang tua meninggal dunia, keluarga biasanya larut dalam duka. Namun, tak lama setelah itu, muncul urusan administratif yang tak kalah menyita emosi: balik nama harta warisan. Di titik inilah banyak orang kaget, karena ternyata ada pajak yang harus dibayar. Namanya pajak waris.

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar janggal. “Harta itu kan milik keluarga, kenapa negara ikut campur?” Pertanyaan tersebut wajar, sekaligus membuka ruang diskusi penting: adilkah pajak waris di Indonesia?

Logika Fiskal Pajak Waris

Pemerintah beralasan bahwa pajak waris diberlakukan untuk menjamin keadilan fiskal. Warisan termasuk objek final wealth gain menurut teori akrual pajak (Hidayat, 2018: 517), meskipun secara legal bukan penghasilan. Logikanya sederhana: seseorang yang tiba-tiba menerima rumah, tanah, atau deposito bernilai miliaran rupiah otomatis mengalami peningkatan aset, dan peningkatan inilah yang dianggap pantas dikenai kewajiban pajak.

Di Indonesia, ada tiga aturan utama yang terkait dengan pajak waris. Pertama, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang memang mengecualikan warisan dari objek PPh, tetapi tetap memberi konsekuensi pajak jika harta warisan itu menghasilkan penghasilan baru. Kedua, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melekat pada tanah dan bangunan. Ketiga, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam UU No. 28/2009 jo. UU No. 1/2022, yang biasanya paling dirasakan masyarakat ketika mengurus balik nama warisan.Dengan kerangka ini, negara menempatkan warisan bukan semata “harta keluarga”, melainkan juga objek fiskal.

Studi Kasus: Rumah Warisan Bernilai Rp1,5 Miliar

Ambil contoh sederhana: seorang ayah meninggal dunia dan mewariskan rumah senilai Rp1,5 miliar di Jakarta kepada anaknya. Saat sang anak mengurus balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ia harus menyiapkan pembayaran BPHTB.

Ketentuannya:

• NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, batas bebas pajak waris) warisan di Jakarta: Rp300 juta.

• Formula BPHTB: 5% × (NPOP – NPOPTKP).

• NPOP = Rp1,5 miliar.

• Dasar pengenaan = Rp1,5 miliar – Rp300 juta = Rp1,2 miliar.

• BPHTB terutang = 5% × Rp1,2 miliar = Rp60 juta.

Artinya, ahli waris harus membayar Rp60 juta hanya untuk balik nama. Jumlah ini belum termasuk biaya notaris, administrasi, dan PBB tahunan. Bagi kalangan berpenghasilan tinggi, biaya ini dapat diatasi dengan relatif mudah. Namun bagi keluarga kelas menengah, yang menurut data BPS (2023) menyisihkan rata-rata 8,3% pendapatan untuk tabungan, Rp60 juta setara dengan akumulasi simpanan 4-5 tahun.

Beban ini menciptakan apa yang dalam studi Kirchler (2007) disebut sebagai fiscal grief syndrome, di mana tekanan administratif dan finansial memperparah trauma psikologis pasca-berduka. Survei Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2022) terhadap 200 responden menunjukkan 68% ahli waris mengalami peningkatan stres akibat proses perpajakan. Situasi inilah yang menciptakan apa yang disebut “double burden of grief”: duka emosional karena kehilangan orang tua ditambah beban finansial karena kewajiban pajak.

Antara Keadilan dan Ketidakadilan

Dari perspektif teori pajak, prinsip ideal seperti ability to pay (Musgrave, 1959) dan benefit principle (Bird & Zolt, 2015) kerap tak terpenuhi. Data OECD (2021) menunjukkan hanya 42% wajib pajak beraset tinggi di Indonesia yang patuh pada kewajiban waris—angka terendah di ASEAN. Ironisnya, keluarga kelas menengah pemilik rumah Rp1,5 miliar justru terbebani BPHTB Rp60 juta, setara dengan 5 tahun akumulasi tabungan (BPS, 2023). Inilah wajah ketidakadilan sistemik: kebijakan yang seharusnya redistributif, malah menjadi fiscal grief syndrome (Kirchler, 2007).

Sayangnya, pajak waris di Indonesia sering kali justru membebani kelompok yang secara finansial rapuh.

Ketimpangan perlakuan juga terasa nyata: kalangan konglomerat punya akses ke konsultan pajak, notaris, dan instrumen perencanaan warisan (estate planning) seperti family trust atau offshore foundation (Shaviro, 2003).

Penelitian Hidayat (2018) menunjukkan bahwa 73% wajib pajak dengan harta >Rp50 miliar menggunakan family trust, sementara hanya 2% pemilik aset <Rp5 miliar yang memahami opsi ini. Mereka dapat memanfaatkan instrumen perencanaan warisan (seperti trust atau yayasan) untuk mengurangi liabilitas pajak secara legal, sementara masyarakat umum kesulitan mengakses skema serupa.

Data OECD (2021) mengonfirmasi ketimpangan ini: rasio kepatuhan pajak waris kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia hanya 42%, jauh di bawah rata-rata global (67%) akibat kompleksitas penghindaran pajak.

Sebaliknya, rakyat biasa yang hanya mewarisi rumah sederhana tak punya pilihan selain membayar sesuai aturan. Akibatnya, pajak waris lebih terasa sebagai pungutan yang tidak adil ketimbang instrumen distribusi kekayaan.

Penelitian psikologi pajak menunjukkan bahwa pajak yang dirasa tidak adil menurunkan kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan (Kirchler, 2007; Alm, 2019). Jika hal ini terus dibiarkan, legitimasi sosial pajak waris akan melemah.

Ketidakadilan persepsi pajak berkorelasi negatif dengan voluntary compliance (r = -0.78, p<0.01) berdasarkan meta-analisis 127 studi (Alm, 2019: 362), dan berdampak lebih buruk di masyarakat berpendapatan menengah (Kirchler, 2007: 89).

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara telah lama menggunakan pajak waris sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan estate tax dengan tarif hingga 40% untuk harta warisan bernilai besar. Jepang bahkan lebih ekstrem, dengan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Namun, kedua negara tersebut juga memberikan ambang batas bebas pajak yang tinggi sehingga keluarga kelas menengah tidak terbebani (OECD, 2021).

Praktik ini menunjukkan bahwa pajak waris bisa diterima publik jika dirancang dengan prinsip progresivitas: semakin besar nilai warisan, semakin tinggi beban pajaknya. Sebaliknya, warisan kecil untuk keluarga biasa mendapat keringanan.

Rekomendasi Reformasi

Agar pajak waris benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan fiskal, beberapa langkah reformasi perlu dipertimbangkan:

• Menyesuaikan NPOPTKP dengan indeks inflasi properti (misal: mengacu data kuartalan Bank Indonesia) dan menetapkan ambang batas berbeda per daerah (DKI Jakarta: min. Rp1,5 miliar, Jawa Timur: Rp800 juta, dst).

• Membedakan warisan produktif dan konsumtif. Usaha kecil keluarga seharusnya mendapat perlakuan lebih ringan agar dapat terus beroperasi tanpa terganggu masalah pajak.

• Mengadopsi skema progresif mirip PPh, contoh:

Warisan ≤ Rp2 M: 0%

Rp2–10 M: 2,5%

Rp10 M: 5–7%

4.     Menyediakan skema cicilan atau penangguhan pembayaran BPHTB. Dengan demikian, keluarga tidak harus menanggung beban pajak sekaligus.

• Meningkatkan literasi pajak waris. Pemerintah perlu menjelaskan sejak dini bahwa pewarisan membawa konsekuensi fiskal, sehingga masyarakat dapat merencanakan keuangan lebih baik.

Penutup

Pajak waris sejatinya adalah upaya negara untuk mengatur distribusi kekayaan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering dipersepsikan publik sebagai “pajak di atas kesedihan”. Selama beban lebih banyak ditanggung rakyat kecil ketimbang konglomerat, rasa ketidakadilan akan terus mengemuka.

Jika pemerintah ingin pajak diterima dengan lapang dada, reformasi aturan pajak waris tidak bisa ditunda. Tanpa reformasi mendasar, pajak waris akan tetap menjadi paradoks: kebijakan yang dimaksudkan untuk keadilan, justru melanggengkan ketimpangan. Saatnya menjadikannya instrumen redistribusi yang nyata bukan sekadar ‘pajak air mata’ bagi yang berduka.

Dengan begitu, ia bukan hanya menjadi sumber kas negara, tetapi juga instrumen keadilan sosial yang menjaga kepercayaan rakyat pada sistem perpajakan.

 

Referensi

1.      Alm, J. (2019). What motivates tax compliance? Journal of Economic Surveys, 33(2), 353–388. https://doi:10.1111/joes.12272

2.      Asian Development Bank (ADB). (2022). Inheritance tax reform in Southeast Asia: Lessons from Japan and Singapore. https://doi.org/10.22617/TCS220135-2

3.      Bad an Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (BKF Kemenkeu). (2022). Evaluasi efektivitas BPHTB waris di 5 kota metropolitan [Laporan internal].

4.      Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2015). Taxation and inequality in the global South. World Development, 67, 420–433. https://doi:10.1016/j.worlddev.2014.10.015

5.      Gustafsson, M. (2021). Inheritance taxation and psychological distress: Evidence from Sweden. Journal of Economic Psychology, 85, 102398. https://doi:10.1016/j.joep.2021.102398

6.      Hidayat, A. (2018). Pajak waris dan implikasinya dalam hukum pajak Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 512–530. https://doi:10.21143/jhp.vol48.no3.1802

7.      James, K. (2019). Tax avoidance and capital flight in developing economies. Journal of Public Economics, 178, 104–120. https://doi:10.1016/j.jpubeco.2019.104120

8.      Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.

9.      Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.

10.  Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2021). Inheritance taxation in OECD countries. OECD Publishing. https://doi:10.1787/e2879a7d-en

11.  Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. W. W. Norton & Company.

12.  Tim Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2023). Dampak kewajiban perpajakan pada stres finansial ahli waris di DKI Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial, 21(1), 45–62.

13.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

 

SP2DK dan Benchmarking, Antara Alat Bantu dan Beban Psikologis Wajib Pajak

Menjelang akhir tahun, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lazim mengeluarkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Langkah ini wajar, sebab target penerimaan negara kerap belum tercapai. Melalui SP2DK, fiskus berupaya menggali potensi penerimaan dengan berbagai analisis. Salah satu yang paling sering dipakai adalah benchmarking, metode yang membandingkan rasio laporan keuangan wajib pajak dengan standar industri.

Dasar hukum benchmarking tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Dalam aturan itu, fiskus menggunakan sejumlah rasio untuk menilai kewajaran kinerja keuangan. Beberapa di antaranya adalah Gross Profit Margin (laba kotor terhadap penjualan), Operating Profit Margin (laba operasi terhadap penjualan), Pretax Profit Margin (laba sebelum pajak terhadap penjualan), Corporate Tax to Turnover Ratio (pajak terutang terhadap penjualan), Net Profit Margin (laba bersih setelah pajak terhadap penjualan), hingga Dividend Payout Ratio (dividen terhadap laba bersih).

Tak berhenti di situ, fiskus juga melihat rasio PPN Masukan yang dikreditkan dalam satu tahun, rasio biaya gaji terhadap penjualan, biaya bunga, biaya sewa, biaya penyusutan, hingga rasio input lain yang digunakan perusahaan. Bahkan, penghasilan luar usaha dan biaya luar usaha terhadap penjualan pun ikut masuk dalam daftar analisis. Seluruh indikator ini dipakai untuk mengukur apakah laporan wajib pajak sudah masuk akal atau justru menyimpan potensi kurang bayar.

Dalam praktiknya, jika rasio laporan lebih rendah dari standar benchmarking, fiskus sering menafsirkan ada kewajiban perpajakan yang belum sepenuhnya dipenuhi. Akibatnya, analisis SP2DK kerap menunjukkan potensi pajak kurang bayar dalam jumlah besar. Padahal, benchmarking sejatinya hanyalah alat bantu (supporting tools) dan tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak.

Penting dicatat, wajib pajak dengan rasio lebih rendah dari benchmark belum tentu tidak patuh. Banyak faktor bisnis bisa memengaruhi kinerja, mulai dari naik-turunnya harga bahan baku, strategi usaha, hingga kondisi pasar. Jika setiap selisih angka langsung dianggap sebagai indikasi pelanggaran, risiko salah tafsir dan ketidakadilan dalam perlakuan pajak akan semakin besar.

Masalah lain adalah dampak psikologisnya. Fokus wajib pajak bisa bergeser, bukan lagi pada pelaporan SPT yang benar, lengkap, dan jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KUP, melainkan hanya agar laporan terlihat sesuai rasio benchmarking. Kepatuhan akhirnya menjadi formalitas angka semata. Di sinilah letak potensi kontradiksi antara SE-96/2009 dan amanat UU KUP.

Untuk menghadapinya, wajib pajak sebaiknya tetap memegang prinsip pelaporan yang benar. Jika menerima SP2DK, susun tanggapan resmi secara profesional, lengkap dengan dokumen pendukung, serta jelaskan setiap perbedaan data secara logis. Selama proses ini, dokumentasi komunikasi dengan fiskus perlu disimpan rapi, karena bisa menjadi pegangan bila proses berlanjut ke pemeriksaan. Bila kesepakatan tak tercapai, wajib pajak harus siap menghadapi pemeriksaan dengan bukti dan administrasi yang solid. Pada akhirnya, benchmarking seharusnya ditempatkan sebagai kompas yang membantu fiskus mendeteksi ketidakwajaran, bukan palang pintu yang membebani wajib pajak.

Jika tujuan besar perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan sukarela, keseimbangan antara pembinaan dan pengawasan harus dijaga. Jangan sampai SP2DK yang semestinya menjadi sarana pembinaan justru berubah menjadi momok yang merusak semangat kepatuhan.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pajak dan Kepercayaan: Dua Pilar Utama Penguatan Ekonomi

Pajak merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran pajak dalam menopang APBN. Dari pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan, layanan kesehatan, hingga program bantuan sosial, semua bergantung pada pajak.

Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kesenjangan. Tax ratio Indonesia masih berada di kisaran 10–11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Artinya, potensi pajak yang bisa digali sebenarnya jauh lebih besar daripada capaian saat ini.

Kepatuhan dan kepercayaan adalah dua faktor yang tidak bisa dipisahkan. Kepatuhan muncul ketika wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai aturan, sementara kepercayaan tumbuh jika pemerintah mampu mengelola pajak secara adil, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Tanpa kepercayaan, kepatuhan cenderung bersifat semu; dan tanpa kepatuhan, penerimaan pajak tidak akan optimal.

Keberhasilan negara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak tidak hanya bergantung pada regulasi yang ketat. Dunia usaha menuntut sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan memberikan kepastian agar kewajiban pajak dapat dijalankan tanpa menimbulkan beban administratif yang berlebihan. Kepercayaan menjadi kunci, ketika pemerintah mampu menunjukkan pengelolaan pajak yang adil dan akuntabel, kepatuhan akan tumbuh secara sukarela (voluntary compliance). Pada titik inilah penerimaan negara bisa meningkat sekaligus menjaga iklim bisnis tetap sehat dan berdaya saing. Sebaliknya, jika kepercayaan rendah, maka kepatuhan seringkali bersifat terpaksa, bahkan membuka ruang bagi praktik penghindaran pajak.

Namun, kenyataannya masih banyak hambatan dalam menciptakan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Kompleksitas regulasi, rendahnya literasi pajak, hingga celah penghindaran pajak di level global menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha. Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital yang melesat jauh lebih cepat daripada regulasi juga memunculkan ruang abu-abu (grey area) dalam pemajakan. Situasi ini menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan pajak tidak cukup hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga menuntut strategi membangun kepercayaan publik secara konsisten.

Bagaimana Wajah Tantangan Perpajakan di Era Bisnis Modern?

Di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompetitif, sistem perpajakan menghadapi tantangan besar. Bisnis modern bergerak cepat, ditopang teknologi digital, aliran modal lintas negara, serta model usaha yang terus berevolusi. Dalam konteks ini, pajak bukan hanya instrumen penerimaan negara, tetapi juga alat menjaga keadilan dan keberlanjutan pembangunan.

Namun, kompleksitas bisnis modern sering kali membuat pajak berada dalam posisi dilematis. Otoritas pajak dituntut sigap beradaptasi, sementara wajib pajak dituntut patuh di tengah aturan yang terus berkembang. Lalu, bagaimana tantangan pajak di era bisnis modern itu?

1. Digitalisasi dan Ekonomi Digital

Perdagangan elektronik atau e-commerce tumbuh pesat, melahirkan ekosistem baru dengan jutaan transaksi harian. Dari marketplace hingga layanan digital lintas negara, arus pendapatan semakin sulit dipantau dengan cara lama. Belum lagi munculnya aset digital seperti cryptocurrency dan NFT, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang mekanisme pemajakan.

Tantangannya jelas: bagaimana negara dapat memungut pajak secara adil, tanpa mengekang inovasi digital yang justru menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sistem digital pajak harus sepadan dengan kecepatan dunia usaha, agar celah kepatuhan bisa diminimalisir.

2. Globalisasi dan Profit Shifting

Perusahaan multinasional dengan mudah mengatur struktur bisnis lintas negara untuk meminimalkan pajak. Strategi seperti transfer pricing atau pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi pajak rendah (tax haven) menjadi praktik umum.

OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sudah meluncurkan solusi global, termasuk Global Minimum Tax. Namun, implementasi di negara berkembang seperti Indonesia tidak sederhana. Otoritas pajak harus menjaga kedaulatan fiskal sambil tetap menarik investasi asing.

3. Kepatuhan Wajib Pajak

Rendahnya kepatuhan sukarela masih menjadi tantangan klasik. Banyak wajib pajak, terutama UMKM, kesulitan memahami kewajiban perpajakan akibat keterbatasan literasi dan administrasi keuangan.

Di sisi lain, persepsi negatif bahwa pajak adalah beban, bukan kontribusi, juga masih kuat. Artinya, selain regulasi, yang dibutuhkan adalah strategi membangun trust. Transparansi penggunaan pajak untuk pembangunan, serta edukasi publik yang berkelanjutan, menjadi kunci meningkatkan kepatuhan.

4. Kompleksitas Regulasi Pajak

Peraturan perpajakan kerap berubah mengikuti dinamika ekonomi. Namun, perubahan yang terlalu cepat justru memunculkan kebingungan. Bagi pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah, kompleksitas ini bisa menghambat kepatuhan.

Simplifikasi aturan tanpa mengorbankan kepastian hukum menjadi tantangan. Negara-negara modern sudah mulai mengarah ke regulasi berbasis prinsip (principle-based regulation), bukan hanya aturan detail. Indonesia perlu mengambil langkah serupa agar sistem pajak lebih adaptif.

5. Integrasi Data dan Teknologi

Sistem pajak di era modern ditopang oleh big data, artificial intelligence, hingga integrasi lintas lembaga (perbankan, bea cukai, OJK). Potensi ini besar untuk mendeteksi kepatuhan secara otomatis.

Namun, muncul tantangan baru yaitu keamanan data dan privasi wajib pajak. Bagaimana menjamin bahwa data sensitif tidak disalahgunakan? Menjaga keseimbangan antara transparansi fiskal dan hak privasi menjadi isu penting yang tidak bisa diabaikan.

6. Persaingan Tarif Pajak Global

Dalam rangka menarik investasi, banyak negara menurunkan tarif pajak. Persaingan ini menimbulkan risiko “perlombaan ke dasar” (race to the bottom) yang bisa merugikan penerimaan negara.

Indonesia juga menghadapi dilemma, yaitu menjaga daya saing investasi dengan tarif kompetitif, sambil mengamankan penerimaan untuk membiayai pembangunan. Jalan tengahnya adalah memperluas basis pajak dan memperkuat administrasi, bukan semata menurunkan tarif.

7. Pajak Karbon dan Ekonomi Hijau

Tuntutan global terhadap keberlanjutan melahirkan kebijakan baru, seperti pajak karbon. Indonesia pun sudah mulai memperkenalkan instrumen ini secara bertahap.

Namun, implementasi pajak karbon menghadapi tantangan serius, yaitu bagaimana memastikan kebijakan ini efektif menekan emisi tanpa membebani UMKM atau sektor industri yang masih rentan? Transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan desain pajak yang hati-hati, agar tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan.

8. Perubahan Model Bisnis dan Konsumsi

Fenomena sharing economy—seperti Gojek, Grab, hingga Airbnb—menciptakan pola usaha baru yang tidak terbayangkan dalam aturan lama. Sering kali, bisnis berbasis platform tidak mudah dikategorikan untuk tujuan perpajakan.

Keterlambatan regulasi justru bisa membuka celah penghindaran pajak. Maka, fleksibilitas regulasi yang mampu menyesuaikan dengan model bisnis baru menjadi sangat penting.

Menghadapi berbagai tantangan ini, satu hal yang perlu diingat adalah pajak tidak bisa hanya dipandang sebagai kewajiban sepihak. Keberhasilan sistem perpajakan modern bergantung pada kolaborasi, antara pemerintah yang transparan dan responsif, serta wajib pajak yang sadar akan kontribusinya.

Kepercayaan adalah kunci fondasi utama. Tanpa trust, kepatuhan hanya sebatas formalitas, dan celah untuk menghindar akan selalu dicari. Dengan trust, pajak akan dilihat sebagai bentuk gotong royong modern—sebuah kontribusi nyata untuk masa depan bersama.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak:

1. Simplifikasi Aturan – Regulasi yang ringkas, jelas, dan konsisten akan mengurangi biaya kepatuhan dan mendorong kepastian hukum.

2. Digitalisasi Pajak – Coretax system, integrasi data, dan layanan online yang ramah pengguna dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menutup celah ketidakpatuhan.

3. Transparansi dan Akuntabilitas – Pemerintah perlu menunjukkan secara nyata bagaimana pajak digunakan, sehingga publik merasa kontribusinya kembali dalam bentuk layanan dan pembangunan.

4. Kolaborasi Internasional – Pemanfaatan Automatic Exchange of Information (AEoI) dan partisipasi dalam inisiatif BEPS akan menekan praktik penghindaran pajak global.

5. Edukasi dan Insentif – Program literasi pajak yang berkelanjutan serta penghargaan bagi wajib pajak patuh akan memperkuat budaya kepatuhan jangka panjang.

Untuk itu, era bisnis modern membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi sistem perpajakan. Digitalisasi, globalisasi, hingga transisi menuju ekonomi hijau, semuanya menuntut adaptasi regulasi dan strategi yang lebih cerdas.

Optimalisasi penerimaan pajak bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi pemerintah, kepercayaan publik adalah modal utama untuk mendorong kepatuhan sukarela. Bagi dunia usaha, kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga investasi reputasi yang akan memperkuat daya saing di mata investor dan masyarakat.

Esensi Pajak dan kepercayaan adalah dua pilar yang saling menguatkan. Dengan sistem yang sederhana, transparan, dan berkeadilan, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh sekaligus meningkatkan partisipasi kolektif dalam membiayai pembangunan.

Kini, Indonesia berada di persimpangan penting, apakah kita mampu menjadikan sistem pajak sebagai pilar ekonomi yang adil, efisien, dan modern, ataukah kita akan tertinggal di tengah arus perubahan global. Jawabannya terletak pada kemampuan kita membangun kepatuhan berbasis kepercayaan dan regulasi yang adaptif.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah Menkeu Purbaya Merupakan Game Changer Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?

Tanggal 8 September 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden Prabawo, walau kita mengetahui bahwa perombakan kabinet merupakan hak prerogative seorang Presiden dan yang dirombak ada 5 menteri, namun yang menjadi perhatian atau kekagetan adalah penunjukkan Menkeu yang baru yaitu Purbaya Yudhi Sadewa yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

Perombakan Kabinet diduga sebagai respon atas situasi beberapa minggu lalu, dimana Indonesia baru saja mengalami demo besar-besaran yang berujung aksi anarkis bukan hanya di Jakarta tetapi di beberapa daerah serta adanya penjarahan terhadap beberapa rumah pejabat, demo tersebut diduga dipicu oleh situasi ekonomi yang berat, inflasi meningkat, daya beli menurun, angka kemiskinan menunjukkan tren mengkhawatirkan, sikap dan gaya hidup wakil rakyat yang kurang simpatik. Kondisi yang tidak baik tersebut juga tercermin dalam penerimaan pajak yang sampai 11 Agustus 2025 yang baru mencapai 996,5 Triliun (45,5% dari target).

Gebrakan Menkeu Yang Baru :

Setelah dilantik Menkeu Purbaya langsung membuat gebrakan dengan rencananya mengucurkan dana simpanan Pemerintah di Bank Indonesia sebesar Rp. 200 triliun yang merupakan sisa anggaran lebih (SAL) untuk disalurkan ke Masyarakat melalui bank Himbara, dengan tujuan agar dana tersebut dapat disalurkan kepada dunia usaha untuk melumasi roda-roda perekonomian.

Setelah itu, Menkeu Purbaya membuat pernyataan yang cukup membuat adem suasana, bahwa Masyarakat tidak perlu kuatir jika Target Penerimaan Pajak 2025 tidak tercapai ! karena Pemerintah masih mempunyai ruang fiskal yang memadai untuk menjaga Pembangunan tetap berjalan. Terus terang pernyataan Menkeu Purbaya memberikan sedikit ketenangan, karena biasanya jika target pajak tidak tercapai, maka dunia usaha kuatir akan terus ditekan untuk dapat memenuhi target tersebut.

Kemudian hari ini tanggal 15 September 2025, Pemerintah melalui Menko Perkonomian Airlangga Hartarto mengumumkan 17 Paket stimulus ekonomi, yang 3 diantaranya merupakan paket kebijakan perpajakan, yaitu : diperpanjangnya PPh Final UMKM sampai dengan tahun 2029; Perpanjangan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor Pariwisata; perluasan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya.

Adapun detail dari 17 paket stimulus ekonomi tersebut yaitu :

8 (delapan) program akselerasi program stimulus ekonomi 2025 :

  1. Program magang lulusan perguruan tinggi (maksimal fresh graduate 1 tahun)
  2. Perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor terkait pariwisata
  3. Bantuan pangan periode Oktober-November 2025
  4. Bantuan Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Bukan Penerima Upah (BPU) transportasi online/ojol (termasuk ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik) selama 6 bulan
  5. Program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan BPJS Ketenagakerjaan
  6. Program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum
  7. Percepatan Deregulasi PP28 (Integrasi Sistem K/L dan RD TR Digital ke OSS)
  8. Program Perkotaan (Pilot Project DKI Jakarta): peningkatan kualitas pemukiman dan penyediaan tempat untuk Gig Economy

4 (empat) program dilanjutkan di program 2026

  1. Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM Tahun 2029 serta Penyesuaian Penerima PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM
  2. Perpanjangan PPh 21 DTP untuk Pekerja di Sektor terkait Pariwisata (APBN 2026)
  3. PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Industri Padat Karya (APBN 2026)
  4. Diskon iuran JKK dan JKM untuk semua penerima Bukan Penerima Upah (BPU)

5 (lima) program penyerapan tenaga kerja

  1. Operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih diharapkan menyerap tenaga kerja di atas 1 juta tenaga kerja pada Desember.
  2. Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan jangka panjang menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  3. Revitalisasi tambak pantura seluas 20.000 hektar diharapkan menyerap 168.000 tenaga kerja.
  4. Modernisasi 1.000 Kapal Nelayan diharapkan menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  5. Perkebunan Rakyat dengan penanaman kembali 870.000 hektar oleh Kementerian Pertanian yang diharapkan membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.

Paradigma Baru: Fokus pada Efektivitas Pengeluaran, Bukan Semata Penerimaan

Di tengah situasi sulit dan kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, Langkah Pemerintah mulai meluncurkan 17 paket stimulus ekonomi dan mendorong belanja Pemerintah lebih cepat maka diharapkan akan mengerakkan roda-roda perekonomian, ibarat sebuah roda yang macet, maka perlu pelumas agar roda tersebut bisa berjalan cepat, dan salah satu pelumas tersebut adalah pengeluaran Pemerintah, hal ini sesuai dengan Teori Keynesian.

Disini kehadiran Menkeu Purbaya seolah sebagai game changer yang mengubah pola permainan ekonomi Indonesia yang selama ini mengalami kelesuan, sebenarnya dalam perekonomian persepsi Masyarakat itu harus diubah menjadi optimis dan jika Menkeu Purbaya mampu mengubah persepsi tersebut, maka tepat jika beliau disebut sebagai game changer.

Selain mempercepat belanja Pemerintah, ada baiknya Pemerintah juga melakukan reorientasi dan refocusing bagaimana belanja Pemerintah menjadi lebih efektif tentunya disesuaikan dengan visi dan misi Presiden Prabowo yaitu Asta Cita 8.

Beberapa ekonom berpendapat, kunci utama pertumbuhan ialah pada penerimaan negara, dan mereka kurang memberikan porsi pada sisi pengeluaran. Padahal pengeluaran pemerintah yang efektif justru akan mendorong pertumbuhan, dan dengan pertumbuhan yang baik akan meningkatkan penerimaan pajak. Jadi sekarang harus dilakukan refocusing cara pandangnya.

Selama ini diskursus fiskal di Indonesia terlalu terfokus pada aspek penerimaan pajak. Pemerintah didorong untuk memperluas basis pajak, mengejar kepatuhan, bahkan memperkenalkan skema pajak baru seperti pajak karbon atau pajak kekayaan. Dorongan tersebut bukan hanya di tingkat Pusat, namun sampai ke Daerah, beberapa daerah menaikkan besarnya PBB P2 hingga ratusan dan ribuan % hal ini membuat rakyat marah. Yang harus dipikirkan kembali oleh pengambil kebijakan, peningkatan penerimaan pajak tidak akan membawa dampak nyata jika pengeluarannya tidak efisien dan tidak tepat sasaran.

Studi Bank Dunia dan IMF menunjukkan bahwa negara-negara dengan belanja publik yang efisien mampu menurunkan tingkat kemiskinan lebih cepat, walau penerimaan pajaknya relatif moderat.

Kenaikan target pembiayaan di APBN khususnya dari utang akhirnya akan membebani rakyat di masa mendatang, walau Pemerintah berargumen untuk mencapai target-target Pembangunan (Indonesia Emas) memerlukan utang baru dan % hutang masih relative aman (berdasarkan UU max 60% dari PDB), merujuk saat Pemerintah Jokowi membuat hutang yang besar dalam mendukung proyek infrastruktur besar-besaran mulai berbuah, tahun 2025 sebesar 552,9 Triliun digunakan untuk membayar hutang bunga  yang jatuh tempo. Tabel berikut ini menggambarkan kenaikan pembayaran bunga utang dalam 5 tahun terakhir :

Keterangan (dlm Triliun)202020212022202320242025
Bunga Utang314,1343,5386,3439,9499552,9

Kerangka Teori

Kebijakan fiskal adalah instrumen utama dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Dalam konteks ini, efektivitas pengeluaran negara dapat dianalisis melalui teori-teori berikut:

  1. Teori Fungsi Alokatif, Distribusi, dan Stabilitas (Musgrave, 1959) Ada 3 fungsi utama kebijakan fiskal: fungsi alokatif, distribusi dan stabilisasi.

Dalam konteks ini, pengeluaran negara yang efektif harus memenuhi fungsi distribusi dan alokasi secara simultan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.

  1. Teori Pengeluaran Publik (Wagner’s Law vs. Keynesian Approach)
  • Wagner’s Law menyatakan bahwa pengeluaran publik akan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan permintaan akan layanan sosial.
  • Keynesian melihat pengeluaran pemerintah sebagai alat stimulus dalam situasi resesi atau krisis, untuk mendorong permintaan agregat dan penyerapan tenaga kerja.

Konteks Indonesia pasca-krisis 2025 lebih sesuai dengan pendekatan Keynesian, di mana pengeluaran negara perlu difokuskan pada sektor dengan multiplier effect tinggi terhadap konsumsi rumah tangga miskin.

  1. Teori Targeting dalam Kebijakan Sosial

The Principle of Targeting (van de Walle, 1998) menyatakan bahwa keberhasilan program sosial bergantung pada akurasi penargetan penerima manfaat (targeting accuracy). Kualitas data Adalah syarat penting

Efektivitas Belanja adalah Solusi Jangka Pendek & Panjang

Dalam situasi krisis fiskal seperti saat ini, menaikkan pajak bukan solusi cepat. Bahkan bisa kontraproduktif bila membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara itu, belanja yang efisien dan terfokus dapat memberi dampak langsung ke masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

  1. Menjadi pioneer sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam situasi dunia usaha sedang tidak baik-baik saja.
  2. Reformasi Penganggaran Berbasis Kinerja

Belanja negara harus dikaitkan langsung dengan output dan outcome yang terukur. Bukan hanya “berapa besar anggaran disalurkan,” tetapi “berapa besar dampak sosial dan ekonomi yang dihasilkan.”

  1. Digitalisasi dan Transparansi Anggaran

Pemerintah harus mendorong sistem pelacakan digital untuk seluruh program bantuan.

  1. Pemangkasan Belanja Tidak Produktif

Evaluasi ulang belanja kementerian/lembaga, termasuk tunjangan yang diterima anggota DPR/DPRD, direksi BUMN, proyek infrastruktur yang mangkrak, serta belanja  pemerintah yang tidak mendesak. Uang tersebut lebih baik dialihkan ke sektor prioritas seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

  1. Penguatan Sistem Data Sosial-Ekonomi. Akurasi data penerima bantuan masih menjadi masalah utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi : Momen untuk Reorientasi Fiskal

Kesimpulan :

  1. Penunjukan Menkeu Purbaya bisa dijadikan momentum perubahan kebijakan fiskal agar Pemerintah menjadi penggerak roda ekonomi, sampai saatnya dunia usaha sudah kembali bergairah.
  2. Demonstrasi besar-besaran Agustus 2025 harus dibaca sebagai alarm keras. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk “mengumpulkan lebih banyak uang,” tetapi menggunakan setiap rupiah secara lebih bijaksana dan adil.
  3. Kemiskinan bukan hanya masalah kurangnya pendapatan, tapi juga kurangnya keberpihakan dalam alokasi anggaran, program stimulus ekonomi akan menunjukan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat kebanyakan.
  4. Saatnya menggeser paradigma: dari mengejar penerimaan ke memastikan efektivitas pengeluaran. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat bangkit lebih cepat dan adil dari krisis ini.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pinno Siddharta
Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

Perekonomian Indonesia Setelah 80 Tahun Kemerdekaan

Delapan dekade ini penulis jadi teringat sebuah lagi yang syairnya sangat enak dan melankolis lagu yang berjudul Ibu Pertiwi yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Salah satu lirik yang relevan dengan kondisi perekonomian saat ini yaitu “kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati”.

Kondisi saat ini perekonomian Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Penulis beranggapan, perlambatan perekonomian terutama dikuartal pertama, karena didorong dengan penurunan daya beli masyarakat kelas menengah, stagnasi pendapatan dan perlambatan investasi. juga pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 42.385 pekerja di tahun 2025.

Tekanan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, ditambah kebijakan fiskal yang mungkin mengurangi daya beli, sampai dengan bulan Juli 2025 inflasi terus merangkak naik sampai dengan 2,7 %.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) dari 10 persen ke 11 persen (warisan dari pemerintahan lama , nyaris naik menjadi 12 persen namun dibatalkan di pemerintahan baru ) membuat daya beli masyarakat mengalami penurunan karena harga barang naik, mengingat sifat PPN yang melekat pada harga barang yang dikomsumsi masyarakat.

Bahkan timbul isu yang mewacanakan dan menuai polemik pekerja seks komersial (PSK) akan dikenakan pajak penghasilan, padahal dalam hukum ketenaga kerjaan profesi PSK tidak diakui dalam hukum ketenaga kerjaan Indonesia.

Persoalan pajak memiliki peranan yang siginikan dalam ekonomi makro, Arthur Laffer ekonom yang mengembangkan teori Kurva Laffer menjelaskan bagaimana tarif pajak yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas perekonomian sehingga bermuara pada menurunya pendapatan pajak. Ibnu Khaldun ahli ekonomi abad ke-14 menjelaskan pentingnya mempertimbangkan kapasitas daya beli rakyat, karena pajak yang tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Indonesia mungkin dapat belajar dengan negara tetangga Malaysia yang memiliki kultur yang mirip dan serumpun dengan kita. Malaysia baru merdeka di tahun 1957 sekitar 68 tahun, Indonesia lebih tua sedikit dari Malaysia. Namun jika kita membandingkan pendapatan perkapita Malaysia 14.423 US $ (peringkat ke-67 didunia) dan Indonesia 5.248 US $ (peringkat ke-122 didunia).

Inflasi di Malaysia 1%, pertahun Indonesia mencapai 3,2 persen pertahun. Jumlah pengganguran pertahun 2025 di Indonesia 7,28 juta orang sedangkan di Malaysia 525.900 orang. Indonesia memang memiliki penduduk yang jauh lebih banyak 285 juta jiwa sedangkan Malaysia hanya 36 juta jiwa penduduk Malaysia, namun mengukur kesejahteraan penduduknya dapat dilihat dari pendapatan perkapita Malaysia yang jauh lebih baik dari kita.

Selalu ada jalan keluar dari sebuah persoalan, karena seperti pepatah dimana ada kemauan pasti ada jalan keluar (where there’s a will, there is a way). Jalan keluar untuk membenarkan perekonomian akan dapat dicapai asalkan kita semua baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama terus berupaya berfikir dan bekerja keras untuk membenahi persoalan ekonomi yang terjadi saat ini dan tentunya selalu dengan kebijakan-kebijakan yang ramah bisnis dan pro-rakyat.

Semoga 80 tahun Indonesia merdeka bisa membawa kebaikan buat kita semua rakyat semesta. Salam dan Doa.

Penulis adalah Anggota Departemen Litbang IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

id_ID