Pendahuluan
Sistem perpajakan Indonesia berada di tengah arus besar perubahan, diawali dengan omnibus UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), unifikasi pelaporan, integrasi NIK–NPWP, hingga peluncuran Coretax. Alih-alih memberi kepastian, percepatan reformasi kerap ‘tergelincir’ pada desain regulasi bertingkat, masa transisi berlapis, dan komunikasi kebijakan yang tidak seragam.
Akibatnya, biaya kepatuhan meningkat, ketidakpastian hukum bertambah, serta sengketa pajak menumpuk. UU HPP adalah tonggak penting, namun juga memperlihatkan betapa rumitnya orkestrasi regulasi pajak ketika perubahan terjadi serentak di banyak titik sehingga Sang Dirigen seolah kehilangan arah.
Penerimaan pajak yang lambat bukan hanya disebabkan oleh faktor situasi ekonomi global, tapi akar utamanya adalah ketidakpastian hukum khususnya hukum perpajakan dan keruwetan system perpajakan. Ini yang harus disadari oleh para Pengambil Keputusan di Pemerintahan dan solusi yang diambil cenderung “reaktif” tanpa mencari akar masalahnya.
Masalah Utama
1. Over-regulation & disharmoni turunan
Struktur bertingkat (UU–PP/Perpres–PMK–Perdirjen–SE) memunculkan ‘bunyi’ berbeda antar aturan—terutama saat ketentuan lama belum dicabut tuntas atau masa berlakunya tumpang tindih. Implementasi Coretax, misalnya, menuntut ‘pembersihan’ puluhan aturan lama sekaligus.
2. Perubahan terlalu sering dengan jendela transisi pendek
Kenaikan tarif PPN pasca-UU HPP dari 10% ke 11% (1 April 2022) dan mandat menuju 12% menjadi ilustrasi bagaimana fase transisi dan penjelasan teknisnya menimbulkan ragam tafsir di lapangan. Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan isu ini dengan manuver ‘cantik’ dan memuaskan semua pihak yang selama ini berbaku kata.
3. Integrasi identitas perpajakan (NIK–NPWP) bertahap
Ketentuan diaktifkan bertahap, layanan baru berjalan paralel dengan sistem lama. Secara kebijakan masuk akal, namun di sisi kepatuhan memicu kebingungan, nomor mana yang dipakai, sejak kapan, dan di kanal apa.
4. Kapasitas aparatur & infrastruktur digital
Modernisasi butuh governance TI, migrasi data, dan manajemen perubahan. Ketika standar proses belum seragam, praktik lapangan menjadi bervariasi dari aktivasi akun, tanda tangan elektronik, hingga pelaporan terintegrasi.
5. Penegakan & penyelesaian sengketa
Kompleksitas aturan berbanding lurus dengan sengketa. Tanpa pedoman yang sederhana dan konsisten, perbedaan tafsir tetap tajam dan menekan kepastian hukum.
Fakta 2022–2025
a. PPN 12% dan fase transisi.
UU HPP memberi mandat kenaikan tarif umum PPN.
Ringkasnya, 11% berlaku sejak 1 April 2022.Rencana implementasi 12% menciptakan periode transisi dan penyesuaian perhitungan. Di lapangan, pelaku usaha bertanya: kapan memakai 12% penuh, bagaimana perlakuan kontrak lama, dan seperti apa rekonsiliasi dokumen menandakan komunikasi teknis belum diterima seragam.
b. NIK sebagai NPWP
Integrasi identitas menuntut ekosistem(perbankan, vendor, perangkat lunak akuntansi) memperbarui sistem. Selama system DUKCAPIL yang menjadi dasar validasi tidak dirapihkan, maka sinkronisasi NIK – NPWP tidak akan berjalan dengan baik.
c. SPT Masa PPh Unifikasi
Sejak 2022, bukti potong/pungut unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi diberlakukan (PPh 4(2), 15, 22, 23, 26). Secara konsep memudahkan, namun transisi dari aplikasi lama ke skema unifikasi menuntut penyesuaian proses dan pelatihan internal.
d. Coretax & tata kelola regulasi pelaksana
Coretax mengintegrasikan pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, dan penagihan. Agar mulus, aturan pelaksana baru perlu merapikan hak/kewajiban elektronik sekaligus mencabut aturan lama. Bagi perusahaan, ini berarti proyek perubahan multidisiplin bukan sekadar ‘update aplikasi pajak’.
e. Pajak Daerah pasca-UU HKPD
UU 1/2022 menyatukan arsitektur pajak & retribusi daerah dengan semangat penyederhanaan. Namun sinkronisasi pusat–daerah (definisi objek, tarif, cara bayar) belum seragam sehingga WP multi daerah menghadapi variasi implementasi.
Dampak ke Wajib Pajak & Administrasi
• Biaya kepatuhan melonjak: penyesuaian kontrak & pricing (PPN), pembaruan master data (NIK/NPWP 16 digit), re-mapping proses pemotongan/pemungutan (unifikasi), dan upgrade sistem (Coretax).
• Kepastian hukum tergerus: masa transisi panjang, instrumen sosialisasi tidak seragam, dan rujukan tersebar di banyak regulasi turunan.
• Sengketa bertambah: perbedaan tafsir yang persisten menekan arus kas dan menambah biaya litigasi.
Rekomendasi Pembenahan Struktural
6. Kodifikasi & “single-source-of-truth” digital. Susun kompilasi konsolidatif dinamis per rezim (KUP, PPh, PPN, HKPD) yang menandai ketentuan dicabut/diubah dan masa transisinya lengkap dengan contoh kasus dan template dokumen. Portal resmi menjadi rujukan tunggal.
7. Regulatory calendar & sunset clause. Tetapkan kalender regulasi tahunan tanggal efektif, akhir masa transisi, dan cut-over sistem serta sunset clause yang otomatis mengakhiri aturan lama untuk menghindari paralelisme berkepanjangan.
8. Desain transisi berbasis dampak. Untuk kebijakan besar (tarif PPN, identitas pajak), gunakan periode sandbox dan uji end-to-end lintas industri sebelum efektif nasional; dokumentasikan edge cases yang umum terjadi.
9. Penyelarasan pajak pusat–daerah. Percepat standardisasi definisi objek, struktur tarif, dan format bukti bayar lintas daerah melalui regulasi turunan yang ringkas dan pedoman teknis seragam.
10. Penguatan pre-litigation. Perkuat mekanisme penyelesaian sengketa pra-litigasi (klarifikasi terstruktur, position paper dua arah, mediasi terbatas) agar perkara yang naik ke Pengadilan Pajak adalah benar-benar hard case.
11. Akuntabilitas implementasi TI. Tetapkan SLA dan rencana kontinuitas layanan Coretax yang dipublikasikan, plus playbook gangguan operasional (fallback pelaporan/pembayaran) agar WP memiliki pedoman saat downtime.
Penutup
Reformasi pajak Indonesia sedang berjalan—dan memang harus berjalan. Namun kecepatan tanpa orkestrasi regulasi yang rapi akan terus melahirkan carut-marut: aturan berlapis, tafsir tak seragam, sengketa menumpuk, dan biaya kepatuhan yang mahal. Agenda perbaikan kodifikasi dinamis, kalender regulasi, transisi berbasis dampak, standardisasi pusat–daerah, pre-litigation yang kuat, dan disiplin tata kelola TI adalah rute realistis untuk mengubah reformasi menjadi transformasi yang memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan fiskus sekaligus.
Faktor terpenting dari semua perubahan yang baik adalah: “Kemauan” untuk menjadi lebih baik.
Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI
Donny Danardono
Email: donnydanardono@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis





