Konseptualisasi Hak Retensi Konsultan Pajak

(Foto: DOK. Pribadi)

Mencari hak yang memberikan perlindungan bagi profesi yang diemban, adalah  kewajiban moral bagi para pengemban suatu profesi. Sekalipun sampai dengan saat iniUndang-Undang Konsultan Pajak masih menjadi iusconstituendum karena belum kunjung disahkan, tak berarti tidak ada jalan lain untuk memberikan perlindungan lebihbagi profesi Konsultan Pajak dari ketentuan-ketentuan yang sudah ada (ius constitutum).

Ketentuan-ketentuan yang sudah ada saat ini  (iusconstitutum) tersebar mulai dari Undang-Undang, Peraturan Menteri Keuangan sampai dengan Kode Etik dan Standar Profesi. Sepanjang tidak dicabut, tidak bertentangan, dan belum diatur dalam Undang-Undang Konsultan Pajak yang kelak akan disahkan, ius constitutum tersebut akan terus berlaku. Hak retensi adalah salah satu bentuk perlindunganbagi Konsultan Pajak yang diatur dalam ketentuan yang sudah ada (ius constitutum).

Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh penerima kuasa (Konsultan Pajak) untuk menahan sesuatu yang menjadi milik pemberi kuasa (Klien) karena pemberi kuasabelum membayar lunas kepada penerima kuasa, atas hak penerima kuasa yang timbul dari pemberian kuasa. Menahan sesuatu milik pemberi kuasa (Klien) yang dimaksudkan disini dapat berupa menahan dokumen-dokumen milik Klien yang ada pada Konsultan Pajak. Dalam arti yang lebih luas, hak retensi tidak hanya memberikan jaminan pembayaran atas jasa yang sudah dilakukan oleh Konsultan Pajak, melainkan juga memberikan perlindungan bagi Konsultan Pajak agar Klien tidak semena-mena pindah atau mengganti Konsultan Pajak.

Hak retensi ini diatur dalam Pasal 1812 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada praktiknya hak ini berlaku otomatis demi hukum sekalipun pemberian kuasa dari Klien kepada Konsultan Pajak tidak mencantumkan adanya hak tersebut. Namun demikian untuk menghindari dalih-dalih dari Klien, ada baiknya hak retensi tersebut dicantumkan dalam pemberian kuasa / Surat Ikatan Tugas dan dijelaskan juga kepada Kliennya. Dengan tercantumnya hak retensi sertapenjelasan yang memadai, maka dalih Klien akan mudah terbantahkan. Berikut di bawah ini contoh sederhana dari pencantuman klausul hak retensi:

“Pemberian kuasa dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan ini dengan tegas memberi hak retensi kepada penerima kuasa sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1812 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.“

Dalam penerapannya, pencantuman klausul hak retensi ini tidaklah mengesampingkan dan/atau bertentangan dengan Kode Etik IKPI maupun Standar Profesi IKPI. Konsultan Pajak tetap wajib memperhatikan Bagian II angka 7.4 Standar Profesi IKPI tatkala Klien lambat melunasi, dan angka 7.5 Standar Profesi IKPI tatkala terjadi sengketa pembayaran. Dengan melaksanakan kedua mekanisme yang diatur dalam Standar Profesi IKPI (Bagian II angka 7.4 dan angka 7.5) tersebut, Konsultan Pajak telah berusaha denganitikad baik untuk mendapatkan haknya berupa honorarium/fee. Pencantuman hak retensi juga tidak dapat dikatakan melanggar Kode Etik IKPI, khususnya larangan bagi Konsultan Pajak yang tercantum dalam Bab III Pasal 4 yang menyebutkan:

“Konsultan Pajak dilarang menetapkan syarat-syarat yang membatasi Klien untuk pindah atau memilih Konsultan Pajak lain.”

Kendatipun dalam artian yang luas hak retensimemberikan perlindungan agar Klien tidak semena-mena pindah atau mengganti Konsultan Pajak, tidak berarti pencantuman klausul hak retensi merupakan syarat yang membatasi Klien untuk pindah atau memilih Konsultan Pajak lain. Klien tetap memiliki hak untuk pindah atau memilih Konsultan Pajak lain dengan terlebih dahulu menyelesaikanpembayaran honorarium/fee kepada Konsultan Pajak yang sebelumnya. Dengan dibayarnya honorarium/fee, maka Konsultan Pajak yang sebelumnya tidak berhak menahan / meretensi sesuatu yang merupakan milik Kliennya, bahkan Konsultan Pajak yang sebelumnya berkewajiban untuk menyerahkan seluruh dokumen-dokumen yang menjadi milik Klien kepada Klien atau kepada Konsultan Pajak Pengganti yang telah ditunjuk oleh Klien (lihat Bab IV Pasal 5 angka 2 Bagian Kewajiban Konsultan Pajak Kode Etik IKPI danBagian II angka 5.4 Serah Terima dengan Konsultan Pajak Pengganti Standar Profesi IKPI). Demikian tulisan singkat mengenai konseptualisasi hak retensi yang dimiliki Konsultan Pajak, kiranya tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

AOTCA dan GTAP Menyatukan SuaraProfesi Konsultan Pajak di Asia dan Dunia

(Foto: DOK. pribadi)

Perubahan signifikan dalam dunia perpajakan sedang terjadidalam beberapa tahun terakhir sebagai dampak dari globalisasi ekonomi, digitalisasi bisnis, dan dorongan menuju transparansi fiskal. Hal ini telah mendorong berbagai negara untuk meninjau kembali sistem perpajakannya.
Inisiatif seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dariOECD/G20, peluncuran Two-Pillar Solution untuk mengatasi tantangan pajak ekonomi digital, serta gagasan baru Framework Convention on International Tax Cooperation di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa perpajakan kini telah menjadi isu global, bukan sekadar urusandomestik.

Seiring dengan fenomena tersebut, peran profesi konsultan pajak menjadi semakin penting. Konsultan pajak kini tidak hanyamembantu wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, tetapi juga berperan sebagai penghubung antara dunia usaha dan otoritas pajak, serta sebagai mitra pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan efisien.

Untuk menjaga relevansi dan integritas profesi ini di tengah dinamika global, dibutuhkan wadah kolaborasi lintas negara yang mampu memperkuat standar profesionalisme dan etika di tingkat regional maupun internasional.

Di kawasan Asia dan Oseania, peran tersebut dijalankan oleh Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA), sebuah organisasi payung yang menyatukan asosiasi profesi konsultan pajak dari berbagai negara di kawasan ini.

Sejarah dan Tujuan AOTCA

AOTCA didirikan pada tahun 1992 oleh asosiasi konsultan pajak dari Jepang, Korea Selatan dan Taiwan yang memiliki pandangan yang sama bahwa globalisasi ekonomi Asia akan menimbulkan tantangan baru di bidang perpajakan yang tidak dapat dihadapi secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Mereka menyadari perlunya forum yang dapat mempertemukan para profesional pajak dari berbagai yurisdiksi untuk bertukar pengalaman, membangun standar etika, dan memperkuat kerja sama lintas batas.

Seiring waktu, AOTCA tumbuh menjadi organisasi besar yang kini mewakili 19 asosiasi nasional dari berbagai negara di kawasan Asia dan Oseania, antara lain: Australia, China, Chinese Taipei, Hong Kong, Indonesia, Japan, Korea, Macau, Malaysia, Mongolia, Nepal, Pakistan, Philippines, Singapore, dan Vietnam, serta dua associate members, yaitu Bangladesh dan Sri Lanka.

Dengan keanggotaan yang luas dan beragam, AOTCA mencerminkan dinamika ekonomi yang kompleks di kawasan, dari negara-negara maju dengan sistem pajak canggih hingga negara berkembang yang tengah memperkuat kapasitas administrasi perpajakan.

Tujuan utama AOTCA meliputi:

• Meningkatkan standar profesional dan etika di antara para konsultan pajak di kawasan Asia-Oseania;

• Memfasilitasi pertukaran informasi dan praktik terbaik di bidang perpajakan;

• Memperkuat hubungan antara profesi dan otoritas pajakuntuk membangun sistem yang efektif dan adil;

• Menjadi wadah kolaborasi menghadapi isu-isu internasionalseperti BEPS, transfer pricing, pajak digital, dan global minimum tax; serta

• Memperjuangkan pengakuan profesi konsultan pajak sebagai mitra strategis pemerintah dalam sistem perpajakan modern.

Peran dan Kegiatan AOTCA

AOTCA secara rutin menyelenggarakan Konferensi Pajak Internasional Tahunan (AOTCA International Tax Conference) yang menjadi ajang penting bagi profesional pajak, akademisi, regulator, dan pembuat kebijakan untuk bertukar pandangan mengenai isu-isu global terkini.


Topik yang dibahas mencakup tata kelola pajak, transfer pricing, insentif investasi, pajak ekonomi digital, hingga tantangan implementasi Pillar Two – Global Minimum Tax di negara-negara Asia. AOTCA Annual Meeting dan International Tax Conference tahun 2025 ini akan diadakan di Kathmandu Nepal, pada tanggal 18-21 November mendatang.

Selain itu, AOTCA memiliki beberapa komite teknis permanen, seperti Technical Committee dan Professional Affairs Committee, yang berperan dalam:

• Menyusun kajian kebijakan lintas negara;

• Mengembangkan pelatihan profesional;

• Mendorong harmonisasi standar etika profesi; serta

• Mengadvokasi kepentingan anggota di berbagai forum internasional.

Melalui kegiatan tersebut, AOTCA telah menjadi platform yang mempertemukan kepentingan profesi pajak lintas yurisdiksi dan memperkuat kapasitas profesional konsultan pajak di kawasanAsia-Oseania.

AOTCA dalam konteks global: Kolaborasi dalam GTAP

Untuk memperkuat pengaruh dan memperluas jangkauan global, AOTCA bergabung dalam Gobal Tax Advisers Platform (GTAP) pada tahun 2013. GTAP merupakan kolaborasi antara tiga organisasi besar dunia yaitu: CFE Tax Advisers Europe(mewakili kawasan Eropa), AOTCA (mewakili Asia dan Oseania) dan WAUTI – West African Union of Tax Institutes (mewakili Afrika Barat).

GTAP dibentuk dengan visi untuk menciptakan satu suara global bagi profesi konsultan pajak, dengan tiga agenda utama yaitu:

1. Advokasi kebijakan internasional, dengan memberikan masukan terhadap kebijakan OECD, PBB, dan lembaga multilateral lain;

2. Promosi good tax governance, yaitu tata kelola pajak yang adil, transparan, dan akuntabel;

3. Peningkatan profesionalisme global, melalui pertukaran pengetahuan dan standar etika lintas kawasan.

Melalui GTAP, AOTCA memiliki akses langsung terhadap berbagai proses konsultatif global, termasuk dalam OECD Inclusive Framework on BEPS dan pembahasan UN Tax Cooperation Framework. Kolaborasi ini memastikan bahwasuara Asia, termasuk perspektif negara berkembang, turut mewarnai pembentukan arsitektur pajak global yang lebih inklusif. Setiap pertemuan GTAP dihadiri oleh perwakilan resmi dari CFE, AOTCA, dan WAUTI.

Makna Strategis GTAP bagi Dunia Pajak Global

GTAP menjadi wadah koordinasi dan advokasi global bagi profesi konsultan pajak. Platform ini menegaskan bahwa konsultan pajak bukan hanya pelaksana kepatuhan (compliance function), melainkan juga penjaga integritas sistem perpajakan global.

Dengan keahlian lintas yurisdiksi, para konsultan pajak dapat membantu memastikan bahwa reformasi pajak global berjalan secara adil dan realistis di berbagai negara dengan kondisi ekonomi yang berbeda.

GTAP juga memperkuat hak wajib pajak (taxpayer rights), mekanisme pencegahan sengketa (dispute prevention mechanisms), dan standar etika profesi.
Dalam era otomatisasi dan digitalisasi fiskal, nilai-nilai etika dan profesionalisme menjadi semakin penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dunia.

Peran dan Kontribusi IKPI dalam AOTCAdan GTAP

Sebagai anggota aktif AOTCA, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memainkan peran penting dalam memperkuat posisi profesi konsultan pajak Indonesia di tingkat regional dan global. IKPI menjadi penghubung antara perkembangan kebijakan internasional dan praktik profesional di Indonesia, serta memastikan bahwa perspektif dan kepentingan nasional Indonesia terwakili dalam berbagai forum AOTCA dan GTAP.

Keterlibatan IKPI mencapai tonggak penting ketika penulis yang juga Ketua Umum IKPI periode 2022–2024, terpilih sebagai Presiden AOTCA periode 2025–2026.


Kepemimpinan ini merupakan bentuk pengakuan internasionalatas kompetensi dan kredibilitas profesi konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

Melalui AOTCA, IKPI berkontribusi dalam:

• Pertukaran pengetahuan profesional dan riset kebijakan perpajakan global;

• Peningkatan kapasitas anggota melalui seminar dan pelatihan internasional;

• Advokasi kebijakan global yang mempertimbangkan kepentingan negara berkembang; dan

• Promosi nilai-nilai profesionalisme, etika, dan integritas di tingkat global.

Nilai-nilai yang dijunjung AOTCA, integritas, profesionalisme, kolaborasi, dan keadilan fiskal, sepenuhnya sejalan dengan visi IKPI untuk menjadi asosiasi kelas dunia. 

Penulis adalah Presiden AOTCA periode 2025–2026 dan Ketua Umum IKPI periode 2022–2024

Dr. Ruston Tambunan

Email: ruston@citasco.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Tax Ratio dan Kapasitas Fiskal Indonesia: Analisis Teoretisatas Tantangan Reformasi Pajak di Era Menteri Purbaya

(Foto: DOK. pribadi)

Dalam literatur ekonomi publik, tax ratio sering dipandangsebagai cermin kapasitas fiskal suatu negara. Musgrave (1959) dalam Theory of Public Finance menyebutkan bahwa pajaktidak hanya berfungsi sebagai instrumen penerimaan, tetapi juga sebagai sarana distribusi dan stabilisasi. Oleh karena itu, rendahnya tax ratio sebuah negara menandakan keterbatasandalam menjalankan fungsi-fungsi dasar fiskal.

Indonesia dalam hal ini menghadapi tantangan serius. Selamalebih dari satu dekade, tax ratio Indonesia terjebak di kisaran 9–10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, rata-rata negara ASEAN mampu mencapai 13–15 persen, sementarastandar negara maju dalam kelompok OECD melampaui 25 persen. Rendahnya angka tersebut menimbulkan konsekuensiserius: ruang fiskal terbatas, pembangunan infrastruktur tergantung pada utang, dan kemampuan menghadapi guncanganeksternal menjadi rapuh.

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan konsep tax effort gap (Tanzi & Zee, 2000), yaitu jarak antara kapasitas optimal pemungutan pajak dan realisasi aktual. Gap yang besarmenunjukkan lemahnya instrumen kebijakan, administrasi pajak, maupun kepatuhan wajib pajak. Tax ratio Indonesia yang rendah tidak berarti basis pajak kecil, melainkan adanyakelemahan struktural dalam mengonversi potensi menjadi penerimaan negara.

Dengan dilantiknya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, publik menaruh harapan baru. Figur ekonom yang dikenal pragmatis iniditantang untuk tidak sekadar mempertahankan status quo, melainkan menghadirkan reformasi fiskal yang berani. Tantangan utamanya bukan hanya administratif, melainkan juga politis: berhadapan dengan kepentingan industri besar, resistensi masyarakat, hingga keterbatasan institusional di DirektoratJenderal Pajak.

Dalam kerangka akademik, permasalahan tax ratio ini perludianalisis dari tiga perspektif utama: pertama, potensipenerimaan pajak yang luas tetapi belum tergali; kedua, kepatuhan wajib pajak yang masih lemah; dan ketiga, keberanian kebijakan fiskal yang menjadi faktor pembedaapakah reformasi akan substantif atau sekadar retorika. Artikel ini akan menyoroti terutama aspek potensi dan kebijakan, sebagai dua pilar yang paling menentukan keberhasilanreformasi pajak di era Purbaya.

Potensi Penerimaan Pajak

Secara teori, tax potential merujuk pada besarnya penerimaanpajak yang dapat dihimpun jika seluruh basis pajak dikenakansesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bird (2008) menekankan bahwa negara berkembang sering memiliki tax potential yang besar tetapi terhalang oleh administrasi yang lemah dan sektorinformal yang dominan. Kondisi ini sangat relevan denganIndonesia.

Pertama, sektor ekonomi digital. Perkembangan e-commerce, fintech, dan layanan daring lintas negara telah menciptakan transaksi bernilai ratusan miliar dolar. Namun, kontribusi sektorini terhadap pajak relatif kecil. Menurut teori fiscal innovation, sistem pajak harus mampu beradaptasi terhadap transformasistruktur ekonomi. Tantangan utamanya adalah bagaimana menarik pajak dari transaksi lintas batas yang sering kali memanfaatkan celah yurisdiksi. Pengenaan PPN digital pada platform global adalah langkah awal, tetapi masih terbatas. Ribuan merchant lokal dan pelaku UMKM digital belum masuk sistem secara optimal.

Kedua, sektor UMKM. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 65 juta unit usaha tergolong UMKM. Namun, hanya sebagian kecil yang terdaftar sebagai wajib pajak, dan lebih sedikit lagi yang membayar pajak secara material sesuai omzet. Torgler (2007) menjelaskan bahwakepatuhan UMKM lebih banyak ditentukan oleh tax morale kepercayaan terhadap pemerintah dan persepsi keadilan ketimbang tarif pajak. Artinya, meski ada skema PPh Final 0,5 persen, kepatuhan masih rendah karena legitimasi fiskal belumsepenuhnya terbentuk.

Ketiga, sektor sumber daya alam (SDA). Indonesia adalahpengekspor utama batu bara, nikel, dan CPO. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini sering kali tidak proporsional dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Praktik transfer pricing, profit shifting, dan under-invoicing masih marak. OECD melaluiinisiatif BEPS (2013) menegaskan bahwa tanpa kerja samainternasional, negara berkembang akan terus kehilangan potensi pajak dari sektor ekstraktif.

Selain itu, terdapat potensi besar dari high net worth individual (HNWI) yang belum tergali. Literasi keuangan yang rendah dan ketiadaan sistem pengawasan aset yang efektif membuat banyak kekayaan tidak tercatat dalam sistem pajak. Program tax amnesty memang sempat meningkatkan penerimaan, tetapi keberlanjutannya dipertanyakan jika tidak dibarengi dengan pengawasan aset lintas negara.

Dengan demikian, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, tetapi belum terkonversi karena kelemahan struktural dalam administrasi, pengawasan, dan legitimasi fiskal. Tanpalangkah terobosan, potensi ini akan tetap menjadi “angka di ataskertas” yang tidak memberi dampak nyata pada tax ratio.

Keberanian Menentukan Kebijakan

Literatur ekonomi politik fiskal menekankan bahwakeberhasilan reformasi perpajakan ditentukan bukan hanya oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh political will. Mahon (2004) menegaskan bahwa reformasi pajak di negara berkembang kerapgagal karena ketidak seimbangan antara kapasitas institusionaldan keberanian politik.

Salah satu contoh konkret adalah insentif fiskal. Selama bertahun-tahun, Indonesia memberikan tax holiday dan tax allowance untuk mendorong investasi. Namun, penelitian oleh Zee, Stotsky, dan Ley (2002) menunjukkan bahwa insentif fiskaldi negara berkembang cenderung tidak efektif, bahkan mengurangi kapasitas fiskal jangka panjang. 

Di era Purbaya, keberanian kebijakan akan diuji pada keputusan untuk mengevaluasi, memangkas, atau bahkan menghapus insentifyang tidak produktif.

Selain itu, ada isu perluasan basis pajak ke sektor informal. Selama ini sektor ini dianggap terlalu sensitif untuk disentuh karena melibatkan jutaan pelaku usaha kecil. Namun, literatur seperti Schneider & Enste (2000) menegaskan bahwa sektorinformal tidak bisa diabaikan. Pendekatan yang tepat bukandengan represif, tetapi dengan memberikan insentif formalitas, simplifikasi administrasi, dan integrasi dengan sistem keuangan. Jika Purbaya berani mengambil langkah ini, tax ratio bisaterdongkrak signifikan.

Isu lain yang memerlukan keberanian adalah pajak lingkungan. Stern (2007) menyebut pajak karbon sebagai instrumen vital untuk menginternalisasi eksternalitas negatif perubahan iklim. Di Indonesia, wacana pajak karbon telah muncul sejak 2021, tetapi implementasinya selalu tertunda. Alasan utamanya adalah resistensi industri dan kekhawatiran terhadap daya saing. Di titikini, Purbaya dituntut berani mengambil keputusan yang tidakpopuler demi keberlanjutan fiskal dan lingkungan.

Keberanian juga dibutuhkan untuk mendorong revisi UU KUP dan memperkuat instrumen hukum perpajakan. Tanpa kerangkahukum yang jelas, DJP akan kesulitan menindak praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi. Artinya, keberaniankebijakan bukan sekadar retorika, tetapi melibatkan konsistensipolitik untuk mengesahkan regulasi yang memperkuat kapasitasnegara.

Singkatnya, keberanian menentukan kebijakan akanmembedakan apakah Purbaya sekadar menjadi manajer fiskalatau pemimpin fiskal. Manajer fiskal mungkin bisa menjagastabilitas jangka pendek, tetapi hanya pemimpin fiskal yang berani mengambil risiko politik yang mampu meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan.

Kesimpulan

Dari perspektif akademik, tax ratio Indonesia adalah refleksidari tax effort gap yang besar. Potensi penerimaan ada di mana-mana: ekonomi digital, UMKM, SDA, hingga HNWI. Namun, kelemahan administrasi, rendahnya kepatuhan, dan ketidakberanian kebijakan membuat potensi itu tidak terkonversi menjadi penerimaan.

Musgrave (1959) sudah lama menekankan bahwa pajak adalahinstrumen utama negara dalam menjalankan fungsi fiskal. Tanzi& Zee (2000) menambahkan, negara berkembang akan selalutertinggal jika tidak mampu meningkatkan tax effort. 

Dalam konteks ini, tugas Purbaya bukan hanya mengejar target angka, tetapi membangun kapasitas fiskal jangka panjang.

Jika Purbaya mampu memperluas basis pajak, menutup celah penghindaran, dan berani mengevaluasi insentif tidak produktif, tax ratio Indonesia bisa meningkat secara signifikan. Sebaliknya, jika reformasi hanya berhenti pada retorika, maka Indonesia akan terus terjebak dalam “jebakan tax ratio rendah” yang melemahkan kemandirian fiskal.

Bagi profesi konsultan pajak, tantangan ini membuka peluanguntuk memainkan peran strategis. Konsultan bukan sekadarpenyedia jasa administrasi, tetapi aktor penting dalammembangun tax compliance culture dan menjadi jembatan antara wajib pajak dan negara. Dengan dukungan profesi, reformasi pajak bisa lebih efektif dan kredibel.

Kesimpulannya, peningkatan tax ratio Indonesia bergantung pada tiga pilar: potensi yang tergali, kepatuhan yang terbangun, dan keberanian kebijakan. Tanpa kombinasi ketiganya, tax ratio akan tetap menjadi “PR abadi” fiskal Indonesia. Namun, jika era Purbaya mampu menjawab tantangan ini, maka Indonesia bisamelangkah menuju kemandirian fiskal yang lebih kokoh, berkelanjutan, dan berkeadilan.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi, Dosen Universitas Nasional dan Mahasiswa Doktoral Universitas Brawijaya

M. Abdul Rahman

Email: rahmanmuhammadabdul@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Core Tax System: Modernisasi Administrasi atau Beban Wajib Pajak

(Foto: Dok Pribadi)

Modernisasi dalam sistem perpajakan seharusnya menjadi solusi untuk menutup jurang kepatuhan antara wajib pajak dan pemerintah, bukan justru memperlebar kesenjangan yang sudah ada. Lebih dari sekadar penerapan teknologi digital, Core Tax System (CTS) diharapkan menjadi bukti nyata kehadiran negara yang adil, inklusif, dan berpihak pada seluruh rakyatnya. Dalam konteks ini, modernisasi bukan hanya soal mengganti sistem lama dengan yang baru, melainkan juga tentang membangun kepercayaan dan memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Jika modernisasi hanya berfokus pada aspek teknologi tanpa memperhatikan kesiapan dan kebutuhan wajib pajak, maka risiko munculnya beban baru bagi masyarakat sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah perlu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama dalam setiap langkah modernisasi administrasi perpajakan.

Core Tax System merupakan tonggak penting dalam sejarah reformasi perpajakan di Indonesia. Sistem ini berpotensi menjadi terobosan besar jika mampu memberikan kemudahan nyata bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pelaku usaha besar hingga pelaku UMKM, bahkan individu yang baru pertama kali berinteraksi dengan sistem perpajakan. Namun, potensi tersebut hanya akan terwujud jika pemerintah benar-benar memahami tantangan di lapangan dan tidak sekadar mengejar target digitalisasi. Jika implementasi CTS hanya menambah kompleksitas tanpa solusi yang konkret, maka modernisasi ini justru akan menjadi beban baru, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum siap secara digital maupun psikologis. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada kebutuhan wajib pajak sangat diperlukan agar CTS benar-benar menjadi solusi, bukan masalah baru.

Menutup Jurang, Bukan Menambah Beban

Selain aspek kemudahan, keamanan siber juga harus menjadi prioritas utama dalam implementasi CTS. Tidak ada artinya sistem secanggih apa pun jika kepercayaan publik runtuh akibat kebocoran data atau penyalahgunaan informasi pribadi. Dalam era digital, ancaman terhadap keamanan data semakin kompleks dan beragam, mulai dari serangan siber hingga potensi penyalahgunaan oleh oknum internal. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap lapisan keamanan, mulai dari enkripsi data hingga audit sistem, berjalan dengan optimal. Kepercayaan publik adalah fondasi utama keberhasilan modernisasi administrasi perpajakan. Jika masyarakat merasa data mereka tidak aman, maka partisipasi dan kepatuhan pajak akan menurun drastis. Pemerintah juga perlu menyediakan mekanisme pengaduan yang responsif dan transparan, sehingga setiap insiden keamanan dapat ditangani dengan cepat dan adil.

Di sinilah letak pekerjaan rumah terbesar pemerintah. Jika CTS ingin berhasil, maka strategi pendampingan dan edukasi wajib pajak harus diperkuat secara masif dan berkelanjutan. Program literasi digital harus dirancang agar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama UMKM dan wajib pajak yang rentan secara ekonomi maupun akses teknologi. Layanan hibrida—kombinasi antara digital dan tatap muka—tetap diperlukan selama masa transisi, agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Selain itu, pemerintah perlu merumuskan perlindungan hukum yang jelas bagi wajib pajak yang terdampak gangguan teknis, sehingga mereka tidak dirugikan akibat masalah di luar kendali mereka. Dengan demikian, modernisasi administrasi perpajakan dapat berjalan secara inklusif dan berkeadilan.

Modernisasi administrasi perpajakan memang tidak bisa dihindari di era globalisasi dan digitalisasi saat ini. Negara membutuhkan sistem yang kuat, transparan, dan efisien untuk menopang penerimaan negara yang semakin kompleks. Namun, yang sering terlupakan adalah aspek inklusivitas dan kesiapan masyarakat. Modernisasi bukan hanya soal kecanggihan teknologi, melainkan juga soal kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan mengikuti perubahan tersebut. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan sebagian kelompok, tetapi juga memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Modernisasi Harus Membumi

Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi CTS adalah integrasi data pribadi, seperti penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Integrasi ini memang dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi, namun juga membawa risiko kebocoran data yang lebih besar. Jika terjadi gangguan teknis, seperti sistem down saat pelaporan pajak, maka wajib pajak yang sudah beritikad baik bisa saja terkena sanksi administratif akibat masalah di luar kendali mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan mekanisme mitigasi risiko yang jelas dan adil, serta memastikan bahwa perlindungan data pribadi menjadi prioritas utama dalam setiap pengembangan sistem.

Kesiapan wajib pajak juga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan modernisasi ini. Hingga pertengahan 2023, baru sekitar 63 ribu orang yang mengikuti program edukasi awal CTS—angka yang sangat kecil dibanding target puluhan juta wajib pajak. Bagi pelaku UMKM, pedagang pasar, atau petani, sistem digital bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga beban psikologis. Banyak yang mengeluhkan kesulitan login, kebingungan mengisi formulir, hingga frustrasi dengan tampilan sistem yang dianggap tidak ramah pengguna. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap sistem, serta menyediakan layanan bantuan yang mudah diakses oleh seluruh wajib pajak.

Literasi digital juga menjadi tantangan tersendiri. Survei nasional mencatat bahwa pengguna internet Indonesia sudah mencapai lebih dari 79% populasi, sekitar 221 juta orang. Namun, kualitas akses internet tidak merata di seluruh wilayah. Di kota-kota besar, akses internet relatif cepat dan stabil, sementara di desa dan daerah terpencil, banyak warga yang masih kesulitan mendapatkan sinyal. Bahkan jika internet tersedia, tidak semua wajib pajak terbiasa menggunakan aplikasi digital untuk keperluan administrasi. Pemerintah harus memastikan bahwa infrastruktur digital merata dan program literasi digital berjalan efektif, agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses modernisasi ini.

Kenyataan di Lapangan

Jika proses transisi ke CTS berjalan mulus, modernisasi ini akan membawa banyak manfaat bagi wajib pajak dan negara. Wajib pajak dapat memantau profil dan riwayat perpajakannya secara mandiri tanpa harus bolak-balik ke kantor pajak. Interaksi tatap muka yang rawan “biaya siluman” dapat ditekan, sehingga transparansi dan akuntabilitas meningkat. Selain itu, penerimaan negara berpotensi meningkat melalui basis data yang lebih rapi dan akurat. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah presentasi PowerPoint pejabat pemerintah. Banyak kendala teknis dan non-teknis yang harus dihadapi, mulai dari infrastruktur yang belum memadai hingga resistensi dari masyarakat yang belum siap beradaptasi dengan sistem baru.

Pemerintah menargetkan peningkatan cakupan administrasi pajak secara signifikan—dari sekitar 33 juta wajib pajak menjadi hampir 70 juta. Sistem baru ini juga akan mengelola volume data yang sangat besar, seperti jumlah dokumen e-faktur yang melonjak ratusan juta dalam beberapa tahun terakhir. Semua data tersebut kini akan diproses dalam CTS, sehingga diperlukan sistem yang benar-benar andal dan skalabel. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem mampu menangani lonjakan data tanpa mengorbankan kecepatan dan akurasi pelayanan.

CTS digadang-gadang akan menjadi “otak” baru administrasi pajak Indonesia. Dengan satu sistem terpadu, data wajib pajak dapat diakses lebih mudah, transparansi meningkat, dan potensi manipulasi administrasi dapat ditekan. Salah satu terobosan besar adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang secara otomatis menghubungkan setiap warga negara dengan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, dan komitmen pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan.

Janji Modernisasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan Core Tax System (CTS) sebagai bagian dari reformasi besar administrasi perpajakan. Pemerintah menyebutnya sebagai lompatan menuju masa depan perpajakan digital. Semua proses—mulai dari registrasi, pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan—dijanjikan akan lebih cepat, efisien, dan terintegrasi. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah modernisasi ini benar-benar memudahkan wajib pajak, atau justru menambah kerumitan baru di lapangan? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk terus mendengarkan aspirasi masyarakat, melakukan evaluasi berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Piagam Hak Wajib Pajak: yang Ditunggu Sudah Datang

(Foto: DOK. Pribadi)

Sebuah gebrakan besar dilakukan oleh DJP saat peringatan Hari Pajak, 14 Juli 2025. Melalui nakhodanya yang baru, Bimo Wijayanto, DJP menghadirkan ketengah-tengah masyarakat Piagam Hak-Hak Wajib Pajak atau dikenal dengan Taxpayer’s Charter. Bagaimana tidak, sejak reformasi perpajakan yang terjadi di pertengahan dekade 80-an, baru kali ini akhirnya Wajib Pajak memiliki Piagam Hak-HakWajib Pajak. 

Berarti hampir 40 tahunan menunggu, akihrnya piagam tersebut terbit. Sebagai catatan, negara tetangga kita, Australia telah sejak 1997 memiliki piagam ini. India telah memberlakukannya sejak 2020, dan Inggris pada tahun 2009.

Bukan berarti tanpa ada piagam tersebut, hak-hak Wajib Pajak tidak diakui. Peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia telah mengakui keberadaan hak-hak Wajib Pajak sejak semula di dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan, dengan adanya UU No. 7 HPP saat ini, keberadaan hak-hak Wajib Pajak semakin diakui, khususnya dalam hal Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

Hanya saja, hak-hak Wajib Pajak tersebut tidak termuat di dalam satu panduan umum yang dapat menjadi pegangan bagi para Wajib Pajak. Hak-hak tersebut tersebar di dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, Bab V dari UU KUP, khususnya Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 27. Masing-masing mengatur hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan, keberatan, dan banding. 

Pasal-pasal ini, memuat hak Wajib Pajak hak untuk mengambil posisi yang berbeda dengan posisi DJP dan menegaskan haknya untuk menyampaikan pandangannya atas posisi tersebut (the rights to be heard atau audi et alteram partem). Contoh lain dari hak Wajib Pajak yaitu menerima kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur di dalam Pasal 17, 17B, 17C, dan 17D (hak restitusi).

Piagam Hak-Hak Wajib Pajak yang secara resmi terbit berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 13/PJ/2025 tentang Piagam Hak Wajib Pajak (Taxpayer’s Charter) ini memuat secara ringkas rangkuman seluruh hak-hak Wajib Pajak yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan. Fungsi penerbitan menurut DJP ini tidak lain adalah menegaskan basic values relasi antara negara dan warga negara. Tentunya yang disasar adalah kepercayaan masyarakat.

Tujuan tersebut selaras dengan praktik internasional yang berlaku. IMF dan OECD juga mendorong negara-negara untuk segera memiliki Taxpayer’s Rights Charter. Tujuannya adalah membangun kepercayaan masyarakat kepada negara, khususnya institusi pemungut pajak. Melalui piagam ini, Wajib Pajak tidak lagi dianggap sebagai objek, melainkan sebagai subjek, mitra dalam pemungutan pajak. 

Diharapkan terdapat perubahan yang fundamental untuk kemudian mengokohkan Wajib Pajak dalam keseharian relasi dengan DJP. Cara yang dilakoni tentunya berbasis pelayanan dan menggeser perlakuan menakut-nakuti Wajib Pajak yang memaksa untuk patuh (fear-based compliance). Piagam ini memberikan dasar-dasar nilai berupa kepercayaan,  keadilan, dan kepastian hukum kepada masyarakat. Atas hal ini diharapkan Wajib Pajak secara sukarela, sadar, dan bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya.

Tidak hanya kepada Wajib Pajak, piagam ini juga berguna ke dalam institusi DJP selaku pemungut pajak. Wajib Pajak yang memiliki kesadaran tinggi dalam melakukan kewajiban perpajakannya jelas memudahkan DJP dalam melakukan pekerjaannya. 

Selain itu, Piagam ini juga menjadi alat akuntabilitas bagi publik untuk memantau integritas DJP dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari, artinya reformasi birokrasi di dalam tubuh DJP yang saat ini berjalan dapat bergulir lebih cepat dan efektif dengan adanya piagam ini. Bentley bahkan mencatat bahwa Piagam ini menjadi bagian penting dalam proses reformasi institusi penerimaan pajak.

Namun demikian, keberadaan Piagam Hak-Hak Wajib Pajak tidak tanpa catatan. Perlu sangat diperhatikan bahwa piagam tersebut sangat membutuhkan jaminan penegakkan yang tegak sebenar-benarnya. Piagam tersebut tidak lagi terkesan deklaratif, dan administratif tetapi enforcable. Terdapat daya hukum dan mekanisme yang efektif dalam menjamin jalannya piagam tersebut. 

Cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu penerapan sanksi dari internal DJP sekaligus pemberian remedy bagi Wajib Pajak yang haknya terlanggar. Pihak eksternal juga dapat membuatkan scoring card (kartu penilaian) terhadap penegakkan piagam tersebut. 

Hal ini penting guna menghadirkan kelebihan-kelebihan piagam tersebut secara nyata ditengah-tengah masyakarat yang kemudian mendorong tercapainya tujuan dari deklarasi itu sendiri. Dengan demikian, piagam tersebut tidak menjadi janji melainkan jaminan penegakkan hak-hak Wajib Pajak.

Penulis adalah Anggota Departemen FGD IKPI 

Anggi Moses Tambunan, S.Sos., M.H., LLM. Int. Tax, BKP., ADIT, 

Email: anggi@abidetaxconsulting.com

Disclaimer: Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

Aktivasi Akun Coretax: Kunci Transformasi Pajak Digital Indonesia

(Foto: DOK. Pribadi)

Transformasi digital di sektor perpajakan Indonesia mengalami lompatan besar sejak 1 Januari 2025 dengan diberlakukannya Coretax, sistem inti administrasi perpajakan terbaru yang mengintegrasikan seluruh proses administrasi mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan dalam satu platform terpadu. Kebijakan strategis ini menandai berakhirnya ketergantungan pada sistem lama yang selama ini bersifat parsial dan terpisah, seperti DJP Online, e-Faktur, dan e-Billing. Coretax dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan perpajakan melalui pemanfaatan teknologi terkini serta algoritma otomatisasi yang lebih canggih (DJP, 2025).

Namun, di balik revolusi ini, terdapat satu langkah yang kerap terlupakan oleh sebagian wajib pajak, padahal memiliki arti krusial dalam memastikan kelancaran proses administrasi: aktivasi akun Coretax. Aktivasi akun bukan sekadar prosedur teknis atau kewajiban administratif semata, melainkan fondasi utama yang menentukan akses wajib pajak terhadap seluruh fitur layanan baru seperti pelaporan SPT Masa dan Tahunan, pembuatan bukti potong PPh 21/26, permohonan restitusi, dan pembetulan data profil perpajakan (PMK No. 81 Tahun 2024). Tanpa aktivasi, wajib pajak dapat kehilangan akses penting yang berpotensi mengganggu kepatuhan dan menimbulkan risiko sanksi administrasi.

Salah satu keunggulan utama Coretax adalah pendekatan berbasis profil dan aktivitas bisnis, yang memungkinkan integrasi data secara menyeluruh dan rekonsiliasi yang lebih efektif antara data historis dan transaksi terkini. Dengan kata lain, aktivasi akun menjadi proses awal yang menghubungkan data lama dari berbagai sistem perpajakan terdahulu ke dalam satu basis data terpadu, mencegah terjadinya inkonsistensi data dan kesalahan identitas yang selama ini menjadi kendala administrasi (DJP, 2025).

Selain itu, Coretax memberikan manfaat signifikan berupa pencatatan dan pemantauan pelaporan secara real time, notifikasi otomatis untuk setiap aktivitas perpajakan, serta percepatan proses restitusi tanpa perlu wajib pajak melakukan kunjungan langsung ke kantor pajak. Bagi konsultan pajak, sistem ini memudahkan dalam memberikan advis yang akurat dan cepat berdasarkan data yang terintegrasi dan valid (DJP, 2025).

Kendati demikian, proses transformasi ini juga menghadirkan tantangan, mulai dari hambatan teknis saat aktivasi akun hingga kesiapan sumber daya manusia di tingkat perusahaan dan kantor konsultan pajak. Masih terdapat wajib pajak dan staf keuangan yang belum familiar dengan fitur baru dan prosedur verifikasi digital. Oleh karena itu, dukungan konsultan pajak menjadi sangat penting sebagai penghubung antara wajib pajak dan sistem Coretax, membantu aktivasi, memeriksa ulang data, dan memastikan integrasi internal berjalan lancar (DJP, 2025).

Transformasi digital administrasi pajak bukan fenomena lokal semata. Negara-negara maju seperti Australia, Singapura, dan Korea Selatan telah lebih dulu mengadopsi sistem serupa dan menunjukkan peningkatan kepatuhan pajak hingga 40%, serta penurunan kesalahan pelaporan secara drastis. Indonesia dengan Coretax berada di jalur yang sama, memperkuat tata kelola fiskal nasional dengan cara yang lebih efisien, transparan, dan responsif terhadap dinamika ekonomi digital global (Bank Dunia dan DJP, 2025).

Sebagai penutup, aktivasi akun Coretax bukan hanya kewajiban administratif, melainkan langkah strategis utama guna menghadapi era baru perpajakan nasional yang serba digital. Wajib pajak yang segera beradaptasi dan mengaktifkan akunnya akan menikmati kemudahan, efisiensi, dan kepastian administrasi yang jauh lebih baik. Sebaliknya, yang menunda akan menghadapi risiko teknis, potensi sanksi, dan tantangan kepatuhan yang semakin kompleks. Reformasi pajak digital melalui Coretax adalah keniscayaan; kesiapan setiap individu dan lembaga menentukan keberhasilannya.

Referensi:

• Direktorat Jenderal Pajak. “Dari Layar Lebar Menuju Era Perpajakan Digital.” 2025.  

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).  

• Panduan Aktivasi Akun Coretax DJP, 2025.  

• Digitalisasi Pajak di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Pajakku, 2025.  

• Bank Dunia dan DJP, Proyeksi Efisiensi Penerimaan Pajak dengan Coretax, 2025.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Mendorong Kepatuhan Pajak UMKM di Era Digital  

Di Indonesia, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering disebut sebagai “urat nadi” perekonomian. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%, dengan jumlah unit usaha lebih dari 65 juta. Tidak hanya itu, UMKM juga menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Artinya, keberadaan UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, dalam konteks perpajakan, UMKM masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Meski jumlahnya masif, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak belum sebanding dengan perannya dalam perekonomian. Di sinilah tantangan sekaligus peluang hadir: bagaimana mendorong kepatuhan pajak UMKM di tengah arus digitalisasi yang kian masif.

Banyak pelaku UMKM yang belum memahami kewajiban perpajakan secara utuh. Pajak sering dipersepsikan sebagai beban tambahan, bukan kewajiban hukum yang sekaligus berfungsi sosial. Sejak terbitnya PP 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Final untuk UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet, pemerintah sebenarnya sudah berupaya menyederhanakan mekanisme pemajakan.

Namun, peraturan ini juga membatasi jangka waktu penggunaan tarif final (3 tahun untuk badan berbentuk PT, 4 tahun untuk CV/Firma, dan 7 tahun untuk orang pribadi). Setelah jangka waktu berakhir, UMKM wajib beralih ke sistem pembukuan dengan tarif normal. Transisi inilah yang sering membuat UMKM “tergelincir” dalam kepatuhan.

Meski Ditjen Pajak (DJP) sudah meluncurkan berbagai inovasi seperti e-Billing, e-Filing, dan e-Form, tidak semua pelaku UMKM melek digital. Bagi sebagian pengusaha kecil, mengisi laporan SPT secara daring bisa jadi lebih menakutkan dibanding mengurus operasional bisnis sehari-hari.

Dan sebagian pelaku UMKM merasa pajak yang mereka bayarkan tidak memberikan manfaat langsung. Padahal, infrastruktur jalan, subsidi energi, hingga program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi, sebagian besar dibiayai dari pajak. Kurangnya narasi publik membuat hubungan antara pajak dan UMKM terasa renggang.

Transformasi digital di bidang perpajakan sebenarnya membuka ruang baru. Layanan Coretax Administration System, yang kini sedang diimplementasikan secara bertahap oleh DJP, diharapkan mampu menyederhanakan administrasi perpajakan, meningkatkan integrasi data, serta mempermudah wajib pajak termasuk UMKM.

Selain itu, kehadiran aplikasi pembukuan sederhana berbasis mobile (misalnya SiApik dari OJK atau software akuntansi lokal) memberi kemudahan bagi UMKM untuk mencatat transaksi. Jika pencatatan rapi, maka pelaporan pajak otomatis lebih mudah.

Di sisi lain, digitalisasi juga melahirkan ekosistem baru. UMKM yang berjualan melalui marketplace, e-commerce, atau menggunakan layanan payment gateway, secara tidak langsung mulai “tercatat” dalam sistem formal. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang Pajak atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) misalnya, mempertegas posisi pajak dalam ekonomi digital. Bagi UMKM, kondisi ini bisa dilihat sebagai peluang. Digitalisasi memaksa usaha kecil untuk lebih tertib administrasi, dan pada saat yang sama membuka pintu bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan yang lebih tepat sasaran.

Strategi Mendorong Kepatuhan

1.       Edukasi yang Membumi

Materi sosialisasi pajak sering kali masih terlalu teknis. Padahal, pelaku UMKM butuh penjelasan sederhana dan langsung pada inti. Misalnya: “Omzet Rp10 juta sebulan, maka pajak finalnya Rp50 ribu.” Narasi praktis seperti ini lebih mudah dipahami dibanding paparan panjang yang penuh pasal.

2.       Pendampingan dan Kolaborasi

DJP tidak bisa berjalan sendiri. Peran konsultan pajak, asosiasi profesi, hingga komunitas UMKM sangat penting untuk menjadi jembatan komunikasi. Pendampingan dari hulu ke hilir—dari pencatatan sederhana hingga penyusunan SPT—akan membuat UMKM merasa didukung, bukan sekadar ditagih kewajiban.

3.       Insentif Pajak yang Tepat

Insentif seperti pengurangan tarif, pembebasan sementara, atau kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM patuh bisa menjadi “wortel” yang efektif. Contoh nyata adalah insentif PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku di masa pandemi melalui PMK 44/PMK.03/2020. Program ini terbukti membantu cashflow UMKM sekaligus mendorong kepatuhan pelaporan.

4.       Teknologi yang Ramah UMKM

Tidak semua UMKM membutuhkan aplikasi canggih. Aplikasi ringan, gratis, dan bisa diakses lewat ponsel jauh lebih ramah. DJP bisa menggandeng startup lokal untuk menciptakan solusi sederhana yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha kecil.

5.       Membangun Kepercayaan

Kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan sanksi. Ia tumbuh dari rasa percaya. Transparansi penggunaan pajak, publikasi proyek pembangunan yang didanai pajak, hingga program afirmasi khusus UMKM bisa menjadi cara efektif menumbuhkan kepercayaan.

Ke depan, kepatuhan pajak UMKM akan sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu kemudahan sistem dan kepercayaan publik. Sistem yang sederhana dan digital-friendly akan menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost). Sementara, kepercayaan yang kuat akan mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Jika dua hal ini berjalan beriringan, kita bisa membayangkan dampak besarnya.

Dari 65 juta UMKM, katakanlah 50% rutin melaporkan dan membayar pajak dengan omzet rata-rata Rp300 juta setahun. Dengan tarif 0,5%, potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun mencapai Rp97,5 triliun. Angka yang bukan main-main, setara hampir 20% dari target penerimaan PPh Non-Migas di beberapa tahun terakhir.

Mendorong kepatuhan pajak UMKM di era digital bukan sekadar soal menambah penerimaan negara. Ini adalah bagian dari membangun budaya baru, budaya tertib administrasi, gotong royong modern, dan kepercayaan antara negara dan warganya. UMKM tumbuh karena ekosistem yang sehat, di antaranya infrastruktur, akses keuangan, dan kebijakan afirmatif. Semua itu dibiayai oleh pajak. Sebaliknya, negara butuh kontribusi UMKM untuk memperkuat fondasi fiskal. Keduanya saling membutuhkan.

Oleh karena itu, kepatuhan pajak UMKM di era digital harus dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi sosial. Investasi yang akan memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, sekaligus memastikan bahwa pertumbuhan yang kita capai bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Potensi Rp85 Triliun Batubara Menguap

PADA triwulan I tahun 2025 telah terjadi lonjakan restitusi pajak senilai Rp 144,38 triliun, dengan restitusi PPN senilai Rp 113,29 triliun. Dalam pemberitaan media nasional diberitakan ”Restitusi Pajak Batubara Menggunung, DJP Siapkan Solusi Baru”. Lonjakan restitusi terutama dari sektor komoditas. Muncul pertanyaan, mengapa restitusi PPN dari perusahaan tambang batubara meningkat di tahun 2025 dan penerimaan negara menguap? Ekspor batubara Indonesia pada semester I tahun 2025 sebesar 238 juta ton dan total produksi sebanyak 357,6 juta ton.

Dengan demikian persentase ekspor batubara semester I tahun 2025 adalah 66,6%. Tidak ada data resmi besarnya nilai restitusi PPN batubara. Bila sebagian besar restitusi PPN berasal dari perusahaan batubara, maka diperkirakan lebih dari 50% restitusi berasal dari perusahaan batubara. Dengan volume penjualan lokal sebesar 33,4%, maka potensi PPN Masukan batubara adalah mencapai Rp 85 triliun (Restitusi(Rp113.29T * 50%) + PPN Keluaran/PPN dipungut dari penjualan lokal (Rp113.29T * 50% : 66,6% * 33.4%)). Kita tunggu data resmi nilai PPN Masukan dan restitusi PPN batubara.

Pada aturan lama UU PPN sejak pertama kali diberlakukan 1 Juli 1984, barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya diperlakukan sebagai ”bukan objek PPN”. Sesuai aturan lama, maka Rp85 triliun PPN yang dibayar oleh perusahaan tambang kepada supplier atas pembelian barang atau jasa untuk kegiatan tambang tidak dapat direstitusi atau dikreditkan. PPN tersebut menjadi biaya produksi dan mengurangi laba usaha tambang, sehingga penerimaan negara langsung bertambah Rp 85 triliun.

Dengan aturan baru sejak 1 April 2022, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), hasil tambang tersebut diubah menjadi ”objek PPN”. Perubahan ini berdampak Rp85 triliun PPN Masukan pada perusahaan tambang menjadi ”dapat dikreditkan”. Karena penjualan lokal batubara hanya 33,4%, maka tentu PPN Masukan lebih besar dibandingkan dengan PPN Keluaran sehingga perusahaan tambang berhak untuk restitusi PPN.

Berikut ilustrasi PPN Masukan Tidak Dapat Dikreditkan Versus PPN Masukan Dapat Dikreditkan dan dampak penerimaan negara:

Ilustrasi menunjukkan, total penerimaan negara turun Rp 85 triliun. PPN Keluaran penjualan lokal batubara lebih kecil dari jumlah PPN Masukan batubara karena ekspor batubara dikenai PPN dengan tarif 0%. Fenomena ini yang menjelaskan penyebab maraknya restitusi PPN batubara dan menguapnya potensi penerimaan negara dari PPN.

Perspektif keadilan menurut penulis, filosofi aturan lama bahwa ”hasil tambang yang diambil dari sumbernya” ”bukan objek PPN” adalah karena hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya masih mempunyai nilai ekonomis sesuai kondisi awal dan belum diproses lebih lanjut menjadi produk yang baru/mempunyai pertambahan nilai yang lebih tinggi.

Keadilan yang ingin dicapai dalam aturan baru/UU HPP tidak sepenuhnya tepat, karena harus melihat juga sisi keadilan yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mengatur ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tentu lebih adil bila ”PPN Masukan” perusahaan tambang ”tidak dapat dikreditkan” seperti aturan lama sebelum UU HPP. Hal ini tidak melanggar filosofi pengenaan PPN.

Disamping itu perusahaan tambang telah memperoleh fasilitas negara untuk mengambil hasil tambang tanpa adanya beban biaya bahan baku. Maka sudah sepatutnya tambang harus memberikan keadilan yang berpihak pada optimalisasi penerimaan negara.

Kesimpulan dan Saran

Guna mencegah terulang menguapnya PPN batubara dan hasil tambang lainnya dengan potensi Rp 85 triliun, dipandang perlu untuk kembali ke aturan lama, yaitu hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya diperlakukan sebagai ”bukan objek PPN”. Hal ini agar penerimaan negara dari PPN akan bertambah sebesar ”PPN Masukan tidak dapat dikreditkan” yang dibayar perusahaan tambang.

Namun demi keadilan dan kepastian hukum, usulan ini juga perlu diimbangi jaminan konsistensi dari otoritas pajak dalam menafsirkan hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya sebagai ”bukan objek PPN”. Bila terjadi multitafsir dari pemeriksa sebagaimana yang pernah terjadi dan menjadi sengketa pajak, akan menjadi alasan bagi perusahaan batubara mengajukan hasil tambang kembali sebagai ”objek PPN”, yang sesuai mekanisme pengkreditan PPN justru berimplikasi menguapnya Penerimaan PPN.

Kebijakan ini bukan hanya soal teknis fiskal melainkan sebagai wujud komitmen konstitusional untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam benar-benar digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.

Penulis adalah Anggota IKPI, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, Advokat, dan Lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Arifin Halim

Email: ar.halim58@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Rabu, 24 September 2025 – 19:40 WIB dengan judul “Potensi Rp85 Triliun PPN Batubara Menguap”. Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/1624479/18/potensi-rp85-triliun-ppn-batubara-menguap-1758715792

Kenaikan PBB P-2 : Tantangan Penerimaan Pajak Bagi Daerah

Beberapa waktu yang lalu terjadi kericuhan dalam aksi yang menuntut bupati Pati mundur dari jabatannya yang menyebabkan polisi dan warga terluka.Selain itu kantor bupati dan Gedung DPRD Pati juga menga;ami kerusakan. Penyebab terjadinya kericuhan adalah Keputusan bupati Pati untuk menaikkan  PBB P-2 menjadi 250%.Ternyata daerah lain seperti Jombang,Banyuwangi ,dan Cirebon juga menaikkan PBB P-2 dengan rata-rata kenaikan di atas 100%. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kewenangan propinsi,kabupaten,dan kota untuk menentukan  PBB P-2 ?

Daerah Tidak  Mandiri Sepenuhnya Dalam Menentukan PBB P-2

Kewenangan daerah di dalam menentukan PBB P-2 telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah (HKPD).Namun kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berada di daerah . Hal tersebut tercermin di dalam beberapa pasal di dalam  aturan UU HKPD yaitu:

  1. Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi ,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan paling lama tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.Untuk Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah di tingkat kabupaten/kota yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dengan DPRD kabupaten/kota,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur,Memteri dalam negeri ,dan Menteri keuangan paling lama 3 hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
  2. Untuk rancangan Perda tingkat provinsi,Menteri dalam negeri akan menguji kesesuaian rancangan perda dengan ketentuan di dalam UU HKPD ,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional.Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan Menteri dalam negeri dengan Menteri keuangan  disampaikan Menteri dalam negeri kepada gubernur paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan peraturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan . Sedangkan untuk rancangan Perda di tingkat kabupaten/kota ,gubernur akan menguji kesesuaian rancangan perda tersebut dengan ketentuan di dalam UU HKPD,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan juga melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan gubernur dengan Menteri keuangan disampaikan kepada bupati/walikota paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan perturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan
  3. Atas rancangan Perda yang telah mendapatkan persetujuan dan telah ditetapkan gubernur/bupati/walikota menjadi Perda harus disampaikan kembali kepada Menteri dalam negeri dan Menteri keuangan paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan untuk dievaluasi.

Cara Mengamankan Pendapatan Dari Pajak Daerah

Dari uraian di atas ,dapat diketahui betapa terbatasnya kewenangan daerah dalam menentukan pajak daerahnya karena masih ada intervensi dari pemerintah pusat.Namun di sisi yang lain,pemerintah pusat ingin memastikan kebijakan fiskal di daerah tidak bertentangan dengan kebijakan fiskal nasional.Hal ini bisa saja berdampak pada pencapaian penerimaan pajak daerah yang tidak optimal.

Ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan daerah untuk mengamankan pendapatan daerahnya. Pertama, daerah dapat mengadakan dan memperluas jenis insentif pajak PBB P-2 yang meliputi pembebasan pokok sampai dengan jumlah tertentu.pengurangan pokok,keringanan pokok,,dan pembebasan sanksi administratif.Tujuannya agar beban pajak yang ditanggung masyarakat lebih adil ,proporsional,dan meningkatkan kepatuhan untuk membayar PBB P-2.

Kedua, pemerintah harus lebih mengawasi secara ketat mengenai  peraturan daerah di bawahnya.Untuk tingkat pusat dan provinsi,  pengawasan berjalan relatif baik.Namun untuk tingkat  kabupaten/kota ,pengawasan oleh  provinsi tidak berjalan optimal. Kasus kejadian di Pati merefleksikan hal tersebut.Provinsi perlu menyusun acuan indeks penetapan PBB P-2 yang berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat di kabupaten/kota. indeks tersebut akan menjadi acuan bagi kabupaten/kota untuk menetapkan PBB P-2 dan penetapan PBB P-2  tidak boleh melewati indeks tersebut.

Ketiga, pemerintah daerah dengan anggaran pendapatan daerah yang terbatas,dapat menyatukan program anggaran daerahnya dengan program anggaran daerah yang ditentukan pusat.Hal tersebut bisa dilakukan dengan menyinkronkan program pembangunan prioritas di daerah yang dibiayai pendapatan asli daerah,dana alokasi umum “earmarked”,dan dana alokasi umum “blockgrant”.Walaupun ada pemotongan transfer ke daerah oleh pusat,namun dengan kebijakan tersebut diharapakan tidak akan mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Keempat, daerah harus menekan kebocoran anggarannya dan melakukan penghematan.Berdasarkan “executive summary” dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tentang pemaparan efisiensi APBD berdasarkan Inpres 1/2025,diketahui mayoritas dana alokasi umum”blockgrant” digunakan untuk membiayai gaji ASN di daerahnya.Sudah saatnya daerah memikirkan agar menerapkan tunjangan gaji ASN berdasarkan kinerja pelayanan birokrasi ke masyarakat umum. Semoga dangan keempat cara tersebut , akselerasi pertumbuhan ,dan penguatan kesejahteraan rakyat di daerah bisa cepat terwujud untuk mendukung Visi Indonesia Emas 2045.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Cunyah Tantan

Email:cunyah_tantan@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pajak Waris: Antara Kebijakan Fiskal dan Beban Psiko-Sosial

Ketika orang tua meninggal dunia, keluarga biasanya larut dalam duka. Namun, tak lama setelah itu, muncul urusan administratif yang tak kalah menyita emosi: balik nama harta warisan. Di titik inilah banyak orang kaget, karena ternyata ada pajak yang harus dibayar. Namanya pajak waris.

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar janggal. “Harta itu kan milik keluarga, kenapa negara ikut campur?” Pertanyaan tersebut wajar, sekaligus membuka ruang diskusi penting: adilkah pajak waris di Indonesia?

Logika Fiskal Pajak Waris

Pemerintah beralasan bahwa pajak waris diberlakukan untuk menjamin keadilan fiskal. Warisan termasuk objek final wealth gain menurut teori akrual pajak (Hidayat, 2018: 517), meskipun secara legal bukan penghasilan. Logikanya sederhana: seseorang yang tiba-tiba menerima rumah, tanah, atau deposito bernilai miliaran rupiah otomatis mengalami peningkatan aset, dan peningkatan inilah yang dianggap pantas dikenai kewajiban pajak.

Di Indonesia, ada tiga aturan utama yang terkait dengan pajak waris. Pertama, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang memang mengecualikan warisan dari objek PPh, tetapi tetap memberi konsekuensi pajak jika harta warisan itu menghasilkan penghasilan baru. Kedua, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melekat pada tanah dan bangunan. Ketiga, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam UU No. 28/2009 jo. UU No. 1/2022, yang biasanya paling dirasakan masyarakat ketika mengurus balik nama warisan.Dengan kerangka ini, negara menempatkan warisan bukan semata “harta keluarga”, melainkan juga objek fiskal.

Studi Kasus: Rumah Warisan Bernilai Rp1,5 Miliar

Ambil contoh sederhana: seorang ayah meninggal dunia dan mewariskan rumah senilai Rp1,5 miliar di Jakarta kepada anaknya. Saat sang anak mengurus balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ia harus menyiapkan pembayaran BPHTB.

Ketentuannya:

• NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, batas bebas pajak waris) warisan di Jakarta: Rp300 juta.

• Formula BPHTB: 5% × (NPOP – NPOPTKP).

• NPOP = Rp1,5 miliar.

• Dasar pengenaan = Rp1,5 miliar – Rp300 juta = Rp1,2 miliar.

• BPHTB terutang = 5% × Rp1,2 miliar = Rp60 juta.

Artinya, ahli waris harus membayar Rp60 juta hanya untuk balik nama. Jumlah ini belum termasuk biaya notaris, administrasi, dan PBB tahunan. Bagi kalangan berpenghasilan tinggi, biaya ini dapat diatasi dengan relatif mudah. Namun bagi keluarga kelas menengah, yang menurut data BPS (2023) menyisihkan rata-rata 8,3% pendapatan untuk tabungan, Rp60 juta setara dengan akumulasi simpanan 4-5 tahun.

Beban ini menciptakan apa yang dalam studi Kirchler (2007) disebut sebagai fiscal grief syndrome, di mana tekanan administratif dan finansial memperparah trauma psikologis pasca-berduka. Survei Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2022) terhadap 200 responden menunjukkan 68% ahli waris mengalami peningkatan stres akibat proses perpajakan. Situasi inilah yang menciptakan apa yang disebut “double burden of grief”: duka emosional karena kehilangan orang tua ditambah beban finansial karena kewajiban pajak.

Antara Keadilan dan Ketidakadilan

Dari perspektif teori pajak, prinsip ideal seperti ability to pay (Musgrave, 1959) dan benefit principle (Bird & Zolt, 2015) kerap tak terpenuhi. Data OECD (2021) menunjukkan hanya 42% wajib pajak beraset tinggi di Indonesia yang patuh pada kewajiban waris—angka terendah di ASEAN. Ironisnya, keluarga kelas menengah pemilik rumah Rp1,5 miliar justru terbebani BPHTB Rp60 juta, setara dengan 5 tahun akumulasi tabungan (BPS, 2023). Inilah wajah ketidakadilan sistemik: kebijakan yang seharusnya redistributif, malah menjadi fiscal grief syndrome (Kirchler, 2007).

Sayangnya, pajak waris di Indonesia sering kali justru membebani kelompok yang secara finansial rapuh.

Ketimpangan perlakuan juga terasa nyata: kalangan konglomerat punya akses ke konsultan pajak, notaris, dan instrumen perencanaan warisan (estate planning) seperti family trust atau offshore foundation (Shaviro, 2003).

Penelitian Hidayat (2018) menunjukkan bahwa 73% wajib pajak dengan harta >Rp50 miliar menggunakan family trust, sementara hanya 2% pemilik aset <Rp5 miliar yang memahami opsi ini. Mereka dapat memanfaatkan instrumen perencanaan warisan (seperti trust atau yayasan) untuk mengurangi liabilitas pajak secara legal, sementara masyarakat umum kesulitan mengakses skema serupa.

Data OECD (2021) mengonfirmasi ketimpangan ini: rasio kepatuhan pajak waris kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia hanya 42%, jauh di bawah rata-rata global (67%) akibat kompleksitas penghindaran pajak.

Sebaliknya, rakyat biasa yang hanya mewarisi rumah sederhana tak punya pilihan selain membayar sesuai aturan. Akibatnya, pajak waris lebih terasa sebagai pungutan yang tidak adil ketimbang instrumen distribusi kekayaan.

Penelitian psikologi pajak menunjukkan bahwa pajak yang dirasa tidak adil menurunkan kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan (Kirchler, 2007; Alm, 2019). Jika hal ini terus dibiarkan, legitimasi sosial pajak waris akan melemah.

Ketidakadilan persepsi pajak berkorelasi negatif dengan voluntary compliance (r = -0.78, p<0.01) berdasarkan meta-analisis 127 studi (Alm, 2019: 362), dan berdampak lebih buruk di masyarakat berpendapatan menengah (Kirchler, 2007: 89).

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara telah lama menggunakan pajak waris sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan estate tax dengan tarif hingga 40% untuk harta warisan bernilai besar. Jepang bahkan lebih ekstrem, dengan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Namun, kedua negara tersebut juga memberikan ambang batas bebas pajak yang tinggi sehingga keluarga kelas menengah tidak terbebani (OECD, 2021).

Praktik ini menunjukkan bahwa pajak waris bisa diterima publik jika dirancang dengan prinsip progresivitas: semakin besar nilai warisan, semakin tinggi beban pajaknya. Sebaliknya, warisan kecil untuk keluarga biasa mendapat keringanan.

Rekomendasi Reformasi

Agar pajak waris benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan fiskal, beberapa langkah reformasi perlu dipertimbangkan:

• Menyesuaikan NPOPTKP dengan indeks inflasi properti (misal: mengacu data kuartalan Bank Indonesia) dan menetapkan ambang batas berbeda per daerah (DKI Jakarta: min. Rp1,5 miliar, Jawa Timur: Rp800 juta, dst).

• Membedakan warisan produktif dan konsumtif. Usaha kecil keluarga seharusnya mendapat perlakuan lebih ringan agar dapat terus beroperasi tanpa terganggu masalah pajak.

• Mengadopsi skema progresif mirip PPh, contoh:

Warisan ≤ Rp2 M: 0%

Rp2–10 M: 2,5%

Rp10 M: 5–7%

4.     Menyediakan skema cicilan atau penangguhan pembayaran BPHTB. Dengan demikian, keluarga tidak harus menanggung beban pajak sekaligus.

• Meningkatkan literasi pajak waris. Pemerintah perlu menjelaskan sejak dini bahwa pewarisan membawa konsekuensi fiskal, sehingga masyarakat dapat merencanakan keuangan lebih baik.

Penutup

Pajak waris sejatinya adalah upaya negara untuk mengatur distribusi kekayaan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering dipersepsikan publik sebagai “pajak di atas kesedihan”. Selama beban lebih banyak ditanggung rakyat kecil ketimbang konglomerat, rasa ketidakadilan akan terus mengemuka.

Jika pemerintah ingin pajak diterima dengan lapang dada, reformasi aturan pajak waris tidak bisa ditunda. Tanpa reformasi mendasar, pajak waris akan tetap menjadi paradoks: kebijakan yang dimaksudkan untuk keadilan, justru melanggengkan ketimpangan. Saatnya menjadikannya instrumen redistribusi yang nyata bukan sekadar ‘pajak air mata’ bagi yang berduka.

Dengan begitu, ia bukan hanya menjadi sumber kas negara, tetapi juga instrumen keadilan sosial yang menjaga kepercayaan rakyat pada sistem perpajakan.

 

Referensi

1.      Alm, J. (2019). What motivates tax compliance? Journal of Economic Surveys, 33(2), 353–388. https://doi:10.1111/joes.12272

2.      Asian Development Bank (ADB). (2022). Inheritance tax reform in Southeast Asia: Lessons from Japan and Singapore. https://doi.org/10.22617/TCS220135-2

3.      Bad an Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (BKF Kemenkeu). (2022). Evaluasi efektivitas BPHTB waris di 5 kota metropolitan [Laporan internal].

4.      Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2015). Taxation and inequality in the global South. World Development, 67, 420–433. https://doi:10.1016/j.worlddev.2014.10.015

5.      Gustafsson, M. (2021). Inheritance taxation and psychological distress: Evidence from Sweden. Journal of Economic Psychology, 85, 102398. https://doi:10.1016/j.joep.2021.102398

6.      Hidayat, A. (2018). Pajak waris dan implikasinya dalam hukum pajak Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 512–530. https://doi:10.21143/jhp.vol48.no3.1802

7.      James, K. (2019). Tax avoidance and capital flight in developing economies. Journal of Public Economics, 178, 104–120. https://doi:10.1016/j.jpubeco.2019.104120

8.      Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.

9.      Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.

10.  Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2021). Inheritance taxation in OECD countries. OECD Publishing. https://doi:10.1787/e2879a7d-en

11.  Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. W. W. Norton & Company.

12.  Tim Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2023). Dampak kewajiban perpajakan pada stres finansial ahli waris di DKI Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial, 21(1), 45–62.

13.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

 

id_ID