Pentingnya Perlindungan Hukum untuk Konsultan Pajak Dalam Menjalankan Profesinya

Konsultan Pajak merupakan profesi penunjang sektor keuangan, Profesi penunjang sektor keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan. Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Adanya penerapan sanksi Pidana di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana di atur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A. Pasal tersebut (Pasal 39 dan Pasal 39A) berlaku juga Baik Bagi Wajib Pajak maupun bagi Wakil, Kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kuasa sebagaimana di atur dalam pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Dapat disimpulkan termasuk juga Konsultan Pajak. Hal ini dapat di temukan di dalam penjelasan mengenai Kuasa. Seorang kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Seorang kuasa meliputi a. konsultan pajak; dan b. karyawan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berbeda dengan pegawai pajak yang dilindungi, Di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dimana diatur dalam pasal 36A ayat (5) disebutkan bahwa Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai perbandingan dengan Profesi lainnya yakni advokat.

Seorang advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, Untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Demikian juga Profesi Penunjang Sektor Keuangan lainnya, Yakni Akuntan Publik yang diberikan perlindungan hukum sepanjang telah memberikan jasa sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik.

Posisi yang berbeda untuk seorang Konsultan pajak yang bertindak sebagai Kuasa, Tidak ada aturan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya didasarkan pada itikad baik. Sehingga profesi konsultan pajak rentan dikriminalisasi dengan dakwaan pasal turut serta. Yakni yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Sebagaimana diketahui, Salah satu tugas konsultan pajak membantu Wajib Pajak, Tidak hanya memberikan konsultasi perpajakan dan menghitung besaran pajak terutang. Tetapi juga konsultan pajak ada yang membantu wajib pajak/kliennya menyusun pembukuan/Laporan Keuangan Wajib Pajak, Membantu Menerbitkan Faktur Pajak Wajib Pajak, Melaporkan Surat Pemberitahuan baik Masa Maupun Tahunan Wajib Pajak. Sehingga bilamana kita kaitkan dengan penjelasan pasal 43 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.

Jerat pidana tersebut dapat menyasar kepada Profesi konsultan pajak, Misalnya dalam hal konsultan pajak diminta klien/Wajib Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak dan ternyata dikemudian hari diketahui Faktur pajak tersebut terindikasi faktur pajak TBTS (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya) sedangkan konsultan tersebut tidak mengetahui akan hal tersebut.

Walaupun di dalam Tindak Pidana di kenal adanya istilah mens rea (Unsur Jahat/permufakatan jahat) sebagai salah satu unsur pembuktian perbuatan pidana. Tetapi hal tersebut tidak dapat serta merta melindungi seorang Konsultan Pajak dari jerat Pidana penyertaan.

Untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada konsultan pajak yang menjalankan profesinya. Perlu adanya aturan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya dengan itikad baik. Aturan tersebut idealnya adalah sebuah Undang-Undang. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang tersebut, Tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga memberikan penegasan dan pengakuan yang kuat atas profesi konsultan pajak sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Sehingga profesi konsultan pajak semakin profesional, mandiri dan berkualitas.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor

Andi Deswanta

Email: andideswanta@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Mengenal Produk Konsultan Pajak

Sekilas judul di atas tampak janggal bukan ? Kejanggalan tersebut wajar adanya, muncul karena keterbatasan pemikiran bahwa Konsultan Pajak tidak membuat suatu barang untuk dijual atau diserahkan kepada kliennya. Kejanggalan pemikiran lainnya terjadi karena penggunaan kata “jasa” yang kerap dipasangkan dengan kata “barang” yang memiliki bentuk wujud tertentu (dapat dilihat dan dipegang). Namun demikian, dalam dunia profesi kata “jasa” dapat dikonkretisasi menjadi sesuatu yang berwujud (dapat dilihat dan dipegang) serta yang terpenting adalah bermanfaat bagi pengguna (klien) untuk mengambil keputusan tertentu.

Pada beberapa profesi yang ada, sebagai contoh: profesi Notaris, profesi Advokat, profesi Akuntan Publik, dan profesi Konsultan Hukum Pasar Modal, profesi-profesi tersebut memberikan jasa sesuai keahliannya masing-masing. Advokat memberikan jasa hukum baik non litigasi maupun litigasi.

Jasa hukum non litigasi dikonkretisasi melalui berbagai bentuk seperti: pendapat hukum tertulis (legal opinion), pembuatan perjanjian dan lain-lain, sedangkan jasa hukum litigasi dikonkretisasi melalui bentuk – bentuk seperti: surat gugatan, surat jawaban, nota pembelaan (pledoi) dan lain-lain.

Notaris sebagai Pejabat Umum, jasa pelayanannya dikonkretisasi dalam bentuk pembuatan akta otentik maupun akta-akta lainnya. Akuntan Publik salah satu jasanya dikonkretisasi dalam bentuk laporan keuangan audit yang memuat opini Akuntan tersebut. Konsultan Hukum Pasar Modal salah satu jasanya, berupa pendapat hukum yang dikonkretisasi dalam bentuk prospektus perusahaan yang akan melakukan penawaran saham di pasar modal.

Konsultan Pajak memberikan jasa perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan kliennya. Jasa perpajakan tersebut meliputi:

Jasa konsultasi perpajakan;

Jasa pengurusan hak dan kewajiban perpajakan;

Jasa kuasa dan/atau pendampingan Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan pajak termasuk didalamnya pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana perpajakan dan sengketa perpajakan (termasuk pajak daerah) pada Direktorat Jenderal Pajak, Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung.

(Bagian I angka 1 huruf b Standar Profesi IKPI)

Sama halnya dengan profesi yang lain, Konsultan Pajak dapat dan bahkan dianjurkan juga untuk mengkonkretisasi jasa perpajakan yang diberikan kepada kliennya. Bagian II angka 3.3.2. Standar Profesi IKPI adalah anjuran sekaligus pedoman bagi para Konsultan Pajak untuk dapat mengkonkretisasi jasa konsultasi / informasi / pendapat profesional yang diberikannya ke dalam bentuk tertulis.

“3.3.2. Anggota disarankan untuk memberikan konsultasi secara tertulis. Namun demikian jika anggota perlu memberikan jawaban secara spontan dalam rapat atau melalui telepon, maka anggota harus membuat catatan internal tentang materi diskusi, tanggal dan saran yang diberikan. Hal ini dilakukan baik untuk klien ataupun calon klien. Anggota mempunyai pilihan untuk menyampaikannya kepada klien atau tidak.”

Lebih lanjut, bentuk tertulis dari jasa konsultasi ini dinamai dengan surat saran (Bagian II angka 3.3.3. Standar Profesi IKPI). Surat saran tersebut di dalamnya harus memuat setidaknya 6 (enam) komponen, yaitu:

Alasan saran tersebut diperlukan;

Latar Belakang fakta serta asumsi yang mendasari saran;

Dasar hukum yang menjadi rujukan;

Alternatif yang disampaikan klien;

Risiko yang melekat pada saran yang diberikan;

Peringatan yang terkait dan pengecualian.

Dengan adanya surat saran dan catatan internal yang dibuat, maka jasa konsultasi yang dilakukan oleh Konsultan Pajak telah dikonkretisasi ke dalam suatu bentuk / wujud fisik tertentu. Konkretisasi sebaiknya dilakukan secara komprehensif terhadap seluruh jasa perpajakan yang dilakukan oleh Konsultan Pajak. Jika dalam pemberian jasa konsultasi, Konsultan Pajak disarankan untuk membuat surat saran dan catatan internal, maka pada awal penugasan untuk mengurus hak dan kewajiban pajak klien, Konsultan Pajak diwajibkan untuk membuat Surat Ikatan Kerja / Tugas (SIT). Kewajiban untuk membuat SIT ini tercantum pada Bagian II angka 5.1.2. Standar Profesi IKPI yang menyebutkan:

“Saat menerima penugasan, anggota diwajibkan untuk membuat Surat Ikatan Kerja (SIT) dengan klien, berkenaan dengan lingkup kerja dan sifat penugasan, serta meminta klien menyampaikan konfirmasi dan memberikan persetujuan tertulis. SIT ini merupakan kontrak antara anggota dengan klien yang berlaku efektif walaupun tanpa adanya surat konfirmasi. Diperlukan kecermatan kalimat dalam membuat definisi lingkup penugasan, sehingga klien memahami tugas penugasan yang telah disepakati untuk dikerjakan oleh anggota. SIT yang dibuat oleh anggota wajib mencakup jumlah besaran imbalan yang akan dikenakan pada klien.”

SIT merupakan bentuk konkret awal adanya tugas pengurusan hak dan kewajiban pajak dari klien kepada Konsultan Pajak. SIT memuat ruang lingkup pelaksanaan tugas pengurusan hak dan kewajiban pajak klien yang akan dilaksanakan oleh Konsultan Pajak. Setelah SIT ditandatangani oleh Konsultan Pajak dan kliennya, maka Konsultan Pajak melaksanakan jasa pengurusan hak dan kewajiban pajak dan menuangkannya dalam kertas kerja Konsultan Pajak.

Kertas kerja Konsultan Pajak merupakan bentuk konkret atas pelaksanaan jasa pengurusan hak dan kewajiban pajak, yang didalamnya merekam aktivitas-aktivitas ekonomi klien yang masuk dalam ruang lingkup penugasan untuk menyiapkan perhitungan pajak. Pembuatan kertas kerja itu sendiri didasarkan pada informasi yang diperoleh secara simultan dari klien yang dikumpulkan berikut dengan bukti-bukti pendukungnya.

Jasa perpajakan berikutnya adalah jasa perpajakan berupa pendampingan klien dalam hal adanya pemeriksaan pajak, penyidikan dan sengketa pajak. Pada tahap awal pemberian jasa pendampingan ini ditandai dengan adanya surat kuasa dari klien kepada Konsultan Pajak sebagai bentuk konkretnya.

Surat Kuasa ini diperlukan untuk memperlengkapi Konsultan Pajak agar kehadiran dan kapasitas Konsultan Pajak pada saat mendampingi, mewakili, mengklarifikasi serta menandatangani dokumen-dokumen tertentu atas nama kliennya selama pemeriksaan, penyidikan dan penyelesaian sengketa tidak terkendala. Bentuk konkret lain dari pelaksanaan jasa Konsultan Pajak pada tahapan ini memiliki beragam bentuk antara lain: pengajuan surat keberatan, surat banding, surat gugatan, surat uraian banding, permohonan peninjauan kembali dan lain-lain bergantung tahapan proses yang sedang berjalan. Kemahiran Konsultan Pajak dalam pembuatan surat permohonan, argumentasi alasan serta penyusunan bukti yang diajukan pada akhirnya akan menentukan keyakinan Majelis Hakim dalam memutuskan sengketa pajak.

Sebagai penutup semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai produk-produk konkret atas pelaksanaan jasa perpajakan Konsultan Pajak. Sama halnya dengan profesi-profesi lain yang memiliki bentuk konkret tertentu sebagai ciri khas atas pelaksanaan jasanya, Konsultan Pajak tentunya juga memiliki ciri khas dan bentuk konkret atas pelaksanaan jasa perpajakannya.

Akhir kata, teriring harapan dengan semakin familiarnya bentuk-bentuk konkret atas jasa perpajakan Konsultan Pajak, Undang-Undang Konsultan Pajak sebagai payung hukum profesi Konsultan Pajak dapat segera terwujud dan disahkan.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Regulasi Pajak Digital: Implementasi PMK 37 Tahun 2025 atas Transaksi PMSE

Di era yang serba maju dan digital saat ini, hampir seluruh aspek kehidupan mengalami transformasi berbasis teknologi, termasuk dalam cara manusia melakukan transaksi perdagangan. Inovasi digital telah mendorong perubahan perilaku konsumen dan pelaku usaha, yang kini lebih memilih platform daring sebagai sarana utama dalam berjual beli. Transaksi digital ini di kenal dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) salah satu contohnya adalah Platform yang sangat dikenal luas seperti ‘toko ijo’ dan ‘toko orange’ merupakan contoh PMSE yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam ekosistem digital.

Menyadari perkembangan ini, Pemerintah terus berupaya menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan pengawasan perpajakan di sektor digital. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan perpajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik yaitu penyelenggara perdagangan PMSE yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung sebagai pemungut pajak. PMK ini baru relase 11 Juni 2025 dan mulai berlaku pada saat tanggal di undangkan .

Beberapa poin penting yang diatur dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025 yang terdiri dari 5 BAB dan 18 pasal antara lain sebagai berikut :

Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik yang berada di dalam maupun luar wilayah Indonesia. Penunjukan dilakukan apabila PMSE menggunakan rekening escrow yaitu rekening yang menampung penghasilan dan memenuhi kriteria tertentu, yaitu memiliki nilai transaksi dengan pengguna di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan, dan atau jumlah traffic atau pengakses yang melebihi batas tertentu dalam periode yang sama. Besaran nilai transaksi dan traffic ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai dasar penunjukan kewajiban pemungutan pajak.

Orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening keuangan sejenis, serta melakukan transaksi dengan alamat internet protocol (IP) di Indonesia atau nomor telepon berkode Indonesia. Termasuk dalam kategori ini adalah perusahaan jasa pengiriman, perusahaan asuransi, dan pihak lain yang melakukan transaksi barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik. Hal ini memperjelas cakupan subjek pajak dalam perdagangan digital di domestik agar pengawasan dan pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif dan sesuai dengan perkembangan teknologi.

Pedagang Dalam Negeri wajib menyampaikan NPWP/NIK dan alamat korespondensi kepada pemungut pajak. Jika peredaran bruto ≤ Rp500 juta, harus melampirkan surat pernyataan. Semua informasi disampaikan sebelum penghasilan diterima. Surat pernyataan dan SKB harus diperbarui setiap tahun. Jika peredaran bruto melebihi Rp500 juta, wajib menyampaikan surat pernyataan terbaru paling lambat akhir bulan saat batas tersebut terlampaui.

Tarif pajak PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dan terutang saat pembayaran diterima. PPh ini bisa diperhitungkan sebagai angsuran PPh atau pelunasan PPh final, tergantung jenis penghasilannya. Jika PPh yang dipungut lebih kecil dari yang seharusnya, kekurangannya wajib disetor sendiri. Jika lebih besar, bisa diminta kembali.Untuk transaksi dalam valuta asing, konversi ke rupiah memakai kurs Menteri Keuangan saat pembayaran.

Hal yang perlu diketahui dalam PMK 37 tahun 2025 ini adalah tidak semua transaksi dikenai pemungutan PPh Pasal 22. Beberapa jenis transaksi dikecualikan, seperti penjualan oleh Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, jasa ekspedisi oleh mitra aplikasi, transaksi yang disertai Surat Keterangan Bebas (SKB), penjualan pulsa, kartu perdana, emas, batu permata, serta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Namun pada prinsipnya atas penghasilan tersebut tetap terutang pajak, dan kewajiban pajak tetap harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan perpajakan,sehingga untuk penghasilan tersebut tidak lagi dikenai pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain seperti penyelenggara PMSE.

Ketentuan ini diterapkan untuk menghindari terjadinya pemungutan pajak berganda (double taxation) atas penghasilan yang sama. Dengan kata lain, pengenaan pajak ini tidak berlaku lagi untuk penghasilan yang sudah dipungut PPh Pasal 22, karena prinsip keadilan dalam perpajakan mewajibkan bahwa setiap objek pajak hanya dikenai pungutan satu kali melalui mekanisme yang berlaku, agar tidak membebani Wajib Pajak.

Dengan demikian, kehadiran PMK 37/2025 merupakan wujud nyata komitmen Pemerintah dalam mengadaptasi kebijakan fiskal guna menjawab tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, peraturan ini mampu menciptakan iklim perpajakan yang lebih transparan, adil, dan selaras dengan kebutuhan zaman, sekaligus mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak bagi para pelaku usaha di ekosistem digital Indonesia.

Penulis adalah anggota Departemen Pendidikan IKPI

Tintje Beby

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclamer : Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

 

Kesalahan Pengisian Kolom di SSP Atas Pembayaran PPN Untuk Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud /JKP Dari Luar Daerah Pabean

Timbulnya koreksi PPN Masukan yang semula dikreditkan oleh Wajib Pajjak menjadi tidak dapat dikreditkan oleh otoritas pajak terkait kesalahan pengisan kolom di SSP atas pembayaran PPN u/pemanfaatan BKP tdk berwujud dan/atau JKP dr luar daerah pabean.

Dasar Hukum yang dipakai oleh Pemeriksa (Fiskus) dalam melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, antara lain :

Pasal 9 ayat (2), ayat (8), Pasal 13 ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.t.d dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pasal 1 , Pasal 4, Pasal 5 ayat(2) jo PER 13 PJ-2012; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2011 tentang Perubahan Kedua atas PER-10/PJ/2010, kemudian dicabut dengan PER-13 PJ-2019 dan terakhir dicabut dengan PER-16 PJ-2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Angka 8, angka 9 Surat Edaran Nomor SE -147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Berikut ini beberapa kutipan pasal-pasal dari peraturan diatas yang relevan langsung yang mendasari koreksi Fiskus :

Ps 9(8)huruf g UU PPN

“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untukpemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)”

Pasal 13 (6) UU PPN

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”

Penjelasan Pasal 13 (6) UU PPN

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena :

faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.

untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak berada di luar daerah Pabean, misalnya dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai -Faktur Pajak dan

terdapat .dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Pasal 6 ayat (2) PMK 40/PMK.03/2010 menyebutkan :

kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean

kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan….

pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.

Cara pengisian SSP diatas juga dapat ditemukan dalam angka 8 SE-147 PJ-2010

Pasal 1 huruf j PER-67 PJ-2010

“Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean”

Pasal4 PER 67-PJ-2010

“Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pasal 5 ayat (2) PER 67 PJ/2010 tentang perubahan PER-10 PJ-2010 menyebutkan :

“Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud”

Angka No.9 SE-147/PJ/2010

“Dalam hal pengisian Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tersebut, maka pembayaran PPN tersebut tidak dapat dikreditkan”

Sering terjadi Wajib Pajak melakukan kesalahan pengisian kolom-kolom yang tertera di SSP , dimana :

pada kolom pemberi jasa seharusnya diisi dengan nama dan alamat pihak yang berkedudukan di Luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pahak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dan

pada kolom NPWP seharusnya diisi dengan angka 0 dan kode Kantor Pelayanan Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak ,

kedua kolom tersebut tidak di isi sesuai Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/PMK.03/2010 dan angka 8 SE-147/PJ-2010 melainkan semuanya di isi dengan nama, alamat, npwp dari pihak yang memanfaatkan jasa (Wajib Pajak itu sendiri) sehingga oleh Fiskus, jumlah PPN yang sudah disetorkan , tidak dapat dikreditkan.

Keabsahan Pembayaran PPN

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) pembayaran kepada negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai pelunasan kewajibannya.

Wajib Pajak harus dapat membuktikan telah melakukan pembayaran/penyetoran PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Luar Daerah Pabean, dimana pembayaran tersebut telah diterima oleh Negara dengan telah terbitnya NTPN dan sistem MPN Departemen Keuangan.

Koreksi Fiskus Tidak Sesuai Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (9) UU PPN tentang dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak hanya dapat dikreditkan apabila:

Diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan dalam peraturan (yaitu mencantumkan NPWP dan nama pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean) dan

Berisi keterangan yang sebenamya atau sesungguhnya mengenai penyerahan.

Menurut Penulis sepanjang SSP PPN Jasa Luar Negeri telah memenuhi ketentuan formal dan telah diisi berdasarkan keterangan yang sebesarnya maka Pemeriksa tidak dapat mempermasalahkan mengenai material (substansi) dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tersebut.

Dasar hukum yang dijadikan alasan yang menyatakan SSP PPN Jasa Luar Negeri tidak dapat dikreditkan adalah tidak tepat baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan maupun dari sudut maksud dari peraturannya melainkan mempermasalahkan aspek formalitas.

Masalah formalitas/administratif seharusnya tidak dapat mengalahkan aspek material (substansinya) sehingga apabila Pemeriksa telah mengakui aspek material (substansinya) adalah benar maka seharusnya SSP PPN Jasa Luar Negeri tersebut tetap dapat dikreditkan.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak mengatur akibat hukum/sanksi apabila terdapat kekeliruan pengisian SSP. Kekeliruan tersebut adalah bersifat administratif, sehingga pemeriksa seharusnya tidak dapat mengabaikan substansi bahwa PPN telah disetor dan dilaporkan.

Menurut Penulis pengaturan tentang pengisian kolom di Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/2010 ini sifatnya administratif saja yang tujuannya untuk penghimpunan data yang diperlukan dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.

Sedangkan koreksi berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf g UU PPN juga kurang tepat karena hanya mengatur Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), yang menyatakan :

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”.

Dimana Pasal 13 ayat(6) UU PPN hanya mengatur dokumen-dokumennya saja sehingga apabila Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dengan menyetor sesuai dengan dokumen yang diatur dalam Pasal 6 PMK.40 maka ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf g tidak relevan diterapkan karena hanya terdapat kesalahan dalam pengisian kolom.

Kesimpulan :

Tidak terdapat ketentuan di dalam UU PPN yang mengatur tentang keterangan yang harus dicantumkan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak sehingga dapat diperlakukan sama sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN jo. Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak dapat diperlakukan sebagai petunjuk teknis pencantuman keterangan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak seperti halnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN karena ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN tidak mengatur atribusi wewenang tentang pencantuman keterangan didalam dokuemen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Kesalahan pengisian kolom di SSP dalam pengisian tidak dapat digolongkan sebagai kesalahan yang mengakibatkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak dan pajak yang disetor telah sesuai masa pajaknya dan telah terbukti masuk ke kas negara. Jadi tidak terdapat kerugian negara yang diakibatkan kesalahan administratif.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI (Bidang Pembinaan Profesi dan Etika)

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Dilema Pajak UMKM: Antara Kesederhanaan Tarif Final dan Keadilan Tarif Berbasis Laba

Dalam upaya memperluas basis perpajakan dan mendorong kepatuhan pajak secara sukarela, Pemerintah Indonesia menerapkan skema tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan bagi UMKM yang umumnya tidak memiliki pencatatan keuangan yang memadai. Dengan tarif ini, pemerintah berharap dapat mendorong partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional tanpa membebani mereka dengan kompleksitas perhitungan pajak konvensional yang mensyaratkan pembukuan. Namun, pendekatan ini berbeda dengan prinsip perpajakan umum yang mengukur beban pajak yang efektif atau Effective Tax Rate (ETR).

ETR merupakan suatu tingkat pajak efektif perusahaan yang dapat dihitung dari beban pajak penghasilan yang kemudian dibagi dengan laba sebelum pajak, di mana semakin rendah nilai ETR maka semakin baik suatu perusahaan dalam melakukan manajemen pajak. ETR bertujuan untuk mengetahui seberapa besar persentase perusahaan membayar pajak sebenarnya terhadap laba komersial yang diperoleh perusahaan.

Dengan tarif efektif ini, perusahaan dapat melihat apakah jumlah pajak yang mereka bayar lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak yang ditetapkan. Sebaliknya, kebijakan tarif final UMKM dihitung berdasarkan omzet bruto yakni Pajak Terutang ÷ Omzet yang menghasilkan angka tetap sebesar 0,5% tanpa mempertimbangkan margin keuntungan. PPh final merupakan pajak penghasilan yang langsung dikenakan atas objek penghasilan tertentu saja dihitung dengan tarif yang telah ditetapkan atas objek terkait, tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) sehingga tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Dengan demikian, berdasarkan kedua teori tersebut dapat dikatakan bahwa dua pelaku UMKM dengan omzet yang sama tetapi margin laba yang berbeda tetap membayar jumlah pajak yang identik secara nominal, walaupun secara substansi beban fiskalnya berbeda secara signifikan.

Perbedaan ini memperlihatkan ketegangan antara tujuan administratif dan praktis dari kebijakan tarif final dengan asas keadilan dan proporsionalitas yang menjadi dasar teori perpajakan modern. Di satu sisi, tarif 0,5% memberikan insentif kepatuhan dan menyederhanakan proses pelaporan pajak. Namun di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menciptakan distorsi keadilan fiskal terutama bagi wajib pajak dengan margin laba tipis. Hal ini juga menimbulkan tantangan metodologis dalam analisis beban pajak sektoral dan kontribusi UMKM terhadap penerimaan negara, karena pendekatan berbasis omzet tidak mencerminkan kemampuan ekonomis yang sesungguhnya.

Dengan demikian, Kebijakan tarif 0,5% yang bersifat final perlu ditinjau dari segi efektivitas administrasi, keadilan fiskal, dan akurasi pengukuran beban pajak. Penelitian ini penting untuk menjembatani perbedaan, baik melalui penyusunan model ETR yang mencerminkan realitas profitabilitas UMKM, maupun mengevaluasi keberlanjutan tarif final dalam konteks perubahan ekonomi dan digitalisasi sektor usaha. Pemahaman mendalam terhadap ketidaksesuaian antara teori dan praktik ini menjadi dasar yang penting dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang adil dan efisien.

Dalam konteks kepatuhan pajak, tarif final mendorong kepatuhan sukarela karena praktis dan mudah dipahami, namun tidak membangun kebiasaan pembukuan yang dibutuhkan untuk transisi menuju sistem pajak berbasis laba. ETR, meskipun lebih kompleks, justru berpotensi meningkatkan transparansi fiskal dan kualitas pelaporan dalam jangka panjang, serta dapat mendorong optimalisasi penerimaan negara, terutama bagi sektor usaha dengan margin keuntungan yang tinggi.

Oleh karena itu, jika dilihat dari aspek keberlanjutan fiskal dan prinsip keadilan dalam jangka panjang, ETR merupakan pendekatan yang lebih baik dan ideal untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, akuntabel, dan berkelanjutan. Pendekatan terbaik adalah menjadikan tarif final 0,5% sebagai skema transisi, sambil mendorong pelaku usaha untuk naik kelas ke sistem perpajakan reguler berbasis ETR.

Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha (Direktorat Jenderal Pajak, 2023). Pada tahun 2023 pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta (KADIN, 2023). Kontribusi UMKM mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun dan menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja (KADIN, 2023).

Berdasarkan data KADIN Indonesia pertumbuhan UMKM Indonesia dari tahun 2018 hingga 2023, terlihat adanya dinamika yang cukup signifikan. Pada tahun 2018, jumlah UMKM tercatat sebanyak 64,19 juta dan meningkat menjadi 65,47 juta pada tahun 2019, menunjukkan pertumbuhan sebesar 1,98%. Namun, pada tahun 2020 terjadi penurunan tajam sebesar -2,24% menjadi 64 juta, yang disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19. Memasuki tahun 2021, sektor UMKM menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan pertumbuhan sebesar 2,28% dan jumlah UMKM naik kembali menjadi 65,46 juta.

Namun, pada tahun 2022 terjadi sedikit penurunan sebesar -0,70% menjadi 65 juta, mencerminkan tantangan pascapandemi seperti inflasi, ketidakpastian ekonomi global, atau kendala adaptasi terhadap transformasi digital. Pada tahun 2023, UMKM kembali tumbuh positif sebesar 1,52% dengan total jumlah mencapai 66 juta. Secara keseluruhan, data ini mencerminkan bahwa sektor UMKM Indonesia cukup resilien, mampu bangkit dari tekanan krisis, dan menunjukkan potensi pertumbuhan berkelanjutan dengan dukungan kebijakan yang tepat.

Indonesia saat ini menerapkan skema pemajakan final untuk UMKM sebagaimana diatur dalam PP No. 55 Tahun 2022. Skema ini menggunakan tarif tetap sebesar 0,5% dari omzet bruto dengan masa berlaku tertentu. Pendekatan ini bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan, mendorong kepatuhan formal, serta memperluas basis pajak UMKM. Namun demikian, keberlanjutan dan keadilan dari pendekatan ini mulai dipertanyakan, terutama dalam konteks efisiensi fiskal jangka panjang dan integrasi sistem pelaporan keuangan yang akuntabel.

Sebagai pembanding, sejumlah negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang telah mengadopsi skema pengenaan pajak penghasilan yang didasarkan pada laba kena pajak. Negara-negara tersebut tidak lagi mengandalkan sistem berbasis omzet, melainkan menggunakan tarif progresif atau insentif khusus terhadap laba yang dilaporkan oleh wajib pajak.

Misalnya, Malaysia menetapkan tarif 17%-24% untuk laba UMKM sampai RM 600.000 (Thirosha, 2025). Dalam sistem perpajakan Singapura, entitas usaha baik yang berstatus residen maupun nonresiden dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri pada saat penghasilan tersebut timbul, serta atas penghasilan luar negeri pada saat diterima di Singapura dengan tarif flat sebesar 17%.

Namun, pemerintah menyediakan fasilitas insentif berupa pembebasan sebagian pajak, serta insentif pembebasan pajak selama tiga tahun pertama bagi perusahaan rintisan yang memenuhi kriteria tertentu (PwC, 2025). Kebijakan ini bertujuan mendukung pertumbuhan usaha rintisan dan mendorong kewirausahaan lokal.

Dalam sistem perpajakan Thailand, usaha kecil dan menengah (UKM) memperoleh keringanan tarif pajak penghasilan badan (CIT) yang bersifat progresif. Perusahaan dengan laba bersih hingga 300.000 baht dibebaskan dari pajak, sementara laba antara 300.001 hingga 3.000.000 baht dikenai tarif 15%, dan laba di atas 3.000.000 baht dikenai tarif 20% di mana insentif ini hanya berlaku bagi perusahaan dengan total pendapatan tidak melebihi 30 juta baht per tahun dan modal disetor maksimum 5 juta baht (Ayman Falak, 2023). Skema ini bertujuan mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan UKM melalui beban pajak yang lebih ringan.

Dari sisi keadilan pajak, skema tarif berdasarkan laba lebih merepresentasikan prinsip ability to pay dibandingkan tarif final. Hal ini karena pajak dikenakan atas laba bersih yang mencerminkan kapasitas ekonomi riil pelaku usaha. Dalam sistem final, UMKM yang mengalami kerugian tetap dikenakan pajak selama masih memiliki omzet, sedangkan dalam sistem berbasis laba, hanya yang memperoleh keuntungan yang dikenakan pajak. Pendekatan ini mendorong pembukuan dan laporan keuangan yang lebih akuntabel serta memperkuat basis data fiskal pemerintah.

Dengan mempertimbangkan arah reformasi perpajakan, sistem tarif berdasarkan laba tampak lebih unggul dalam jangka panjang dibandingkan tarif final. Meskipun memerlukan kesiapan administratif dan peningkatan literasi akuntansi di kalangan UMKM, transisi ke skema ini dapat dilakukan secara bertahap melalui model hibrida atau simplified accounting scheme. Negara-negara ASEAN yang telah menerapkan sistem ini dapat diadaptasi sesuai kapasitas pelaku UMKM.

Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa skema tarif berdasarkan laba memiliki keunggulan lebih signifikan dibandingkan skema tarif final, khususnya dalam hal keadilan fiskal, transparansi, dan kepatuhan yang berkelanjutan. Indonesia perlu menyiapkan transisi menuju sistem tersebut untuk memperkuat fondasi fiskal yang lebih adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Keadilan merupakan fondasi utama dalam sistem perpajakan yang berkelanjutan. Teori oleh Reinhold Zippelius, seorang filsuf hukum menjadi acuan penting dalam merumuskan dan mengevaluasi tata cara perpajakan. Zippelius membagi keadilan ke dalam lima bentuk utama yakni keadilan komutatif, distributif, legal, moral, dan sosial (Direktorat Jendral Pajak, 2023). Keadilan komutatif menekankan perlakuan setara dalam hubungan timbal balik, misalnya antara negara dan wajib pajak. Dalam konteks ini, penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh DJP setelah proses pemeriksaan merupakan cerminan dari keadilan komutatif, di mana setiap wajib pajak dikenai kewajiban sesuai dengan kondisi riil dan ketentuan yang berlaku.

Namun, realitanya tidak selalu mencerminkan keadilan secara sempurna, karena kerap ditemukan kesalahan administratif atau interpretasi aturan. Untuk mengatasi hal tersebut, sistem perpajakan Indonesia memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan pembetulan atau permohonan pengurangan sanksi administratif. Prosedur ini memungkinkan koreksi atas kesalahan penulisan, perhitungan, atau penerapan aturan dalam surat ketetapan pajak, sekaligus memberi peluang kepada wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil untuk mendapatkan keadilan.

Hal ini mencerminkan penerapan keadilan komutatif sekaligus distributif, karena mempertimbangkan proporsi beban pajak berdasarkan kondisi wajib pajak. Di sisi lain, keadilan distributif terlihat dalam penerapan pajak progresif yang mengatur kontribusi sesuai kemampuan ekonomi masing-masing individu atau kelompok.

Sementara itu, keadilan legal menurut Zippelius menuntut adanya kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Dalam konteks perpajakan, hal ini berarti seluruh proses perpajakan harus dilakukan berdasarkan dasar hukum yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Selain itu, diperlukan juga keadilan moral, yaitu prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial, baik dari pihak wajib pajak maupun otoritas pajak, yang menjadi dasar kepercayaan dan legitimasi sistem perpajakan. Selain itu, keadilan sosial juga penting, dengan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sosial, terutama di daerah tertinggal. Teori Kemudahan Administrasi Publik (Ease of Administration) merupakan kemudahan dalam administrasi yang menjadi prinsip penting dalam sistem pemungutan pajak (Rosdiana, 2011).

Menurut Rosdiana, ada beberapa indikator dalam prinsip ease of administration ini yaitu, Certainty yang menyatakan bahwa harus ada kepastian dari Wajib Pajak maupun Fiskus mengenai Subjek Pajak, Objek Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif, serta bagaimana prosedur perpajakannya. Efficiency, bagi fiskus adalah biaya untuk melakukan pengawasan dan administrasi terhadap Wajib Pajak relatif rendah, sedangkan bagi Wajib Pajak, biaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan relatif rendah. Convenience of Payment, Pajak dipungut pada saat yang tepat (Pay As You Earn).

Prosedur pembayaran Simplicity, mudah dilaksanakan dan tidak berbelit-belit. Dengan demikian, meskipun kebijakan pengenaan PPh final sebesar 0,5% atas omzet UMKM sejalan dengan prinsip Ease of Administration, terdapat ketimpangan dalam keadilan fiskal. Dalam konteks teori perpajakan modern, khususnya pendekatan ETR, pajak idealnya mencerminkan kemampuan ekonomi riil dari wajib pajak, bukan sekadar angka omzet bruto.

Ketika dua pelaku usaha dengan margin keuntungan berbeda membayar pajak dalam jumlah yang sama karena omzet yang setara, prinsip keadilan distributif tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penting untuk merancang kebijakan pajak yang sederhana dan adil, mengaitkan kemudahan administrasi dengan proporsionalitas beban fiskal untuk efektivitas sistem perpajakan berkelanjutan.

Penerapan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet dinilai sederhana dan praktis untuk administrasi pajak. Namun, dari segi kaidah keadilan dan prinsip ability to pay (kemampuan membayar), kebijakan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari aspek keadilan horizontal, kebijakan ini dianggap adil untuk semua UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar dan memberi perlindungan pada usaha kecil dengan adanya pengecualian pajak bagi wajib pajak orang pribadi dengan omzet hingga Rp 500 juta per.

Namun, dari sisi keadilan vertikal, kebijakan ini dinilai kurang tepat karena pajak tetap dikenakan berdasarkan omzet, meskipun pelaku usaha sedang merugi atau memiliki margin keuntungan yang sangat kecil, sehingga berpotensi membebani wajib pajak yang sebenarnya belum memiliki kemampuan ekonomis untuk membayar pajak. Hal ini juga menyiratkan ketidaksesuaian terhadap prinsip ability to pay, karena kemampuan membayar seharusnya dihitung dari laba, bukan dari omzet kotor. Dengan demikian, meskipun tarif PPh Final 0,5% ini memberikan kemudahan bagi UMKM dari sisi kepatuhan dan pengawasan, namun secara prinsip ideal, sistem perpajakan yang berbasis laba akan lebih mencerminkan keadilan dan kemampuan membayar wajib pajak secara lebih tepat.

Lebih jauh, pendekatan tarif PPh final 0,5% menyebabkan penyimpangan terhadap pengukuran ETR secara teoritis. Akibatnya, secara administratif tidak merefleksikan beban pajak riil yang ditanggung wajib pajak berdasarkan efisiensi dan profitabilitas usahanya.

Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan antar pelaku usaha dan stagnasi kepatuhan jangka panjang. Karena tarif final ini tidak mewajibkan pembukuan atau pelaporan laba, banyak UMKM menjadi nyaman dalam sistem pajak yang sederhana ini dan enggan beralih ke sistem yang lebih formal. Hal ini berisiko memperluas zona abu-abu ekonomi yang sulit dipantau secara fiskal. Selain itu, pendekatan tarif tunggal juga tidak mempertimbangkan perbedaan karakteristik sektor usaha. Sektor perdagangan dengan margin tipis dapat terdampak lebih besar daripada sektor jasa yang memiliki margin lebih tinggi.

Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak, khususnya pelaku UMKM yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan secara formal, pemerintah menyediakan alternatif metode penghitungan penghasilan kena pajak melalui pendekatan norma. Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (Direktorat Jenderal Pajak, 2025).

Norma ini ditetapkan berdasarkan jenis usaha dan wilayah, serta rata-rata profitabilitas. Penggunaan norma memberikan solusi praktis bagi UMKM yang belum memiliki kapasitas sumber daya yang memadai dalam menyusun laporan keuangan. Dengan demikian, penghitungan pajak menjadi lebih sederhana dan tetap memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Namun demikian, penerapan norma penghasilan neto memiliki tantangan terkait keadilan fiskal karena tarifnya bersifat umum dan tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi masing-masing pelaku usaha.

Kebijakan pajak final untuk UMKM perlu dievaluasi dan disesuaikan agar mendorong UMKM masuk ke sistem perpajakan reguler yang lebih mencerminkan kapasitas ekonominya secara proporsional. Secara umum, kebijakan pajak final UMKM dengan tarif 0,5% atas omzet memang berhasil mencapai sebagian dari tujuannya, khususnya dalam aspek penyederhanaan administrasi pajak dan peningkatan kepatuhan formal di kalangan pelaku UMKM. Hal ini mencerminkan keberhasilan kebijakan dari sisi perluasan basis pajak dan reduksi beban kepatuhan (compliance cost), yang sebelumnya menjadi hambatan utama bagi UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.

Namun demikian, jika ditinjau dari sisi substansi fiskal, kebijakan ini belum sepenuhnya mencapai tujuan jangka panjangnya, seperti keadilan perpajakan, peningkatan transparansi usaha, dan kesinambungan penerimaan negara. Sifat final dan flat dari tarif 0,5% tidak membedakan antara UMKM berkeuntungan tinggi atau rendah, sehingga kurang mendorong perbaikan tata kelola keuangan dalam jangka panjang.

Selain itu, kebijakan ini belum cukup berhasil mendorong transformasi struktural UMKM ke level usaha menengah yang lebih mapan Banyak pelaku UMKM bertahan pada skema tarif final karena praktis dan mudah sehingga terjadi “stagnasi kepatuhan.” Padahal, tujuan strategis dari kebijakan seharusnya menarik dan membina UMKM agar siap pada sistem perpajakan berbasis laba yang lebih akuntabel.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun kebijakan ini efektif secara administratif, efektivitas substansialnya masih terbatas. Tujuan jangka pendek mungkin tercapai, tetapi tujuan jangka panjang seperti keadilan fiskal, peningkatan tata kelola usaha, dan pertumbuhan sektor formal masih membutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif dan bertahap.

Berdasarkan uraian kebijakan tarif pajak final 0,5% bagi UMKM dan data-data terkait, dapat disimpulkan bahwa Indonesia Indonesia belum mencapai tujuan idealnya terutama dari segi keadilan fiskal dan efektivitas jangka panjang. Di satu sisi, kebijakan ini telah mempermudah administrasi, meningkatkan kepastian hukum, dan mendorong partisipasi UMKM dalam perpajakan, yang terlihat dari pertumbuhan UMKM pascapandemi dan peningkatan penerimaan pajak yang terus menunjukkan tren positif selama tiga tahun terakhir. Peningkatan tersebut juga didorong oleh reformasi di DJP dan berbagai insentif yang memperkuat kepatuhan sukarela. Namun, dari sisi substansi keadilan pajak, kebijakan ini menyisakan sejumlah tantangan mendasar. Tarif pajak final berbasis omzet mengabaikan variasi margin keuntungan UMKM, sehingga merugikan UMKM yang memiliki margin kecil.

Hal ini bertentangan dengan prinsip equity dalam teori perpajakan, termasuk teori keadilan distributif dan komutatif menurut Zippelius, yang menekankan perlakuan fiskal yang proporsional terhadap kapasitas ekonomi masing-masing wajib pajak. Dengan demikian, walaupun kebijakan ini sukses dalam aspek administrative feasibility dan simplicity, namun keberhasilan dari sisi justice dan economic accuracy masih terbatas.

Indonesia masih perlu mengembangkan kebijakan yang lebih adaptif, seperti pendekatan hybrid antara omzet dan laba bersih atau dengan memberikan opsi pembukuan sederhana bagi UMKM yang mulai berkembang untuk dapat mencapai sistem perpajakan yang adil, efisien, sederhana, dan mampu mencerminkan kemampuan ekonomi riil wajib pajak dalam jangka panjang.

Terdapat sejumlah dampak tak terduga (unintended impact) dari penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% atas omzet UMKM yang perlu dikaji secara kritis. Pertama, kebijakan ini menyebabkan beban pajak yang tidak proporsional terhadap margin keuntungan. Karena dasar pengenaan pajaknya adalah omzet, bukan laba bersih, UMKM dengan margin keuntungan rendah dikenakan jumlah pajak yang sama dengan UMKM yang memiliki margin besar.

Hal ini menimbulkan tekanan fiskal bagi pelaku usaha yang berada pada sektor dengan biaya tinggi dan persaingan harga yang ketat. Kedua, terdapat disinsentif bagi pelaku usaha untuk berkembang (growth disincentive), karena cenderung menjaga skala usaha agar tidak terkena kewajiban pajak yang lebih kompleks. Ketiga, kebijakan ini dapat menciptakan distorsi kompetisi antar UMKM. UMKM yang efisien dengan margin tinggi mampu menanggung beban pajak dengan lebih ringan dibandingkan UMKM dengan margin kecil, sehingga kompetisi menjadi tidak setara secara struktural.

Selain itu, minimnya persyaratan administrasi seperti pembukuan atau pelaporan laba-rugi membuat pengelolaan keuangan menjadi kurang transparan dan menyulitkan akses ke lembaga keuangan karena tidak tersedianya dokumen keuangan yang diperlukan. Penggunaan basis omzet sebagai dasar pajak membuka peluang terjadinya pelaporan yang tidak akurat atau manipulatif. Pelaku usaha mungkin tergoda untuk melaporkan omzet yang lebih rendah dari realita guna menekan kewajiban pajak, yang pada gilirannya menyulitkan otoritas pajak dalam pengawasan dan validasi data.

Penerapan kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM pada dasarnya mencerminkan prinsip Ease of Administration dalam administrasi perpajakan. Kebijakan ini memberikan kemudahan pelaporan dan pembayaran pajak, terutama bagi pelaku usaha dengan kapasitas administrasi terbatas. Dari perspektif final income tax, pendekatan ini menghilangkan kewajiban pembukuan dan pelaporan komprehensif, sehingga memperkecil beban kepatuhan pajak (compliance cost) pada sektor UMKM.

Namun demikian, bila dikaitkan dengan ETR, kebijakan ini menimbulkan distorsi, karena tarif tunggal yang dikenakan tanpa mempertimbangkan tingkat laba atau kapasitas riil masing-masing pelaku usaha dapat menyebabkan ketidakadilan horizontal. Terakhir, sistem ini menyulitkan pemerintah dalam melakukan analisis fiskal berbasis kapasitas riil UMKM karena tidak tersedia data informasi keuangan yang representatif.

Ketiadaan informasi ini dapat mengaburkan evaluasi kontributif sektor UMKM terhadap penerimaan negara serta menghambat perumusan kebijakan fiskal berbasis bukti (evidence-based policy). Dengan demikian, meskipun tarif final 0,5% memberikan simplifikasi prosedural, berbagai dampak negatif yang menyertainya menuntut peninjauan ulang untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan fiskal.

Kebijakan pengenaan tarif pajak final sebesar 0,5% dari omzet bagi pelaku UMKM telah memberikan kemudahan administratif dan meningkatkan partisipasi UMKM dalam sistem perpajakan nasional. Namun, untuk meningkatkan keadilan fiskal dan kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini perlu perlu disempurnakan di masa mendatang.

Salah satu arah perbaikannya adalah dengan menerapkan pajak progresif yang lebih adil, di mana tarif disesuaikan berdasarkan keuntungan agar UMKM dengan margin rendah tidak menanggung beban yang sama seperti yang bermargin tinggi, sejalan dengan prinsip ability to pay. Kebijakan tarif pajak final sebesar 0,5% dirancang untuk menyederhanakan kewajiban administrasi perpajakan, terutama bagi pelaku usaha dengan keterbatasan kapasitas pencatatan dan pelaporan.

Namun, dalam pelaksanaannya, sistem ini menimbulkan isu ketidakadilan karena tidak mempertimbangkan variasi margin keuntungan antar pelaku usaha. Dalam konteks ETR, skema ini menghasilkan beban pajak efektif yang tidak proporsional. Sebagai alternatif, pendekatan berbasis norma dapat diintegrasikan kembali dalam skema pengenaan pajak final. Meskipun norma ini telah lama diberlakukan sebelum kemunculan tarif final 0,5%, secara hukum ia tetap berlaku dan dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan penghasilan neto wajib pajak berdasarkan omzet dan karakteristik sektoral. Dalam skema ini, perhitungan dilakukan dengan mengalikan omzet dengan tarif norma untuk menghasilkan estimasi penghasilan neto, yang kemudian dikalikan dengan tarif final.

Skema ini tetap sederhana, namun lebih adil karena mempertimbangkan estimasi laba usaha sebagai dasar pengenaan pajak, sekaligus menurunkan beban pajak secara signifikan dibanding skema 0,5%. Pendekatan ini membawa nuansa baru dalam Final Income Tax, dengan mengombinasikan prinsip kemudahan dan keadilan, selain memberikan simplifikasi prosedural, model ini juga menjawab kritik terhadap ketimpangan beban pajak antar pelaku UMKM. Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap kebijakan tarif final perlu dipertimbangkan.

Dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya sederhana tetapi juga adil, pendekatan berbasis Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dapat diadaptasi dan dikombinasikan ke dalam skema tarif final. Meskipun selama ini NPPN digunakan dalam kerangka perhitungan pajak dengan tarif progresif dalam konteks reformasi kebijakan UMKM, NPPN dapat dikombinasikan dengan tarif final untuk menghasilkan sistem yang sederhana dan lebih adil dibanding sistem final 0,5% langsung atas omzet. Dalam usulan ini, perhitungan dilakukan dengan rumus: Omzet × Tarif Norma × Tarif Final, di mana tarif final yang digunakan bukan lagi 0,5%, tetapi sebesar 0,1%.

Artinya, norma digunakan untuk memperkirakan laba usaha, namun tidak dikalikan tarif progresif seperti pada skema pelaporan penuh, melainkan tetap menggunakan tarif final. Tujuannya adalah mempertahankan kesederhanaan administratif, sekaligus menghadirkan dimensi keadilan melalui pengenaan pajak atas estimasi laba.

Skema ini tetap memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM yang belum mampu menyusun pembukuan, namun memberikan pengurangan beban pajak (tax reduction) yang lebih proporsional karena tidak semua omzet dianggap sebagai dasar pengenaan pajak. Jika dibandingkan dengan sistem final 0,5% langsung atas omzet, penggunaan norma terlebih dahulu untuk memperkirakan neto kemudian dikenakan tarif final 0,1% akan memberikan beban pajak yang lebih adil, terutama bagi pelaku UMKM dengan margin laba rendah.

Dengan demikian, pendekatan ini secara tidak langsung menjawab kritik terhadap sistem final yang dianggap “lump-sum” dan tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay). Meskipun bersifat normatif dan bukan berbasis laporan keuangan aktual, penggunaan norma tetap mewakili profit sebagai dasar keadilan vertikal dan horizontal dalam perpajakan.

Maka, kombinasi ini bukan sekadar teknis fiskal, tetapi juga mencerminkan kompromi antara prinsip keadilan dan prinsip ease of administration. Usulan tarif final sebesar 0,1% didasarkan pada prinsip kompetitivitas dan benchmark global, terutama merujuk pada yurisdiksi seperti Bahama dan Kepulauan Cayman yang hingga saat ini memberlakukan tarif PPh badan sebesar 0%. Sebagai negara dengan struktur pajak yang sangat rendah (bahkan nihil), kedua negara tersebut menarik perhatian dunia usaha karena memberikan kemudahan dan insentif fiskal yang kuat. Dalam kerangka ini, Indonesia sebagai negara berkembang perlu merancang skema yang tetap memberikan kontribusi fiskal dari sektor informal dan UMKM, namun tidak membebani secara berlebihan.

Tarif 0,1% atas laba estimasi menjadi titik temu antara asas keadilan, kemudahan, dan penerimaan negara, juga menjadi bentuk signal bahwa negara memberikan dukungan penuh terhadap sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dibanding skema flat 0,5% atas omzet, pendekatan berbasis laba estimasi lebih representatif dan adil, khususnya bagi UMKM yang beroperasi di sektor dengan margin tipis.

Dalam kesimpulannya, skema kombinasi norma penghasilan neto dan tarif final 0,1% ini dapat dikembangkan sebagai model Tarif Final Alternatif yang sederhana dan adil. Hal ini sekaligus menjawab kebutuhan akan sistem perpajakan yang berlandaskan pada simplifikasi, efisiensi, dan keadilan fiskal yang lebih inklusif terhadap keragaman kondisi usaha di sektor UMKM.

Dari sisi keadilan fiskal, tarif 0,1% menjadi bentuk kompromi yang adil karena pajak dikenakan atas laba estimatif, bukan atas omzet kotor. Artinya, walaupun skema ini tetap bersifat final dan sederhana, ia mengandung elemen ability to pay karena estimasi profit menjadi dasar pengenaan pajak. Secara fiskal makro, penurunan tarif dari 0,5% ke 0,1% dapat dikompensasi dengan perluasan basis pajak yang lebih adil dan realistis.

Penerapan skema ini juga menghindari “over-taxation” terhadap UMKM yang operasionalnya efisien tetapi profitabilitasnya rendah. Pemilihan tarif 0,1% juga mempertimbangkan bahwa dalam sistem final berbasis norma, beban pajak tidak bisa disamakan dengan tarif final atas omzet kotor. Oleh sebab itu, 0,1% dinilai optimal karena secara praktis setara atau bahkan lebih rendah dari ETR riil pelaku UMKM di banyak sektor, sekaligus menjaga daya saing, arus kas, dan insentif untuk patuh. Dengan demikian, tarif final 0,1% atas omzet setelah dikalikan norma penghasilan neto dapat dikembangkan sebagai skema Tarif Final II, yaitu tarif final berbasis estimasi laba, bukan omzet bruto.

Skema ini tetap mempertahankan kesederhanaan prosedural, namun lebih akurat merefleksikan kemampuan ekonomis wajib pajak, sehingga memberikan keseimbangan antara efisiensi sistem dan prinsip keadilan fiskal yang inklusif. Selanjutnya, penting juga untuk mendorong penggunaan aplikasi pembukuan digital untuk meningkatkan literasi keuangan dan transisi ke sistem pajak berbasis laba. Kebijakan yang fleksibel juga diperlukan dengan memberi opsi pilihan skema pajak kepada pelaku UMKM, baik tetap menggunakan skema final maupun beralih ke pembukuan biasa, sesuai dengan kapasitas administratif dan skala usaha masing-masing.

Dalam mendukung hal tersebut, pemerintah juga perlu memperkuat literasi perpajakan dan pendampingan UMKM, terutama melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, dinas koperasi usaha kecil dan menengah (DINKOP UKM), konsultan pajak, dan komunitas bisnis lokal, agar kepatuhan pajak yang dibangun bersifat sukarela dan berbasis pemahaman yang kuat.

Untuk menjaga keberlangsungan usaha kecil yang memiliki margin laba rendah atau yang terdampak krisis seperti pandemi, disarankan adanya perluasan insentif atau pengurangan tarif sementara sebagai bentuk perlindungan fiskal. Terakhir, skema pajak final dapat diharmonisasikan dengan tujuan pembangunan sosial dan lingkungan melalui insentif tambahan, seperti tarif lebih rendah bagi UMKM yang ramah lingkungan dan berorientasi ekspor.

Dengan berbagai perbaikan tersebut, kebijakan perpajakan terhadap UMKM tidak hanya menjadi alat penghimpunan penerimaan negara, tetapi juga menjadi instrumen strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bandung

Juan Kasma, Alvi Diani Khoirunissa

Email: alvidianikhoirunissa@gmail.com

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayman Falak , M. (2023). “A guide to taxation in thailand. ASEAN Business News”. https://www.aseanbriefing.com/news/a-guide-to-taxation-in-thailand.

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “Keadilan dalam tata cara perpajakan indonesia: Tantangan dan harapan”. http://pajak.go.id/id/artikel/keadilan-dalam-tata-cara-perpajakan-indonesia-tantangan-dan-harapan

Direktorat Jenderal Pajak (2023). “UMKM marak, ekonomi bergerak, dan peran pajak”. http://pajak.go.id/id/artikel/umkm-marak-ekonomi-bergerak-dan-peran-pajak

Direktorat Jenderal Pajak (2025).”Jangan Sampai Terlewat Pemberitahuan Penggunaan Norma (NPPN)”. https://pajak.go.id/id/artikel/jangan-sampai-terlewat-pemberitahuan-penggunaan-norma-nppn

Kadin Indonesia (2023). “Umkm indonesia”. https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/

Thirosha (2025). “Malaysian SME Tax Incentives Guide 2025”, Incorp Malaysia. https://malaysia.incorp.asia/guides/malaysian-sme-tax-incentives-guide/

PwC (2025), “Singapore CorporateTaxes on Corporate Income”. 2025, https://taxsummaries.pwc.com/singapore/corporate/taxes-on-corporate-income

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Rosdiana, Edi Slamet Irianto & Titi Muswati Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai: Kebijakan Dan Implementasinya di indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, 82)

 

 

 

 

Menyongsong Enam Dekade IKPI

Tanggal 27 Agustus 2025 menjadi tonggak bersejarah bagi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang genap berusia 60 tahun. Sebuah perjalanan panjang yang penuh arti, menghadirkan momen refleksi, syukur, sekaligus semangat baru untuk terus maju. Sebagai organisasi profesi yang konsisten berkontribusi dalam bidang perpajakan, IKPI menyambut hari jadinya dengan rangkaian kegiatan inspiratif yang menggambarkan semangat kebersamaan, profesionalisme, dan dedikasi terhadap bangsa.

Rangkaian perayaan dimulai dengan Lomba Cerdas Cermat Mahasiswa, yang dirancang sebagai ruang aktualisasi generasi muda dalam memahami dunia perpajakan secara komprehensif. Kompetisi ini tak hanya menjadi ajang adu pengetahuan, tetapi juga sebagai upaya membangun budaya literasi pajak sejak dini. IKPI berharap, kegiatan ini bisa mempererat hubungan dunia akademik dengan praktik profesional, sekaligus mengenalkan lebih luas peran strategis konsultan pajak kepada calon-calon profesional masa depan.

Berikutnya, semangat sportivitas dan solidaritas diwujudkan melalui Turnamen Golf IKPI 60 Tahun. Turnamen ini terbuka untuk seluruh anggota IKPI dari berbagai daerah serta masyarakat umum yang memiliki minat terhadap olahraga golf. Lebih dari sekadar pertandingan, ajang ini menjadi wahana kolaborasi dan komunikasi yang menyenangkan dalam suasana penuh keakraban, sekaligus simbol semangat kebugaran dan keseimbangan hidup di kalangan profesional pajak.

Tak kalah menarik, kegiatan Gowes Bersama turut digelar sebagai bentuk kepedulian terhadap gaya hidup sehat dan kebersamaan. Rute yang dilalui mencerminkan perjalanan panjang IKPI yang ditempuh dengan semangat, kesatuan, dan komitmen. Ini bukan sekadar kegiatan fisik, tetapi juga sarana mempererat tali persaudaraan antaranggota dan komunitas.

IKPI juga menunjukkan kepeduliannya terhadap kemanusiaan melalui aksi Donor Darah. Sebuah bentuk kontribusi sosial yang nyata, di mana setetes darah menjadi simbol kasih dan pengabdian. Di usia yang ke-60 ini, IKPI ingin terus menebar manfaat tidak hanya melalui peran profesional, tetapi juga melalui aksi-aksi yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Sebagai organisasi berbasis keilmuan, IKPI menyelenggarakan Seminar Nasional yang menjadi panggung berbagi gagasan dan memperdalam pemahaman isu strategis di bidang perpajakan dan kebijakan fiskal. Para pakar, praktisi, akademisi, serta anggota IKPI hadir dan berkontribusi aktif, membahas dinamika terbaru dan menawarkan solusi atas tantangan perpajakan nasional. Seminar ini memperkuat posisi IKPI sebagai mitra strategis dalam pembangunan nasional yang berpijak pada pemikiran kritis dan konstruktif.

Puncak perayaan digelar dalam Perayaan HUT ke-60 di Pullman Hotel Jakarta, sebagai bentuk syukur atas perjalanan panjang yang telah ditempuh. Momentum ini menjadi ajang silaturahmi, refleksi sejarah, serta peneguhan komitmen bersama untuk terus melangkah lebih maju demi profesi konsultan pajak yang makin kuat, bermartabat, dan relevan bagi pembangunan Indonesia.

Kehadiran dan partisipasi seluruh anggota menjadi bagian penting dalam menyemarakkan perayaan ini. Mari kita rayakan enam dekade IKPI dengan penuh kebanggaan, semangat kebersamaan, dan tekad untuk terus berkarya bagi Nusa dan Bangsa.

IKPI untuk Nusa Bangsa.

Penulis adalah anggota Departemen Pendidikan, Pengurus Pusat IKPI

Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP 

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Mengenal Dua Model  Jenis Perjanjian Jasa Konsultan Pajak

Hubungan antara Konsultan Pajak dengan Kliennya adalah hubungan yang bersifat keperdataan. Keperdataan disini berarti adanya kesetaraan posisi antara Konsultan Pajak dengan Klien, sekalipun Konsultan Pajak menerima honorarium / fee dari Kliennya tersebut. Dalam memberikan jasanya, Konsultan Pajak tidak dibawah perintah atau disupervisi oleh Kliennya. Konsultan Pajak murni memberikan jasanya secara independen dan patuh terhadap standar profesi, kode etik Konsultan Pajak, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dimana Konsultan Pajak tersebut bernaung serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Konsultan Pajak perlu senantiasa menjaga independensi dan kesetaraannya ini agar terhindar dari risiko-risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah gugatan ganti rugi dari Kliennya atau bahkan Konsultan Pajak dapat terjerat pidana, baik sebagai pelaku maupun pasal pidana penyertaan. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, Konsultan Pajak perlu membentengi hubungan dengan Kliennya melalui suatu Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter) yang biasanya berbentuk perjanjian jasa Konsultan Pajak.

Perjanjian jasa Konsultan Pajak berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang merupakan aturan main yang wajib dipatuhi baik oleh Konsultan Pajak maupun Kliennya. Hak dan kewajiban yang tercantum tersebut merupakan hasil negosiasi yang disepakati, yang biasanya Konsultan Pajak menyanggupi memberikan jasa untuk melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Klien dan sebaliknya Klien menyanggupi membayar honorarium / fee atas jasa yang telah dilakukan oleh Konsultan Pajak tersebut.

Kemampuan bernegosiasi sangatlah menentukan isi dari perjanjian ini, tak jarang Konsultan Pajak tergiring untuk memenuhi target / hasil tertentu yang diinginkan oleh Kliennya. Isi perjanjian dengan target / hasil tertentu inilah yang perlu dihindari agar Konsultan Pajak terlepas dari risiko-risiko yang tidak diinginkan.

Dalam suatu perjanjian untuk memberikan jasa, setidaknya dikenal dua model / jenis yang kerap ditemui. Model / jenis yang pertama adalah perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) dan model / jenis yang kedua adalah perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts).

Sebagaimana yang telah disampaikan pada akhir paragraf ketiga di atas, perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) merupakan perjanjian yang harus dihindari oleh Konsultan Pajak ketika bernegosiasi maupun dalam penandatanganan perjanjian jasa Konsultan Pajak. Salah satu ciri dari perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) ini adalah adanya klausula-klausula yang mewajibkan Konsultan Pajak menjamin bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pajak klien selesai sesuai keinginan kliennya. Secara lebih konkrit, misalnya: Konsultan Pajak menyanggupi bahwa keberatan / banding yang diajukan pasti diterima / dimenangkan sesuai dengan keinginan Kliennya.

Model / jenis perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts) merupakan perjanjian yang ideal dalam suatu pemberian jasa Konsultan Pajak. Pada model / jenis perjanjian ini tidak ada kewajiban atau bahkan jaminan pencapaian target / hasil tertentu sesuai keinginan Klien.

Konsultan Pajak melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya secara independen dan profesional sesuai dengan daya, upaya serta kehati-hatian yang maksimal dari Konsultan Pajak tersebut. Pada model / jenis perjanjian ini, Konsultan Pajak bertanggung jawab terhadap proses pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan klien tetapi tidak terhadap hasil akhir tertentu yang diinginkan kliennya.

Adanya Perjanjian dengan model / jenis upaya terbaik (duty to exert best efforts) yang dibuat oleh Konsultan Pajak dengan Kliennya, merupakan pengejawantahan dari Standar Profesi dan Kode Etik IKPI. Dalam Standar Profesi IKPI, khususnya Bagian II angka 3.2.2. disebutkan bahwa:

“Anggota sangat dianjurkan untuk membuat Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter / EL) kepada klien berkaitan dengan persyaratan penugasan yang merupakan ikatan perjanjian dengan klien. Ikatan tugas merupakan ruang lingkup penugasan yang harus dilaksanakan, yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan di kemudian hari.”

dan Kode Etik IKPI, khususnya pada Bab III dibawah judul Hubungan dengan Klien Pasal 4 tercantum bahwa:

“Konsultan Pajak dilarang memberikan jaminan kepastian kepada klien atas penyelesaian pekerjaan.”

Demikian tulisan singkat mengenai dua model / jenis perjanjian jasa yang kerap penulis temui di lapangan, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan gambaran untuk rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi dalam menyusun engagement letter-nya.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pinjaman Tanpa Bunga dan Berbunga antar Pihak-Pihak yg Mempunyai Hububgan Istimewa Bagi WPDN/BUT

Timbulnya transaksi pinjaman dana dalam pihak-pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang diberikan kepada pemegang saham kepada anak perusahaan baik tanpa bunga maupun berbunga. Kemudian dari otoritas pajak atas pinjaman tanpa bunga dapat dikoreksi terutang bunga (deemed bunga) sesuai ayat (1) huruf a nomor 2 Pasal 23 UU PPh, sedangkan atas pinjaman berbunga, biaya bunganya dapat dikoreksi positif menjadi tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Pinjaman Tanpa Bunga

Biasanya pinjaman tanpa bunga tidak terikat dengan perjanjian tertulis dan jaminan dan dilakukan antar para pihak yang mempunyai hubungan Istimewa (Pasal 18 ayat (4) UU PPh)

Dasar hukum :

Pasal 12 ayat (1), ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010 jo PP Nomor 45 Tahun 2019 jo PP Nomor 18 Tahun 2021 dan s.t.d.d. PP Nomor 55 Tahun 2022.

Pasal 18 ayat (3), ayat (4) dan Pasal 23 ayat (1) huruf a poin nomor 2 UU PPh

Dalam Pasal 12 ayat (1) , ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, disebutkan :

(1)

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;

modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;

pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan

perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

(2)

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Penjelasan ayat (2)

“Yang dimaksud dengan “tingkat suku bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan”.

Dalam hal terjadi sebaliknya sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 ayat (1) PP No.94 Tahun 2010 , dimana pinjaman diterima dari anak usaha (bukan pemegang saham) ataupun diterima dari pihak terafiliasi (bukan pemegang saham) maka akan dianggap tidak memenuhi ke-empat unsur diatas sehingga dapat dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Dilihat bahwa dari ke-4 (empat) unsur diatas, pemenuhan persyaratan lebih ditekankan pada sisi kreditur yaitu sebanyak 3 poin (huruf a,b, c) sedangkan syarat dari sisi debitur hanya 1 poin (huruf d). Persyaratan yang berlaku bersifat kumulatif, apabila salah satu dari ke-4 (empat) syarat tersebut tidak terpenuhi maka akan dilakukan dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf a (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan hartanya lebih besar dari utang, dimaknai pemberi pinjaman mempunyai kemampuan finansial untuk memberikan pinjaman dari dana milik pemegang saham itu sendiri. Selain itu pemenuhan syarat Pasal 12 ayat (1) huruf a tidak terpenuhi dalam hal hutang/pinjaman tidak tercatat dalam SPT Tahunan PPh Badan penerima pinjaman.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf b (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan modal pemegang saham pemberi pinjaman sebagaimana yang tertera sebagai paid-in capital di akta perusahaan , sudah disetor seluruhnya.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf c (sisi kreditur), dibuktikan/ didukung beberapa fakta dimana pemberi pinjaman (pemegang saham) :

Tidak melaporkan rugi dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Keuangan yang telah diaudit (jika ada).

Dalam hal pihak otoritas pajak menyatakan pemberi pinjaman dalam kondisi rugi yang dilihat dari saldo laba ditahan (ekuitas) menyatakan masih minus, perlu dipahami bahwa karena Pasal 12 ayat (1) huruf c tidak mengatur secara jelas yang dimaksud kondisi merugi maka untuk mengambil pilihan hukum dapat diterapkan asas in dubio contra fiscum maka kondisi rugi ditentukan berdasarkan laba (rugi) di tahun berjalan, bukan dari akumulasi rugi (retained earning).

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf d (sisi debitur) , kesulitan keuangan dimaknai perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya demi kelangsungan usaha. Keadaan merugi yang ditunjukkan dalam Laporan Keuangan Fiskal dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Audit secar komersial komersial tidak serta merta menunjukkan perusahaan dalam kesulitan keuangan.

Salah satu pembuktian dapat melalui :

Analisa Laporan Keuangan seperti rasio likuiditas yaitu cash ratio, quick ratio, current ratio dari perusahaan sejenis (sektor/subsektor, industri dan bidang usaha) ditahun yang dimaksud dengan mengambil beberapa perusahaan pembanding sehingga didapatkan perhitungan benchmarking, apakah rasio likuiditas perusahaan penerima pinjaman berada diatas atau dibawah rata-rata rasio industrinya. Rasio likuiditas kurang dari 1 mengindikasikan kapasitas perusahaan untuk tetap beroperasi dan bertahan dalam kondisi keuangan yang buruk sehingga dianggap memiliki masalah /kesulitan keuangan (financial distress)

Metote Altman Z Score untuk memprediksi kebangkrutan perusahaann non-go public (badan usaha non bursa). Apabila Z Score dibawah angka 1 dikategorikan sebagai Perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan

Analisis rasio modal kerja bersih, dimana aset lancer perusahaan tidak melebihi kewajiban lancer sebagai indikasi perusahan mengalami kesulitan keuangan, yaitu kesulitan untuk tumbuh dalam membayar kembali hutang kepada kreditur jangka pendek.

PINJAMAN BERBUNGA

Pasal 18 (3) UU PPh, menyebutkan :

“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan Istimewa…….”

Penjelasan Pasal 18(3) UU PPh, menyebutkan :

Pada Alinea 1

“Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan Istimewa”…

Pada Alinea 2

“Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal Perusahaan”….

Pada Alinea 3

Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.

Besaran bunga dapat dianggap tidak wajar apabila menggunakan suku bunga yang lebih rendah dari nilai wajar berdasarkan rata-rata suku bunga kredit Bank Indonesia/ 7 Day-Repo Rate (BI Rate).

Apabila pemegang saham memberikan pinjaman berupa penundaan pembayaran hutang dagang dari pemegang saham sehingga menimbulkan biaya bunga yang mengakibatkan pengurangan pembayaran pajak penghasilan maka pemberian (dapat dianggap sebagai penyertaan) modal dengan pemberian pinjaman oleh pemegang saham seperti ini dikenal dengan thin capitalization sehingga dapat diklasifikasi sebagai dividen (terselubung).

Dalam hal diketahui biaya bunga berasal dari pinjaman dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang kemudian dikoreksi dianggap penyertaan modal maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak , sedangkan bagi penerima penghasilan bunga dianggap sebagai dividen yang terutang PPh.

Hal ini sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh yang menyebutkan…. “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan…..”

Selanjutnya dalam hal transaksi antara pemberi pinjaman selaku pemegang saham dan penerima pinjaman selaku anak Perusahaan (afiliasi) yang ke-duanya merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri bisa diterapkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Dampak selanjutnya terhadap lawan transaksi juga harus dilakukan Correlative Adjustment untuk menghindari Double Taxation dan menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Faktanya sering ditemukan , pihak otoritas pajak hanya melakukan koreksi negatif biaya bunga pada penerima pinjaman tanpa melakukan koreksi positif penghasilan bunga dan koreksi negatif kredit pajak pada pihak pemberi pinjaman. Pihak otoritas pajak yang tidak melakukan Correlative Adjustment terhadap lawan transaksi akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi kedua belah pihak.

Disisi lain, apabila kemudian dilakukan Correlative Adjustment di pihak lawan transaksi maka perlu dipertanyakan ke-efektifitas koreksi ini karena tidak terdapat tax benefit bagi otoritas pajak sehubungan tidak adanya perbedaan tarif PPh atas transaksi antar WPDN/BUT yang pengenaan pajaknya sama-sama dikenakan PPh tidak final.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Perlukah Pengenaan PPh 22 Untuk Penjualan Online ?

Pemerintah baru-baru ini mengumumkan akan mengenakan pajak atas transaksi melalui e-commerse dimana setiap penjual akan dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran usaha, pengenaan PPh ini akan dikenakan bagi penjual yang mempunyai omzet antara 500 juta sd 4,8 Milyar setahun, sehingga bagi penjualan yang omzetnya kurang dari 500 juta per tahun tidak akan dikenakan PPh. Di satu sisi wacana pengenaan PPh tersebut merupakan terobosan dan memberikan keadilan antara penjual bagi yang melakukan penjualan online maupun offline, selain itu untuk mencegah terjadinya shadow economy, namun disisi lain banyak juga yang mengecam rencana pengenaan PPh tersebut, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.

Berdasarkan data transaksi selama 6 tahun terakhir, terjadi peningkatan nilai transaksi melalui e-commerse tersebut sebagaimana data berikut ini :

Penulis berpendapat pentingnya perluasan basis pajak yang menjunjung keadilan, kepastian hukum, dan kesederhanaan. Metode withholding tax (pengenaan PPh Pasal 22) mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan system pembayaran pajak lainnya. Keunggulan system withholding tax tersebut antara lain :

1. Meningkatkan efektifitas dan kepastian penerimaan pajak;

2. Mengurangi resiko penghindaran dan penggelapan pajak;

3.Biaya administrasi lebih efisien;

4.Mendorong kepatuhan sukarela;

5. Penerimaan pajak lebih stabil.

Namun upaya Pemerintah mengatasi shortfall penerimaan pajak dengan pengenaan PPh 22 bagi pelaku usaha yang mempunyai peredaran usaha lebih dari 500 juta per tahun sd 4,8 Milyar per tahun masih menyisakan banyak pertanyaan seperti berikut :

  1. Sifat PPh Pasal 22 adalah pajak tidak final, artinya bagi pelaku usaha yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh pengusaha marketplace, namun masih mempunyai kewajiban membayar PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Memang kelebihan pembayaran pajak bisa dilakukan restitusi (pengembalian) namun prosesnya harus melalui pemeriksaan dan sangat rumit.
  2. Bagaimana bagi pengusaha yang mempunyai omzet lebih dari 4,8 Milyar setahun, jika tidak dipungut PPh Pasal 22, maka dimana keadilannya ?
  3. Pemilik marketplace akan dibebani untuk memungut, membayar, dan melaporkan PPh Pasal 22 tersebut, dan mempunyai kewajiban untuk memberikan bukti pemungutan PPh 22 kepada penjual di marketplace, apakah pemilik marketplace sudah siap secara administrasinya ?
  4. Bagaimana jika pelaku usaha memiliki omzet dibawah 500 jt setahun hanya untuk 1 marketplace, sedangkan jika digabung dengan omzet di marketplace lain omzetnya bisa lebih dari 500 juta?
  5. Penerapan pajak yang mendadak tanpa ada waktu sosialisasi yang cukup bagi pelaku usaha, disamping menimbulkan penolakan, juga akan menyulitkan para pihak.

Ada hal yang perlu dicermati, sampai saat ini Pemerintah hanya meningkatkan basis pajaknya hanya ditujukan kepada WP dalam Negeri, namun hal yang tidak lupa dilakukan ialah meningkatkan juga basis pajak bagi pengusaha luar negeri yang sekian lama menerima penghasilan dari Indonesia, seperti youtube, facebook, instragram, netflik, dsbnya.

Walaupun telah ada dasar hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019, di Pasal 7 ayat

  1. Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada Konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. jumlah transaksi;

b.nilai transaksi;

c.jumlah paket pengiriman; dan/atau

d. jumlah traffic atau pengakses.

Sampai saat ini Pelaku usaha PMSE luar negeri belum ada yang ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) sehingga atas penghasilan nya dapat dipajaki oleh Pemerintah, memang sekarang Pemerintah telah banyak menetapkan PSME tersebut sebagai pemungut PPN, namun PPN yang dipungut itu beban konsumen Indonesia, dan bukan penghasilan dari pelaku usaha luar negeri tersebut. Walaupun penetapan PMSE luar negeri sebagai BUT Indonesia tentunya tidak mudah, karena akan mendapatkan tentangan dari negara lain. Namun itulah yang harus terus diperjuangkan oleh Pemerintah, agar penghasilan yang berasal dari Indonesia dapat dikenakan pajak juga oleh Indonesia.

Penulis adalah Ketua Departemen PPKF IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Dimensi Hukum PPN DTP atas Rumah Tapak dan Rusun

Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun merupakan kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan. Pemanfaatan insentif PPN DTP ini, terkait erat dengan makna kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK 13/2025). Bagaimana memaknai kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang tercantum dalam PMK 13/2025 tersebut ..?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tidak cukup hanya sebatas mengartikan kedua kata tersebut secara tekstual. Pemahaman konteks atas penggunaan kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 lebih memperjelas serta mempertegas makna dan tujuan digunakannya 2 (dua) kata tersebut. Walaupun sekilas secara tekstual tampak memiliki makna yang sama, namun kedua kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemahaman kontekstual terhadap kata “penyerahan” dalam PMK 13/2025, setidaknya memunculkan 2 (dua) makna. Makna kata “penyerahan” yang pertama adalah penyerahan dalam arti yuridis (Penyerahan Yuridis). Penyerahan Yuridis yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan huruf b PMK 13/2025 dapat dilaksanakan melalui salah satu cara berikut:

• Penandatanganan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau

• Penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli lunas dihadapan Notaris.

Makna Penyerahan Yuridis di atas adalah penyerahan hak kepemilikan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak atau satuan rumah susun dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Makna kata “penyerahan” yang kedua adalah penyerahan dalam arti penguasaan fisik (Penyerahan Penguasaan Fisik). Penyerahan Penguasaan Fisik ini dalam Pasal 3 PMK 13/2025 dilaksanakan melalui penandatanganan Berita Acara Serah Terima. Makna Penyerahan Penguasaan Fisik ini adalah penyerahan hak penguasaan fisik atau hak penggunaan atas Barang Kena Pajak berupa rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni secara nyata dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Dengan demikian, terhitung sejak tanggal penandatanganan Berita Acara Serah Terima, fisik rumah tapak siap huni atau satuan rumah susun siap huni sudah beralih penguasaan atau penggunaannya dari Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada pembeli. Kedua makna yang terkandung dalam kata “penyerahan” tersebut merupakan syarat kumulatif yang wajib dipenuhi untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN DTP, disamping persyaratan lainnya yang tercantum dalam PMK 13/2025. Kedua makna penyerahan tersebut merupakan perbuatan menyerahkan rumah tapak atau satuan rumah susun yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli.

Lebih lanjut, kedua makna kata “penyerahan” tersebut merupakan perincian/penjabaran dari pengertian penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian, khususnya perjanjian jual beli dan jual beli dengan angsuran yang tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (“UU PPN”).

Sama halnya dengan cara memahami konteks kata “penyerahan” di atas, kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat dipahami sebatas hanya secara tekstual. Bahkan kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025 tidak dapat diartikan terpisah dari kata “penyerahan”. Terdapat 3 (tiga) makna kata “pemindahtanganan” dalam PMK 13/2025. Makna kata “pemindahtangan” yang pertama adalah penyerahan pertama kali rumah tapak atau satuan rumah susun baru siap huni oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menyelenggarakan pembangunan kepada pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang pertama ini, dapat ditemui dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b juncto Pasal 4 ayat 2 huruf b PMK 13/2025.

Makna yang pertama ini penting sekali dipahami guna membedakan pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun siap huni yang bukan baru atau pernah dipindahtangankan (atau yang sering disebut dengan rumah tapak atau satuan rumah susun second hand).

Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua adalah pemindahtanganan yang merupakan kelanjutan dari pemindahtanganan yang pertama, pemindahtanganan ini dilakukan oleh pihak yang semula merupakan pembeli rumah tapak atau satuan rumah susun baru kepada pihak lain/pembeli selanjutnya.

Pemindahtanganan ini dilakukan dalam rentan waktu 1 (satu) tahun sejak penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual kepada Pembeli. Makna kata “pemindahtanganan” yang kedua ini dapat ditemui dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e juncto Pasal 10 huruf g PMK 13/2025. Pemindahtanganan dalam makna yang kedua ini akan mengakibatkan insentif PPN DTP yang telah diterima menjadi terutang dan dapat ditagih oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.

Makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga adalah pemindahtanganan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atas rumah tapak atau satuan rumah susun second hand kepada pembeli.

Benang merah dari makna kata “pemindahtanganan” yang ketiga ini adalah rumah tapak atau satuan rumah susun yang sebelumnya pernah dipindahtangankan (bukan baru / second hand). Kata “pemindahtanganan” dalam makna yang ketiga dan kedua di atas adalah pemindahtanganan rumah tapak atau satuan rumah susun yang tidak mendapatkan fasilitas PPN DTP.

Demikian makna – makna dari kata “penyerahan” dan kata “pemindahtanganan” yang secara kontekstual penulis temukan dalam PMK 13/2025. Semoga tulisan yang jauh dari sempurna dan singkat ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi, khususnya bagi rekan-rekan Konsultan Pajak yang memiliki klien perusahaan real estat atau klien yang bermaksud memanfaatkan fasilitas PPN DTP.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

id_ID