Menata Profesi Konsultan Pajak: Urgensi Terbitnya UU Konsultan Pajak untuk Meningkatkan Tax Ratio

Di tengah kompleksitas sistem perpajakan dan regulasi yang terus berubah, peran Konsultan Pajak semakin vital bagi Wajib Pajak. Sudah 59 tahun asosiasi profesi Konsultan Pajak ini ada, dan pengakuan profesinya berada pada Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) semakin menegaskan pentingnya peran dan fungsi profesi ini.

Konsultan Pajak tidak hanya membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga berkontribusi dalam sosialisasi dan edukasi peraturan perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus meluruskan pemahaman maupun pengertian yang tidak/belum/kurang tepat di lapangan. Hal ini, pada gilirannya, berpengaruh positif terhadap penerimaan negara dan diharapkan dapat meningkatkan tax ratio, suatu indikator yang sangat penting dalam keberhasilan sistem perpajakan suatu negara.

Namun, tantangan yang dihadapi adalah banyaknya konsultan yang tidak memiliki kompetensi yang memadai maupun pihak yang masuk jalur non-formal dalam praktik layanan jasa konsultasinya. Jika kita melihat profesi lain di sektor keuangan, seperti akuntan maupun notaris, mereka harus melalui pendidikan profesi yang diakui dan wajib lulus ujian sertifikasi. Hal ini belum sepenuhnya diterapkan pada profesi Konsultan Pajak, di mana banyak individu dengan pelatihan singkat dapat mengklaim sebagai konsultan tanpa standar yang jelas.

Kekhawatiran ini semakin nyata dengan maraknya penggunaan gelar yang membingungkan masyarakat. Gelar yang diperoleh dari pelatihan non-formal tanpa lisensi yang memadai sering kali membuat Wajib Pajak kesulitan menentukan mana konsultan yang benar-benar kompeten. Untuk itu, perlunya standar kompetensi yang jelas menjadi sangat mendesak. Melindungi masyarakat dari praktik profesi yang tidak bertanggung jawab merupakan tanggung jawab bersama yang harus diupayakan melalui regulasi yang ketat, pasti, dan berkeadilan.

Pendidikan profesi yang terstruktur, di mana Konsultan Pajak dilatih secara formal, serta pelaksanaan ujian sertifikasi yang diinisiasi oleh asosiasi profesi, bukan hanya akan meningkatkan kualitas Konsultan Pajak, tetapi juga memberikan rasa aman bagi Wajib Pajak. Kerjasama antara IKPI dan perguruan tinggi dalam menyusun program studi Profesi Konsultan Pajak yang terintegrasi dengan asosiasi profesi perlu didorong sebagai langkah awal.

Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konsultan Pajak menjadi sangat penting, perlu, dan mendesak baik bagi Pemerintah, Masyarakat atau Pelaku Usaha, dan Pelaku Konsultan Pajak itu sendiri. Sudah lima tahun RUU ini masuk dalam PROGLEGNAS, dan kini saatnya pemerintah, dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mengambil langkah strategis untuk mempercepat proses ini. UU Konsultan Pajak akan memberikan payung hukum yang jelas, mendefinisikan standar praktik, dan melindungi masyarakat dari konsultan yang tidak kompeten.

Adanya penguatan regulasi yang tepat untuk profesi keuangan yang strategis, bagi kita tidak hanya menata profesi ini secara komprehensif tetapi juga berkontribusi pada penerimaan negara yang optimal. Hasil akhirnya, tentu berimbas pada peningkatan tax ratio bukan hanya menjadi harapan, tetapi juga sebuah kenyataan yang dapat dicapai.

Penulis adalah Ketua Departemen FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami Pajak Pembelian Software dan Unsur Royalti

Software merupakan  salah satu karya hak cipta  berupa aset tak berwujud (intangible asset). Ketika membahas  Pajak Penghasilan atas transaksi tersebut, pikiran pertama yang muncul biasanya adalah pembayaran royalti yang terkait dengan pemotongan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.

Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua transaksi pembelian software terkait dengan pemotongan PPh  23/26.  Tulisan in lebih lanjui akan memperjelas berbagai situasi yang memengaruhi kewajiban pajak.

Aset adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu entitas dan diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, dan merek dagang adalah bentuk aset yang tidak memiliki wujud fisik.

Menurut undang-undang, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang muncul secara otomatis saat suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Software, seperti halnya buku atau film yang merupakan karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Setiap individu atau entitas yang ingin menggunakan karya ini harus membeli lisensinya, dan tindakan menyalin atau menggandakannya tanpa izin karena itu jelas melanggar hukum.

Dalam konteks ini, tentu banyak muncul pertanyaan mengenai bagaimana tentang pembayaran royalti?. Misalnya, ketika Gramedia menerbitkan dan menjual buku. Gramedia tentunya harus membayar royalti kepada penulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Namun, situasi berbeda terjadi ketika seseorang membeli buku dari Gramedia. Dalam kasus ini, pembeli tidak membayar royalti karena transaksi tersebut adalah jual beli biasa.

Contoh serupa dapat diambil dari industri film. Jika Pengusaha bioskop membeli hak tayang dari produser film, bioskop tersebut wajib membayar royalti berdasarkan kesepakatan yang ada. Dalam hal ini, pembayaran royalti menjadi objek pemotongan PPh 23/26.

Dengan demikian, ketika membahas software perlakuan pengenaan pajak pun akan diberlakukan hukum yang sama. Semisal, PT ABC membeli software dari eBay, di dalam transaksinya PT ABC melakukan pembelian barang tanpa adanya perjanjian untuk menggandakan atau membayar royalti. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban pemotongan PPh 23/26 dalam kasus ini.

Dari pembahasan ini, jelas bahwa objek PPh Pasal 23/26 tidak selalu terkait langsung dengan transaksi pembelian aset tak berwujud seperti software. Penentuan kewajiban pajak bergantung pada karakteristik transaksi yang dilakukan.

Jika tidak ada unsur royalti, maka transaksi tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini, diharapkan pelaku usaha dapat melakukan transaksi secara tepat dan mematuhi ketentuan pajak yang berlaku.

 

Penulis adalah Ketua Dept FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Henri PD Silalahi yang dikenal dengan HPDS: Selamat Kepada Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Serta Ketua Pengawas Terpilih Masa Bakti 2024-2029

  • Penulis: Henri PD Silalahi
  • Ketua Tim sukses Paslon 02 Ruston-Lisa
  • Ketua Dep Humas dan IT Periode 2019-2021
  • Ketua Dep Humas Periode 2022-2024

Selamat kepada Pak Vaudy dan Ibu Jetty yang telah terpilih sebagai Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum serta Pak Prianto Budi sebagai Ketua Pengawas IKPI masa bakti 2024-2029, semoga pengurus dan pengawas diberikan kekuatan dan pertolongan Tuhan untuk membawa IKPI terus bertumbuh dan berkembang, mengayomi anggota serta membangun ekosistem perpajakan yang semakin baik untuk memposisikan profesi konsultan pajak sebagai intermediaris antara pemerintah dengan wajib pajak, menjadikan profesi ini menjadi profesi yang terhormat dan mulia officium nobile

Terimakasih kepada Pak Ruston Tambunan yang telah mengukir prestasi IKPI dalam periode 2019-2024, Ruston Tambunan telah memberikan warna yang sungguh luar biasa dalam masa bakti 2019-2021 sebagai wakil ketua umum dan dilanjutkan pada masa bakti 2022-2024 sebagai Ketua Umum setelah Ketua Umum terdahulu mengundurkan diri. Penghargaan demi penghargaan telah diraih, layanan kepada anggota terus meningkat, keterlibatan dan keguyuban anggota terus meningkat, interaksi dengan pemangku kepentingan baik pemerintah, pelaku usaha dan dunia Pendidikan telah meningkat yang membuat IKPI menjadi organisasi yang inklusif dan diterima, disegani serta diperhitungkan oleh para stakeholder serta menjadi satu-satunya asosiasi konsultan pajak Indonesia yang diundang dalam berbagai event nasional serta internasional

Kepemimpinan Pak Ruston Tambunan telah mampu menggerek bendera IKPI terus berkibar mengukir berbagai prestasi yang spektakuler bersama dengan seluruh jajaran pengurus pusat, pengurus daerah dan pengurus cabang dan anggota IKPI yang selalu guyub, tercermin dalam laporan pertanggungjawaban ketua umum yang disampaikan dihadapan peserta kongres XII Bali.

Prestasi telah diukir, semoga apa yang telah kita raih bersama dapat dilanjutkan dan ditingkatkan oleh pengurus pusat, pengurus daerah maupun pengurus cabang untuk masa bakti 2024-2029.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Ketua Panitia Kongres IKPI XII Bali Ibu Lisa Purnamasari serta seluruh panitia yang telah bekerja keras hingga mampu memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada anggota hingga kongres berjalan dengan penuh keakraban, damai dan sukses serta memenuhi seluruh agenda kongres yakni pertanggungjawaban ketua umum masa bakti 2019-2024, persetujuan dan pengesahan perubahan AD/ART, perubahan kode etik dan standar profesi, Program kerja, pemilihan ketua umum-wakil ketua umum dan ketua pengawas serta penetapan tempat Kongres XIII IKPI.

Tentu kita semua juga berterima kasih atas kerja kerja keras panitia pemilihan dan panitia pengawas pemilihan yang telah mampu mengukir sejarah baru demokrasi IKPI dalam melaksanakan proses pemilihan yang panjang mulai dari pencalonan oleh pengurus cabang, penetapan, kampanye hingga pemilihan dalam sidang paripurna kongres XII Bali, terimakasih untuk Pak Edy Gunawan dan Pak I Kadek Sumadi serta jajarannya atas kerja kerja bpk/ibu yang telah membuahkan hasil yang spektakuler.

Kontestasi pemilihan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum serta Ketua Pengawas masa bakti 2024-2029 telah usai dengan berbagai cerita yang menyenangkan, penuh tawa dan canda ria antar anggota yang hadir dari seluruh Indonesia dalam perhelatan kongres XII Bali.

Sayangnya kesuksesan itu patut diduga telah dinodai dengan noda demokrasi yang akan menjadi catatan sejarah bagi kita semua, demokrasi yang ternoda adalah catatan moral bagi kita agar tidak terulang lagi dalam pesta demokrasi IKPI di masa yang akan datang.

Kita bersyukur Paslon 02 Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari dengan jiwa besar dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan IKPI telah menerima keputusan hasil pemungutan suara dengan jiwa besar dan lapang dada, bahkan mereka berdua hadir mulai dari awal acara pada hari pertama hingga hari ketiga (terakhir) pelaksanaan kongres XII Bali.

Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari tetap hadir pada hari ketiga hari terakhir kampanye setelah terpilihnya ketua umum-wakil ketua umum dan ketua pengawas 2024-2029, menyapa dan menyalami serta berfoto dengan para anggota serta memasuki ruang sidang hingga kongres XII di tutup dan berfoto bersama dengan Ketua Umum-Wakil Ketua Umum terpilih.

Kita semua menjadi saksi atas jiwa besar dan kepemimpinan Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari yang sungguh luar biasa menekan ego pribadi untuk menjaga persatuan dan kesatuan IKPI serta menyelesaikan tugas secara paripurna dan menjadi teladan bagi kita semua anggota IKPI baik pengurus maupun bukan pengurus, untuk belajar menerima kekalahan dengan jiwa besar dan lapang dada, meski saya yakin, pasti mereka juga mendengar ada hal-hal  yang seharusnya tidak terjadi atau menodai pesta demokrasi ini.

Kami mengucapkan terimakasih kepada tim sukses serta simpatisan Ruston-Lisa yang telah memberikan dukungan nyata dengan suka rela dan tulus hati serta kepada 591 suara pemilih yang telah memilih Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari. Kita tidak perlu berkecil hati karena kekalahan kita adalah kalah terhormat yang menjunjung kejujuran, ketulusan, integritas dan etika.

Meskipun ada rasa kecewa atas dugaan kuat telah terjadi pelanggaran bahkan coba dilakukan pada saya sendiri selaku ketua tim sukses, kalau kepada saya selaku ketua tim sukses saja dicoba untuk menggoda apalagi kepada yang lain? Tentu pembaca sudah bisa menjawabnya sendiri.

Namun Ruston-Lisa telah memberikan teladan bagi kita semua dengan memilih persatuan dan kesatuan IKPI sebagai yang utama daripada melakukan gugatan atas hasil pemilihan dalam Kongres XII Bali.

Ketua Umum-Wakil Ketua Umum serta Ketua Pengawas terpilih telah disahkan dan ditetapkan oleh pimpinan sidang kongres XII Bali, mari kita dukung dan tetap menjaga kekompakan serta terus berkontribusi untuk keluarga besar IKPI, itulah pesan Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari.

Tulisan ini adalah catatan sejarah bagi IKPI dan contoh nyata satunya kata dan perbuatan yang telah disajikan oleh Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari sebagai teladan bagi kita, catatan ini juga sejarah sekaligus momentum bagi IKPI untuk membuat pengaturan yang tegas dengan sanksi yang tegas pada penyempurnaan AD/ART pada kongres yang akan datang agar demokrasi IKPI dapat berjalan dengan bermartabat dan menjunjung tinggi fairness serta etika sebab bagi seorang profesional lebih takut melanggar etika daripada melanggar undang undang kata Prof Bintan Saragih dalam pemaparannya pada kampanye terbuka tanggal 4 Agustus 2024 yang lalu

Semoga dengan pengaturan dan sanksi yang tegas kejadian yang serupa tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.

Aspek Pajak Saham Bonus

Oleh:    Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., C.A

Anggota IKPI (NRA 00435)

 

A. Pendahuluan

Aspek Pajak Saham Bonus merupakan hal yang menarik didiskusikan. Saham Bonus adalah saham yang dibagikan secara cuma-cuma kepada pemegang saham berdasarkan jumlah saham yang dimiliki.

Tujuan Perseroan memberikan saham bonus diharapkan jumlah saham Perseroan yang beredar di pasar akan semakin meningkat sehingga diharapkan perdagangan saham Perseroan di Bursa Efek akan menjadi lebih likuid.

Ada pemahaman yang harus jelas tentang apakah saham Bonus tersebut merupakan Dividen Saham atau bukan merupakan Dividen Saham dan bagaimana implikasi dalam aspek pajaknya .

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 27 /POJK.04/2020 Tentang Saham Bonus, pasal 2 dan 3 menyatakan :

Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi Saldo Laba sedangkan Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi: a. Agio Saham; dan/atau b. unsur ekuitas lainnya.

(Gambar tangkapan layar)

Bagaimana aspek Pajak untuk Saham bonus? Berikut akan dibahas aspek pajak dari keduanya. UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf g dalam penjelasannya menyatakan :

Dividen merupakan laba yang diperoleh pemegang saham atau polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :

  1.  Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  2.  Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor
  3.  pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham
  4.  pembagian laba dalam bentuk saham
  5.  Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

B. Saham Bonus yang berasal dari kapitalisasi Saldo laba (Dividen Saham)

Saham bonus yang berasal dari laba ditahan (retained earning) adalah merupakan bagian keuntungan sehingga termasuk pengertian dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g dan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1) Undang-Undang PPh 1984.

Namun dividen dikecualikan sebagai objek pajak jika dividen berasal dari dalam negeri dan diterima oleh WP Badan. Bagi WP OP dividen menjadi objek pajak, namun menjadi dikecualikan jika diinvestasikan dan memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan dibidang Pajak Penghasilan yang merupakan petunjuk pelaksana atas UU tentang Pajak penghasilan sbtdd dengan UU Harmonisasi Perpajakan, aturan tentang dividen diatur di bagian ketiga pasal 9, 10, 11.

Untuk dividen yang dikecualikan sebagai Objek Pajak tersebut, sesuai dengan pasal 37 PMK Nomor 18 tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU No.11 tahun 2020 Tentang cipta Kerja dibidang Pajak Penghasilan, PPN, PPnBm serta KUP maka pelaporan untuk WPOP masuk kepada Bagian Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak. Dalam eForm SPT 1770S tahun 2022 telah disediakan kolom pada bagian angka 6 huruf c yaitu Penghasilan lain yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.

Sementara bila dividen tersebut tidak diinvestasikan dan tentunya merupakan objek maka pengisian penghasilan dividen di bagian A. Penghasilan yang dikenakan Pajak Final dan/atau bersifat final pada angka 14.

C. Saham bonus yang beberasal dari konversi agio saham, dengan kata lain bonus saham yang bukan merupakan Dividen saham.

Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat edarannya Nomor SE18/PJ.41/1993 Tentang Perlakuan Pph Atas Saham Bonus Yang Diterima Pemegang Saham Yang Berasal Dari Konversi Agio Saham menyatakan:

Saham bonus yang diterima oleh pemegang saham, yang berasal dari konversi Agio Saham, merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemegang saham tersebut karena memperoleh tambahan jumlah saham tanpa melakukan penyetoran, dan oleh karena itu memenuhi ketentuan penghasilan yang menjadi Obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh 1984.

Saham Bonus ex konversi Agio Saham tidak termasuk dalam pengertian dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang PPh 1984, karena bukan merupakan bagian keuntungan yang diterima oleh pemegang saham. Dengan demikian penerimaan saham bonus yang berasal dari konversi Agio Saham tidak termasuk sebagai obyek pemotongan PPh Pasal 23.

Namun SE18/PJ.41/1993 yang menyatakan saham bonus ex konversi agio saham tidak termasuk pengertian dividen sudah tidak relevan lagi. Dalam Penjelasan Pasal 4 (1) huruf g UU PPh yang berlaku sejak tahun 2008 dan sampai saat ini, pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham adalah termasuk pengertian dividen.

Diterimanya saham bonus ex konversi Agio Saham tidak mengubah nilai total penyertaan saham/harga total perolehan saham, tetapi menurunkan nilai/harga historis perolehan per unit saham-saham tersebut karena adanya kenaikan jumlah lembar saham tanpa penyetoran. Oleh karena itu apabila saham-saham yang dimaksud (saham bonus konversi agio saham maupun saham semula) dijual, untuk menghitung besarnya keuntungan karena penjualan saham tersebut , maka harga perolehannya dinilai berdasarkan nilai historis yang dihitung dengan cara rata-rata sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang PPh 1984

Penghasilan berupa saham bonus tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dengan ketentuan bahwa pengakuan penghasilan atas saham bonus yang berasal dari konversi agio adalah pada saat dijual, karena belum dimasukkan sebagai penghasilan pada saat diterima/ diperoleh.

Contoh :
Wajib Pajak A adalah pemegang saham PT. XYZ, pada tahun 1990 memiliki 5000 lembar saham dengan harga perolehan Rp 3.000,- per lembar saham. Pada tahun 1992 PT. XYZ membagikan saham bonus yang berasal dari konversi Agio Saham dengan perbandingan 1:1 yaitu setiap satu lembar saham memperoleh satu saham bonus. Pada bulan Agustus 1993 Wajib Pajak A menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp 5.000,- per lembar saham. Dengan demikian penghasilan yang harus dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh tahun 1993 dari keuntungan atas penjualan saham adalah :

(Gambar tangkapan layar)

Harga Penjualan 1000 lembar Saham @Rp.5000 = 5.000.000 dikurangi harga Perolehan Rp 1.500.000 (1000lbr saham @ 1.500) terdapat keuntungan (capital gain) Rp 3.500.000. yang merupakan objek pajak. Khusus untuk perdagangan di bursa saham maka Pajak atas penjualan saham dikenakan secara final, namun jika saham tidak dijual dibursa saham maka capital gain tersebut akan dikenakan berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh

Bila ditelusuri, pengaturan mengenasi saham bonus ex agio dan/atau berasal dari selisih lebih revaluasi aset tetap juga muncul dalam Pasal 2 PP nomor 94/2010 yang menyatakan:

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:

  1. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
  2. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan.

Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja, Pasal 4 ayat 1(g) yang menyatakan dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis; merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; pembagian laba dalam bentuk saham; dan pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

D. Simpulan

Dari segi asal/sumbernya saham bonus dikategorikan menjadi dua yaitu sebagai Dividen saham dan bukan dividen saham. Sebagai dividen saham jika saham bonus yang dibagikan berasal dari kapitalisasi Saldo laba. namun jika saham bonus berasal dari Agio Saham dan/atau unsur ekuitas lainnya maka saham bonus tersebut bukan merupakan dividen saham, Pengertian tersebut berdasarkan POJK Nomor 27 /POJK.04/2020 Tentang Saham Bonus.

Dari perspektif UU PPh. Bonus saham baik yang berasal dari laba ditahan atau kapitalisasi agio adalah sama-sama diperlakukan sebagai dividen yang menjadi objek PPh pasal 4 ayat (1) huruf g. (baca penjelasan UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf g.)

Saham bonus yang berasal dari agio saham dan/atau unsur ekuitas lainnya bukan termasuk pengertian dividen sebagaimana SE Nomor SE18/PJ.41/1993 sudah tidak relevan lagi pengertiannya.

Saham bonus merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemegang saham tersebut karena memperoleh tambahan jumlah saham tanpa melakukan penyetoran, dan oleh karena itu memenuhi ketentuan penghasilan yang menjadi Obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh 1984. Pengakuan Penghasilan adalah ketika pada saat saham tersebut dijual.

Jika dividen berasal dari dalam negeri dan penerima adalah WP Badan maka dikecualikan sebagai objek pajak, namun jika penerima dividen adalah WP OP maka penghasilan tersebut menjadi objek pajak Kecuali jika diinvesatasikan kembali sesuai dengan ketentuan PP nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan dibidang Pajak Penghasilan yang merupakan petunjuk pelaksana atas UU tentang Pajak penghasilan sbtdd dengan UU Harmonisasi Perpajakan, aturan tentang dividen diatur di bagian ketiga pasal 9, 10, 11.

 

REVALUASI ASET TETAP

Oleh: Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., C.A.

Anggota IKPI (NRA 00435)

 

PENDAHULUAN

Revaluasi Aset adalah penilaian kembali aset yang dimiliki suatu entitas sehingga pencatatannya  mencerminkan nilai aset sekarang. Hal tersebut biasanya dilakukan ketika aset tetap mengalami perubahan  sigifikan nilai di pasaran. Pasalnya, kenaikan atau penurunan nilai ini dapat menyebabkan laporan keuangan menjadi kurang relevan. Oleh karena itu, perlu dilakukan revaluasi agar informasi laporan keuangan menjadi lebih relevan dan dapat diandalkan.

Revaluasi dapat mengakibatkan nilai aset menjadi lebih besar atau lebih kecil dari nilai tercatatnya. Dalam  tulisan ini akan membahas khusus mengenai Revaluasi aset tetap untuk tujuan Komersil dan tujuan perpajakan.

  1. REVALUASI ASET TETAP UNTUK TUJUAN KOMERSIL

SAK 16 (Revisi 2011)  bertujuan untuk  mengatur perlakukan akuntasi aset tetap, sehingga pengguna laporan keuangan dapat memahami informasi mengenai investasi entitas dalam aset tetap dan perubahanya.

Ada dua model pengukuran aset tetap yaitu model biaya dan model revaluasi. Dalam Paragraph 31 SAK 16 ini mengatur mengenai ketentuan revaluasi yang merupakan salah satu pengukuran setelah pengakukan aset tetap yang akan dibahas lebih lanjut. Sehingga untuk melakukan revaluasi aset tetap, tunduk pada ketentuan dalam SAK 16 (Revisi 2011) tentang aset tetap.

Revaluasi aset Tetap untuk Tujuan Komersil (Akuntansi) adalah dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi penyajian laporan keuangan. Dengan revaluasi dapat mencerminkan nilai wajar atau fair value perusahaan. Khusus bagi perusahaan  yang akan IPO atau go public,  revaluasi aset adalah hal yang bisa digunakan untuk menyajikan nilai aset ke harga yang relatif lebih realistis.

Manfaat revaluasi aset adalah membantu dalam memperbaiki  struktur modal, agar rasio utang terhadap ekuitas /Debt to Equity Ratio (DER) turun. Dengan demikian, perusahaan dapat lebih mudah memperoleh utang dari bank untuk meningkatkan permodalan karena rasio utangnya menurun. Dengan DER yang turun sampai batas tertentu sekaligus juga dapat memberikan kemungkinan pembebanan biaya bunga secara fiskal yang lebih maksimal.

Bagi perusahaan di sektor perbankan, meningkatnya permodalan juga akan berpengaruh ke Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal yang semakin tinggi. Artinya, bank dapat memiliki lebih banyak kemampuan untuk memberikan dana kredit bagi perusahaan maupun nasabah lainnya.

Tujuan dan manfaat lainnya dari revaluasi aset adalah bisa membantu memudahkan perusahaan yang ingin melakukan merger. Pasalnya, jika masing-masing perusahaan yang ingin merger melaksanakan revaluasi aset tetap, maka nilai wajarnya untuk perusahaan baru dapat terlihat.

Ketentuan mengenai revaluasi antara lain sebagai berikut:

  1. Aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi.
  2. Revaluasi dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dengan jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan
  3. Frekwensi revaluasi bergantung pada perubahan nilai wajar dari aset tetap yang direvaluasi.
  4. Jika suatu aset tetap di revaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelas yang sama direvaluasi.
  5. Aset-aset dalam satu kelas aset tetap direvaluasi secara bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif.
  6. Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, maka kenaikan tersebut diakui dalam penghasilan komprensif lain dan terakumulasi dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi.
  7. Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, maka penurunan tersebut diaku dalam laba rugi. Akan tetapi penurunan nilai tersebut diakui dalam penghasilan komprehensif lain sepanjang tidak melebihi saldo surplus revaluasi aset tersebut.

Dalam praktik revaluasi aset dilakukan oleh pihak independen yaitu dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Terdapat beberapa cara/metode dalam melakukan penilaian kembali atas aset tetap. Adapun beberapa metode revaluasi aset adalah sebagai berikut:

  1. Metode Indeksasi

Metode pertama untuk melakukan revaluasi aset adalah indeksasi. Pada metode ini, indeks diterapkan dalam biaya aset untuk mengetahui biaya kini.

Indeks oleh departemen Biro Statistik atau Survei Ekonomi negara bisa digunakan untuk revaluasi aset.

 

  1. Metode Harga Pasar Saat Ini

Metode kedua dalam revaluasi aset adalah dengan menilai harga pasar saat ini atau yang sedang berlaku. Misalnya, jika ingin revaluasi tanah dan bangunan, maka bisa diambil dari nilai real estate atau dealer properti yang tersedia di pasar. Sementara, untuk revaluasi atas pabrik dan mesin, nilai wajarnya dapat diambil dengan bantuan pemasok.

  1. Metode Penilaian

Metode selanjutnya dalam melakukan revaluasi aset adalah dengan penilaian. Pada metode ini, penilaian teknis dilakukan secara rinci terhadap aset untuk mengetahui nilai pasar. Jika perusahaan ingin menggunakan metode ini, maka harus memastikan bahwa aset tidak over ataupun undervalued. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan nilai pasar wajar suatu aset antara lain:

  • Tanggal pembelian aset tetap untuk menghitung umurnya.
  • Waktu penggunaan aset tetap.
  • Jenis aset tetap.
  • Kebijakan perbaikan dan pemeliharaan perusahaan untuk aset tetap.
  • Ketersediaan suku cadang di masa yang akan datang.

Contoh :

PT Fery Jaya melakukan revaluasi aset tetap berupa sebidang tanah luas 5000 M2 yang telah dibeli sepuluh tahun lalu yang nilai perolehannya Rp 10 Milyar. Terdapat kenaikan yang signifikan yaitu nilai hasil revaluasi yang dilakukan oleh KJPP adalah Rp 20 Milyar. Maka atas selisih lebih revaluasi tersebut maka PT Fery Jaya  akan menjurnal debit : Tanah dan mengkredit Penghasilan komprensif lainnya sejumlah Rp 10 Milyar (selisih lebih Revaluasi)

Selanjutnya selisih lebih revaluasi tersebut akan tersaji dalam bagian ekuitas.

Untuk melaksanakan revaluasi aset untuk tujuan komersil ini tentunya tidak memerlukan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak dan tidak ada PPh yang terutang atas selisih lebih revaluasi tersebut, sebaliknya selisih lebih revaluasi akan menjadi objek PPh manakala revaluasi dilakukan untuk tujuan perpajakan yang akan dibahas selanjutnya.

  1. REVALUASI ASET TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

Dalam situasi tertentu perusahaan dapat mempertimbangkan juga untuk memilih revaluasi  aset tetap untuk tujuan perpajakan. Ketentuan mengenai hal ini telah diatur  dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan (PMK 79/2008).

PMK 79/2008 ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari pasal 19 UU PPh yang terkait dengan pasal 4  ayat (1) huruf m yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva merupakan objek pajak penghasilan. Sehingga lebih atas revaluasi akan dikenakannya Pajak Penghasilan

B.1. Syarat Revaluasi Aset Tetap untuk Tujuan Perpajakan

Dalam melakukan revaluasi Aset Tetap untuk tujuan Perpajakan tentu harus memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam PMK 79/2008 ini, beberapa syarat tersebut antara lain:

  1. Berlaku bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
  2. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
  3. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
  4. Objek revaluasi berupa seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
  5. Revaluasi tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
  6. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.
  7. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
  8. Membayar PPh final sebesar 10% dari selisih lebih atas nilai revaluasi

Manfaat dari revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan adalah dapat membantu mengurangi kewajiban pajak suatu perusahaan bila dilakukan perhitungan dengan cermat antara besarnya PPh yang harus dibayar dibanding dengan biaya penyusutan fiskal yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Terlebih ketika tahun 2015-2016 yang lalu adanya momentum penurunan tarif pajak penghasilan atas selisih lebih revaluasi aset tetap yang semula 10% menjadi 3%, 4% atau 6%. Setelah itu dan sampai saat ini tarif pajak untuk selisih lebih atas revaluasi aset tetap adalah kembali 10% sesuai dengan PMK 79/2008.

Situasi dimana ekuitas perusahaan dalam kondisi minus, maka revaluasi aset tetap yang berpotensi memiliki nilai selisih lebih dapat berdampak meningkatkan nilai ekuitas, sehingga nilai DER akan semakin membaik yang pada akhirnya dapat berguna untuk memaksimalkan pengurangan penghasilan bruto melalui pembebanan biaya bunga.

  1. SIMPULAN

Revaluasi Aset Tetap dapat dilakukan untuk tujuan komersil (akuntasi) atau untuk tujuan perpajakan yang mana masing-masing memiliki implikasi yang berbeda. Revaluasi Aset Tetap untuk tujuan perpajakan berdampak pada terutangnya PPh 10% final atas selisih lebih revaluasi sebagaimana diatur dalam PMK 79/2008, sedangkan Revaluasi Aset tetap untuk tujuan komersil (akuntansi) tidak ada PPh yang terutang.

 

 

 

 

 

 

Telaah atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pajak Penghasilan atas Imbalan Natura/Kenikmatan

oleh : Bambang Pratiknyo

Aturan pelaksanaan tentang perlakuan PPh atas Imbalan Natura/Kenikmatan akhirnya  diterbitkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (selanjutnya disingkat dengan PP No.5 Tahun 2022). Dari segi waktu penerbitannya yang di penghujung tahun 2022 memang agak disayangkan mengingat berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan pemajakan atas natura/kenikmatan sudah berlaku sejak 1 Januari 2022. Namun demikian setidaknya pemenuhan kewajiban perpajakan tahun 2022 masih ada waktu 3 sampai 4 bulan ke depan.

Sudah tentu aturan ini sangat ditunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, baik Pemberi Imbalan (Pemberi Kerja) maupun Penerima Imbalan (Pegawai), karena jika hanya mendasarkan pada ketentuan UU HPP, pemajakan atas natura/kenikmatan masih diliputi ketidak-jelasan. 

Pemahaman atas kejelasan yang diberikan oleh PP No. 5 Tahun 2022 sangat penting. Untuk itu di bawah ini diuraikan telaah atas perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan berdasarkan PP tersebut. Telaah dilakukan meliputi aspek Obyek Pajak, Penilaian dan Implikasi bagi Pemberi Kerja.

A. Objek Pajak Imbalan Natura/Kenikmatan

Seperti diketahui, objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan dibuat dengan pendekatan negative list yang mana objek pajaknya adalah yang tidak dikecualikan. Imbalan natura/kenikmatan yang dikecualikan diperjelas oleh PP No. 55 tahun 2022 yang penulis sajikan dengan tabel :

Penjelasan atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari huruf a sampai c pada dasarnya tidak berbeda dengan penegasan yang pernah diberikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum UU HPP, yaitu PMK No.167/PMK.03/2018.

Terkait dengan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai terdapat persoalan mengenai perlakuan atas makanan/minuman yang dikonsumsi dari kupon yang dikonsumsi bukan di tempat kerja oleh Pegawai selain bagian pemasaran, transportasi dan dinas luar lainnya? Berdasarkan ketentuan tekstual, maka atas kasus tersebut tetap tidak dikecualikan, alias kena pajak.

Jika benar demikian, dapat dinyatakan bahwa ketentuan ini kurang adil, dan karenanya hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan. Khusus tentang bahan makanan/minuman dengan batasan nilai tertentu yang dikecualikan sebagai objek pajak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ketentuan natura/kenikmatan di daerah tertentu tidak terdapat persoalan, malahan khusus tentang pengangkutan pegawai tidak lagi dibatasi hanya untuk penugasan pertama dan pada saat berakhirnya penugasan. Dengan demikian kenikmatan berupa fasilitas pengangkutan sehari-hari ke dan dari tempat kerja di daerah tertentu menjadi objek pajak yang dikecualikan. 

Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga pada umumnya mengacu kepada penegasan dalam PMK No.167/PMK.03/2018. Hal yang membedakan dalam PP No.55 Tahun 2022 adalah ditambahkannya kata “Kesehatan” selain keamanan dan keselamatan kerja. Untuk itu PP No. 55 tahun 2022 mengecualikan natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional” meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima Pegawai beserta anggota keluarganya berdasarkan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan antara lain berupa alat pendeteksi virus pandemi dan/atau vaksin beserta sarana penunjangnya.

Namun demikian terkait dengan Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan ini masih menyisakan persoalan, yaitu kalimat “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bagaimana Wajib Pajak mengetahui tentang “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”? Akibatnya jika ternyata ada natura/kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan yang tidak diwajibkan oleh kementerian/Lembaga, maka pengecualiannya menjadi gugur. Termasuk dalam hal ini adalah fasilitas antar jemput pegawai yang mana sesungguhnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-220/PJ/2002 bukan merupakan objek pajak tanpa mengaitkan dengan kewajiban dari kementerian/lembaga.

Selain itu, pakaian seragam bagi pekerja di Bank atau perusahaan lainnya yang tidak terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja tentu saja masih menjadi persoalan tersendiri apabila tidak diwajibkan oleh kementerian/lembaga. Oleh karena itu hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan melalui penegasan oleh Pemerintah.

Hal utama dan yang terpenting terkait dengan ketentuan objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan adalah ketentuan huruf e, yaitu natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Sangat pentingnya ketentuan ini karena selain berimplikasi kepada ketentuan huruf a, b dan c di atas juga menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan, yaitu mencegah kurangnya penerimaan negara dari pilihan pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai yang terkena tarif PPh yang lebih tinggi dari tarif PPh Pemberi Kerja.

Dengan PP No. 55 Tahun 2022 ternyata persoalan ini belum dituntaskan dan masih harus menunggu PMK. Meski demikian dalam PP No. 55 tahun 2022 arahnya sudah terindikasi, yaitu dengan adanya kriteria penerima penggantian. Dengan adanya kriteria penerima penggantian diharapkan penerima penggantian yang masih terkena tarif rendah tidak perlu dikenakan pajak atas penerimaan natura/kenikmatannya. Selain itu, kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (contoh klinik buat pekerja) sebaiknya juga dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan penulis pada artikel sebelumnya.  

B. Penilaian imbalan natura/kenikmatan

Dengan PP No.55 tahun 2022 masalah nilai imbalan natura/kenikmatan menjadi lebih jelas, yaitu bahwa untuk natura harus dinilai dengan nilai pasar, sedangkan untuk kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan. Walaupun lebih jelas, namun tentu saja ketentuan nilai pasar menimbulkan ketidakpastian, sebab nilai pasar menurut siapa yang akan dipakai. Apakah harus berdasarkan Penilai professional (valuer/appraisal) ? 

Oleh karena itu sudah tepat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 huruf c PP No. 55 Tahun 2022 yang mana mengatur bahwa masalah penilaian akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan nantinya penilaian diatur dalam Peraturan Menteri, maka seharusnya akan tercipta kepastian. Termasuk dalam hal ini adalah penilaian atas kenikmatan fasilitas klinik perusahaan yang apabila tidak dikecualikan (meski Penulis berharap dikecualikan) seharusnya dapat ditentukan secara adil, walau cenderung akan sulit ditentukan.

Demikian pula penilaian kenikmatan pemakaian kendaraan yang dimiliki perusahaan atau kendaraan yang disewa oleh perusahaan boleh jadi berbeda nilainya yang mana biaya atas kendaraan yang dimiliki perusahaan akan terdiri dari unsur depresiasi, Pajak Kendaraan Bermotor, asuransi, dan pemeliharaannya, sedangkan kendaraan yang disewa biayanya hanya sebesar nilai sewanya. Oleh karena itu sebaiknya dalam PMK nanti kasus seperti ini juga diatur.

C. Hubungan dengan PPh Pemberi Kerja

Aspek perlakuan pemajakan atas natura/kenikmatan tentu terkait dengan perlakuan biayanya bagi Pemberi kerja dan pemotongan pajaknya. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan perlakuannya menurut PP No.55 Tahun 2022 dan persoalan yang mungkin terjadi.

Meskipun pada Pasal 9 UU HPP biaya natura/kenikmatan bagi pekerja tidak lagi eksis, namun berdasarkan Pasal 32 C UU HPP, perlakuannya diatur lebih lanjut oleh PP No. 55 Tahun 2022 pada Pasal 23 ayat (2) yaitu bahwa biaya tersebut akan diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible) jika berkaitan dengan upaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M).

Sebelumnya, perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan adalah deductible jika taxable pada pegawai (sesuai dengan kaidah deductibility-taxability), begitu pula sebaliknya jika non-taxable pada pegawai maka non-deductible pada Pemberi kerja.

Dengan adanya tambahan batasan 3M di atas, apakah dimungkinkan terjadi imbalannya taxable tapi non-deductible bagi Pemberi Kerja karena bukan dalam rangka 3M?  Jika terjadi maka Negara dapat dua penerimaan pajak, yaitu dari Pemberi Kerja dan dari Pegawai. Hal ini menarik mengingat bingkisan hari raya dan fasilitas peribadatan dapat dinyatakan sebagai bukan biaya 3M. Lebih lanjut, tentu akan muncul pertanyaan apakah pemberian hadiah pernikahan, kelahiran atau santunan duka kematian kepada pekerja merupakan biaya 3M ?  

Terakhir, terkait dengan ketentuan tahun pajak atas natura/kenikmatan  bagi Pemberi kerja, objek pajak pada pegawai dan pemotongan PPh Pasal 21-nya dalam masa peralihan diatur perlakuannya diatur dalam Pasal 73 yaitu bahwa ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan sesuai UU HPP adalah :

a. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan

b. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Hal ini berarti bahwa pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2021 yang di dalamnya termasuk bulan-bulan tahun 2022 (contoh tahun buku Juli 2021 s.d. Juni 2022, Juni 2021 s.d. Mei 2022, Mei 2021 s.d. April 2022, April 2021 s.d. Maret 2022, Maret 2021 s.d. Februari 2022, atau Februari 2021 s.d. Januari 2022.) belum berlaku ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan  yang baru (masih berlaku ketentuan lama). Dengan kata lain atas penghasilan natura/kenikmatan dari Pemberi kerja pada tahun pajak 2021 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2022 belum merupakan objek pajak, meski diterima dalam bulan-bulan tahun 2022.

Konsekuensi logisnya, pada Januari 2022 s.d. Juni 2022 biaya natura/kenikmatan masih non-deductible bagi Pemberi kerja. Sejak dimulainya tahun pajak 2022 barulah perlakuan pemajakan yang baru berlaku. Jadi jika tahun bukunya Juli s.d. Juni tahun berikutnya, maka untuk tahun pajak 2022 yang dimulai sejak Juli 2022 s.d. Juni 2023 mulai berlaku ketentuan baru, yaitu bahwa natura/kenikmatan menjadi objek pajak mulai Juli 2022. 

Berbeda halnya pada kasus pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2022 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2021 (Agustus 2021 s.d. July 2022, September 2021 s.d. Agustus 2022, Oktober 2021 s.d. September 2022, November 2021 s.d. Oktober 2022, dan December 2021 s.d. Nopember 2022) yang mana ketentuan pemajakan baru berlaku mulai 1 Januari 2022. Sebagai konsekuensi logisnya, maka atas bulan-bulan tahun 2021 masih belum taxable pada pegawai dan belum deductible bagi Pemberi kerja.

Suatu hal yang menarik lainnya adalah bahwa ketentuan Pasal 73 juga mengatur bahwa kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas natura/kenikmatan bagi pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023, sekalipun atas natura/kenikmatan tersebut sudah menjadi objek pajak sejak 1 Januari 2022.

Dengan demikian atas penghasilan natura/kenikmatan yang sudah menjadi objek pajak sebelum 1 Januari 2023 harus dilaporkan/diperhitungkan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi (OP) Pegawai yang bersangkutan.

Hal ini secara administratif menimbulkan persoalan tersendiri, karena Pemberi kerja harus bisa menilai natura/kenikmatan yang diberikan untuk diinformasikan kepada pegawainya. Tentu saja persoalan ini tidak akan terpecahkan jika PMK-PMK terkait penilaian dan batasan serta jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan belum diterbitkan. 

Selain itu, dikarenakan selama tahun 2022 Pemberi kerja belum melakukan pemotongan, maka sudah pasti bagi Pegawai penerima natura/kenikmatan akan mengalami kurang bayar dalam penghitungan PPh OP tahun 2022.

Selanjutnya akan juga muncul persoalan berikutnya, yaitu apakah dengan demikian akan muncul kewajiban angsuran PPh Pasal 25 setelah SPT OP tahun 2022 disampaikan? Masalahnya penghasilan natura/kenikmatan tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan tidak teratur, dan apabila dibayar PPh Pasal 25 maka akan terjadi lebih bayar pada SPT OP tahun 2023 (sebab sejak tahun 2023 atas natura tersebut sudah dilakukan pemotongan pajak oleh Pemberi kerja).

Persoalan ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya melalui penegasan oleh Pemerintah bahwa atas penghasilan natura/kenikmatan tahun 2022 tidak perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 25.

D. Simpulan dan Saran

PP No. 55 tahun 2022 sudah memperjelas hal-hal yang belum jelas sebelumnya, namun penjelasannya belum tuntas dan membutuhkan penuntasan melalui penerbitan PMK-PMK sebagaimana diamanatkan oleh PP tersebut.

Mengingat batas penyampaian SPT OP kian mendekat, maka penerbitan PMK sebelum batas waktu penyampaian SPT OP amat sangat disarankan. Tentu akan sangat lebih baik jika penerbitannya jauh sebelum batas waktu penyampaian SPT OP guna memberikan kecukupan waktu bagi Pemberi kerja melakukan penilaian dan bagi OP yang bersangkutan memperhitungkannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 003244

 

Tinjauan atas Penerapan Prinsip “Substance-Over-Form” Sebagai Aturan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak

Oleh: Nalphian Seotang 

A. Kondisi saat ini mengenai aturan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia 

Sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak telah dilengkapi dengan seperangkat aturan yang memberikan mereka kewenangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak. Seperangkat aturan tersebut tertuang di dalam Pasal 18 UU PPh. 

Seiring dengan perubahan UU PPh yang sudah dilakukan sebanyak tujuh kali sejak tahun 1983 hingga sekarang, ketentuan di dalam Pasal 18 pun turut berkembang. Ini berarti bahwa aturan penghindaran pajak berganda di Indonesia juga turut berkembang. Pada awalnya, Pasal 18 hanya terdiri dari 4 ayat. Sekarang, berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 18 terdiri dari 8 ayat. 

Mayoritas dari ketentuan di Pasal 18 UU PPh pun telah diatur lebih lanjut di dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seperti contohnya:

(i) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 169 Tahun 2015 tentang debt-to-equity ratio untuk keperluan perpajakan ;

(ii) Ketentuan Pasal 18 ayat (2) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 17 Tahun 2017 tentang deemed dividends dari controlled foreign corporations ; dan

(iii) Ketentuan Pasal 18 ayat (3) telah diatur lebih lanjut dalam seperangkat Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen Pajak terkait dengan transfer pricing.

Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak sudah bisa mengimplementasikan aturan-aturan tersebut di lapangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak karena telah ada aturan pelaksananya.

Namun, menarik untuk dicatat bahwa semua aturan di dalam ketentuan Pasal 18 UU PPh merupakan aturan-aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat spesifik, atau biasanya dikenal dengan sebutan specific anti-avoidance rule. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Aturan Pajak Penghasilan (PP No. 55 Tahun 2022) berlaku, sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia belum pernah memiliki aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum (general anti-avoidance rule). 

Aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia tersebut dikatakan bersifat spesifik, karena mereka hanya ditujukan untuk memberantas praktik penghindaran pajak spesifik yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu atau melalui skema transaksi tertentu. 

Terdapat rambu-rambu yang jelas di dalam aturan tersebut seperti mengenai apa saja yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan.  

Namun sayangnya, dalam beberapa kesempatan, aturan yang bersifat spesifik tidaklah efektif untuk memberantas atau mencegah praktik penghindaran pajak yang cenderung selalu berkembang. Direktur jJenderal pPajak tidak dapat mencegah praktik-praktik penghindaran pajak tersebut, karena mereka tidak dapat dijaring oleh unsur-unsur dalam aturan-aturan spesifik yang sudah ada. 

Perlunya aturan umum pencegahan penghindaran pajak 

Para penghindar pajak cenderung akan selalu mencoba mencari cara yang kreatif untuk mengakali aturan-aturan yang spesifik tersebut. Ironis, semakin jelas rambu-rambu itu disebutkan di dalam suatu aturan, maka semakin jelas juga bagi para penghindar pajak untuk menggambarkan mengenai kondisi-kondisi di mana perbuatan mereka nantinya tidak akan dianggap sebagai praktik penghindaran pajak karena telah melaksanakan sesuai konteks aturan yang ada.

Kondisi ini tentunya sangat dimanfaatkan para penghindar pajak, khususnya untuk terus menemukan cara bagaimana mereka harus mengakalinya. 

Mengingat kelemahan yang dimiliki oleh aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, maka diperlukan suatu aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum. Dalam hal ini, “umum” memiliki arti bahwa unsur-unsur yang menjadi pembentuk aturan tersebut tidaklah dirumuskan secara spesifik sehingga keberlakuannya lebih bisa luwes. Oleh sebab itu, melalui Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan wewenang tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 20 Desember 2022.

Dalam ketentuan tersebut, Direktur jJenderal Pajak diberikan wewenang untuk menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance-over-form). Wewenang ini dapat diterapkan ketika semua aturan spesifik penghindaran pajak tidak efektif untuk mencegah suatu praktik penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan bunyi ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022:

“Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”

Karena ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022 ini berpedoman hanya pada suatu prinsip dan berfungsi sebagai upaya terakhir (last resort) untuk mencegah penghindaran pajak ketika aturan-aturan yang bersifat spesifik tidak lagi efektif, ketentuan ini dapat disebut sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Kemudian, penerapan prinsip substance-over-form menjadi suatu norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagai aturan umum pencegahan, atau penghindaran pajak adalah hal yang menarik untuk ditinjau lebih lanjut. 

Perlu dicatat bahwa sebelum PP No. 55 Tahun 2022 berlaku, prinsip tersebut pernah diterapkan sebagai dasar penerapan manfaat yang diberikan oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa dalam hal substansi ekonomi suatu transaksi berbeda dengan bentuk hukumnya, maka penerapan P3B harus didasarkan pada substansi ekonominya. Namun, ketentuan tersebut khusus diberlakukan spesifik untuk penerapan P3B saja dan tidak dalam hal lainnya.  

Berikut ini adalah uraian tinjauan umum dari sudut pandang hukum atas penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak.

  1. Tinjauan dari perspektif penegakan hukum 

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf a PMK 17 Tahun 2013, diatur bahwa temuan hasil pemeriksaan pajak harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Pada dasarnya, ketentuan di atas bertujuan untuk menjamin agar temuan-temuan pemeriksaan yang dikenakan oleh Direktur Jenderal Pajak harus didasarkan pada ketentuan yang jelas diatur secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hak-hak wajib pajak dapat dijamin. 

Kemudian, Direktur Jenderal Pajak dilarang untuk membuat temuan hasil pemeriksaan berdasarkan subjektivitas pemeriksa, termasuk berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Jadi, dengan berlakunya PP No. 55 Tahun 2022, prinsip substance-over-form tidak lagi merupakan prinsip yang bersifat tidak tertulis yang bisa dipertanyakan legalitasnya, jika digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar hukum dalam membuat temuan pemeriksaan. 

Dengan demikian, PP No. 55 Tahun 2022 memberikan landasan hukum yang tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga prinsip substance-over-form dapat digunakan sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. 

Dari sudut pandang penegakan hukum pajak, dengan diterapkannya prinsip substance-over-form menjadi norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Direktur Jjenderal pPajak seakan-akan diberikan “senjata terakhir” untuk bisa memberantas praktik penghindaran pajak yang dapat digunakan, khususnya mana kala aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak tidak lagi efektif untuk digunakan. 

Diharapkan dengan diberikannya kewenangan tambahan ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menciptakan level playing field untuk semua wajib pajak. Sehingga setiap wajib pajak nantinya akan membayar kewajibannya sesuai dengan proporsi yang adil dan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Jadi, idealnya tidak ada lagi wajib pajak yang membayar pajak lebih kecil dari yang seharusnya, karena memang itu yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, bukan karena mereka (wajib pajak) mampu merekrut ahli-ahli perpajakan dan itu bisa membantu untuk menghindar dari kewajibannya dan bahkan mengakali peraturan yang berlaku.

  1. Tinjauan dari perspektif kepastian hukum

Selain dari aspek penegakan hukum, terdapat juga aspek kepastian hukum yang layak untuk ditinjau terkait penerapan prinsip ini.

Di satu sisi, kejelasan perumusan unsur-unsur di dalam suatu norma tertulis adalah penting demi tercapainya kepastian hukum terkait penerapan norma tersebut. Karakteristik dari aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, yang menguraikan dengan rinci kondisi-kondisi seperti apa yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang dilarang, cenderung lebih bisa memenuhi tujuan kepastian hukum daripada aturan yang bersifat umum. 

Namun di sisi lain, dengan semakin jelas dirumuskannya unsur-unsur suatu norma tertulis, maka norma tersebut akan semakin kaku dan sulit untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal penghindaran pajak, aturan itu semakin kaku dan sulit untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang akan terus berkembang. 

Di sinilah letak diperlukannya aturan umum pencegahan penghindaran pajak, yang seharusnya lebih luwes untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.  

Sayangnya, sifat “umum” dan “luwes” dari aturan umum dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak patut diduga akan bervariasi nantinya ketika diimplementasikan. Terdapat kemungkinan bahwa (i) antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak yang lain, (ii) antara wajib pajak dengan petugas pajak, atau (iii) antara petugas pajak yang satu dengan petugas pajak yang lain akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda apakah suatu transaksi dapat dikatakan sebagai praktik penghindaran pajak berdasarkan prinsip substance-over-form. 

Oleh karena hal di atas, peraturan yang akan diterbitkan Menteri Keuangan untuk mengatur tata cara penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak adalah sangat penting. Peraturan tersebutlah yang seharusnya menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan mencegah Direktur Jenderal Pajak menyalahgunakan kewenangannya. 

Sebagaimana diatur oleh Pasal 44 PP No. 55 Tahun 2022, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak harus dilakukan dengan memperhatikan:

  1. Batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan;
  2. Kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak;
  3. Tahap pengujian formil dan materiil;
  4. Mekanisme penjaminan kualitas; dan/atau
  5. Perlindungan hak wajib pajak, serta penerapannya harus dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. 

Ketentuan-ketentuan tersebut akan dicakup dalam peraturan menteri keuangan. Diharapkan menteri keuangan dapat menerbitkan peraturan yang di satu sisi dapat menjamin kepastian hukum untuk wajib pajak, namun di sisi lain tidak menghilangkan sifat “umum” dari aturan ini agar efektif untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak yang cenderung terus berevolusi. 

  1. Tinjauan dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan

Poin terakhir yang layak untuk ditinjau adalah dari sudut pandang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Menarik untuk dicatat bahwa batang tubuh UU PPh sama sekali tidak menyebutkan mengenai pemberlakuan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Frasa “prinsip substance-over-form” hanya muncul pada penjelasan Pasal 18 UU PPh, dan penjelasan tersebut juga tidak menyebutkan penggunaan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan Pasal 18:

“Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya”.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  (UU P3), hierarki suatu undang-undang adalah lebih tinggi daripada hierarki suatu peraturan pemerintah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. 

Ini artinya materi muatan dari peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dari undang-undang yang menaunginya. 

Pasal 9 ayat (2) UU P3 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi jika diduga ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Berdasarkan hal di atas, patut untuk diteliti lebih lanjut apakah penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak di dalam PP No. 55 Tahun 2022 dapat dianggap bertentangan dengan UU PPh karena memuat norma yang lebih luas dari yang diatur dalam UU PPh, sehingga ketentuan itu seharusnya tidak memiliki daya keberlakuan. 

Jika memang demikian, terdapat risiko ketentuan tersebut akan dinyatakan tidak berlaku jika ketentuan itu diuji materikan di Mahkamah Agung. 

  1. Kesimpulan

Dengan demikian, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak membuka babak baru di dunia perpajakan Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, sebelumnya Indonesia belum pernah memiliki aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Maka, dengan diberlakukannya prinsip ini sebagai norma tertulis untuk mengecah praktik penghindaran pajak, Direktur jJenderal Pajak semakin diperkuat dengan diberikan landasan hukum yang jelas untuk menegakkan peraturan perpajakan. 

Namun demikian, kepastian hukum dari penerapan prinsip ini perlu juga dijaga. Peraturan yang nantinya akan diterbitkan oleh menteri keuangan menjadi krusial karena di dalam peraturan tersebut menteri keuangan harus menjaga keseimbangan atara wewenang Direktur Jenderal Pajak dan hak-hak wajib pajak. 

Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga agar wajib pajak mendapatkan kepastian hukum, dan di sisi lain peraturan ini diharapkan dapat merealisasikan agar pencegahan atau penghindaran pajak menjadi efektif tanpa adanya penyalahgunaan wewenang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Terakhir, terdapat aspek pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu diteliti lebih lanjut terkait penerapan prinsip substance-over-form tersebut di dalam PP No. 55 Tahun 2022, yakni apakah penerapan tersebut bertentangan dengan UU PPh. 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 002902.

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Jakarta: Kamis 29 September 2022

Pada tanggal 29 Oktober 2021 pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang selanjutnya disebut UU HPP. Dalam UU HPP mengatur: pertama, perubahan UU KUP; kedua, perubahan UU PPh; ketiga, perubahan UU PPN; keempat, mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak; kelima, mengatur mengenai Pajak Karbon; dan keenam, mengatur perubahan UU Cukai.

Dalam UU HPP, judul untuk perubahan UU KUP, UU PPh, dan UU PPN secara substansi menyatakan bahwa “UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah adalah UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Dimana menyebutkan:  UU Nomor 16 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU KUP, UU  Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPh, dan menyebutkan UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPN. Padahal sebelum lahirnya UU HPP, UU Cipta Kerja adalah perubahan terakhir untuk UU KUP, UU PPh, dan UU PPN.

Judul dalam Pasal 2 UU HPP ini sama persis dengan judul yang dicantumkan dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana keberlakuan atas Pasal UU KUP yang telah diubah di UU Cipta Kerja, namun tidak diubah oleh UU HPP?

Dalam penafsiran hukum, judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP akan bermakna bahwa “UU HPP mengubah UU KUP yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, sehingga tidak termasuk UU KUP yang telah diubah dengan Pasal 113 UU Cipta Kerja.

Sesuai asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, maka undang-undang yang terakhir membatalkan undang-undang sebelumnya dalam hal mengatur hal yang sama. Karena Pasal 2 UU HPP dan Pasal 113 UU Cipta Kerja sama-sama “mengubah UU KUP dan perubahannya, yang perubahan terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, maka sesuai dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dapat ditafsirkan bahwa “Pasal 2 UU HPP yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 membatalkan Pasal 113 UU Cipta Kerja yang diundangkan pada tanggal 2 November 2020”. Pasal 2 UU HPP berpotensi ditafsirkan membatalkan keberlakuan perubahan UU KUP dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, rumusan judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP telah menimbulkan kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi dalam negeri.

Kekaburan hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP, karena judul perubahan UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja. Kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPN dalam Pasal 4 UU HPP, karena judulnya sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja.

Kekaburan hukum yang terjadi dalam UU HPP untuk klaster perpajakan sedikit mendapat koreksi dengan adanya pengaturan dalam ketentuan penutup di Pasal 16 huruf f UU HPP yang mengatur bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU HPP atau belum diganti berdasarkan UU HPP.

Dunia usaha tentu sangat membutuhkan kepastian hukum yang tidak menimbulkan multitafsir atas keberlakuan perubahan terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang tidak diubah oleh UU HPP. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan mencegah potensi multitafsir, dipandang perlu pemerintah mempertimbangkan untuk “membuat perubahan terhadap Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP” dengan mengubah judul dalam ketiga pasal tersebut dengan mencantumkan UU Cipta Kerja sebagai UU perubahan terakhir terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah oleh UU HPP. Secara pararel, perbaikan perubahan juga perlu dilakukan terhadap Pasal 1 ayat (3) UU HPP karena materi muatannya sama persis dengan judul dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP.

Pemerintah dapat mempertimbangkan cara tercepat untuk melakukan perbaikan dengan cara pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Baru kemudian Perppu tersebut disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang.


(Disclaimer: Artikel ini bukan dasar hukum)

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

“International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”

Press Release Pengurus Pusat IKPI
5 Agustus 2022

Tentang : International tax law class dengan topik Tax Transparancy; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea

Akses terhadap informasi keuangan sangat dibutuhkan oleh otoritas perpajakan suatu negara untuk mengetahui sekaligus mengawasi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Namun upaya memperoleh informasi keuangan tersebut terhambat oleh undang-undang kerahasiaan perbankan (bank secrecy) yang diberlakukan untuk melindungi data nasabah di lembaga-lembaga keuangan. Perlindungan kerahasiaan bank memberi peluang besar bagi orang-orang super kaya untuk menghindari pajak secara illegal, karena mereka sangat mudah memobilisasi dana mereka di berbagai insitusi keuangan di luar negeri khususnya di negara-negara dengan tarif pajak rendah atau negara yang tidak mengenakan pajak sama sekali. Orang-orang kaya tersebut menggerus basis pengenaan pajak di negara mereka berdomisili dengan cara menggesernya ke luar negeri dengan tarif pajak rendah.

Penghindaran pajak yang dilindungi oleh undang-undang domestik tentang kerahasiaan bank menjadi perhatian serius berbagai negara di dunia terutama negara-negara yang terdampak berat terhadap penerimaan pajak di negara mereka. Pada tahun 2009, pimpinan negara-negara yang tergabung dalam G20 bersepakat untuk bersama-sama mengakhiri dan tidak lagi memberi toleransi terhadap kerahasiaan bank dan bertekad untuk mengambil tindakan kepada negara-negara yang menolak bekerjasama, termasuk negara-negara sorga pajak.

Pada bulan September 2009, Indonesia menjadi anggota Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum). Forum ini merupakan badan internasional dengan anggota terdiri dari 165 negara yang dibentuk untuk penerapan standar internasional atas transparansi pajak dan  pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar negara.

Selanjutnya pada tanggal 15 Juni 2015, Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) di Kantor Pusat OECD di Paris, Perancis, yang mulai membuka lembaran baru era keterbukaan informasi untuk perpajakan di Indonesia. Hal ini juga menjadi pembuka bagi Indonesia untuk masuk kedalam skema AEOI (Automatic Exchange of Information) dengan lebih dari 50 negara Dunia.

Memasuki era keterbukaan informasi ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan-peraturan untuk mendukung hal tersebut yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, lalu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018.

Penerapan keterbukaan informasi ini sangat penting bagi Indonesia karena apabila tidak menerapkannya, maka Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang “Non-Cooperative Jurisdictions”. Dengan bergabung AEOI, Indonesia dapat mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan pengelakan Pajak, Indonesia dapat memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang akurat dari lebih dari 50 negara di dunia.

Edukasi dari era keterbukaan informasi dan pertukaran data antar negara ini perlu dan harus terus disosialisasikan dan diinformasikan kepada masyarakat luas agar pemahaman menyeluruh atas adanya skema ini dapat diterima dengan baik tanpa ada resistensi dari masyarakat dan dengan penuh kesadaran agar dapat patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Harapan kedepan dengan semakin terbukanya informasi, Direktorat Jenderal Pajak dapat bersinergi secara positif dengan Wajib Pajak, dan tingkat kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak dapat meningkat dengan sendirinya. Jika Pemerintah benar-benar dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang melindungi hak dari Wajib Pajak, serta pemanfaatan dari data yang terbuka tersebut dapat dimaksimalkan untuk mengedukasi, mendidik, serta meningkatkan pengetahuan wajib pajak atas implikasi-implikasi yang dapat terjadi apabila tidak patuh.

Sebagai Asosiasi konsultan pajak pertama dan terbesar/terbanyak anggotanya di tanah air, IKPI (“Ikatan Konsultan Pajak Indonesia”) memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan anggota (pada khususnya) dan masyarakat (pada umumnya) untuk memahami latar belakang, perkembangan dan penerapan global minimum taxation baik dari perspective nasional maupun internasional.

Bahwa IKPI melalui Departemen Hubungan Internasional dengan dukungan dari Asosiasi Perpajakan Jepang, China dan Korea mengundang perwakilannya untuk menjadi narasumber pada “International Tax Law Class” dengan topik “Tax Transparency; A Collaboration between Indonesia (IKPI), Japan, China And Korea”. Tujuan seminar ini adalah untuk saling bertukar informasi bagaimana penerapan Tax Transparency and Automatic Exchange of Information di masing-masing negara.

Seminar kali ini adalah semacam pemanasan sebelum nanti bertempat di Bali bulan November 2022 akan diadakan seminar perpajakan internasional yang akan melibatkan lebih banyak lagi narasumber dari negara-negara  yang tergabung dalam Asia Oceania Tax Consultant’s Association (AOTCA). Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan AOTCA 2022 General Meeting and International Tax Conference yang kedua kalinya setelah yang pertama pada tahun 2011.

Kegiatan seperti ini menjadi salah satu program berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) untuk menjalin komunikasi serta pertukaran pengalaman dengan negara-negara lain. Kerjasama dengan universitas-universitas terkemuka di dunia akan terus dibangun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu misi IKPI menjadi asosiasi konsultan pajak terkemuka di dunia.

 

Tentang IKPI

IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) merupakan wadah asosiasi profesi Konsultan pajak di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan berbadan hukum. Sejak berdiri pada 27 Agustus 1965 lalu, IKPI saat ini sudah memiliki 12 Pengurus Daerah dan 42 Cabang di seluruh Indonesia, dengan Anggota Aktif Perkumpulan sebanyak 6.000 orang.

 

Humas PP IKPI

 

MENUNGGU JUKLAK BKP/JKP TERTENTU YANG MENDAPAT FASILITAS PPN TIDAK DIPUNGUT ATAU PPN DIBEBASKAN

Kejelasan BKP dan JKP yang Mendapat Fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Dibebaskan

Tak terasa dua hari lagi kita memasuki tanggal 1 April 2022. Tanggal 1 April 2022 menjadi spesial, karena beberapa perubahan UU PPN sebagaimana yang diubah dengan UU HPP akan berlaku efektif mulai 1 April 2022, seperti tarif PPN yang semula 10% berubah menjadi 11%, juga beberapa barang dan jasa yang semula masuk kategori “bukan Barang Kena Pajak (Non BKP)” dan “bukan Jasa Kena Pajak (Non-JKP)” berubah menjadi “Barang Kena Pajak (BKP)” dan “Jasa Kena Pajak (JKP)”, namun mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut” atau “PPN Dibebaskan” yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana yang telah beberapakali diubah terakhir dengan UU HPP, yang selanjutnya disebut Pasal 16B UU HPP.

Dalam Web News.DDTC.co.id tanggal 29 Maret 2022 menyampaikan informasi kebijakan pajak tentang PPN Tidak Dipunggut dengan judul “DJP Sebut Empat Barang/Jasa Ini Dapat Fasilitas PPN Tidak Dipunggut”. Dalam artikel tersebut disampaikan bahwa: “Otoritas pajak menyatakan empat barang/jasa yang mendapatkan fasilitas tersebut antara lain pertama, alat angkut laut, udara, dan kereta api. Kedua, jasa terkait dengan alat angkut. Ketiga, emas granula dan anode slime. Keempat, barang yang atas impornya dibebaskan dari bea masuk, seperti barang untuk keperluan penyandang disbilitas, peti yang berisi jenazah, barang pindahan, barang pribadi penumpang, dan barang impor sementara.” Hal ini perlu pengaturan yang jelas agar tidak menimbulkan disharmonis dengan UU HPP, khususnya untuk bagian kedua di atas yaitu jasa terkait dengan alat angkut. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP, beberapa BKP dan JKP telah disebutkan dengan jelas mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” diantaranya adalah “Jasa angkutan umum di darat dan di air serta di udara”.

Dalam batang tubuh Pasal 16B UU HPP tidak dipisahkan kelompok BKP/JKP yang mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut” dengan yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”. Dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf a sampai dengan huruf i UU HPP tidak diatur dengan tegas apakah diberikan fasilitas “PPN Tidak Dipungut” atau diberikan fasilitas “PPN Dibebaskan”, namun di Pasal 16B ayat (1a) huruf j diatur dengan tegas BKP dan JKP tertentu yang bersifat strategis.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, berdasarkan kelaziman selama ini, untuk BKP yang bersifat strategis mendapatkan fasilitas “PPN Dibebaskan”. Hal ini juga terkonfirmasi melalui memori penjelasan dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP yang menjelaskan “antara lain” BKP kebutuhan pokok dan JKP yang diberikan fasilitas ‘PPN Dibebaskan”.

Ketentuan Pasal 16B UU HPP memberi ruang kepada Pemerintah untuk menetapkan BKP dan JKP apa saja yang diberikan fasilitas “PPN Tidak Dipunggut” atau “PPN Dibebaskan” selain yang telah diatur dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j. Dapat saja suatu BKP yang menunjang suatu JKP mendapat fasilitas “PPN Tidak Dipungut”, seperti BKP untuk alat angkutan umum, BKP untuk kesehatan, BKP untuk pendidikan. Di sisi yang lain, atas JKP tersebut juga mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”.

Pemerintah masih dapat menambah BKP dan JKP yang diberikan fasilitas “PPN Dibebaskan” sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j, karena prase yang digunakan UU HPP adalah “antara lain”, sehingga pemerintah diberi ruang yang fleksibel oleh UU HPP untuk mengatur lebih lanjut sesuai dengan kebijakan dari pemerintah. Untuk mendapatkan kejelasan ini semua, tentu kita harus menunggu peraturan pelaksananya dari pemerintah.

Oleh karena itu, peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah kelak seyogyanya akan memperjelas BKP mana saja yang mendapatkan fasilitas “PPN tidak Dipungut” dan BKP mana saja yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”, serta harmonis dengan UU HPP. Juga JKP mana saja yang mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” selain yang telah dijelaskan dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU HPP.

PPN Dibebaskan atas Jasa Pendidikan

Untuk fasilitas “PPN Dibebaskan”, tidak kalah penting untuk membahas tentang jasa pendidikan yang selanjutnya disebut JKP Pendidikan. Sesuai dengan Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 6, JKP pendidikan mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan”. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan PPN yang baru ini, hal ini akan berimplikasi kepada bertambahnya kewajiban administrasi pajak bagi penyelenggaran pendidikan yang telah memenuhi kewajiban menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menerbitkan Faktur Pajak atas jasa pendidikan yang diberikan. Dengan ketentuan perpajajakan yang berlaku saat ini, berimplikasi penyelenggara pendidikan perlu mendaftarkan diri terlebih dahulu menjadi PKP, kemudian penyelenggaran pendidikan berkewajiban untuk menerbitkan faktur pajak.

Di satu sisi penerima JKP Pendidikan adalah konsumen akhir (siswa/mahasiswa), yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku secara umum saat ini, dapat diterbitkan Faktur Pajak gunggungan bila terdapat PPN yang dipungut. Namun karena “jasa pendidikan” mendapat fasilitas “PPN Dibebaskan” ruang untuk menerbitkan Faktur Pajak gunggungan belum ada.

Kewajiban menerbitkan Faktur Pajak bagi penyelenggara pendidikan tentu merupakan hal yang baru baginya. Hal ini tentu perlu sosialisasi lebih lanjut dari Direktorat Jenderal Pajak kepada penyelenggara pendidikan agar terhindar dari pengenaan sanksi administrasi 1% yang diakibatkan penyelenggara pendidikan belum atau terlambat menerbitkan Faktur Pajak. Bila sampai terjadi pengenaan sanksi administrasi denda ini dikemudian hari, tentu akan sangat memberatkan penyelenggara pendidikan dan dapat berimplikasi kepada penurunan kualitas pendidikan di negara kita.

Kita ketahui bersama, betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Jangan sampai kelak timbulnya beban sanksi denda administrasi 1% bagi penyelenggara pendidikan mengakibatkan kontraproduktif bagi kemajuan bangsa khususnya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Suatu bangsa akan kuat bila masyarakatnya mendapat pendidikan yang berkualitas dan memiliki kesehatan jasmani yang baik. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu diperlukan regulasi perpajakan khusus untuk pendidikan.

 

Penutup

Kita segera menyambut sebagian perubahan UU PPN yang akan berlaku efektif 1 April 2022. Diperlukan peraturan pelaksana untuk memperjelas dan memperlancar pelaksanaannya serta yang harmonis dengan UU HPP.

Perlu pengaturan khusus administrasi pajak untuk JKP Pendidikan atau diberikan fasilitas khusus guna menghindari penyelenggara pendidikan dikenai sanksi administrasi 1% karena terlambat atau belum menerbitkan Faktur Pajak. Pengenaan sanksi denda administrasi ini dapat berimplikasi pada menurunnya kualitas pendidikan di negara kita. Pendidikan memegang peran sangat penting untuk kemajuan bangsa kita di masa depan.

Menjadi harapan kita semua, impian Indonesia menjadi negara 5 terbaik di dunia di tahun 2045 menjadi kenyataan yang kita wujudkan bersama. Mari kita bersama-sama mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, adil dan makmur.


 

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

Bagikan Berita Ini
id_ID