Siap untuk Diperiksa? Pahami PMK 15/2025 dan Siapkan Strateginya!

Perubahan lanskap bidang perpajakan, kembali mengalami pembaruan yang signifikan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025). Regulasi ini menggantikan sejumlah peraturan lama dan menyatukan ketentuan tata cara pemeriksaan pajak, termasuk PBB, dalam satu aturan komprehensif.

Latar Belakang PMK 15/2025

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen penting Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memastikan kepatuhan pajak Wajib Pajak (WP). Namun, selama ini pengaturannya tersebar di berbagai regulasi seperti PMK 17/PMK.03/2013 dan PMK 256/PMK.03/2014. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 menuntut harmonisasi serta penyederhanaan prosedur, yang akhirnya dituangkan dalam PMK 15 Tahun 2025.

PMK 15/2025 memperkuat prinsip kepastian hukum, proporsionalitas, serta pengawasan yang profesional, sekaligus memberikan pedoman baku terhadap hak dan kewajiban para pihak (DJP maupun WP).

Urgensi PMK 15/2025 dalam Reformasi Pajak Nasional

PMK 15/2025 tidak hadir dalam ruang hampa. Ia merupakan kelanjutan dari reformasi administrasi pajak nasional yang berbasis pada transparansi, otomatisasi, dan pengawasan berbasis risiko. Dalam konteks global, Indonesia juga berupaya memenuhi standar kepatuhan internasional seperti OECD Tax Administration dan BEPS Action Plan. Oleh karena itu, PMK ini menjadi instrumen penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya kuat, tetapi juga kredibel.

Kehadiran Pemeriksaan sebagai Alat Evaluasi

Bagi sebagian besar WP, pemeriksaan dianggap sebagai bentuk ‘hukuman’. Padahal dalam self assessment system, pemeriksaan adalah bagian penting untuk memastikan pelaporan yang dilakukan benar dan sesuai ketentuan. Melalui PMK 15/2025, pendekatan pembinaan lebih ditekankan, di mana proses pemeriksaan bertujuan membangun pemahaman, bukan sekedar koreksi fiskal.

Pemeriksaan dan Prinsip Risk-Based Audit

Salah satu terobosan penting dalam PMK 15/2025 adalah pendekatan pemeriksaan berbasis risiko (risk based audit). WP yang dianggap berisiko tinggi akan lebih mungkin terpilih untuk diperiksa. Ini menuntut WP untuk tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga membangun profil kepatuhan yang baik melalui data yang transparan dan laporan yang akurat.

Klasifikasi Pemeriksaan: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

Pasal 2 ayat (2) PMK 15/2025 membagi pemeriksaan menjadi 3 (tiga) tipe:

1. Pemeriksaan Lengkap : menguji seluruh pos SPT secara mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus : hanya terhadap satu atau beberapa pos dalam SPT.

3. Pemeriksaan Spesifik : atas pos tertentu secara sederhana.

Poin-poin penting:

1. Jangka waktu pengujian:

– Pemeriksaan Lengkap : semula 6 bulan menjadi 5 bulan.

– Pemeriksaan Terfokus : semula 4 bulan menjadi 3 bulan.

– Pemeriksaan Spesifik : semula 2 bulan menjadi 1 bulan. (10 hari kerja untuk kondisi tertentu)

Pembatasan waktu ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan dan menghindari ketidakpastian yang berkepanjangan.

2. Jangka waktu Tanggapan wajib Pajak terhadap SPHP:

Semula 7 (tujuh) hari kerja dan dapat diperpanjang 3 (tiga) hari kerja sehingga menjadi 10 (sepuluh) hari kerja, menjadi maksimal 5 (lima) hari kerja tanpa ada lagi perpanjangan waktu.

Perubahan ini bertujuan mempercepat proses pemeriksaan dan memberikan kepastian hukum, namun juga menuntut wajib pajak untuk lebih siap dan responsif dalam menyiapkan tanggapan atas hasil pemeriksaan.

3. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP) dan Pelaporan

Semula 2 (dua) bulan menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja.

PAHP adalah tahap akhir dalam proses pemeriksaan pajak di mana wajib pajak dan petugas pajak membahas hasil pemeriksaan sebelum diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

Kriteria Pemeriksaan: Siapa yang Bisa Diperiksa?

– WP mengajukan : restitusi atau menyampaikan SPT lebih bayar.

– WP menyampaikan SPT : Rugi.

– WP mendapat : pengembalian pendahuluan.

– WP tidak menyampaikan : SPOP PBB.

– Terdapat indikasi : kurang bayar PBB berdasarkan data hasil analisis DJP.

– Adanya data konkret dari DJP : faktur pajak/bukti potong PPh yang tidak dilaporkan.

Khususnya, Pasal 4 ayat (1) huruf l menjadi sorotan karena memperkenalkan konsep data konkret yang dapat dijadikan dasar pemeriksaan tanpa melalui proses panjang, misalnya adanya transaksi dari pihak ketiga yang tidak diakui oleh WP dalam SPT.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

PMK 15/2025 ini menggaris bawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas, dengan memperkuat posisi WP dalam proses pemeriksaan.

WP berhak untuk:

– Mengetahui : alasan dan tujuan pemeriksaan.

– Menghadiri : Pembahasan Temuan Sementara dan Pembahasan Akhir.

– Menghadirkan : saksi atau ahli dalam proses pembahasan.

– Mengajukan : keberatan terhadap hasil koreksi, dan bila tidak ada kesepakatan, WP dapat meminta pembahasan lanjutan melalui forum Tim Quality Assurance Pemeriksaan.

Namun, PMK juga mewajibkan WP untuk kooperatif, seperti memberikan akses terhadap buku, catatan, data elektronik, dan membantu kelancaran proses pemeriksaan.

Standar Pemeriksaan: Profesional dan Terukur

PMK 15/2025 juga memuat ketentuan Standar Pemeriksaan yang terbagi menjadi:

1. Standar Umum Pemeriksaan, menekankan integritas, kompetensi, dan independensi pemeriksa.

2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, mengharuskan adanya dokumentasi, pembuktian yang kuat, dan pelaksanaan sesuai metode yang sah.

3. Standar Pelaporan, mewajibkan penyusunan laporan pemeriksaan berdasarkan kertas kerja yang rapi dan sistematis.

Tujuannya adalah memastikan hasil pemeriksaan tidak semata menjadi “alat koreksi fiskal”, tetapi benar-benar berdasar hukum dan bukti.

Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak

Strategi agar WP dapat menghadapi pemeriksaan pasca PMK 15/2025 secara efektif:

1. Evaluasi Internal Kepatuhan Pajak

WP disarankan melakukan self assessment system terhadap pelaporan pajak, metode pembukuan, dan dokumentasi transaksi, khususnya transaksi afiliasi dan potensi risiko transfer pricing.

2. Penguatan Dokumentasi & Data Elektronik

Pemeriksaan saat ini tidak hanya menyoal dokumen fisik, tetapi juga melibatkan akses data elektronik, sehingga WP perlu memastikan sistem IT dan arsip digital mereka memadai dan mudah diakses.

3. Koordinasi dengan Kuasa Pajak Sejak Awal

Kuasa atau konsultan pajak sebaiknya dilibatkan sejak awal, terutama dalam menentukan strategi komunikasi dan klarifikasi atas temuan sementara.

4. Manfaatkan Hak Pembahasan dan QA Forum

WP didorong aktif menggunakan hak untuk membahas hasil pemeriksaan, dan jika perlu, mengajukan pembahasan ke Quality Assurance agar koreksi sepenuhnya adil dan proporsional.

5. Pahami Hak atas Penangguhan atau Penyegelan

Dalam kondisi tertentu, pemeriksa dapat melakukan penyegelan atau menangguhkan pemeriksaan. WP perlu memahami prosedurnya agar tidak dirugikan oleh tindakan yang tidak sesuai ketentuan.

Kesimpulan: Menuju Pemeriksaan yang Lebih Adil dan Profesional

PMK 15/2025 menjadi langkah maju dalam reformasi tata kelola perpajakan. Ia tidak hanya mengatur teknis pemeriksaan, tetapi juga memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi waktu.

Namun, di sisi lain, hal ini menuntut kesiapan lebih besar dari Wajib Pajak. Mereka harus tidak hanya patuh secara administratif, tetapi juga memiliki manajemen data yang baik dan pemahaman mendalam atas hak dan kewajibannya.

Bagi UMKM, PMK ini membuka peluang baru untuk mengelola perpajakan secara lebih baik. Adanya pemeriksaan spesifik berdurasi hanya 10 (sepuluh) hari menjadi bentuk adaptasi terhadap kemampuan administrasi WP skala kecil. Namun di sisi lain, UMKM tetap harus memahami bahwa pemeriksaan tetap dapat berujung sanksi jika ditemukan ketidaksesuaian yang signifikan.

WP perlu menyusun strategi jangka panjang yang meliputi konsistensi pelaporan, pembentukan tim pajak internal, pelatihan berkala, hingga penggunaan teknologi akuntansi modern. Konsultasi rutin dengan konsultan pajak juga menjadi kebutuhan strategis, bukan lagi sekadar solusi saat terjadi sengketa.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi (email: kadek_sumadi@yahoo.com)

Hariyasin (email: hariyasin29@yahoo.com)

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mengapa Pemerintah Belum Memberi Gelar Kepada Konsultan Pajak?

Dalam UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pasal 259 menyebutkan salah satu profesi penunjang sektor keuangan adalah konsultan pajak. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sebelumnya telah memberi payung hukum untuk membantu para konsultan pajak dalam existensinya dalam membantu pemerintah untuk mendukung pencapaian penerimaan negara dengan walaupun baru sebatas Peraturan Menteri, mengingat keberadaan jumlah para Konsultan Pajak dari dulu sangat banyak memberi bantuan kepada Masyarakat, seperti anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang memiliki ribuan anggota, namun belum memiliki landasan hukum perundang-undangan sebagai payung hukum seperti profesi lainnya selain izin, sertifikasi, juga pemberian gelar pada nama.

Sangat disayangkan tentang masih ada celah lemahnya indikator bagi masyrakaat untuk mengetahui tentang keberadaan profesi konsultan pajak. Untuk membedakan sebagai tenaga ahli dibidang konsultan pajak yang berizin, tidak sedikit konsultan pajak menyematkan gelar “BKP” di belakang penulisan namanya, walaupun tidak memiliki landasan hukum, namun tujuannya dibuat sebagai memperkenalkan diri yang memiliki rasa tanggung jawab sosial dengan menunjukkan jati diri identitas yang jelas memiliki jiwa integritas serta independensi dalam membantu hak dan kewajiban Wajib Pajak sebagaimana peraturan yang berlaku, sehingga WP dapat terhindar dari masalah pajak, yang merugikan berbagai pihak pemangku kepentingan.

Sebutan Gelar “BKP” untuk profesi konsultan pajak berizin sebagai yang memiliki kompetensi keahlian dibidang perpajakan menjadi fenomena atau fakta keadaan yang menurut penulis mungkin kurang atau luput perhatian dari pemerintah untuk memberi landasan hukum/aturan yang lebih jelas dan tegas sebagai identitas profesi yang resmi. Hal ini juga telah membawa pengaruh dan dampak kerugian bagi wajib pajak, Pemerintah, asosiasi konsultan pajak dan masyarakat secara keseluruhan.

Ketidak tahuan WP membedakan konsultan pajak yang berizin dan tidak berizin sangat kurang sehingga sering ditemukan wp menggunakan oknum konsultan Pajak yang menimbulkan masalah adalam pemenuhan hak dan kewajiban para wajib pajak. Informasi malalui pemberitaan lwat media social yang menyebutkan ada beberapa kasus pidana perpajakan yang melibatkan par oknum konsultan pajak baik yang memiliki izin maupun yang tidak memiliki izin resmi sebagaimana mestinya menjadi bukti betapa pentingnya pengawasan/monitoring terhadap para konsutan pajak melalui identitas diri lewat penggunaan gelar ahli khusus kepada konsultan pajak yang diberi izin oleh Kementerian Keuangan.

Sebagaimana pertimbangan Kementerian Keuangan bahwa untuk mewujudkan profesionalisme dan indenpensi pembinaan dan pengawasan profesi keuangan di Lingkungan Kementerian Keuangan, perlu dilakukan pengaturan tentang keberadaan para konsulta pajak yang lebih jelas, yang dari jaman dahulu secara nyata telah terlibat ikut bersama-sama membantu Kementerian Keuangan dalam pencapaian penerimaan negara dari pajak.

Untuk menghindari kerugian atau resiko pajak maupun resiko pidana bagi masyarakat atau wajib pajak yang telah diwajibkan melakukan pemenuhan hak dan kewajiban pajak sebagaimana dalam UU Pajak, maka masyarakat maupun wajib pajak (WP) sangat perlu mengetahui dan memahami betapa pentingnya membedakan “konsultan pajak” yang resmi dengan seorang konsultan yang mengaku-ngaku sebagai konsutlan pajak namun tidak memiliki izin secara resmi.

Seseorang yang telah lulus Ujian Kompetensi Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) yang diselenggarakan penyelengara USKP adalah merupakan pengakuan kelulusan resmi oleh pemerintah sebagai yang memiliki keahlian kompetensi dibidang pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Dalam pasal 1 PMK No. 175 tahun 2022 menyebutkan konsultan pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Para konsultan pajak yang dimaksud secara resmi diberikan izin praktek oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan atau pejabat yang ditunjuk, dimana diberi kartu izin praktek sebagai tanda pengenal diri atau identitas sebagai konsultan pajak untuk memberikan jasa konsultasi perpajakan. Identitas dengan kartu izin praktek sebagaimana dalam PMK no. 175/2022 tersebut menurut pendapat penulis dan masyarakat beranggapan kurang efektif dan efisien serta penuh keterbatasan untuk pelaksanaan memonitoring / mengawasi para konsultan pajak dilapangan, termasuk menyulitkan para wajib pajak membedakan atau mengidentifikasi konsultan pajak yang resmi, dan sekaligus juga seakan tetap membuka ruang pintu bagi pihak oknum yang ingin membantu pemenuhan Hak dan Kewajiban Perpajakan para WP, karena kurangnya ketidak tahuan cara membedakannya.

Ada beberapa yang perlu dicatat dan menjadi pertimbangan pentinghya identitas Gelar/sebutan profesi bagi Konsultan Pajak yang sudah lulus USKP yang dilakukan oleh Panitia Penyelenggara USKP sebagaimana diatur dalam PMK No. 175/PMK/2022 tentang Konsultan Pajak, bahwa sebutan Gelar keahlian kompetensi sebagai tenaga ahli profesi bidang keilmuan perpajakan untuk Profesi konsultan pajak sangat diperlukan di atur resmi oleh peraturan dalam rangka mengatur administrasi tentang profesi Konsultan pajak yang lebih baik antara lain bahwa: sebutan Gelar keahlian kompetensi profesi bidang Konsultan pajak (BKP) akan dapat berdampak positif untuk membantu Pemerintah dalam mengawasi atau memonitor pihak konsultan pajak yang diberi izin mapun pihak-pihak ketiga (pihak oknum) yang membantu Wajib Pajak dalam pemenuhan Hak dan Kewajiban Perpajakan WP. Keberadaan Konsultan Pajak resmi, akan memberikan lebih keyakinan bagi pihak pemerintah dan juga wajib pajak itu sendiri bahwa pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya lebih baik karena sudah memiliki standar kompetensi yang diakui oleh pemerintah.

Dengan adanya Identias gelar Konsultan pajak maka diyakini berdampak langsung meminimalkan kasus pidana perpajakan karena sudah jelas kewajiban dan fungsi seorang konsultan pajak yang menjaga integritas dan independensinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Sebutan gelar keahlian kompetensi profesi bidang Konsultan pajak (BKP) dapat menjadi motivasi dan kebanggaan bagi seseorang untuk menjaga integritas profesinya sebagai tenaga profesi keuangan, sebagaiaman yang diatur dalam Undang-undang profesi lain seperti dokter, pengacara, akuntan dan lainnya.

Untuk itu sangat tepat jika seseorang yang lulus USKP yang diselenggarakan oleh panitia USKP, berhak mendapat menyandang gelar penyebutan profesi seperti gelar seperti yang dicantumkan oleh para konsultan pajak dengan menuliskan “BKP” atau “KP”atau penyebuatan gelar lain sebagai bukti telah lulus kompetensi seritifikasi keahlian profesi dibidang konsultan pajak yang diakui oleh Pemerintah. Dengan adanya identitas gelar bagi Konsultan Pajak akan berdampak positif bagi pihak WP/pengguna jasa konsultan pajak berizin serta ada rasa memiliki kenyamanan dan keamanan tari sisi tanggung jawab dan kualitas mendapatkan pelayanan, dan juga sebagai bukti bentuk dukungan dari pemerintah sebagai pihak resmi yang memberikan perizinan kepada konsultan pajak.

Adanya udentitas gelar bagi konsultan pajak, sudah pasti dapat membantu Pemerintah mengawasi para profesi konsultan pajak secara tidak langsung.

Dalam Pasal 1 angka 1 PMK No. 175/2022 menyebutkan Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perapjakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Definisi konsultan pajak dalam PMK menurut pendapat penulis memiliki kelemahan dengan membuat ruang pintu bagi para oknum konsultan yang tidak memiliki izin praktek dengan memanfaatkan tafsiran atas penggunaan kata “ORANG” mengandung makna dapat diartikan tertuju kepada orang siapa saja dapat mnjadi konsultan pajak, sehingga penegasan ruang lingkup dalam peraturan ini menurut pendapat penulis kurang tegas menggunakan kata “SESEORANG”, karena keahlian sesorang konsultan pajak melekat pada diri sendiri yang sifatnya individual/pribadi.

Walaupun penjelasan tersebut didukung melalui pasal 2 ayat (1) huruf g PMK No. 175/2022 yang menyebutkan setiap orang perseorangan yag akan menjadi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan antara lain huruf g menyebutkan kalimat “memiliki sertifikasi konsultan pajak”. Hal ini didukung Pasal 1 angka 4 PMK No. 175/2022 menjelaskan: “Sertifikasi Konsultan pajak adalah Surat Keterangan Tingkat keahlian sebagai Konsultan Pajak”.

Sangat disayangkan dalam PMK ini masih kurang jelas dan tegas memberikan indikator bagi masyarakat/WP yang memiliki keterbatasan pengetahuan untuk membedakan yang mana konsultan pajak berizin atau tidak berizin.

Untuk menutupi kelemahan indikator untuk identitas ini, maka dengan pengakuan sebagai tenaga ahli yang memiliki profesi kompetensi dibidang pajak, maka dengan identitas gelar tersebut sangat wajar diberi pemerintah atau asosiasi profesi yang membidangi konsultan pajak untuk membantu masyarakat/WP mengetahui apakah sesorang yang menawarkan jasa konsultan pajak adalah benar-benar memilii izin resmi yang diakui oleh Kementerian Keuangan.

Mengingat pentingya indikator pemberian gelar keahlian bidang pajak secara hukum untuk yang menunjukkan sebagai tenaga ahli konsultan pajak, maka penulis berpendapat bahwa pemberian identitas gelar kepada para ahli bidang konsultan pajak yang sudah memiliki sertifikasi kompetensi pengetahuan tentang pajak wajib diberi sebagai bentuk penghargaan dan penolong pengawasan bagi pemerintah.

Pemerintah bisa juga mendelegasikan pemberian gelar keahlian bidang pajak ini kepada panitia penyelengara USKP di mana saat seseorang sudah lulus ujian. Tujuannya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya serta untuk menghindari kerugian bagi pemerintah, masyarakat, wajib pajak, konsultan pajak serta pemangku kepentigna lainnya contohnya kerugian bagi lembaga asosiasi bidang konsultan pajak, seperti Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang memiliki ribuan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana hanya karena WP kurang mengetahui beda konsultan pajak yang diakui dan diberi izin oleh negara telah menimbulkan kasus pidana pajak yang secara otomatis dapat memengaruhi bahkan mengurangi penerimaan negara.

Penulis adalah anggota IKPI dan Dosen Universitas Mercu Buana

Dr. Feber Sormin, S.E., M.Ak., Ak., CA., ASEAN CPA 

Email: minsor2002@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Pajak Karbon dan Dukungan untuk EV

Kendaraan listrik (EV) khususnya mobil atau motor sudah merajalela di jalan-jalan ibu kota, menandai perubahan signifikan dalam gaya transportasi urban. Kehadiran kendaraan ramah lingkungan ini tidak hanya mengurangi polusi udara, tetapi juga mengindikasikan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberlanjutan dan inovasi teknologi pada bidang transportasi.

Dari sudut pandang fiskal, Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan beberapa kebijakan guna mendukung kendaraan listrik (EV), yang diharapkan dapat membantu upaya transisi menuju transportasi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12 Tahun 2025. Pada PMK No.12 Tahun 2025 BAB II, pasal 2 menjelaskan mengenai jenis insentif yang diberikan untuk kendaraan berbasis baterai, meliputi:

(1) a. Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung Pemerintah; dan

b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang ditanggung Pemerintah.

(2) Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan atas penyerahan KBL berbasis baterai roda empat tertentu dan/atau KBL berbasis baterai bus tertentu.

(3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa LCEV tertentu.

Pemerintah memberikan insentif PPN dan PPN BM ditanggung pemerintah atas kendaraan listrik (EV) sebagai bagian dari strategi untuk mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Dengan tidak membebankan pajak ini kepada konsumen, harga kendaraan listrik menjadi lebih terjangkau dan menarik bagi masyarakat.

Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi dan emisi gas rumah kaca. Dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik, pemerintah ingin mengalihkan konsumsi bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih bersih.

Langkah ini secara tidak langsung merupakan bagian dari implementasi pajak karbon, yang bertujuan untuk menginternalisasi biaya eksternal akibat emisi karbon dengan cara memberikan insentif bagi aktivitas atau produk yang lebih ramah lingkungan khususnya untuk kendaraan listrik (EV).

Pajak karbon bertujuan memberikan sinyal ekonomi bagi pelaku usaha dan masyarakat agar mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin atau solar yang menghasilkan karbon dioksida (CO₂), karena emisi CO₂ dari sektor transportasi dan industri merupakan penyumbang utama perubahan iklim.

Dengan memberikan insentif fiskal pada kendaraan listrik, pemerintah mendorong peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan, sehingga emisi karbon dapat ditekan secara signifikan.

Implementasi pajak karbon yang diterapkan pada sektor transportasi akan semakin efektif bila didukung oleh kebijakan fiskal yang mempermudah dan mendorong adopsi EV. Insentif seperti pengurangan pajak dan subsidi pembelian membuat kendaraan listrik lebih terjangkau, mempercepat penetrasi EV di pasar, dan membantu mencapai target penurunan emisi nasional.

Selain itu, penerimaan dari pajak karbon lainnya dapat digunakan untuk mendanai program-program lingkungan dan energi terbarukan, termasuk pengembangan infrastruktur Solar Charging Station (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Bertenaga Surya), Battery Swap Station (Stasiun Tukar Baterai), serta Integrasi EV dengan Smart Grid seperti sistem jaringan pintar yang dapat mengatur kapan kendaraan mengisi daya agar lebih efisien dan memanfaatkan surplus energi terbarukan tenaga surya. Dengan demikian, kebijakan fiskal untuk kendaraan listrik dan pajak karbon saling melengkapi sebagai bagian dari perwujudan ekonomi hijau, pengurangan dampak perubahan iklim, serta memastikan pembangunan yang berkelanjutan bagi negara Indonesia.

Penulis adalah Anggota Departemen Pendidikan, IKPI

Tintje Beby

Disclamer : Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

The Influence of Professional Ethics, Tax Consultant Competency, and Machiavellianism on Ethical Decision-Making of Tax Consultants Moderated by Locus of Control (Case Study of Members of the Indonesian Tax Consultants Association at Banten Region)

ABSTRACT

Ethical decision-making by tax consultants in Indonesia faces significant challenges due to rising cases of unethical practices, such as bribery and fraudulent tax reporting. These issues undermine public trust and compliance with tax regulations, highlighting the urgent need to examine factors influencing ethical judgments in this profession. This study investigates how Professional Ethics, Tax Consultant Competency, and Machiavellianism affect Ethical Decision-Making, with Locus of Control as a moderating variable. This study aims to provide empirical evidence to strengthen ethical standards in Indonesia’s tax consulting sector. A quantitative associative approach was employed, using data from 301 certified tax consultants registered with the Indonesian Tax Consultants Association in Banten, and data were collected via questionnaires and analyzed using Partial Least Squares (PLS) with SmartPLS software. The study show that Professional Ethics significantly affects Ethical Decision-Making, Tax Consultant Competence significantly affects Ethical Decision-Making, Machiavellianism significantly affects Ethical Decision-Making. Locus of Control moderates the relationship between Professional Ethics and Ethical Decision-Making, Locus of Control does not moderate Tax Consultant Competence on Ethical Decision-Making, and Locus of Control does not moderate the Machiavellianism on Ethical Decision-Making. Strengthening professional ethics and competency through training, coupled with measures to mitigate Machiavellian traits (e.g., integrity cultures and supervision), is critical for improving ethical decision-making. Future research should explore alternative moderators beyond locus of control.

INTRODUCTION

Tax consultants play a crucial role in assisting taxpayers in fulfilling their tax obligations and exercising their rights in accordance with applicable tax regulations. They are instrumental in raising awareness, providing education, and offering guidance to taxpayers regarding tax laws, while also serving as intermediaries between taxpayers and fiscal authorities. In practice, tax consultants often face moral dilemmas as professionals. They aim to minimize tax burdens for their clients, yet they also strive to enhance tax compliance and encourage taxpayers to pay the full amount of taxes owed in line with existing tax regulations. Consequently, tax consultants are frequently requested to revise tax reports, which may lead them to deviate from or make incorrect moral decisions.

For instance, some tax consultants engage in unethical practices, such as bribing tax auditors and staff at the Directorate General of Taxes to manipulate the tax audit process for their clients, involving significant sums of money. Another ethical issue faced by tax consultants when handling client cases is the issuance of fraudulent tax invoices by mining trading companies, resulting in substantial losses to the state (Laluhu, 2020). According to general taxation procedures, a legally appointed tax consultant who engages in such tax-related crimes has committed a criminal offense (Pratama, 2024).

Ethical decision-making by tax consultants is essential to minimize the manipulation of corporate tax reports amid cases of fraudulent practices. Professionals in this field must uphold ethical standards, a sense of responsibility, objectivity, and a commitment to serving the public.

Maharani (2024) found that commitment to professional ethics has a significant negative impact on ethical decision-making, suggesting that tax consultants with lower ethical commitment may paradoxically make better ethical decisions. Additionaly, Sundari et al. (2021) revealed that professional ethics and competence positively and significantly influence ethical decision-making processes.

Christian & Susanto (2021) highlighted that professional ethics, responsibility, Machiavellianism, and ethical considerations positively and significantly affect ethical decision-making. Conversely, Ng et al. (2023) argued that Machiavellianism has a negative impact on ethical decision-making. However, Tofiq & Mulyani (2018) found that Machiavellianism does not negatively influence the ethical decision-making process.

Furthermore, Pratama & Wirama (2018) identified a positive moderating relationship between tax consultants’ ethical decisions and intellectual intelligence. Utama & Jati (2024) discovered that idealism and professional commitment positively influence ethical decision-making among tax consultants, while locus of control showed no significant impact. In contrast, Limajatini et al. (2019) suggested that locus of control can enhance the ethical behavior required of professionals in the financial sector.

According to the Indonesian Association of Tax Consultants (IKPI, 2019), a code of ethics consists of moral principles that guide members in their actions, thoughts, and attitudes, ensuring they perform their duties professionally, objectively, independently, and with high dedication. Bell (1976) defines a profession as an intellectual activity encompassing education, including formal or informal courses and training, certification by a responsible institution or body in a specific field, and adherence to professional ethics, which involves the ability to generate ideas, thoughts, technical skills, and motivation. The IKPI code of ethics outlines four indicators of professional ethics for tax consultants, namely:

  1. Objectivity
  2. Integrity
  3. Public Interest
  4. Technical Standard

The mastery and skills possessed by an individual in carrying out their professional duties, thereby fostering public trust, are referred to as competence. According to the Center for Financial Profession Development (2024), tax consultants must pass a certification examination conducted by the Indonesian Association of Tax Consultants (IKPI). This enables tax consultants to provide tax system consultation services that align with their competence and expertise, which include:

  1. USKP Level A

This is a tax consultant competency examination that demonstrates their ability to provide tax services. It applies solely to the rights and obligations of individual taxpayers, except in cases involving consultations with taxpayers residing in countries that have entered into double taxation avoidance agreements with Indonesia.

  1. USKP Level B

This is a tax consultant competency certification examination that assesses their ability to provide tax consultation services to both individual and corporate taxpayers regarding the fulfillment of their tax rights and obligations. This examination does not apply to individual taxpayers involved in foreign investment, permanent establishments, or those residing in countries with double taxation avoidance agreements with Indonesia.

  1. USKP Level C

This is a tax consultant competency certification examination that evaluates their ability to provide tax consultation services to both individual and corporate taxpayers in fulfilling their tax rights and obligations.

According to Bhandari et al. (2023), Machiavellianism refers to a level at which an individual becomes pragmatic, emotionally detached, and holds the belief that outcomes take precedence over processes. Machiavellianism focuses on the understanding that a person’s personality exhibits manipulative, cold, and calculative traits. Furthermore, Sabaruddin et al. (2023) describes Machiavellianism as a manipulative personality type, where an individual has specific goals and continuously thinks about and employs various methods to achieve them, without considering the feelings of others involved.

Tax consultants providing taxation services to taxpayers can assure them that the services offered are of high quality, professional, and trustworthy (Jiwo, 2011). According to Tofiq & Mulyani (2018), ethical decision-making involves making choices that align with moral and legal standards acceptable to the general public.

Locus of control refers to an individual’s belief that they have the ability to control events in their lives through internal strengths (Tofiq & Mulyani, 2018). Greenhaus & Callanan (2006) define locus of control as a tendency to perceive events and outcomes in one’s life as resulting either from internal factors within themselves or from external sources, such as luck, fate, or assistance from others. However, Rotter (1966) describes locus of control as a personality variable determined by an individual’s belief in their ability to control the course of their own life.

Hypothesis Development

Professional Ethics on Ethical Decision-Making

A study by Made et al. (2018) found that perceptions of professional ethics have a positive impact on ethical decisions made by tax consultants. Additionally, Sinaga (2022) revealed that the influence of the tax consultant’s code of ethics on their ethical decisions is highly significant. Therefore, the first hypothesis of this study is as follows:

H1: Professional ethics positively influence ethical decision-making.

Tax Consultant Competence on Ethical Decision-Making

Nadilla & Juliardi (2021) conducted research on the impact of ethics, social responsibility, and Machiavellianism on the ethics of tax consultants in decision-making. The study concluded that competence has a significant influence on ethical decision-making. Therefore, the second hypothesis of this study is as follows:

H2: Tax consultant competence positively influences ethical decision-making.

Machiavellianism on Ethical Decision-Making

A study by Christian & Susanto (2021) found that Machiavellian traits influence the way tax consultants make ethical decisions. Similarly, a study by Silitonga & Hidayat (2019) also determined that Machiavellian attributes affect how tax consultants approach ethical decision-making. Therefore, the third hypothesis of this study is as follows:

H3: Machiavellianism has a positive impact on ethical decision-making.

Locus of Control Moderates Professional Ethics on Ethical Decision-Making

A study by Duhita et al. (2022) concluded that locus of control plays a role in moderating the influence of professional ethics on professional performance. Meanwhile, a study by Jazadi (2023) stated that locus of control moderates the positive relationship between professional quality and professional ethics. Therefore, the fourth hypothesis of this study is as follows:

H4: Locus of control moderates the influence of professional ethics on ethical decision-making.

Locus of Control Moderates Tax Consultant Competence on Ethical Decision-Making

Dwipa et al. (2023) recognized that locus of control has a moderating effect on the influence of professional performance on the ethical decisions of tax consultants. Another study by Pratama & Wirama (2018) found that if tax consultants possess an internal locus of control, their ethical decisions, as influenced by intellectual intelligence, tend to be more ethical. Therefore, the fifth hypothesis of this study is as follows:

H5: Locus of control moderates the influence of tax consultant competence on ethical decision-making.

Locus of Control Moderates Machiavellianism on Ethical Decision-Making

A study by Putri (2020) found that locus of control has a positive impact on Machiavellianism in ethical decision-making. Study by Tofiq & Mulyani (2018) determined that locus of control and Machiavellian traits significantly influence how tax consultants make ethical decisions. Additionally, a study by Alvionita & Aufa (2023) revealed that locus of control can mitigate the impact of Machiavellian traits on ethical decision-making. Therefore, the sixth hypothesis of this study is as follows:

H6: Locus of control moderates the influence of Machiavellianism on ethical decision-making.

 

RESEARCH METHOD

Descriptive research is a type of study that adopts a quantitative approach. The purpose of this research is to test a theory, referred to as a hypothesis, using quantitative data. The researchers analyze how professional ethics, tax consultant competence, Machiavellianism, and locus of control serve as dependent variables, while the ethical decision-making of tax consultants functions as both a moderating variable and an independent variable.

Population and Data Collection

The population studied in this research consists of certified tax consultants at Levels B and C who are registered in the Banten region, encompassing Tangerang Regency, South Tangerang, and Tangerang City, as recorded by the Indonesian Association of Tax Consultants (IKPI) up to 2023. The total population comprises 307 individuals. Data collection was conducted using a questionnaire method, where out of the 307 questionnaires distributed, only 301 were returned and fully completed..

Variable Operationalization

This study includes three types of variables: independent variables, dependent variables, and moderating variables. The dependent variable is Ethical Decision-Making (PKE), while the independent variables consist of Professional Ethics (EP), Tax Consultant Competence (KKP), Machiavellianism (M), and Locus of Control (LoC) as the moderating variable.

Data Analysis

Data processing will be conducted using the Partial Least Squares (PLS) technique. The structural equation model is expressed as follows:

To determine whether the overall model is adequate, testing of the outer model and inner model will be conducted.

RESULT AND DISCUSSION

This descriptive study utilizes primary data. Each participant received a questionnaire, which was then processed using the SmartPLS software, incorporating both the outer model and the inner model.

Convergent Validity Test

The convergent validity test is conducted using the outer loading or factor loading values. Each questionnaire item is considered valid if its outer loading value is ≥ 0,7.

All indicators of the research variables are deemed to meet the requirements for the convergent validity test, as shown in Table 1, since the factor loading value of each indicator is ≥ 0,7.

Cross Loading Discriminant

If the cross-loading value of an indicator on its respective variable is the highest compared to other variables, the indicator is considered to meet the cross-loading discriminant criteria.

Based on the cross-loading values of each variable in this study, all indicators demonstrate the highest outer loadings, indicating strong discriminant validity in constructing their respective variables. As shown in Table 2, each indicator has the most significant outer loading value. In other words, all indicators have successfully passed the discriminant validity test.

Reliability Test

The Cronbach’s Alpha value is used to assess the reliability of variables. A variable is considered reliable if it has a Cronbach’s Alpha value ≥ 0,7. The Cronbach’s Alpha values for each variable are presented below.

As shown in table 3, all variables in this study exhibit Cronbach’s Alpha values ≥ 0,7 indicating that they meet the reliability criteria.

Goodness of Fit Test

Model fit evaluation (also referred to as goodness of fit) was conducted to assess the alignment of the data with the SmartPLS method, using the following measures:

The recorded SRMR value of 0.069, which is below the threshold of 0.08 (see Table 4), indicates an adequate fit between the evaluated data and the predicted model. Meanwhile, the NFI value of 0.785, falling below the standard threshold of 0.90, suggests that the model has not yet achieved an optimal fit. Although the value approaches a moderate fit, it remains insufficient to be classified as a perfect fit.

Structural Equation Model Test Results

This section presents the empirical test results for each research question and hypothesis, derived from descriptive and verificative analysis. The obtained data are further compared with existing theories and prior research findings.

Discussion

Professional Ethics on Ethical Decision-Making

Table 5 indicates that professional ethics significantly influence moral decision-making. The emphasis on professional ethics encourages tax consultants to adhere to ethical codes when making moral judgments. Professional ethics serve as a fundamental guideline for tax consultants in ethical decision-making. Compliance with these ethical codes increases the likelihood of making ethically sound decisions. Based on these findings, H1 is supported.

Tax Consultant Competence on Ethical Decision-Making

As presented in Table 5, tax consultant competence positively affects ethical decision-making. High competence reflects a thorough understanding of tax regulations, professional ethical standards, and moral obligations as a tax consultant, enabling them to distinguish between legally compliant and ethically questionable actions. With this knowledge, tax consultants are more inclined to make ethical decisions. Consequently, H2 is supported.

Machiavellianism on Ethical Decision-Making

Table 5 reveals that Machiavellianism influences morally relevant decision-making. A high level of Machiavellianism may lead tax consultants to prioritize personal or client gains over ethical principles, potentially resulting in decisions that deviate from professional and ethical standards. Therefore, it is crucial to recognize how this personality trait impacts professional conduct and to implement measures—such as ethics training, strict supervision, and moral evaluations—to mitigate its negative effects. Based on this analysis, H3 is supported.

Locus of Control Moderates Professional Ethics on Ethical Decision-Making

The results in Table 5 demonstrate that locus of control influences the relationship between professional ethics and moral decision-making. Tax consultants with an internal locus of control, who believe they can determine their own outcomes, tend to be more influenced by their professional ethics. Conversely, those with an external locus of control are primarily guided by external factors. The impact of professional ethics on the strength of ethical decision-making depends on the consultant’s locus of control. Consultants with internal locus of control show stronger influence of ethical standards on their decisions, while those with external locus exhibit weaker influence as they rely more on external factors. Based on these findings, H4 is supported.

Locus of Control Moderates Tax Consultant Competence on Ethical Decision-Making

The results in Table 5 indicate that locus of control does not moderate the relationship between tax consultant competence and ethical decision-making. In other words, competence influences ethical decision-making independently of locus of control. This finding suggests reconsidering the role of locus of control in this relationship or exploring other potentially more relevant moderating factors. Based on this analysis, H5 is not supported.

Locus of Control Moderates Machiavellianism on Ethical Decision-Making

As shown in Table 5, locus of control does not moderate the relationship between Machiavellianism and ethical decision-making. This means Machiavellian traits affect tax consultants’ ethical decisions regardless of whether individuals have internal or external locus of control. However, locus of control may mitigate the negative effects of Machiavellianism by encouraging individuals to consider personal responsibility for decision outcomes and increasing ethical decision-making tendencies when locus of control is present. Therefore, H6 is not supported.

CONCLUSIONS

This study examines the influence of professional ethics, tax consultant competence, and Machiavellianism on ethical decision-making among tax consultants in Indonesia’s Banten region, with locus of control as a moderating variable. The key findings are as follows:

  1. Professional ethics significantly affects ethical decision-making. Tax consultants must continually strengthen their understanding and application of professional ethics to maintain ethical decision-making across all situations.
  2. Tax consultant competence significantly influences ethical decision-making. Developing competencies through training and certification programs is essential to enhance consultants’ ability to make sound ethical decisions
  3. Machiavellianism significantly impacts ethical decision-making. Organizations should implement measures to minimize this influence by fostering integrity cultures and strengthening ethical oversight in tax consulting practices.
  4. Locus of control moderates the relationship between professional ethics and ethical decision-making. Developing an internal locus of control helps consultants apply professional ethics more consistently when making ethical decisions.
  5. Locus of control does not moderate the competence-ethical decision-making relationship. Future research should explore other potential moderating factors that may strengthen this relationship.
  6. Locus of control does not moderate the Machiavellianism-ethical decision-making relationship. Further investigation is needed to identify factors that could mitigate Machiavellianism’s negative effects on ethical decision-making.

 

REFERENCE

Alvionita, N., & Aufa, M. (2023). The Influence of Professionalism, Machiavellianism, and Ethical Environment on Whistleblowing with Locus of Control as Moderator. Soedirman Accounting Review (SAR): Journal of Accounting and Business, 08(02), 206–219.

Bell, D. (1976). The Coming of Post-industrial Society. A Venture in Social Forecasting. With a New Introd. by the Author. Basic Books. http://www.amazon.com/The-Coming-Post-Industrial-Society-Forecasting/dp/0465097138

Bhandari, J., Awais, M., Robbins, B. A., & Gupta, V. (2023). Leprosy. StatPearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/

Christian, Y. G., & Susanto, Y. K. (2021). Ethical Decision-Making of Tax Consultants: The Importance of Social Responsibility and Machiavellianism. Indonesian Study of Accounting and Finance, 4(2), 156–177. https://doi.org/10.21632/saki.4.2.156-177

Duhita, S. F., Arief, M., & Widyaningsih, A. (2022). The Application of Locus of Control and Professional Ethics on Auditor Performance. Education and Development Journal, 10(3), 508–515. https://doi.org/10.37081/ED.V10I3.3950

Dwipa, A. A. G. P., Ratnadi, N. M. D., Yadnyana, I. K., & Budhiarta, K. (2023). Ethical Orientation, Situational Factors, and Ethical Decision-Making with Professional Commitment as a Moderator. E-Jurnal Akuntansi, 33(7). https://doi.org/10.24843/EJA.2023.V33.I07.P11

Greenhaus, J., & Callanan, G. (2006). Encyclopedia of Career Development. SAGE Publications, Inc. https://doi.org/10.4135/9781412952675

Jazadi, F. R. (2023). Implementation of Professional Ethics and Locus of Control on Auditor Performance. GANEC SWARA, 17(4), 2109. https://doi.org/10.35327/GARA.V17I4.677

Jiwo, P. (2011). Analysis of Individual Factors in Ethical Decision-Making by Tax Consultants (An Empirical Study of Tax Consultants at Accounting Firms in Semarang) [Universitas Diponegoro]. https://repofeb.undip.ac.id/5702/

Laluhu, S. (2020, July 29). Reduced Sentence for Tax Consultant of Mining Trading Company. Sindo News. https://nasional.sindonews.com/read/117016/13/vonis-konsultan-pajak-perusahaan-trading-tambang-dipangkas-1596010068

Limajatini, L., Murwaningsari, E., & Khomsiyah, K. (2019). Analysis of Effect of Power Distance, Power Avoidance, Individualism, Masculinity and Time Orientation Toward Auditing Behavior with Mediation of Locus of Control. ECo-Fin, 1(1), 12–21. https://doi.org/10.32877/EF.V1I1.53

Made, N., Dwi, A., Dewi, L., & Dwiyanti, K. T. (2018). Factors in Ethical Decision-Making by Tax Consultants: Individual and Situational. Scientific Journal of Accounting and Business, 3(1), 23–35. https://doi.org/10.38043/JIAB.V3I1.2096

Maharani, S. (2024). The Influence of Idealism, Experience, Professional Commitment, and Tax Sanctions on the Ethical Decision-Making of Tax Consultants (A Case Study on Tax Consultants in Palembang City). Universitas Sriwijaya.

Nadilla, I., & Juliardi, D. (2021). The effects of machiavellian, equity sensitivity, and ethical sensitivity on the accounting students’ ethical perceptions in perceiving the accountants’ ethics. Journal of Economics, Business, and Education, 1(2), 172–182. https://doi.org/10.17977/um066v1i22021p172-182

Ng, S., Lukman, L., & Tanzil, W. Y. (2023). The Influence of Machiavellianism, Social Responsibility, and Risk Preference on Ethical Decision-Making of Tax Consultants. Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (Online), 3(2), 303–317. https://doi.org/10.36312/JCM.V3I2.1537

Pratama, A. (2024, April 20). Christian Tjong, Tax Consultant: 7-Year DPO Inactive Until Arrested by Attorney General’s Office. Monitor Indonesia. https://monitorindonesia.com/hukum/read/2024/04/586229/christian-tjong-konsultan-pajak-dpo-7-tahun-tak-berkutik-ditangkap-kejagung

Pratama, I. M. I., & Wirama, D. G. (2018). Locus of Control Moderating the Influence of Intellectual, Emotional, and Spiritual Intelligence on Ethical Decision-Making of Tax Consultants. E-Jurnal Akuntansi, 22(1), 595. https://doi.org/10.24843/EJA.2018.v22.i01.p23

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied, 80(1), 1–28. https://doi.org/10.1037/h0092976

Sabaruddin, S., Sulhendri, S., & Septemberizal, S. (2023). Determinants of Ethical Decision-Making by Tax Consultants. Accounting and Governance Journal, 4(1), 38. https://doi.org/10.24853/jago.4.1.38-55

Silitonga, S. E., & Hidayat, N. (2019). The Effect of Ethics & Social Responsibility, Machiavellian Character, and Competency on Ethical Decision-Making of Tax Consultants (Case Study of Tax Consultants in Bandung). South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 20(5), 1–8.

Sinaga, M. (2022). The Influence of Ethical Code and Role of Tax Consultants on Taxpayer Compliance at Muhammad Rafiqi Tax Consultant Office. Universitas Medan Area.

Sundari, R., Juwita, R., Casmadi, Y., & Syafrizal, A. (2021). The Influence of Professional Ethics and Competence on Ethical Decision-Making of Tax Consultants in Surabaya. Ekspansi: Journal of Economics, Finance, Banking, and Accounting, 13(1), 1–14. https://doi.org/10.35313/ekspansi.v13i1.2330

Tofiq, T. A., & Mulyani, S. D. (2018). Analysis of the Influence of Machiavellian Traits, Ethics, Social Responsibility, Situational Factors, and Locus of Control on Ethical Decision-Making by Tax Consultants. SCIENTIFIC JOURNAL OF REFLECTION: Economic, Accounting, Management and Business, 1(4), 91–100. https://doi.org/10.5281/zenodo.1437014

Utama, I. G. Y. S., & Jati, I. K. (2024). Moderating Effect of Locus of Control on the Influence of Idealism and Professional Commitment Toward Ethical Decision-Making of Tax Consultants. E-Journal of Economics and Business, Udayana University, 77. https://doi.org/10.24843/EEB.2024.v13.i01.p07.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Tangerang

Ratri Widiyanti

Email: ratriwidiyanti@gmail.com

Suhendra

Email: suhendra.suhendra@ubd.ac.id

Korespondensi: Universitas Buddhi Dharma

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan. Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan. Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT.

Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

 

Aspek Perpajakan Dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas 

Perseroan Terbatas (PT) sebagai wajib pajak badan didirikan dengan suatu dokumen akta yang di dalamnya memuat Anggaran Dasar PT (AD PT). AD PT merupakan kesepakatan awal para pemegang saham pendiri yang dituangkan dalam suatu akta Notaris. Secara garis besar, AD PT berisi rambu-rambu yang berlaku baik bagi para pemegang saham, direktur, dewan komisaris termasuk juga bagi PT itu sendiri.

Sebagai dasar berkegiatan PT, AD PT menentukan arah,  ruang lingkup kegiatan usaha PT dan juga konsekuensi perpajakannya. Konsultan Pajak sebagai profesi yang memberikan bantuan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan kliennya, dapat memberikan konsultasi kepada klien wajib pajak badan (PT) sejak awal penyusunan AD PT.

Adapun konsultasi perpajakan dalam penyusunan AD PT yang diberikan Konsultan Pajak  merupakan bagian dari perencanaan pajak. Konsultasi perencanaan pajak yang diberikan dalam penyusunan AD PT  meliputi semua unsur dalam AD PT yang memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT pertama yang memiliki konsekuensi pajak adalah mengenai kedudukan PT. Kedudukan PT biasanya tercantum dalam Pasal 1 AD PT dengan judul Nama dan Tempat Kedudukan. Kedudukan dan alamat yang tercantum dalam AD PT adalah kedudukan dan alamat yang sebenarnya dari PT dalam menjalankan kegiatan usaha. Kedudukan dan alamat dari PT ini akan menentukan wilayah tempat pendaftaran dan pelaporan dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan PT tersebut.

Masih dalam Pasal 1 AD PT disebutkan juga bahwa PT tersebut dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan PT, yang tentunya juga memiliki konsekuensi perpajakan.

Unsur AD PT kedua yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah jangka waktu berdirinya PT. Jangka waktu berdirinya PT biasanya tercantum dalam Pasal 2 AD PT.

PT dapat ditentukan jangka waktu berdirinya sesuai dengan kegiatan yang hendak dilakukan atau bahkan ditentukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dalam hal jangka waktu berdirinya PT telah berakhir, maka pembubaran PT terjadi dan wajib diikuti dengan likuidasi atas PT tersebut. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) biasanya dilakukan pada masa-masa mendekati berakhirnya jangka waktu berdirinya PT. Hal ini tentunya perlu juga memperhatikan waktu pemeriksaan pajak yang diperlukan.

Unsur AD PT ketiga yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ini biasanya tercantum dalam Pasal 3 AD PT. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam AD PT dipilih oleh para pendiri sesuai dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh PT. Kegiatan usaha ini mengacu pada kode-kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang tercantum dalam website oss.go.id.

Pemilihan kode KBLI ini harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Dalam perpajakan, pengkategorian usaha wajib pajak mengacu pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kode KBLI dan/atau KLU biasanya digunakan sebagai  persyaratan untuk memperoleh berbagai fasilitas prosedural maupun fasilitas fiskal yang diberikan oleh Pemerintah. Unsur AD PT keempat  yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah modal PT.

Modal PT ini tercantum dalam Pasal 4 AD PT. Besaran modal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan suatu usaha yang dijalankan masuk ke dalam usaha mikro, kecil, menengah atau bahkan usaha beskala besar. Permodalan akan berubah seiring dengan berjalannya kegiatan usaha. Terdapat 2 (dua) kemungkinan terkait perubahan modal, yaitu:  adanya penambahan modal, atau terjadinya pengurangan modal. Dalam konteks perpajakan, tidak sedikit ketentuan yang mengatur mengenai permodalan, variasi bentuk perubahan modal baik penambahan modal atau pengurangan modal yang dilakukan sampai dengan perbandingan  utang terhadap modal  (Debt to Equity Ratio) memberikan implikasi perpajakan yang berbeda.

Unsur AD PT kelima yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pengaturan Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10. Ketentuan perpajakan saat ini yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham adalah mengenai dividen yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Adanya Rapat Umum Pemegang Saham PT yang menetapkan  pembagian dividen menjadi salah satu syarat pengecualian dividen sebagi objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penentuan mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham dalam AD PT menjadi penting dan memiliki konsekuensi pajak bagi para pemegang saham yang akan menerima dividen.

Unsur AD PT keenam yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Direksi dan Dewan Komisaris. Kententuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 AD PT. Konsekuensi perpajakan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris sebagai wakil wajib pajak badan diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum  dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian penentuan perwakilan yang berhak mewakili PT perlu diseleraskan juga dengan tanggung jawab yang diembannya sebagai wakil wajib pajak badan.

Unsur AD PT ketujuh yang memiliki konsekuensi perpajakan tentunya adalah mengenai Tahun Buku. AD PT mencantumkan juga mengenai ketentuan tahun buku yang digunakan oleh PT. Ketentuan Tahun Buku dalam AD PT tercantum dalam Pasal 17 dengan judul Rencana Kerja, Tahun Buku, dan Laporan Tahunan. Tahun Buku ini biasanya tercantum dalam AD PT dari tanggal 1 (satu) Januari sampai dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember dan oleh karenanya selaras dengan tahun pajak yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun demikian, jika wajib pajak badan menggunakan tahun buku yang berbeda dengan tahun pajak (tahun kalender), maka ketentuan dalam AD PT harus juga diseleraskan.

Unsur AD PT kedelapan sekaligus unsur terakhir yang memiliki konsekuensi perpajakan adalah mengenai Penggunaan Laba dan Pembagian Dividen. Ketentuan hal ini tercantum dalam Pasal 18 AD PT. Sebagai ketentuan yang seharusnya mendapat perhatian paling utama para pemegang saham, Pasal 18 ini kerap luput dari perhatian, padahal ketentuan ini merupakan salah satu tujuan para pemegang saham mendapatkan bagian laba PT (dividen) selain dari selisih lebih hasil penjualan sahamnya.

Dalam konteks ketentuan perpajakan saat ini, pembagian dividen yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, salah satunya adalah dividen interim. Mekanisme pembagian dividen interim ini sedikit berbeda dengan pembagian dividen yang didasarkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.

Oleh karenanya, Mekanisme pembagian dividen interim ini perlu dicantumkan dalam Pasal 18 AD PT untuk menghindari kendalam saat adanya pembagian dividen interim di kemudia hari. Adapun mekanisme pembagian dividen interim yang perlu diatur dalam AD PT dapat merujuk pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Demikian 8 (delapan) unsur dalam AD PT yang sering penulis temui saat menjalankan profesinya sebagai Konsultan Pajak. AD PT sebagai kesepakatan awal para pemegang saham pendiri dapat dilakukan perubahan atau disesuaikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham seiring dengan berjalannya kegiatan usaha yang dilakukan PT. Masukan dari para profesional khususnya Konsultan Pajak sangat diperlukan agar AD PT dapat menjadi salah satu dokumen dasar dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Semoga tulisan yang singkat dan jauh dari sempurna ini, dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Disclaimer: Tulisan ini adalah pemikiran pribadi dari penulis

 

 

 

Strategi Penagihan Pajak Daerah Menjadi Penghambat Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, klien saya melakukan pembelian sebuah Bangunan melalui laman yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) atas Bangunan sitaan salah satu Bank di Jakarta. Pada saat proses pelelangan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan masing-masing pihak, antara lain Pajak Penjualan (PPh Final 2,5%) yang harus dilunasi oleh Penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB 5%) yang harus dilunasi oleh Pembeli.

Namun, kewajiban BPHTB yang hendak dilunasi oleh Pembeli terhambat oleh salah satu syarat yaitu atas tunggakan yang belum dibayar selama lima tahun terakhir atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan kewajiban dari yang memanfaatkan dan/atau menguasai bangunan tersebut pada saat terutang.

Hambatan tersebut tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Gubernur (Per-Gub) Provinsi DKI Jakarta No. 34 Tahun 2022 yang menyatakan sebagai berikut:
“Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak yang sudah melunasi ketetapan PBB-P2 atas objek perolehan untuk 5 (tahun) pajak terakhir membuat akun pajak online dan melakukan pengisian data SSPD BPHTB secara elektronik, dst…”

Sementara dalam Pasal 2 Per-Gub yang sama juga disebutkan:
“Wajib Pajak wajib membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang melalui sistem e-BPHTB”.

Dua pasal ini menimbulkan kontradiksi: Siapa yang seharusnya dianggap sebagai Wajib Pajak dalam konteks pelunasan tunggakan PBB? Penjual sebagai pihak yang sebelumnya menguasai aset, atau Pembeli yang akan mencatat perolehan hak?
Definisi dalam Pasal 1 Angka 1 Per-Gub menegaskan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan kewajiban sesuai peraturan perpajakan.

Maka jelas, dalam konteks BPHTB, Pembeli adalah Wajib Pajak. Namun dalam konteks pelunasan PBB lima tahun ke belakang, seharusnya yang bertanggung jawab adalah Penjual. Inilah yang menunjukkan bagaimana strategi penagihan pajak daerah, khususnya lewat syarat administratif yang tidak fleksibel, justru dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.

Pembeli yang telah siap menginvestasikan dana dan mengaktifkan kembali aset yang dibeli nya, terkendala karena harus menanggung kewajiban yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Dampaknya? Aset tidak dapat segera dimanfaatkan. Jika bangunan tersebut hendak dijadikan hotel, maka hilanglah kesempatan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menghasilkan Pajak Hotel 10%, Pajak Restoran 10%, PPh pusat 22%, PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan, dan berbagai retribusi lainnya. Potensi Pendapatan Asli Daerah pun melayang.

Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa penagihan pajak seharusnya tidak mematikan potensi ekonomi. Ketika peraturan daerah justru menempatkan investor baru dalam posisi serba salah, maka strategi fiskal yang dimaksudkan untuk mendorong pendapatan daerah malah menjadi kontra-produktif.

Revisi kebijakan diperlukan. Idealnya, penetapan subjek pajak harus jelas dan tidak membebani pihak yang tidak semestinya. Selain itu, perlunya mekanisme khusus untuk objek hasil sitaan atau lelang DJKN, agar proses transaksinya tidak tersandera masalah historis perpajakan yang tidak relevan dengan pihak baru.

Tanpa pembenahan semacam ini, strategi penagihan pajak daerah hanya akan menjadi lingkaran birokrasi yang mengorbankan momentum investasi dan memupus harapan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, IKPI

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Email: fadhilalhinduan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

CSR dan Pajak

Beberapa waktu lalu penulis melakukan penjelajahan ke Majalengka lereng timur Gunung Ciremai. Penulis menapaki bukit-bukit di sana dan menelusuri sungai yang masih jernih. Penulis mampir dan melakukan observasi dibeberapa desa yang dilintasi penjelajahan.

Namun yang paling menarik dari desa-desa di sana adalah jalan-jalan yang mulus sampai kepelosok-pelosok. Sistem pengairan disana juga luar biasa menarik karena tertata dengan baik sehingga sawah di sana dipenuhi padi yang menguning juga ladang daun bawang yang menghijau, sangat sedap dipandang mata.

Ketika penulis bertanya rupanya, proyek jalan dan juga tata lingkungan yang indah dan apik dibangun oleh CSR salah satu institusi negara yang sangat peduli terhadap lingkungan dan alam. Angkat topi deh buat mereka karena memberikan banyak manfaat dengan membangun infrastruktur di desa terebut.

Sebenanya bagaimana sih, aspek pajak jika perusahaan melakukan CSR dalam bentuk lingkungan, penulis mencoba menyorotinya. Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur bahwa

“Perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib dilakukan Corporate Social Responsibility”. Kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk balas budi perusahaan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

Pada prinsip CSR bisa menjadi Deductible Expenses (biaya yang dapat dibiayakan secara pajak), CSR yang Dikategorikan sebagai Deductible Expense 1) Biaya promosi dan penjualan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Agar dapat menjadi deductible expense, biaya promosi yang termasuk CSR ini harus memenuhi kriteria sebagaimana yang terdapat dalam PMK No.2/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, yaitu terdapat daftar nominatif. 2). Biaya pengolahan limbah. 3). Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. Biaya CSR berupa beasiswa, magang, dan pelatihan yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, maupun pihak lainnya dapat menjadi deductible expense dengan mempertimbangkan batas kewajaran.

Apabila terdapat indikasi tidak wajar, seperti adanya hubungan istimewa, maka atas biaya di luar batas wajar tersebut tidak diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. 4). Sumbangan yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 Tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Pada prinsipnya, CSR adalah biaya yang dapat diakui secara pajak. Semoga perusahaan-perusahaan menjadi tertarik dengan aktivitas CSR yang akan membantu masyarakat setempat dan tentunya akan memberikan amal kebaikan yang dicatat oleh Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa.

Diakhir tulisan ini penulis terkenang kata-kata almarhum Soe Hok Gie Pendiri Mapala Univesitas Indonesia “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan.

Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Ya kegiatan CSR adalah perwujudan dari kalimat tersebut.

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pemikiran pribadi penulis

 

 

 

Implikasi Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi Terhadap Dunia Usaha

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2024 (PMK79/2024) tentang Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi diterbitkan untuk menggantikan ketentuan sebelumnya dan memberikan kerangka perpajakan yang lebih komprehensif dan terstruktur yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2024. Kerja Sama Operasi (KSO) atau Joint Operation (JO) merupakan bentuk kemitraan usaha yang umum dalam proyek-proyek besar, khususnya di sektor konstruksi dan infrastruktur.

PMK79/2024 tersebut mengatur bahwa KSO wajib memiliki NPWP tersendiri, melakukan pembukuan terpisah, serta memenuhi kewajiban perpajakan sebagai entitas mandiri. Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, atau aset tetap, dan dikenai perlakuan perpajakan sesuai jenisnya. KSO juga dapat ditunjuk sebagai pemotong pajak Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan Pasal 23, sedangkan penghasilan anggota dari KSO menjadi tanggung jawab perpajakan masing-masing.

Poin-poin Penting

1. Pengakuan KSO sebagai Subjek Pajak

KSO diakui sebagai subjek pajak meskipun tidak berbadan hukum. KSO wajib memiliki NPWP sendiri yang terpisah dari anggota-anggotanya.

2. Kewajiban Pendaftaran dan NPWP

KSO wajib didaftarkan untuk memperoleh NPWP jika melakukan kegiatan usaha/jasa atau menerima penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.

3. Kontribusi Anggota ke KSO

Kontribusi anggota KSO dapat berupa uang, barang, jasa, dan/atau tanah dan bangunan. Kontribusi berupa BKP/JKP oleh PKP dikenai PPN. Kontribusi tanah dan bangunan dapat dikenai PPN dan PPh Final sesuai kondisi.

4. Kewajiban Pembukuan dan Pelaporan

KSO wajib menyelenggarakan pembukuan dan pelaporan pajak secara terpisah dari para anggotanya. KSO juga wajib menyampaikan SPT Masa dan SPT Tahunan PPh Badan.

5. Pemotongan dan Penyetoran Pajak

KSO dapat ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2). Penghasilan anggota dari KSO tidak dipotong oleh KSO, tetapi disetorkan dan dilaporkan oleh masing-masing anggota.

6. KSO dengan Subjek Pajak Luar Negeri

Jika terdapat anggota KSO yang merupakan subjek pajak luar negeri, maka penghasilan yang diterima dari KSO dikenai PPh Pasal 26, kecuali ditentukan lain oleh perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty).

7. Penghentian KSO

Setelah kerja sama berakhir, KSO wajib menyampaikan SPT pembubaran atau pengakhiran kegiatan dan menyelesaikan seluruh kewajiban perpajakan yang masih harus dipenuhi.

Sebelum PMK79/2024, pengaturan perpajakan KSO tersebar di beberapa regulasi, pada masa itu, sehingga perlakuan pajak terhadap KSO sering kali membingungkan karena tidak ada kejelasan status subjek pajak dan kewajiban pencatatan.

Misalnya, tidak semua KSO diwajibkan memiliki NPWP, sehingga menimbulkan celah administratif. Selain itu, kontribusi berupa aset seperti tanah/bangunan tidak selalu jelas apakah dikenai PPN atau tidak.

Beberapa ketentuan dalam PMK792024 yang patut diperhatikan antara lain:

– Penegasan NPWP KSO: Memberikan dasar administratif yang kuat.

– Kontribusi berupa aset (tanah dan bangunan): Kini dikenai PPN jika diserahkan oleh PKP, menambah beban fiskal namun memperjelas perlakuan pajak.

– Pembukuan terpisah: Meningkatkan transparansi namun memerlukan kesiapan sistem dan SDM.

– Penyetoran pajak anggota: Mendorong kemandirian dan tanggung jawab masing-masing anggota.

PMK79/2024 menyederhanakan dan memperjelas perlakuan pajak KSO dengan mengatur kontribusi secara eksplisit, menjadikan KSO sebagai subjek pajak, dan mengatur pembukuan dan pelaporan secara terpisah. Hal ini menciptakan keadilan fiskal serta mempermudah pengawasan dan kepatuhan perpajakan.

PMK79/2024 merupakan langkah positif dalam reformasi perpajakan, khususnya dalam pengaturan entitas non-badan hukum seperti KSO. Dengan kejelasan regulasi, pengusaha dapat lebih percaya diri dalam menyusun kontrak dan melaksanakan kerja sama. Namun, kompleksitas administrasi dan tambahan beban pajak, terutama atas kontribusi non-uang seperti aset (tanah dan bangunan) perlu menjadi pertimbangan dalam perencanaan proyek.

Pemerintah diharapkan aktif memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis agar implementasi PMK ini tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.

Kesimpulannya: PMK79/2024 membawa perubahan penting dan positif dalam pengaturan perpajakan atas KSO. Peraturan ini tidak hanya memperjelas posisi hukum dan fiskal KSO, tetapi juga memberikan kerangka kerja yang lebih sistematis. Meski demikian, penerapannya memerlukan kesiapan teknis dan pemahaman menyeluruh dari pelaku usaha dan aparat pajak.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI

I Kadek Sumadi 

Email: Kadek_sumadi@yahoo.com

Hariyasin

Email: hariyasin29@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepatuhan Pajak di Indonesia : Sebuah Tinjauan Teoritis

Sebagai pembuka, mari kita membedah terlebih dahulu kinerja pendapatan negara pada tahun 2024. Penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp. 1.932,4 T atau 100,5% dari target, tumbuh sebesar 3,5% yoy, pertumbuhan ini hanya berdasarkan dari penerimaan dari sektor pajak, didorong oleh pertumbungan dari jenis penerimaan pajak utama.

Melihat kondisi ini, pajak adalah bentuk salah satu sumber penerimaan utama dari penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan mendanai berbagai kebutuhan publik, dimulai dari pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, layanan pendidikan, subsidi sosial, hingga proyek-proyek strategis nasional lainnya.

Mengingat keterbutuhan akan penerimaan negara dari sektor pajak itu merupakan sumber yang tergolong primer, maka hal ini, secara tidak langsung mendorong Pemerintah untuk menekankan kepada masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak untuk meningkatkan pentingnya memenuhi kepatuhan perpajakan yang dilandasi Peraturan Perpajakan di Indonesia.

Dalam konteksnya di Indonesia, kontribusi penyerapan penerimaan negara di Indonesia dari sektor Pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mencapai lebih dari 70% di setiap tahunnya, mengingat data yang telah saya paparkan di awal penjelasan diatas, yang hal ini menegaskan bahwa Pajak secara tidak langsung pula menjadikan instrumen utama dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan nasional dalam hal pendanaan strategis nasional.

Kepatuhan terhadap perpajakan memiliki makna bahwa setiap Wajib Pajak, melaksanakan dan memenuhi kepatuhan dan kewajiban perpajakannya secara tepat waktu, jujur, dan menjalankan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan yang berwenang. Dengan, mempertimbangkan tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi di suatu negara, maka secara tidak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pengembalian terhadap negara kepada masyarakat yang sepadan, seperti fasilitas yang diberikan, sarana dan prasarana yang tersedia di publik, sumber daya yang cukup, program-program publik yang dapat dijalankan secara merata dan berkelanjutan, namun berkebalikannya, bila tingkat kepatuhan yang rendah, maka beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan tidak merata, dengan asumsi bahwa hanya ada segelintir pihak saja yang taat, namun yang lainnya memiliki kecenderungan mengindar, maka hal ini akan memicu ketimpangan sosial, dan serta menimbulkan ketidak percayaan terhadap sistem perpajakan yang dibangun oleh sebuah Pemerintahan.

Di sisi lain, kepatuhan terhadap perpajakan, menggambarkan dan mencerminkan bentuk kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah. Masyarakat yang selama ini telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya, akan menunjukkan bahwa dana yang mereka setorkan dan kontribusikan kepada negara, akan dikelola secara bertanggung jawab oleh negara, dalam bentuk imbal balik yang diberikan Pemerintah seperti pelayanan yang maksimal kepada Masyarakat, pembangunan infrastruktur yang merata, layanan pendidikan dan kesehatan yang merata, yang pada dasarnya, seluruh manfaat dapat diterima secara merata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, bentuk ketidakpatuhan juga, dapat memberikan sinyal adanya krisis ketidakpercayaan yang dari masyarakat kepada Pemerintah akibat adanya isu transparansi dan akuntabilitas dari Pemerintah, yang pada dasarnya hal tersebut harus menjadi evaluasi dari Pemerintah dalam menjalankan good clean governance.

Mengenal Berbagai Teori Kepatuhan Perpajakan

Tidak lengkap rasanya, bila kita membahas kepatuhan perpajakan, namun tidak membahas latar belakang akademis yang melandasinya. Latar belakang akademik, memiliki peranan sentral yang nantinya akan memberikan dampak praktis dalam bentuk kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing-masing Pemerintahan di berbagai negara, bergantung dengan setiap kebutuhan ekonomis di masing-masing negara tersebut. Pada pembahasan, teori-teori kepatuhan perpajakan ini, saya membagi 3 (tiga) kluster utama dari pandangan para ahli yang perlu rekan-rekan pahami dalam memahami mengapa kepatuhan perpajakan itu penting, 3 (tiga) teori pandangan para ahli tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972)

Teori ini, merupakan salah satu grand theory yang sering kali digunakan oleh para peneliti yang meneliti di subjek Perpajakan dan Akuntansi, yang dikembangkan oleh Michael G. Allingham dan Agnar Sandmo pada tahun 1972 dalam artikelnya yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis”, premis sederhana, dari teori ini adalah teori ini menekankan akan pentingnya mematuhi kewajiban perpajakan, dan Wajib Pajak wajib menghitung secara rasional atas setiap untung dan ruginya bila tidak mematuhi kewajiban perpajakan, artinya secara sadar, Wajib Pajak bila dengan sengaja menghindar (tax avoidance) atau dengan sengaja melakukan penggelapan yang mengarah ke tindak pidana (tax evasion), maka terdapat ancaman maksimal yang akan diterima.

Oleh karena itu, dalam memutuskan apakah akan mematuhi atau melakukan penghindaran, setiap Wajib Pajak baik Badan Usaha maupun Orang Pribadi, akan terlebih dahulu menghitung baik buruknya, sebab, di setiap keputusan maupun langkah yang diambil, Wajib Pajak akan melakukan kalkulasi untung rugi secara logis, hal ini sangat relevan dengan kondisi yang menggambarkan situasi Wajib Pajak di seluruh belahan dunia. Model ini menjelaskan bahwa kepatuhan pajak bukan hanya soal kesadaran moral atau etika, melainkan hasil dari keputusan ekonomi yang rasional, seperti keputusan investasi yang mempertimbangkan untung ruginya.

Model teori ini, secara umum memberikan dasar bagi para pemangku kepentingan seperti para regulator maupun Pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal, dalam merancang sistem bentuk pengawasan maupun kepatuhan perpajakan Wajib Pajak dan bentuk pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, teori ini pula banyak mengundang kritik, karena terlalu menyederhanakan teknis tanpa mempertimbangkan faktor-faktor humanis yang bahkan dapat memberikan pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan Wajib Pajak seperti faktor sosial, moral, maupun psikologis, dalam hal ini berperan besar dalam perilaku Perpajakan Wajib Pajak.

Teori ini, menjadi penting dan tetap menarik untuk terus dilakukan studi lebih lanjut dalam hal studi kepatuhan perpajakan dan menjadi titik awal dari berbagai pengembangan teori lanjutan di bidang perpajakan, dan bahkan banyak teori yang berkembang atas dikenalkannya teori ini.

Tax Compliance Theory oleh Graetz dan Wilde (1985) 

Berbeda konsep dengan teori yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), pada teori ini Graetz dan Wilde (1985) yang dituangkan dalam artikel yang berjudul “The Economics of Tax Compliance: Facts and Fantasy”, memberikan warna yang berbeda. Teori kepatuhan pajak ini mengkritisi teori yang telah diusung sebelumnya, bahwa kepatuhan pajak harus didorong dengan konsep “tax morale”, nilai-nilai humanisme yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh teori sebelumnya.

Bahwa kepatuhan pajak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara pandang Wajib Pajak memandang penggunaan dana pajak oleh negara. Jika merasa bahwa dana pajak yang selama ini secara terpaksa maupun sukarela disetorkan kepada negara namun peruntukkan dan penggunaannya untuk kemaslahatan masyarakat secara luas dan memiliki dampak yang positif bagi masyarakat secara umum, maka tercipta kepercayaan yang mendorong kepatuhan secara sukarela tanpa harus adanya dorongan dari Pemerintah untuk menekankan akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan, namun sebalknya, jika Wajib Pajak merasa bahwa sistem pajak koruptif dan tidak berpihak kepada rakyat, maka akan muncul resistensi dan kecenderungan untuk menghindari kewajiban perpajakan.

Dengan demikian, teori ini, menjadi bentuk resistensi dari teori sebelumnya, dan bentuk dari pengembangan dan perluasan atas pendekatan perilaku terhadap bentuk kepatuhan pajak, sebab meningkatkan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak tidak hanya melalui penetapan atau ancaman sanksi, namun Pemerintah atau dalam hal ini regulatur dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik dengan institusi pajak beserta dengan organisasi-organisasi masyarakat yang dianggap mampu mendekatkan diri dengan masyarakat akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan.

Slippery Slope Framework oleh Erich Kirchler (2007) 

Teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Erich Kirchler pada tahun 2007, yang dituangkan dalam bukunya “The Economic Psychology of Tax Behaviour”, menandai pergeseran penting dari pendekatan ekonomi rasional menuju pendekatan psikologi perilaku dalam studi kepatuhan perpajakan. Kirchler berangkat dari kritik terhadap teori Allingham dan Sandmo yang mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah individu rasional yang hanya mempertimbangkan risiko audit dan sanksi. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kepatuhan pajak adalah hasil dari interaksi antara kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak (trust in authority).

Kirchler (2007), memperkenalkan konsep Slippery Slope Framework, yang menggambarkan bahwa tingkat kepatuhan tidak hanya dapat ditingkatkan dengan pengawasan dan hukuman (coercive power), tetapi juga melalui pembangunan hubungan yang berbasis kepercayaan, transparansi, dan persepsi keadilan. Dalam kerangka ini, jika otoritas pajak terlalu mengandalkan kekuatan koersif, maka hubungan antara negara dan wajib pajak akan menjadi kaku dan penuh tekanan, bahkan bisa mendorong perlawanan pasif.

Namun, jika otoritas mampu menumbuhkan rasa kepercayaan melalui pelayanan yang baik, keterbukaan, dan perlakuan yang adil, maka akan muncul kepatuhan sukarela yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan. Kirchler juga menegaskan bahwa keseimbangan antara kekuatan dan kepercayaan merupakan kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, kepercayaan tidak hanya mencerminkan harapan bahwa otoritas pajak bertindak jujur dan profesional, tetapi juga mencakup persepsi bahwa kebijakan pajak dibuat secara partisipatif dan digunakan untuk kepentingan publik.

Oleh karena itu, teori Kirchler menjadi sangat relevan dalam upaya reformasi administrasi perpajakan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sering menghadapi tantangan rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga perpajakan.

Aplikasi Ketiga Teori Kepatuhan Perpajakan di Indonesia 

Dalam konteks Indonesia, penerapan teori kepatuhan pajak yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), Graetz dan Wilde (1985), serta Erich Kirchler (2007) memberikan kerangka analitis yang saling melengkapi untuk menjelaskan kompleksitas perilaku wajib pajak cukup menarik bila efektif diterapkan di Indonesia khususnya.

Secara khusus, misalnya, pada teori Allingham dan Sandmo (1972) yang menekankan pendekatan rasionalitas ekonomi, yaitu keputusan wajib pajak ditentukan oleh perbandingan antara manfaat menghindari pajak dan risiko dikenai sanksi apabila terdeteksi, relevan diterapkan di Indonesia sebagai dasar pembentukan kebijakan penegakan hukum.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa rasio audit terhadap jumlah wajib pajak masih sangat rendah, ditambah keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sanksi perpajakan, meskipun telah diatur secara hukum, sering kali tidak dijalankan secara konsisten dan tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Akibatnya, kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut menjadi kurang efektif. Hal ini juga diperburuk dengan adanya persepsi publik bahwa tindakan tegas lebih banyak menyasar pelaku UMKM atau wajib pajak individu kecil, sementara pelanggaran oleh korporasi besar atau elite ekonomi sering kali tidak tersentuh. Oleh sebab itu, pendekatan ini tetap penting namun membutuhkan penguatan melalui reformasi sistem audit berbasis risiko (risk-based audit), transparansi sanksi, dan konsistensi penegakan hukum terhadap semua lapisan wajib pajak tanpa pandang bulu.

Sementara itu, bila kita menelaah lebih dalam pada teori Graetz dan Wilde (1985) serta konsep yang ditawarkan pada teori Slippery Slope Framework dari Kirchler (2007) menawarkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks sosial-politik Indonesia. Graetz dan Wilde (1985)  menekankan pentingnya faktor moral pajak (tax morale) dan persepsi keadilan dalam sistem perpajakan.

Di Indonesia, banyak wajib pajak yang memilih tidak patuh bukan karena perhitungan rasional terhadap risiko hukum, melainkan karena munculnya ketidakpercayaan terhadap institusi negara, persepsi bahwa pajak tidak digunakan untuk kepentingan publik, serta keteladanan yang buruk dari sebagian pejabat publik.

Hal ini diperkuat oleh kerangka kerja Kirchler (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat jika terdapat keseimbangan antara kekuatan otoritas pajak (audit dan sanksi) dan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap institusi perpajakan. Oleh karena itu, strategi DJP tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan koersif, melainkan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan, edukasi publik, dan upaya transparansi dalam pengelolaan penerimaan negara.

Program reformasi perpajakan yang mengarah pada digitalisasi (seperti core tax administration system) adalah langkah tepat, tetapi akan sia-sia tanpa diiringi perubahan dalam budaya organisasi dan sikap pelayanan yang humanis.

Dalam masyarakat yang masih bersifat kolektif seperti Indonesia, norma sosial dan pengaruh lingkungan sekitar juga sangat menentukan perilaku kepatuhan. Maka, kolaborasi antara negara, sektor swasta, tokoh masyarakat, dan akademisi menjadi krusial untuk menumbuhkan ekosistem pajak yang sehat, adil, dan dipercaya. Kombinasi ketiga teori ini secara strategis dapat membentuk pendekatan yang menyeluruh: mendorong kepatuhan dengan kontrol yang kuat, memperkuat legitimasi sistem pajak, serta membangun kepercayaan jangka panjang antara negara dan warganya.

Refleksi atas Peran Strategis IKPI dalam Membangun Kepatuhan Pajak di Indonesia 

Sebagai penutup, penting rasanya membahas peran sentral IKPI sebagai fondasi penting akan pemenuhan kepatuhan perpajakan masyarakat dan Wajib Pajak di Indonesia secara luas, tidak hanya sebagai Organisasi profesi yang mewadahi para Konsultan Pajak, namun IKPI memiliki peranan sentral yang dalam mitra strategis pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia.

Dalam lanskap perpajakan modern yang terus berubah, peran aktor non-pemerintah dalam memperkuat sistem perpajakan semakin diakui sebagai bagian penting dari tata kelola fiskal yang berkelanjutan. Salah satu aktor strategis tersebut adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), yang merupakan organisasi profesi resmi dan independen yang mewadahi para konsultan pajak di Indonesia. Sebagai organisasi profesional, IKPI tidak hanya bertanggung jawab menjaga kompetensi dan integritas anggotanya, tetapi juga memiliki tanggung jawab etik dan sosial yang lebih luas dalam mendukung peningkatan kepatuhan pajak nasional.

Dalam posisi ini, IKPI dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung yang kredibel antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baik dalam aspek teknis, edukatif, maupun strategis. Peran IKPI menjadi sangat relevan ketika dikaji melalui kerangka pemikiran teoretis tentang kepatuhan pajak yang menekankan bahwa perilaku wajib pajak tidak hanya dipengaruhi oleh sanksi hukum, tetapi juga oleh kesadaran moral, persepsi keadilan, dan relasi sosial dengan institusi perpajakan.

Dari perspektif Tax Compliance Theory oleh Allingham dan Sandmo (1972), kepatuhan pajak lahir dari kalkulasi rasional antara manfaat menghindari pajak dan risiko hukuman jika ketahuan. Dalam konteks ini, IKPI memainkan peran teknokratik yang sangat penting, yaitu membantu wajib pajak memahami, mematuhi, dan menyesuaikan pelaporan perpajakan dengan peraturan yang berlaku.

Dengan kompleksitas regulasi perpajakan yang tinggi di Indonesia, baik dari sisi substansi hukum, dinamika perubahan kebijakan, maupun keterkaitan dengan sistem digital banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses pemahaman yang memadai.

Di sinilah konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI menjadi instrumen kunci untuk menutup kesenjangan informasi (compliance gap) yang sering kali justru menjadi akar ketidakpatuhan administratif, bukan karena niat jahat, tetapi karena minimnya literasi pajak. Kehadiran konsultan pajak profesional yang menjunjung integritas dapat meminimalisasi risiko pelanggaran pajak, sekaligus menghindari potensi sanksi yang merugikan wajib pajak dan negara.

Namun, pendekatan rasional semata tidak cukup menjelaskan seluruh aspek kepatuhan. Dalam perspektif Graetz dan Wilde (1985), kepatuhan tidak hanya bergantung pada risiko hukum, tetapi juga pada “tax morale”, yakni motivasi intrinsik untuk patuh terhadap kewajiban perpajakan karena alasan etis, sosial, dan budaya.

Di Indonesia, dengan karakter masyarakat yang kolektif dan sangat dipengaruhi oleh norma sosial, persepsi terhadap keadilan fiskal dan integritas institusi pajak menjadi faktor krusial. Jika wajib pajak melihat bahwa sistem perpajakan bersifat timpang, prosedurnya tidak transparan, atau pejabat publik tidak memberi keteladanan, maka moral pajak akan melemah, dan kepatuhan sukarela akan menurun.

Dalam hal ini, IKPI dapat menjalankan peran moral dan edukatif, yaitu membimbing kliennya untuk mematuhi pajak bukan hanya karena takut diperiksa, tetapi karena sadar bahwa membayar pajak adalah bagian dari kontribusi kolektif terhadap pembangunan nasional.

IKPI juga dapat mengadvokasi pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan sistem yang adil, sekaligus menjadi bagian dari kontrol sosial dan teknokratik yang mendukung legitimasi sistem perpajakan nasional.

Selanjutnya, melalui kacamata Slippery Slope Framework yang dikembangkan oleh Erich Kirchler (2007), kepatuhan pajak merupakan hasil dari kombinasi antara kekuatan otoritas (power) dan kepercayaan (trust). DJP memiliki kekuatan hukum untuk memeriksa, menyanksi, dan menegakkan peraturan.

Namun, untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang yang berkelanjutan, kekuatan ini harus diimbangi dengan upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan efektivitas institusi perpajakan.

Di sinilah posisi IKPI menjadi sangat strategis sebagai co-creator trust. Konsultan pajak berada dalam posisi unik berinteraksi langsung dengan wajib pajak dan memahami sistem internal DJP, sehingga dapat memainkan fungsi diplomatik dan edukatif yang tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh negara.

Melalui pelayanan profesional, komunikasi yang etis, dan komitmen pada integritas, anggota IKPI dapat membentuk persepsi publik bahwa sistem perpajakan bukan alat pemaksaan, melainkan sarana kerja sama antara negara dan masyarakat. IKPI juga bisa mendorong DJP untuk meningkatkan kualitas layanan, menyederhanakan prosedur, dan meminimalkan ruang abu-abu yang bisa mengikis kepercayaan publik.

Refleksi atas peran IKPI dalam konteks ketiga teori ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara DJP dan organisasi profesi seperti IKPI bukan hanya bersifat administratif atau teknis, tetapi merupakan bagian dari strategi kebijakan nasional untuk memperkuat struktur fiskal negara.

Dalam kondisi penerimaan negara yang semakin bergantung pada pajak, dan tekanan fiskal yang meningkat karena kebutuhan pembiayaan pembangunan, keberadaan konsultan pajak yang profesional, independen, dan berintegritas menjadi salah satu penopang utama. Maka, penting bagi IKPI untuk terus memperkuat kapabilitas anggotanya melalui pelatihan berkelanjutan, pembinaan etik profesi, serta keterlibatan aktif dalam reformasi perpajakan nasional.

Sinergi antara DJP dan IKPI akan menjadi model kemitraan yang menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pajak tidak hanya ditentukan oleh seberapa keras negara menegakkan hukum, tetapi juga oleh seberapa besar masyarakat, melalui para profesionalnya, bersedia menjadi bagian dari ekosistem pajak yang adil, berkelanjutan, dan dipercaya.

SUMBER REFERENSI

Allingham, M. G., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4), 323–338. https://doi.org/10.1016/0047-2727(72)90010-2ScienceDirect+4SCIRP+4EconPapers+4

Graetz, M. J., & Wilde, L. L. (1985). The economics of tax compliance: Fact and fantasy. National Tax Journal, 38(3), 355–363.CaltechAUTHORS+3CaltechAUTHORS+3IDEAS/RePEc+3

Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.Google Scholar+3SCIRP+3Universität Wien+3

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Januari 2). Pendapatan negara tahun 2024 tumbuh positif. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pendapatan-Negara-Tahun-2024-Tumbuh-Positif

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi/Mahasiswa Program Doktoral Keuangan Universitas Brawijaya/Dosen Universitas Nasional

M. Abdul Rahman

Email: rahman@rahman-muhaimin.com,

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

id_ID