Meneropong Jejak Penerimaan Pajak 2024

Tidak dapat dipungkiri penerimaan pajak adalah tulang punggung dari pembiayaan negara dalam menjalankan fungsi melayani masyarakat dan pemerintahan. Salah satu fungsi pajak adalah fungsi budgeter, tanpa pajak akan kesulitan negara dalam menjalankan dan menggerakan roda pemerintahan serta pembangunan.

Kondisi sampai saat ini, realisasi kinerja pendapatan negara tahun 2024 masih terkendali. Hingga 31 Oktober, pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 T atau 80,2% dari target APBN, tumbuh 0,3% (yoy). Pendapatan negara mencapai Rp2.247,5 T. Ini artinya 80,2% dari target APBN 2024 sudah dikumpulkan dan ada kenaikan 0,3% dibandingkan periode Oktober tahun 2023.

Melihat data yang ada, memang ada dua kemungkinan dapat terpenuhi target penerimaan pajak tahun 2024 atau sebaliknya. Jika penerimaan pajak tidak mencapai target, dapat dipastikan penyebab utamanya terjadi kelesuan ekonomi nasional.

Ketidakpastian ekonomi bersumber dari tingkat bunga yang masih tinggi, eskalasi konflik geopolitik, peningkatan tensi perang dagang, serta risiko-risiko yang berdampak struktural, seperti perubahan iklim, digitalisasi serta masalah demografi.

Bahkan diproyeksikan angka pertumbuhan ekonomi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mencapai 5,2%, inflasi di angka 2,5%, dan defisit anggaran sekitar 2,53% dari GDP. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan berada direntang Rp15.300 – Rp16.000, sedangkan yield SBN Tenor 10 Tahun diperkirakan berada pada kisaran 6,9 %-7,3 %. Namun angka-angka tersebut hanyalah estimasi yang bisa berubah yang mungkin akan bergerak naik atau turun.

Mengumpulkan penerimaan negara dalam mencapai target yang diinginkan tidak semudah membalik telapak tangan, karena situasi saat ini perekonomian sedang mengalami deflasi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun sejak Mei 2024. Data terbaru menjelaskan deflasi bulanan sebesar 0,12 % terjadi pada September 2024.

Deflasi pertama kali dilaporkan pada Mei 2024 sebesar 0,03 %. Kemudian deflasi menyentuh 0,08 % pada Juni dan semakin dalam pada Juli menjadi 0,18 %. Deflasi sempat membaik pada Agustus, menyentuh 0,03 %, sebelum akhirnya kembali memburuk September lalu, Deflasi akan memengaruhi penerimaan pajak, karena deflasi dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dan pendapatan bisnis.

Memang berdasarkan banyaknya teori untuk memperbaiki penerimaan pajak diperlukan adanya grand strategy yang mumpuni dan ramah bisnis disektor peraturan perpajakan, selain itu terus memperbaiki kinerja makro ekonomi. Salah satu program yang menarik adalah insentif pajak yang mungkin akan memberikan stimulus pada penerimaan pajak.

Insentif pajak adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada individu atau organisasi tertentu hingga investor asing atau lokal yang bersedia berinvestasi. Insentif pajak terbaru yang ada pada saat ini, yaitu PMK 69 tahun 2024 untuk mendapatkan fasilitas tax holiday, namun wajib pajak perlu memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PMK 69/2024.

Kriteria tersebut antara lain wajib pajak bergerak di bidang industri pionir, berstatus sebagai badan hukum Indonesia, melakukan penanaman modal yang belum mendapatkan fasilitas tax holiday lainnya, memiliki nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit Rp100 miliar, memenuhi ketentuan debt-to-equity ratio, dan berkomitmen merealisasikan penanaman modal paling lambat 1 tahun sejak diberikan keputusan penggunaan fasilitas.

Selain PMK 69 tahun 2024, mungkin diperlukan insentif pajak yang lain sehingga dapat menggerakan para investor asing dan investor lokal agar berinvestasi di Indonesia sehingga dapat menaikan perekonomian yang tentunya akan berdampak menaikan penerimaan pajak kedepannya.

Normatifnya bahwa ekonomi makro dan pajak sangat berkaitan erat dan hal ini selaras dengan teori pertumbuhan endogen yang digagas Paul M Romer pada tahun 1986 dan Robert Lucas pada tahun 1988, teori ini menjelaskan bahwa penerimaan pajak menyebabkan atau mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan aktivitas kegiatan ekonomi, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi, dan bergulir meningkatkan jumlah penerimaan pajak baik dari basis pajak maupun nominal penerimaan pajak.

Semoga penerimaan pajak di tahun 2024 dapat tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Aamiin

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Dr, Irwan Wisanggeni

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Pengenaan dan Keberpihakkan Pajak UMKM

Belum genap 1 bulan setelah pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto telah membuat banyak gebrakan, mulai dari dimulainya pemberantasan korupsi, pemberantasan judi online, pencanangan Gerakan Solidaritas Nasional untuk mempersatukan kekuatan bangsa, dan yang terakhir ialah penghapusan utang UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) sebagai simbol keberpihakan pemerintah kepada para masyarakat kecil sebagai pelaku UMKM yang bergerak di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya, dengan dihapusnya piutang macet maka pelaku UMKM mempunyai akses lagi ke dunia perbankan.

Tentunya gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh Presiden Prabowo membawa angin segar dan harapan yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat marginal untuk keluar dari kesulitan yang mereka alami, sehingga gebrakan Presiden Prabowo patut diacungi jempol.

Setiap kebijakan yang berpihak kepada masyarakat marginal dan pelaku usaha UMKM merupakan salah satu cara untuk mewujudkan salah satu butir Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bicara mengenai UMKM, menjelang akhir tahun 2024 para pelaku usaha UMKM yang jumlahnya relatif banyak menunggu dengan cemas terkait dengan berakhirnya masa berlaku penerapan tarif pajak PPh Final Bruto tertentu sebesar 0,5% atau yang lebih dikenal tarif pph final UMKM, ditambah terkait rencana kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% menjadi 12%.

Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari 65 juta unit, UMKM ini tersebar di berbagai sektor, termasuk kuliner, fashion, kerajinan tangan, hingga teknologi digital[1]. Jumlah 65 juta unit tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi para pelaku usaha UMKM tersebut juga sebagai penyerap tenaga kerja informal yang tidak sedikit.

Kecemasan para pelaku usaha UMKM tersebut dapat dimaklumi, karena berakhirnya peraturan terkait PPh Final Bruto Tertentu nantinya mempunyai efek yang  besar bagi mereka, akan terjadi lonjakan pembayaran pajak yang harus mereka tanggung dengan menggunakan skema perhitungan yang baru. Sebagai informasi untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, maka Wajib Pajak dapat memilih cara perhitungannya, di antaranya : 1) Memilih melakukan pembukuan dalam menghitung berapa keuntungan / kerugiannya, dengan mengetahui keuntungan baru akan dapat dihitung berapa pajak yang terutang, kelebihan dari metode pembukuan ini lebih fair / adil karena benar-benar menghitung secara riil, apakah usaha yang dilakukan Wajib Pajak tersebut untung atau rugi, namun kesulitannya bagi pelaku usaha yang kurang paham adalah terasa rumit dan ribet.

Selain itu, membutuhkan keahlian dalam membuat laporan keuangan sesuai dengan prinsip standar akuntansi di Indonesia, tidak mudah bagi orang awam untuk dapat membuat pembukuan; 2) Memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), arti  norma perhitungan ialah suatu tarif tertentu yang telah ditentukan oleh Pemerintah untuk menentukan berapa persentase keuntungan dari setiap bidang usaha, kelebihannya sederhana dalam menghitung, kekurangannya beban pajak yang besar dan tidak menunjukkan kondisi riil dari wajib pajak; 3) Menggunakan tarif PPh Final Bruto Tertentu untuk UMKM tertentu (untuk umkm yang memiliki omzet sampai dengan Rp. 4,8 Milyar setahun). Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari ketiga cara menghitung pajak tersebut.

Keistimewaan dari tarif pajak final bruto tertentu (Pajak UMKM) selain sederhana, juga tarif pajak yang relatif rendah, pada awalnya berdasarkan PP No 46 Tahun 2013 Tarif PPh Final Bruto Tertentu adalah sebesar 1%, namun kemudian diubah menjadi yaitu sebesar 0,5% berdasarkan PP 23 Tahun 2018, dan kemudian mendapatkan fasilitas tambahan untuk omzet sampai dengan 500 juta tidak dikenakan pajak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Perpajakan, Pasal 59 disebutkan sbb :

Pasal 59

(1)      Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:

  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan

                     yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan

  1. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Perhitungan jangka waktu 7 tahun untuk orang pribadi sebagai mana huruf a, dihitung sejak Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018, sehingga bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2018, jangka waktu 7 tahun akan berakhir di tahun 2024. Sedangkan jangka waktu wajib pajak badan (huruf b dan c) dihitung sejak berdirinya wajib pajak badan tersebut.

Jika tidak ada perubahan atas Peraturan Pemerintah No 55 tersebut, maka pada tahun 2025, Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah menggunakan tarif tersebut harus memilih metode perhitungan dalam menghitung laba dan membayar pajaknya. Metode tersebut ialah menggunakan pembukuan, atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Sebagai perbandingan dapat dilihat berapa jumlah pajak yang harus dibayar pada tahun 2025 dengan asumsi omzetnya sama,  berdasarkan ketiga metode tersebut.

Contoh penggunaan metode dapat dijelaskan sebagai berikut :

A. Tuan Amir status K/3 (Kawin memiliki 3 tanggungan) memulai usaha sebagai pemilik toko bahan bangunan di Jakarta Selatan sejak tahun 2017, pada tahun 2024 memiliki omzet peredaran usaha sebesar Rp. 3.600.000.000,- (Tiga Milyar Enam Ratus Juta Rupiah), dengan perincian sebagai berikut :

Jumlah pajak yang harus dibayar oleh Tuan Amir pada tahun 2024 sebesar Rp. 15.500.000,-. Namun pada tahun 2025 Tuan Amir tidak boleh menggunakan tarif final UMKM 0,5%, karena Tuan Amir sudah menggunakan tarif final UMKM 7 tahun lamanya yaitu sejak 2018 sd 2024.

Tahun 2025 dan seterusnya Tuan Amir harus menghitung labanya dengan memilih menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dan menggunakan tarif pajak Pasal 17 UU PPh yaitu tarif pajak progresif dengan skema sbb :

Lalu jika kita simulasikan pada tahun 2025 seandainya Tuan Amir memilki omzet yang sama dengan tahun 2024 yaitu sebesar Rp. 3.600.000.000,-

B. Jika Tuan Amir menggunakan pembukuan, dengan asumsi omzet sebesar Rp. 3.600.000.000,- setahun, harga pokok penjualan sebesar Rp. 3.000.000.000,-, biaya operasional yang boleh dibiayakan sebesar Rp. 360.000.000,-. Maka perhitungan laba dan jumlah pajak yang harus dibayar adalah sbb :

C. Jika Tuan Amir memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dengan bidang usaha toko eceran bahan bangunan (KLU 47528), dan lokasi usaha Tuan Amir di daerah Jakarta Selatan, berdasarkan peraturan dirjen pajak no. 17 tahun 2015 tentang norma perhitungan penghasilan neto, nya adalah sebesar 30%.

Berdasarkan simulasi contoh kasus di atas, jika diperbandingan maka terlihat jumlah pajak yang berbeda dari ketiga metode perhitungan pajaknya, yaitu sbb :

Tentu dengan perbedaan jumlah pajak yang relatif besar akan membebani wajib pajak UMKM, yang dalam kondisi sekarang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi covid-19, dan kondisi perekonomian yang tidak baik-baik saja.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah penerapan pajak final umkm ini hanya berlaku di Indonesia saja ? ternyata berdasarkan data OECD ada banyak negara yang juga memberlakukan tarif pajak final dengan tujuan untuk mengurangi biaya kepatuhan bagi pelaku usaha kecil dan mikro sebagaimana dikutif dalam artikel OECD yang berjudul “The Design of Presumtive Tax Regimes in Selected Countries”. Karena untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, dibutuhkan biaya kepatuhan yang relatif tinggi sehingga menimbang hal tersebut, dikeluarkanlah kebijakan pajak yang lebih sederhana sehingga wajib pajak dapat mudah membayar pajaknya.

Jika dilihat alasan penerapan pajak final bruto tertentu (berdasarkan PP 23 Tahun 2018) di Indonesia dengan pertimbangan “untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pelaku usaha UMKM yang masih minim pengetahuan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, maka perlu dipikirkan kembali untuk memperpanjang ketentuan mengenai penerapan PPh Final UMKM, malah kalau bisa aturan PPh Final UMKM tersebut berlaku selamanya, namun mengingat negara juga memerlukan dana dari pajak, dan agar kebijakan PPh Final UMKM tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang memang memiliki peredaran usaha yang relative besar, ada baiknya batas peredaran usaha yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha UMKM ditinjau ulang, sekarang ini batas omzet yang masih dapat dikategorikan sebagai pelaku UMKM adalah sebesar Rp4.800.000.000,- / tahun. Jika kita bandingkan batas peredaran usaha yang masuk klasifikasi penghasilan umkm, maka batas peredaran omzet UMKM di Indonesia termasuk yang paling tinggi, berikut publikasi IMF yang berjudul How to Design a Presumtive Income Tax for Micro and Small Enterprises.

Penulis adalah  Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer : Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menata Profesi Konsultan Pajak: Urgensi Terbitnya UU Konsultan Pajak untuk Meningkatkan Tax Ratio

Di tengah kompleksitas sistem perpajakan dan regulasi yang terus berubah, peran Konsultan Pajak semakin vital bagi Wajib Pajak. Sudah 59 tahun asosiasi profesi Konsultan Pajak ini ada, dan pengakuan profesinya berada pada Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) semakin menegaskan pentingnya peran dan fungsi profesi ini.

Konsultan Pajak tidak hanya membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga berkontribusi dalam sosialisasi dan edukasi peraturan perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus meluruskan pemahaman maupun pengertian yang tidak/belum/kurang tepat di lapangan. Hal ini, pada gilirannya, berpengaruh positif terhadap penerimaan negara dan diharapkan dapat meningkatkan tax ratio, suatu indikator yang sangat penting dalam keberhasilan sistem perpajakan suatu negara.

Namun, tantangan yang dihadapi adalah banyaknya konsultan yang tidak memiliki kompetensi yang memadai maupun pihak yang masuk jalur non-formal dalam praktik layanan jasa konsultasinya. Jika kita melihat profesi lain di sektor keuangan, seperti akuntan maupun notaris, mereka harus melalui pendidikan profesi yang diakui dan wajib lulus ujian sertifikasi. Hal ini belum sepenuhnya diterapkan pada profesi Konsultan Pajak, di mana banyak individu dengan pelatihan singkat dapat mengklaim sebagai konsultan tanpa standar yang jelas.

Kekhawatiran ini semakin nyata dengan maraknya penggunaan gelar yang membingungkan masyarakat. Gelar yang diperoleh dari pelatihan non-formal tanpa lisensi yang memadai sering kali membuat Wajib Pajak kesulitan menentukan mana konsultan yang benar-benar kompeten. Untuk itu, perlunya standar kompetensi yang jelas menjadi sangat mendesak. Melindungi masyarakat dari praktik profesi yang tidak bertanggung jawab merupakan tanggung jawab bersama yang harus diupayakan melalui regulasi yang ketat, pasti, dan berkeadilan.

Pendidikan profesi yang terstruktur, di mana Konsultan Pajak dilatih secara formal, serta pelaksanaan ujian sertifikasi yang diinisiasi oleh asosiasi profesi, bukan hanya akan meningkatkan kualitas Konsultan Pajak, tetapi juga memberikan rasa aman bagi Wajib Pajak. Kerjasama antara IKPI dan perguruan tinggi dalam menyusun program studi Profesi Konsultan Pajak yang terintegrasi dengan asosiasi profesi perlu didorong sebagai langkah awal.

Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konsultan Pajak menjadi sangat penting, perlu, dan mendesak baik bagi Pemerintah, Masyarakat atau Pelaku Usaha, dan Pelaku Konsultan Pajak itu sendiri. Sudah lima tahun RUU ini masuk dalam PROGLEGNAS, dan kini saatnya pemerintah, dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mengambil langkah strategis untuk mempercepat proses ini. UU Konsultan Pajak akan memberikan payung hukum yang jelas, mendefinisikan standar praktik, dan melindungi masyarakat dari konsultan yang tidak kompeten.

Adanya penguatan regulasi yang tepat untuk profesi keuangan yang strategis, bagi kita tidak hanya menata profesi ini secara komprehensif tetapi juga berkontribusi pada penerimaan negara yang optimal. Hasil akhirnya, tentu berimbas pada peningkatan tax ratio bukan hanya menjadi harapan, tetapi juga sebuah kenyataan yang dapat dicapai.

Penulis adalah Ketua Departemen FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami Pajak Pembelian Software dan Unsur Royalti

Software merupakan  salah satu karya hak cipta  berupa aset tak berwujud (intangible asset). Ketika membahas  Pajak Penghasilan atas transaksi tersebut, pikiran pertama yang muncul biasanya adalah pembayaran royalti yang terkait dengan pemotongan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.

Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua transaksi pembelian software terkait dengan pemotongan PPh  23/26.  Tulisan in lebih lanjui akan memperjelas berbagai situasi yang memengaruhi kewajiban pajak.

Aset adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu entitas dan diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, dan merek dagang adalah bentuk aset yang tidak memiliki wujud fisik.

Menurut undang-undang, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang muncul secara otomatis saat suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Software, seperti halnya buku atau film yang merupakan karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Setiap individu atau entitas yang ingin menggunakan karya ini harus membeli lisensinya, dan tindakan menyalin atau menggandakannya tanpa izin karena itu jelas melanggar hukum.

Dalam konteks ini, tentu banyak muncul pertanyaan mengenai bagaimana tentang pembayaran royalti?. Misalnya, ketika Gramedia menerbitkan dan menjual buku. Gramedia tentunya harus membayar royalti kepada penulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Namun, situasi berbeda terjadi ketika seseorang membeli buku dari Gramedia. Dalam kasus ini, pembeli tidak membayar royalti karena transaksi tersebut adalah jual beli biasa.

Contoh serupa dapat diambil dari industri film. Jika Pengusaha bioskop membeli hak tayang dari produser film, bioskop tersebut wajib membayar royalti berdasarkan kesepakatan yang ada. Dalam hal ini, pembayaran royalti menjadi objek pemotongan PPh 23/26.

Dengan demikian, ketika membahas software perlakuan pengenaan pajak pun akan diberlakukan hukum yang sama. Semisal, PT ABC membeli software dari eBay, di dalam transaksinya PT ABC melakukan pembelian barang tanpa adanya perjanjian untuk menggandakan atau membayar royalti. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban pemotongan PPh 23/26 dalam kasus ini.

Dari pembahasan ini, jelas bahwa objek PPh Pasal 23/26 tidak selalu terkait langsung dengan transaksi pembelian aset tak berwujud seperti software. Penentuan kewajiban pajak bergantung pada karakteristik transaksi yang dilakukan.

Jika tidak ada unsur royalti, maka transaksi tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini, diharapkan pelaku usaha dapat melakukan transaksi secara tepat dan mematuhi ketentuan pajak yang berlaku.

 

Penulis adalah Ketua Dept FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Henri PD Silalahi yang dikenal dengan HPDS: Selamat Kepada Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Serta Ketua Pengawas Terpilih Masa Bakti 2024-2029

  • Penulis: Henri PD Silalahi
  • Ketua Tim sukses Paslon 02 Ruston-Lisa
  • Ketua Dep Humas dan IT Periode 2019-2021
  • Ketua Dep Humas Periode 2022-2024

Selamat kepada Pak Vaudy dan Ibu Jetty yang telah terpilih sebagai Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum serta Pak Prianto Budi sebagai Ketua Pengawas IKPI masa bakti 2024-2029, semoga pengurus dan pengawas diberikan kekuatan dan pertolongan Tuhan untuk membawa IKPI terus bertumbuh dan berkembang, mengayomi anggota serta membangun ekosistem perpajakan yang semakin baik untuk memposisikan profesi konsultan pajak sebagai intermediaris antara pemerintah dengan wajib pajak, menjadikan profesi ini menjadi profesi yang terhormat dan mulia officium nobile

Terimakasih kepada Pak Ruston Tambunan yang telah mengukir prestasi IKPI dalam periode 2019-2024, Ruston Tambunan telah memberikan warna yang sungguh luar biasa dalam masa bakti 2019-2021 sebagai wakil ketua umum dan dilanjutkan pada masa bakti 2022-2024 sebagai Ketua Umum setelah Ketua Umum terdahulu mengundurkan diri. Penghargaan demi penghargaan telah diraih, layanan kepada anggota terus meningkat, keterlibatan dan keguyuban anggota terus meningkat, interaksi dengan pemangku kepentingan baik pemerintah, pelaku usaha dan dunia Pendidikan telah meningkat yang membuat IKPI menjadi organisasi yang inklusif dan diterima, disegani serta diperhitungkan oleh para stakeholder serta menjadi satu-satunya asosiasi konsultan pajak Indonesia yang diundang dalam berbagai event nasional serta internasional

Kepemimpinan Pak Ruston Tambunan telah mampu menggerek bendera IKPI terus berkibar mengukir berbagai prestasi yang spektakuler bersama dengan seluruh jajaran pengurus pusat, pengurus daerah dan pengurus cabang dan anggota IKPI yang selalu guyub, tercermin dalam laporan pertanggungjawaban ketua umum yang disampaikan dihadapan peserta kongres XII Bali.

Prestasi telah diukir, semoga apa yang telah kita raih bersama dapat dilanjutkan dan ditingkatkan oleh pengurus pusat, pengurus daerah maupun pengurus cabang untuk masa bakti 2024-2029.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Ketua Panitia Kongres IKPI XII Bali Ibu Lisa Purnamasari serta seluruh panitia yang telah bekerja keras hingga mampu memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada anggota hingga kongres berjalan dengan penuh keakraban, damai dan sukses serta memenuhi seluruh agenda kongres yakni pertanggungjawaban ketua umum masa bakti 2019-2024, persetujuan dan pengesahan perubahan AD/ART, perubahan kode etik dan standar profesi, Program kerja, pemilihan ketua umum-wakil ketua umum dan ketua pengawas serta penetapan tempat Kongres XIII IKPI.

Tentu kita semua juga berterima kasih atas kerja kerja keras panitia pemilihan dan panitia pengawas pemilihan yang telah mampu mengukir sejarah baru demokrasi IKPI dalam melaksanakan proses pemilihan yang panjang mulai dari pencalonan oleh pengurus cabang, penetapan, kampanye hingga pemilihan dalam sidang paripurna kongres XII Bali, terimakasih untuk Pak Edy Gunawan dan Pak I Kadek Sumadi serta jajarannya atas kerja kerja bpk/ibu yang telah membuahkan hasil yang spektakuler.

Kontestasi pemilihan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum serta Ketua Pengawas masa bakti 2024-2029 telah usai dengan berbagai cerita yang menyenangkan, penuh tawa dan canda ria antar anggota yang hadir dari seluruh Indonesia dalam perhelatan kongres XII Bali.

Sayangnya kesuksesan itu patut diduga telah dinodai dengan noda demokrasi yang akan menjadi catatan sejarah bagi kita semua, demokrasi yang ternoda adalah catatan moral bagi kita agar tidak terulang lagi dalam pesta demokrasi IKPI di masa yang akan datang.

Kita bersyukur Paslon 02 Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari dengan jiwa besar dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan IKPI telah menerima keputusan hasil pemungutan suara dengan jiwa besar dan lapang dada, bahkan mereka berdua hadir mulai dari awal acara pada hari pertama hingga hari ketiga (terakhir) pelaksanaan kongres XII Bali.

Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari tetap hadir pada hari ketiga hari terakhir kampanye setelah terpilihnya ketua umum-wakil ketua umum dan ketua pengawas 2024-2029, menyapa dan menyalami serta berfoto dengan para anggota serta memasuki ruang sidang hingga kongres XII di tutup dan berfoto bersama dengan Ketua Umum-Wakil Ketua Umum terpilih.

Kita semua menjadi saksi atas jiwa besar dan kepemimpinan Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari yang sungguh luar biasa menekan ego pribadi untuk menjaga persatuan dan kesatuan IKPI serta menyelesaikan tugas secara paripurna dan menjadi teladan bagi kita semua anggota IKPI baik pengurus maupun bukan pengurus, untuk belajar menerima kekalahan dengan jiwa besar dan lapang dada, meski saya yakin, pasti mereka juga mendengar ada hal-hal  yang seharusnya tidak terjadi atau menodai pesta demokrasi ini.

Kami mengucapkan terimakasih kepada tim sukses serta simpatisan Ruston-Lisa yang telah memberikan dukungan nyata dengan suka rela dan tulus hati serta kepada 591 suara pemilih yang telah memilih Ruston Tambunan dan Lisa Purnamasari. Kita tidak perlu berkecil hati karena kekalahan kita adalah kalah terhormat yang menjunjung kejujuran, ketulusan, integritas dan etika.

Meskipun ada rasa kecewa atas dugaan kuat telah terjadi pelanggaran bahkan coba dilakukan pada saya sendiri selaku ketua tim sukses, kalau kepada saya selaku ketua tim sukses saja dicoba untuk menggoda apalagi kepada yang lain? Tentu pembaca sudah bisa menjawabnya sendiri.

Namun Ruston-Lisa telah memberikan teladan bagi kita semua dengan memilih persatuan dan kesatuan IKPI sebagai yang utama daripada melakukan gugatan atas hasil pemilihan dalam Kongres XII Bali.

Ketua Umum-Wakil Ketua Umum serta Ketua Pengawas terpilih telah disahkan dan ditetapkan oleh pimpinan sidang kongres XII Bali, mari kita dukung dan tetap menjaga kekompakan serta terus berkontribusi untuk keluarga besar IKPI, itulah pesan Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari.

Tulisan ini adalah catatan sejarah bagi IKPI dan contoh nyata satunya kata dan perbuatan yang telah disajikan oleh Pak Ruston Tambunan dan Ibu Lisa Purnamasari sebagai teladan bagi kita, catatan ini juga sejarah sekaligus momentum bagi IKPI untuk membuat pengaturan yang tegas dengan sanksi yang tegas pada penyempurnaan AD/ART pada kongres yang akan datang agar demokrasi IKPI dapat berjalan dengan bermartabat dan menjunjung tinggi fairness serta etika sebab bagi seorang profesional lebih takut melanggar etika daripada melanggar undang undang kata Prof Bintan Saragih dalam pemaparannya pada kampanye terbuka tanggal 4 Agustus 2024 yang lalu

Semoga dengan pengaturan dan sanksi yang tegas kejadian yang serupa tidak terulang lagi dimasa yang akan datang.

Aspek Pajak Saham Bonus

Oleh:    Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., C.A

Anggota IKPI (NRA 00435)

 

A. Pendahuluan

Aspek Pajak Saham Bonus merupakan hal yang menarik didiskusikan. Saham Bonus adalah saham yang dibagikan secara cuma-cuma kepada pemegang saham berdasarkan jumlah saham yang dimiliki.

Tujuan Perseroan memberikan saham bonus diharapkan jumlah saham Perseroan yang beredar di pasar akan semakin meningkat sehingga diharapkan perdagangan saham Perseroan di Bursa Efek akan menjadi lebih likuid.

Ada pemahaman yang harus jelas tentang apakah saham Bonus tersebut merupakan Dividen Saham atau bukan merupakan Dividen Saham dan bagaimana implikasi dalam aspek pajaknya .

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 27 /POJK.04/2020 Tentang Saham Bonus, pasal 2 dan 3 menyatakan :

Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi Saldo Laba sedangkan Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham, berasal dari kapitalisasi: a. Agio Saham; dan/atau b. unsur ekuitas lainnya.

(Gambar tangkapan layar)

Bagaimana aspek Pajak untuk Saham bonus? Berikut akan dibahas aspek pajak dari keduanya. UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf g dalam penjelasannya menyatakan :

Dividen merupakan laba yang diperoleh pemegang saham atau polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :

  1.  Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  2.  Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor
  3.  pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham
  4.  pembagian laba dalam bentuk saham
  5.  Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

B. Saham Bonus yang berasal dari kapitalisasi Saldo laba (Dividen Saham)

Saham bonus yang berasal dari laba ditahan (retained earning) adalah merupakan bagian keuntungan sehingga termasuk pengertian dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g dan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1) Undang-Undang PPh 1984.

Namun dividen dikecualikan sebagai objek pajak jika dividen berasal dari dalam negeri dan diterima oleh WP Badan. Bagi WP OP dividen menjadi objek pajak, namun menjadi dikecualikan jika diinvestasikan dan memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan dibidang Pajak Penghasilan yang merupakan petunjuk pelaksana atas UU tentang Pajak penghasilan sbtdd dengan UU Harmonisasi Perpajakan, aturan tentang dividen diatur di bagian ketiga pasal 9, 10, 11.

Untuk dividen yang dikecualikan sebagai Objek Pajak tersebut, sesuai dengan pasal 37 PMK Nomor 18 tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU No.11 tahun 2020 Tentang cipta Kerja dibidang Pajak Penghasilan, PPN, PPnBm serta KUP maka pelaporan untuk WPOP masuk kepada Bagian Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak. Dalam eForm SPT 1770S tahun 2022 telah disediakan kolom pada bagian angka 6 huruf c yaitu Penghasilan lain yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.

Sementara bila dividen tersebut tidak diinvestasikan dan tentunya merupakan objek maka pengisian penghasilan dividen di bagian A. Penghasilan yang dikenakan Pajak Final dan/atau bersifat final pada angka 14.

C. Saham bonus yang beberasal dari konversi agio saham, dengan kata lain bonus saham yang bukan merupakan Dividen saham.

Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat edarannya Nomor SE18/PJ.41/1993 Tentang Perlakuan Pph Atas Saham Bonus Yang Diterima Pemegang Saham Yang Berasal Dari Konversi Agio Saham menyatakan:

Saham bonus yang diterima oleh pemegang saham, yang berasal dari konversi Agio Saham, merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemegang saham tersebut karena memperoleh tambahan jumlah saham tanpa melakukan penyetoran, dan oleh karena itu memenuhi ketentuan penghasilan yang menjadi Obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh 1984.

Saham Bonus ex konversi Agio Saham tidak termasuk dalam pengertian dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang PPh 1984, karena bukan merupakan bagian keuntungan yang diterima oleh pemegang saham. Dengan demikian penerimaan saham bonus yang berasal dari konversi Agio Saham tidak termasuk sebagai obyek pemotongan PPh Pasal 23.

Namun SE18/PJ.41/1993 yang menyatakan saham bonus ex konversi agio saham tidak termasuk pengertian dividen sudah tidak relevan lagi. Dalam Penjelasan Pasal 4 (1) huruf g UU PPh yang berlaku sejak tahun 2008 dan sampai saat ini, pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham adalah termasuk pengertian dividen.

Diterimanya saham bonus ex konversi Agio Saham tidak mengubah nilai total penyertaan saham/harga total perolehan saham, tetapi menurunkan nilai/harga historis perolehan per unit saham-saham tersebut karena adanya kenaikan jumlah lembar saham tanpa penyetoran. Oleh karena itu apabila saham-saham yang dimaksud (saham bonus konversi agio saham maupun saham semula) dijual, untuk menghitung besarnya keuntungan karena penjualan saham tersebut , maka harga perolehannya dinilai berdasarkan nilai historis yang dihitung dengan cara rata-rata sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang PPh 1984

Penghasilan berupa saham bonus tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dengan ketentuan bahwa pengakuan penghasilan atas saham bonus yang berasal dari konversi agio adalah pada saat dijual, karena belum dimasukkan sebagai penghasilan pada saat diterima/ diperoleh.

Contoh :
Wajib Pajak A adalah pemegang saham PT. XYZ, pada tahun 1990 memiliki 5000 lembar saham dengan harga perolehan Rp 3.000,- per lembar saham. Pada tahun 1992 PT. XYZ membagikan saham bonus yang berasal dari konversi Agio Saham dengan perbandingan 1:1 yaitu setiap satu lembar saham memperoleh satu saham bonus. Pada bulan Agustus 1993 Wajib Pajak A menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp 5.000,- per lembar saham. Dengan demikian penghasilan yang harus dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh tahun 1993 dari keuntungan atas penjualan saham adalah :

(Gambar tangkapan layar)

Harga Penjualan 1000 lembar Saham @Rp.5000 = 5.000.000 dikurangi harga Perolehan Rp 1.500.000 (1000lbr saham @ 1.500) terdapat keuntungan (capital gain) Rp 3.500.000. yang merupakan objek pajak. Khusus untuk perdagangan di bursa saham maka Pajak atas penjualan saham dikenakan secara final, namun jika saham tidak dijual dibursa saham maka capital gain tersebut akan dikenakan berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh

Bila ditelusuri, pengaturan mengenasi saham bonus ex agio dan/atau berasal dari selisih lebih revaluasi aset tetap juga muncul dalam Pasal 2 PP nomor 94/2010 yang menyatakan:

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:

  1. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
  2. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang- Undang Pajak Penghasilan.

Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 11 tahun 2020 mengenai Cipta Kerja, Pasal 4 ayat 1(g) yang menyatakan dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis; merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; pembagian laba dalam bentuk saham; dan pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

D. Simpulan

Dari segi asal/sumbernya saham bonus dikategorikan menjadi dua yaitu sebagai Dividen saham dan bukan dividen saham. Sebagai dividen saham jika saham bonus yang dibagikan berasal dari kapitalisasi Saldo laba. namun jika saham bonus berasal dari Agio Saham dan/atau unsur ekuitas lainnya maka saham bonus tersebut bukan merupakan dividen saham, Pengertian tersebut berdasarkan POJK Nomor 27 /POJK.04/2020 Tentang Saham Bonus.

Dari perspektif UU PPh. Bonus saham baik yang berasal dari laba ditahan atau kapitalisasi agio adalah sama-sama diperlakukan sebagai dividen yang menjadi objek PPh pasal 4 ayat (1) huruf g. (baca penjelasan UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf g.)

Saham bonus yang berasal dari agio saham dan/atau unsur ekuitas lainnya bukan termasuk pengertian dividen sebagaimana SE Nomor SE18/PJ.41/1993 sudah tidak relevan lagi pengertiannya.

Saham bonus merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemegang saham tersebut karena memperoleh tambahan jumlah saham tanpa melakukan penyetoran, dan oleh karena itu memenuhi ketentuan penghasilan yang menjadi Obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh 1984. Pengakuan Penghasilan adalah ketika pada saat saham tersebut dijual.

Jika dividen berasal dari dalam negeri dan penerima adalah WP Badan maka dikecualikan sebagai objek pajak, namun jika penerima dividen adalah WP OP maka penghasilan tersebut menjadi objek pajak Kecuali jika diinvesatasikan kembali sesuai dengan ketentuan PP nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan dibidang Pajak Penghasilan yang merupakan petunjuk pelaksana atas UU tentang Pajak penghasilan sbtdd dengan UU Harmonisasi Perpajakan, aturan tentang dividen diatur di bagian ketiga pasal 9, 10, 11.

 

REVALUASI ASET TETAP

Oleh: Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., C.A.

Anggota IKPI (NRA 00435)

 

PENDAHULUAN

Revaluasi Aset adalah penilaian kembali aset yang dimiliki suatu entitas sehingga pencatatannya  mencerminkan nilai aset sekarang. Hal tersebut biasanya dilakukan ketika aset tetap mengalami perubahan  sigifikan nilai di pasaran. Pasalnya, kenaikan atau penurunan nilai ini dapat menyebabkan laporan keuangan menjadi kurang relevan. Oleh karena itu, perlu dilakukan revaluasi agar informasi laporan keuangan menjadi lebih relevan dan dapat diandalkan.

Revaluasi dapat mengakibatkan nilai aset menjadi lebih besar atau lebih kecil dari nilai tercatatnya. Dalam  tulisan ini akan membahas khusus mengenai Revaluasi aset tetap untuk tujuan Komersil dan tujuan perpajakan.

  1. REVALUASI ASET TETAP UNTUK TUJUAN KOMERSIL

SAK 16 (Revisi 2011)  bertujuan untuk  mengatur perlakukan akuntasi aset tetap, sehingga pengguna laporan keuangan dapat memahami informasi mengenai investasi entitas dalam aset tetap dan perubahanya.

Ada dua model pengukuran aset tetap yaitu model biaya dan model revaluasi. Dalam Paragraph 31 SAK 16 ini mengatur mengenai ketentuan revaluasi yang merupakan salah satu pengukuran setelah pengakukan aset tetap yang akan dibahas lebih lanjut. Sehingga untuk melakukan revaluasi aset tetap, tunduk pada ketentuan dalam SAK 16 (Revisi 2011) tentang aset tetap.

Revaluasi aset Tetap untuk Tujuan Komersil (Akuntansi) adalah dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi penyajian laporan keuangan. Dengan revaluasi dapat mencerminkan nilai wajar atau fair value perusahaan. Khusus bagi perusahaan  yang akan IPO atau go public,  revaluasi aset adalah hal yang bisa digunakan untuk menyajikan nilai aset ke harga yang relatif lebih realistis.

Manfaat revaluasi aset adalah membantu dalam memperbaiki  struktur modal, agar rasio utang terhadap ekuitas /Debt to Equity Ratio (DER) turun. Dengan demikian, perusahaan dapat lebih mudah memperoleh utang dari bank untuk meningkatkan permodalan karena rasio utangnya menurun. Dengan DER yang turun sampai batas tertentu sekaligus juga dapat memberikan kemungkinan pembebanan biaya bunga secara fiskal yang lebih maksimal.

Bagi perusahaan di sektor perbankan, meningkatnya permodalan juga akan berpengaruh ke Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal yang semakin tinggi. Artinya, bank dapat memiliki lebih banyak kemampuan untuk memberikan dana kredit bagi perusahaan maupun nasabah lainnya.

Tujuan dan manfaat lainnya dari revaluasi aset adalah bisa membantu memudahkan perusahaan yang ingin melakukan merger. Pasalnya, jika masing-masing perusahaan yang ingin merger melaksanakan revaluasi aset tetap, maka nilai wajarnya untuk perusahaan baru dapat terlihat.

Ketentuan mengenai revaluasi antara lain sebagai berikut:

  1. Aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai setelah tanggal revaluasi.
  2. Revaluasi dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dengan jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan
  3. Frekwensi revaluasi bergantung pada perubahan nilai wajar dari aset tetap yang direvaluasi.
  4. Jika suatu aset tetap di revaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelas yang sama direvaluasi.
  5. Aset-aset dalam satu kelas aset tetap direvaluasi secara bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif.
  6. Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, maka kenaikan tersebut diakui dalam penghasilan komprensif lain dan terakumulasi dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi.
  7. Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, maka penurunan tersebut diaku dalam laba rugi. Akan tetapi penurunan nilai tersebut diakui dalam penghasilan komprehensif lain sepanjang tidak melebihi saldo surplus revaluasi aset tersebut.

Dalam praktik revaluasi aset dilakukan oleh pihak independen yaitu dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Terdapat beberapa cara/metode dalam melakukan penilaian kembali atas aset tetap. Adapun beberapa metode revaluasi aset adalah sebagai berikut:

  1. Metode Indeksasi

Metode pertama untuk melakukan revaluasi aset adalah indeksasi. Pada metode ini, indeks diterapkan dalam biaya aset untuk mengetahui biaya kini.

Indeks oleh departemen Biro Statistik atau Survei Ekonomi negara bisa digunakan untuk revaluasi aset.

 

  1. Metode Harga Pasar Saat Ini

Metode kedua dalam revaluasi aset adalah dengan menilai harga pasar saat ini atau yang sedang berlaku. Misalnya, jika ingin revaluasi tanah dan bangunan, maka bisa diambil dari nilai real estate atau dealer properti yang tersedia di pasar. Sementara, untuk revaluasi atas pabrik dan mesin, nilai wajarnya dapat diambil dengan bantuan pemasok.

  1. Metode Penilaian

Metode selanjutnya dalam melakukan revaluasi aset adalah dengan penilaian. Pada metode ini, penilaian teknis dilakukan secara rinci terhadap aset untuk mengetahui nilai pasar. Jika perusahaan ingin menggunakan metode ini, maka harus memastikan bahwa aset tidak over ataupun undervalued. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan nilai pasar wajar suatu aset antara lain:

  • Tanggal pembelian aset tetap untuk menghitung umurnya.
  • Waktu penggunaan aset tetap.
  • Jenis aset tetap.
  • Kebijakan perbaikan dan pemeliharaan perusahaan untuk aset tetap.
  • Ketersediaan suku cadang di masa yang akan datang.

Contoh :

PT Fery Jaya melakukan revaluasi aset tetap berupa sebidang tanah luas 5000 M2 yang telah dibeli sepuluh tahun lalu yang nilai perolehannya Rp 10 Milyar. Terdapat kenaikan yang signifikan yaitu nilai hasil revaluasi yang dilakukan oleh KJPP adalah Rp 20 Milyar. Maka atas selisih lebih revaluasi tersebut maka PT Fery Jaya  akan menjurnal debit : Tanah dan mengkredit Penghasilan komprensif lainnya sejumlah Rp 10 Milyar (selisih lebih Revaluasi)

Selanjutnya selisih lebih revaluasi tersebut akan tersaji dalam bagian ekuitas.

Untuk melaksanakan revaluasi aset untuk tujuan komersil ini tentunya tidak memerlukan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak dan tidak ada PPh yang terutang atas selisih lebih revaluasi tersebut, sebaliknya selisih lebih revaluasi akan menjadi objek PPh manakala revaluasi dilakukan untuk tujuan perpajakan yang akan dibahas selanjutnya.

  1. REVALUASI ASET TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

Dalam situasi tertentu perusahaan dapat mempertimbangkan juga untuk memilih revaluasi  aset tetap untuk tujuan perpajakan. Ketentuan mengenai hal ini telah diatur  dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan (PMK 79/2008).

PMK 79/2008 ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari pasal 19 UU PPh yang terkait dengan pasal 4  ayat (1) huruf m yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali aktiva merupakan objek pajak penghasilan. Sehingga lebih atas revaluasi akan dikenakannya Pajak Penghasilan

B.1. Syarat Revaluasi Aset Tetap untuk Tujuan Perpajakan

Dalam melakukan revaluasi Aset Tetap untuk tujuan Perpajakan tentu harus memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam PMK 79/2008 ini, beberapa syarat tersebut antara lain:

  1. Berlaku bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
  2. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
  3. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
  4. Objek revaluasi berupa seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
  5. Revaluasi tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
  6. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.
  7. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
  8. Membayar PPh final sebesar 10% dari selisih lebih atas nilai revaluasi

Manfaat dari revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan adalah dapat membantu mengurangi kewajiban pajak suatu perusahaan bila dilakukan perhitungan dengan cermat antara besarnya PPh yang harus dibayar dibanding dengan biaya penyusutan fiskal yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Terlebih ketika tahun 2015-2016 yang lalu adanya momentum penurunan tarif pajak penghasilan atas selisih lebih revaluasi aset tetap yang semula 10% menjadi 3%, 4% atau 6%. Setelah itu dan sampai saat ini tarif pajak untuk selisih lebih atas revaluasi aset tetap adalah kembali 10% sesuai dengan PMK 79/2008.

Situasi dimana ekuitas perusahaan dalam kondisi minus, maka revaluasi aset tetap yang berpotensi memiliki nilai selisih lebih dapat berdampak meningkatkan nilai ekuitas, sehingga nilai DER akan semakin membaik yang pada akhirnya dapat berguna untuk memaksimalkan pengurangan penghasilan bruto melalui pembebanan biaya bunga.

  1. SIMPULAN

Revaluasi Aset Tetap dapat dilakukan untuk tujuan komersil (akuntasi) atau untuk tujuan perpajakan yang mana masing-masing memiliki implikasi yang berbeda. Revaluasi Aset Tetap untuk tujuan perpajakan berdampak pada terutangnya PPh 10% final atas selisih lebih revaluasi sebagaimana diatur dalam PMK 79/2008, sedangkan Revaluasi Aset tetap untuk tujuan komersil (akuntansi) tidak ada PPh yang terutang.

 

 

 

 

 

 

Telaah atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pajak Penghasilan atas Imbalan Natura/Kenikmatan

oleh : Bambang Pratiknyo

Aturan pelaksanaan tentang perlakuan PPh atas Imbalan Natura/Kenikmatan akhirnya  diterbitkan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (selanjutnya disingkat dengan PP No.5 Tahun 2022). Dari segi waktu penerbitannya yang di penghujung tahun 2022 memang agak disayangkan mengingat berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ketentuan pemajakan atas natura/kenikmatan sudah berlaku sejak 1 Januari 2022. Namun demikian setidaknya pemenuhan kewajiban perpajakan tahun 2022 masih ada waktu 3 sampai 4 bulan ke depan.

Sudah tentu aturan ini sangat ditunggu-tunggu oleh Wajib Pajak, baik Pemberi Imbalan (Pemberi Kerja) maupun Penerima Imbalan (Pegawai), karena jika hanya mendasarkan pada ketentuan UU HPP, pemajakan atas natura/kenikmatan masih diliputi ketidak-jelasan. 

Pemahaman atas kejelasan yang diberikan oleh PP No. 5 Tahun 2022 sangat penting. Untuk itu di bawah ini diuraikan telaah atas perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan berdasarkan PP tersebut. Telaah dilakukan meliputi aspek Obyek Pajak, Penilaian dan Implikasi bagi Pemberi Kerja.

A. Objek Pajak Imbalan Natura/Kenikmatan

Seperti diketahui, objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan dibuat dengan pendekatan negative list yang mana objek pajaknya adalah yang tidak dikecualikan. Imbalan natura/kenikmatan yang dikecualikan diperjelas oleh PP No. 55 tahun 2022 yang penulis sajikan dengan tabel :

Penjelasan atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari huruf a sampai c pada dasarnya tidak berbeda dengan penegasan yang pernah diberikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebelum UU HPP, yaitu PMK No.167/PMK.03/2018.

Terkait dengan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai terdapat persoalan mengenai perlakuan atas makanan/minuman yang dikonsumsi dari kupon yang dikonsumsi bukan di tempat kerja oleh Pegawai selain bagian pemasaran, transportasi dan dinas luar lainnya? Berdasarkan ketentuan tekstual, maka atas kasus tersebut tetap tidak dikecualikan, alias kena pajak.

Jika benar demikian, dapat dinyatakan bahwa ketentuan ini kurang adil, dan karenanya hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan. Khusus tentang bahan makanan/minuman dengan batasan nilai tertentu yang dikecualikan sebagai objek pajak akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Berkenaan dengan ketentuan natura/kenikmatan di daerah tertentu tidak terdapat persoalan, malahan khusus tentang pengangkutan pegawai tidak lagi dibatasi hanya untuk penugasan pertama dan pada saat berakhirnya penugasan. Dengan demikian kenikmatan berupa fasilitas pengangkutan sehari-hari ke dan dari tempat kerja di daerah tertentu menjadi objek pajak yang dikecualikan. 

Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan juga pada umumnya mengacu kepada penegasan dalam PMK No.167/PMK.03/2018. Hal yang membedakan dalam PP No.55 Tahun 2022 adalah ditambahkannya kata “Kesehatan” selain keamanan dan keselamatan kerja. Untuk itu PP No. 55 tahun 2022 mengecualikan natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional” meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima Pegawai beserta anggota keluarganya berdasarkan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan antara lain berupa alat pendeteksi virus pandemi dan/atau vaksin beserta sarana penunjangnya.

Namun demikian terkait dengan Pengecualian objek pajak atas natura/kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan ini masih menyisakan persoalan, yaitu kalimat “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bagaimana Wajib Pajak mengetahui tentang “yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”? Akibatnya jika ternyata ada natura/kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan yang tidak diwajibkan oleh kementerian/Lembaga, maka pengecualiannya menjadi gugur. Termasuk dalam hal ini adalah fasilitas antar jemput pegawai yang mana sesungguhnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-220/PJ/2002 bukan merupakan objek pajak tanpa mengaitkan dengan kewajiban dari kementerian/lembaga.

Selain itu, pakaian seragam bagi pekerja di Bank atau perusahaan lainnya yang tidak terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja tentu saja masih menjadi persoalan tersendiri apabila tidak diwajibkan oleh kementerian/lembaga. Oleh karena itu hal ini merupakan persoalan yang harus dituntaskan melalui penegasan oleh Pemerintah.

Hal utama dan yang terpenting terkait dengan ketentuan objek pajak atas imbalan natura/kenikmatan adalah ketentuan huruf e, yaitu natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Sangat pentingnya ketentuan ini karena selain berimplikasi kepada ketentuan huruf a, b dan c di atas juga menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan, yaitu mencegah kurangnya penerimaan negara dari pilihan pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai yang terkena tarif PPh yang lebih tinggi dari tarif PPh Pemberi Kerja.

Dengan PP No. 55 Tahun 2022 ternyata persoalan ini belum dituntaskan dan masih harus menunggu PMK. Meski demikian dalam PP No. 55 tahun 2022 arahnya sudah terindikasi, yaitu dengan adanya kriteria penerima penggantian. Dengan adanya kriteria penerima penggantian diharapkan penerima penggantian yang masih terkena tarif rendah tidak perlu dikenakan pajak atas penerimaan natura/kenikmatannya. Selain itu, kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (contoh klinik buat pekerja) sebaiknya juga dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan penulis pada artikel sebelumnya.  

B. Penilaian imbalan natura/kenikmatan

Dengan PP No.55 tahun 2022 masalah nilai imbalan natura/kenikmatan menjadi lebih jelas, yaitu bahwa untuk natura harus dinilai dengan nilai pasar, sedangkan untuk kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan. Walaupun lebih jelas, namun tentu saja ketentuan nilai pasar menimbulkan ketidakpastian, sebab nilai pasar menurut siapa yang akan dipakai. Apakah harus berdasarkan Penilai professional (valuer/appraisal) ? 

Oleh karena itu sudah tepat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 huruf c PP No. 55 Tahun 2022 yang mana mengatur bahwa masalah penilaian akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Dengan nantinya penilaian diatur dalam Peraturan Menteri, maka seharusnya akan tercipta kepastian. Termasuk dalam hal ini adalah penilaian atas kenikmatan fasilitas klinik perusahaan yang apabila tidak dikecualikan (meski Penulis berharap dikecualikan) seharusnya dapat ditentukan secara adil, walau cenderung akan sulit ditentukan.

Demikian pula penilaian kenikmatan pemakaian kendaraan yang dimiliki perusahaan atau kendaraan yang disewa oleh perusahaan boleh jadi berbeda nilainya yang mana biaya atas kendaraan yang dimiliki perusahaan akan terdiri dari unsur depresiasi, Pajak Kendaraan Bermotor, asuransi, dan pemeliharaannya, sedangkan kendaraan yang disewa biayanya hanya sebesar nilai sewanya. Oleh karena itu sebaiknya dalam PMK nanti kasus seperti ini juga diatur.

C. Hubungan dengan PPh Pemberi Kerja

Aspek perlakuan pemajakan atas natura/kenikmatan tentu terkait dengan perlakuan biayanya bagi Pemberi kerja dan pemotongan pajaknya. Oleh karena itu pada bagian ini akan diuraikan perlakuannya menurut PP No.55 Tahun 2022 dan persoalan yang mungkin terjadi.

Meskipun pada Pasal 9 UU HPP biaya natura/kenikmatan bagi pekerja tidak lagi eksis, namun berdasarkan Pasal 32 C UU HPP, perlakuannya diatur lebih lanjut oleh PP No. 55 Tahun 2022 pada Pasal 23 ayat (2) yaitu bahwa biaya tersebut akan diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible) jika berkaitan dengan upaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M).

Sebelumnya, perlakuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan adalah deductible jika taxable pada pegawai (sesuai dengan kaidah deductibility-taxability), begitu pula sebaliknya jika non-taxable pada pegawai maka non-deductible pada Pemberi kerja.

Dengan adanya tambahan batasan 3M di atas, apakah dimungkinkan terjadi imbalannya taxable tapi non-deductible bagi Pemberi Kerja karena bukan dalam rangka 3M?  Jika terjadi maka Negara dapat dua penerimaan pajak, yaitu dari Pemberi Kerja dan dari Pegawai. Hal ini menarik mengingat bingkisan hari raya dan fasilitas peribadatan dapat dinyatakan sebagai bukan biaya 3M. Lebih lanjut, tentu akan muncul pertanyaan apakah pemberian hadiah pernikahan, kelahiran atau santunan duka kematian kepada pekerja merupakan biaya 3M ?  

Terakhir, terkait dengan ketentuan tahun pajak atas natura/kenikmatan  bagi Pemberi kerja, objek pajak pada pegawai dan pemotongan PPh Pasal 21-nya dalam masa peralihan diatur perlakuannya diatur dalam Pasal 73 yaitu bahwa ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan sesuai UU HPP adalah :

a. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; dan

b. bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Hal ini berarti bahwa pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2021 yang di dalamnya termasuk bulan-bulan tahun 2022 (contoh tahun buku Juli 2021 s.d. Juni 2022, Juni 2021 s.d. Mei 2022, Mei 2021 s.d. April 2022, April 2021 s.d. Maret 2022, Maret 2021 s.d. Februari 2022, atau Februari 2021 s.d. Januari 2022.) belum berlaku ketentuan pemajakan atas imbalan natura/kenikmatan  yang baru (masih berlaku ketentuan lama). Dengan kata lain atas penghasilan natura/kenikmatan dari Pemberi kerja pada tahun pajak 2021 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2022 belum merupakan objek pajak, meski diterima dalam bulan-bulan tahun 2022.

Konsekuensi logisnya, pada Januari 2022 s.d. Juni 2022 biaya natura/kenikmatan masih non-deductible bagi Pemberi kerja. Sejak dimulainya tahun pajak 2022 barulah perlakuan pemajakan yang baru berlaku. Jadi jika tahun bukunya Juli s.d. Juni tahun berikutnya, maka untuk tahun pajak 2022 yang dimulai sejak Juli 2022 s.d. Juni 2023 mulai berlaku ketentuan baru, yaitu bahwa natura/kenikmatan menjadi objek pajak mulai Juli 2022. 

Berbeda halnya pada kasus pegawai yang bekerja pada Pemberi kerja dalam tahun pajak 2022 yang di dalamnya terdapat bulan-bulan tahun 2021 (Agustus 2021 s.d. July 2022, September 2021 s.d. Agustus 2022, Oktober 2021 s.d. September 2022, November 2021 s.d. Oktober 2022, dan December 2021 s.d. Nopember 2022) yang mana ketentuan pemajakan baru berlaku mulai 1 Januari 2022. Sebagai konsekuensi logisnya, maka atas bulan-bulan tahun 2021 masih belum taxable pada pegawai dan belum deductible bagi Pemberi kerja.

Suatu hal yang menarik lainnya adalah bahwa ketentuan Pasal 73 juga mengatur bahwa kewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas natura/kenikmatan bagi pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023, sekalipun atas natura/kenikmatan tersebut sudah menjadi objek pajak sejak 1 Januari 2022.

Dengan demikian atas penghasilan natura/kenikmatan yang sudah menjadi objek pajak sebelum 1 Januari 2023 harus dilaporkan/diperhitungkan dalam perhitungan PPh Orang Pribadi (OP) Pegawai yang bersangkutan.

Hal ini secara administratif menimbulkan persoalan tersendiri, karena Pemberi kerja harus bisa menilai natura/kenikmatan yang diberikan untuk diinformasikan kepada pegawainya. Tentu saja persoalan ini tidak akan terpecahkan jika PMK-PMK terkait penilaian dan batasan serta jenis natura/kenikmatan yang dikecualikan belum diterbitkan. 

Selain itu, dikarenakan selama tahun 2022 Pemberi kerja belum melakukan pemotongan, maka sudah pasti bagi Pegawai penerima natura/kenikmatan akan mengalami kurang bayar dalam penghitungan PPh OP tahun 2022.

Selanjutnya akan juga muncul persoalan berikutnya, yaitu apakah dengan demikian akan muncul kewajiban angsuran PPh Pasal 25 setelah SPT OP tahun 2022 disampaikan? Masalahnya penghasilan natura/kenikmatan tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai penghasilan tidak teratur, dan apabila dibayar PPh Pasal 25 maka akan terjadi lebih bayar pada SPT OP tahun 2023 (sebab sejak tahun 2023 atas natura tersebut sudah dilakukan pemotongan pajak oleh Pemberi kerja).

Persoalan ini tentu harus dicarikan jalan keluarnya melalui penegasan oleh Pemerintah bahwa atas penghasilan natura/kenikmatan tahun 2022 tidak perlu diperhitungkan dalam penghitungan PPh Pasal 25.

D. Simpulan dan Saran

PP No. 55 tahun 2022 sudah memperjelas hal-hal yang belum jelas sebelumnya, namun penjelasannya belum tuntas dan membutuhkan penuntasan melalui penerbitan PMK-PMK sebagaimana diamanatkan oleh PP tersebut.

Mengingat batas penyampaian SPT OP kian mendekat, maka penerbitan PMK sebelum batas waktu penyampaian SPT OP amat sangat disarankan. Tentu akan sangat lebih baik jika penerbitannya jauh sebelum batas waktu penyampaian SPT OP guna memberikan kecukupan waktu bagi Pemberi kerja melakukan penilaian dan bagi OP yang bersangkutan memperhitungkannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 003244

 

Tinjauan atas Penerapan Prinsip “Substance-Over-Form” Sebagai Aturan Umum Pencegahan Penghindaran Pajak

Oleh: Nalphian Seotang 

A. Kondisi saat ini mengenai aturan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia 

Sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak telah dilengkapi dengan seperangkat aturan yang memberikan mereka kewenangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak. Seperangkat aturan tersebut tertuang di dalam Pasal 18 UU PPh. 

Seiring dengan perubahan UU PPh yang sudah dilakukan sebanyak tujuh kali sejak tahun 1983 hingga sekarang, ketentuan di dalam Pasal 18 pun turut berkembang. Ini berarti bahwa aturan penghindaran pajak berganda di Indonesia juga turut berkembang. Pada awalnya, Pasal 18 hanya terdiri dari 4 ayat. Sekarang, berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 18 terdiri dari 8 ayat. 

Mayoritas dari ketentuan di Pasal 18 UU PPh pun telah diatur lebih lanjut di dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Seperti contohnya:

(i) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 169 Tahun 2015 tentang debt-to-equity ratio untuk keperluan perpajakan ;

(ii) Ketentuan Pasal 18 ayat (2) telah diatur lebih lanjut dalam PMK 17 Tahun 2017 tentang deemed dividends dari controlled foreign corporations ; dan

(iii) Ketentuan Pasal 18 ayat (3) telah diatur lebih lanjut dalam seperangkat Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen Pajak terkait dengan transfer pricing.

Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak sudah bisa mengimplementasikan aturan-aturan tersebut di lapangan untuk memberantas praktik-praktik penghindaran pajak karena telah ada aturan pelaksananya.

Namun, menarik untuk dicatat bahwa semua aturan di dalam ketentuan Pasal 18 UU PPh merupakan aturan-aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat spesifik, atau biasanya dikenal dengan sebutan specific anti-avoidance rule. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Aturan Pajak Penghasilan (PP No. 55 Tahun 2022) berlaku, sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia belum pernah memiliki aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum (general anti-avoidance rule). 

Aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia tersebut dikatakan bersifat spesifik, karena mereka hanya ditujukan untuk memberantas praktik penghindaran pajak spesifik yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu atau melalui skema transaksi tertentu. 

Terdapat rambu-rambu yang jelas di dalam aturan tersebut seperti mengenai apa saja yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan.  

Namun sayangnya, dalam beberapa kesempatan, aturan yang bersifat spesifik tidaklah efektif untuk memberantas atau mencegah praktik penghindaran pajak yang cenderung selalu berkembang. Direktur jJenderal pPajak tidak dapat mencegah praktik-praktik penghindaran pajak tersebut, karena mereka tidak dapat dijaring oleh unsur-unsur dalam aturan-aturan spesifik yang sudah ada. 

Perlunya aturan umum pencegahan penghindaran pajak 

Para penghindar pajak cenderung akan selalu mencoba mencari cara yang kreatif untuk mengakali aturan-aturan yang spesifik tersebut. Ironis, semakin jelas rambu-rambu itu disebutkan di dalam suatu aturan, maka semakin jelas juga bagi para penghindar pajak untuk menggambarkan mengenai kondisi-kondisi di mana perbuatan mereka nantinya tidak akan dianggap sebagai praktik penghindaran pajak karena telah melaksanakan sesuai konteks aturan yang ada.

Kondisi ini tentunya sangat dimanfaatkan para penghindar pajak, khususnya untuk terus menemukan cara bagaimana mereka harus mengakalinya. 

Mengingat kelemahan yang dimiliki oleh aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, maka diperlukan suatu aturan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum. Dalam hal ini, “umum” memiliki arti bahwa unsur-unsur yang menjadi pembentuk aturan tersebut tidaklah dirumuskan secara spesifik sehingga keberlakuannya lebih bisa luwes. Oleh sebab itu, melalui Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022, pemerintah memberikan wewenang tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 20 Desember 2022.

Dalam ketentuan tersebut, Direktur jJenderal Pajak diberikan wewenang untuk menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance-over-form). Wewenang ini dapat diterapkan ketika semua aturan spesifik penghindaran pajak tidak efektif untuk mencegah suatu praktik penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan bunyi ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022:

“Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.”

Karena ketentuan di dalam Pasal 32 ayat (4) PP No. 55 Tahun 2022 ini berpedoman hanya pada suatu prinsip dan berfungsi sebagai upaya terakhir (last resort) untuk mencegah penghindaran pajak ketika aturan-aturan yang bersifat spesifik tidak lagi efektif, ketentuan ini dapat disebut sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Kemudian, penerapan prinsip substance-over-form menjadi suatu norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagai aturan umum pencegahan, atau penghindaran pajak adalah hal yang menarik untuk ditinjau lebih lanjut. 

Perlu dicatat bahwa sebelum PP No. 55 Tahun 2022 berlaku, prinsip tersebut pernah diterapkan sebagai dasar penerapan manfaat yang diberikan oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa dalam hal substansi ekonomi suatu transaksi berbeda dengan bentuk hukumnya, maka penerapan P3B harus didasarkan pada substansi ekonominya. Namun, ketentuan tersebut khusus diberlakukan spesifik untuk penerapan P3B saja dan tidak dalam hal lainnya.  

Berikut ini adalah uraian tinjauan umum dari sudut pandang hukum atas penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak.

  1. Tinjauan dari perspektif penegakan hukum 

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf a PMK 17 Tahun 2013, diatur bahwa temuan hasil pemeriksaan pajak harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Pada dasarnya, ketentuan di atas bertujuan untuk menjamin agar temuan-temuan pemeriksaan yang dikenakan oleh Direktur Jenderal Pajak harus didasarkan pada ketentuan yang jelas diatur secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hak-hak wajib pajak dapat dijamin. 

Kemudian, Direktur Jenderal Pajak dilarang untuk membuat temuan hasil pemeriksaan berdasarkan subjektivitas pemeriksa, termasuk berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Jadi, dengan berlakunya PP No. 55 Tahun 2022, prinsip substance-over-form tidak lagi merupakan prinsip yang bersifat tidak tertulis yang bisa dipertanyakan legalitasnya, jika digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar hukum dalam membuat temuan pemeriksaan. 

Dengan demikian, PP No. 55 Tahun 2022 memberikan landasan hukum yang tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga prinsip substance-over-form dapat digunakan sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. 

Dari sudut pandang penegakan hukum pajak, dengan diterapkannya prinsip substance-over-form menjadi norma tertulis di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Direktur Jjenderal pPajak seakan-akan diberikan “senjata terakhir” untuk bisa memberantas praktik penghindaran pajak yang dapat digunakan, khususnya mana kala aturan-aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak tidak lagi efektif untuk digunakan. 

Diharapkan dengan diberikannya kewenangan tambahan ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menciptakan level playing field untuk semua wajib pajak. Sehingga setiap wajib pajak nantinya akan membayar kewajibannya sesuai dengan proporsi yang adil dan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Jadi, idealnya tidak ada lagi wajib pajak yang membayar pajak lebih kecil dari yang seharusnya, karena memang itu yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, bukan karena mereka (wajib pajak) mampu merekrut ahli-ahli perpajakan dan itu bisa membantu untuk menghindar dari kewajibannya dan bahkan mengakali peraturan yang berlaku.

  1. Tinjauan dari perspektif kepastian hukum

Selain dari aspek penegakan hukum, terdapat juga aspek kepastian hukum yang layak untuk ditinjau terkait penerapan prinsip ini.

Di satu sisi, kejelasan perumusan unsur-unsur di dalam suatu norma tertulis adalah penting demi tercapainya kepastian hukum terkait penerapan norma tersebut. Karakteristik dari aturan spesifik pencegahan penghindaran pajak, yang menguraikan dengan rinci kondisi-kondisi seperti apa yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak yang dilarang, cenderung lebih bisa memenuhi tujuan kepastian hukum daripada aturan yang bersifat umum. 

Namun di sisi lain, dengan semakin jelas dirumuskannya unsur-unsur suatu norma tertulis, maka norma tersebut akan semakin kaku dan sulit untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal penghindaran pajak, aturan itu semakin kaku dan sulit untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang akan terus berkembang. 

Di sinilah letak diperlukannya aturan umum pencegahan penghindaran pajak, yang seharusnya lebih luwes untuk mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.  

Sayangnya, sifat “umum” dan “luwes” dari aturan umum dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak patut diduga akan bervariasi nantinya ketika diimplementasikan. Terdapat kemungkinan bahwa (i) antara wajib pajak yang satu dengan wajib pajak yang lain, (ii) antara wajib pajak dengan petugas pajak, atau (iii) antara petugas pajak yang satu dengan petugas pajak yang lain akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda apakah suatu transaksi dapat dikatakan sebagai praktik penghindaran pajak berdasarkan prinsip substance-over-form. 

Oleh karena hal di atas, peraturan yang akan diterbitkan Menteri Keuangan untuk mengatur tata cara penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak adalah sangat penting. Peraturan tersebutlah yang seharusnya menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan mencegah Direktur Jenderal Pajak menyalahgunakan kewenangannya. 

Sebagaimana diatur oleh Pasal 44 PP No. 55 Tahun 2022, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak harus dilakukan dengan memperhatikan:

  1. Batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan;
  2. Kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak;
  3. Tahap pengujian formil dan materiil;
  4. Mekanisme penjaminan kualitas; dan/atau
  5. Perlindungan hak wajib pajak, serta penerapannya harus dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. 

Ketentuan-ketentuan tersebut akan dicakup dalam peraturan menteri keuangan. Diharapkan menteri keuangan dapat menerbitkan peraturan yang di satu sisi dapat menjamin kepastian hukum untuk wajib pajak, namun di sisi lain tidak menghilangkan sifat “umum” dari aturan ini agar efektif untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak yang cenderung terus berevolusi. 

  1. Tinjauan dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan

Poin terakhir yang layak untuk ditinjau adalah dari sudut pandang pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Menarik untuk dicatat bahwa batang tubuh UU PPh sama sekali tidak menyebutkan mengenai pemberlakuan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Frasa “prinsip substance-over-form” hanya muncul pada penjelasan Pasal 18 UU PPh, dan penjelasan tersebut juga tidak menyebutkan penggunaan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak. 

Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan Pasal 18:

“Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya”.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  (UU P3), hierarki suatu undang-undang adalah lebih tinggi daripada hierarki suatu peraturan pemerintah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. 

Ini artinya materi muatan dari peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dari undang-undang yang menaunginya. 

Pasal 9 ayat (2) UU P3 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi jika diduga ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Berdasarkan hal di atas, patut untuk diteliti lebih lanjut apakah penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan pencegahan penghindaran pajak di dalam PP No. 55 Tahun 2022 dapat dianggap bertentangan dengan UU PPh karena memuat norma yang lebih luas dari yang diatur dalam UU PPh, sehingga ketentuan itu seharusnya tidak memiliki daya keberlakuan. 

Jika memang demikian, terdapat risiko ketentuan tersebut akan dinyatakan tidak berlaku jika ketentuan itu diuji materikan di Mahkamah Agung. 

  1. Kesimpulan

Dengan demikian, penerapan prinsip substance-over-form sebagai aturan umum pencegahan penghindaran pajak membuka babak baru di dunia perpajakan Indonesia. Sepanjang pengetahuan penulis, sebelumnya Indonesia belum pernah memiliki aturan umum pencegahan penghindaran pajak. 

Maka, dengan diberlakukannya prinsip ini sebagai norma tertulis untuk mengecah praktik penghindaran pajak, Direktur jJenderal Pajak semakin diperkuat dengan diberikan landasan hukum yang jelas untuk menegakkan peraturan perpajakan. 

Namun demikian, kepastian hukum dari penerapan prinsip ini perlu juga dijaga. Peraturan yang nantinya akan diterbitkan oleh menteri keuangan menjadi krusial karena di dalam peraturan tersebut menteri keuangan harus menjaga keseimbangan atara wewenang Direktur Jenderal Pajak dan hak-hak wajib pajak. 

Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat menjaga agar wajib pajak mendapatkan kepastian hukum, dan di sisi lain peraturan ini diharapkan dapat merealisasikan agar pencegahan atau penghindaran pajak menjadi efektif tanpa adanya penyalahgunaan wewenang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Terakhir, terdapat aspek pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu diteliti lebih lanjut terkait penerapan prinsip substance-over-form tersebut di dalam PP No. 55 Tahun 2022, yakni apakah penerapan tersebut bertentangan dengan UU PPh. 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap asosiasi tempat penulis bernaung.

*) Penulis adalah konsultan pajak terdaftar yang tergabung dalam asosiasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) NRA 002902.

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Jakarta: Kamis 29 September 2022

Pada tanggal 29 Oktober 2021 pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang selanjutnya disebut UU HPP. Dalam UU HPP mengatur: pertama, perubahan UU KUP; kedua, perubahan UU PPh; ketiga, perubahan UU PPN; keempat, mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak; kelima, mengatur mengenai Pajak Karbon; dan keenam, mengatur perubahan UU Cukai.

Dalam UU HPP, judul untuk perubahan UU KUP, UU PPh, dan UU PPN secara substansi menyatakan bahwa “UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah adalah UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Dimana menyebutkan:  UU Nomor 16 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU KUP, UU  Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPh, dan menyebutkan UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPN. Padahal sebelum lahirnya UU HPP, UU Cipta Kerja adalah perubahan terakhir untuk UU KUP, UU PPh, dan UU PPN.

Judul dalam Pasal 2 UU HPP ini sama persis dengan judul yang dicantumkan dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana keberlakuan atas Pasal UU KUP yang telah diubah di UU Cipta Kerja, namun tidak diubah oleh UU HPP?

Dalam penafsiran hukum, judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP akan bermakna bahwa “UU HPP mengubah UU KUP yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, sehingga tidak termasuk UU KUP yang telah diubah dengan Pasal 113 UU Cipta Kerja.

Sesuai asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, maka undang-undang yang terakhir membatalkan undang-undang sebelumnya dalam hal mengatur hal yang sama. Karena Pasal 2 UU HPP dan Pasal 113 UU Cipta Kerja sama-sama “mengubah UU KUP dan perubahannya, yang perubahan terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, maka sesuai dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dapat ditafsirkan bahwa “Pasal 2 UU HPP yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 membatalkan Pasal 113 UU Cipta Kerja yang diundangkan pada tanggal 2 November 2020”. Pasal 2 UU HPP berpotensi ditafsirkan membatalkan keberlakuan perubahan UU KUP dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, rumusan judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP telah menimbulkan kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi dalam negeri.

Kekaburan hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP, karena judul perubahan UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja. Kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPN dalam Pasal 4 UU HPP, karena judulnya sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja.

Kekaburan hukum yang terjadi dalam UU HPP untuk klaster perpajakan sedikit mendapat koreksi dengan adanya pengaturan dalam ketentuan penutup di Pasal 16 huruf f UU HPP yang mengatur bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU HPP atau belum diganti berdasarkan UU HPP.

Dunia usaha tentu sangat membutuhkan kepastian hukum yang tidak menimbulkan multitafsir atas keberlakuan perubahan terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang tidak diubah oleh UU HPP. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan mencegah potensi multitafsir, dipandang perlu pemerintah mempertimbangkan untuk “membuat perubahan terhadap Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP” dengan mengubah judul dalam ketiga pasal tersebut dengan mencantumkan UU Cipta Kerja sebagai UU perubahan terakhir terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah oleh UU HPP. Secara pararel, perbaikan perubahan juga perlu dilakukan terhadap Pasal 1 ayat (3) UU HPP karena materi muatannya sama persis dengan judul dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP.

Pemerintah dapat mempertimbangkan cara tercepat untuk melakukan perbaikan dengan cara pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Baru kemudian Perppu tersebut disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang.


(Disclaimer: Artikel ini bukan dasar hukum)

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

id_ID