IKPI, Jalarta: EU-ASEAN Business Council merekomendasikan agar Indonesia menerapkan standar pelabelan di industri makanan dan minuman sebagai alternatif kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Langkah ini dinilai lebih efektif dalam membantu konsumen membuat pilihan sehat sekaligus mengurangi hambatan perdagangan di kawasan ASEAN.
Saat ini, regulasi pelabelan di negara-negara ASEAN masih beragam, seperti skema Nutri-Grade di Singapura dan Healthier Choice di Indonesia, Malaysia, serta Brunei. Perbedaan standar ini menyulitkan produsen dalam memasarkan produk secara regional. Harmonisasi pelabelan dinilai menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan pendekatan fiskal seperti cukai minuman berpemanis yang dianggap berisiko menambah beban kelompok berpenghasilan rendah.
Menanggapi hal ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 telah membuka peluang untuk menyusun regulasi terkait MBDK. Namun, pihaknya akan mempertimbangkan kondisi ekonomi sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
“Tentunya masalah penerapan cukai MBDK harus melihat situasi ekonomi yang terjadi. Pertimbangannya banyak, tidak semata-mata target penerimaan, tetapi juga memperhatikan daya beli masyarakat serta kondisi industri makanan dan minuman,” ujar Nirwala, Jumat (28/3/2025).
Pengamat Ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pancasetia, Ros Nirwana, menilai bahwa penerapan sistem pelabelan yang lebih ketat dapat berdampak positif bagi investor asing yang berkomitmen pada kesehatan dan keberlanjutan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan cukai berisiko meningkatkan biaya hidup dan menurunkan daya saing produsen.
“Cukai bisa memengaruhi harga produk yang akhirnya berdampak pada konsumen dan penjualan industri secara keseluruhan. Bahkan, berpotensi meningkatkan penyelundupan dan pemalsuan produk,” jelas Ros.
Sementara itu, pelaku industri makanan dan minuman menolak wacana pengenaan cukai pada MBDK. Head of Strategic Marketing Nutrifood, Susana, menilai kebijakan tersebut dapat menurunkan penjualan dan memperburuk kondisi industri yang tengah menghadapi tantangan ekonomi.
“Jika harga naik, konsumen yang terpengaruh, penjualan bisa turun, dan itu berdampak negatif ke industri maupun perekonomian nasional,” ujar Susana.
Ia juga berharap pelaku industri dilibatkan dalam penentuan teknis kebijakan ini, termasuk penetapan batas kadar gula dan rincian regulasi yang akan diterapkan.
“Kami berharap ada kejelasan terkait tujuan kebijakan ini, apakah benar efektif dalam menurunkan kasus penyakit tidak menular (PTM) atau tidak,” tegasnya. (alf)