RPMK Syaratkan Kuasa Hukum Pengadilan Pajak Miliki SKK atau Izin KP 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyusun aturan baru yang bakal memperketat syarat menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Ketentuan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Sebagai Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, yang akan menggantikan PMK 184/2017.

Langkah ini diambil untuk meningkatkan kualitas perwakilan hukum di Pengadilan Pajak sekaligus memberi perlindungan lebih bagi pencari keadilan. “Penyempurnaan ini dimaksudkan agar penyelesaian sengketa perpajakan bisa berjalan lebih efektif dan cepat,” ujar Sekretaris Pengganti Sekretariat Pengadilan Pajak, Roni Ziyardi Yasmi dalam forum meaningful participation RPMK, Kamis (19/6/2025).

Dua Syarat Tambahan Penentu Kompetensi

RPMK ini menegaskan bahwa pengetahuan dan keahlian perpajakan seorang kuasa hukum harus dibuktikan melalui salah satu dari dua cara: memiliki Surat Keterangan Kompetensi (SKK) atau izin praktik konsultan pajak (KP).

“SKK dan izin praktik itu sifatnya pilihan. Keduanya bisa menjadi dasar untuk menjadi kuasa hukum,” jelas Roni.

Untuk kuasa hukum di bidang kepabeanan dan cukai, dibutuhkan tambahan sertifikat keahlian khusus. Baik SKK maupun sertifikat keahlian kepabeanan akan diterbitkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu.

Selain itu, pengalaman kerja juga menjadi indikator penting. Seorang kuasa hukum harus pernah bekerja di bidang perpajakan, akuntansi, atau hukum selama dua tahun dalam lima tahun terakhir. Untuk bidang kepabeanan dan cukai, pengalaman di sektor tersebut juga wajib dibuktikan.

“Pengalaman itu harus didukung surat resmi dari instansi atau lembaga terkait. Harapannya, profesionalisme kuasa hukum makin terjamin,” ucap Roni.

Syarat Lain dan Pembagian Izin Bertingkat

RPMK ini juga memuat sejumlah persyaratan tambahan bagi calon kuasa hukum, di antaranya:

• Bukan anggota keluarga dekat, pegawai, atau pengampu pihak terkait;

• Lulusan sarjana atau diploma IV dari perguruan tinggi terakreditasi;

• Terdaftar sebagai wajib pajak dan taat pajak;

• Berperilaku baik dan tidak pernah dihukum pidana berat;

• Bukan ASN atau pejabat negara;

• Menjunjung kejujuran, integritas, dan keadilan;

• Bersedia membuat akun dan menggunakan sistem e-Tax Court.

Menariknya, RPMK ini juga memperkenalkan sistem leveling untuk kuasa hukum pajak, yakni tingkat A, B, dan C, yang didasarkan pada tingkat keahlian. Namun untuk kuasa hukum kepabeanan dan cukai, tidak ada pembagian tingkatan.

“Izin tingkat A itu semacam representasi brevet A. Jadi akan lebih terukur siapa menangani perkara di level apa,” kata Roni.

Izin Lama Masih Berlaku

Bagi kuasa hukum yang sudah mengajukan permohonan sebelum RPMK baru berlaku, pengajuan tetap akan diproses berdasarkan ketentuan lama, yakni PMK 184/2017. Izin yang sudah terbit pun dinyatakan masih sah hingga masa berlakunya habis.

Pada masa transisi, seluruh izin kuasa hukum pajak yang sudah terbit dianggap sebagai tingkat tertinggi, yakni level C. “Jadi semua kuasa hukum yang sudah berizin tetap bisa menangani seluruh jenis sengketa pajak,” tambah Roni.

RPMK juga memberikan kelonggaran jika SKK belum bisa diterbitkan BPPK. Dalam hal ini, pengetahuan dan keahlian perpajakan dapat dibuktikan melalui ijazah bidang fiskal, akuntansi, atau perpajakan, sertifikat brevet, atau pengalaman kerja di instansi pemerintah terkait.

Namun ada konsekuensi baru: jika dalam waktu 30 hari sejak PMK berlaku kuasa hukum belum membuat akun e-Tax Court, maka izin bisa dicabut.

Menuju Sistem Peradilan Pajak yang Lebih Modern

Dengan revisi aturan ini, Kemenkeu berharap ekosistem hukum di Pengadilan Pajak semakin profesional, terukur, dan akuntabel. Transformasi ini juga dianggap sejalan dengan digitalisasi sistem peradilan melalui e-Tax Court.

“Semangatnya bukan membatasi, tapi justru memperkuat perlindungan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam sengketa pajak,” pungkas Roni. (alf)

 

id_ID