IKPI, Jakarta: Wacana legalisasi kasino kembali mencuat ke permukaan, kali ini disuarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian serius terhadap kemungkinan membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, dengan merujuk pada pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia.
Menurut Hikmahanto, pemerintah harus membuka mata terhadap realitas perputaran uang dalam aktivitas perjudian, terutama judi online yang marak dilakukan secara ilegal. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa aliran dana judi online sangat besar, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar yang telah melegalkan kasino secara terbuka.
“Ada tiga hal penting yang perlu diasesmen pemerintah. Pertama, soal besarnya perputaran uang judi online di luar negeri. Kedua, soal realita bahwa masyarakat kita masih belum bisa melepaskan diri dari praktik judi, meskipun secara normatif dilarang. Dan ketiga, soal penegakan hukum, yang hingga kini lemah karena lokasinya berada di luar yurisdiksi kita,” ujar Hikmahanto, Sabtu (17/5/2025).
Ia menekankan bahwa legalisasi kasino bukan berarti melegalkan perjudian secara bebas. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengadopsi pendekatan seperti Malaysia atau Singapura yang hanya membuka kasino di kawasan tertentu dengan pengawasan ketat. “Di Singapura, warga negaranya sendiri harus memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke kasino. Pendekatan ini bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia,” jelasnya.
Dari sisi fiskal, pembukaan kasino di kawasan ekonomi khusus dapat menjadi sumber pemasukan baru melalui pungutan pajak dan retribusi. Hikmahanto mengusulkan agar dana yang diperoleh diarahkan untuk program-program pembangunan, namun tidak menyentuh sektor-sektor sensitif yang berkaitan dengan agama atau moralitas.
“Jika negara bisa mengatur dan menarik pajak dari aktivitas ini, mengapa tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat? Apalagi selama ini judi ilegal justru merajalela dan tidak menyumbang apa pun ke kas negara,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah toleransi terhadap perjudian terbatas, seperti melalui program Porkas dan SDSB pada era Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, pemasukan dari aktivitas tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum.
Hikmahanto menekankan pentingnya keberanian politik pemerintah untuk bersikap realistis dan solutif. “Uni Emirat Arab saja yang melarang judi bisa membuka kasino dalam kawasan khusus. Indonesia seharusnya juga bisa membuat kebijakan yang rasional, tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar bangsa. Yang penting, ilegalitas harus diberantas dan pajaknya dimanfaatkan sebaik mungkin,” tegasnya.
Dengan potensi devisa dan penerimaan pajak yang signifikan, legalisasi kasino di wilayah terbatas bisa menjadi solusi pragmatis, asalkan dilengkapi dengan pengawasan ketat, aturan yang jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif perjudian. (alf)