Gugatan di Pengadilan Pajak dalam perspektif Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024

Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2024 Tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2024 yang salah satu tujuannya untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi keputusan.

Pada lampiran di bagian E Hasil Rumusan Kamar Tata Usaha Negara di poin nomor 4 Sengketa Pajak huruf b “ Upaya Hukum bagi Wajib Pajak yang Tidak Puas Terhadap Materi/Isi Ketetapan Jumlah Pajak “ disebutkan ………………………

Upaya hukum bagi wajib pajak yang tidak puas terhadap isi/materi ketetapan jumlah pajak adalah melalui keberatan/banding berdasarkan Pasal 25 jo Pasal 27 UU KUP . Pemeriksaan tentang kewenangan, prosedur dan/atau pelaksanaan penerbitan putusan atau ketetapan pajak dan semua keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 diajukan melalui gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP

Perlu diketahui bahwa pengajuan gugatan khusus yang menyangkut penerbitan putusan atau ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedur sudah diatur berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d jo Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, misalnya untuk penerbitan SKP ataupun Surat Keberatan yang tidak sesuai prosedur.

Dalam SEMA No.2 Tahun 2024 ini lebih menekankan pada pengajuan gugatan atas Surat Keputusan Pajak (SKP) yang mengandung ketidakpuasan isi/materi berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (2) huruf b UU KUP supaya terdapat suatu pedoman bagi para Majelis dalam memutus suatu perkara gugatan di Pengadilan Pajak.

Penegasan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Pajak diatas dapat dimaknai bahwa sejak SEMA ini ditetapkan maka hasil putusan atas setiap gugatan terhadap SKP berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf b UU KUP yang mengandung materi (diluar prosedur penerbitan) akan ditolak.

Sebelumya dapat ditemukan banyak putusan Pengadilan terkait gugatan berdasarkann Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang mengandung isi/ materi telah dikabulkan Majelis, sehingga praktis putusan yang diucapkan setelah SEMA ini ditetapkan akan menolak semua gugatan terhadap Surat Ketetapan Pajak yang mengandung materi.

Selanjutnya timbul pertanyaan, akankah kedepannya berimplikasi atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan berdasarkann Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung materi (sengketa) tersebut ? Sebagaimana diketahui terdapat beberapa putusan atas gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan yang mengandung materi (sengketa) dibahas materinya oleh Majelis, bahkan ada yang dikabulkan.

Lalu bagaimana halnya apabila gugatan dilakukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan (misal STP) berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 (1) huruf a, huruf c UU KUP terkait pengurangan/ penghapusan sangsi administrasi dan pengurangan/ pembatalan STP apakah juga berimplikasi sehubungan ditetapkannya SEMA No.2 Tahun 2024 ini, seperti apa implikasinya ?

Mengacu pada Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yang menjadi dasar dilakukan gugatan apabila timbulnya dua keputusan yaitu keputusan perpajakan dan keputusan pelaksanaan keputusan perpajakan, lalu UU Pengaadilan Pajak dan Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-07/PP/2018 , Pengadilan Pajak hanya berwenang untuk memeriksa prosedur penerbitan Surat Keputusan, bukan materi atau isi SKP. Pengadilan Pajak memastikan seluruh prosedur pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan

Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP memberikan kewenangan diskresioner kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menunjukkan kewenangan diskresioner tersebut. Kewenangan ini juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak, telah ditentukan perbedaan yang tegas antara upaya hukum banding dan gugatan. Banding merupakan upaya hukum yang diajukan terhadap Keputusan Keberatan atau keputusan lain yang dapat diajukan banding sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perpajakan. Adapun gugatan adalah upaya hukum yang diajukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan tertentu yang secara eksplisit dapat digugat berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan;

Berdasarkan UU Pengadilan Pajak dan UU KUP, banding merupakan upaya hukum utama yang ditujukan untuk menyelesaikan perselisihan materi atas ketetapan pajak. Dengan kata lain, jika Wajib Pajak tidak setuju atas jumlah, dasar pengenaan, atau kewajiban perpajakan yang ditetapkan dalam SKPN, saluran yang semestinya digunakan adalah melalui pengajuan keberatan terlebih dahulu, dan apabila tidak puas terhadap keputusan keberatan tersebut, barulah diajukan banding ke Pengadilan Pajak;

Gugatan menurut Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan UU Pengadilan Pajak pada prinsipnya diperuntukkan bagi pengujian atas prosedur penerbitan keputusan tertentu, tindakan penagihan, atau keputusan lain yang dapat digugat secara administrasi, bukan untuk menilai ulang substansi atau materi pokok suatu ketetapan pajak. Dengan demikian, Gugatan tidak diperuntukkan untuk membahas materi utang pajak atau SKP secara substansial;

Proses hukum pajak mengutamakan kepastian hukum dan kemanfaatan. UU Pengadilan Pajak menekankan penyelesaian sengketa pajak secara cepat, sederhana, efisien, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan mengenai batas waktu pengajuan Banding (3 bulan) dan Gugatan (30 hari atau 14 hari) telah ditetapkan secara tegas, termasuk pengaturan kewenangan dan ruang lingkup masing-masing upaya hukum;

bahwa dengan membiarkan materi sengketa pajak dibawa ke ranah Gugatan, maka kepastian hukum akan terganggu. Gugatan yang pada dasarnya ditujukan untuk memeriksa prosedur akan berubah menjadi forum untuk menguji materi ketetapan pajak, mengacaukan sistem penanganan sengketa pajak yang telah diatur dengan rinci. Hal ini dapat menyebabkan sengketa berlarut-larut, mengaburkan fungsi utama banding, serta menghambat kepastian dan kelancaran penerimaan negara;

Menimbang bahwa penyelesaian materi melalui Gugatan akan berakibat pada tereduksinya fungsi dan nilai upaya hukum keberatan dan banding. Banding telah ditentukan sebagai upaya hukum utama untuk menyelesaikan perselisihan materi, karena di dalam proses banding terdapat jangka waktu dan prosedur yang memungkinkan materi ketetapan pajak dipertimbangkan secara komprehensif. Sedangkan Gugatan dengan jangka waktu dan lingkup yang terbatas, serta tidak adanya penangguhan jatuh tempo utang pajak, tidak dirancang untuk menyelesaikan sengketa materi;

bahwa selain itu, sistem pajak menganut self assessment, di mana tanggung jawab penghitungan dan pembayaran pajak berada pada Wajib Pajak, dan koreksi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak menjadi objek utama penyelesaian melalui keberatan dan banding. Apabila materi ini dibawa ke jalur Gugatan, maka upaya hukum yang telah dirancang dalam sistem hukum pajak untuk menjaga keseimbangan dan kepastian akan terganggu;

tujuan pembedaan upaya hukum gugatan dan banding telah dinyatakan Pasal 36 ayat (1) Huruf b UU KUP yang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan suatu surat ketetapan pajak yang tidak benar, sehingga Pengadilan Pajak tidak dapat melakukan pemeriksaan atas materi pajak dalam upaya hukum Gugatan;

Majelis hanya memastikan sepanjang pihak Tergugat sudah menyelenggarakan proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maka tidak terdapat cacat prosedur yang dapat dibebankan kepada Tergugat. Di sisi lainm perlunya bukti kuat dari Penggugat untuk mendukung dalilnya apabila ditengarai adanya prosedur penerbitan yang dilanggar , tidak sesuai dengan ketentuang perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal Penggugat tidak melakukan upaya hukum keberatan untuk menyatakan ketidaksetujuannya atas materi koreksi suatu SKP, Majelis dapat menilai tidak dilakukannya upaya hukum dalam jangka waktu tersebut menunjukkan persetujuan Penggugat atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Tergugat;

Lalu bagaimana kedudukan Surat Edaran (SE) dalam hierarki peraturan perundang-undangan? Surat Edaran adalah naskah dinas, tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak.

Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan merupakan suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga SEMA ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Mahkamah Agung, apalagi peraturan berhierarki lainnya.

SEMA ini merupakan pedoman bagi Majelis Hakim di Pengadilan Pajak untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan perpajakan diatas, SEMA ini tentunya tidak memiliki unsur sanksi apabila tidak diterapkan oleh Majelis.

Sepengetahuan penulis putusan-putusan sehubungan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b yang diucap semenjak SEMA ini ditetapkan, sudah menolak gugatan yang mengandung isi/materi ketetapan, Majelis Pengadilan Pajak sudah berpedoman pada SEMA ini. Tinggal selanjutnya mari kita kawal bersama, bagaimana pelaksanaannya di waktu-waktu yang akan datang.

Lalu bagaimana dengan nasib putusan Pengadilan Pajak terkait gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c jo Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP maupun gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan Pasal 16 ayat (1) UU KUP yang mengandung isi/materi dimana sudah dikabulkan sebelumya, apakah jika dibawah ke ranah Peninjauan Kembali , Penggugat kemudian akan di kalahkan ?

Pada akhirnya timbul pertanyaan dalam benak kita, apabila gugatan atas isi/materi harus ditolak, namun penerbitan putusan SKP itu sendiri berasal dari materi yang nyata-nyata jelas tidak sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimanakah letak keadilan dan kepastian hukum bagi Penggugat ? Disatu sisi pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi harus ditolak, disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UU AP memberikan andil atas gugatan yang mengandung isi/materi dapat dikabulkan.

Penulis : Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

id_ID