Ekonomi China Terus Melemah: Deflasi Beruntun, Pemburu Pajak Menyasar Luar Negeri

IKPI, Jakarta: Upaya China mendorong konsumsi lewat libur panjang belum mampu menyulut pemulihan ekonomi. Data terbaru menunjukkan Negeri Tirai Bambu kembali terseret ke zona deflasi selama empat bulan berturut-turut, meski periode libur Hari Buruh dan Festival Perahu Naga sempat memberikan napas pendek pada aktivitas belanja domestik.

Badan Statistik Nasional (NBS) melaporkan indeks harga konsumen (CPI) turun 0,1% pada Mei secara tahunan, mengulang angka negatif bulan sebelumnya. Walau sedikit lebih baik dari ekspektasi para ekonom yang memperkirakan penurunan 0,2%, sinyal pemulihan masih jauh dari harapan.

Yang lebih mencemaskan, harga produsen (PPI) mengalami kontraksi ke-32 kalinya berturut-turut, dengan penurunan 3,3% — penurunan terdalam dalam hampir dua tahun. Penurunan tajam ini disebut-sebut dipicu oleh harga batu bara dan bahan mentah yang tertekan akibat persediaan berlimpah, serta dampak dari penurunan harga global minyak dan bahan kimia.

Robin Xing, ekonom dari Morgan Stanley, bahkan memperingatkan bahwa deflasi di China bisa semakin parah pada paruh kedua 2025. “Dengan lemahnya konsumsi dan ekspor yang terus melambat, pertumbuhan ekonomi bisa terkoreksi lebih cepat dari perkiraan,” ujarnya.

Kondisi ini diperparah oleh perang harga antarprodusen yang kian sengit. Salah satu contohnya datang dari raksasa mobil listrik BYD Co. yang memangkas harga hingga 34% untuk belasan model kendaraan listrik dan hybrid. Langkah agresif ini memicu kompetisi diskon besar-besaran di pasar kendaraan, namun tak serta merta mendorong permintaan.

Di tengah bayang-bayang krisis ini, pemerintah China kini bergerak di bidang lain untuk menambal fiskal memburu pajak dari warga negaranya yang memiliki pendapatan luar negeri. Setelah sebelumnya fokus pada kalangan superkaya, otoritas pajak kini memperluas target ke kelas menengah atas.

Menurut sejumlah sumber yang dikutip Bloomberg, pemerintah memperketat pengawasan atas pendapatan luar negeri seperti dividen, hasil investasi, hingga opsi saham karyawan. Langkah ini mencerminkan dorongan Beijing untuk menambah penerimaan negara di tengah lonjakan defisit anggaran yang menembus rekor lebih dari US\$360 miliar hingga April 2025 — naik lebih dari 50% dibanding tahun sebelumnya.

Perubahan strategi fiskal ini menyusul implementasi aktif dari Common Reporting Standard (CRS), skema pertukaran data global yang memungkinkan pemerintah China melacak aset warga negaranya di lebih dari 140 negara. Di bawah rezim baru ini, keuntungan dari saham-saham di AS maupun Hong Kong kini menjadi sasaran utama.

Lonjakan permintaan jasa konsultan pajak menunjukkan bahwa banyak warga dengan aset di bawah US\$1 juta kini mulai merasa terjaring. Pemerintah daerah di Beijing, Shanghai, dan provinsi seperti Zhejiang telah mengimbau wajib pajak untuk segera melaporkan pendapatan luar negeri mereka sebelum tenggat waktu akhir Juni 2025.

Pemerintah pusat melihat celah pajak yang signifikan, karena banyak pendapatan luar negeri belum tercatat dalam sistem pajak. Bahkan dalam sejumlah kasus, denda dan tunggakan yang harus dibayar mencapai puluhan ribu dolar AS.

Langkah agresif ini juga terkait dengan strategi jangka panjang pemerintah dalam mendorong “kemakmuran bersama”. Namun, pengawasan yang semakin ketat turut menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, terutama di tengah gejolak ekonomi dan sikap pemerintah yang dinilai tidak selalu ramah terhadap sektor swasta.

Di sisi lain, investor China daratan telah mengalirkan dana besar ke pasar luar negeri. Data menunjukkan, aliran dana ke bursa Hong Kong mencapai HK\$658 miliar (sekitar US\$84 miliar) sepanjang tahun ini — dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu.

Dengan latar belakang ketegangan perdagangan yang belum mereda, terutama dengan Amerika Serikat, masa depan ekonomi China masih dipenuhi ketidakpastian. Meski pemimpin kedua negara sepakat melanjutkan dialog setelah panggilan antara Xi Jinping dan Donald Trump, para negosiator perdagangan masih harus menjembatani perbedaan besar dalam pertemuan di London yang berlangsung hari ini.

Sementara IMF memperkirakan inflasi China akan rata-rata nol persen tahun ini terendah sejak krisis keuangan global 2009 tekanan terhadap perekonomian domestik belum menunjukkan tanda akan mereda.(alf)

 

id_ID