IKPI, Jakarta: Pengadilan Perdagangan Internasional Amerika Serikat (US Court of International Trade) memutuskan untuk membatalkan sebagian besar kebijakan tarif Presiden Donald Trump, menyatakan bahwa sang presiden telah bertindak melampaui batas kekuasaannya.
Dalam putusan tegas yang disampaikan oleh panel tiga hakim, pengadilan menilai bahwa tindakan Trump membebankan tarif secara luas atas barang-barang impor dari mitra dagang utama AS tidak sah menurut hukum federal. Mereka menegaskan bahwa hanya Kongres yang memiliki otoritas konstitusional untuk mengatur perdagangan luar negeri.
“Masalahnya bukan pada kebijaksanaan atau efektivitas tarif tersebut, tetapi karena tidak ada dasar hukum yang memperbolehkannya,” tulis pengadilan dalam keputusannya seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (31/5/2025).
Putusan ini menjadi pukulan telak bagi strategi ekonomi proteksionis yang diusung Trump sejak masa jabatannya. Pengadilan juga menyebut bahwa penggunaan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) sebagai dasar pengenaan tarif tidak dapat diterapkan untuk kebijakan semacam ini, karena undang-undang itu hanya berlaku dalam konteks ancaman luar biasa saat keadaan darurat nasional.
Dampak Langsung di Pasar
Tak lama setelah putusan diumumkan, pasar keuangan merespons dengan antusias. Nilai tukar dolar AS menguat signifikan terhadap euro, yen, dan franc Swiss. Indeks saham AS juga mencatat kenaikan, sementara bursa Asia mengalami lonjakan.
Namun, pemerintah Trump tidak tinggal diam. Beberapa menit setelah keputusan dibacakan, pihak Gedung Putih segera mengajukan pemberitahuan banding. Mereka mempertanyakan kewenangan pengadilan dan menyatakan bahwa defisit perdagangan AS merupakan krisis nasional yang membenarkan tindakan darurat.
“Hakim yang tidak dipilih oleh rakyat tidak berwenang menentukan cara menghadapi keadaan darurat nasional,” ujar juru bicara Gedung Putih, Kush Desai.
Akar Sengketa dan Implikasi Lebih Luas
Sejak menjabat, Trump menjadikan tarif sebagai alat utama dalam perang dagang global, menargetkan negara-negara seperti Tiongkok dan anggota Uni Eropa. Namun, pendekatan ini kerap menuai kontroversi karena menciptakan ketidakpastian bagi pelaku bisnis dan rantai pasok global.
Meski pengadilan telah menghapus berbagai kebijakan tarif menyeluruh sejak Januari, keputusan ini tidak mencakup tarif sektoral tertentu seperti yang dikenakan pada baja, aluminium, dan kendaraan yang didasarkan pada undang-undang terpisah.
Kasus ini, yang bermula dari gugatan sejumlah pelaku usaha AS, kini berpotensi berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Sirkuit Federal dan bahkan bisa mencapai Mahkamah Agung. Hasil akhirnya berpotensi menjadi preseden penting dalam menentukan batas kekuasaan eksekutif di bidang perdagangan internasional.
Ketidakpastian Baru dalam Diplomasi Dagang
Putusan ini juga mengguncang berbagai negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung antara AS dan sejumlah mitra strategis. Jika keputusan ini dikukuhkan di tingkat lebih tinggi, Trump akan kehilangan salah satu instrumen utama dalam menekan negara-negara lain untuk memberikan konsesi.
Sementara itu, banyak pelaku usaha berharap putusan ini membuka jalan bagi stabilitas kebijakan dagang yang lebih berjangka panjang dan tidak bergantung pada dekrit eksekutif yang berubah-ubah. (alf)