DJP Permudah Hitung Pemotongan PPh 21, Ini Formatnya

IKPI, Jakarta: Karyawan dan pekerja tak perlu ribet lagi menghitung pemungutan dan pemotongan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 di masa depan.

Pasalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyusun format yang mudah dan sederhana. Format penghitungan ini memanfaatkan tarif efektif rata-rata (TER).

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan format perhitungan TER ini akan memudahkan menyederhanakan perhitungan serta mempermudah para wajib pajak untuk menghitung PPh 21 yang dipotong perusahaan.

Namun, perhitungan ini belum dirilis aturannya. Suryo berjanji akan mendorong aturan dan landasan untuk format perhitungan TER ini.

“Kalau ditanya kapan berlaku ya secepatnya, tapi kami akan terus jalankan dan berlaku ketika aturan diterbitkan,” kata Suryo saat konferensi pers di kantornya, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (12/1/2023).

Rilis format ini nantinya akan dibarengi dengan terbitnya buku tabel Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mengacu pada Bab III Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Dalam tabel itu akan disusun ke bawah jenis status PTKP seperti Tidak Kawin, Kawin, Kawin dan Pasangan bekerja. Kemudian disusun ke samping jumlah tanggungan dengan keseluruhan digunakan simbol TK/0 – TK/3, K/0 – K/3, serta K/I/0 – K/I/3. Sedangkan nominalnya untuk TK/0 sebesar Rp 54 juta, K/0 Rp 58,5 juta, dan K/I/0 Rp 108 juta.

“Misalnya dari Rp 5 juta, Rp 6 juta, Rp 7 juta, naik setiap Rp 1 juta atau 500 ribu itu tarif efektifnya akan berbeda,” jelasnya.

Adapun mekanisme penerapan dengan TER adalah TER x Penghasilan Bruto untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Masa pajak terakhir menggunakan tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh, atas jumlah penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan atau pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.

Menurut Suryo, tarif efektif yang disebutkan di situ sudah memperhitungkan PTKP bagi setiap jenis status PTKP seperti tidak kawin, kawin, serta kawin dan pasangan bekerja dengan jumlah tanggungan yang telah atau belum dimiliki.

Berikut ini ilustrasi perhitungan terbaru dengan membandingkannya terhadap mekanisme perhitungan sebelumnya:

Retto merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status menikah dan tanpa tanggungan. Ia bekerja sebagai pegawai tetap di PT Jaya Abadi. Retto menerima gaji sebesar Rp10.000.000,00 per bulan.

1. Perhitungan PPh Saat Ini

Dengan mekanisme pemotongan PPh saat ini, maka perhitungannya sebagai berikut:

Dengan gaji Rp10.000.000 dikurangi Biaya Jabatan 5% x Rp10.000.000 yang menjadi sebesar Rp 500.000, maka penghasilan neto sebulan Retto sebesar Rp 9.500.000,00. Adapun penghasilan neto setahun dihitung sebagai berikut:

12 x Rp9.500.000,00 = Rp114.000.000.

Dengan memperhitungkan status Retto, PTKP setahun Retto yang masuk kategori kawin tanpa tanggungan atau dengan simbol tabel K/0. Alhasil, besaran pengurangan total penghasilan neto setahun dikurangi Rp 58.500.000 sehingga nominal Penghasilan Kena Pajak setahun menjadi Rp 55.500.000.

Dengan demikian total PPh Pasal 21 terutang perhitungannya menjadi 5% x Rp55.500.000 dengan hasil Rp2.775.000 dan PPh Pasal 21 per bulannya menjadi sebesar Rp2.775.000 : 12 dengan total akhir menjadi Rp231.250.

Baca: Akui Ngitung Pajak Susah, DJP Kaji Format yang Lebih Gampang!
2. Perhitungan tarif efektif atau TER

Berdasarkan status PTKP dan jumlah penghasilan bruto, pemberi kerja menghitung PPh Pasal 21 Retto menggunakan Tarif Efektif Kategori A dengan tarif 2,25%. Dengan demikian, jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan Retto adalah:

Januari – November : Rp10.000.000,00 x 2,25% = Rp225.000,00/bln
Desember : Rp2.775.000 – (Rp225.000,00 x 11) = Rp300.000,00

Adapun, selisih pemotongan sebesar Rp75.000,00

 

Ekonom Sebut Acuan PPh Tak Sama Dengan Zakat

IKPI, Jakarta: Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia menilai, pemberlakuan aturan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 tidak bisa disamakan dengan aturan pembayaran zakat. Hal ini merespons informasi mengenai gaji Rp 5 juta per bulan dipajaki lima persen yang ramai dibicarakan.

Ekonom Core Indonesia Akhmad Akbar Susanto menilai, hukum positif di Indonesia dengan hukum Islam memiliki acuan yang berbeda. Persentase pajak lima persen lebih besar daripada persentase zakat pengasilan 2,5 persen. Namun, Indonesia menganut hukum positif. “Jadi acuannya berbeda,” ujar Akhmad seperti dikutip dari Republika, Rabu (4/1/2023).

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun merespons isu ini. Ia menyatakan, tidak ada perubahan aturan pajak bagi wajib pajak dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan. “Gaji Rp 5 juta dipajaki lima persen itu salah banget. Untuk gaji Rp 5 juta tidak ada perubahan aturan pajak,” ujar Sri Mulyani.

Pemerintah akan memberlakukan aturan baru pajak penghasilan karyawan atau PPh Pasal 21. Hal ini tertuang di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Adapun ketentuan teknis mengenai pajak penghasilan diatur secara perinci melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Bidang PPh.

Melalui aturan tersebut, pemerintah menaikkan batas penghasilan kena pajak (PKP) menjadi Rp 5 juta per bulan atau kumulatif Rp 60 juta per tahun, dari sebelumnya Rp 4,5 juta per bulan atau kumulatif Rp 54 juta per bulan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menegaskan, gaji Rp 5 juta per bulan (60 juta rupiah setahun) tidak ada skema pemberlakuan pajak baru atau tarif pajak baru. “Orang yang masuk kelompok penghasilan ini dari dulu sudah kena pajak dengan tarif lima persen,” ucapnya.

Neil juga mengingatkan agar wajib pajak tidak lupa mengurangkan terlebih dahulu penghasilan setahun dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang tidak berubah dari aturan sebelumnya sebesar Rp 54 juta. “Jangan lupa untuk memasukkan PTKP dalam penghitungan pajak terutang. Artinya, penghasilan yang sudah disetahunkan dikurangkan dulu dengan PTKP sebesar Rp 54 juta baru dikalikan tarif lima persen dan seterusnya,” kata Neil.

Dalam beleid PP Nomor 55 Tahun 2022 dijelaskan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. “Baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun,” tulis Pasal II tentang Objek Pajak Penghasilan dalam PP 55/2022.

Maka demikian, berikut simulasi perhitungan pemotongan pajak lima persen terhadap masyarakat dengan gaji Rp 5 juta per bulan, antara lain:

Pajak Penghasilan per tahun = Penghasilan Kena Pajak (PKP) – PTKP x lima persen. Adapun besaran PTKP sebesar Rp 54 juta per tahun, sehingga perhitungannya menjadi:

Rp 60 juta – Rp 54 juta = Rp 6 juta

Rp 6 juta x 5% = Rp 300.000

Maka itu, pekerja dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan, akan dikenakan pajak sebesar Rp 300.000 setiap tahunnya.

Berikut ketentuan tarif PPh Pasal 21 terbaru, yakni:

– Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif PPh sebesar lima persen.

– Penghasilan kena pajak lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15 persen.

– Penghasilan lebih dari Rp 250 juta sampai Rp 500 juta tarif PPh yang dikenakan 25 persen.

– Penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar sebesar 30 persen

– Penghasilan di atas Rp 5 miliar dikenakan PPh sebesar 35 persen. (bl)

 

Stafsus Menkeu Sebut Aturan Pembayaran PPh Lindungi Karyawan, Ini Perhitungannya

IKPI, Jakarta: Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo membeberkan simulasi perhitungan pajak penghasilan (PPh) dengan aturan baru. Perhitungan itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Prastowo mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir karena tidak ada pajak baru ataupun kenaikan tarif pajak untuk karyawan. Justru melalui UU Nomor 7 Tahun 2021, kata dia, lapisan penghasilan rendah dulu dikenakan pajak sampai dengan Rp 50 juta sekarang sampai dengan Rp 60 juta dikenai 5 persen.

“Sementara, wajib pajak yang penghasilannya tinggi di atas Rp 5 miliar dikenai pajak 35 persen dari 30 persen sebelumnya,” ujar dia dalam video pendek yang diunggah melalui akun Twitter-nya, @prastow seperti dikutip dari Tempo.co Senin, 2 Januari 2023.

Lalu, untuk karyawan bagaimana kira-kira perhitungan pajak penghasilannya?

Stafsus Sri Mulyani ini kemudian mencontohkan, seorang karyawan bernama Fajar Sadboy berpenghasilan netto-nya Rp 5 juta sebulan atau Rp 60 juta setahun. Cara menghitung penghasilannya adalah dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan selisihnya sebesar Rp 6 juta.

Berarti perhitungan pajaknya menggunakan perhitungan 5 persen dikali Rp 6 juta dan hasilnya Rp 300 ribu.

“Sama, dulu dan sekarang gaji Rp 5 juta tetap kena pajak Rp 300 ribu,” kata Prastowo.

Namun kabar baiknya kata dia, jika Fajar Sadboy itu gajinya Rp 9,5 juta per bulan atau penghasilan netto Rp 114 juta setahun, lalu dikurangi PTKP Rp 54 juta hasilnya sebesar Rp 60 juta.

Dengan demikian, jika sebelumnya Fajar Sadboys harus membayar dua lapis yakni tarif 5 persen kali Rp 50 juta, dan 15 persen kali Rp 10 juta, sehingga total pajak yang harus dibayar sebesar Rp 4 juta.

Nah dengan UU baru kata Prastowo, Fajar Sadboy cukup membayar 5 persen kali Rp 60 juta atau membayar sebesar Rp 3 juta. Artinya dia lebih hemat membayar pajak sebesar Rp 1 juta.

UU baru justru melindungi wajib pajak

“UU baru tidak menambah pajak baru tidak menaikan tarif, tapi justru melindungi dan ada efisiensi penghematan pajak Rp 1 juta, pastikan tidak perlu khawatir mari terus taat pajak,” cuit Prastowo.

Sementara Direktorat Jenderal Pajak melalui akun Twitter resminya juga menjelaskan soal pengenaan pajak terhadap gaji karyawan. Soal pengenaan pajak sebenarnya bukan aturan baru, melainkan sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

“Justru di Undang-Undang HPP bracket penghasilan kena pajak tersebut diubah agar lebih adil,” cuit akun @DitjenPajakRI kemarin.

Di UU HPP lapisan tarif penghasilan kena pajak dinaikkan menjadi 60 juta dari sebelumnya 50 juta per tahun. Penambahan bracket ini justru memberikan keringanan bagi Wajib Pajak.

Dalam UU HPP besaran PTKP tidak berubah yaitu bagi orang pribadi lajang sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 Juta per tahun. Tambahan sebesar Rp 4,5 juta diberikan untuk Wajib Pajak yang kawin dan masih ditambah Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan maksimal 3 orang.

Dari ilustrasi yang diunggah, tidak ada yang baru dari kebijakan ini. Perubahan peraturan dari UU PPh ke UU HPP ini tidak menambah beban pajak sama sekali bagi orang pribadi dengan gaji sampai dengan Rp 5 juta sebulan.

Dalam penjelasan Ditjen Pajak tersebut disampaikan masyarakat berpenghasilan sampai dengan Rp 4,5 juta per bulan juga tetap tidak membayar PPh sama sekali dengan mekanisme penghasilan tidak kena pajak. (bl)

en_US